KUNCI KEBERHASILAN PERJUANGAN ADD DI KEBUMEN

KUNCI KEBERHASILAN PERJUANGAN ADD DI KEBUMEN

Perjuangan ADD di Kebumen, merupakan proses belajar yang sangat berharga bagi daerah lain, terutama bagi masyarakat sipil yang ingin mendorong proses perubahan didaerahnya masing-masing. Ada beberapa kunci keberhasilan perjuangan masyarakat sipil dalam mengegolkan ADD di Kebumen yang dapat dijadikan bahan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:

1. Prakondisi yang cukup matang.

Salah satu kunci keberhasilan perjuangan ADD di Kebumen adalah, telah terjadinya proses pematangan gerakan yang cukup lama disana. Upaya perjuangan ADD yang dilakukan masyarakat sipil di Kebumen misalnya, sesungguhnya sudah dimulai pada tahun 1998, yaitu sejak bergeraknya para aktifis desa yang dimotori oleh Sujud dari Aliansi Rakyat Kebumen untuk Reformasi (ARKuR)

yang didukung oleh Hariyanto. 28 Meski agenda mereka belum fokus kepada ADD, Sujud dan Hariyanto mempunyai kontribusi yang sangat berharga dalam perjuangan ADD 29 . Melalui tuntutan

pemberantasan korupsi dan penyalah-gunaan kewenangan yang terjadi di Desa, Sujud membuat desa-desa yang ada di Kebumen bergeliat. Gerakan awal ini bahkan berhasil memaksa Bupati saat itu untuk memakzulkan sejumlah kepala desa dan perangkat desa yang diduga melakukan korupsi dan penyalah-gunaan wewenang. Meski akhirnya PTUN memenangkan gugutan para kepala desa yang dilengserkan dan menuntut agar Bupati mengembalikan posisi mereka, namun perjuangan Sujud, dkk telah membuat desa-desa di Kebumen yang ratusan jumlahnya itu, menjadi lebih dinamis.

28 Hariyanto saat itu adalah sekretaris fraksi PDIP. Belakangan karena manuver yang dilakukannya dinilai bertentangan dengan kebijakan Rustriningsih yang cenderung berhati-hati terhadap isu ADD dengan tidak segera

memberi persetujuan terhadap isu tersebut, pada periode 2004-2009 Hariyanto tidak lagi dicalonkan menjadi caleg bahkan bisa dibilang tersingkir dari PDIP.

29 Gerakan desa di Kebumen mulai muncul kepermukaan sejak tahun 1998, yaitu saat terjadinya gejolak didesa- desa yang menuntut agar pejabat-pejabat desa yang korup diturunkan. Meski gerakan tersebut belum

menyuarakan tuntutan tentang ADD dan lebih banyak focus kepada masalah pemberantasan korupsi di desa, namun aktifitas mereka dapat dikatakan sebagai tonggak awal sejarah perjuangan desa di Kebumen karena ikut berkontribusi membuat kondisi desa di Kebumen menjadi sangat dinamis.

Selain Sujud dan Hariyanto, aktor lain yang tak kalah penting dala

e a aska esi geraka perjuangan ADD di Kebumen adalah Amirudin Masdar, Carik desa dari Desa Tanjung Sari, Kecamatan Petanahan. Kenekatan Amirudin bersama para perangkat desa se-Kecamatan Petanahan dengan

mengatas-namakan nama Forum Komunikasi Perangkat Desa se-Kecamatan Petanahan, ke DPRD dan Pemkab, bisa dibilang merupakan tonggak awal perjuangan ADD.

2. Aktor Pemersatu

Kehadiran Misbah Sukmadi dan Imam Mustofa 30 yang mampu merangkul aktor-aktor kunci dalam perjuangan ADD (terutama Sujud dan Amir) untuk mau menyatukan diri dalam sebuah gerakan

bersama, merupakan kunci penting lain keberhasilan perjuangan ADD di Kebumen. Meski sementara pihak menduga bahwa Misbah dan Imam Musthofa melibatkan diri dalam perjuangan ADD karena

sakit hati aki at diti ggalka oleh Rustri setelah Sang Bupati merangkul lembaga konsultan terpercaya untuk membangun pencitraannya (Matari Corporation, pen), namun kemampuan

Misbah dan Imam Mustofa menggandeng banyak pihak untuk mendukung perjuangan ADD, termasuk yang saling berseberangan semisal Sujud dan Amirudin Masdar, tak dapat dinafikan.

Bahwa isu ADD sebelumnya bukan merupakan isu yang digeluti Misbah dan Iman, hal itu diakui oleh Misbah.

age da pe guata desa e a g uka erupaka concern Lembah Lokulo. Tapi pilihan itu kami kami ambil karena upaya membangun Kebumen secara konkrit memang harus dimulai dari Desa. Problem utama Kebumen adalah kemiskinan, dan itu adanya didesa. (Hasil Wawancara dengan Misbah Sukmadi pada 25 Agustus 2009, di Gombong)

Namun ia beralibi bahwa keterlibatannya di ADD dan berputar haluannya Lembah Lokulo, LSM yang dinakhodainya bersama Imam Mustofa dan Agus dari mendukung agenda Rustriningsih menjadi kebalikannya, merupakan hal yang wajar:

Lembah Lokulo memang pada awalnya didisain untuk memback-up Rustri ketika terpilih menjadi bupati. Tapi akhirnya kami kembali kejalur asasi (LSM, pen) sebagai kekuatan kritis bagi pembangunan Kebumen karena kami punya komitmen untuk memberi kontribusi dalam proses reformasi di Kebumen. Kalau lewat Rustri (internal Pemkab, pen) tidak bisa, maka pilihannya tidak ada lain kecuali mendorong perubahan dari luar, yaitu dengan menjadi kekuatan kritis. (Hasil Wawancara dengan Misbah Sukmadi pada 25 Agustus 2009, di Gombong)

Upaya Misbah dan Imam mendekati Sujud dan Amirudin tidaklah mudah. Pertentangan yang cukup tajam diantara keduanya merupakan salah satu perintang utama. Sadar akan kondisi yang tidak mudah, Misbah mengawali dengan mendekati Sujud karena ia sudah kenal baik Sujud. Terbukti Sujud menerima ajakan Misbah. Tapi ketika Misbah mengatakan bahwa ia juga berniat mengajak Amirudin, kontan Sujud menolak. Misbah kemudian mencoba menyakinkan Sujud bahwa Amirudin adalah orang yang tepat sebagai mitra dalam mengusung agenda perjuangan desa. Misbah

30 LSM Lembah Lokulo awalnya dibentuk untuk mendukung kepentingan Rustriningsih sesaat setelah Ia dikukuhkan sebagai Bupati.

berargumen bahwa sebagai perangkat desa yang pekerjaannya menangani administrasi desa, vested interest Amirudin dan perangkat desa yang ada dibelakangnya, lebih sedikit ketimbang vested interest para Kepala Desa. Selain itu sebagai tokoh muda, Amirudin dinilai lebih pro terhadap agenda reformasi dan relative lebih sedikit terlibat dengan dosa orde baru. Dengan logika seperti itu Sujud akhirnya setuju.

Setelah dicapai kesepakatan dengan Sujud, Misbah kemudian mencoba mendekati Amirudin. Sebagaimana halnya Sujud, Amirudin awalnya juga menolak. Tapi setelah dijelaskan bahwa mereka perlu besatu mengingat rintangan yang dihadapi tidaklah mudah, termasuk menjelaskan apa peran masing-masing dalam perjuangan tersebut, Amirudin akhirnya setuju. Adapun pembagian peran yang dimaksud adalah, Amirudin berperan untuk mengkonsolidasikan gerakan dikalangan perangkat desa dan kepala desa, Misbah tanggung-jawabnya sebagai konseptor untuk menyusun draft usulan untuk raperda perimbangan keuangan desa, sementara Sujud menjaga suhu gerakan perlawanan agar tetap panas.

3. Pelibatan Multipihak

Kunci keberhasilan lainnya adalah, adanya dukungan banyak pihak terhadap perjuangan ADD di Kebumen. Hal itu dimungkinkan dengan diselenggarakannya diskusi mengenai Perimbangan Keuangan Desa (itu istilah awal yang digunakan pada awalnya, menyesuaikan dengan istilah yang disebut di UU No. 22/1999), yang dimaksudkan sebagai media sharing gagasan seputar isu-isu untuk memajukan desa. Terus diperluasnya pihak-pihak yang terlibat didalam diskusi, menyebabkan dukungan terhadap gerakan terus bertambah. Diantara pihak-pihak yang secara terlibat alam kegiatan diskusi tersebut diantaranya adalah Amirudin Masdar, dkk (dari unsur Pemerintahan Desa), Sujud (dari unsur masyarakat desa), unsur BPD, Mas Hartoyo (anggota DPRD dari PDIP; Sekretaris Fraksi PDIP, tapi juga aktif di ArKUR) dan Sri Winarti (anggota DPRD dari PBB), wartawan (Dasih dari Kedaulatan Rakyat) dan Komper Pradopo (Suara Merdeka), dan LSM (Bina Insani, diwakili oleh Mustika Aji, Forum Petani Peternak, dll). Melalui kegiatan diskusi ini terjadi proses konsolidasi dan penyamaan konsep tentang perimbangan Keuangan Desa yang mereka inginkan, yang pada akhinrya mewujud berupa Konsep Umum Pembangunan Desa.

4. Pemanfaatan Berbagai Momentum

Salah satu kunci keberhasilan perjuangan ADD di Kebumen adalah, kejelian para aktor yang terlibat untuk memanfaatkan berbagai momentum yang terjadi guna mendorong tercapainya agenda perjuangan.

Momentum pertama terkait dengan pelaksanaan agenda penyampaian LPJ Bupati (Tahun 2002). Berdasarkan laporan yang disampaikan bupati diketahui terdapat SILVA (sisa anggaran pembangunan yang tidak terserap) sebesar 56 Milyar yang kemudian harus masuk kembali ke kas daerah. Misbah dan Imam melihat ini sebagai amunisi baru untuk bernegosiasi dengan pihak DPRD dan Pemkab. Adanya SILVA menunjukkan bahwa secara anggaran ADD sesungguhnya mungkin dilaksanakan. Karena itu mereka kembali menyuarakan perlunya ADD dengan besaran 10% dari total APBD, eski se etul a ereka asih setuju jika esara dikura gi e jadi 5%. … i ika proses tawar-

e a ar… , demikian Misbah dalam wawancaranya.

Momentum lain yang dimanfaatkan adalah kehadiran program P2TPD. Ketika program P2TPD masuk ke Kebumen, perjuangan ADD dapat dibilang sedang mengalami stagnasi. Karena hal itu kehadiran program P2TPD dinilai sebagai momentum yang tepat. Dengan dimasukkannya usulan penyusunanan perda ADD kedalam program P2TPD, resistensi DPRD dan Pemkab relative berkurang.

Momentum lain yang juga dimanfaatkan adalah pelaksanaan pemilu. Detik-detik pengesahan ADD bertepatan dengan akan segera berakhirnya masa jabatan anggota DPRD (periode Tahun 1999- 2004) menjelang Pemilu 2004. DPRD (terutama dimotori oleh PDIP) menjadikan ini sebagai alasan untuk menunda pengesahan dengan alibi waktu yang tersedia sangat sempit dan banyak anggoa DPRD yang tidak dapat fokus untuk terlibat membahas rapera ADD karena berkonsentrasi menghadapi pemilu. Hal ini dibaca oleh para pengusul ADD. Mereka paham jika ADD tidak segera disahkan pada DPRD sebelum pemilu, maka dapat dipastikan nasib raperda ini akan tidak jelas dimasa datang mengingat komposisi anggota DPRD akan berganti dan belum dapat diprediksi bagaimana sikap politik mereka terhadap ADD. Karena hal itu dengan berbagai cara mereka mengupayakan agar perda dapat disahkan sebelum pemilu 2004. Mereka diantaranya mencoba mengajak masyarakat untuk menilai keberpihakan para caleg dan parpol terhadap desa melalui dukungan mereka terhadap rencana pengesahan perda ADD. Pihak-pihak yang memperlambat dan tidak menyetujui pengesahan ADD sebelum pemilu diposisikan sebagai pihak yang tidak pro terhadap kepentingan desa. Cara ini terbukti efektif. Parpol dan para caleg yang semula menolak, atau setidak-tidaknya terkesan memperlambat, berbalik mendukung. Karenanya tak lama sebelum Pemilu 2004 dilaksanakan, perda akhirnya disahkan (Maret 2004).

5. Pelibatan Masyarakat dalam Mensukseskan Agenda Perjuangan HAMBATAN PERJUANGAN ADD DI KEBUMEN

Gerakan perjuangan ADD di Kabupaten Kebumen menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Beberapa hambatan utama gerakan ini adalah:

1. Kehati-hatian Bupati

Salah satu hambatan serius dalam perjuangan ADD adalah karena kehati-hatian Rustriningsih. Sebagian informan menyebutnya dengan istilah yang lebih tegas, penolakan. Hal ini diantaranya diutarakan oleh Dasih, Sri Winarti, dan Misbah Sukmadi. Rustriningsih ketika dikonfirmasi tentang hal ini menyatakan tidak sepakat jika Pemkab dikatakan menghalangi perjuangan ADD. Ia beralibi bahwa Pemkab hanya mencoba untuk bersikap lebih berhati-hati dan tidak ingin terburu-buru:

e ukai pe eria ADD dilakuka setelah desa kuat dulu da dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Meskipun kami juga memahami bahwa untuk membuat mereka kuat desa perlu support anggaran. Tapi akhirnya antara kami masih ragu

Ka i le ih

dengan percaya, akhirnya ADD diberlakukan. Padahal ini resikonya besar. Kalau tidak bisa mengatur pertanggung-jawaban yang terkena Pemkabnya, dalam hal ini TAPEM (Tata dengan percaya, akhirnya ADD diberlakukan. Padahal ini resikonya besar. Kalau tidak bisa mengatur pertanggung-jawaban yang terkena Pemkabnya, dalam hal ini TAPEM (Tata

Lebih lanjut Rustri mengatakan: ADD sesuatu a g pasti aka di erika kepada desa. Cuma waktu yang tepatnya kapan, itu

yang perlu pemikiran cermat. Perlu peningkatan kapasistas pemdes untuk bisa mengelola ADD. Saya melakukan berbagai program penyiapan desa misalnya melalui pelatihan yang dilaksanakan segera setelah pelantikan Kade s terpilih…

Ia juga menandaskan bahwa kekhawatirannya terhadap kesiapan desa merupakan sesuatu yang tidak berlebihan.

Ter ukti a yak juga pe des ya g asuk taha a . Ada e erapa. Dia tara ya kare a pajak, yaitu karena tidak mampu menyelesaikan administrasi... Apalagi soal ADD. Ini menurutsaya sangat krusial. ADD itu bukan cuma soal dana yang dikucurkan, tapi juga soal kemampuan Pemdes mengelola dan mempertanggung- jawa ka a ggara …

Rustri juga menunjukkan beberapa bukti bahwa desa belum siap dalam melaksanakan ADD ketika akhirnya ADD diberlakukan di Kebumen.

“aya se pat e i pi la gsu g rapat-rapat ADD. Tahun pertama ada 8 desa yang tidak bisa mencairkan dana ADD untuk tahap ke- dua kare a tidak a pu e erika lapora …

Selain keragu-raguan akan kesiapan desa yang dikhawatirkan akan berakibat pada kemungkinan timbulnya penyimpangan yang resikonya nantinya harus dipikul Pemkab, besarnya tuntutan alokasi pendanaan untuk desa (10% dari total APBD), juga menjadi alasan kuat penolakan Pemkab. Mereka- mereka yang mengajukan alokasi dana 10% untuk ADD menurutnya tidak paham realita ketersediaan anggaran yang ada di Kebumen.

…Usula itu tidak u gki . Pe didika i ta 20%. “e e tara itu % sudah u tuk gaji atau honor. Padahal kan ada (Dinas) kesehatan, PU, jalan. Jadi kalau 10% dari total APBD, ya tidak mungkin. Itu asal usul saja, tapi tidak bisa dipertanggung- jawa ka . Tidak u gki lah… (Hasil wawancara dengan Rustriningsih).

Dasih, wartawan harian Kedaulatan Rakyat Biro Kebumen menilai hal ini bukan semata karena kehati-hatian Bupati, tetapi juga karena kekhawatiran Rustriningsih bahwa ada pihak yang diuntungkan secara politik jika usulan perda ini diterima Pemkab. Yang dimaksud diantaranya adalah Sri Winarti, anggota DPRD kab. Kebumen dari PBB yang juga teman sekolah Rustri ketika SMA di Gombong. Sri Winarti juga mencium hal itu.

Salah satu dalih yang dijadikan pembenaran bahwa penolakan Rustriningsih terhadap ADD karena pengesahan perda akan meningkatkan dukungan politik terhadap lawan politiknya, adalah tetap melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan perda ADD meski secara tidak langsung. Diantaranya dengan memecah perhatian masyarakat, terutama para kades dan perangkat desa, dengan memajukan perda perpanjangan jabatan kepala desa menjadi 10 tahun. Sebagian besar perhatian kepala desa terpecah karena hal ini, meski akhirnya dapat dikonsolidasikan kembali. Sadar akan hal tersebut, para pejuang ADD ini tidak mau terjebak dengan strategi Rustri dengan tidak Salah satu dalih yang dijadikan pembenaran bahwa penolakan Rustriningsih terhadap ADD karena pengesahan perda akan meningkatkan dukungan politik terhadap lawan politiknya, adalah tetap melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan perda ADD meski secara tidak langsung. Diantaranya dengan memecah perhatian masyarakat, terutama para kades dan perangkat desa, dengan memajukan perda perpanjangan jabatan kepala desa menjadi 10 tahun. Sebagian besar perhatian kepala desa terpecah karena hal ini, meski akhirnya dapat dikonsolidasikan kembali. Sadar akan hal tersebut, para pejuang ADD ini tidak mau terjebak dengan strategi Rustri dengan tidak

Karena itu pula usulan Perda yang sesungguhnya sangat kontroversial tersebut dengan cepat (tidak sampai sa tu tahu dapat disahka . Jadi perda i i dapat dikataka se a a e tuk ga ti rugi atau proses negosiasi tidak langsung antara para pejuang ADD dengan Rustriningsih selaku Bupati Kebumen Saat itu.

2. Kuatnya Konflik Interest di DPRD BEBERAPA ISU KRUSIAL

1. Implementasi ADD di Kebumen: Berhasil atau Gagal?

Pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab. Jika yang dimaksud adalah efektifitasa ADD dalam mengurangi angka kemiskinan di Kebumen (mengingat sebagaimana disebutkan dialam Permendagri No. 37/2007 pengurangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan penting implementasi ADD), pertanyaan tersebut tetap sulit untuk dijawab. Selain karena tidak ada angka pasti jumlah kemiskinan di Kebumen (wawancara dengan Pak Mudji dan Kepala Bapeda), ada banyak program yang tujuannya untuk pengentasan kemiskinan yang bergulir di daerah, termasuk di Kebumen.

Karena hal itu penilaian terhadap pelaksanaan ADD di Kebumen selama ini belum pernah dikaitkan dengan tujuan utama pelaksanaan ADD, yaitu untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Belum ada evaluasi yang dilakukan Pemkab untuk melihat sejauhmana ADD memberi kontribusi bagi upaya pengentasan kemiskinan di desa.

Ada beberapa kesulitan yang dialami Pemkab Kebumen untuk melakukan hal tersebut. Yang paling mendasar karena Kebumen belum punya data KK miskin sehingga sulit untuk mengetahui apakah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin atau tidak pasca intervensi program. Yang dijadikan tolok ukur selama ini adalah peringkat IPM (Indeks Pembangunan Manusia), karena didalamnya terdapat indeks daya beli. IPM Kebumen mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 peringkat pada urutan 26 sedangkan pada tahun 2007 naik menjadi peringkat 24 se-Jawa Tengah, dari 35 Kota/Kabupaten yang ada. Selain itu berdasarkan perhitungan kasar dengan menggunakan data yang ada, terjadi penurunan prosentase penduduk miskin di Kebumen sebesar 1% pasca diberlakukannya ADD. Sebelumnya (tahun 2005) 32,.. %, tahun 2007 turun menjadi 30,1%.

Jika dilihat berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga, angkanya terus membaik meski sulit untuk menarik kesimpulan bahwa penurunan ini disumbang oleh kebijakan ADD mengingat ada begitu banyak program pengentasan kemiskinan. Sebut saja misalnya Program-program pengentasan kemiskinan yang menjadi tanggung-jawab Kabid Ekonomi di Bappeda, seperti PNPM, P2P (Dana bantuan untuk pemugaran rumah. Tiap rumah dapat 5 juta. Untuk tahun 2009 dianggarkan sebesar

5 M), dana Bantuan institusi vertical seperti bantuan sapi (dilaksanakan berdasarkan aturan permendagri No. 13/2009. Dulu bantuan diberikan berupa belanja modal, sekarang berupa dana bergulir), bantuan Pertanian atau Program P4K berupa bantuan modal untuk petani sejumlah 20-45 juta), dan bantuan untuk tunda Jual. Bantuan tunda jual diberikan untuk kelompok dengan tujuan untuk menstabilkan harga gabah karena 50% petani relative perlu bantuan agar harga tidak drop 5 M), dana Bantuan institusi vertical seperti bantuan sapi (dilaksanakan berdasarkan aturan permendagri No. 13/2009. Dulu bantuan diberikan berupa belanja modal, sekarang berupa dana bergulir), bantuan Pertanian atau Program P4K berupa bantuan modal untuk petani sejumlah 20-45 juta), dan bantuan untuk tunda Jual. Bantuan tunda jual diberikan untuk kelompok dengan tujuan untuk menstabilkan harga gabah karena 50% petani relative perlu bantuan agar harga tidak drop

Mengingat selain tujuan formal sebagaimana disebut didalam Permendagri No. 37/2007, juga terdapat beberapa tujuan lain yang meski tidak disebutkan secara formal sesungguhnya merupakan tujuan asasi bagi diberlakukannya ADD, yaitu:

1. memperkuat kemampuan keuangan desa (APBDes) karena menjadi sumber pendanaan baru bagi desa selain Pendapatan Asli Desa (PADes)

2. memberi keleluasan bagi desa dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan, serta sosial kemasyarakatan desa

3. mendorong terciptanya demokrasi di desa

4. meningkatkan pendapatan dan pemerataan (pembangunan, pen) dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat desa.

Fakta itu pula yang ditemukan oleh Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD) yang melakukan penelitian tentang pelaksanaan ADD dibeberapa Kabupaten. Tujuan pelaksanaan ADD bukan hanya sekedar pemberian uang oleh kabupaden kepada desa. akan tetapi sekaligus bermakna sebagai wujud kesadaran kabupaten terhadap kewajibannya dalam melaksanaan pemerintahan terutama kepada desa, selain dapat membangkitkan dinamika masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan desa. Karena hal itu maka perjuangan ADD tak dapat dilepaskan dari isu otonomi desa. UU No. 22/1999 yang kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32/2004 dinilai bukan hanya menjadi payung hukum bagi pengakuan lokalitas dan keragaman desa, tapi sekaligus membuka ruang bagi tumbuhnya desentralisasi dan demokrasi desa. Meski diakui bahwa fokus otonomi daerah didalam UU tersebut diletakkan di kabupaten/kota, tuntutan akan otonomi desa secara factual merupakan tuntutan lain yang muncul kepermukaan. Melalui UU otonomi daerah desa secara normatif diberi tempat yang proporsional didalam struktur pemerintahan. Desa tidak lagi dipandang sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan hak asal-usul desa. Tentu diatas semua itu, tujuan terwujudnya peningkatan kesejahteraan bagi desa yang ditandai dengan berkurangnya kemiskinan, menjadi tujuan penting lainnya yang tidak dapat diabaikan.

Jika yang dimaksud adalah menemukan jawaban tentang sejauhmana kehadiran ADD dapat memberi manfaat bagi masyarakat desa, kita akan dihadapkan pada jawaban yang sangat beragam karena manfaat apa yang diperoleh desa paska pemberlakuan ADD sangat tergantung pada rumusan RPJMDes yang disusun desa. Karena hal itu terdapat keragaman dalam spectrum yang sangat luas tentang manfaat apa yang diperoleh desa dengan diberlakukannya ADD. Yang relative agak mudah, melihat manfaat ADD dari dinamika kegiatan pembangunan fisik yang terjadi di desa- desa. Terjadi geliat pembangunan yang hampir merata didesa-desa. Perbaikan saluran air dan jalan misalnya, terjadi hampir menyeluruh didesa-desa, termasuk desa-desa yang jauh dari Kabupaten dan desa-desa yang selama ini kurang tersentuh pembangunan seperti desa yang berada digunung- gunung.

Pertanyaan yang paling sulit, jika yang dimaksud kita ingin menemukan jawaban apakah implementasi ADD di Kebumen sukses atau gagal. Kesulitan utama karena tidak ada indikator keberhasilan ADD. Pemkab cenderung hanya menempatkan aspek administrative seperti kemampuan desa menyelesaikan administrasi kegiatan 31 , sebagai indikator kesuksesan. jika

menggunakan indikator administrative, secara umum pelaksanaan ADD di Kebumen bisa dibilang berhasil. Meski masih terdapat desa yang tidak mampu memenuhi kelengkapan Administrasi, 32 akan

tetapi jumlah kasus tersebut relative kecil. Pada tahun 2008 misalnya, seluruh desa (100%) desa dapat mencairkan dana ADD. Contoh hasil evaluasi yang dilakukan Pemkab dalam monitoring dan

evaluasi pelaksanaan ADD tahun 2008 setidaknya menunjukkan hal tersebut . Persoalannya kemudian, penggunaan aspek administrative ini sebagai satu-satunya indicator keberhasilan,

dikhawatirkan dapat mengaburkan substansi sesungguhnya dari ADD. Pada akhirnya, menemukan jawaban atas pertanyaan diatas merupakan isu kritis yang perlu

dicermati oleh para penggiat ADD di Kebumen yang masih aktif mengawal agenda ADD di Kebumen, Sebut saja misalnya FORMASI yang juga bisa dibilang sebagai satu-atunya lembaga yang masih concern untuk melakukan proses pengawalan. Bukan hanya menemukan jawaban, tapi juga menjadikannya sebagai arah dalam proses pendampingan, yaitu mengawal agar implementasi ADD benar-benar dapat diarahkan untuk dapat merealisir tujuan-tujuan utamanya, yaitu mendorong terjadinya penurunan angka kemiskinan didesa, diantaranya dengan membantu terpenuhinya kebutuhan kelompok miskin

kelompok marginal (termasuk

dan

perempuan) desa, bahkan yang lebih optimis, terselesaikanya

permasalahan-permasalahan dasar kelompok tersebut.

Terkait dengan hal itu, yang saat ini dilakukan oleh Yusuf, dkk

adalah, bagaimana ADD bisa mempercepat pemenuhan

melalui

FORMASI

kebutuhan dasar, partisipasi, dan sinergisitas dokumen

antar desa sampai kabupaten. Sederhananya bagaimana

menginstitusionalkan partisipasi. Mereka ingin menguatkan gambaran tentang partisipasi masyarakat. Siapapun ingin belajar tentang partisipasi anggaran sudah bisa belajar langsung ke desa-desa, tidak lagi datang ke FORMASI. Yang juga menjadi perhatian mereka saat ini adalah bagaimana menjaga komitmen masyarakat desa terhadap keberlanjutan program. Mulai September mereka tidak lagi mendampingi desa-desa. Hanya secara adhoc saja. Tapi inisiatif desa untuk menjaga proses partispasi harus dipastikan terus berjalan. Ini bukan hal mudah tentunya.

2. Perempuan dan ADD di Kebumen: Sebuah Ruang Sempit dan Terbatas

Bagaimana keterlibatan perempuan dalam pengelolaan ADD di Kebumen? Setelah melakukan penelusuran kepada sejumlah informan mulai dari berkunjung ke Desa Pasir, Kecamatan Ayah dan Desa Karanggadung, Kecamatan Petanahan, menelusuri kehidupan para perempuan pengrajin batik tulis di Desa Jemur, Kecamatan Pejagoan serta dinamika kehidupan para bakul lanting di Desa

31 Ukuran lainnya adalah terkait dengan ketepatan waktu desa menyerahkan laporan dan berkas administrasi pendukung, bangunan fisik yang dibangun kondisinya baik, adiministrasi lengkap (SPJ tepat dan selesai.

32 (pada tahun 2007 ada 8 desa yang tidak dapat mencairkan dana ADD untuk tahap II atau 30%, karena tidak melaporkan SPJ penggunaan ADD tahap I),

Meles, Kecamatan Karang-Anyar dan Desa Madureso, Kecamatan Kewarasan, serta tentu dengan mengkonfirmasikan sejumlah temuan dalam wawancara dengan Bu Alfiyah, Kepala Bapermades, jawabannya sederhana saja. Perempuan Kebumen sudah berpartisipasi, sudah terlibat, juga sudah mendapat manfaat dari ADD. Tapi jangan tanya seberapa besar dan seberapa signifikan keterlibatan mereka, karena ruang yang tersedia atau lebih tepatnya lagi ruang yang disediakan memang hanya sebuah ruang yang sangat sempit lagi terbatas!

Kesimpulan itu diantaranya diperoleh dari hasil penurutan Marto dan istrinya, satu diantara banyak keluarga di Kebumen yang mencari tambahan uang untuk keperluan hidup dengan menjadi bakul Lanting, yaitu membuat Lanting, makanan ringan berasal dari singkong parut yang digoreng dengan bentuk angka delapan dengan panjang sekitar 1,5 hingga 2 cm. Sebagaimana diketahui, Lanting merupakan salah-satu jajanan khas Kebumen yang kerap dijadikan oleh-oleh mereka yang berkunjung ke Kota itu. Selain bakul Lanting ternyata juga ada jenis pekerjaan lain yang saling terkait dan saling menopang dengan para bakul Lanting, yaitu pendaur ulang Lanting dan pengumpul Lanting. Pendaur ulang Lanting adalah mereka yang membeli Lanting yang diproduksi para bakul Lanting yang umumnya dijual dalam kondisi masih polos: belum diberi penambah rasa, pewarna, dan juga belum dikemas kedalam kemasan yang sudah diberi merk. Sedangkan pengumpul Lanting adalah mereka yang berperan menjual Lanting ditoko-toko milik mereka sendiri, baik yang berada di Kebumen, maupun di Kota-Kota terdekat lainnya. Lanting yang diproduksi oleh salah satu pendaur ulang lanting di Meles, Karang-Anyar misalnya, dijual hingga ke Magelang, Jogja dan Semarang. Setelah didaur ulang dan siap dijajakan mereka tinggal mengirimkan Lanting ke terminal bus dan atau travel-travel untuk diantar kepada pemesan, yaitu para pengumpul Lanting.

Bu Marto yang memulai usaha bakul Lanting sejak lima tahun lalu, sekitar tahun 2004-an, bukan hanya tidak pernah mendapatkan bantuan pendanaan dari ADD, tapi bahkan sama sekali belum pernah mendengar istilah ADD. Ketika coba dijelaskan kepada Bu Marto apa yang dimaksud dengan ADD dan apa hak warga terhadapnya, Bu Marto justru berkeluh-kesah dan mengungkapkan bawah tidak pernah ada perhatian sama sekali dari pihak Kades maupun perangkat desa. Yang ada mereka

kerap di peras oleh Kades. Ya g ada itu i ta sumbangan-sumbangan. Jalan rusak minta su

a ga kare a kata a jala rusak kare a truk a g ga ter si gko g. “atu-satunya perhatian Pemerintahan Desa (Pemdes), mereka pernah diinformasikan akan mendapat bantuan alat penggiling dan pemarut dari Kabupat e . Tahu lalu kalau tidak salah, tapi sa pai sekara g elu ada kabarnya. Padahal kita juga mau kalau harus beli. Soalnya alat kita susah. Namanya juga bikin se diri…

Tentang musyawarah dusun (musdus) maupun musyawarah desa (musdes) untuk membahas ADD, ereka tidak per ah terli at. Ada a ku pula akul la ti g, M ak. Disini ada 50 rumah yang pu a usaha seperti i i. Apa saja a g ereka i araka diku pula akul la ti g? Bu Marto

a ga -sumbangan. Ada uang kumpulan. Jadi kalau ada minta sumbangan bisa sebagian ambil uang kumpulan. Tinggal ditambahin kurangnya. Disini juga banyak preman, yang minta-mintain uang. Bakul Lanting dikirannya banyak uang. Padahal cuma pas-pasan. Jadi juga i arai itu.

e gataka , Ngo o gi soal su

Ketika informasi ini disampaikan ke Bu Alfiyah, Kepala Bapermades (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), Bu Al tidak menyangkal bahwa hal- hal seperti itu isa terjadi. Desa di Ke u e ini kan banyak sekali, ada 449. Bagaimana bisa mengontrol semuanya. Tapi secara formal kami ada Ketika informasi ini disampaikan ke Bu Alfiyah, Kepala Bapermades (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), Bu Al tidak menyangkal bahwa hal- hal seperti itu isa terjadi. Desa di Ke u e ini kan banyak sekali, ada 449. Bagaimana bisa mengontrol semuanya. Tapi secara formal kami ada

Sementara itu terkait dengan peran serta perempuan, Bu Al mengatakan bahwa prioritasnya pada PKK. Ya g pe ti g PKK ya terlibat atau tidak. Kalau sudah terlibat kan sudah bagus. Kalau untuk pengrajin batik atau untuk bakul lanting, ADD memang tidak bisa. Berapa sih dana ADD. Kan tidak semuanya untuk ekonomi. Sebagian besar untuk infrastruktur. Sedikit saja yang untuk ekonomi dan

sosial … Ketika saya tanyakan bahwa kelompok perempuan seperti para pengrajin batik maupun para bakul

lanting juga memiliki hak untuk terlibat, setidaknya diundang hadir dalam musyawarah desa, Bu Al mengatakan bahwa itu menjadi tanggung-jawab PKK. Jadi tampaknya PKK benar-benar menjadi lokomotif yang diharapkan dapat membawa gerbong keterlibatan perempuan lebih banyak dan lebih signifikan.

Di Desa Kara ggadu g da Desa Pasir, desa da pi ga For asi, ko disi a le ih aik. PKK disi i aktif. Kami juga melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang ada seperti petani nderes

(pembuat gula dari nira kelapa), kelompok perempuan yang bikin usaha kripik pisang, dan yang lain- lai

a. Begitu i for asi Bu Kades Kara ggadu g a g juga e jadi salah satu te aga community organizer (CO) di FORMASI. Dari petunjuk pendampingan

yang disusun Formasi juga secara jelas disebutkan bahwa musdus maupun musdes harus menyertakan kelompok perempuan sebagai salah-satu peserta.

Persoalannya, hanya 10 desa yang didampingi Formasi dari 449 desa yang ada! Disain program di Perda maupun Perbub tentang ADD sendiri tidak menyebutkan bahwa kelompok perempuan perlu mendapatkan prioritas untuk terlibat. Hanya disebutkan keterlibatan PKK selain LKMD dan Karang Taruna. Kalau sudah demikian, tak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa ruang partisipasi untuk perempuan di ADD memang sempit dan sangat terbatas. Hanya PPK. Itu saja!

3. Paska Implementasi, Mau Kemana ADD Kebumen?

Pelaksanaan ADD (secara murni) di Kebumen memang baru berjalan dua tahun (masuk tahun ketiga pada tahun 2010 ini). Karena hal itu pula terlalu dini untuk menilai apakah implementasinya berhasil atau gagal. Namun demikian, belajar dari proses yang sudah berjalan, ada beberapa hal yang perlu disempurnakan guna mendorong capaian yang lebih progresif dari implementasi ADD tersebut.

Yang paling sederhana terkait dengan peran pendampingan oleh Pemkab. Di Tingkat Kabupaten, tanggung-jawab pendampingan ada di Bapermades beserta beberapa dinas terkait. Sementara di level bawah, peran pendampingan ada dipihak kecamatan. Dari hasil pengamatan peneliti dan wawancara dengan beberapa informan, terutama dilevel desa, peran pendampingan baik oleh

Pemkab maupun kecamatan 33 masih sangat terbatas. Orientasi masih terbatas pada aspek

33 Sebagaimana tercantum didalam Perbub tentang ADD, camat adalah pihak yang bertanggung-jawab untuk melakukan tugas pembantuan pelaksanaan ADD, diantaranya dengan melakukan monitoring dan evaluasi. Untuk

melaksanakan perannya tersebut pihak kecamatan setiap tahunnya, setelah dilakukannya pencairan dana ADD melaksanakan perannya tersebut pihak kecamatan setiap tahunnya, setelah dilakukannya pencairan dana ADD

Pemkab menyadari benar perlunya penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah desa dalam pengelolaan ADD. Sebagai upaya untuk mengatasi kendala tersebut, Pemkab menyelenggarakan kegiatan pelatihan untuk membantu desa (berupa BINTEK atau Bimbingan Teknis). Pelatihan yang dilakukan ditujukan untuk penyiapan desa dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan administrasi ADD. Pada saat pelatihan juga dilakukan sosialisasi Perbub ADD yang dikeluarkan tahun itu.

Pertanyaan penting terkait dengan implementasi ADD, hendak kemana semua ini diarahkan. Apakah sekedar menjadi bantuan keuangan bagi desa (tambahan income bagi desa) atau kepada agenda yang lebih strategis? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut perlu diberikan dengan hati-hati.

Saat ini Amirudin tidak lagi aktif dalam agenda ADD karena tahapan saat ini lebih pada penguatan desa terutama dalam memback up kesiapan administrasi desa. FORMASI yang lebih banyak focus menangani hal ini, dengan terlibat mendampingi dan menyiapkan desa-desa. Amirudin sendiri dulu anggota Formasi, ditim Desa. Formasi lebih sebagai Forum untuk memperjuangkan ADD ketika P2TPD melaksanakan program di Kebumen. Sekarang tidak lagi aktif karena kesibukan.

Selain itu dana ADD, terutama alokasi untuk pembangunan, umumnya diterjemahkan desa sebagai dana untuk pembangunan fisik. Sementara untuk pembangunan sosial dan ekonomi, masih sangat minim. Dana ADD juga banyak digunakan untuk bantuan kelembaga-lembaga desa, missal untuk PKK dan LKMD. Saat ini Amirudin tidak lagi aktif dalam agenda ADD karena tahapan saat ini lebih pada penguatan desa terutama dalam memback up kesiapan administrasi desa. FORMASI yang lebih banyak focus menangani hal ini, dengan terlibat mendampingi dan menyiapkan desa-desa. Amirudin sendiri dulu anggota Formasi, ditim Desa. Formasi lebih sebagai Forum untuk memperjuangkan ADD ketika P2TPD melaksanakan program di Kebumen. Sekarang tidak lagi aktif karena kesibukan.

Amirudin belum puas dengan pelaksanaan ADD saat ini, terutama terkait dengan jumlah dana ADD yang relative masih minim. Idealnya memang formula awal yang mereka rumuskan dulu yang diterapkan (10% dari APBD). Karena kalau itu yang diterapkan, dana untuk desa alokasinya bisa sampai 90 M. saat ini hanya 33 M.

Kalau tujuannya untuk mendorong penguatan kedesa-desa, target tersebut sudah memadai. Desa misalnya jadi belajar bagaimana membuat RPJMDes. Tapi untuk mendorong pembangunan desa menjadi lebih progresif, implementasi ADD masih sangat jauh dari harapan. Problem utamanya karena jumlah desa yang banyak. Sebagai gambaran alokasi dana ADD untuk desa berkisar antara 90-100 juta. Beberapa desa ada yang dibawahnya, dan beberapa ada yang diatasnya sedikit. Sebagai contoh Desa Karanggadung, mendapat 90 juta, sementara Desa Tanjung Sari hanya mendapat 73 juta juta. Dengan besaran dana yang sangat terbatas tersebut, tidak terlalu banyak perubahan yang bisa dilakukan. Apalagi karena di Kebumen banyak desa-desa miskin. Perlu ada terobosan-terobosan lain. Tidak bisa mengharapkan ADD.

tahap I, harus melakukan monitoring untuk mengecek kesiapan adiminstrasi desa terkait ADD dan kondisi fisik bangunan yang bersumber dari dana ADD. Selain itu Camat juga bertanggung jawab untuk mengevaluasi hasil ADD tahun sebelumnya.

Selain itu dana ADD, terutama alokasi untuk pembangunan, umumnya diterjemahkan desa sebagai dana untuk pembangunan fisik. Sementara untuk pembangunan sosial dan ekonomi, masih sangat minim. Dana ADD juga banyak digunakan untuk bantuan kelembaga-lembaga desa, missal untuk PKK dan LKMD.

Fenomena yang ada, kebijakan ADD berpotensi untuk menjadi sesuatu yang bersifat rutinitas belaka. Penggunaan dana ADD juga belum diarahkan kepada aspek yang strategis seperti penguatan kelembagaan desa dan SDM desa serta modal sosial masyarakat desa, termasuk pada kemampuan pengorganisasian dan pengelolaan potensi desa. Khusus bagi kelompok perempuan dan kelompok marginal, pemanfaatan ADD belum didisain untuk mengeluarkan mereka dari kondisi ketertinggalan dan keterpurukan, kepada kondisi yang lebih baik seperti kemampuan untuk melakukan mobilitas vertikal.

Persoalannya kemudian, sejauhmana sesungguhnya pelaksanaan kebijakan mengenai ADD dapat merealisir tujuan-tujuan utama yang ingin dicapai. Apakah dana ADD benar-benar dapat meendorong terjadinya penurunan angka kemiskinan dan membantu terpenuhinya kebutuhan kelompok miskin dan kelompok marginal (termasuk perempuan) bahkan terselesaikanya permasalahan-permasalahan dasar kelompok terssebut? Atau sebagaimana yang kerap dikhawatirkan keberpihakan Negara pada kelompok rentan tersebut kerap kali baru sebatas pendekatan formalistik dan tidak menyentuh aspek substansial. Adapun yang dimaksud adalah terjadinya inklusi sosial dan terbukanya peluang bagi kelompok marginal tersebut, termasuk perempuan, untuk melakukan mobilitas vertical (Iwan Gardono, 2001).