Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Perjanjian Kawin Pasangan Calon Suami / Isteri Yang Akan Menikah Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA PERJANJIAN
KAWIN PASANGAN CALON SUAMI / ISTERI YANG AKAN
MENIKAH MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
TESIS
Oleh
DHIRA M. W. S NASUTION
087011033/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA PERJANJIAN
KAWIN PASANGAN CALON SUAMI / ISTERI YANG AKAN
MENIKAH MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
DHIRA M. W. S NASUTION
087011033/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA PERJANJIAN KAWIN PASANGAN CALON SUAMI / ISTERI YANG AKAN MENIKAH MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
N a m a : DHIRA M. W. S NASUTION
N I M : 087011033
Program Studi : KENOTARIATAN
Menyetujui, Komisi Pembimbing,
Prof. H. T Syamsul Bahri, SH Ketua
Hj. Chairani Bustami Jusuf, SH., SPN., MKn Anggota
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS.,CN Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS., CN Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum
(4)
Telah diuji pada
Tanggal : 30 September 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. T Syamsul Bahri, SH
Anggota : 1. Hj. Chairani Bustami Jusuf, SH., SPN., MKn
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS., CN 3. Notaris Syafnil Gani, SH., MHum
(5)
ABSTRAK
Perkawinan merupakan ikatan hidup dua pribadi, baik mental, rohaniah maupun badaniah. Dengan berlangsungnya perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, maka seketika itu harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama. Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.Namun apabila para pihak menginginkan harta tersebut dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kawin. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statue approach). Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulan data primer yaitu data yang dikumpulkan melalui wawancara yang informannya yaitu Notaris dan pasangan suami-istri yang melakukan perjanjian kawin. Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Selanjutnya dilakukan analsisis data.
Dari hasil penelitian diketahui latar belakang dilakukannya perjanjian kawin sebelum nikah adalah agar masing-masing pihak dapat mengurus hartanya sendiri, untuk melindungi hartanya dari sifat buruk pasangannya. Perjanjian kawin ini umumnya dibuat oleh pasangan calon suami isteri yang memiliki pandangan yang jauh ke depan atas harta kekayaannya. Sesuai ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga. Perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan. Dalam Pasal 35 UU Perkawinan ditentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adakah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak sesudah menikah adalah masing-masing pihak suami dan isteri memeilik kekuasaan penuh atas harta pencarian mereka masing-masing, akan tetapi suami masih tetap memberikan nafkah kepada isterinya yang merupakan tanggung jawabnya. Akan tetapi apabila calon suami dan isteri tersebut memiliki hutang piutang dengan pihak ketiga, maka pelunasan atas hutang piutang tersebut akan ditanggung oleh pihak yang membuat hutang piutang tersebut. Akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian,
(6)
dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang mengikuti Pola Hukum Adat sebaliknya menganut “azas perpisahan harta” sebagaimana tercermin dalam Pasal 35, yang menentukan bahwa harta yang dibawa oleh masing-masing suami-istri (harta bawaan) tetap menjadi milik masing-masing, yang dicampur menjadi satu hanyalah harta yang diperoleh dari usaha bersama selama pernikahan.
(7)
ABSTRACT
Marriage is a mental, spiritual, and physical life bond of two persons. When a man gets married with a woman, the property which they have obtained as a couple will automatically become their joint property. Article 35 of the Marriage Law states that the property earned during a marriage period becomes joint property, whereas the pre-marriage property of the spouse obtained as a gift or legacy is kept under their respective control unless otherwise specified. However, if each party wants the property to be divided, then a marriage agreement should be made.
This research employed a normative study and a statue approach. The data of this research were obtained through primary data collection, i.e. the data were collected by interviewing two informants: the notary and the married couple. Whereas the secondary
data were the data collected through a documentary study on library materials. The data collection of this research was conducted using library and field research. The instrument for collecting the data was an interview guide followed by the data analysis.
From the research findings, it can be concluded that a marriage agreement is made so that each party can take care of his/her own property or protect it from each other's bad character. This marriage agreement is generally made by the prospective husband and wife who have future perspectives about their property. In accordance with Article 29 in the Marriage Law, before a marriage occurs, both parties upon their mutual consent can make a written agreement validated by the marriage-recording officer after which the third party will also be bound by the agreement. After a marriage has occured, all parties / the bride and groom are bound by the agreement. Article 35 of the Marriage Law states that the property earned during a marriage period becomes joint property, whereas the pre-marriage property of the spouse obtained as a gift or legacy is kept under their respective control unless otherwise specified, namely if agreed to be made as joint property. A marriage agreement postulates that after marriage, while each party (husband and wife) has a full authority over their respective pre-marriage property, the husband is still responsible for supporting his wife financially. However, if the prospective husband and wife have owed the third parry some amount of money, then the debt should be paid by the debtor. The legal consequence of marriage agreement on marriage property in the event of divorce, as stated in Article 35 of the Marriage Law No. 1 of 1974 which adheres to the Traditional Law on property separation, is that the pre-marriage property of the spouse remains their respective property and the property earned together during a marriage period is considered joint property.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul " TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA PERJANJIAN KAWIN PASANGAN CALON SUAMI / ISTERI YANG AKAN MENIKAH MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ".
Penulisan tesis ini nerupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Di dalam penyusunan tesis ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan dorongan bimbingan dan pengarahan dan petunjuk selama dalam penulisan tesis ini. Dan dengan segala kerendanan hati, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam dan tulus khusus kepada yang sangat terhormat dan yang amat terpelajar yaitu:
1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSc (CTM), SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera, Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera, Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, M.S., CN, sebagai Ketua Program Studi Magister Kenotariatan dan Pembimbing Ketiga, yang telah memberikan perhatian dengan penuh kebijaksanaan dan ketelitian tetap memberikan motivasi serta dorongan dan membekali penulis dengan nasehat dan ilmu yang bermanfaat di dalam penyelesaian studi.
(9)
4. Bapak Prof. H. T Syamsul Bahri, SH selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan perhatian dan inspirasi penulisan dan dengan penuh kebijaksanaan dan ketelitian tetap memberikan motivasi serta dorongan dan membekali penulis dengan nasehat dan ilmu yang bermanfaat di dalam penyelesaian studi.
5. Ibu Hj. Chairani Bustami Jusuf, SH., SpN., MKn, selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan perhatian dan inspirasi penulisan dan dengan penuh kebijaksanaan dan ketelitian tetap memberikan motivasi serta dorongan dan membekali penulis dengan nasehat dan ilmu yang bermanfaat di dalam penyelesaian studi.
6. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH., M.Kn selaku Penguji yang telah memberikan perhatian, kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan tesis ini
7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Penguji yang juga memberikan perhatian, kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.
Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Bob S. Nasution, SE dan Ibunda Hj. Aida Fitri Lubis yang tersayang dan tercinta yang telah bersusah payah melahirkandan membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada suami tersayang Budi Setiawan, SP yang telah memberikan dukungan dan semangat sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(10)
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada adik-adik tercinta yaitu Ririn, Tari, Riza yang selalu memberikan semangat, dukungan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini dengan baik.
Ucapan terima kasih yang mendalam juga penulis persembahkan kepada teman dan sahabat tersayang yang tidak mungkin dapat penulis sebutkan satu-namanya, karena berkat bantuan, dorongan dan semangat yang teman-teman penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Semoga semua perhatian, bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama ini, mendapat balasan yang berlipat ganda dari dari Allah SWT. Dan saja Allah SWT selalu memberikan dan melimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat semua pihak, terutama kepada penulis sendiri dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.
Medan, Penulis,
(11)
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : DHIRA M.W.S NASUTION
Tempat/Tanggal lahir : Medan / 9 Mei 1987
Alamat : Jl. Keladi No. 77 FF Medan
II. NAMA ORANG TUA
Ayah : H. Bob S. Nasution, SE
Ibu : Hk. Aida Fitri Lubis
III.KELUARGA
Nama Suami : Budi Setiawan, SP
IV.PENDIDIKAN
S D : SD Negeri 060893 Medan
S L T P : SLTP Negeri 9 Medan
S M U : SMU Swasta Harahap Medan
Strata I : Fakultas Hukum USU Medan
Strata II : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU Medan V. PEKERJAAN
- DELI TV Medan - City Radio Medan
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... iv
RIWAYAT HIDUP... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR ISTILAH ASING... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Keaslian Penelitian... 10
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 10
G. Metode Penelitian... 24
BAB II. LATAR BELAKANG DILAKUKANNYA PERJANJIAN KAWIN SEBELUM NIKAH... 28
A. Harta Benda Dalam Perkawinan ... 28
B. Latar Belakang Dilakukannya Perjanjian Kawin Sebelum Nikah ... 34
BAB III. PELAKSANAAN PERJANJIAN KAWIN TERHADAP MASING-MASING PIHAK SESUDAH MENIKAH... 44
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan... 44
B. Pengaturan Perjanjian Kawin Berdasarkan Undang-Undang ... 52
C. Bentuk Perjanjian Kawin ... 57
D. Perjanjian Kawin Harus Dengan Akta Otentik ... 64
(13)
F. Pelaksanaan Perjanjian Kawin Terhadap Masing-Masing
Pihak Sesudah Menikah ... 86
BAB IV. AKIBAT HUKUM ATAS HARTA PERKAWINAN DENGAN PERJANJIAN KAWIN SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN... 98
A. Tinjauan Atas Perceraian ... 98
B. Akibat Hukum Dengan Adanya Perjanjian Perkawinan Atas Harta Dalam Perkawinan Apabila Terjadi Perceraian ... 106
BAB V. Kesimpulan Dan Saran... 115
A. Kesimpulan ... 115
B. Saran... 116
(14)
DAFTAR ISTILAH ASING
Beperkte gemeenschap van goederen : Campuran kekayaan secara terbatas
Bergerlijk Stand : Register catatan sipil
Bijgestan : Harus dibantu
Burgerlijk Wetboek : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Contract vrijheid : Kebebasan berkontrak
Dubius : Mendua
Familie : Keluarga besar
Field research : Penelitian lapangan
Furqah : Bercerai
Gemeenschap van goederen : Pembagian harta bersama
Gemeenschap van goederen : Percampuran harta kekayaan
Gemeenschap van vruchten en inkomstens
: Campuran bunga dan hasil kekayaan
Gemeenschap van winst en verlies : Campuran keuntungan dan kerugian
Gezifaverinogen : Lembaga harta bersama
Gezin : Keluarga kecil
Huwelijke voorwaarden : Perjanjian perkawinan
Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers
: Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
Huwelijksvermogensrecht : Harta yang tunduk pada hukum perkawinan
Indiesche Staats Regeling : Peraturan Ketatanegaraan Hindia
Interview guide : Pedoman wawancara
Ius sanguinis : Seorang anak akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya
Lex loci celebrationis : Perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara dimana perkawinan dilangsungkan
(15)
Library research : Penelitian kepustakaan
Marriage is a form of contract : Perkawinan sebagai suatu persetujuan
Onderhands : Di bawah tangan
Ontbinding des huwelijks : Pembubaran perkawinan
Onverdeeld aandell : Bagian yang tidak terpisahkan
Operational definition : Definisi operational
Overenkomsten : Persetujuan
Prenuptial Agreement : Perjanjian kawin
Regeling op de gemengde Huwelijken : Peraturan Perkawinan Campuran
Regeling op de Gemengde Huwelijken : Peraturan Perkawinan Campuran
Scheiding van goedern : Perceraian harta kekayaan
Scheidingvan tafel en bed : Pisah meja dan ranjang
Statue approach : Pendekatan perundang-undangan
Ta’liq at talaq : Talak yang digantungkan
Twee zijdig : Perjanjian bersisi dua
Verbintenissen uit de uit alleen : Perikatan yang bersumber pada undang-undang
Waarmerking : Didaftar atau Ditandai
(16)
ABSTRAK
Perkawinan merupakan ikatan hidup dua pribadi, baik mental, rohaniah maupun badaniah. Dengan berlangsungnya perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, maka seketika itu harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama. Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.Namun apabila para pihak menginginkan harta tersebut dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kawin. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statue approach). Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulan data primer yaitu data yang dikumpulkan melalui wawancara yang informannya yaitu Notaris dan pasangan suami-istri yang melakukan perjanjian kawin. Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Selanjutnya dilakukan analsisis data.
Dari hasil penelitian diketahui latar belakang dilakukannya perjanjian kawin sebelum nikah adalah agar masing-masing pihak dapat mengurus hartanya sendiri, untuk melindungi hartanya dari sifat buruk pasangannya. Perjanjian kawin ini umumnya dibuat oleh pasangan calon suami isteri yang memiliki pandangan yang jauh ke depan atas harta kekayaannya. Sesuai ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga. Perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan. Dalam Pasal 35 UU Perkawinan ditentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adakah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak sesudah menikah adalah masing-masing pihak suami dan isteri memeilik kekuasaan penuh atas harta pencarian mereka masing-masing, akan tetapi suami masih tetap memberikan nafkah kepada isterinya yang merupakan tanggung jawabnya. Akan tetapi apabila calon suami dan isteri tersebut memiliki hutang piutang dengan pihak ketiga, maka pelunasan atas hutang piutang tersebut akan ditanggung oleh pihak yang membuat hutang piutang tersebut. Akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian,
(17)
dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang mengikuti Pola Hukum Adat sebaliknya menganut “azas perpisahan harta” sebagaimana tercermin dalam Pasal 35, yang menentukan bahwa harta yang dibawa oleh masing-masing suami-istri (harta bawaan) tetap menjadi milik masing-masing, yang dicampur menjadi satu hanyalah harta yang diperoleh dari usaha bersama selama pernikahan.
(18)
ABSTRACT
Marriage is a mental, spiritual, and physical life bond of two persons. When a man gets married with a woman, the property which they have obtained as a couple will automatically become their joint property. Article 35 of the Marriage Law states that the property earned during a marriage period becomes joint property, whereas the pre-marriage property of the spouse obtained as a gift or legacy is kept under their respective control unless otherwise specified. However, if each party wants the property to be divided, then a marriage agreement should be made.
This research employed a normative study and a statue approach. The data of this research were obtained through primary data collection, i.e. the data were collected by interviewing two informants: the notary and the married couple. Whereas the secondary
data were the data collected through a documentary study on library materials. The data collection of this research was conducted using library and field research. The instrument for collecting the data was an interview guide followed by the data analysis.
From the research findings, it can be concluded that a marriage agreement is made so that each party can take care of his/her own property or protect it from each other's bad character. This marriage agreement is generally made by the prospective husband and wife who have future perspectives about their property. In accordance with Article 29 in the Marriage Law, before a marriage occurs, both parties upon their mutual consent can make a written agreement validated by the marriage-recording officer after which the third party will also be bound by the agreement. After a marriage has occured, all parties / the bride and groom are bound by the agreement. Article 35 of the Marriage Law states that the property earned during a marriage period becomes joint property, whereas the pre-marriage property of the spouse obtained as a gift or legacy is kept under their respective control unless otherwise specified, namely if agreed to be made as joint property. A marriage agreement postulates that after marriage, while each party (husband and wife) has a full authority over their respective pre-marriage property, the husband is still responsible for supporting his wife financially. However, if the prospective husband and wife have owed the third parry some amount of money, then the debt should be paid by the debtor. The legal consequence of marriage agreement on marriage property in the event of divorce, as stated in Article 35 of the Marriage Law No. 1 of 1974 which adheres to the Traditional Law on property separation, is that the pre-marriage property of the spouse remains their respective property and the property earned together during a marriage period is considered joint property.
(19)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis, suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang kompleks dan plural. Berbagai masyarakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi.
Di Indonesia, aturan mengenai perkawinan tidak saja dipengaruhi oleh adat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai macam ajaran agama, seperti agama Hindu, Budha, Kristen serta agama Islam. Adanya beragam pengaruh di dalam masyarakat tersebut mengakibatkan, terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan. ”Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat”.1
“Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah. Hal demikian nampak dari penjelasan umum (2) dari Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 serta di Indiesche Staats
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat
(20)
Regeling (IS) yaitu Pasal 163 Peraturan Ketatanegaraan Hindia”.2 “Pasal tersebut menjelaskan perbedaan golongan penduduk dalam tiga macam, yaitu golongan Eropa (termasuk Jepang), golongan Pribumi (Indonesia) dan golongan Timur Asing, kecuali yang beragama Kristen”.3 Peraturan tersebut antara lain adalah Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S.1898 No. 158).
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari Tahun 1974 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 1975, maka telah terjadi unifikasi (penyatuan hukum) dalam hukum perkawinan, sehingga peraturan-peraturan mengenai perkawinan yang sebelumnya ada menjadi tidak berlaku lagi, sejauh telah diatur dalam undang-undang perkawinan ini.
Perkawinan yang telah dilangsungkan oleh suami isteri selain membawa konsekuensi dalam pergaulan hidup di masyarakat juga membawa konsekuensi dalam hukum keperdataan, di antaranya adalah pengaturan mengenai harta benda suami isteri, baik yang diperoleh sebelum perkawinan sebagai harta bawaan dan harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan.
“Dalam sebuah perkawinan masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal adanya pencampuran harta perkawinan. Para calon suami isteri tidak meributkan
2Ibid
, hal. 4
3Ibid
(21)
mengenai harta masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan”.4
Sejak berlangsungnya perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, maka seketika itu harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sejak berlangsungnya perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, maka seketika itu harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama. Namun apabila para pihak menginginkan harta tersebut dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kawin.
Dalam perundang-undangan Indonesia, ketentuan harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 35 ayat (1) tersebut dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama suami dan istri diikat dalam perkawinan.
Perkembangan sistem dan tatanan nilai dalam kehidupan masyarakat yang terjadi pada akhir-akhir ini, membawa dampak pada sendi kehidupan masyarakat, termasuk dalam lingkungan kecil keluarga. Perubahan yang terjadi selanjutnya dalam pola pikir adalah, semakin beragamnya keinginan untuk dianggap sama dan setingkat tanpa membedakan gender.
Seiring dengan adanya emansipasi wanita maka kaum wanita memiliki kedudukan yang sama dengan pria baik dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan
4
Wongbanyumas, Perjanjian Kawin Menurut KUH Perdata, http: // fatahilla. blogspot. Com
(22)
sehingga pada masa sekarang telah banyak wanita yang memiliki pekerjaan serta penghasilan sendiri. Bahkan penghasilan mereka juga dapat melebihi penghasilan kaum pria.
Semakin tingginya pendidikan kaum wanita pada masa sekarang ini, tentu saja mengakibatkan berubahnya pola pikir mereka dalam mengelola keuangan serta dalam melaksanakan perkawinannya. Seorang wanita dengan penghasilan yang baik akan berusaha untuk melindungi hartanya dari hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian kepadanya. Misalnya apabila calon suami yang akan dinikahinya memiliki sifat boros atau penjudi yang dapat merugikan calon isterinya. “Apabila para pihak menginginkan harta tersebut dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kawin.” 5
“Pada mulanya keberadaan perjanjian kawin di Indonesia kurang begitu populer dan kurang mendapat perhatian, karena mengadakan perjanjian kawin mengenai harta antara calon suami isteri dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap menyinggung satu sama lainnya”.6
Lembaga perjanjian kawin, sebenarnya merupakan lembaga hukum perdata barat. Keberadaan lembaga ini mulai dapat diterima oleh masyarakat, seiring adanya
5
http://www.akta-online.com/main/index.php?option=com_content&view= article&id= 70: pentax-k200d-with-18-55mm-lens-&Itemid=27, Akta Perjanjian Kawin/Perjanjian Pra-Nikah, dikutip tanggal 2 Desember 2009
6
(23)
kemajuan di berbagai bidang dan adanya tata nilai individualisme yang telah merasuk dalam sistem kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya tidak mustahil perjanjian perkawinan menjadi suatu kebutuhan yang mutlak yang sekiranya perlu mendapatkan pemikiran sejak awal, sebab perkembangan bidang perkawinan menyimpang dari pola yang ditetapkan sehingga munculnya perkembangan baru akan senantiasa aktual dan kadang menimbulkan polemik (pro dan kontra). Hal tersebut merupakan kewajaran mengingat bidang hukum perkawinan termasuk bidang perdata sosial yang bersifat sensitif dan konflik. 7
Di sisi lain budaya praktis menjadi bagian dari gaya hidup, yang kemudian mempengaruhi sikap pemikiran untuk menimbang secara untung dan rugi secara materi pada saat memasuki jenjang perkawinan, termasuk di dalamnya mengenai pandangan terhadap harta kekayaan suami istri sebagai akibat dari perkawinan. “Dalam kaitan dengan hak yang sama antara suami isteri dalam peran publik maupun privat, maka hak yang sama ini dalam pelaksanaannya merupakan pilihan bagi calon pasangan suami isteri untuk diambil atau tidak.”8
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tidak secara tegas memberikan definisi mengenai perjanjian perkawinan, pasal tersebut secara tegas hanya menyatakan, bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis, yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
7
Yunanto, Peraturan Harta Perkawinan Dengan Perjanjian Kawin, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, Nomor 9 Fakultas Diponegoro, Semarang, 1993, hal. 14
8
Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian Kesetaraan
(24)
Konsep perjanjian kawin pada awalnya berasal dari hukum perdata barat yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperluas ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perjanjian kawin. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur hubungannya dengan pihak ketiga, misalnya apabila terjadi hutang piutang antara suami atau isteri dengan pihak ketiga, maka hanya harta dari pihak yang memiliki hutang yang dapat membayar hutang tersebut. Pihak ketiga dalam hal ini misalnya pihak bank ataupun pihak lain yang memberikan piutang kepada suami atau isteri tersebut.
Dalam Pasal 139 KUH Perdata disebutkan:
Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.
Bila dibandingkan maka KUH Perdata hanya membatasi dan menekankan perjanjian kawin tidak hanya pada persatuan harta tetapi juga tentang pengurusan dan pembagian harta, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat.
Perjanjian kawin umumnya dilakukan sebelum kedua mempelai mengikat janji dalam sebuah pernikahan, isinya bisa berbagai macam. Dari masalah pembagian harta kekayaan yang menjadi milik calon suami atau isteri (harga gono-gini) atau
(25)
harta bawaan masing-masing pihak jika terjadi perceraian atau kematian. Dahulu perjanjian kawin belum terlalu sering dilakukan oleh masyarakat yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Seringkali sebagai pasangan yang hendak menikah merasa sungkan untuk membuat perjanjian kawin sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Akan tetapi, pada masa sekarang dimana perempuan juga telah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, telah banyak yang melakukan perjanjian kawin sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan untuk mengadakan beberapa penyimpangan dari ketentuan undang-undang yang mengatur tentang harta kekayaan perkawinan. Perjanjian kawin ini berguna bagi pihak perempuan antara lain :
1. Bila terjadi perceraian, maka perjanjian ini akan memudahkan dan mempercepat proses penyelesaian permasalahan. Karena harta yang diperoleh masing-masing sudah jelas diatasnamakan sendiri.
2. Harta yang diperoleh istri sebelum menikah, harta bawaan, harta warisan ataupun hibah, tidak tercampur dengan harta suami.
3. Adanya pemisahan hutang, memperjelas siapa yang bertanggung jawab menyelesaikannya. Perjanjian ini akan melindungi istri dan anak, bila suatu hari suami memiliki hutang yang tidak terbayar. Maka harta yang bisa diambil oleh kreditur hanyalah harta milik pihak yang berhutang.
4. Isteri akan terhindar dari kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam arti fisik maupun psikis. Istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan bekerja serta menuntut ilmu. Kesenjangan umumnya terjadi akibat salah satu pasangan mendominasi, sehingga terjadi perasaan direndahkan dan terkekang. 5. Bagi istri yang memiliki perusahaan sendiri, ia bisa bekerjasama dengan suami karena tidak ada penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.9
9
http://www.akta-online.com/main/index.php?option=com_content&view= article&id= 70: pentax-k200d-with-18-55mm-lens-&Itemid=27, Ibid
(26)
Bagi pihak laki-laki, dilakukannya perjanjian kawin ini untuk melindungi hartanya, misalnya isterinya bersifat boros, atau berjudi sehingga akan menghabiskan harta pencarian calon suami.
Akibat perkawinan dilangsungkan maka perjanjian kawin seketika itu akan mengikat kedua belah pihak, isinya dapat mengenai masalah persatuan harta bawaan atau pemisahan harta kekayaan di antara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan.
Perjanjian kawin, atau perjanjian pra nikah (huwelijke voorwaarden) adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak (Pasal 139 juncto Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dengan dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian ini, maka harta mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka menikah, maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka menikah kelak telah diatur oleh mereka masing-masing.
Bilamana dibuat perjanjian perkawinan akan timbul 3 (tiga) kemungkinan : 1. Tetap ada harta persatuan jika yang diperjanjikan hanya menyenai pengurusannya 2. Terjadi harta campuran terbatas
(27)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi latar belakang dibuatnya perjanjian kawin sebelum nikah ? 2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak
sesudah menikah ?
3. Bagaimana akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang dibuatnya perjanjian kawin sebelum nikah. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak
sesudah menikah .
3. Untuk mengetahui akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian .
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
(28)
1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang Hukum Perkawinan serta menambah khasanah perpustakaan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan pada masyarakat khususnya yang akan melaksanakan pernikahan, sehingga lebih mengetahui apa dan bagaimana perjanjian kawin itu serta manfaatnya. Selain itu juga dapat memberi masukan bagi para notaris, akademisi, pengacara, mahasiswa.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Tinjauan Yuridis Terhadap Akte Perjanjian Kawin Pasangan Suami/Isteri Yang Akan Menikah”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.10 “Teori berfungsi untuk
10
(29)
menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.11
Menurut M. Solly Lubis bahwa :
Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.12
Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.
Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori keadilan.
Aristoteles membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan
11
J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi,
Univesitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.
12
(30)
pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.13
Apabila dikaitkan dengan perjanjian perkawinan yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.
Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila diperhatikan defenisi perkawina ini, pada negara lain tidak dijumpai pengertian dengan nilai falsafah perkawinan yang demikian.
13
http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html, Teori Hukum, diakses tanggal 23 Juli 2010
(31)
Jika ditinjau pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dengan pengertian perkawinan pada hukum barat, perkawinan pada hukum barat diartikan sebagai suatu persetujuan (marriage is a form of contract). Kontrak perkawinan menurut hukum barat merupakan perhubungan hukum antara 3 pihak yaitu calon suami, calon isteri dan negara.
Menurut M. Yahya Harahap, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal dimana :
a. “Suami isteri saling bantu-membantu serta saling lengkap melengkapi. b. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk
pengembangan kepribadian itu suami-isteri harus saling bantu-membantu. c. dan tujuan terakir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah
keluarga bahagia yang sejahtera sprituil dan material”.14
Salah satu syarat untuk tetap hidup manusia membutuhkan makanan, minuman dan pakaian. Untuk mendapatkan makanan dan pakaian, orang butuh pekerjaan. Bekerja menghasilkan upah dan dari upah dibelikan makanan pakaian dan keperluan lainnya, dengan kata lain manusia membutuhkan harta kekayaan yang dapat digunakan suami isteri untuk keperluan hidup mereka. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang harta benda dalam perkawinan diatur oleh pasal 35, 36, dan 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, yaitu :
a. Harta bawaan, hadiah dan warisan. b. Harta bersama suami isteri, dan
c. Bila terjadi perceraian, harta diatur menurut hukumnya masing-masing, ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.
14
(32)
Di Indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan, yang satu sama lain berhadapan secara diam artinya berseberangan satu sama lain yakni Hukum Islam dan Hukum BW.
Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dengan lainnya. Harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perkawinan dimulai tetap menjadi milik masing-masing. Jadi konsekuensinya menurut hukum Islam, status harta benda seorang perempuan tidak berubah dengan adanya perkawinan. Sedangkan dalam Hukum BW, sebaliknya menganggap sebagai pokok pangkal bahwa apabila suami isteri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara mereka maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan milik mereka bersama dan masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuhnya.15
Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak/yang membuatnya apabila terjadi perkawinan. Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menentukan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum.
Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur perjanjian perkawinan pada satu pasal saja yaitu pasal 29 yang menentukan : “Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
15
(33)
Berbicara mengenai perjanjian kawin, tidak terlepas dari keberadaan harta perkawinan. Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 35 dikatakan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Pada dasarnya harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami isteri dan anak-anaknya di dalam satu “somah” (serumah) di dalam satu rumah tangga keluarga kecil (“gezin” Belanda) dan satu rumah tangga keluarga besar (“familie” Belanda) yang setidak-tidaknya dari satu rumah tangga kakek atau nenek.16
Antara harta perkawinan yang disebut harta keluarga dengan harta kerabat, tidak dapat begitu saja dipisahkan oleh karena masyarakat adat itu ada yang bersendikan kekerabatan (kerukunan kerabat) kebapakan atau keibuan dan yang bersendikan kekeluargaan (kerukunan keluarga) semata-mata. Begitu pula ada suami isteri yang hanya bertanggung-jawab atas kehidupan dengan anak-anaknya saja, tetapi ada juga suami isteri yang tidak semata-mata terikat bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak tetapi juga kemenakan.
16
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
(34)
Harta perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa macam, masing - masing:
1. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”.
2. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”.
3. Harta yang diperoleh /dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan, yaitu “harta pencaharian”.
4. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.17
Berdasarkan asal-usulnya, harta yang diperoleh suami isteri dapat dibedakan dalam empat macam.
1. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami isteri baik yang diterima sebelum kawin maupun selama perkawinan statusnya sama, yakni tetap milik masing-masing. Ketentuan tentang hal tersebut telah diatur dalam Pasal 35 ayat 2. Pada pasal dan ayat tersebut dijelaskan harta bawaan dari masing-masing suami isteri han harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah pengawasan masing-masing sepanjang kedua belah pihak tidak menentukan lain atau tidak membuat kesepakatan lain.
2. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka kawin. Implikasi hukumnya masih berkaitan dengan penjelasan Pasal 35 ayat 2 tersebut, yaitu harta yang diperoleh sebagai hasil usaha sendiri, tetap dikuasai masing-masing. 3. Harta yang diperoleh saat perkawinan atau karena pernikahan. Harta jenis
ini diperoleh ketika menikah, ada yang menjadi milik isteri, ada yang menjadi milik suami, dan ada yang menjadi milik keduanya. Selain itu, ada pula yang menjadi milik orang tua mempelah pengantin dan ada pula yang dibagi-bagikan ke sanak keluarga. Dalam hal ini perlu adanya pemilahan yang jelas tentang kepemilikan harta tersebut. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah mahar atau mas kawin.
4. Harta yang diperoleh selama perkawinan, selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami isteri dan selain harta warisan. Harta dalam kategori ini didapat selama suami dan isteri terikat oleh perkawinan. Harta ini dikuasai bersama oleh suami isteri dan harta inilah yang disebut harta bersama. Sesuai dengan namanya, harta ini tidak dibagi selama suami dan isteri berada dalam ikatan perkawinan. Harta ini sama-sama mereka
17Ibid
(35)
manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup ataupun cerai mati.18
Menurut Yahya Harahap bahwa berdasarkan Pasal 35 tersebut nampak jelas bahwa harta benda dalam perkawinan dibedakan menjadi dua macam.
1. harta bersama yaitu harta yang diperoleh sejak perkawinan dilangsungkan dan tetap berlaku selama suami dan isteri dalam ikatan perkawinan, harta inilah yang sering disebut harta gono gini. Istilah tersebut sebenarnya muncul dari bahasa jawa. Gono artinya suami dan gini artinya isteri. Harta gono gini berarti harta yang dimiliki bersama suami isteri dan apabila terjadi perceraian di kemudian hari, maka harta tersebut dibagi dengan perolehan masing-masing 50%, karena harta tersebut dimiliki bersama. Kecuali jika ada perjanjian yang menentukan lain sebelum perkawinan berlangsung.
2. harta pribadi yaitu harta yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam bentuk warisan, hibah, hadiah baik yang diperoleh sebelum perkawinan atau sesudahnya atau harta yang diperoleh dari kerja keras suami atau isteri sebelum perkawinan.19
Apabila melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, dapat dikaji dalam Pasal 35 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.
Selanjutnya Pasal 36 ayat 1 mengatur mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 ayat 2
18
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, Gema Insani, Jakarta, 2003, hal. 12
19
(36)
mengatur bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
“Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu”.20
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) diatur masalah harta bersama dalam perkawinan. Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 KUH Perdata. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 KUH Perdata menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
20
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Djambatan : Jakarta, 1973,
(37)
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, menentukan sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari ketentuan dalam Pasal 29 tersebut diketahui bahwa perjanjian perkawinan itu harus dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan karena untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak ketiga setelah perkawinan berlangsung.
“Apabila suatu perjanjian kawin telah diadakan, maka perjanjian ini tidak boleh diubah selama perkawinan berlangsung kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian perkawinan juga harus diadakan sebelum pernikahan dan harus mulai berlaku pada waktu pernikahan itu dilakukan”.21
Menurut Subekti :
21
(38)
Pada umumnya seorang yang masih di bawah umur, yaitu belum mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Tetapi untuk membuat suatu perjanjian kawin, oleh undang-undang diadakan peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa dalam perjanjian kawin diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus dibantu (bijgestan) oleh orang tua atau orang-orang yag diharuskan memberikan izin kepadanya untuk menikah. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah.22
Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat dengan akta notaris. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu (Pasal 147 KUH Perdata). Selanjutnya menurut UU Perkawinan Pasal 29 ayat 4, perjanjian perkawinan dapat diubah berdasarkan kesepakatan bersama, asalkan tidak merugikan pihak ketiga, yaitu pihak-pihak di luar mereka yang terkait.
Perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, sehingga Notaris dalam melaksanakan jabatannya berfungsi membantu terbentuknya hukum perjanjian antara para pihak.
Perjanjian kawin yang bersifat notaril ini harus memuat : a. Atas persetujuan / kehendak bersama
b. Secara tertulis
c. Disahkan oleh pegawai pencatatan nikah
d. Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.
22
(39)
Perjanjian ini berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan dilekatkan pada akta surat nikah dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan surat nikah. “Pada dasarnya selama perkawinan berlangsung perjanjian kawin tidak dapat dirubah, kecuali jika ada persetujuan kedua belah pihak dan perubahan itu tidak merugikan kepentingan pihak ketiga”.23
“Isi perjanjian perkawinan dapat bermacam-macam, misalnya dalam perjanjian tersebut ditentukan bahwa tidak akan ada barang-barang bergerak ataupun tidak bergerak yang menjadi milik bersama. Selain itu dapat juga diperjanjian akan ada beberapa bagian kekayaan yang menjadi milik bersama. Dalam perjanjian seperti ini ditentukan barang-barang bergerak ataupun tidak bergerak apa yang akan menjadi milik bersama”.24
Dari perjanjian perkawinan yang merupakan campuran kekayaan secara terbatas (beperkte gemeenschap van goederen) ada 2 (dua) macam yang diatur dalam KUH Perdata yaitu :
1. campuran keuntungan dan kerugian (gemeenschap van winst en verlies)
2. campuran bunga dan hasil kekayaan (gemeenschap van vruchten en inkomstens).25
Campuran keuntungan dan kerugian maksudnya bahwa suatu perjanjian perkawinan, yang menghendaki supaya tidak semua kekayaan dari suami dan isteri dicampur menjadi satu milik bersama, melainkan hanya sebagian dari kekayaan itu, yaitu segala keuntungan yang didapat oleh masing-masing suami dan isteri selama
23
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Publishing, Jakarta, 2002, hal.30
24
Wirjono Prodjodikoro, Op cit, hal. 117-118
25Ibid
(40)
perkawinan berlangsung yang merupakan hasil kekayaan dari pekerjaan masing-masing. Sedangkan yang dimaksud dengan ada kerugian bersama, yaitu apabila kekayaan masing-masing pada waktu putus perkawinan, menjadi berkurang dari semula.
Campur bunga dan hasil kekayaan dalam KUH Perdata hanya diatur dalam Pasal 164 yang menentukan bahwa apabila dijanjikan campuran bunga dan hasil kekayaan, maka tidak ada campuran kekayaan secara bulat dan juga tidak ada campuran keuntungan dan kerugian. Lazimnya perjanjian perkawinan berupa campuran bunga dan hasil kekayan ini dianggap sebagai campuran keuntungan saja, sedangkan kerugian-kerugian yang diderita oleh suami atau isteri harus dipikul oleh mereka masing-masing.
Perjanjian perkawinan telah mengatur masalah kepemilikan akan harta dalam perkawinan, maka sebagai konsekuensinya adalah para pihak akan mengatur hartanya masing-masing selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian, seandainya ada hutang yang dibuat salah satu pihak, tidak membebani pihak lainnya untuk melunasinya, maksudnya jika suami berhutang kepada pihak ketiga maka suamilah yang bertanggung jawab melunasinya dan pihak ketiga tidak dapat melakukan tagihan kepada istri. Demikian sebaliknya. Apabila perjanjian perkawinan dicabut atau dibatalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung, maka berlakulah ketentuan-ketentuan harta bersama dalam perkawinan.
Jika dilihat dari kedua macam perjanjian kawin di atas, maka terdapat beberapa pokok pikiran sebagai berikut :
(41)
1. perpisahan harta benda dalam perkawinan. Perpisahan antara bedna yang dibawa dalam perkawinan dengan yang diperoleh selama perkawinan.
2. barang yang sudah ada saat perkawinan dilangsungkan tetap menjadi milik pribadi sedangkan yang diperoleh dalam perkawinan menjadi milik bersama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam campur laba rugi suami istri memikul kerugian bersama-sama. Sedangkan dalam campur hasil dan pendapatan, isteri tidak dapat dituntut untuk hutang-hutang yang dibuat suami.
2. Konsepsional
“Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.26 “Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum”.27
“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational
26
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Seuatu Tinjauan Singkat,
(42)
definition)”.28 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghidarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut : 1. “Perjanjian kawin adalah Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri
secara otentik sebelum pernikahan di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak”.29
2. Akta adalah surat sebagai alat pembuktian tertulis.
3. Akta Notariel adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris menurut Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 165 (Rbg 285) HIR yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin. Dalam penelitian ini penelitian hukum normatif bertujuan untuk meneliti aturan-aturan mengenai perjanjian kawin.
28
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1983, hal.
10
29
(43)
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu “suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya”.30
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statue approach). “Pendekatan undang-undang (statute approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani”.31
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang perjanjian kawin.
c. Bahan Hukum Tertier
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 10
31
(44)
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
Untuk lebih mengkokohkan data, dalam analisanya diambil informasi dari informan yang terdiri dari notaris dan pasangan calon suami isteri yang membuat perjanjian kawin.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara (interview guide).
4. Analisis Data
“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.32 Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
32
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2002, hal.
(45)
“Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum terlulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.33
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.34
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 25 1
34
Bambang Sunggono, Meto de Penelitian Hu ku m, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002,
(46)
BAB II
LATAR BELAKANG DILAKUKANNYA PERJANJIAN KAWIN SEBELUM NIKAH
A. Harta Benda Dalam Perkawinan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang harta perkawinan dalam Pasal 35, 36 dan 37 yaitu harta bawaan, harta bersama calon suami isteri dan bila terjadi perceraian, harta diatur menurut hukumnya masing-masing, ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Maka dari itu suami tidak dapat mempergunakan atau memakai harta milik calon isteri dan sebaliknya, tetapi pemakaian ini berdasarkan atas perjanjian pinjam meminjam antara suami dan isteri. Perjanjian kawin pada umunya perjanjian hanya diketahui para pihak (calon suami isteri) saja sedangkan pihak keluarga calon suami isteri tersebut tidak terlibat dan ada juga yang tidak mengetahui adanya perjanjian kawin tersebut. Namun perjanjian kawin ini juga harus diketahui oleh pihak ketiga yang mempunyai hubungan keperdataan dengan calon suami isteri tersebut.
Pengaturan mengenai hukum harta bersama yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berbeda dengan yang diatur dalam KUH Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 119-122 KUH Perdata.
Menurut ketentuan dalam KUH Perdata sejak pada hari terjadinya perkawinan dengan sendirinya menurut hukum terjadi percampuran harta kekayaan (gemeenschap van goederen). Percampuran itu berlaku secara bulat
(47)
tanpa mempersoalkan bawaan masing-masing. Semua bawaan baik yang berasal dari bawaan suami maupun bawaan pusaka isteri dengan sendirinya satu kekayaan bersama dalam keluarga selaku milik bersama dari suami-isteri, kecuali sebelum perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan (huwelijks voorwaarden) yang memuat ketentuan bahwa dengan perkawinan tidak akan terjadi percampuran kekayaan sama sekali. Atau percampuran itu hanya terbatas percampuran tentang apa yang diperoleh selama perkawinan.35 Akan tetapi menurut hukum Islam perkawinan tidak membawa akibat apa-apa terhadap harta kekayaan masing-masing pihak. Apa yang menjadi harta isteri tetap menjadi hak milik yang berada dalam kekuasaan dan pengawasannya. Calon isteri berhak sepenuhnya untuk memindahkan, menjual atau mengibahkannya tanpa persetujuan calon suami. Demikian juga sebaliknya, calon suami tetap menjadi pemilik yang mutlak dari segala harta kekayaan yang dibawanya ke dalam perkawinan.
Hukum Islam menganggap kekayaan calon suami dan isteri masing-masing terpisah satu dengan lainnya. Harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perkawinan dimulai (berjalan) tetap menjadi miliknya masing-masing. Demikian juga segala barang-barang mereka masing-masing yang didapat atau diperoleh selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan terpisah satu sama lain; artinya atas harta benda milik suami, calon isteri tidak mempunyai hak, dan terhadap barang-barang milik calom isteri, calon suami tidak mempunyai hak. Hal ini berarti calon suami tidak dapat mempergunakan atau memakai barang milik calon isteri dan sebaliknya, tetapi pemakaian ini berdasarkan atas perjanjian pinjam meminjam antara calon suami dan isteri. Perjanjian ini tidak dilakukan secara tegas melainkan secara diam-diam saja.36 Mengenai hal ini Martiman Prodjohamidjojo mengatakan bahwa :
Sebagai konsekuensinya, dalam Hukum Islam status harta benda seorang isteri tidak berubah dengan adanya perkawinan. Harta seorang isteri tidak menjadi milik bersama antara suami dan isteri karena pernikahan. Isteri mempunyai hak penuh atas harta miliknya, boleh menjual, menggadai,
35
M. Yahya Harahap, Op cit, hal. 116
36
(48)
menghibakan hartanya yang terlepas dari kekuasaan orang lain termasuk suaminya sendiri. Suami tidak boleh bertindak atas harta benda isterinya, sekalipun mereka telah menikah, bahkan suami berkewajiban untuk turut menjaga dan memeliharanya, tetapi tidak menjadi hak bagi suami untuk bertindak secara hukum kepadanya.37
Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa :
Dalam KUH Perdata apabila suami dan isteri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara mereka maka ”akibat dari perkawinan itu ialah pencampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu, kekayan milik bersama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuh”.38
Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa ”Bagian separuh ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan (onverdeeld aandell) artinya tidak mungkin masing-masing suami atau isteri meminta pembagian harta kekayaan itu, kecuali jika perkawinannya sendiri terputus, atau jika dilakukan perceraian dari meja dan tempat tidur atau perceraian harta kekayaan (scheiding van goedern)”.39
Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian kawin dapat ditentukan bahwa barang tak bergerak dan piutang atas nama dari isteri yang jatuh pada persatuan tanpa persetujuan si isteri tidak dapat dipindahtangankan atau dibebani. Karena kekuasaan suami begitu besar, maka untuk menghadapi penyalahgunaan dari kekuasaan itu terdapat beberapa ketentuan. Di dalam hal ini harus diadakan perbedaan apa yang diperbuat oleh isteri dalam hal ia masih terikat oleh perkawinan dengan si suami, dan apa yang dapat ia buat setelah bubarnya perkawinan.
37Ibid
, hal. 38
38
Wiryono Prodjodikoro, Loc cit
39
(49)
Sedangkan menurut hukum adat yang dimaksud dengan “harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barang-barang hadiah”.40 Semuanya dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap calon suami isteri bersangkutan.
“Harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri dalam ikatan perkawinan, baik harta yang dibawa ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh selama perkawinan”.41 “Harta atau barang-barang itu meliputi baik barang-barang warisan atau hadiah yang diterima oleh masing-masing suami atau isteri sebelum maupun sesudah perkawinan, maupun barang-barang yang diperoleh karena usaha atau jeri payah suami isteri bersama-sama selama berlangsungnya perkawinan”.42
Menurut Hilam Hadikusuma bahwa ”Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami isteri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, sebagai berikut:
40
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 156
41
Syaiful Azam dkk, Refleksi Hukum Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat Melayu (Studi
di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang), http://library.usu.ac.id., 2007, diakses
tanggal 15 Januari 2008
42
http://www.small2law.co.cc/2010/04/pengertian-harta-benda-dalam-perkawinan.html,
Pengertian Harta Benda Dalam Perkawinan, dipublikasikan tangga 13 April 2010, diakses tanggal 5
(50)
1) Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”.
2) Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”.
3) Harta yang diperoleh /dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan, yaitu “harta pencaharian”.
4) Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”. 43
Dari penggolongan harta perkawinan tersebut diatas, diketahui bahwa pada dasarnya harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu harta asal suami atau isteri dan harta bersama suami isteri.
Dalam hukum Islam tidak dikenal adanya lembaga harta bersama (gezifaverinogen). Apabila diperhatikan ketentuan asalnya, maka pada dasarnya harta suami isteri adalah terpisah baik harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah satu pihak atas usahanya sendiri maupun harta yang diperoleh salah seorang dari mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.
Mengenai harta bersama ini, dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam Pasal 35 yang menyatakan bahwa :
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari peraturan ini dapat diketahui bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya pemberian, warisan dan harta bersama (Pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama
43
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Latar belakang dilakukannya perjanjian kawin sebelum nikah adalah agar masing-masing pihak dapat mengurus hartanya sendiri, untuk melindungi hartanya dari sifat buruk pasangannya. Perjanjian kawin ini umumnya dibuat oleh pasangan calon suami isteri yang memiliki pandangan yang jauh ke depan atas harta kekayaannya.
2. Pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak sesudah menikah adalah masing-masing pihak suami dan isteri memilik kekuasaan penuh atas harta pencarian mereka masing-masing, namun suami masih tetap bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada keluarganya yang merupakan tanggung jawabnya. Apabila calon pasangan suami dan isteri tersebut memiliki hutang piutang dengan pihak ketiga, maka pelunasan atas hutang piutang tersebut akan ditanggung oleh pihak yang membuat hutang piutang tersebut.
3. Akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian, suami dan isteri harus mengikuti apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kawin yang telah dibuat sebelumnya yang disepekati kedua belas pihak, baik mengenai harta maupun pengurusan anak.
(2)
B. SARAN
1. Agar pengaturan mengenai isi perjanjian kawin ini diatur secara rinci, di dalam UU No. 1 Tahun 1974, khususnya mengenai isi perjanjian kawin tersebut. Hal ini dikarenakan alasan untuk melakukan perjanjian kawin adalah untuk melindungi harta calon suami atau isteri, sehingga dengan adanya perjanjian kawin tersebut maka masing-masing pihak calon suami isteri tersebut tidak menguasai harta salah satu pasangannya, melainkan mereka yang berhak dan bertanggungjawab dalam menguasai hartanya secara pribadi.
2. Perjanjian kawin merupakan perjanjian yang sifatnya intern, dimana isi perjanjian kawin ini hanya diketahui kedua belah pihak calon suami isteri, maka disarankan agar notaris sebagai pejabat Negara yang memiliki hak untuk mengesahkan suatu akta otentik haruslah mencermati isi perjanjian kawin tersebut agar tidak melanggar norma-norma kesusilaan maupun peraturan yang berlaku.
3. Suami isteri yang melakukan perjanjian kawin hendaknya mengikuti peratuan yang ada yaitu dengan mendaftarkan perjanjian kawin tersebut ke Kantor Catatan Sipil sehingga perjanjian kaiwn tersebut mempunyai kekuatan hukum dan menjamin kepastian hukum dan dapat berlaku pada pihak ketiga.
(3)
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku
Badjeber, Zain. Tanya Jawab Hukum Perkawinan, Sinar Harapan, Jakarta, 1985 Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Alumni : Bandung, 1983.
Waluyo, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
Djaidir, Harta Bersama dan Permasalahannya dalam Praktek Notaris, Media Notariat, 2001, No. 6
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundnagan, Hukum dat, Hukum Agama, CV. Mandar maju : Bandung, 2007
. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama, CV. Maju Mandar : Bandung, 1990
Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilatral Menurut Al-Qur’an, Rineka Cipta : Jakarta, 1989
Indra, H.M. Ridhan, Hukum Perkawinan di Indonesia, CV Haji Masagung, Jakarta, 1994
Lubis, M. Solly Filasafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994 Lumban Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga : Jakarta, 1980
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Kencana Prenada. Jakarta, 2001
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Kencana : Jakarta, Cetakan ke-5, 2009 Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2002 Muljadi, Kartini., dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT.
(4)
Mujieb, M. Abdul, dkk., Kamus Istilah Fiqih, Pustaka Firdaus : Jakarta, 1994
Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. Perikatan Pada Umumnya,. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993
Prawirohamidjojo, R Soetojo. Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1960. Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal
Publishing, Jakarta, 2002
. Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2001
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Sembiring, M.U. Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Medan, 1997
Siddik, Abdullah. Hukum Adat Rejang, PN. Balai Pustaka : Jakarta, 1980
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1983
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Seuatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 Subekti, R. Hukum Perjanjan, P.T Intermasa , Jakarta , 1976
.Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan XVII, 1983
(5)
Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, Sinar Gradika : Jakarta, Cetakan Kedua, 2004
Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty : Yogyakartam 1981
Sumiarni, Endang. Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian
Kesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), Wonderful Publishing
Company : Yogyakarta, 2004
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002
Supramono, Gatot. Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan : Jakarta, 1998
Sutrisno, Komentar Atas UU Jabatan Notaeris, Tanpa penerbit : Medan, 2007
Syahrani, H. Riduan. Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni : Bandung, 2006
Utomo, Setiawan Budi Fiqih Aktual, Jakarta, 2003
Wuisman, J.J.J. M. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia, Jakarta, 1996
Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni : Bandung, 1973
Yunanto, Peraturan Harta Perkawinan Dengan Perjanjian Kawin, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Nomor 9 tahun 1993
Zein, Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Kerjasama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dan Balitbang DEPAG RI : Jakarta, 2004
B. Peraturan Perundang-undangan
UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(6)
Kompilasi Hukum Islam C. Website
Azam, Syaiful dkk, Refleksi Hukum Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat Melayu (Studi di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang), http://library.usu.ac.id., 2007, diakses tanggal 15 Januari 2008
Bakrie, Iskandar. Surat Perjanjian Dulu, Baru Kawin, http://www.tnol.co.id/id/spiritual/spiritual/3332-seberapa-pentingkah-membuat-perjanjian-perkawinan.html, dipublikasikan tanggal 21 Maret 2010, diakses tanggal 22 Maret 2010
Giovani, Grace Perjanjian Kawin, http://notarisgracegiovani.com/Surat-dan-Perjanjian/Perjanjian-Kawin.html, dipublikasikan tanggal 25 April 2008, diakses tanggal 20 Maret 2010
http://www.akta-online.com/main/index.php?option=com_content&view=
article&id= 70: pentax-k200d-with-18-55mm-lens-&Itemid=27, Akta Perjanjian Kawin/Perjanjian Pra-Nikah, dikutip tanggal 20 Maret 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Akta_otentik, Akta Otentik, Diakses tanggal 20 Maret
2010
http://www.small2law.co.cc/2010/04/pengertian-harta-benda-dalam-perkawinan.html, Pengertian Harta Benda Dalam Perkawinan, dipublikasikan tanggal 13 April 2010, diakses tanggal 5 Juni 2010
Jurnal dunia-ibu.org online, “Perjanjian Kawin”, copyright 2001-2002,
(http://www.duniaibu. org/html/ perjanjian_pra_nikah.html), diakses tanggal 13 Maret 2010
Rini, Mike Perlukah Perjanjian Pranikah ?, dikutip dari http://www.perencanakeuangan.com /files/PerlukahPerjanjianPranikah.html, tanggal 2 Desember 2009
Wongbanyumas, Perjanjian Kawin Menurut KUH Perdata,
http://fatahilla.blogspot.com/2008/06/perjanjian-kawin-menurut-kuh-perdata.html, dikutip tanggal 23 Januari 2010
http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/10/perjanjian-pra-nikah_13.html, Perjanjian Pra Nikah, dipublikasikan tanggal 13 Oktober 2009, diakses tanggal 20 Maret 2010