Indikator Capaian Tahun 2.

6.7. Indikator Capaian Tahun 2.

Tabel 6.1 Indikator capaian Tahun 2 Permasalahan

Program

Target Capaian

Implementasi Model

1. Terdapat kelompok sasaran

penguatan karakter untuk

implementasi

mendorong gerakan

membantu diri sendiri keluar 2. Modul

Pengentasan

Kemiskinan yang self Pentingnya evaluasi serta

dari belenggu kemiskinan

helping (penyempurnaan penyempurnaan model agar

dari Blue print) dapat diimplementasikan dan

Implementasi Model

penguatan karakter untuk

mampu menjadi sarana

mendorong gerakan

pengentasan kemiskinan, serta membantu diri sendiri keluar penguatan karakter untuk

dari belenggu kemiskinan

mendorong gerakan membantu diri sendiri keluar dari

Modul belenggu kemiskinan

Penyempurnaan Model

3. Copyright

penguatan karakter untuk

Pengentasan kemiskinan

mendorong gerakan

yang self heping

membantu diri sendiri keluar

dari belenggu kemiskinan

4. Publikiasi jurnal

7.1.Kesimpulan

Arah kebijakan pokok penanggulan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui program pro-poor , pro-job dan pro-growth . Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan mengurangi kemiskinan, dalam kenyataannya pertumbuhan ekonomi justru terkadang mengabaikan kaum miskin dan termarjinalkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka upaya yang dilakukan untuk mengurangi kemiskinan tidak cukup hanya mengandalkan pola bantuan, atau pun pemberdayaan masyarakat miskin yang dilakukan secara seragam. Hal demikan disebabkan karena masing-masing kelompok miskin dimungkinkan untuk memiliki karakter yang berbeda sehingga reaksi terhadap program pengentasan kemiskinanpun menjadi berbeda. Pemberdayaan masyarakat miskin dengan pola yang seragam menjadi kurang efektif, yakni tetap untuk kelompok miskin yang satu tetapi kurang cocok jika diterapkan pada kelompok miskin yang lainnya. Program pengentasan kemiskinan hendaknya bertitik tolak dari potensi kelompok miskin itu sendiri, bukan pada apa yang tidak dimilikinya.

Dalam hal pengentasan kemiskinan, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri. Partisipasi masyarakat setempat merupakan hal yang sangat strategis. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat setempat perlu diupayakan. Salah satu cara mengupayakan partisipasi masyarakat setempat adalah dengan mengetahui kearifan lokal, atau karakter-karakter positif masyarakat yang dapat dikembangkan.

Sebagaimana disampaikan dalam bab terdahulu, tujuan dalam penelitian ini adalah memetakan karakter kelompok masyarakat miskin, mengidentifikasi kelompok miskin produktif, mengindentifikasi pengetahuan/kearifan lokal yang dapat dikembangkan serta mengembangkan model self-helping program disesuaikan dengan kearifan lokal yang ada yang tepat dan sesuai dengan potensi serta karakter positif, yang dimiliki oleh kelompok miskin produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Karakter Keluarga Miskin pada umumnya:

a. Dilihat dari jumlah anggota keluarga, rumah tangga miskin cenderung memiliki karakter jumlah anggota keluraga yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga tidak miskin. Pada keluarga miskin cenderung memiliki jumlah anggota keluarga empat dan lebih.

c. Tingkat pendidikan mayoritas adalah SD dan tidak tamat SD

d. Luas Lantai rumah kurang dari 15m 2 .

2. Karakter Miskin pada Daerah Sampel.

a. Berdasarkan tingkat pendidikan yang pernah ditempuh, sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan hanya sampai dengan sekolah dasar (SD).

b. Mengenai jumlah yang harus ditanggung oleh responden atau tanggungan keluarga, sebagian besar keluarga responden di Kabupaten Klaten maupun Wonosobo menanggung dua sampai dengan empat orang.

c. Hal ini dibuktikan dengan sebagian besar penduduk miskin yang terwakili oleh sampel memiliki jaminan. Adapun jenis jaminan yang dimiliki adalah jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas)

d. jumlah pencari nafkah pada sebagian besar responden terpilih adalah satu orang. Status pekerjaan sebagian besar responden di Klaten adalah bekerja sendiri. Sedangkan di Kabupaten Wonosobo bekerja sendiri dan sebagai buruh

3. Karakter Kelompok Miskin Menurut Cara Pandang terhadap Kemiskinan.

a. Cara mengukur kemiskinan

1) Penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

2) kondisi rumahnya, yakni ukuran rumah kecil, tidak bagus dan bangunan tidak dari tembok (batu bata).

3) tidak dimilikinya pekerjaan tetap yang dapat menjadi sumber penghasilan tetap

4) ketidakmampuannya untuk dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi

atau menyekolahkan anaknya dengan baik.

5) Kepemilikan lahan pertanian atau sawah yang kecil, atau bahkan tidak punya sawah dan hanya menjadi buruh.

6) Tidak bisa membayar biaya kesehatan

7) Banyak Utang

b. Peyebab Kemiskinan

1) Pendidikan rendah

Responden di Kabupaten Klaten lebih menekankan bahwa penyebab miskin adalah rendahnya tingkat pendidikan. Sedangkan responden dari Kabupaten Wonosobo cenderung berpendapat bahwa kondisi miskn adalah takdir.

c. Program yang diharapkan. Terdapat perbedaan mengenai jenis program yang diharapkan untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan pada dua kelompok miskin yang dihadapi. Bantuan atau program yang diharapkan oleh responden di Kabupaten Klaten cenderung bersifat produktif atau investasi pada sumberdaya manusia. Sementara itu, untuk kelompok responden dari Kabupaten Wonosobo cenderung bersifat konsumtif. Secara berturut-turut, program yang diharapkan oleh kelompok responden di Kabupaten Klaten adalah

1) Modal usaha

2) Pendidikan

3) Kesehatan Sementara itu, jenis bantuan yang paling banyak diharapkan oleh responden dari Kabupaten Wonosobo secara berturut-turut adalah:

1) Sembako

2) Modal

3) Rumah Layak Sebagai catatan dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menemukan dua

karakter kemiskinan. Dua kelompok miskin dengan karakter yang berbeda tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

4. Secara keseluruhan, penelitian ini mengidentifikasi dua karakter kelompok miskin yang berbeda (yang selanjutnya di sebut kelompok miskin A, kelompok B).

a. Kelompok Miskin A, memiliki sifat:

1) Menerima kemiskinan sebagai takdir

2) Cenderung apatis

3) Kurang sadar pendidikan

4) Intensitas interaksi sosial dengan masyarakat luar relatif rendah

5) Memiliki komunitas yang cenderung homogen (antara lain dalam hal tingkat pendidikan, status ekonomi, mata pencaharian, budaya)

6) Tinggal di lingkungan dengan fasilitas umum maupun fasilitas sosial kurang memadai/terbatas

7) Sarana dan prasarana mobilitas relatif rendah.

8) Bekerja untuk sekedar bertahan hidup (subsisten)

b. Kelompok Miskin B, memiliki sifat:

1) Kemiskinan bukan takdir, sehingga dapat diubah.

2) Memiliki keyakinan dan bersemangat untuk hidup lebih baik

3) Sadar pendidikan, pendidikan adalah kunci keluar dari kemiskinan

4) Intensitas interaksi sosial dengan masyarakat luar relatif tinggi

5) Memiliki komunitas yang cenderung heterogen (antara lain dalam hal tingkat pendidikan, status ekonomi, mata pencaharian, budaya)

6) Tinggal di lingkungan dengan fasilitas umum maupun fasilitas sosial cukup memadai

7) Sarana dan prasarana mobilitas relatif tinggi.

8) Mengalokasikan sebagian pendapatannya agar dapat hidup lebih baik pada masa yang akan datang (menabung untuk mengumpulkan modal usaha, mengalokasikan anggaran untuk pendidikan)

5. Kearifan Lokal Pada kedua daerah sampel yang diamati memiliki kearifan lokal yakni gotong royong.

Namun untuk yang berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan, di kabupaten Klaten memiliki kearifan lokal antara lain:

a. Adanya kepedulian kerabat yang kaya terhadap kerabat yang miskin. Kerabat yang kaya ini biasanya memberi bantuan kepada kerabat yang miskin misalnya menyekolahkan anaknya.

b. “Ngenger”, yakni, orang miskin menitipkan anaknya pada saudara atau tetangga yang kaya. Terdapat dua jenis “Ngenger “. Pertama, keluarga miskin menitipkan anaknya pada kerabat/saudara yang kaya tanpa si anak harus membantu pekerjaan rumah tangga. Kedua, keluarga miskin menititipkan anaknya pada kerabat atau tetangga yang kaya untuk membantu pekerjaan rumah tangga, tidak dibayar namun disekolahkan.

c. Secara kelembagaan, di Mesjid atau gereja memiliki rekening khusus untuk menampung dana sosial dari masyarakat yang mampu untuk disalurkan pada

7.2. Rekomendasi

Penelitian ini semakin menegaskan adanya perbedaan karakter kelompok miskin, terutama terkait dengan cara pandang mengenai kemiskinan. Oleh karena itu, dalam penyusunan pengentasan kemiskinan hendaknya disesuaikan dengan karakter yang kuat melekat pada masing-masing kelompok. Atas dasar hal tersebut, maka berikut ini adalah saran sifat program pengentasan kemiskinan pada masing-masing karakter tersebut. Untuk kelompok miskin A dengan karakter:

1) Menerima kemiskinan sebagai takdir

2) Cenderung apatis

3) Kurang sadar pendidikan

4) Intensitas interaksi sosial dengan masyarakat luar relatif rendah

5) Memiliki komunitas yang cenderung homogen (antara lain dalam hal tingkat

pendidikan, status ekonomi, mata pencaharian, budaya)

6) Tinggal di lingkungan dengan fasilitas umum maupun fasilitas sosial kurang

memadai/terbatas

7) Sarana dan prasarana mobilitas relatif rendah.

8) Bekerja untuk sekedar bertahan hidup (subsisten) Sifat pemberdayaan kelompok miskin atau program pengentasan kemiskinan adalah model

pemberdayaan mendorong perubahan pola pikir atau pengembangan (atau lebih ekstrim, perubahan) tentang perlunya pengembangan diri melalui pendidikan.

Untuk kelompok B dengan karakter:

1) Kemiskinan bukan takdir, sehingga dapat diubah.

2) Memiliki keyakinan dan bersemangat untuk hidup lebih baik

3) Sadar pendidikan, pendidikan adalah kunci keluar dari kemiskinan

4) Intensitas interaksi sosial dengan masyarakat luar relatif tinggi

5) Memiliki komunitas yang cenderung heterogen (antara lain dalam hal tingkat

pendidikan, status ekonomi, mata pencaharian, budaya)

6) Tinggal di lingkungan dengan fasilitas umum maupun fasilitas sosial cukup memadai

7) Sarana dan prasarana mobilitas relatif tinggi.

8) Mengalokasikan sebagian pendapatannya agar dapat hidup lebih baik pada masa yang

akan datang (menabung untuk mengumpulkan modal usaha, mengalokasikan anggaran untuk pendidikan)

Sifat pemberdayaan kelompok miskin atau program pengentasan kemiskinan adalah model pemberdayaan yang mendorong peningkatan pengetahuan dan kemampuan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas diri dan modal sosial yang ada.