LAPORAN TAHUNAN Pengembangan Self Helpin

LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan

Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun

MG. Westri Kekalih Susilowati SE., ME. NIDN: 0624046901 Dr. Angelina Ika Rahutami MSi.

NIDN: 0622026802 Dr. A. Rachmad Djati Winarno, MSc.

NIDN :0607086101

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG NOVEMBER 2013

Prakata

Jumlah penduduk miskin merupakan masalah yang dihadapi semua provinsi di Indonesia tak terkecuali Jawa Tengah. Meskipun saat ini masyarakat miskin Jawa Tengah mengalami penurunan, namun tetap rentan untuk bertambah dan berkurang karena adanya gejolak ekonomi, misalnya gagal panen dan kenaikan harga BBM akan dengan cepat mendorong kenaikan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan mengurangi kemiskinan, dalam kenyataannya pertumbuhan ekonomi justru terkadang mengabaikan kaum miskin dan termarjinalkan. Oleh karena itu, kebijakan pokok penanggulan kemiskinan yang pro-poor, pro- job dan pro-growth menjadi penting.

Penelitian mencoba untuk mengekplorasi karakter sosial psikologi kelompok miskin produktif menurut tipologi pedesaan dan perkotaan. Hasil penelitian ini mengidentifikasi dua karakter sosial psikologi penduduk miskin. Terdapat kelompok miskin yang menerima kondisi miskin sebagai takdir, dan terdapat kelompok miskin yang beranggapan konsisi miskin dapat diubah jika seseorang memilki kesempatan untuk mengenyam pendidkan yang baik. Hasil penelitian ini digunakan sebagai dasar pengembangan model pengentasan kemiskinan yang bertumpu pada potensi orang miskin itu sendiri. Model pengentasan yang dikembangkan bertitiktolak pada potensi orang miskin.

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas kasih dan rahmatNya penelitian ini terselesaikan dengan baik dan lancar. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada DIKTI yang telah membiayai penelitian ini, pimpinan Universitas Katolik Soegijapranata dan jajarannya, para responden dan narasumber serta berbagai pihak yang telah mendukung penelitian ini.

Semarang, 25 November 2013 MG Westrie Kekalih S Angelina Ika Rahutami

A. Rahmat Djati W

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN i RINGKASAN

ii PRAKATA

v DAFTAR ISI

vi DAFTAR TABEL

vii DAFTAR GAMBAR

viii DAFTAR LAMPIRAN

ix BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang.

1 BAB II. STUDI PUSTAKA DAN ROADMAP PENELITIAN

1.2 Urgensi (Keutamaan) Penelitian

2.1. Kemiskinan dan Program Pengentasan Kemiskinan

2.2. Pertumbuhan Inklusif

2.3. Knowlegde Based Economy

9 2.9.Budaya dan Masyarakat Miskin

2.4. Miskin Produktif

2.5. Motivasi dan Self-efficacy

13 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

2.6. . Roadmap Penelitian.

3.1. Tujuan Penelitian

14 BAB IV. METODE PENELITIAN

3.2. Manfaat Penelitian

4.1. Jenis Penelitian

4.2. Lokasi Penelitian

4.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

4.4. Populasi dan Sampel Penelitian

4.5. Teknik Analisis.

19 BAB V.HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6. Kerangka Pikir Penelitian

5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 20

5.1.1. Kabupaten Klaten

5.1.2. Kabupaten Wonosobo

5.2. Gambaran Umum Kemiskinan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Wonosobo

5.3. Identifikasi Profil Kelompok Miskin Produktif di Kabupaten

Klaten dan Kabupaten Wonosobo.

5.4. Identifikasi Karakter Kemiskinan Menurut Cara Pandang

5.5. Kearifan Lokal Pengentasan Kemiskinan

5.6. Pengembangan Model Self-helping Pengentasan Kemiskinan

42 BAB VI. RENCANA TAHAP BERIKUTNYA

Sesuai Karakter Kemiskinan

6.1. Jenis Penelitian (tahun ke 2) 44

6.2. Lokasi Penelitian (tahun ke 2) 44

6.3. Teknik Pengumpulan Data (tahun ke 2) 44

6.4. Populasi dan Sampel Penelitian (tahun ke 2)

6.5. Teknik Analisis (tahun ke 2) 44

6.6. Kerangka Pikir (Tahun ke 2)

47 BAB VII. PENUTUP

6.7. Indikator Capaian (Tahun ke 2)

47

47

7.1. Kesimpulan

53

7.2. Rekomendasi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Sepuluh Kabupaten Termiskin Di Propinsi Jawa Tengah tahun 2008 15 Tabel 5.1.

21 Tabel 5.2.

Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Klaten 2006-2008

Perkembangan Kemiskinan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Klaten 2010-2011

25 Tabel 5.3.

27 Tabel 5.4.

Distribusi Penduduk Miskin menurut Tingkat Pendidikan

Persentase Pengeluaran Perkapita untuk Makanan Menurut Kabupaten/Kota dan Status Miskin, Tahun 2011

28 Tabel 5.5.

Persentase Rumah Tangga Miskin Menurut Kabupaten/Kota dan Luas Lantai Perkapita, Tahun 2011

28 Tabel 5.6.

Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan (%) 29 Tabel 5.7.

31 Tabel 5.8.

Distribusi Responden menurut Jumlah tanggunan Keluarga (%)

Alasan Merasa Miskin (%) 38 Tabel 5.9.

38 Tabel 5.10.

Jenis Upaya Keluar dari Kemiskinan (%)

39 Table 6.1. Indikator capaian Tahun 2

Jenis Program/bantuan yang diharapkan (%)

48

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Roadmap Peneltian 13 Gambar 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Tahap 1 19

Gambar 5.1. Peta Kabupaten Klaten

20 Gambar 5.2. Peta Kabupaten Wonosobo

22 Gambar 5.3. Perkembangan Pra Keluarga Sejahtera Kab. Wonosobo

24 Gambar 5.4. Distribusi Responden Menurut Status Marital (%)

30 Gambar 5.5. Distribusi Responden menurut Jumlah Keluarga Dalam Satu Rumah (%)

31 Gambar 5.6. Distribusi Responden menurut Kepemilikan Jaminan (%)

32 Gambar 5.7. Distribusi Responden menurut Jumlah Pencari Nafkah (%)

33 Gambar 5.8. Distribusi Responden menurut Status Pekerjaan (%)

33 Gambar 5.9. Distribusi Responden menurut Penghasilan dan Pengeluaran (%) 34 Gambar 5.10. Distribusi Responden menurut Upaya keluar dari Kemiskinan (%) 37 Gambar 6.1. Bagan Kerangka Pikir Penelitian Tahap 2

47

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Lampiran 2 Panduan Wawancara/FGD Lampiran 3 Personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya Lampiran 4 Blueprint Modul Model Pengentasan Kemiskinan Lampiran 5 Bukti submit publikasi jurnal internasional dan conference

1.1.Latar Belakang

Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi semua provinsi di Indonesia tak terkecuali Jawa Tengah. Menurut BPS Jawa Tengah jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah pada Bulan Maret 2011 sebesar 5,107 juta orang (15,76 persen). Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Maret 2010. Meskipun saat ini masyarakat miskin Jawa Tengah mengalami penurunan, namun pada dasarnya masyarakat tetap rentan sehingga jumlah kemiskinan mudah bertambah dan berkurang. Adanya gejolak ekonomi, misalnya gagal panen dan kenaikan harga BBM akan dengan cepat mendorong kenaikan kemiskinan.

Untuk menanggulangi kemiskinan maka arah kebijakan pokok penanggulan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui program pro-poor , pro-job dan pro-growth . Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan mengurangi kemiskinan, dalam kenyataannya pertumbuhan ekonomi justru terkadang mengabaikan kaum miskin dan termarjinalkan, sehingga menghasilkan peningkatan inequality ( Ifzal Ali and Hyun Hwa Son, 2007). Peningkatan inequality dapat membawa implikasi berupa turunnya tingkat pengurangan kemiskinan, stabilitas politik dan sosial serta penurunan pertumbuhan itu sendiri.

Bila ketimpangan pembangunan terjadi maka hal ini tidak sejalan dengan konsep pertumbuhan inklusif. Menurut Ali (2007) sumber utama untuk mencapai pertumbuhan inklusif dan pengurangan kemiskinan adalah adanya lapangan pekerjaan yang produktif dan layak, jaminan sosial dan peningkatan kapabilitas kebutuhan dasar masyarakat. Untuk membuat pertumbuhan inklusif terwujud, upaya yang dilakukan untuk mengurangi kemiskinan tidak cukup hanya mengandalkan pola bantuan, atau pun pemberdayaan masyarakat miskin yang dilakukan secara seragam. Pengurangan kemiskinan perlu melihat terlebih dahulu karakter dan pola-pola spesifik yang terjadi dalam masyarakat miskin, agar diperoleh model pengurangan kemiskinan yang komprehensif.

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 1

1.2.Urgensi (Keutamaan) Penelitian

Pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan yang menciptakan kesetaraan bagi seluruh masyarakat. Salah satu tujuan utama dari pertumbuhan inklusif adalah pengurangan kemiskinan. Namun demikian, pengentasan kemiskinan yang bersifat parsial dan cenderung seragam sebenarnya menjadi permasalahan tersendiri.

Jawa Tengah juga menghadapi tantangan yang besar dalam mengatasi kemiskinan. Meskipun dari tahun ke tahun kemiskinan di Jawa Tengah cenderung menurun, namun di beberapa kantong kemiskinan, proses kemiskinan ini masih terus terjadi. Berdasarkan data dari Berita Resmi Statistik BPS Jawa Tengah No 37/07/33, Th. V, 1 Juli 2011, diketahui bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jawa Tengah pada bulan Maret 2011 sebesar 5,107 juta orang (15,76 persen). Kondisi ini menunjukkan adanya penurunan sebanyak 261,80 ribu orang jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2010 yang berjumlah 5,369 juta orang (16,56 persen). Data lain juga menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah pedesaan sama parahnya dengan tingkat kemiskinan di perkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) baik di perkotaan maupun pedesaan adalah 0,66.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini penting untuk dilakukan

karena:

1. Adanya pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam isu pengurangan kemiskinan yaitu strategi apa yang lebih efisien. Karena dalam beberapa tahun terakhir ini, ekonomi pembangunan mulai menengok pada masalah sosial dan institusional untuk mengatasi masalah kemiskinan (Michael Woolcock, 2004), maka penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi dan sosio-kultural.

2. Ketika kemiskinan merupakan masalah multidimensional maka pengentasan kemiskinan tidak akan efektif bila dilakukan secara parsial dan memiliki pola yang sama (generik) antar satu kelompok/daerah dengan daerah yang lain. Untuk itu dibutuhkan model yang khusus sesuai dengan karakter dan potensi yang ada dalam kelompok/daerah miskin tersebut.

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 2

3. Pembuatan model pemberdayaan diri sendiri ( self-helping model ) merupakan model yang dihipotesiskan paling tepat 1 . Untuk mendapatkan

model ini, maka harus dilakukan penelitian dengan pendekatan yang komprehensif.

4. Pemberdayaan masyarakat miskin memerlukan penghapusan rintangan institusi formal dan informal dalam melakukan tindakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka baik secara individual maupun kolektif dan untuk mengurangi keterbatasan pilihan mereka. Pemberdayaan juga merupakan perluasan dari aset dan kapabilitas dari masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam, bernegosiasi dengan, mengontrol akuntabilitas institusi yang mempengaruhi kehidupan mereka.

5. Penelitian ini juga penting dilakukan karena pemerintah provinsi Jawa Tengah berniat untuk menekan angka kemiskinan pada periode berikutnya.

Penelitian ini menjadi lebih unggul dibanding penelitian sebelumnya karena penelitian ini mencakup empat hal berikut:

1. Memasukkan unsur pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan. Konsep pertumbuhan inklusif bertujuan untuk menjamin bahwa kesempatan ekonomi yang dihasilkan dari pertumbuhan tersedia bagi semua orang, termasuk kaum miskin.

2. Menggunakan knowledge-based economy (KBE) sebagai dasar dalam mendisain self-helping program . Konsep KBE menggunakan pengetahuan dan teknologi dalam mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, dimana manusia sebagai human capital dan teknologi memegang peran utama dalam pembangunan. Kearifan dan pengetahuan lokal juga menjadi dasar pengembangan model, sehingga karakter positif yang ada dalam masyarakat miskin mendapat tempat dan dikembangkan dalam model

1 Pemberdayaan diri sendiri ( self-helping model ) merupakan hal yang dihipotesiskan paling tepat, karena masyarakat miskin membutuhkan aset dan kapabilitas pada tingkat individual (seperti

kesehatan, pendidikan, dan perumahan) dan pada tingkat kolektif (seperti kemampuan mengorganisasi dan memobilsasi untuk melakukan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah).

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 3 Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 3

3. Menggunakan model self-helping program yang diharapkan akan semakin menguatkan karakter positif yang dimiliki oleh masyarakat miskin produktif, dan mengurangi perilaku yang cenderung mengharapkan bantuan dalam bentuk cash transfer .

4. Menggunakan pendekatan ekonomi, sosio-kultural. Analisis sosio-kultural digunakan untuk mendorong pembangunan agar memiliki dampak positif terhadap masyarakat miskin tidak saja dari sisi ekonomi namun juga dari sisi sosial dan budaya. Analisis sosial juga membuat penelitian ini mampu mendefinisikan dan mengetahui karakter kelompok miskin produktif yang berbeda. Analisis ini juga mampu untuk mengidentifikasi hambatan yang menyebabkan kelompok miskin produktif tidak mampu untuk mengakses atau menggunakan sumberdaya secara efektif. Secara sederhana, penggunaan analisis sosio-kultural diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai kondisi masyarakat miskin produktif, kesiapan mereka dalam mengadopsi ataupun melakukan perubahan.

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 4

2.1. Kemiskinan dan Program Pengentasan Kemiskinan.

Pengertian umum mengenai kemiskinan adalah mengacu pada suatu kondisi dimana terdapat ketidakmampuan atau ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan, bahkan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan literatur, terdapat beberapa pengertian mengenai kemiskinan antara lain:

1. Kemiskinan absolut; kemiskinan yang mengacu pada kondisi dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini, penduduk miskin adalah mereka yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan. Ukuran umum yang biasa digunakan antara lain menurut Bank Bunia, yakni US$ 1 per hari dan US$2 per hari.

2. Kemiskinan relatif; yakni kemiskinan yang mengacu pada kondisi distribusi pendapatan dalam masyarakat. Dengan demikian, orang miskin selalu hadir dalam kehidupan

3. Kemiskinan struktural; merupakan kemiskinan yang disebabkan karena struktur ataupun tata kehidupan masyarakat

4. Kemiskinan budaya, adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya.

Mengacu pada beberapa jenis kemiskinan tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemiskinan bukan merupakan masalah ekonomi saja, namun merupakan fenomena sosial yang sangat kompleks, multidimensional.

Masalah kemiskinan menjadi sangat penting sifat-sifatnya. Sifat-sifat kemiskinan dapat merusak sistem serta tatanan ekonomi, politik, sosial budaya masyarakat bahkan dapat merusak nilai-nilai yang luhur yang ada dalam masyarakat. Begitu pentingnya masalah kemiskinan ini dalam tatanan kehidupan secara global sehingga ditempatkan sebagai sasaran pertama dalam Millenium Development Goals (MDGs).

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 5

Kemiskinan adalah bukan hal yang baru. Sudah sejak lama pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya, menekan angka kemiskinan. Pada semua rezim pemerintahan telah menempatkan masalah kemiskinan sebagai prioritas. Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah antara lain penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan, dengan disponsori oleh Bank Dunia disusun program di tingkat kecamatan dan urban poor, Kredit Usaha Tani (KUT), hingga kini dengan beras miskin (Raskin), jaring pengaman sosial (JPS), kartu gakin (keluarga miskin), pendidikan bagi siswa miskin, KUR, P2KP, Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM dan lain sebagainya.

Bukan karena pemerintah gagal, namun karena berbagai hal angka kemiskinan seolah tidak berubah. Satu hal yang bisa dicermati dalam program- program pengentasan kemiskinan adalah bahwa program tersebut merupakan inisiatif pemerintah, dengan subsidi penuh dari Pemerintah. Pendekatan demikian cenderung menempatkan “si miskin” sebagai obyek. Terdapat beberapa hal yang kurang tepat dalam program penanggulangan kemiskinan (Abu Huraerah, 2006), (1) cenderung berorientasi pada aspek ekonomi, belum multidimensional, (2) bernuansa karitatif (kemurahan hati) dan bukan produktivitas, (3) menempatkan rakyat miskin sebagai objek bukan, subjek, (4) posisi pemerintah lebih sebagai penguasa daripada fasilitator. Suharto (2003) menyatakan perlunya paradigma baru dalam pengentasan kemiskinan, yakni menekankan “apa yang dimiliki orang miskin” bukan “apa yang tidak dimiliki orang miskin”. Oleh karena itu, program pengentasan kemiskinan harus bersifat multidimensional, mendorong produktivitas, melibatkan kelompok miskin sebagai subyek dalam seluruh rangkaian program dan memberdayakan. Dengan demikian, kelompok ini diharapkan mampu membantu dirinya sendiri dari belenggu kemiskinan.

2.2. Pertumbuhan Inklusif

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sering ditetapkan sebagai tujuan suatu perekonomian. Dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut kadang mengabaikan masalah distribusi pendapatan yang ada dalam masyarakat.

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 6

Kesenjangan pendapatan dalam masyarakat menjadi semakin lebar. Sebagai akibatnya, terdapat sekelompok masyarakat yang tidak dapat ikut serta dalam proses pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembangunan dan timbul kemiskinan. Menyadari hal tersebut, maka dalam perencanaan pembangunan yang bertujuan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi hendaklah tetap memperhatikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan kemiskinan merupakan hal yang tak terpisahkan.

Inclusive growth/growth for all (pertumbuhan inklusif), merupakan konsep pertumbuhan yang mengacu pada suatu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

dimana peluang ekonomi yang dihasilkan dapat dinikmati atau terdistribusi ke semua lapisan masyarakat, termasuk kaum miskin dan termarjinalkan, baik sekarang maupun masa yang akan datang. Dengan demikian terdapat dua hal pokok dalam pertumbuhan inklusif, (1) Inklusi (penyertaan), yang berarti terdapat adanya difusi peluang bagi semua, yang berarti juga memberikan peluang ekonomi kepada mereka yang dalam pertumbuhan saat ini tersingkirkan, (2) pertumbuhan yang berkelanjutan, yang berarti bahwa proses tidak akan berhenti pada saat ini tetapi juga pada masa yang akan datang.

Pertumbuhan inklusif merupakan strategi yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Hal ini disebabkan karena pengurangan kemiskinan yang didasarkan hanya pada satu kriteria dan kriteria pendapatan absolut akan mengabaikan isu ketimpangan dan risiko terkait, namun sebaliknya dengan strategi pertumbuhan inklusif. Strategi pertumbuhan inklusif fokus pada penciptaan kesempatan dan penjaminan akses yang setara. Akses yang setara terhadap kesempatan akan menjadi dasar yang meningkatkan kapasitas manusia termasuk masyarakat miskin, yang memiliki aset utama tenaga kerja. Secara umum pertumbuhan inklusif fokus pada proses peningkatan kesempatan akan mengurangi kemiskinan secara efektif, dan biasanya akan memperhatikan masalah ketimpangan.

2.3. Knowlegde Based Economy

Tatanan ekonomi maupun sosial saat ini telah memgalami perubahan yang sangat radikal. Hal tersebut didorong oleh berkembangnya teknologi dan

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 7 Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 7

Peran KBE terhadap pertumbuhan ekonomi tercermin dalam tren perekonomian OECD yang menunjukkan adanya keterkaitan antara investasi yang high-technology, high technology industry, highly skill labor serta produktivitas (OECD, 1996). Karena berbasis pada ilmu pengetahuan, KBE memungkinkan organisasi dan masyarakat memperoleh, berkreasi, diseminasi dan memanfaatkan ilmu pengetahuan secara lebih efektif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial. Peran ilmu pengetahuan dalam pembangunan ekonomi antara lain melalui (1) Pengetahuan Produksi ( knowledge production ), yakni mengembangkan dan menyediakan pengetahuan baru terkait dengan produksi/sistem produksi, (2) knowledge transmission , yakni melakukan edukasi dan pengembangan sumberdaya manusia dan (3) knowledge transfer , menyebarluaskan ilmu pengetahuan serta penyelesaian masalah.

Seiring dengan perkembangan KBE, pemodelan dalam teori ekonomi juga mengalami penyesuaian. Sebagai contoh, mengenai fungsi produksi diakui bahwa investasi ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor yang berpengaruh secara langsung pada produksi melalui peningkatan kapasitas produksi, pengembangan produk maupun proses produksi. Dalam teori terdahulu ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai faktor ekternal dalam produksi. Hal tersebut terjadi karena investasi pada ilmu pengetahuan tidak berlaku hukum diminishing marginal return. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kunci pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang . Dikatakan bahwa, ilmu pengetahuan dapat meningkatkan returns on investment (ROI) melalui metode produksi yang lebih efisien. Secara agregat, hal tersebut meningkatkan pertumbuhan ekonomi

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 8 Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 8

2.4. Miskin Produktif.

Terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mengeluarkan Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Tujuan utama dari Perpres tersebut adalah menurunkan angka kemiskinan hingga 8 – 10% pada akhir tahun 2014. Dalam perpres tersebut telah disinggung istilah miskin produktif. Menurut pengertian dalam perpres tersebut, miskin produktif atau keluarga miskin produktif adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan; Keluarga Miskin yang mengalami penurunan pendapatan dan kesejahteraannya atau mengalami penghentian penghasilan.

Selain itu, dalam berbagai program penanggulanan kemiskinan juga sering didasarkan pada kelompok umur. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan program penanggulangan kemiskinan yang sesuai. Berdasarkan pengelompokan umur, yang dimaksud dengan miskin produktif adalah kelompok umur 15 – 55 tahun.

selanjutnya dijadikan fokus penanggulangan kemiskinan.

2.5. Budaya dan Masyarakat Miskin

Masyarakat tidak lepas dari budaya yang secara sadar atau tidak berpengaruh dalam pola pikir dan perilaku mereka (Samovar et.al ., 2010). Orang- orang miskin yang tinggal di pedesaan sangat mungkin dipengaruhi oleh karakter masyarakat pedesaan seperti hubungan yang akrab serta ikatan yang kuat dan

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 9 Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 9

Ahli teori belajar sosial, Albert Bandura, berpendapat bahwa perilaku manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan individu itu sendiri (Bandura, 1977). Dalam proses belajar ini hubungan antara lingkungan, individu, dan perilakunya bersifat reciprocal (timbal-balik). Menurut teori ini dapat diasumsikan bahwa usaha ekonomi produktif individu juga tidak lepas dari lingkungan di mana individu hidup dan karakteristik personal individu yang bersangkutan. Ini berarti terjadi saling mempengaruhi antara ketiga unsur, yakni lingkungan, individu, dan perilakunya.

Lingkungan, baik sosial maupun fisik, memberi berbagai kemungkinan maupun batasan bagi individu untuk berperilaku. Perilaku tersebut pada gilirannya juga berpengaruh pada individu yang bersangkutan dan lingkungan di mana ia hidup. Dalam konteks masyarakat miskin, kondisi kemiskinan dan karakter kultur atau sub-kultur dapat dipahami masing-masing orang secara berbeda. Berdasarkan pemahaman tersebut dan pandangan orang miskin tersebut terhadap dirinya sendiri maka akan muncul (atau tidak muncul) usaha untuk mengatasi kondisi kemiskinan yang ada. Usaha tersebut secara timbal balik akan berpengaruh terhadap individu dan lingkungan masyarakat. Pengaruh ini tidak sebatas pada perubahan kondisi ekonomi tetapi juga terhadap karakter orang yang bersangkutan termasuk kemampuan dan ketrampilan, pengetahuan dan motivasi.

2.5. Motivasi dan Self-efficacy

Kondisi seseorang yang dirasakan sebagai kurang oleh orang yang bersangkutan akan menimbulkan kebutuhan. Ini yang disebut oleh Maslow sebagai deficiency needs (Woolfolk, 2004). Deficiency needs ini meliputi needs for survival, safety, love and belongingness, dan esteem . Kebutuhan lain yang disebut being

need adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri, kebutuhan untuk “menjadi”.

Kebutuhan manusia bersifat hirarkis dan harus terpenuhi mulai dari kebutuhan yang

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 10 Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 10

Kebutuhan memunculkan dorongan dalam individu untuk melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini yang disebut dengan motivasi. Motivasi adalah dorongan yang membuat individu berperilaku secara tertentu. Motivasi berperan dalam berbagai bidang kehidupan walaupun dalam banyak studi sering dikaitkan dengan performance maupun achievement (Woolfolk, 2004; Gage & Berliner, 1984). Dengan demikian perilaku masyarakat miskin untuk mengatasi kemiskinannya juga tidak lepas dari motivasi ini. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa motivasi yang kuat akan berpengaruh pada usaha serta performance dan capaian seseorang maupun kelompok (e.g. Colquitt et.al ., 2000).

Dalam usaha untuk keluar dari kondisi yang kurang (yang menimbulkan kebutuhan) individu sering menghadapi berbagai kendala baik dari dalam maupun dari luar individu. Kendala dari dalam individu mencakup kemampuan dan kemauan individu tersebut serta faktor individual lainnya. Kendala juga datang dari luar dirinya, termasuk dari kelompoknya sendiri. Ini yang disebut dengan motivational gravity (Carr et.al ., 1995). Motivational gravity adalah seberapa kuat lingkungan mendukung atau menghambat individu anggota kelompok untuk mengubah dirinya dan dengan demikian nampak menonjol dibandingkan anggota- anggota kelompok lainnya. Motivational gravity ini dapat berasal dari sesama ( peer ) maupun atasan. Di dalam masyarakat miskin peer mereka adalah sesama anggota masyarakat yang miskin. Yang berfungsi sebagai pimpinan adalah tokoh- tokoh masyarakat dan orang-orang yang secara sosial-ekonomi lebih mampu. Motivational gravity akan mempengaruhi usaha dan keberhasilan orang yang berusaha untuk keluar dari kondisinya saat ini.

Bandura (1997) memperkenalkan apa yang disebutnya dengan self- efficacy ,yakni persepsi individu tentang kemampuannya untuk berperilaku secara

tertentu dalam situasi khusus. Self-efficacy berperan dalam beberapa perilaku yang bersifat spesifik, baik dalam bidang kesehatan maupun relasi sosial (Schwarzer,1992a;Winarno, 2007). Menurut Schwarzer (1992b), self-efficacy

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 11

berperan dalam berbagai tahapan perilaku seseorang, mulai dari pemunculan ide dan perencanaan perilaku hingga ke perilaku nyata serta proses recovery ketika terjadi kegagalan dalam perilaku. Dalam kaitannya dengan usaha masyarakat miskin perilaku yang dimaksud adalah perilaku konkrit untuk keluar dari kondisi miskin yang dialaminya saat ini. Sejauh mana orang akan berusaha sangat tergantung juga bagaimana orang memandang dirinya sendiri, apakah dia mampu atau tidak untuk melakukan usaha tersebut. Bandura (1992) juga mengemukakan bahwa selain self-efficacy ada juga collective efficacy , yakni keyakinan atas kemampuan sebagai kelompok untuk secara bersama melakukan suatu tindakan dalam situasi tertentu. Collective efficacy terkait dengan budaya masyarakat yang bersifat kolektif (Schaubroek et.al ., 2000). Dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan, sangat mungkin juga berkembang collective efficacy , di samping juga self-efficacy pada anggota masyarakat secara individual. Collective efficacy ini sangat berperan penting di dalam proses perkembangan suatu masyarakat sebagai masyarakat, bukan sebagai individu.

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 12

2.6. Roadmap Penelitian. ROADMAP

Penelitian terkait yang telah dilakukan

Penelitian terkait

Penelitian unggulan yang akan dilakukan

yang sedang

(2012-2014

dilakukan

Cash Transfer

Upaya

Pengembangan Self-Helping Model untuk Pengembangan Self-Helping

Programs: An

daya saing

Model pada Kelompok Mengurangi Kemiskinan:

Belenggu

Management

UMKM Jawa

Suatu Pendekatan Ekonomi, Sosio-Kultural

Masyarakat Miskin

Struktural yang

Lessons from

Tengah dalam

Tak Terpecahkan

Semarang

menghadapi

Produktif untuk

Central Java

Jawa Tengah: Mengidentifikasi potensi

Identifikasi

Sudut Pandang

dan Solusi

ekonomi, kearifan dan

Melakukan

Teoritis Dan

Sinergi Potensi,

Upaya

pengetahuan lokal, karater

implementasi model self-helping

MODEL

Dampak Bantuan

Program, dan

peningkatan

Anak Tidak

positif masyarakat

Pembangunan

Empiris

Anggaran: Usaha

daya saing

Sekolah di

program

Dati II Di Jawa

untuk

UMKM Jawa

Tengah dalam

Jawa

interdependensi antara

water literacy dan ekologi yang

Internalisasi

kemiskinan dan

menghadapi

ekonomi, sosial, budaya

mempengaruhi nilai, gaya

Mengevaluasi

untuk perubahan

ASI

hidup, kemauan dan

model

Pemberdayaan

perilaku anak

Pemetaan

kemampuan kelompok

Lembaga Keuangan

Survei Efektivitas

usia sekolah

menengah

Ekonomi

miskin untuk keluar dari

Desa Dalam Rangka

Program

jerat kemiskinan

perkotaan

Kelurahan

Pengelolaan Dana

Bantuan Tunai Langsung di Kota

melalui media

Kemijen

JURNAL

Pembangunan Di

film partisipatif

Kecamatan

Membuat model self-

Jawa Tengah

Semarang

Semarang Timur

helping program yang tepat dan sesuai dengan

potensi serta karakter positif yang dimiliki oleh masyarakat

Pengembangan Self-Helping Model pada Kelompok Masyarakat Miskin Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan 13

3.1.Tujuan Penelitian

Masalah kemiskinan yang bersifat multi dimensional di Jawa Tengah tidak cukup diatasi dengan pemberian subsidi atau bantuan tunai kepada masyarakat miskin. Salah satu cara terbaik untuk keluar dari jerat kemiskinan adalah adanya pemberdayaan diri sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka secara umum tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pemberdayaan diri sendiri atau self- helping program untuk keluar dari masalah kemiskinan.

Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahun. Tujuan khusus pada tahun pertama

adalah:

1. Mengidentifikasi karakter kelompok masyarakat miskin

2. Mengidentifikasi kelompok miskin produktif.

3. Mengindentifikasi pengetahuan/kearifan lokal yang dapat dikembangkan.

4. Mengembangkan model self-helping program disesuaikan dengan kearifan lokal yang ada yang tepat dan sesuai dengan potensi serta karakter positif, yang dimiliki oleh kelompok miskin produktif. Tujuan khusus pada tahun kedua adalah:

1. Melakukan implementasi model self-helping program

2. Mengevaluasi model Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Model self-helping program yang diharapkan akan dapat diterapkan pada daerah/kelompok yang memiliki karakteristik yang sama dengan model yang dibangun.

2. Rekomendasi kepada pemerintah mengenai model pengentasan kemiskinan yang mampu mendukung tercapainya pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan.

3. Jurnal yang merupakan sarana diseminasi pengetahuan kepada masyarakat luas.

3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena secara keseluruhan penelitian ini akan memberikan kotribusi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, utamanya melalui perluasan kesempatan yang sama bagi semua orang terutama kaum miskin dan termajinalkan. Kesempatan bagi kaum miskin dan termarjinalkan dalam menikmati hasil pembangunan akan semakin luas dengan peningkatan kapasitas diri, yakni melalui metode pemberdayaan yang

1. Bagi kaum miskin dan termarjinalkan: Meningkatkan akses terhadap hasil-hasil pembangunan. Karena model yang akan dikembangkan adalah model pemberdayaan yang unsur pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan. Konsep pertumbuhan inklusif bertujuan untuk menjamin bahwa kesempatan ekonomi yang dihasilkan dari pertumbuhan tersedia bagi semua orang, termasuk kaum miskin.

2. Bagi Pendamping, NGO, Lembaga Donor: Diperoleh metode pendampingan yang komprehensif karena penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi dan sosio-kultural. Pengembangan model dalam penelitian ini menggunakan knowledge-based economy (KBE) sebagai dasar dalam mendisain self-helping program .

3. Bagi Pemerintah: Sebagai masukan untuk pemberdayaan masyarakat miskin yang memerlukan penghapusan rintangan institusi formal dan informal dalam melakukan tindakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka baik secara individual maupun kolektif dan untuk mengurangi keterbatasan pilihan mereka. Pemberdayaan juga merupakan perluasan dari aset dan kapabilitas dari masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam, bernegosiasi dengan, mengontrol akuntabilitas institusi yang mempengaruhi kehidupan mereka.

4. Bagi Akademisi: Hasil penelitian ini akan memberikan pengayaan dalam hal referensi terutama yang terkait dengan implementasi pertumbuhan inklusif maupun KBE

4.1. Jenis Penelitian.

Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian eksploratif dengan bertujuan untuk memetakan karakter kelompok miskin secara multidimensional seperti halnya sifat kemiskinan. Karakter utama yang digali adalah potensi, yakni segala sesuatu yang bersifat positif yang dimiliki oleh kelompok miskin sebagai dasar pengembangan model yang memberdayakan kelompok itu sendiri. Dikatakan multi dimensional karena dalam penelitian ini akan dieksplor sifat karakter positif, potensi ekonomi, kearifan maupun pengetahuan lokal atau meliputi aspek ekonomi, sosio-kulural dan ekologi.

4.2.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jawa Tengah yang difokuskan pada daerah-daerah yang merupakan kantong kemiskinan. Dalam penelitian ini akan diambil dua daerah dengan indeks keparahan kemiskinan tertinggi namun didukung oleh potensi daerah yang tinggi. Mengenai persoalan pengentasan kemiskinan, tidak cukup hanya melihat jumlah penduduk miskin saja, namun juga harus dilihat bagaimana kondisi tingkat kedalaman kemiskinan/ poverty gap index (P1) maupun indeks keparahan kemiskinan/ Distributionally sensitive (P2). Kedua indeks tersebut menjadi penting karena P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan dan penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin itu sendiri. Semakin tinggi nilai indeks ini berarti kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin buruk. Sementara itu, P2 menunjukkan gambaran mengenai peningkatan pada P1 berarti terjadi peningkatan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan dan hal tersebut berarti kehidupan masyarakat miskin pada tahun tersebut semakin terpuruk. Atas dasar hal tersebut, dalam penelitian ini akan diambil dua wilayah sampel yakni dua kabupaten termiskin di propinsi Jawa Tengah baik dari dimensi persentase, P1 maupun P2 sebagai berikut:

1. Kabupaten Wonosobo

2. Kabupaten Klaten Berdasarkan data kemiskinan Jawa Tengah 2008, 10 Kabupaten termiskin di JawaTengah adalah seperti disajikan pada tabel 3.1 berikut:

Tabel 4.1. Sepuluh Kabupaten Termiskin Di Propinsi Jawa Tengah tahun 2008 Kabupaten/

Indeks Kota

1,35 Sumber: BPS Jateng, 2010

4.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mencapai tujuan penelitian dengan baik, dalam penelitian ini digunakan baik data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakter positif, potensi ekonomi, kultur (adat istiadat), harapan, kearifan dan pengetahuan lokal serta peran pemerintah. Sumber utama dari data primer adalah kelompok miskin sasaran. Sementara itu data sekunder meliputi: data- data terkait dengan kemiskinan seperti perkembangan kemiskinan, indeks kadalaman kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan serta berbagai program dan kebijakan pengentasan kemiskinan.

Guna memperoleh data-data dimaksud, beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini :

a. Teknik dokumentasi, metode ini digunakan untuk memetakan kondisi kemiskinan saat ini, proyeksi serta mengidentifikasi berbagai program yang telah dilakukan oleh pemerintah.

b. Wawancara ( face to face interview) , digunakan untuk melakukan menggali data primer dari kelompok sasaran yakni karakter positif, potensi ekonomi, kultur (adat istiadat), harapan, kearifan dan pengetahuan lokal serta harapan-harapan mereka. Dalam wawancara akan digunakan instrumen panduan wawancara yang terstruktur agar mudah disampaikan dan dipahami oleh responden. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan karakter responden yang mungkin tidak berpendidikan.

4.4.Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah pihak-pihak yang terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan, utamanya adalah kelompok miskin produktif. Sedangkan sampel dalam penelitian ini akan diambil untuk masing masing kabupaten dua kelompok sampel, dimana kelompok sasaran akan ditentukan teknik convenience sampling.

4.5.Teknik Analisis

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini menggunakan metode atau teknik analisis kuantitatif dan kualitatif dengan deskriptif model. Sedangkan tahapan penelitian yang dilakukan sebagai berikut:

1. Melakukan studi pendahuluan peta kemiskinan di Jawa Tengah.

Tahapan ini sebagai tahap awal untuk memetakan kondisi karakter dan potensi kelompok miskin. Tahapan ini dilakukan dengan studi literatur/dokumentasi dan studi lapangan untuk memperoleh pemahaman mengenai karakter kelompok miskin di Jawa Tengah.

2. Mengidentifikasi karakter positif, potensi ekonomi, kearifan dan pengetahuan lokal kelompok masyarakat miskin produktif

Studi lapangan dilakukan dengan cara melakukan pendekatan secara personal pihak- pihak terkait untuk memahami dan mengidentifikasi karakter positif dan segala sesuatu yang dimiliki oleh kelompok miskin produktif sebagai basis pemodelan pengentasan kemiskinan yang memberdayakan. Dalam melakukan identifikasi ini akan digunakan teknik face to face interview dengan bantuan pertanyaan yang sederhana agar mudah dipahami karena responden adalah kelompok miskin yang kecenderungannya tingkat pendidikan rendah.

3. Pengembangan model

Dengan basis hasil studi lapangan, dengan dukungan teori baik dari sisi psikologi sosial maupun ekonomi dikembangkan model pemberdayaan masyarakat miskin, dimana model yang dikembangkan adalah model yang diharapkan mampu mendorong masyarakat itu sendiri dengan kekuatan mereka sendiri yakni berbasis dari apa yang

4.6.Kerangka Pikir Penelitian

Permasalahan: Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah, namun tingkat kemiskinan tetap tinggi dan sering menciptakan ketergantungan. Oleh karena itu sangat penting untuk menyusun model pengentasan kemiskinan yang memberdayakan, sehingga mereka dapat membantu

dirinya sendiri keluar dari belenggu kemiskinan.

Tahun

Menyusun pemodelan untuk penguatan kelompok miskin

1 produktif sesuai dengan karakter dan potensinya

Penggalian karakter kelompok

Studi literatur dan studi

Miskin Produktif sasaran

lapangan

Mengidentifikasi karakter positif,

Studi lapangan 

potensi Ekonomi, kearifan dan

analisis deskriptif

pengetahuan lokal yang dapat dikembangkan

Penyusunan Model Penguatan karakter yang mendorong gerakan membantu diri sendiri keluar dari

belenggu kemiskinan

Gambar 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

5.1.Gambaran Umum Wilayah Penelitian

5.1.1. Kabupaten Klaten Secara geografis, Kabupaten Klaten terletak pada 110° 30’ – 110° 45’ Bujur Timur dan

7°30’ – 7°45’ Lintang Selatan. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul (DIY) dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sleman (Provinsi DIY). Kabupaten Klaten berada diantara 3 kota besar, yaitu Kota Yogyakarta (30km), Kota Surakarta (36km), dan Kota Semarang (100km).

Sumber: Kabupaten Klaten Dalam Angka, 2012. Gambar 5.1. Peta Kabupaten Klaten

Wilayah Kabupaten Klaten terbagi menjadi 3 (tiga) dataran :

1. Dataran Lereng Gunung Merapi membentang di sebelah utara meliputi sebagian kecil sebelah utara wilayah Kecamatan Kemalang, Karangnongko, Jatinom, dan Tulung.

2. Dataran rendah membujur di tengah meliputi seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, kecuali sebagian kecil wilayah merupakan dataran lereng Gunung Merapi dan Gunung Kapur.

3. Dataran Gunung Kapur yang membujur di sebelah selatan meliputi sebagian kecil sebelah selatan Kecamatan Bayat dan Cawas.

Melihat keadaan alamnya yang sebagian besar adalah dataran rendah dan didukung dengan banyaknya sumber air maka daerah Kabupaten Klaten merupakan daerah pertanian yang potensial disamping penghasil kapur, batu kali dan pasir yang berasal dari Gunung Merapi.

Jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 1.461.706 jiwa, dengan rincian jumlah penduduk laki-laki sebanyak 724.785 jiwa, dan perempuan sebanyak 736.921 jiwa. Penambahan penduduk sebanyak 150.685 jiwa, dengan Kepadatan penduduk 2.230 jiwa/km2.

Berdasarkan PPLS jumlah RTS sebanyak 137.771 jiwa. Untuk menanggulanggi hal tersebut Pemerintah Kabupaten Klaten melaksanakan program-program, diantaranya: 1). Program Raskin 130.007 sasaran, 2). Jamkesmas 557.929 peserta, dan 3). Jamkesda sebanyak 25.000 peserta. Pengentasan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PPMKS) juga merupakan salah satu fokus pembangunan daerah di Kabupaten Klaten hingga saat ini. Program kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka peningkatan perlindungan sosial belum dapat mengatasi permasalahan PMKS secara keseluruhan, namun telah menunjukkan perkembangan ke arah yang positif. Hal tersebut dilihat dari penurunan jumlah penyandang PMKS dari tahun ke tahun.

Salah satu indikator pembangunan manusia adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). IPM ini dapat digunakan sebagai suatu ukuran yang mengaitkan antara pertumbuhan ekonomi dengan kualitas fisik untuk menggambarkan tingkat kualitas hidup dan kesejahteraan.

Tabel 5.1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Klaten 2006-2008

Sumber: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Klaten IPM Kabupaten Klaten mengalami peningkatan setiap tahunnya, baik secara umum, maupun

masing-masing komponennya. Hal ini dikarenakan keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran di bidang sosial budaya Kabupaten Klaten adalah untuk mengatasi permasalahan di bidang

5.1.2. Kabupaten Wonosobo Wonosobo berada pada rentang 250 dpl – 2.250 dpl dengan dominasi pada rentang 500

dpl – 1.000 dpl. Sebesar 50% (persen) dari seluruh areal, menjadikan ciri dataran tinggi. Kabupaten Wonosobo terletak pada 70.43’.13” dan 70.04’.40” garis Lintang Selatan (LS) serta 1090.43’.19” dan 1100.04’.40” garis Bujur Timur (BT), dengan luas 98.468 ha (984,68 km2) atau 3,03 % luas Jawa Tengah. Secara administratif Wonosobo berbatasan langsung dengan enam kabupaten, yaitu: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang; Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang; Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen; Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen.

Sumber: Kabupaten Wonosobo dalam Angka, 2012. Gambar 5.2. Peta Kabupaten Wonosobo

RPJMD tahun 2010- 2015 yang mengusung visi “Wonosobo maju dan Sejahtera”, dijabarkan ke dalam misi :

1. Melanjutkan praktik pemerintahan partisipatif dan demokratis menuju masyarakat yang lebih sejahtera.

2. Meningkatkan kemajuan pembangunan menuju kemandirian daerah

3. Meningkatkan pelayanan sosial dasar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

4. Meningkatkan perekonomian daerah yang berbasis pada potensi unggulan daerah.

5. Meningkatkan dimensi keadilan dan meniadakan kekerasan dalam semua bidang. Sedangkan prioritas pembangunan tahun 2012 adalah:

1. Percepatan penyediaan dan perbaikan Infrastruktur untuk mendukung terciptanya kemandirian daerah;

2. Peningkatan potensi ekonomi kerakyatan melalui pendekatan komoditas serta kawasan dengan peningkatan pemberdayaan masyarakat;

3. Peningkatan Akses Pelayanan Sosial Dasar untuk memenuhi hak dasar masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan; dan

4. Peningkatan dan perbaikan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.

5.2. Gambaran Umum Kemiskinan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Wonosobo.

Terkait dengan perekembangan kemiskinan, keluarga miskin (keluarga pra sejahtera di Kabupaten Wonosobo cenderung menurun. Pada tahun 2008, jumlah keluarga prasejatera di Kabupaten Wonosobo mencapai 69.922 keluarga. Pada tahun 2011, jumlah keluarga prasejahtera di kabupaten ini menurun, mencapai 63.308 keluarga. Pada sisi yang lain, keluarga sejahtera III dan sejahtera III+ mengalami peningkatan. Hal demikian mencerminkan adanya peningkatan status ekonomi masyarakat. Dari 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kepil, Kecamatan Watumalang dan Kecamatan Sapuran merupakan tiga kecamatan dengan jumlah keluarga pra sejahtera paling banyak. Sedangkan Kecamatan Sukoharjo, Kecamatan Leksono dan Kecamatan Selomerto merupakan tiga kecamatan dengan jumlah pra keluarga sejahtera paling sedikit.

Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2012. Gambar 5.3. Perkembangan Pra Keluarga Sejahtera Kab. Wonosobo

Seperti telah diungkapkan dalam bab terdahulu, dalam memandang kemiskinan suatu wilayah tidak cukup hanya dengan melihat penduduk miskin secara kuantitas saja. Oleh karenanya, dalam upaya pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya melihat jumlah penduduk miskin saja. Kondisi yang terkait dengan kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan serta bagaimana gambaran penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin itu sendiri merupakan hal penting dalam formulasi kebijakan pengentasan kemiskinan. Kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan disebut dengan kedalaman kemiskinan yang diukur dengan indeks kedalaman kemiskinan/ poverty gap index (P1). Sedangkan bagaimana gambaran penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin disebut dengan yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan/ Distributionally sensitive index (P2). Semakin tinggi nilai indeks kedalaman kemiskinan berarti kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin buruk. Sebab, Peningkatan pada P1 berarti terjadi peningkatan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan dan hal tersebut berarti kehidupan masyarakat miskin pada tahun tersebut semakin terpuruk.

Dengan memperhatikan perkembangan penduduk miskin dilihat dari jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin terhadap total penduduk, indeks kedalaman kemiskinan maupun indeks keparahan kemiskian pada ke-dua kabupaten yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan adanya keberhasilan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Kondisi tersebut tercermin pada penurunan jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin terhadap total penduduk, indeks kedalaman kemiskinan maupun indeks keparahan kemiskinan yang semakin menurun.

Tabel 5.2. Perkembangan Kemiskinan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Klaten 2010- 2011

Indeks Kota

17.95 3.43 0.99 Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah 2012.