PENGANTAR KONSEP DASAR DALAM TEORI “MMA”

❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami dalam Kajian Makna LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 69 APLIKASI TEORI METABAHASA MAKNA ALAMI DALAM KAJIAN MAKNA Mulyadi dan Rumnasari K. Siregar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Politeknik Negeri Medan Abstract This article describes the method of natural semantic metalanguage theory in meanings of words in Indonesian. Sample of the words are some Indonesia verbs, nouns, and adjectives. The purposes are to explain several basic concepts of the theory and some of research procedures. Semantic properties of a word are explored by means of syntactic and semantic evidences. The result of explication showed that the theory of natural semantic metalanguage could simplify the complex meanings of words which were related semantically in order to understand their similarities and difference. Key words: semantic primitives, polysemy, universal syntax of meaning, semantic property

1. PENGANTAR

Sejak awal perkembangan linguistik, makna kurang mendapat perhatian dari para ahli bahasa. Bloomfield 1933, misalnya, berpendapat bahwa makna merupakan butir paling lemah dalam linguistik sehingga lebih tepat dimasukkan dalam disiplin lain seperti sosiologi dan psikologi. Chomsky 1955, seperti disitir oleh Wierzbicka 1996b: 7, juga menghindari makna dalam ancangan sistem formalnya. Bahasa dibatasinya sebagai rangkaian simbol yang tidak bisa ditafsirkan dan hanya dihasilkan oleh kaidah produksi seperti bahasa komputer. Pandangan Chomsky tentang makna tercermin dalam kutipan berikut: “if it can be shown that meaning and related notions do play a role in linguistic analysis, then … a serious blow is struck at foundations of theory linguistic” 1955: 141 via Wierzbicka 1996b: 7—8. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada periode 1970-an barulah makna mendapat tempat yang layak dalam teori linguistik. Telaah empiris tentang makna ini terdapat dalam teori Natural Semantic Metalanguage Metabahasa Makna Alami, selanjutnya disingkat MMA. Tulisan ini akan menyajikan perspektif MMA dalam kajian makna dengan mendeskripsikan konsep dasar dan model aplikasinya pada data bahasa Indonesia. Teori MMA mempunyai dua keunggulan untuk aplikasi praktis. Pertama, MMA dapat diterima oleh semua penutur jati karena parafrase maknanya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah. Kedua, MMA selalu terbuka untuk penyesuaian dan modifikasi terhadap representasi maknanya.

2. KONSEP DASAR DALAM TEORI “MMA”

Pelopor utama teori MMA adalah Anna Wierzbicka, ahli semantik keturunan Polandia yang menjadi dosen di Universitas Nasional Australia. Bersama beberapa koleganya—antara lain Cliff Goddard, Felix Ameka, Hilary Chappell, dan Jean Harkins, Wierzbicka selama bertahun- tahun mengembangkan MMA melalui penelitian semantik lintas bahasa. Teorinya diawali dengan penyelidikan makna asali semantic primitives secara empiris melalui metode coba dan ralat trial and error dan temuannya kemudian diterbitkan dalam buku Semantic Primitives 1972. Dalam daftar publikasinya periksa Anna Wierzbickaanu.edu.au tampaknya fase penelitian Wierzbicka berlanjut hingga kini dengan tetap mempertahankan tujuan dasar dari rancangan penelitiannya, yaitu menyelidiki makna asali universal, menghindari fitur dan pemarkah artifisial, menolak sistem representasi logis, dan mempercayai bahasa alamiah sebagai satu-satunya sistem eksplanatori dalam representasi makna Wierzbicka 1996b: 31. Asumsi dasar dalam teori MMA berhubungan dengan prinsip semiotis yang menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas, dalam arti makna kompleks apa pun dapat dijelaskan tanpa perlu berputar-putar dan tanpa residu dalam kombinasi makna diskret yang lain Goddard 1994: 2, 1996a: 24, Wierzbicka 1996a: 10. Namun, agar diskret dan tuntas analisis maknanya harus menggunakan perangkat makna asali sebagai elemen akhir, yaitu sebuah perangkat makna tetap yang diwarisi manusia sejak lahir. Asumsinya, makna sebuah ❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami dalam Kajian Makna LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 70 kata merupakan konfigurasi dari makna asali, bukan ditentukan oleh makna yang lain dalam leksikon. Penting diketahui bahwa gagasan makna asali bukanlah sebuah konsep baru dalam literatur semantik. Pada Abad ke-17 keberadaan makna ini sudah diakui oleh para ahli seperti Descartes, Pascal, Arnauld, dan Leibniz periksa Goddard 1994: 2, Wierzbicka 1996b: 12. Arnauld 16621964: 86—87 via Goddard 1994: 2, misalnya, mengatakan bahwa: “It is impossible to define all words. In defining we employ a definition to express the idea which we want to join to defined word; if we then wanted to defined the definition, still other words would be needed—and so on to infinity. Hence, it is necessary to stop at some primitive words which are not defined.” Aristoteles 1937: 141 via Wierzbicka 1996b: 10 juga mengemukakan hal senada. Menurut Aristoteles, sebuah definisi haruslah dibuat dengan menggunakan istilah yang dapat dimengerti, bukan dengan istilah yang acak. Jika tidak digunakan istilah yang lebih dapat dimengerti, definisi tersebut akan sukar dipahami. Ide Wierzbicka tentang makna asali diilhami oleh ceramah Andrzej Boguslawski di Universitas Warsawa pada tahun 1965. Boguslawski ketika itu berpendapat bahwa makna asali yang gagal diancangi di dalam filsafat sehingga dianggap utopia dapat direalisasikan dalam linguistik Wierzbicka 1996b: 13. Namun, harus diakui bahwa Wierzbicka adalah orang pertama yang menaruh perhatian terhadap gagasan makna asali dalam teori semantik. Dia dan teman-temannya secara intensif mengeksplorasi makna asali dari berbagai bahasa. Pada tahun 1972 baru empat belas makna asali yang berhasil ditemukannya dan sebelas di antaranya terbukti efektif dalam analisis makna Goddard 1996a: 24, Wierzbicka 1996b: 31. Pada tahun 1980 jumlahnya menjadi 15, tetapi sejumlah makna lain disebut sebagai kandidat yang mungkin dimasukkan pada fase berikutnya Goddard 1996a: 24. Dalam Lokakarya Semantik di Adelaide tahun 1986 Goddard mengusulkan beberapa makna asali yang baru. Proses perluasan ini terbukti memudahkan analisis makna pada berbagai ranah semantis dan memungkinkan untuk memformulasikan eksplikasi makna yang lebih menarik dan secara intuitif dapat dimengerti. Pada tahun 1996 jumlahnya 55 elemen Goddard 1996a: 24—37, Wierzbicka 1996b: 35—111. Pada tahun 2004 menjadi 60 karena adanya tambahan elemen BODY, TRUE, HAVE, NOW, BELOW sementara TOUCH dan LONG sebagai kandidat dalam http:www-personal.une.edu.au~cgoddard. Perangkat makna tersebut tampak pada tabel di bawah ini. Tabel Perangkat Makna Asali Substantives I, YOU, SOMEONEPERSON, PEOPLE, SOMETHINGTHING, BODY Mental predicates THINK, KNOW, WANT, FEEL, SEE, HEAR, SPEECH: SAY, WORD, TRUE Actions, events, and movement DO, HAPPEN, MOVE, TOUCH Existence and possession THERE IS, HAVE Life and death LIVE, DIE Determiners THIS, THE SAME, OTHER Quantifiers ONE, TWO, ALL, MANYMUCH, SOME Evaluators GOOD, BAD Descriptors BIG, SMALL, LONG Time WHENTIME, AFTER, BEFORE, A LONG TIME, A SHORT TIME, FOR SOME TIME, NOW, MOMENT Space WHEREPLACE, HERE, ABOVE, BELOW; FAR, NEAR; SIDE, INSIDE Logical Concepts IF, NOT, CAN, BECAUSE, MAYBE Intensifier, augmentor VERY, MORE Taxonomy, partonomy KIND OF, PART OF Similarity LIKE Konsep dasar lain dalam teori MMA ialah polisemi, yang dipahami sebagai bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Di antara dua makna asali itu tidak terdapat hubungan komposisi nonkomposisi sebab masing-masing mempunyai kerangka gramatikal yang berbeda. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara konsep BERPIKIR dan MENDENGAR diwujudkan pada verba kulini Wierzbicka 1996b: 25—26. Dalam bahasa Indonesia, verba menonton merupakan ekspresi dari MELIHAT dan MEMIKIRKAN Mulyadi 2000: 81. Seperti halnya makna asali, polisemi juga bukanlah konsep baru Goddard 1996a: 29, Be- ratha 1997: 113, kecuali cara mengidentifikasi eksponen dari makna asali. Pada tingkatan yang sederhana, eksponen dari makna asali yang sama mungkin menjadi polisemi dengan cara yang berbeda pada bahasa yang berbeda. Goddard 1996a: 29 memberi contoh makna kedua dari ❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami Dalam Kajian Makna LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 71 eksponen mukuringanyi INGIN dalam bahasa Yankunytjatjara menyerupai like, be fond of, dan need dalam bahasa Inggris padahal ranah penggunaannya berbeda dengan ranah want bahasa Inggris. Menurut Goddard 1996a: 31, ada dua hubungan nonkomposisi yang paling kuat, yakni hubungan pengartian entailment-like relationship dan hubungan implikasi implicational relationship. Hubungan pengartian diilustrasikan pada MELAKUKANTERJADI dan MELAKUKAN PADATERJADI. Contohnya, jika X MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN; contohnya, jika X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X. Berikutnya adalah konsep aloleksi. Konsep aloleksi diusulkan pertama kali oleh Cliff Goddard pada Simposium Semantik di Canberra pada tahun 1992 Wierzbicka 1996b: 26—27 untuk menerangkan beberapa bentuk kata yang berbeda dalam konteks komplementer mengekspresikan sebuah makna tunggal. Gagasan aloleksi berperan penting dalam ancangan MMA, terutama untuk bahasa infleksi. Ada beberapa tipe aloleksi. Pertama, aloleksi posisional untuk menerangkan kata I dan me bahasa Inggris. Keduanya mempunyai makna yang sama, kecuali posisinya: I sebelum verba dan me di posisi lain. Kedua, aloleksi kombinatorial untuk menjelaskan hubungan ‘someone’ dengan ‘person’. Berkombinasi dengan determiner dan kuantifier, ‘people’ berfungsi sebagai aloleks ‘someone’ mis. ‘this someone’ = ‘this person’, ‘the same someone’ = ‘the same person’, ‘two someones’ = ‘two person’, dsb.. Juga berlaku untuk ‘something’ dan ‘thing’ mis. ‘this something’ = ‘this thing’, ‘the same something’ = ‘the same thing’, ‘two somethings’ = ‘two things’. Ada pula aloleksi kasus. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara subjek verba kulini BERPIKIR, wangkanyi BERKATA, dan palyani MELAKUKAN memilih kasus ergatif, sedangkan mukuringanyi INGIN memilih kasus nominatif. Tipe aloleksi lain ialah aloleksi infleksi. Dalam kalimat seperti ‘I did something’ seperti 1a, kata did secara semantis kompleks DO + kala lampau. Namun, jika diparafrase isi semantis kala lampaunya, maknanya menjadi ‘at some time before now’, seperti 1b. Dalam konteks ini, pilihan bentuk did menjadi automatis dan aloleksis. 1 a. I did something. b. At some time before now, I diddo something. Tipe aloleksi terakhir dinamakan aloleksi portmanteau, yaitu sebuah kata tunggal morfem, frasem mengekspresikan kombinasi makna asali. Contohnya, dalam bahasa Inggris can’t adalah kombinasi CAN + NOT. Dalam catatan Goddard 1996a: 28—29, banyak bahasa mempunyai aloleksi portmanteau pada bentuk negasi dan kadang-kadang berkombinasi dengan beberapa elemen lain. Kata noli dalam bahasa Latin, umpamanya, merupakan kombinasi TIDAK INGIN dan AKU MELAKUKAN. Konsep dasar selanjutnya ialah sintaksis makna universal SMU. SMU dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an sebagai perluasan dari sistem makna asali Goddard 1996a: 24. Dalam teori MMA makna dipahami sebagai struktur yang sangat kompleks, terdiri atas komponen berstruktur seperti ‘aku menginginkan sesuatu’, ‘ini baik’, atau ‘kau melakukan sesuatu yang buruk’. Kalimat seperti ini disebut SMU. Jadi, SMU adalah kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksisnya. Unit dasar SMU dapat disamakan dengan “klausa”, dibentuk oleh substantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya. Contoh pola SMU antara lain ialah 2 a. Aku melihat sesuatu di tempat ini. b. Sesuatu yang buruk terjadi padaku. c. Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku. d. Aku tahu bahwa kau orang yang baik. Pola kombinasi yang berbeda dalam SMU mengimplikasikan gagasan pilihan valensi. Contohnya, elemen MELAKUKAN, selain memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib seperti ‘seseorang melakukan sesuatu’, juga “pasien” seperti ‘seseorang melakukan sesuatu pada seseorang’. Begitu pula, MENGATAKAN, di samping memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu’, juga “pesapa” seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang’, atau “topik” seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu’, atau “pesapa” dan topik” seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’. Tiga konsep dasar di atas, yaitu makna asali, polisemi, dan sintaksis makna universal sangat relevan diterapkan pada bahasa Indonesia. Konsep aloleksi hanya cocok untuk bahasa yang memiliki infleksi dan kasus. Hubungan ketiga konsep tersebut dalam kajian makna diringkas dalam skema di bawah ini. ❏ Mulyadi ❏ Rumnasari K. Siregar Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami dalam Kajian Makna LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 72 makna asali polisemi sintaksis makna universal makna asali makna

3. APLIKASI TEORI “MMA“