Proses Produksi

4.2.1 Analisis mekanik

Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda aka menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur dilakukan secara alamiyah sehingga dapat meminimalisasi timbulnya cedera muscoluskeletal.

Kenyamanan tercipta apabila pekerja melakukan postur kerja yang baik dan aman. Dalam tubuh manusia terdapat tiga jenis gaya, yaitu:

1. Gaya gravitasi, yaitu gaya yang melalui pusat massa dari tiap segmen tubuh manusia dengan arah kebawah (F=m.g).

2. Gaya Reaksi, yaitu gaya yang terjadi akibat beban pada segmen tubuh atau berat segmen tubuh itu sendiri.

3. Gaya otot, yaitu gaya yang terjadi pada bagian sendi, baik akibat gesekan sendi atau akibat gaya pada otot yang melekat pada

sendi. Gaya ini menggambarkan besarnya gaya momen otot. Tubuh manusia terdiri dari 6 link yaitu:

1. Link lengan bawah, dibatasi joint telapak tangan dan siku.

2. Link lengan atas, dibatasi joint siku dan bahu.

3. Link punggung, dibatasi joint bahu dan pinggul.

4. Link paha, dibatasi joint pinggul dan lutut.

5. Link betis, dibatasi joint lutut dan mata kaki.

6. Link kaki, dibatasi joint mata kaki dan telapak kaki.

4.2.2 Postur Kerja

Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja. Pergerakan yang dilakukan saat bekerja meliputi: flexion, extension, abduction, adduction, rotation, pronation dan supination. Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjadi pengurangan. , extension adalah gerakan merentangkan dimana terjadi peningkatan sudut antara dua tulang. abduction adalah gerakan menyamping menjauhi dari sumbu tengah tubuh. Adduction adalah pergerakan kearah sumbu tengah tubuh. Rotation adalah perputaran bagian atas lengan atau kaki depan. Pronation adalah perputaran bagian tengah (menuju kedalam) dari anggota tubuh. Supination adalah perputaran kea rah samping (menuju luar) dari anggota tubuh.

4.2.3 Comulative Trauma Disorders (CTD)

Comulative Trauma Disordersadlah cidera pada system kerangka otot yang semakin bertambah secara bertahap sebagai akibat dari trauma kecil yang terus menerus yang disebabkan oleh disain yang buruk yaitu disain alat/system kerja yang membutuhkan gerakan tubuh dalam posisi yang tidak normal serta penggunaan perkakas atau alat lainnya terlalu sering. Penyebabnya adalah:

1. Penggunaan gaya yang sangat berlebihan selama gerakan normal.

2. Gerakan sendi yang kaku yaitu tidak pada posisi normal

3. Perulangan gerkan yang sama secara terus menerus

4. Kurangnya istirahat yang cukup untuk memulihkan trauma sendi.

4.2.4 Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

Rapid Upper Limb Assissment (REBA) dikembangkan oleh Dr.Lynn Mc Atamney dan Dr. Nigel Corlett yang merupakan ergonom dari universitas di Nottingham (University of Nottingham’s Institute of Osecupational Ergonomics). Pertama kali dijelaskan dalam bentuk jurnal aplikasi ergonomi pada tahun 1993. RULA adalah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi yang menginvestigasi dan menilai posisi kerja yang dilakukan oleh tubuh bagian atas. Metode ini tidak membutuhkan piranti khusus dalam memberikan penilaian dalam postur leher, punggung dan tubuh bagian atas. Sejalan dengan fungsi otot dan beban eksternal yang ditopang oleh tubuh. Teknologi ergonomic tersebut mengevaluasi postur, kekuatan dan aktivitas otot yang menimbulkan cedera akibat aktivitas berulang. RULA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin.

4.2.5 Perkembangan RULA

RULA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa memerluka biaya peralatan tambahan. Pengembangan RULA terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengembangan untuk perekaman atau pencatatan postur kerja, tahap kedua adalah pengembangan system penskoran dan tahap yang ketiga adalah pengambangan skala level tindakan yang memberikan suatu panduan terhadap suatu level resiko dan kebutuhan akan tindakan untuk melakukan pengukuran yang lebih terperinci. Adapun tujuan dari dikembangkannya metode RULA ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan suatu metode pemeriksaan populasi pekerja secara cepat, terutama pemeriksaan paparan (exposure) terhadap resiko gangguan bagian tubuh atas yang disebabkan karena bekerja.

2. Menentukan penilaian gerakan-gerakan otot yang dikaitkan dengan postur kerja, mengeluarkan tenaga, dan melakukan kerja statis dan repetitive yang mengakibatkan kelelahan otot.

3. Memberikan hasil yang dapat digunakan pada pemeriksaan atau pengukuran ergonomi yang mencakup faktor-faktor fisik, mental, lingkungan dan faktor organisional dan khususnya mencegah terjadi gangguan pada tubuh bagian atas akibat kerja.

Penilaian menggunakan metode ini adalah metode yang telah dilakukan oleh McAtamey dan Corlett (1993). Tahapan-tahapan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan metode untuk pencatatan postur bekerja

Tubuh dibagi menjadi dua bagian yang membentuk dua kelompok, yaitu grup A dan B.

Grup A: lengan atas dan lengan bawah serta pergelangan tangan. Grup B: leher, badan dan kaki.

Pembagian tersebut memastikan bahwa seluruh postur tubuh dicatat sehingga postur kaki, badan dan leher yang terbatas yang mungkin mempengaruhi postur tubuh bagian atas dapat masuk dalam pemeriksaan. sistem penskoran pada setiap postur bagian tubuh ini menghasilkan urutan anngka yang logis dan mudah untuk diingat. Agar memudahkan identifikasi kisaran postur dari setiap gambar bagian tubuh disajikan dalam bidang sagital. Pengukuran dimulai dengan pengamati operator selama beberapa siklus kerja untuk menentukan tugas dan postur pengukuran. Skor-skor yang terdapat dalam metode RULA adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Skor Pergerakan Lengan Atas

Ganbar 4.1 Range Pergerakan Lengan Atas (a) postur alamiah (b) postur extention dan fexion (c) postur lengan atas fexion.

Table 4.2 Skor Pergerakan Lengan Bawah

Ganbar 4.2 Range Pergerakan Lengan Bawah

Tabel 4.3 Skor Pergerakan Pergelangan Tangan

Gambar 4.3 Range Pergerakan Pergelangan Tangan

Ganbar 4.4 Standar RULA Putaran Pergelelangan Tangan

Tabel 4.4 Skor Rentang Postur untuk Leher

Gambar 4.5 Range Pergerakan Leher

Gambar 4.6 Range Pergerakan Leher yang Diputar dan Dibengkokkan

Table 4.5 Skor Pergerakan untuk Punggung

Gambar 4.7 Range Pergerakan Punggung

Gambar 4.8 Range Pergerakan Punggung yang Diputar atau Dibelokkan

Gambar 4.9 Range Pergerakan Kaki

2. Perkembangan sistem untuk pengelompokan skor postur bagian tubuh

Rekaman video yang dihasilkan dari postur kelompok A dan B diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur. Kemudian skor tersebut dimasukkan dalam tabel A untuk memperoleh skor A dan tabel B untuk memperoleh skor B

Tabel 4.6 Skor Postur Kelompok A

Table 4.7 Skor Postur Kelompok B

Sistem penskoran dilanjutkan dengan melibatkan otot dan tenaga yang digunakan.

Skor untuk penggunaan otot: +1 jika postur statis (dipertahankan dalam waktu 1 menit) atau penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit.

Skor untuk penggunaan tenaga (beban), yaitu sbb:

0 jika pembebanan sesekali atau tenaga kurang dari 20 Kg dan ditahan.

1 jika beban sesekali 20 – 10 Kg.

2 jika beban 2 – 10 Kg bersifat statis atau berulang-ulang.

2 jika beban sesekali namun lebih dari 10 Kg.

3 jika beban (tenaga) lebih dari 10 Kg dialami secara statis

atau berulang.

4 jika pembebanan seberapapun besarnya dialami dengan sentakan cepat. Skor penggunaan otot dan skor tenaga pada kelompok tubuh bagian A dan B diukur dan dicatat dalam kotak-kotak yang tersedia kemudian ditambahkan dengan skor yang berasal dari table A dan B, yaitu: Skor A + skor penggunaan otot + skor tenaga = skor C Skor B + skor penggunaan otot + skor tenaga = skor D Atau secara bagan dapat disajikan sebagai berikut:

Gambar 4.10 Bagan Penilaian RULA

3. Pengembangan Grand Skor dan Daftar Tindakan

Setiap kombinasi skor C dan D diberikan rating yang disebut grand skor, yang nilainya 1 sampai 7. Nilai grand skor diperoleh dari tabel berikut.

Tabel 4.8 Tabel Grand skor

Setelah diperoleh grand skor, yang bernilai 1 hingga 7 menunjukkan level tindakan (action level) sebagai berikut:

Action level 1

Suatu skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur ini bias diterima jika tidak dipertahankan atau tidak berulang dalam periode yang lama.

Action level 2

Skor 3 atau 4 yang menunjukkan bahwa diperlukan pemeriksaan lanjutan dan juga diperlukan perubahan- perubahan.

Action level 3

Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa pemeriksaan dan perubahan perlu segera dilakukan.

Action level 4

Skor 7 menunjukkan bahwa kondisi ini berbahaya maka pemeriksaan dan perubahan diperlukan dengan segera (saat itu juga).

4.2.6 Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang

dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi oleh faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (McAtamney, 2000).

Penilaian menggunakan metode REBA yang telah dilakukan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn McAtamney melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap 1 : Pengambilan data postur pekerja berupa video atau

foto.

Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.

Tahap 2 : Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja.

Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan besar sudut dari masing-masing segmen tubuh yang meliputi punggung (batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. Pada metode REBA segmen-segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing-masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing-masing tabel.

Table 4.9 Skor Pergerakan Punggung

Gambar 4.11 Pergerakan Punggung Tabel 4.10 Skor Pergerakan Leher

Gambar 4.12 Pergerakan Leher

Tabel 4.11 Skor Pergerakan Kaki

Gambar 4.13 Pergerakan Kaki Tabel 4.12 Skor Pergerakan Lengan Atas

Gambar 4.14 Pergerakan Lengan Atas

Tabel 4.13 Skor Pergerakan Lengan Bawah

Gambar 4.15 Pergerakan Lengan Bawah Tabel 4.14 Skor Pergerakan Pergelangan Tangan

Gambar 4.16 Pergerakan Pergelangan Tangan

Kita dapat mengetahui skor A dengan melihat tabel A dengan skor punggung, leher, dan kaki. Dan tabel B untuk lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan untuk mengetahui skor

B.

Tahap 3 : Penentuan berat benda yang diangkat, coupling dan aktivitas

pekerja.

Faktor lain yang perlu disertakan adalah berat beban yang diangkat, coupling dan aktivitas pekerjanya. Masing-masing faktor tersebut juga mempunya kategori skor.

Table 4.15 Skor A REBA dan Skor Beban

Table 4.16 Tabel skor B REBA dan Skor Coupling

Table 4,17 Skor C REBA dan Activity Score

Tahap 4 : Perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan.

Setelah didapatkan skor dari tabel A kemudian dijumlahkan dengan skor untuk berat beban yang diangkat sehingga didapatkan nilai bagian A. Sementara skor dari tabel B dijumlahkan dengan skor dari tabel coupling sehingga didapatkan nilai bagian B. Dari nilai bagian A dan bagian B dapat digunakan untuk mencari nilai bagian C dari tabel C yang ada.

Nilai REBA didapatkan dari hasil penjumlahan nilai bagian C dengan nilai aktivitas pekerja. Dari nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko pada muscolusceletal dan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengurangi resiko serta perbaikan kerja. Untuk lebih jelasnya, alur cara kerja dengan menggunakan metode REBA.

Gambar 4.17 Langkah-Langkah Perhitungan Metode REBA

Table 4.18 Level Resiko dan Tindakan

Dari tabel resiko di atas dapat diketahui dengan nilai REBA yang didapatkan dari hasil perhitungan sebelumnya dapat diketahui level resiko yang terjadi dan perlu atau tidaknya tindakan dilakukan untuk perbaikan. Perbaikan kerja yang mungkin dilakukan antara lain berupa perancangan ulang peralatan kerja berdasarkan prinsip- prinsip ergonomi.

4.2.7 Anthropometri

Tahapan perancangan sistem kerja menyangkut work space design memperhatikan faktor anthropometri secara umum adalah sebagai berikut (Roebuck, 1995):

1. Pemilihan sampel yang akan diambil datanya

2. Penentuan kebutuhan data (dimensidimensi system kerja yang akan dirancang)

3. Penentuan sumber data (dimensi tubuh yang akan diambil) dan pemilihan persentil yang akan dipakai

4. Penyiapan alat ukur anthropometri

5. Pengambilan data

6. Pengolahan data dengan :

a. Uji kenormalan data Uji kenormalan data dapat dilakukan dengan bantuan software SPSS (non parametrik test)

b. Uji keseragaman data Dengan menggunakan formula matematis sebagai berikut : b. Uji keseragaman data Dengan menggunakan formula matematis sebagai berikut :

d. Perhitungan persentil data (Persentil kecil, rata-rata, dan besar)

e. Visualisasi rancangan, dengan memperhatikan posisi tubuh secara normal, kelonggaran (pakaian dan ruang), variasi gerak dan analisis hasil rancangan

4.3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

4.3.1. Pengumpulan Data

Dari hasil observasi langsung yang telah dilakukan didapatkan beberapa data sebagai berikut :

1. Data diagnosa karyawan PT. Dua Kelinci Berikut ini adalah data diagnosa karyawan yang berhubungan

dengan efek dari kesalahan postur kerja yang dialami.

Tabel 4.19. Diagnosa Karyawan PT. Dua Kelinci

Mei Juni Juli Parestesi

Keluhan Januari Februari Maret

April

20 25 31 9 12 10 12 (kesemutan)

Neuralgia

41 25 34 47 54 45 43 (pegal)

Arthritis, Myalgia,

2. Data keluhan pekerja Berikut ini adalah data keluhan dari para pekerja sortir ose yang

diperoleh dari hasil wawancara :

Tabel 4.20. Data Keluhan Pekerja Sortir Ose

lama

PEKERJA Umur Keluhan pegal-pegal tempo

kerja

A 40 11 punggung dan tangan

Jarang

B 31 11 punggung dan kaki

Sering

C 34 11 punggung dan kaki

Sering

D 33 7 punggung dan kaki

Sering

E 25 10 punggung, pundak dan kaki Sering

F 35 11 punggung, pundak dan kaki Sering

G 33 11 punggung dan kaki

Sering

H 45 10 Pundak

Kadang

I 36 10 Pundak

Jarang

33 12 punggung dan kaki

Jarang

37 10 punggung, pusing dan kaki Sering

32 10 punggung dan kaki

Jarang

28 5 punggung, pundak dan kaki Sering

34 10 punggung, pundak dan kaki Sering

44 13 Pundak

Sering

37 12 punggung dan kaki

44 17 punggung, pundak dan pusing Sering

45 12 punggung dan kaki bagian tungkak Sering

3. Foto postur kerja Berikut ini adalah gambar postur kerja dari karyawan yang

bekerja di bagian sortir ose.

(a) (b) (c)

Gambar 4.18. Postur Kerja Karyawan Sortir Ose. (a) postur kerja 1, (b) postur kerja 2, (c) postur kerja 3

4. Pengukuran sudut

Gambar 4.19. Titik-Titik Pembentuk Sudut Tabel 4.21. Titik Pembentuk Sudut

Postur

Titik pembentuk

Lengan atas

G-C-E

Lengan bawah

H-G-I

Pergelangan

J-I-K

Gambar 4.20. Postur Kerja 1

Gambar 4.21. Postur Kerja 2

Gambar 4.22. Postur Kerja 3 Tabel 4.22. Data Besar Sudut yang Terbentuk

Sudut Postur kerja 1 Postur kerja 2 Postur kerja 3

0 0 Lengan atas 0 55 16 36 Lengan bawah

0 0 Pergelangan 0 14 4 35

5. Data ukuran stasiun kerja Stasiun kerja pada bagian sortir ose adalah sebuah meja yang

yang di lengkapi lampu dan bagian seperti corong untuk memisahkan ose yang baik.

Gambar 4.23. Meja Sortir Awal Tampak Depan

Gambar 4.24. Meja Sortir Awal Tampak Samping

Gambar 4.25. Kursi Sortir Awal Tampak Samping

6. Data dimensi tubuh Dari hasil pengukuran yang dilakukan didapatkan hasil pengukuran dimensi tubuh sebagai berikut ;

Tabel 4.23. Data Ukuran Dimensi Pekerja Bagian Sortir Ose

PEKERJA

Tsd

pkl

Tlb

A 28 45 50

B 20 48 45

C 24 52 48

D 24 55 53

E 26 54 51

F 23 50 48

G 28 49 48

H 26 45 45

I 23 49 46

Keterangan : Tsd : tinggi siku duduk

Pkl : pantat ke lutut Tlb : tinggi lutut berdiri

4.3.2. Pengolahan Data

A. Postur Kerja Awalan

Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan besar sudut dari masing-masing segmen tubuh yang meliputi punggung, leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki.

a. Postur Kerja 1

1. Perhitungan Skor RULA Tabel 4.24. Perhitungan RULA Postur Kerja 1

Grand score

lengan atas 0 55 3+1 lengan bawah 0 68 1+1

Leher 0 2 1 Punggung 0 22 3

Kaki Tidak Tertopang

2. Perhitungan Skor REBA Tabel 4.25. Perhitungan REBA Postur Kerja 1

Postur Sudut

Skor

skor REBA

Kaki 101 (TT) 2+1

0 r o 6 lengan atas

sk

lengan bawah

actiity score 1 actiity score 1

1. Perhitungan Skor RULA Tabel 4.26. Perhitungan RULA Postur Kerja 2

grand score

lengan atas 0 16 1 lengan bawah 0 87 1+1

Menengah putaran

leher 0 14 2 Punggung 0 9 2 3

Kaki Tidak Tertopang

2. Perhitungan Skor REBA Tabel 4.27. Perhitungan REBA Postur Kerja 2

Postur Sudut

Skor

skor REBA

4 lengan atas

16 1 sk 5

lengan bawah

actiity score 1 actiity score 1

1. Perhitungan Skor RULA

Tabel 4.28. Perhitungan RULA Postur Kerja 3

Postur Sudut

Skor

grand score

lengan atas 0 36 2 lengan bawah 0 84 1+1 0 4

Leher 0 36 3 Punggung 0 15 2 3

Kaki Tertopang

2. Perhitungan Skor REBA

Tabel 4.29. Perhitungan REBA Postur Kerja 3

postur Sudut

Skor

skor REBA

0 C lengan atas

84 1 b bawah B sk o r

actiity score 1

B. Usulan

Setelah dilakukan perhitungan REBA dan RULA pada ketiga postur kerja tersebut, ternyata diketahui bahwa postur kerja karyawan perlu untuk diperbaiki. Karena dengan posisi awalan tadi dapat dikatakan mempunyai resiko yang tinggi. Lingkungan stasiun kerja yang tidak nyaman membuat karyawan mudah merasa lelah dalam bekerja. Pada stasiun sortir ose ini, meja dan kursi yang digunakan terlalu rendah sehingga menjadi postur kerja yang terbentuk dari stasiun tersebut tidak ergonomis. Oleh karena itu, perlu diusulkan agar lingkungan kerja khususnya meja dan kursi bagian sortir ose didesain ulang agar sesuai dengan dimensi pekerja dan lebih ergonomis. Nantinya dengan cara ini dapat mengurangi resiko para karyawan.

Untuk merancang stasiun kerja yang baru, maka digunakan perhitungan ukuran dimensi tubuh dengan metode Anthropometri agar mendapatkan ukuran stasiun kerja yang sesuai dengan ukuran karyawan sortir ose. Data ukuran dimensi tubuh karyawan harus dilakukan uji normalitas, keseragaman dan kecukupan data terlebih dahulu. Dari hasil pengolahan dengan menggunakan SPSS, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

a. Tinggi siku duduk

Tabel 4.30. Uji Normalitas Tinggi Siku Duduk

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk

df Sig. tsd

Statistic

df Sig.

Statistic

19 .440 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nialai signifikasi dimensi tinggi siku duduk dengan metode kolmogorov- smimov adalah 0.2 dan dengan metode shapiro-wilk adalah 0.44

b. Pantat ke lutut

Tabel 4.31. Uji Normalitas Pantat Ke Lutut

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic

Df Sig. pkl

df Sig.

Statistic

19 .192 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nialai signifikasi dimensi tinggi siku duduk dengan metode kolmogorov- smimov adalah 0.2 dan dengan metode shapiro-wilk adalah 0.129

c. Tinggi lutut berdiri

Tabel 4.32. Uji Normalitas Tinggi Lutut Berdiri

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk

df Sig. tlb

Statistic

df Sig.

Statistic

19 .403 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nialai signifikasi dimensi tinggi siku duduk dengan metode kolmogorov- Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nialai signifikasi dimensi tinggi siku duduk dengan metode kolmogorov-

Untuk menganalisis hasil SPSS diatas maka digunakan hipotesis sebagai berikut : H0 : data berdistribusi normal H1 : data tidak berdistribusi normal

Dengan ketentuan penarikan kesimpulan jika nilai signifikasi >

0.05 maka H0 diterima. Sedangkan jika nilai signifikasi < 0.05 maka H1 diterima.

Setelah dilakukan uji normalitas pada data dimensi tubuh karyawan sortir ose, selanjutnya dilakukan uji keseragaman data dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

a. Tinggi siku duduk

= = 2.38 cm = 24.42 cm

BKA = 24.42 + 2(2.38) = 29.18 cm BKB = 24.42 – 2(2.38) = 19.66 cm

Gambar 4.26. Grafik Keseragaman Data Tinggi Siku Duduk

b. Pantat ke lutut

= = 3.52 cm = 49.47 cm

BKA = 49.47 + 2(3.52) = 56.51 cm BKB = 49.47 – 2(3.52) = 42.43 cm

Gambar 4.27. Grafik Keseragaman Data Pantat Ke Lutut Gambar 4.27. Grafik Keseragaman Data Pantat Ke Lutut

= = 2.89 cm = 47.84 cm

BKA = 47.84 + 2(2.89) = 53.62 cm BKB = 47.84 – 2(2.89) = 42.06 cm

Gambar 4.28. Grafik Keseragaman Data Tinggi Lutut Berdiri

Setelah dilakukan uji keseragaman data seperti diatas, langkah selanjutnya adalah menguji kecukupan data ukuran dimensi tubuh yang telah diambil. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data ukuran dimensi tubuh yang diambil sudah cukup mewakili data yang dibutuhkan dalam perhitungan Antrophometri. Jumlah data minimal yang harus diambil dalam uji kecukupan data dapat dicari dengan menggunakan rumusan sebagai berikut:

N’ = N’ =

b. Pantat ke lutut N’ =

N ' =  0.05 

= 7.66 = 8 pengamatan

c. Tinggi lutut berdiri N’ =

N ' 0.05 = 

= 5.54 = 6 pengamatan

Setelah di lakukan uji normalitas, keseragaman data dan uji kecukupan data langkah selanjutnya adalah perhitungan persentil. Perhitungan persentil ini digunakan untuk menentukan ukuran benda yang akan dirancang berdasarkan data dimendi dari pekerja yang bekerja bagian sortir ose di PT. Dua Kelinci.

Untuk menghitung persentil 95, 50 dan 5 digunakan rumus sebagai berikut :

P 95 = + 1.645 σ P 50 =

P 5 = - 1.645 σ

a. Tinggi siku duduk P 95 = 24.42 + 1.645(2.38) = 28.33 cm P 50 = 24.42 cm P 5 = 24.42 - 1.645(2.38) = 20.5 cm

b. Pantat ke lutut P 95 = 49.47 + 1.645(3.52) = 55.26 cm

P 50 = 7.57 cm P 5 = 49.47 - 1.645(3.52) = 43.68 cm

c. Tinggi lutut berdiri P 95 = 47.84 + 1.645(2.89) = 52.59 cm

P 50 = 7.57 cm P 5 = 47.84 - 1.645(2.89) = 43.09 cm

Gambar 4.29. Usulan Meja Sortir Ose Tampak Depan

60 cm

74 cm

Gambar 4.30. Usulan Meja Sortir Ose Tampak Samping

Gambar 4.31. Usulan Kursi Sortir Ose Tampak Samping

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1. RULA

5.1.1. Postur Kerja 1

a. Group A

1) Lengan atas Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan atas yang

terbentuk adalah 55 0 dan bobot lengan di topang. Oleh karena itu dapat diketahui skornya adalah 3 (flexion) dan ada

penambahan skor 1, sehingga skornya menjadi 4.

2) Lengan bawah Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan bawah yang

terbentuk adalah 68 0 . Maka skornya adalah 1 (flexion) dan terjadi penambahan skor 1 karena lengan bekerja melintasi

garis tengah badan. Sehingga skornya menjadi 2.

3) Pergelangan tangan Berdasarkan pengolahan data, sudut pergelangan tangan yang

terbentuk adalah 14 0 memiliki skor 2 (flexion) dan ada penambahan skor 1 karena pergelangan tangan berada pada

deviasi radial maupun ulnar. Sehingga skornya adalah 3.

4) Perputaran Dalam data pengamatan terlihat bahwa pergelangan tangan berada pada rentang menengah putaran, sehingga memiliki skor sebesar 1.

b. Group B

1) Sudut punggung Berdasarkan pengolahan data, sudut punggung yang

terbentuk adalah 22 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 3 (flexion).

2) Sudut leher Berdasarkan pengolahan data, sudut leher yang terbentuk

adalah 2 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 1 (flexion).

3) Kaki Berdasarkan data yang diambil, terlihat bahwa kedua kaki tidak tertopang dengan bobot bebannya tidak tersebar merata. Oleh karena itu skor untuk kaki yaitu 2.

Setelah didapatkan skor masing-masing sudut pergerakan, untuk skor group A didapatkan hasil sebesar 4 berdasarkan tabel skor A kemudian dijumlahkan dengan skor otot 1 karena penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit serta ditambah dengan skor tenaga sebesar 0 sehingga didapatkan skor C sebesar 5. Sementara skor dari group B didapatkan hasil sebesar 4 berdasarkan tabel skor B kemudian dijumlahkan dengan skor otot 1 karena penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit serta ditambah dengan skor tenaga sebesar 0 sehingga didapatkan skor D sebesar 5. Berdasarkan skor C dan D yang telah diperoleh maka didapatkan grand score RULA sebesar 6. Dan dapat diambil kesimpulan bahwa postur pekerja tersebut mempunyai action level 3 yang menunjukkan bahwa pemeriksaan dan perubahan perlu segera dilakukan.

5.1.2. Postur Kerja 2

a. Group A

1) Lengan atas Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan atas yang

terbentuk adalah 16 0 . Oleh karena itu dapat diketahui skornya adalah 1 (flexion) dan tidak ada penambahan skor.

2) Lengan bawah Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan bawah yang

terbentuk adalah 87 0 . Maka skornya adalah 1 (flexion) dan terjadi penambahan skor 1 karena lengan bekerja melintasi

garis tengah badan. Sehingga skornya menjadi 2.

3) Pergelangan tangan Berdasarkan pengolahan data, sudut pergelangan tangan yang

terbentuk adalah 4 0 memiliki skor 2 (flexion) dan ada penambahan skor 1 karena pergelangan tangan berada pada

deviasi radial maupun ulnar. Sehingga skornya adalah 3.

4) Perputaran Dalam data pengamatan terlihat bahwa pergelangan tangan berada pada rentang menengah putaran, sehingga memiliki skor sebesar 1.

b. Group B

1) Sudut punggung Berdasarkan pengolahan data, sudut punggung yang

terbentuk adalah 9 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 2 (flexion).

2) Sudut leher Berdasarkan pengolahan data, sudut leher yang terbentuk

adalah 14 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 2 (flexion).

3) Kaki Berdasarkan data yang diambil, terlihat bahwa kedua kaki tidak tertopang dengan bobot bebannya tidak tersebar merata. Oleh karena itu skor untuk kaki yaitu 2.

Setelah didapatkan skor masing-masing sudut pergerakan, untuk skor group A didapatkan hasil sebesar 3 berdasarkan tabel skor A kemudian dijumlahkan dengan skor otot 1 karena penggunaan postur Setelah didapatkan skor masing-masing sudut pergerakan, untuk skor group A didapatkan hasil sebesar 3 berdasarkan tabel skor A kemudian dijumlahkan dengan skor otot 1 karena penggunaan postur

5.1.3. Postur kerja 3

a. Group A

1) Lengan atas Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan atas yang

terbentuk adalah 36 0 . Oleh karena itu dapat diketahui skornya adalah 2 (flexion) dan tidak ada penambahan skor.

2) Lengan bawah Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan bawah yang

terbentuk adalah 84 0 . Maka skornya adalah 1 (flexion) dan terjadi penambahan skor 1 karena lengan bekerja melintasi

garis tengah badan. Sehingga skornya menjadi 2.

3) Pergelangan tangan Berdasarkan pengolahan data, sudut pergelangan tangan yang

terbentuk adalah 35 0 memiliki skor 3(flexion) dan ada penambahan skor 1 karena pergelangan tangan berada pada

deviasi radial maupun ulnar. Sehingga skornya adalah 4.

4) Perputaran Dalam data pengamatan terlihat bahwa pergelangan tangan berada pada rentang menengah putaran, sehingga memiliki skor sebesar 1.

b. Group B

1) Sudut punggung Berdasarkan pengolahan data menggunakan autocad, sudut

punggung yang terbentuk adalah 36 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 3 (flexion).

2) Sudut leher Berdasarkan pengolahan data, sudut leher yang terbentuk

adalah 15 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 2 (flexion).

3) Kaki Berdasarkan data yang diambil, terlihat bahwa kedua kaki tertopang dengan bobot bebannya tersebar merata. Oleh karena itu skor untuk kaki yaitu 1.

Setelah didapatkan skor masing-masing sudut pergerakan, untuk skor group A didapatkan hasil sebesar 4 berdasarkan tabel skor A kemudian dijumlahkan dengan skor otot 1 karena penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit serta ditambah dengan skor tenaga sebesar 0 sehingga didapatkan skor C sebesar 5. Sementara skor dari group B didapatkan hasil sebesar 3 berdasarkan tabel skor B kemudian dijumlahkan dengan skor otot 1 karena penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit serta ditambah dengan skor tenaga sebesar 0 sehingga didapatkan skor D sebesar 4.

Berdasarkan skor C dan D yang telah diperoleh maka didapatkan grand score RULA sebesar 5. Dan dapat diambil kesimpulan bahwa Berdasarkan skor C dan D yang telah diperoleh maka didapatkan grand score RULA sebesar 5. Dan dapat diambil kesimpulan bahwa

5.2. REBA

5.2.1. Postur Kerja 1

a. Group A

1) Sudut punggung Berdasarkan pengolahan yang telah dilakukan, sudut

punggung yang terbentuk adalah 22 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 3 (flexion) dan tidak ada penambahan

skor.

2) Sudut leher Berdasarkan pengolahan data, sudut leher yang terbentuk

adalah 2 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 1 (flexion) dan tidak ada penambahan skor.

3) Kaki Berdasarkan data yang diambil, terlihat bahwa kaki pekerja

membentuk sudut sebesar 101 0 dan kedua kaki tidak tertopang dengan bobot bebannya tidak tersebar merata. Oleh

karena itu skor untuk kaki yaitu 2 dan ditanmbah 1 sehingga menjadi 3.

b. Group B

1) Lengan atas Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan atas yang

terbentuk adalah 55 0 dan bobot lengan di topang. Oleh karena itu dapat diketahui skornya adalah 3 (flexion) dan ada

penambahan skor 1, sehingga skornya menjadi 4.

2) Lengan bawah Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan bawah yang

terbentuk adalah 68 0 . Maka skornya adalah 1 (flexion).

3) Pergelangan tangan Berdasarkan pengolahan data, sudut pergelangan tangan yang

terbentuk adalah 14 0 memiliki skor 1 (flexion) dan ada penambahan skor 1 karena pergelangan tangan menyimpang

atau berputar. Sehingga skornya adalah 2. Setelah didapatkan skor segmen masing-masing group, didapatkan

skor tabel A sebesar 5 kemudian dijumlahkan dengan skor untuk berat beban sebesar 0 karena tidak ada beban yang diangkat atau kurang dari 5 kg, sehingga didapatkan skor A sebesar 5. Sementara skor dari tabel B adalah sebesar 5 lalu dijumlahkan dengan skor coupling sebesar 0 karena pegangannya baik, sehingga didapatkan skor B sebesar 5. Dari skor A dan B dapat digunakan untuk mencari skor C dari tabel yaitu sebesar 6.

skor REBA didapatkan dari hasil penjumlahan skor C dengan nilai aktivitas pekerja yaitu sebesar 1, sehingga didapatkan skor akhir sebesar 7 yang menyatakan bahwa pekerja tersebut mempunyai level resiko sedang dan perlu diadakan perbaikan.

5.2.2. Postur Kerja 2

a. Group A

1) Sudut punggung Berdasarkan pengolahan data menggunakan autocad dan

perhitungan, sudut punggung yang terbentuk adalah 9 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 2 (flexion) dan tidak

ada penambahan skor.

2) Sudut leher Berdasarkan pengolahan data, sudut leher yang terbentuk

adalah 14 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 1 (flexion) dan tidak ada penambahan skor.

3) Kaki Berdasarkan data yang diambil, terlihat bahwa kaki pekerja

membentuk sudut sebesar 54 0 dan kedua kaki tidak tertopang dengan bobot bebannya tidak tersebar merata. Oleh karena

itu skor untuk kaki yaitu 2 dan ditanmbah 1 sehingga skornya menjadi 3.

b. Group B

1) Lengan atas Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan atas yang

terbentuk adalah 16 0 dan bobot lengan di topang. Oleh karena itu dapat diketahui skornya adalah 1 (flexion).

2) Lengan bawah Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan bawah yang

terbentuk adalah 87 0 . Maka skornya adalah 1 (flexion).

3) Pergelangan tangan Berdasarkan pengolahan data, sudut pergelangan tangan yang

terbentuk adalah 4 0 memiliki skor 1 (flexion) dan ada penambahan skor 1 karena pergelangan tangan menyimpang

atau berputar. Sehingga skornya adalah 1. Setelah didapatkan skor segmen masing-masing group, didapatkan

skor tabel A sebesar 4 kemudian dijumlahkan dengan skor untuk berat beban sebesar 0 karena tidak ada beban yang diangkat atau kurang dari 5 kg, sehingga didapatkan skor A sebesar 4. Sementara skor dari tabel B adalah sebesar 2 lalu dijumlahkan dengan skor coupling sebesar 0 karena pegangannya baik, sehingga didapatkan skor B sebesar 2. Dari skor A dan B dapat digunakan untuk mencari skor C dari tabel yaitu sebesar 4.

skor REBA didapatkan dari hasil penjumlahan skor C dengan nilai aktivitas pekerja yaitu sebesar 1, sehingga didapatkan skor akhir skor REBA didapatkan dari hasil penjumlahan skor C dengan nilai aktivitas pekerja yaitu sebesar 1, sehingga didapatkan skor akhir

5.2.3. Postur Kerja 3

a. Group A

1) Sudut punggung Berdasarkan pengolahan data, sudut punggung yang

terbentuk adalah 15 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 2 (flexion) dan tidak ada penambahan skor.

2) Sudut leher Berdasarkan pengolahan data, sudut leher yang terbentuk

adalah 11 0 . Oleh karena itu dapat diketahui bahwa skor 1 (flexion) dan tidak ada penambahan skor.

3) Kaki Berdasarkan data yang diambil, terlihat bahwa kaki pekerja

membentuk sudut sebesar 83 0 dan kedua kaki tertopang dengan bobot bebannya tersebar merata. Oleh karena itu skor

untuk kaki yaitu 1 dan ditambah 1 sehingga menjadi 2.

b. Group B

1) Lengan atas Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan atas yang

terbentuk adalah 36 0 . Oleh karena itu dapat diketahui skornya adalah 2 (flexion) dan tidak ada penambahan skor.

2) Lengan bawah Berdasarkan pengolahan data, sudut lengan bawah yang

terbentuk adalah 84 0 . Maka skornya adalah 1 (flexion).

3) Pergelangan tangan Berdasarkan pengolahan data, sudut pergelangan tangan yang

terbentuk adalah 35 0 memiliki skor 2 (flexion) dan ada terbentuk adalah 35 0 memiliki skor 2 (flexion) dan ada

Setelah didapatkan skor segmen masing-masing group, didapatkan skor tabel A sebesar 3 kemudian dijumlahkan dengan skor untuk berat beban sebesar 0 karena tidak ada beban yang diangkat atau kurang dari 5 kg, sehingga didapatkan skor A sebesar 3. Sementara skor dari tabel B adalah sebesar 3 lalu dijumlahkan dengan skor coupling sebesar 0 karena pegangannya baik, sehingga didapatkan skor B sebesar 3. Dari skor A dan B dapat digunakan untuk mencari skor C dari tabel yaitu sebesar 3.

skor REBA didapatkan dari hasil penjumlahan skor C dengan nilai aktivitas pekerja yaitu sebesar 1, sehingga didapatkan skor akhir sebesar 4 yang menyatakan bahwa pekerja tersebut mempunyai level resiko sedang dan perlu diadakan perbaikan.

5.3. Analisis Postur Kerja

5.3.1. RULA Setelah menentukan masing-masing grand score untuk ketiga postur kerja karyawan sortir ose dapat dilihat bahwa postur kedua lebih baik dari pada dua postur tubuh lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai grand score dan level resiko yang dimiliki paling kecil yaitu skor sebesar 4 yang berada dilevel 2. Postur kerja 2 memiliki besar sudut punggung yang paling kecil, karena punggung pekerja pada postur 2 tersebut lebih tegak dari pada yang lainnya sehingga mempengaruhi nilai akhir grand score menjadi lebih kecil. Selain itu postur kerja tersebut juga mempunyai sudut lengan atas dan pergelangan paling kecil dari pada postur kerja lainnya yaitu sebesar

0 16 0 dan 4 . Dan postur kerja yang paling buruk adalah postur kerja 1 karena berada dilevel resiko 3 dan memiliki grand score sebesar 6.

5.3.2. REBA Dari hasil analisis data dapat dilihat bahwa ketiga postur kerja karyawan sortir ose memiliki level resiko yang sama tetapi dengan skor REBA yang berbeda. Jika diurutkan dari posrut kerja yang baik ke yang buruk maka urutan postur kerjanya adalah postur kerja 3 lalu postur kerja 2 kemudian postur kerja 1 dengan masing-masing skor REBA yang dimiliki adalah 4, 5 dan 7. Semakin kecil skor REBA maka resiko yang dimiliki dari postur kerja yang terbentuk akan semakin kecil juga. Jadi, dari ketiga postur tersebut yang paling baik adalah postur kerja 3 karena terlihat kaki pekerja tertopang. Sedangkan postur kerja yang paling buruk adalah postur kerja 1 karena kaki pekerja tidak tertopang dan bobot lengan atas ditopang sehingga menyebabkan nilai skor REBA dari postur tersebut besar.

5.4. Usulan yang Disarankan

Setelah melakukan pengamatan dan dilanjutkan dengan pengolahan data serta analisis terhadap postur kerja karyawan bagian sortir ose PT Dua Kelinci, dapat dilihat bahwa postur kerja yang dimiliki tidak baik jika dibiarkan dalam waktu yang lama. Hal tersebut dikarenakan stasiun kerjanya sangat tidak ergonomis. Oleh karena itu, usulan yang dapat disarankan agar bisa mengurangi resiko kerja terhadap para karyawan khususnya bagian sortir ose adalah dengan mendesain ulang stasiun kerja yang lebih ergonomis. Desain stasiun kerja yang ada sekarang memiliki tinggi yang tidak sepadan dengan dimensi badan yang dimiliki karyawan atau bisa dikatakan terlalu rendah baik meja maupun kursi yang dipakai. Dan tambahan tempat memisahkan ose yang baik ke dalam ember sangat mengganggu dalam melakukan posisi duduk yang benar karena mengharuskan karyawan menekuk kaki ataupun membuka kakinya kesamping agar bisa melakukan pekerjaannnya. Melihat hal tersebut untuk usulan, meja dan kursi yang digunakan harus ditinggikan atau disesuaikan dengan dimensi para pekerja Setelah melakukan pengamatan dan dilanjutkan dengan pengolahan data serta analisis terhadap postur kerja karyawan bagian sortir ose PT Dua Kelinci, dapat dilihat bahwa postur kerja yang dimiliki tidak baik jika dibiarkan dalam waktu yang lama. Hal tersebut dikarenakan stasiun kerjanya sangat tidak ergonomis. Oleh karena itu, usulan yang dapat disarankan agar bisa mengurangi resiko kerja terhadap para karyawan khususnya bagian sortir ose adalah dengan mendesain ulang stasiun kerja yang lebih ergonomis. Desain stasiun kerja yang ada sekarang memiliki tinggi yang tidak sepadan dengan dimensi badan yang dimiliki karyawan atau bisa dikatakan terlalu rendah baik meja maupun kursi yang dipakai. Dan tambahan tempat memisahkan ose yang baik ke dalam ember sangat mengganggu dalam melakukan posisi duduk yang benar karena mengharuskan karyawan menekuk kaki ataupun membuka kakinya kesamping agar bisa melakukan pekerjaannnya. Melihat hal tersebut untuk usulan, meja dan kursi yang digunakan harus ditinggikan atau disesuaikan dengan dimensi para pekerja

Tabel 5.1. Data Ukuran Dimensi dengan Persentil 95, 50 dan 5.

Persentil 95 Perentil 50 Persentil 5 Tinggi siku duduk

28.33 24.42 20.5 Pantat ke lutut

55.26 49.47 43.68 Tinggi lutut berdiri

Perhitungan persentil 95 yang akan digunakan dalam perancangan meja dan kursi untuk stasiun kerja sortir ose. Persentil 95 berarti hanya 95% orang yang dapat menggunakan produk tersebut dengan aman dan nyaman, sedangkan yang 5% menyesuaikan. Sedangkan untuk persentil 50 berarti 50% orang yang dapat menggunakan produk tersebut dengan aman dan nyaman, dan 50% menyesuaikan. Dan untuk persentil 5 berarti hanya 5% orang yang dapat menggunakan produk tersebut dengan aman dan nyaman, sedangkan yang 95% menyesuaikan. Dari data diatas maka dapat dirancang sebuah stasiun kerja baru yaitu berupa meja dan kursi untuk pekerja sortir ose dengan rincian sebagai berikut :

a. Meja

Perubahan yang dilakukan pada stasiun kerja sortir ose khususnya meja adalah dengan mengubah tinggi meja menjadi 76 cm, yang didapatkan dari penjumlahan ukuran dimensi tinggi siku duduk persentil 50 dan tinggi lutut berdiri persentil 95 yang masing-masing sebesar 24 cm dan

52 cm. Selain itu desain yang diubah adalah tempat penampungan ose yang baik setelah dipisahkan dari yang cacat yang semula hanya berbentuk segitiga diubah menjadi seperti bentuk corong. Dengan jarak pangkal batang corong ke lantai adalah 52 cm mengikuti ukuran dimensi tinggi lutut berdiri persentil 95, lebar 8 cm, dan tebal sambungannya adalah 6 cm. Alasan pemakaianukuran dimensi tinggi lutut berdiri persentil 95 pada jarak pangkal batang corong ke lantai agar 95% pekerja pada stasiun sortir ose pada saat bekerja dapat duduk dengan nyaman tanpa gangguan pada lututnya seperti terbentur staasiun kerja. Sedangkan pemakaian ukuran dimensi tinggi siku duduk persentil 50 pada penambahan tinggi meja adalah agar sudut lengan bawah yang dihasilkan nantinya tidak terlalu kecil ataupun tidak terlalu besar yaitu

0 sekitar 60 0 - 100 yang mempunyai skor 1.

b. Kursi Untuk kursi yang digunakan mengalami perubahan pada tinggi kursi yang menyesuaikan dengan penambahan tinggi meja sortir. Perubahan tinggi kursi ini sesuai dengan ukuran dimensi tinggi lutut berdiri persentil 50 yaitu sebesar 47 cm dan lebar menyesuaikan. Alasan pemakaian ukuran dimensi tinggi lutut berdiri persentil 50 adalah agar kursi usulan ini tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah sehingga rata- rata nyaman digunakan oleh pekerja sortir ose.

BAB VI PENUTUP