Perjuangan Alokasi Dana Desa ADD di Kebu

Perjuangan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kebumen:

Jalan Panjang Lagi Berliku Menuju Otonomi Desa atau (Bisa) Tidak untuk Apa-apa 1

Oleh: Wahidah R Bulan, M.Si PENDAHULUAN

Penguatan desa merupakan salah satu topik utama yang kerap diperbincangkan dalam pembahasan mengenai praktek otonomi daerah di Indonesia. Hal itu sangat terkait dengan esensi pokok otonomi daerah, yaitu untuk mewujudkan kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal. Meski didalam undang-undang titik berat otonomi daerah lebih diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, pembahasan tentang desa menjadi penting mengingat upaya membangun kemandirian daerah sesungguhnya tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu mengupayakan penguatan desa (pemerintahan desa dan masyarakat desa).

Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan salah satu isu tentang desa

a g ukup sa ter disuarakan. Mengadopsi muatan yang termaktub didalam UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004, desa dianggap layak mendapatkan distribusi kewenangan

dan anggaran yang proporsional sebagaimana yang diperoleh Kabupaten/Kota. Setidaknya itulah logika yang dibangun oleh kebanyakan para penggiat desa, termasuk di Kebumen, tempat dimana riset ini diadakan, ketika mereka mengajukan tuntutan tentang perlunya ADD dilaksanakan didaerah mereka. Argumen lain terkait dengan ketertinggalan dan kemiskinan yang tampak nyata didesa, yang dinilai merupakan bukti pengabaian pusat (daerah) kepada desa selama ini.

Alokasi dana pembangunan untuk desa di Kabupaten Kebumen (sebelum ADD diberlakukan, pen), kisarannya hanya sekitar 2-3 %. Bandingkan dengan alokasi dana untuk biaya gaji pegawai (biaya rutin) yang jumlahnya dapat mencapai 40% dari total anggaran. Padahal realitanya desa di Kebumen yang berjumlah 449 itu dihuni oleh 80% penduduk yang separuh lebih diantaranya penduduk miskin. Bantuan untuk desa yang diberikan Pemkab yang diatur melalui Perbub sebelum ADD diberlakukan, jumlahnya juga bisa dibilang sangat kecil. Hanya berkisar antara 8 s/d 11 juta untuk tiap desa. 2

Hal ini merupakan ironi. Desa merupakan struktur pemerintahan terdepan karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Selain itu jika merujuk kepada PP N0. 76/2001 3 tentang desa yang kemudian

1 Tulisa i i erupaka hasil Pe elitia te ta g Negosiasi Politik dala Refor a Pe ele ggaraa Pe eri taha Daerah , “tudi a g dilakuka AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung, bekerjasama dengan ACE (Association of

Community Empowerment), pada tahun 2009. 2 Hasil Wawancara penulis pada 21 Agustus 2009 dengan salah satu informan, Sri Winarti, anggota DPRD Kab.

Kebumen, Jawa Tengah, yang terlibat secara intensif dalam gerakan memperjuangkan ADD di Kebumen. 3 Di dalam PP No. 76/2001, Pasal 5 disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup: a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;

b. kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan c. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau Pemerintah Kabupaten.

diperbaharui menjadi PP No. 72/2005, desa sesungguhnya memiliki kewenangan 4 untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun urusan pemerintahan yang dimaksud meliputi: (a) urusan

pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang- undangan diserahkan kepada desa

Persoalannya kemudian, kewenangan itu menjadi tidak dapat difungsikan karena problem ketersediaan anggaran 5 . Sumber dana yang ada didesa sangat terbatas, yaitu pendapatan asli desa dan swadaya

masyarakat. Meski desa juga memperoleh bantuan pembangunan pemerintah pusat maupun daerah (Pemprov maupun Pemkab/Pemkot), namun penggunaan dana-dana bantuan tersebut penentuannya ditetapkan oleh pusat/daerah (top down). Akibatnya program seringkali tidak meyentuh kebutuhan real masyarakat desa dan karenanya tidak memberikan dampak signifikan bagi penyelesaian berbagai permasalahan di desa, terutama terkait dengan kemiskinan dan ketertinggalan.

Beberapa kabupaten saat ini telah melakukan inovasi dengan mengalokasian dana APBD yang dimilikinya untuk dikelola sendiri oleh desa. Satu diantaranya adalah Kabupaten Kebumen, yang mensahkan peraturan mengenai ADD pada tahun 2004 (Perda No.12/2004 tentang Penyusunan APBDes dan Perda No.13/2004 tentang Sumber Pendapatan Desa).

Meski banyak daerah lain dinilai sukses melaksanakan ADD 6 , namun ada beberapa hal istimewa dari proses pemberlakuan ADD di Kebumen. Tidak seperti halnya Solok dan banyak daerah lain yang inisiatif

pelaksanaannya berasal dari kepala daerah, ADD di Kebumen dilaksanakan lebih karena kuatnya desakan masyarakat, dalam hal ini para aktifis LSM yang berkolaborasi dengan para birokrat desa (para carik desa dan kepala desa), selain karena dukungan dari birokrat, anggota DPRD Kab. Kebumen, maupun wartawan. Selain berhasil

e aksa le aga eksekutif da legislati e mengesahkan ADD menjadi perda, para pejuang ADD di Kebumen juga memiliki peran cukup dominan dalam

mempengaruhi implementasi kebijakan ADD paska perda ADD diberlakukan.

4 PP No. 72/2005 tentang Desa, Pasal 67 5 Berdasarkan PP No. 72/2005, Pasal 68, poin (1), disebutkan bahwa sumber pendapatan desa terdiri atas:

a. pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah; b. bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa; c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa;

d. bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; dan e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. 6 Sebut saja misalnya Kabupaten Solok yang kerap disebut sebagai pelari terdepan dalam desentralisasi karena

relative paling awal memberikan kewenangan dan anggaran kepada desa semasa dipimpin Gamawan Fauzi yang mempraktekkannya melalui program yang disebutnya dengan DAUN, Dana Alokasi Untuk Nagari, sebutan lain dari Desa melalui Perda Provinsi No. 9/2000. Selain itu berdasarkan pantauan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) pada tahun 2003, sebelum UU No. 22/1999 direvisi, setidak-tidaknya terdapat sekitar 40 kabupaten di Indonesia telah berbagi kewenangan dan keuangan kepada desa.

Selain itu, meski bukan yang pertama melaksanakan, isu ADD 7 di Kebumen bisa dibilang termasuk yang agak awal diperbincangkan. Jauh sebelum kebijakan pemerintah tentang ADD (PP No. 72/2005 tentang

Desa), dikeluarkan. Kalau kemudian kebijakan ADD baru pada Tahun 2007 dilaksanakan secara murni di Kebumen, itu lebih karena banyaknya hambatan dan rintangan yang harus dihadapi dalam proses pengesahan perda dan pemberlakuan ADD di Kebumen.

TINJAUAN KEBIJAKAN DANA ADD

Substansi ADD

Sebelum dijelaskan substansi ADD, pertama-tama perlu dijelaskan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan ADD. Sebagaimana termaktub didalam PP No. 72/2005 Pasal 1 ayat 11, ADD adalah dana yang diberikan kepada desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota. Sementara itu didalam pasal 68 ayat c disebutkan, besaran dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima desa jumlahnya minimum 10% dari APBD (setelah dikurangi biaya rutin, pen), yang didistribusikan untuk setiap Desa secara proporsional. Sumber pendapatan tersebut harus disalurkan langsung melalui kas desa (ayat 2) dan tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah (pusat, pen) atau pemerintah daerah (ayat 3).

Sebagai sebuah kebijakan, ADD se e ar a uka ara g baru. Sebelumnya sudah ada aneka dana pusat yang digelontorkan kedesa. Diantaranya berupa program pembangunan semisal program Bangdes (Pembangunan Desa), dana IDT (Inpres Desa Tertinggal), program pembangunan prasarana dan sarana sanitasi dan penyehatan lingkungan, program air bersih, proyek perencanaan perbaikan perumahan dan lingkungan desa terpadu (P2LDT), termasuk Bantuan Keuangan Kepada Desa/Kelurahan (BKDK).

Kalau ada yang membuat ADD menjadi berbeda dengan dana-dana tersebut, hal itu karena ADD tidak diposisikan sebagai dana bantuan. Istilah bantuan pada desa (digunakan pada BKDK misalnya), dianggap sudah tidak relevan. Istilah tersebut secara politis hanya akan menempatkan desa sebagai bagian

subordinasi dari supra desa 8 . Desa seolah tidak memiliki hak dalam penganggaran. Perbedaan lainnya, ADD memberi keleluasaan (otonomi) kepada desa untuk mengelola penggunaan dana sesuai dengan

kebutuhan real didesa (pendekatan bottom-up), selama memperhatikan aspek partisipatif (keterlibatan masyarakat). Hal ini merupakan langkah sangat maju karena dana-dana sebelumnya cenderung sangat top-down oriented.

Karena hal itu keluarnya aturan yang memayungi penggunaan ADD semisal PP 72/2005 yang dikeluarkan memperbaharui aturan sebelumnya (PP No. 76/2001, 9 bisa dibilang merupakan langkah maju. PP yang

7 Belum disebut dengan istilah ADD, tapi masih menggunakan istilah DAUDes (Dana ALokasi Untuk Desa), meniru peristilahan yang dipergunakan didalam UU No. 22/2009.

8 Majalah Flamma Edisi 21, IRE, Jogjakarta, 2004. 9 Didalam PP No. 76 Tahun 2001 sumber pendanaan desa yang disebutkan hanyalah (1) Sumber Pendapatan Desa

terdiri atas: a. Pendapatan Asli Desa meliputi: 1) hasil usaha desa; 2) hasil kekayaan desa; 3) hasil swadaya dan partisipasi; 4) hasil gotong royong; dan 5) lain-lain pendapatan asli Desa yang sah.

dikeluarkan sebagai terjemahan lebih lanjut UU No. 32/2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22/1999 tersebut, memberi kepastian hukum bagi pelaksanaan ADD yang secara praktek sudah berjalan atas inisiatif daerah dibeberapa tempat. Hal ini sekaligus merupakan langkah maju bagi upaya desa mendapatkan hak otonominya, dalam praktek otonomi daerah yang sudah sangat berkembang.

Keluarnya surat kawat dari Mendagri bernomor 140/1841/SJ yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia tertanggal 17 Agustus 2006 yang memerintahkan daerah untuk segera merealiasasikan ADD, terutama daerah yang sama sekali belum melaksanakan ADD, makin mempertegas posisioning desa dalam praktek otonomi daerah di Indonesia dimasa datang. Pelaksanaan

ADD diberbagai desa pun karenanya setelah itu menjadi lebih mudah. 10

Meski demikian, pusat tampaknya masih ragu-ragu untuk secara eksplisit memberi pengakuan terhadap eksistensi desa. Setidak-tidaknya jika kita merujuk pada tujuan ADD sebagaimana disebutkan didalam Permendagri No. 37/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, otonomi desa tidak disebutkan sebagai salah satu tujuan penting ADD didalam pasal 19. Tujuan ADD jika merujuk pada pasal

19, lebih ditekankan untuk menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan antar desa selain untuk lebih meningkatkan kualitas pembangunan desa.

Secara lengkap tujuan ADD yang disebut didalam PP adalah:

a. Menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan;

b. Meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat;

c. Meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan;

d. Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan sosial;

e. Meningkatkan ketrentaman dan ketertiban masyarakat;

f. Meningkatkan pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat;

g. Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat;

h. Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

b. bantuan dari Pemerintah Kabupaten meliputi: 1) bagian dari perolehan pajak dan retribusi Daerah; 2) bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten.

c. bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah Propinsi; d. sumbangan dari pihak ketiga; dan e. pinjaman Desa.

10 Payung hukum lain yang tidak kalah penting terkait dengan implementasi ADD adalah Permendagri No. 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan desa. Didalam Permendagri ini petunjuk mengenai pelaksanaan

ADD secara detail diuraikan.

Terlepas dari hal tersebut, ditataran implementasi secara real ADD memberi banyak manfaat yang mengarah kepada penguatan posisioning desa. Diantaranya adalah 11 :

1. Desa dapat menghemat biaya pembangunan karena desa dapat mengelola sendiri proyek

pembangunannya dan hasil-hasilnya dapat dipelihara secara bak demi keberlanjutannya.

2. Desa memperoleh pemerataan pembangunan sehingga lebih mampu memberikan pelayaan kepada masyarakat desa

3. Desa memperoleh kepastian anggaran untuk belanja operasional pemerintahan desa.

4. Desa dapat menangani permasalahan desa permasalahan desa cepat tanpa harus lama menunggu datangnya program dari pemerintah daerah Kabupaten/Pusat.

5. Desa tidak lagi bergantung pada swadaya masyarakat dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta sosial kemasyarakatan desa

6. Dapat mendorong terciptanya demokratisasi di desa. Dengan ADD masyarakat dan pemerintah dilatih untuk bekerjasama, memunculkan kepercayaan antar pemerintah desa dengan masyarakat desa dan mendorong adanya kesukarelaan masyarakat desa untuk membangun dan memelihara desa

7. Dapat mendorong terciptanya pengawasan langsung dari masyarakat untuk menekan terjadinya penyimpangan

8. Dengan partisipasi semua pihak, maka kesejahteraan keompok perempuan, anak-anak, petani, nelayan, orang miskin, dll, dapat dicapai.

Besaran Dana ADD

Salah satu keistimewaan ADD dibanding kebijakan bantuan pendanaan serupa adalah, adanya perbedaan jumlah besaran dana yang diterima desa. Selain memperhatikan azas pemerataan 12

(Permendagri No. 37/2007 pasal 20 ayat satu poin a) besaran dana ADD yang diterima desa juga memperhatikan azas keadilan. Daerah dengan jumlah wilayah yang luas, jumlah penduduk padat, jumlah KK miskin lebih banyak, akan mendapat porsi ADD yang lebih banyak dibanding daerah lain yang

e iliki e a pekerjaa ru ah le ih ri ga . Dengan cara ini dana yang diberikan dianggap lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Dalam pelaksanaannya tidak semua daerah menerapkan aturan tersebut, terutama sebelum aturan resmi dari pusat dikeluarkan. Di Kabupaten Kampar misalnya, alokasi dana ADD untuk tiap desa nominalnya hampir sama. Akibatnya, ada desa yang sangat luas dan dengan jumlah penduduk cukup padat mendapatkan alokasi dana ADD yang sama dengan desa lain yang lebih kecil dan dengan penduduk lebih sedikit. Bahkan ada kasus dimana kondisi keuangan desa justru menjadi defisit dengan adanya dana ADD.

11 Gregorius Sahdan, et. al., ADD Untuk Kesejahteraan Rakyat Desa, FPPD dan Ford Foundation, Yogyakarta, 2008, hal. 7.

12 Didalam pasal 20 Permendagri 37/2007 mengenai Pengelolaan ADD disebutkan terdapat dua azas dalam pengelolaan ADD, yaitu azas merata dan adil (ayat 2). Yang dimaksudkan dengan Azas Merata adalah poin a)

besarnya bagian Alokasi Dana Desa yang sama untuk setiap desa, yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM), sedangakan Azas Adil adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa berdasarkan Nilai Bobot Desa (BDx) yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu, (misalnya Kemiskinan, Keterjangkauan, Pendidikan Dasar, Kesehatan dll), selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP).

Kebumen merupakan salah satu daerah yang sudah sejak awal memperhatikan azas keadilan dalam pendistribusian ADD kedesa-desa. Sebagai contoh pada tahun 2008 Desa yang mendapat alokasi dana ADD terbanyak adalah desa Giritirto, Kecamatan Karanggayam, dengan jumlah dana ADD sebesar Rp. 169.886.129; sedangkan yang terkecil adalah Desa Podourip, Kecamatan Petanahan, dengan jumlah dana ADD yang diterima sebesar Rp. 56.894.066. Sementara itu pada tahun 2007 yang terbanyak mendapat ADD adalah Desa Seboro, Kecamatan Sadang, dengan jumlah dana ADD sebesar 148.850.788; dan yang terkecil adalah Desa Banyuroto, Kecamatan Adimulyo, dengan jumlah dana ADD sebesar 46.318.658

Apa yang menjadi variabel penentuan besaran dana ADD? Secara tegas tidak disebutkan didalam aturan yang dikeluarkan Depdagri 13 . Hanya disebutkan berapa contoh variabel yang dapat digunakan seperti

jumlah KK miskin, Keterjangkauan, Pendidikan Dasar, Kesehatan dll. Karenanya sangat dimungkinkan terjadi variasi didaerah. Hanya saja sebagai prinsip pokok, selain besaran dana yang diterima sama oleh desa (Alokasi Dana Desa Minimal atau ADDM), didalam ADD juga terdapat komponen dana yang jumlahnya berbeda antara satu desa dengan yang lainnya (Alokasi Dana Desa Proporsional atau ADDP ).

Di Kebumen, variabel ini setiap tahunnya terus dievaluasi dan disempurnakan oleh Pemkab. Sebagai contoh pada tahun tahun kedua pelaksanaan ADD di Kebumen (Tahun 2008), Rustriningsih menambahkan keberhasilan Pemdes dalam mengumpulkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai varaibel penentu besaran jumlah dana ADD yang diterima desa.

…Saya dikejar-kejar pemerintah pusat soal pajak. Karena itu saya minta desa supaya juga bisa

elaksa aka ya.... (Hasil wawancara dengan Rustriningsih pada 28 Agustus 2009)

Alasan lain mengapa kinerja Pemdes dalam menghimpun pajak dimasukkan sebagai salah satu variabel adalah karena ketidak-disiplinan Kepala Desa mengumpulkan dan menyetorkan pajak dari masyarakat.

Kades selama ini sering tidak disiplin dalam menyetor pajak yang dipungut dari masyarakat. Setelah indikator ini dimasukkan kedalam indikator penerimaan ADD, ada kades yang tidak terpilih lagi ketika masyarakat tahu bahwa dana ADD yang diterima desa tersebut minim lantaran Kades kinerjanya untuk pengumpulan pajak tidak bagus. Itu kejadiannya di Desa

Buaya … Kebijakan yang diambil Pemkab Kebumen sebagaimana disebutkan oleh Rustriningsih merupakan hal

yang positif. Penetapan kinerja desa sebagai salah satu variabel penentuan besaran dana yang diperoleh desa dapat memotifasi desa untuk memperbaiki kinerjanya demi untuk mendapatkan alokasi dana ADD yang lebih besar. Bagi masyarakat juga sangat bermanfaat, karena mereka dapat memahami dan menilai apakah pihak Kepala desa dan perangkat desa telah bekerja dengan baik selama menjabat.

Problem utama terkait dengan besaran dana ADD, jumlah nominal dinilai jauh dari yang diharapkan. Jangankan untuk mewujudkan tujuan utama ADD, mengentaskan kemiskinan. Untuk penggunaan ADD yang 30% saja (untuk belanja aparatur dan operasionalisaosi pemerintah desa), nominalnya dinilai

dise utka : …Azas Adil adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa berdasarkan Nilai Bobot Desa (BDx) yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu, (misalnya Kemiskinan, Keterjangkauan, Pendidikan Dasar, Kesehatan dll), selanjutnya disebut Alokasi

13 Secara lengkap didalam Permendagri No. 37/2007 Pasal 20 ayat

2 poi

Dana Desa Proporsional (ADDP).

belum memadai. Di Kebumen, ini merupakan keluhan tersendiri yang kerap diperbincangkan diantara para perangkat desa. Dalam wawancaranya Amirudin mengatakan:

Meski se-Jawa Tengah alokasi anggaran untuk ADD di Kebumen relative besar, tapi karena jumlah desa yang sangat banyak (449 desa, pen), nominal untuk tiap desa relative kecil. Karena hal itu anggaran untuk kesejahteraan aparat desa di Kebumen ini masih jauh dari harapan karena belum sesuai dengan UMR. Di kabupaten lain anggaran untuk perangkat termasuk tinggi. Magelang misalnya sudah mensetarakan honor untuk perangkat desa dan kades sesuai dengan UMR. Untuk perangkat desa Rp. 600.000, Sekdes Rp. 700.000, dan Kades Rp. 800.000.

Begitu pula halnya dengan dana ADD yang 70 % (untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat). Sebagai gambaran, di Kebumen rata-rata Desa pada tahun 2007 mendapatkan dana ADD sebesar Rp. 73.496.659, dengan varian yang sangat beragam. Yang terendah (Desa Banyuroto) mendapatkan Rp. 46.318.658; sementara yang tertinggi (Desa Seboro) mendapatkan Rp. 164.886.129. Jumlah ini tak banyak berbeda dengan tahun berikutnya. Pada Tahun 2008 rata-rata desa di Kebumen mendapatkan Dana ADD sebesar Rp. 84.086.859 (dengan tambahan Dana DKPM sebesar Rp. 5.000.000 yang diterima rata untuk setiap desa). Yang terkecil (Desa Podourip) mendapatkan Rp. 51.894.066, sementara yang paling tinggi (Desa GIritirto) mendapatkan Rp. 164.886.129. Lebih lanjut mengenai hal ini lihat Tabel 1.

TABEL 1 DISTRIBUSI DAN BESARAN DANA ADD DI KEBUMEN TAHUN 2006-2009

TAHUN Alokasi Terkecil Jumlah

Alokasi

Jumlah

Total Dana Rata-rata

Terbesar

ADD

ADD/desa 2009 14 37,755 M

2008 16 Podourip 51.894.066 Giritirto 164.886.129 37,755 M 84,086,859.69

2006 19 Banjarsari 31.400.004 Giritirto 94.648.098 20.000.000 43.905.413

14 Perbub Kebumen No. 44/2009 tentang ADD di Kab. Kebumen Tahun Anggaran 2009 15 Perbub Kebumen No. 118/2008 tentang Besaran Alokasi Dana Desa dan Bantua Keuangan untuk Percepatan Pembangunan Desa di Kab. Kebumen pada Tahun 2008

16 Selain ADD pada Tahun 2008 tiap desa juga mendapatkan bantuan keuangan untuk Percepatan Pembangunan Desa, masing-masing Rp. 5.000.000 untuk tiap desa, sementara total dana yang dialokasikan dari APBD sebesar Rp.

2.245.000.0000,- 17 Perbub Kebumen No. 35/2007 tentang Besaran Alokasi Dana Desa untuk Setiap Desa di Kab. Kebumen pada

Tahun 2007. 18 Sebenarnya bukan merupakan dana ADD, tapi Dana Kemandirian Desa/Kelurahan dan Pemberdayaan

Masyarakat (DKPM) Kab. Kebumen Tahun Anggaran 2006 sebagaimana diatur didalam Keputusan Bupati Kebumen

Dengan nominal dana yang relative terbatas, sulit bagi desa melaksanakan program yang benar-benar dapat memberdayakan masyarakat desa 20 , dan pada akhirnya dapat mengeluarkan masyarakat desa

dari kemiskinan. Kebanyakan dana ADD dalam prakteknya habis terserap untuk kegiatan fisik. Kegiatan non fisik (ekonomi maupun social budaya) meski merupakan prioritas kebutuhan, terpaksa tidak diakomodir karena problem keterbatasan anggaran. Atau kalaupun dilaksanakan, program umumnya tidak didisain secara baik untuk benar-benar efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Selain problem

kemampuan menyusun program (RPJMDes) secara baik didesa masih sangat terbatas 21 , problem utama yang tak dapat dinafikan diantaranya adalah karena persoalan ketersediaan anggaran.

Problem lain terkait dengan penggunaan ADD, terdapat keragaman penggunaan dana ADD didaerah- daerah. Meski didalam Permendagri No. 37/2007 22 disebutkan kegiatan apa saja didesa yang dapat

dibi a ai de ga ADD, a u kare a pada poi tujuh dise utka …da se agai a a g dia ggap pe ti g, tafsira

a e jadi sa gat eraga didaerah. Di Kab. Bandung, Jabar, misalnya, tidak mengalokasikan honor RT dan RW dari dana ADD, sementara Kabupaten Kampar mengambil dana ADD untuk honor RT dan RW. Masing-masing daerah memiliki argumentasinya sendiri-sendiri. Perbedaan

interprestasi tersebut pada batas-batas tertentu dapat dilihat sebagai sesuatu yang wajar, selama proses penentapannya disepakati didalam musyawarah desa. Namun ketika penggunaan dana ini tidak dikaitkan dengan tujuan utama ADD, yaitu pengentasan kemiskinan (dan otonomi desa), dikhawatirkan tujuan pemberian dana ADD ke desa-desa di Indonesia menjadi tidak tercapai.

No. 412.6/328/KEP/2006. Dikeluarkan sebagai tahap uji coba pelaksanaan ADD yang tertunda pelaksanaanya karena masih harus melewati tahapan revisi (disesuaikan dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat). Alokasi dana untuk tiap desa menggunakan indicator sebagaimana indikator didalam perda ADD yang sudah disahkan, kecuali untuk kelurahan (dibagi rata masing-masing kelurahan mendapat Rp. 26.042.700 (ada 11 Kelurahan). Jadi total dana DKPM untuk kelurahan adalah Rp. 286.469.700,-

19 Rata-rata dana yang diterima desa (tidak termasuk kelurahan). 20 Didalam Perda No. 2/2004 tentang Pengaturan Keuangan Desa di Kab. Kebumen dana pemberdayaan

disebutkan dapat digunakan untuk biaya perbaikan sarana publik dalam skala desa, penyertaan modal usaha masyarakat melalui Badan Usaha Milik Desa, perbaikan lingkungan dan pemukiman, teknologi tepat guna, pembangunan kesehatan skala desa, khususnya dalam pencapaian standar pelayanan minimal kesehatan atau tercapainya desa sehat, pengembangan sosial budaya, menunjang kegiatan 10 (sepuluh) Program Pokok PKK (besarannya paling sedikit 5 % dan paling banyak 10 % dari 70 % ADD), dan kegiatan lain yang dapat menunjang peningkatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan atau meningkatkan pelayanan kepada Masyarakat Desa.

21 Penjelasan Yusuf dalam wawancara 22 Lebih lanjut lihat Permendagri No. 37/2007, pasal 22 ayat 2 yang berbunyi: Penggunaan Anggaran Alokasi Dana

Desa adalah sebesar 30% (tigapuluh persen) untuk belanja aparatur dan operasional pemerintah desa, sebesar 70% (tujuhpuluh persen) untuk biaya pemberdayaan masyarakat, yaitu berupa:

1. Biaya perbaikan sarana publik dalam skala kecil. 2. Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDesa. c. Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan. 3. Perbaikan lingkungan dan pemukiman. 4. Teknologi Tepat Guna. 5. Perbaikan kesehatan dan pendidikan. 6. Pengembangan sosial budaya. 7. Dan sebagainya yang dianggap penting.

Karena hal itu tak berlebihan jika Amirudin sebagai salah satu tokoh utama perjuangan ADD di Kebumen menyatakan ketidak-puasannya terhadap implementasi ADD terutama kaitannya dengan tujuan asasi ADD.

Kalau tujuannya untuk mendorong penguatan kedesa-desa, target tersebut sudah memadai. Desa misalnya jadi belajar bagaimana membuat RPJMDes. Tapi untuk mendorong pembangunan desa menjadi lebih progresif, implementasi ADD masih sangat jauh dari harapan. Problem utamanya karena jumlah desa di Kebumen yang sangat banyak. Sebagai gambaran alokasi dana ADD untuk desa di Kebumen saat ini berkisar antara 90-100 juta. Beberapa desa ada yang dibawahnya, dan beberapa ada yang diatasnya sedikit. Sebagai contoh Desa Karanggadung, mendapat 90 juta, sementara Desa Tanjung Sari hanya mendapat 73 juta juta. Dengan besaran dana yang sangat terbatas tersebut, tidak terlalu banyak perubahan yang bisa dilakukan. Apalagi karena di Kebumen banyak desa-desa miskin. Perlu ada terobosan-terobosan la i . Tidak isa e gharapka ADD…

TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses negosiasi politik antara para pemangku kepentingan yang memungkinkan terjadinya reforma dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam konteks pelaksanaan ADD, selain juga berusaha memetakan kondisi apa saja yang memungkinkan negosiasi politik tersebut berhasil mendorong diberlakukannya kebijakan ADD di Kebumen serta melihat ada tidaknya keterlibatan masyarakat dalam proses ADD. Secara lebih khusus, penelitian ini berusaha (1) membangun strategi dalam mendorong reforma penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang akan diadvokasi, (2) mengenali aktor-aktor yang berpotensi mendorong dan menghambat proses reforma penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan (3) mengembangkan strategi dalam penguatan organisasi masyarakat sipil agar dapat terlibat dalam proses reforma penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Metode Penelitian. Penelitian ini mengunakan metode deskriptif, yaitu membuat gambaran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan gejala-gejala sosial pada suatu daerah tertentu secara sistematik dan mengikut fakta. Dengan cara ini gejala sosial dan politik berupa proses negosiasi dalam reforma penyelenggaraan pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan ADD di Kebumen, diharapkan dapat digambarkan secara lebih sistematis. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan dengan metode studi kasus, peneliti melakukan beberapa strategi untuk memastikan terhimpunnya seluruh data yang diperlukan dan dari beragam sumber yang ada. Keragaman sumber informasi ini penting karena sangat mempengaruhi kualitas pendeskripsian kasus secara utuh dan proporsional.

Terkait dengan hal tersebut, peneliti melakukan langkah-langkah berikut dalam menghimpun informasi yang dibutuhkan:

1. Mewawancarai informan kunci yang direkomendasikan ACE, yaitu Sdr. Yusuf Murtiono. Untuk memperkaya data yang dihimpun, diwawancarai pula aktor-aktor lain yang juga aktif di FORMASI, Mustika Aji dan Petruk, dengan harapkn dapat memperkaya data yang dihimpun selain sekaligus berfungsi sebagai cross check atas kebenaran data yang disampaikan informan kunci.

2. Menggali informasi dari pihak-pihak yang pernah (atau masih aktif) mendrive program di Kebumen, yaitu FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa) dengan agenda otonomi desa, IRE Jogjakarta dengan program tracking anggaran (PBETH) dengan lembaga bentukannya, GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil); dan INDIPH, lembaga lain yang aktif di Kebumen namun dengan isu yang agak berbeda, yaitu kesetaraan gender.

3. Menggali informasi dari wartawan senior yang ditemui dilapangan, yang telah bekerja cukup lama di Kebumen, dan mengetahui dengan baik aktor-aktor yang terlibat dalam proses perjuangan ADD menjadi Perda. Dengan asumsi bahwa wartawan karena pekerjaannya dalam menghimpun informasi dapat dipastikan berinteraksi dengan banyak pihak selaku aktor atau pelaku dalam berbagai momen penting yang terjadi di Kebumen,

4. Menggali informasi dari jajaran birokrasi. Selain Bapermades sebagai pihak yang bertanggung- jawab langsung terhadap implementasi ADD, Bapeda dan Sekda dinilai sebagai pihak yang relevan untuk diwawancarai mengingat perannya yang strategis baik sebagai perencana kegiatan maupun sebagai pengendali utama seluruh aktifitas dijajaran Pemkab Kebumen. Selain itu TKPKD juga dinilai sebagai informan penting untuk dimintai keterangan mengingat tanggung- jawabnya terhadap berbagai upaya pengentasan kemiskinan di Kebumen, yang juga merupakan salah satu tujuan dari diberlakukannya ADD.

5. Menggali informasi dari jajaran DPRD. Proses pengesahan ADD menjadi Perda dapat dipastikan melibatkan DPRD. Selain mewawancarai beberapa nama yang direkomendasikan oleh informan yang telah diwawancarai lebih dahulu, peneliti juga mewawancarai anggota DPRD lainnya yang dinilai memiliki informasi yang dibutuhkan. Diantaranya dari anggota DPRD Kebumen yang menjabat selama 3 periode. Meski yang bersangkutan tidak terlibat secara langsung dalam proses ADD, informan dinilai dapat memberi informasi tambahan dinamika yang terjadi secara umum di DPRD, terutama tentang proses negosiasi politik yang terjadi.

6. Mewawancarai kelompok perempuan, pengrajin batik tulis dan perempuan bakul lanting. Dipilihnya kelompok tersebut karena diasumsikan merupakan kelompok yang secara ekonomis kontribusinya sudah mendapatkan pengakuan atau sudah dirasakan, selain karena relative lebih terkordinir secara kelembagaan.

Dengan strategi seperti itu, peneliti melakukan proses penggalian data kepada 26 orang informan, yang berlangsung selama 27 hari mulai dari tanggal 4 hingga 29 Agustus 2009.

PERJUANGAN ADD DI KEBUMEN

Kabupaten Kebumen Selayang Pandang

Kabupaten Kebumen dalam konteks regional merupakan simpul penghubung antara Jawa Timur dan Jawa Barat. Memanjang di pulau Jawa bagian Selatan, disebelah Utara daerah ini berbatasan dengan Kab. Banjarnegara dan Wonosobo, ditimur dengan Kab. Purworejo, disebelah Selatan dengan Samudera Indonesia, dan disebelah Barat dengan Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas.

Dengan luas wilayah darat 1.281,115 km2 dan wilayah laut 6.867 km2, jumlah penduduk 23 di Kabupaten Kebumen cenderung mengalami peningkatan terus secara signifikan dengan tingkat pertumbuhan

penduduk rata-rata per-tahun (selama kurun waktu 1990-2008) mencapai 0,88%, atau di atas pertumbuhan penduduk Jawa Tengah sebesar 0,67. Dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata per- km2 naik 3,99% (tahun 2003-2008), yaitu dari 932 jiwa/km2 (tahun 2004) menjadi 969 jiwa/km2 (tahun 2008), berdasarkan data terakhir Dinas Kependudukan Kebumen jumlah penduduk Kebumen saat ini telah mencapai 1.283.106, terdiri dari 637.490 laki-laki, dan 645.616 perempuan. Kebumen bukanlah daerah yang cukup menonjol diantara Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah. Dengan kemampuan

penganggaran yang relative terbatas 24 , tak ayal daerah ini menjadi salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi di Jawa Tengah. Beberapa yang kerap diekspose tentang Kebumen terkait

dengan Genteng potensi pariwisata seperti Goa Jati-jajar, Benteng Van Der Wick, dan juga batik Kebumen.

Reformasi Pelayanan Publik di Kebumen

Pasca reformasi, pemberitaan tentang Kebumen relative meningkat. Selain karena terjadinya beberapa kerusuhan yang cukup meluas, kepemimpinan Rustriningsih sebagai Bupati perempuan pertama merupakan daya tarik tersendiri. Sebagai Bupati, Rustriningsih juga bisa dibilang melakukan upaya cukup serius untuk mengekspose daerahnya yang selama ini tidak banyak diberitakan, diantaranya dengan menyewa Matari Corporation, lembaga konsultan profesional yang dipimpin oleh Ken Sudarta.

Ada beberapa bentuk reform pelayanan publik yang disebut-sebut sebagai keberhasilan Kebumen, terutama dimasa kepemimpinan Rustriningsih. Beberapa diantaranya diwarnai pro dan kontra karena dinilai hanya merupakan strategi politik guna meningkatkan popularitas sang bupati dan tidak didisain sebagai upaya untuk penyelesaian persoalan sehingga tidak layak dideclare sebagai bentuk reform. Munculnya kritik tersebut diantaranya karena meski disatu sisi sang Bupati gencar mengupayakan perwujudan nilai-nilai good governance seperti transparansi melalui program Selamat Pagi Bupati, Ratih TV, proses lelang terbuka dialun-alun, dll; namun disisi lain Rustriningsih dianggap bersikap ambigu kare a e u urka er agai praktek KKN. Pe eria ke e a ga kepada Rustri a to adik Rustri i gsih u tuk e ge dalika irokrasi dia tara a dala pe etapa APBD dan penganggaran) dan banyaknya proyek- pro ek te der a g di e a gka oleh Rustri a to da atau ora g-ora g a g berada dibawah kendali Rustriyanto), termasuk diantaranya pengadaan barang untuk pembelian alat untuk Ratih TV, dinilai menciderai semangat untuk mewujudkan clean and good governance itu sendiri.

Mencermati adanya suara-suara sumbang tersebut, penulis mencoba memilih lebih selektif bentuk- bentuk reform yang dapat dipertanggung-jawabkan sebagai keberhasilan (success story) Kebumen dengan tidak mengadopsi begitu saja informasi mengenai bentuk-bentuk reform yang diklaim sendiri oleh Pemkab Kebumen sebagai bentuk keberhasilannya. Karena hal itu peneliti lebih memilih bentuk- bentuk reform yang dilaksanakan lebih konsisten dan mendapatkan pengakuan dari banyak pihak untuk ditampilkan didalam report studi ini. Adapun program yang dimaksud adalah, Pengembangan Nilai-nilai

23 Suseda Kabupaten Kebumen Tahun 2008 24 APBD Kebumen pada tahun 2007 berjumlah 791.797.399.045. Sumber pendapatan secara umum masih didominasi oleh dana Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 585.364.992.000,00 dan Dana

Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 52.203.000.000,00. Kedua sumber pendapatan tersebut menyumbang hingga 81,78% total APBD. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kebumen sendiri ditahun yang sama jumlahnya sebesar Rp 56.145.009.260,00, sedikit diatas target pendapatan sebesar Rp 52.469.339.582,00.

Good Governance, terutama transparansi dan partisipasi. Program-program yang terkait dengan transparansi diantaranya adalah mendukung disusunnya Perda Transparansi, membuka akses informasi publik terhadap kegiatan pembangunan melalui jaringan radio in FM (Selamat Pagi Bupati), yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan serupa melalui pengelolaan Televisi Lokal, Ratih TV; Direct Mail; SMS dan Publikasi Proyek Pembangunan termasuk APBD kepada masyarakat secara luas hingga kedesa-desa. Sedangkan untuk partisipasi, pelaksanaan kebijakan Pemkab Kebumen mengenai Alokasi Dana Desa (ADD), merupakan bentuk reform lain yang cukup menonjol.

ADD SEBAGAI BENTUK REFORM DI KEBUMEN: PERJUANGAN PANJANG LAGI BERLIKU

Perjuangan ADD di Kebumen (mulai dari perjuangan pengesahan perda hingga implementasi), berlangsung relative panjang lagi berliku. Meski cikal bakalnya sudah dimulai sejak tahun 1998, pengesahan Perda ADD baru terjadi pada tahun 2004, pada last minute sebelum pergantian DPRD baru (pemilu 2004). Perjuangan agar perda yang sudah disahkan dapat diimplementasikan, juga memerlukan waktu panjang. Implementasi ADD secara utuh di Kebumen baru dilaksanakan pada Tahun 2007, tiga tahun setelah pengesahan perda, dan karenanya bisa dibilang jauh lebih tertinggal dibanding daerah lain. Sebut saja misalnya Wonosobo, yang sebelumnya datang dan belajar tentang ADD ke Kebumen.

Sebagaimana disebutkan dibagian pendahuluan, pelaksanaan ADD di Kebumen, sesungguhnya bukan merupakan inisiatif Pemkab. Pemkab (termasuk DPRD), bahkan dapat dikatakan menjadi pihak yang ikut

a g terlambat dan terhambatnya pelaksanaan ADD di Kebumen. Terhadap hal ini Rustriningsih dalam wawanacaranya mengatakan:

eu

Kalau ada ke ijaka , pertama-tama saya lontarkan wacana. Juga tidak mesti dari saya yang melempar wacana itu, tapi dari orang-orang yang saya percaya. Ini untuk melihat reaksi. Untuk mengukur reaksi dari masyarakat dan tingkat kebutuhan mereka dari gagasan yang kita tawarka . (Hasil wawancara dengan Rustriningsih di Kantor Gubernur Jateng, pada 28 Agustus 2009)

Jadi meski Pemkab terkesan bukan menjadi pihak yang mengambil inisiatif dalam pengusulan raperda ADD, menurut Rustri sesungguhnya ia (Rustriningsih) terlibat secara tidak langsung dalam proses pe a a aa isu ADD elalui ora g-orang suruhannya. Karena itu menurutnya tidak bisa diklaim

sepenuhnya bahwa inisiatif ADD datang dari masyarakat, karena ia sudah lebih dulu mengambil peran mewacanakan isu tentang ADD jauh sebelum isu itu diperbincangkan.

Terlepas dari argumentasi yang disampaikan Rustriningsih, realitanya usulan tentang perlunya dibuat perda ADD di Kebumen,secara formal datang bukan dari inisiatif Pemkab. Usulan yang paling awal disampaikan oleh Amirudin Masdar, seorang carik dari Desa Tanjung Sari, Kecamatan Petanahan, pada tahun 2000, yang datang menemui Pemkab Kebumen untuk menyuarakan aspirasinya. Meski aspirasi yang disampaikan Amirudin belum terkonsep dengan baik (hanya berupa penuturan lisan), namun kedatangan Amirudin yang mengatas-namakan Forum Komunikasi Perangkat Desa se-Kecamatan Petanahan itu bisa dibilang merupakan tonggak awal perjuangan ADD. Aspirasi yang sudah sejak lama bergejolak didesa itu secara resmi disuarakan.

Selain mendatangi Pemkab, Amirudin juga mendatangi DPRD. Di DPRD mereka diterima dengan baik, bahkan diminta untuk menyampaikan aspirasinya yang dihadiri oleh fraksi-fraksi di DPRD Kab. Kebumen Selain mendatangi Pemkab, Amirudin juga mendatangi DPRD. Di DPRD mereka diterima dengan baik, bahkan diminta untuk menyampaikan aspirasinya yang dihadiri oleh fraksi-fraksi di DPRD Kab. Kebumen

Sayangnya usulan kedua fraksi tersebut tidak didukung fraksi besar di DPRD, PDIP. Begitu juga dengan Bupati yang menjabat sebagai Ketua Pimpingan Cabang (daerah) PDIP Kab. Kebumen. Menanggapi usulan kedua fraksi tersebut pihak Pemkab (eksekutif) beberapa waktu setelahnya memberi jawaban tertulis yang ditanda-tangani langsung oleh Bupati (Rustriningsih). Jawaban Pemkab, usulan Amirudin, dkk tidak dapat diakomodir karena desa bukan daerah otonom. Karena hal itu tidak ada landasan hukum untuk meminta perimbangan keuangan bagi desa sebagaimana perimbangan Pusat kepada Kabupaten,

dan karena itu pula tidak diperlu perda untuk mengaturnya. 25 Tapi perjuangan menuntut disusunnya perda ADD ternyata tidak berakhir sampai disini. Usulan

pembuatan perda ADD kembali disuarakan. Kali ini diajukan oleh Forum PERKASA yang berkolaborasi dengan Lembah Lukulo (LSM). Forum PERKASA atau Forum Perangkat Desa se-Kebumen adalah, forum yang sengaja dibentuk Amirudin, dkk untuk meningkatkan posisi tawar mereka terhadap Bupati. Dengan wadah Forum PERKASA aspirasi yang dibawa Amirudin, dkk bukan lagi aspirasi dari Kecamatan Petanahan saja, tapi sudah menjadi aspirasi dari perangkat desa yang berada diseluruh kecamatan di Kebumen. Sementara Lembah Lukulo adalah sebuah LSM yang aktif memfasilitasi diselenggarakannya diskusi mengenai perjuangan desa. LSM yang awalnya dibentuk untuk memback-up Rustriningsih setelah yang bersangkutan terpilih sebagai bupati, dipimpin oleh Imam Mustofa dan Misbah Sukmadi.

Mereka datang sudah dengan membawa draft raperda, yang dihasilkan dari kegiatan diskusi tentang desa yang diselenggarakan Lembah Lokulo. Draft tersebut sebelum dibawa ke DPRD sudah dishare lebih dulu ke desa-desa melalui Amirudin, dkk (jalur Kades dan perangkat desa) serta jaringan masyarakat desa (ARKuR) yang dimotori Sujud. Karena hal itu ketika dibawa ke DPRD, ADD sudah menjadi isu yang berkembang luas didesa.

Usulan (draft) pertama-tama dibawa ke DPRD dengan harapan DPRD dapat menggunakan hak inisiatif untuk menyusun Perda. DPRD bersedia menerima. Tapi DPRD menyarankan agar draft lebih dulu diusulkan ke Pemkab untuk menghormati Bupati.

Di DPRD mereka diberi kesempatan untuk mempresentasikan gagasan diforum yang dihadiri oleh semua fraksi. Dalam presentasinya Amirudin, Misbah, dan satu orang lagi dari perwakilan BPD, menyampaikan landasan hukum mengapa perlu ada raperda perimbangan keuangan desa termasuk analisis apakah secara anggaran mungkin atau tidak untuk dilaksanakan. Fraksi-fraksi tanggapannya sangat bagus, hanya PDIP yang diam. Tidak menolak, tapi juga tidak menerima.

Meski menerima, DPRD sempat meragukan bahwa usulan yang diajukan tidak didukung desa dan hanya didukung elit-elit atau aktifis LSM ditingkat kota (kab. Kebumen). Menjawab keraguan DPRD ini, mereka mengumpulkan tanda tangan dari para kades dan perangkat desa. Terkumpullah lebih dari 100 tanda

25 Hasil wawancara dengan Amirudin Masdar pada 24 Agustus 2009, di rumah kediamannya.

tangan dan terus bertambah hingga mencapai hampir 200 tanda tangan dan kemudian diserahkan ke DPRD.

Menindak-lanjuti usulan DPRD, Misbah, Imam, dan Amir kemudian mendatangi Bupati untuk mengirimkan draft. Tapi Bupati tidak mau menemui. Mereka hanya diterima oleh ajudan Bupati. Mereka menunggu-nunggu jawaban dari eksekutif kapan mereka akan diberi waktu untuk presentasi. Tapi alih- alih mendapat jawaban atas permohonan untuk presentasi, Amirudin selaku kordinator Forkom PERKASA yang diundang hadir oleh Pemkab (Asisten Pembangunan dan bagian hukum) ditegur karena keterlibatannya dalam gerakan memperjuangan ADD. Amirudin diingatkan bahwa ia merupakan bagian dari birokrasi dan karenanya tidak mudah dikecoh atau diperalat oleh LSM (Lembah Lokulo) untuk menentang birokrasi. Statement tersebut juga disampaikan Rustriningsih Sang Bupati disalah-satu Koran yang mewawancarainya. Rustriningsih mengatakan bahwa Forkom PERKASA ditunggangi oleh LSM. Meski kasus yang diangkat terkait dengan aspirasi Pemdes untuk menolak rencana Pemkab mencabut tanah bengkok desa, melalui Perbub yang dikeluarkan Bupati. Tentang hal ini Amirudin mengatakan,

Sebetulnya Forkom PERKASA tidak ditunggangi, tapi ini lebih merupakan kerja sama yang saling menguntungkan …

Meski terjadi dialog yang sangat intensif dengan DPRD, tidak juga terlihat ada tindak lanjut yang konkrit dari DPRD dalam bentuk rencana penyusunan raperda. Hal ini terjadi selama bebeberapa bulan. Akibatnya geliat gerakan perjuangan ADD seolah berhenti.

Usulan pembuatan perda muncul kembali kepermukaan ketika program P2TPD (Program Pembaharuan dan Tata Pemerintahan Daerah) digulirkan di Kebumen. Sebagai program pusat (Program Bapenas dengan pembiayaan dari World Bank) Bupati dan DPRD secara psikologis cenderung akan segan menolak usulan raperda ADD jika usulan tersebut dapat diakomodir sebagai program P2TPD. Karena itu mereka mengupayakan agar perjuangan pembuatan perda ADD dimasukkan menjadi program P2TPD. Mereka kemudian melakukan negosiasi dengan pihak pelaksana program P2TPD. Sebagai gantinya mereka akan mendukung dan terlibat dalam penyuksesan program P2TPD, satu diantaranya mendukung pengajuan raperda transparansi. Setelah usulan penyusunan ADD dimasukkan kedalam program P2TPD, penolakan Pemkab dan DPRD relative berkurang.

Meski demikian perjalanan perjuangan ADD masih berlangsung alot. Setidak-tidaknya dibutuhkan waktu setahun lebih sejak itu hingga akhirnya draft disetujui. Itupun dengan berbagai rintangan yang cukup sulit seperti kemunculan raperda perpanjangan masa jabatan kepala desa, usulan penundaan pengesahan menunggu pelaksanaan pemilu, dll. Akibatnya mereka pun perlu mengambil langkah menurunkan massa dalam jumlah cukup banyak (hingga mencapai jumlah seribu lebih), dalam beberapa kali momen yang dinilai penting. Secara kelembagaan mereka juga membentuk wadah perjuangan yang lebih besar dan lebih luas (cakupan pihak yang terlibat), yaitu FORMASA (Forum Masyarakat Desa), perluasan dari Forum PERKASA karena bukan hanya terdiri dari Kades dan perangkat desa se-Kabupaten Kebumen tapi juga LSM). Sebelumnya telah pula dibentuk FORMASI (Forum Masyarakat Sipil), yang meski awalnya dimaksudkan sebagai wadah untuk menyatukan aktifis dan LSM yang ada di Kebumen untuk mengawal program P2TPD (merupakan bentukan P2TPD), juga digunakan untuk menjadi wadah dalam memperjuangkan ADD setelah ADD masuk menjadi agenda P2TPD.

Selain menghadapi respon negative dari Pemkab dan DPRD, perjuangan ADD di Kebumen juga menghadapi tantangan berupa adanya upaya untuk memutus dukungan masyarakat, terutama para kades dan perangkat desa terhadap ADD dengan diajukannya perda perpanjangan jabatan kepala desa Selain menghadapi respon negative dari Pemkab dan DPRD, perjuangan ADD di Kebumen juga menghadapi tantangan berupa adanya upaya untuk memutus dukungan masyarakat, terutama para kades dan perangkat desa terhadap ADD dengan diajukannya perda perpanjangan jabatan kepala desa

dikonsolidasikan kembali. Sadar akan hal tersebut, mereka mencoba untuk tidak terpancing dengan menghabiskan energy mengcounter rencana penyusunan perda. Mereka sadar kalau hal itu mereka lakukan, para kepala desa dapat dipastikan akan memisahkan diri dari gerakan perjuangan ADD. Karenanya usulan Perda yang sesungguhnya sangat kontroversial tersebut melenggang kangkung dengan mudah. Tidak sampai satu tahun (2004) sudah disahkan, lebih dahulu dibanding dengan Perda ADD yang sudah diajukan sejak tahun 2000.

Setelah perda ADD akhirnya disahkan, jalan mulus bagi pelaksanaan ADD juga tidak otomatis diperoleh. Perda terpaksa harus direvisi dulu sebelum sempat dilaksakan karena tak lama setelah perda disahkan keluar PP yang isinya dinilai oleh Pemkab dan DPRD berbeda dengan isi perda. Hal ini terkait dengan jumlah alokasi dana ADD. Jika didalam Perda alokasi ADD disebutkan 10% dari total APBD, didalam PP disebutkan minimal 10% setelah dikurangi urusan wajib.