Kajian Yuridis Hak Pemeliharaan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/Pn/Mdn)

(1)

Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)

TESIS

Oleh

NUR FATMAH G.

087011084/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN YURIDIS HAK PEMELIHARAAN ANAK SETELAH

TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus

Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NUR FATMAH G.

087011084/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis :

KAJIAN YURIDIS HAK

PEMELIHARAAN ANAK SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus

Terhadap Putusan Pengadilan No.

101/Pdt.G/2009/PN/MDN) Nama Mahasiswa : Nur Fatmah

Nomor Pokok : 087011084 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. T. Syamsul Bahri, SH) Ketua

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 20 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

ABSTRAK

Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa “ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 tahun”. Pasal 49 juga menentukan bahwa bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Namun dalam kenyataannya dalam hal hak pemeliharaan anak ini dapat menimbulkan sengketa akibat berebut hak asuh atau penerima hak tidak melaksanakan kewajibannya.

Penulisan bertujuan untuk menjelaskan faktor yang menyebab terjadinya perceraian dan akibat hukumnya terhadap anak, upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak pemeliharaan (hak asuh) anak dan dasar pertimbangan hukum yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian.

Hasil penelitian diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya perceraian dalam Pengadilan Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN disebabkan karena adanya tuduhan pihak isteri bahwa pihak suami berbuat zina dan tidak melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga sehingga terus menerus terjadi perselisihan. Penggugat untuk memperoleh hak pemeliharaan anak mengupayakan untuk meyakinkan hakim melalui gugatan yang diajukan yaitu dengan menyertakan poin penetapan hak pemeliharaan dalam gugatannya. Dasar pertimbangan hukum yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak dalam putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN, bahwa kondisi dan perilaku Penggugat yang tidak baik atau kurang dapat dicontoh untuk diserahkan hak pemeliharaan anak sehingga anak diserahkan kepada ibunya sebab disamping anak tersebut sekarang berada dibawah asuhan ibunya juga sebaiknya anak dibawah umur tetap berada dibawah asuhan ibunya.

Disarankan hendaknya setiap gugatan perkara perceraian yang masuk ke pengadilan sebaiknya janganlah terlalu mudah untuk dikabulkan, kecuali alasan yang dikemukakan betul-betul dapat diterima serta bila ikatan perkawinan itu dilanjutkan akan menimbulkkan kesengsaraan salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Disarankan kepada Majelis Hakim agar mengedepankan dimensi nilai keadilan dan dalam melakukan penetapan hak pemeliharaan anak agar diatur secara jelas mengenai nominal nafkah anak serta juga diserta sanksi hukum yang tegas dan jelas terhadap orang tua yang terbukti melalaikan kewajibannya atau beriktikad tidak baik menyembunyikan kemampuannya untuk memberi nafkah.


(6)

ABSTRACT

Article 41 of Law No. 1/1974 on Marriage says that “a father is required to support his children’s life until they are 21 years old”. Article 49 also states that the right to his/her raise his/her child/children of one of the parents who fails to do his/her responsibility can be cancelled based on the request of the other parents. But, in fact, this right to raise his/her child/children can result in a dispute because the one who has the right does not do his/her responsibility.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach was to describe and analyze the factors that caused a divorce and its legal consequence to their child/children, the attempts done by each party to obtain the right to raise their child/children, and the basic legal consideration taken in deciding who has the right to raise their child/children after the divorce.

The result of this study showed that the factors caused the divorce in Medan court of the first instance according to the decision No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN were thet because the wife accused her husband to have conducted adultery and did not do his duty to his family that it made them quarrel all the time. To obtain the right to raise their children, the plaintiff did her best to ensure the judge by including the point of the right to raise one’s child/children in her law suit. The basic legal consideration taken in deciding who has the right to raise their child/children after the divorce in the decision No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN made by Medan court of the first instance was that the condition and the behaviour of the plaintiff was not good and cannot be used as a model that the children were handed to their mother because the children are now living with their mother and the minors will live a better life under their mother’s guidance.

It is suggested that any claim about divorce filed to the court of law should not be too easy to be granted, except the reasons proposed are logical and acceptable and if the marriage is continued it will inflict unhappiness to one or both parties. The judges are suggested to prioritize the dimension of justice and also to provide the sanction and to determine the amount of money to be given by the parent who fails to do his/her responsibility or having bad intention by hiding his ability to support their family to his children.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan Syukur disampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Hak Pemeliharaan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis

dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Bapak Prof. T. Syamsul Bahri, SH, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum dan Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Dan ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum selaku Komisi Penguji yang telah


(8)

dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ayahanda dan Ibunda yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, juga kepada Bibi dan Kila yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

2. Suami saya tercinta MARZUKI SEMBIRING, SH, Abang saya HAMDAN RIFAI GINTING, SH, Kakak saya DEWI KRISTINA Br. SEMBIRING Amk, dan Kakak RINI SUNDARI, SE, Adik saya SANJAYA SEMBIRING, SH dan Adik saya JULI MURNIATI GINTING dan juga Adik Sepupu saya CINDY TARIGAN Amd, yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(9)

3. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan (M.Kn.).

6. Teman-Teman yang saya sayangi dan saya cintai beserta Para pegawai/karyawan pada Program Studi Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

7. Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Medan Sumatera Utara, beserta seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.

Serta kepada rekan-rekan seangkatan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberi sumbang saran, ide dan pendapatnya sehingga membuat warna tersendiri dalam tesis pada di Program


(10)

Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya.

Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Desember 2010 Penulis,

Nur Fatmah G.


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Nur Fatmah G.

Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 17 Mei 1986

Status : Menikah

Agama : Agama

Alamat : Jl. Pintu Air IV No. 241 A Medan

II. KELUARGA

Nama Suami : Marzuki Sembiring, SH

Nama Ayah : Drs. H. Umur Ginting

Nama Ibu : Hj. Siti Amisyah Br. Tarigan

Nama Abang : Hamdan Rifa’i Ginting, SH

Nama Kakak : - Dewi Kristina Br. Sembiring, AMK - Rini Sundari, SE

Nama Adik : - Sanjaya Sembiring, SH

- Juli Murniati Ginting

III. PENDIDIKAN

- SD Al-Azhar Medan : Tahun 1989 s/d 1995

- SLTP Pesantren Darul Arafah : Tahun 1996 s/d 1999

- SMU Al-Azhar Medan : Tahun 2000 s/d 2003

- S1 FH UISU (Perdata) : Tahun 2004 s/d 2008


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .……... i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ……... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ………….……… viii

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 8

D.Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………... 11

G.Metode Penelitian ... 22

BAB II. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN DAN AKIBATNYA TERHADAP HAK PEMELIHARAAN ANAK ... 26

A.Pengertian Perkawinan dan Pengaturannya ……….. 26

B. Putusnya Perkawinan dan Prosedur Pelaksanaannya ……… 46

C.Akibat Hukum Perceraian ………. 56

D.Hak Pemeliharaan Anak setelah Perceraian dalam Putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN …. 64 BAB III. UPAYA YANG DITEMPUH PARA PIHAK UNTUK MEMPEROLEH HAK PEMELIHARAAN (HAK ASUH) ANAK ... 76

A.Pengertian Anak dan Hak Pemeliharaan Anak ………. 76

B. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak ……… 85 C.Upaya yang Ditempuh Para Pihak untuk Memperoleh


(13)

Hak Pemeliharaan Anak Dalam Putusan Pengadian Negeri

Medan No. 101/Pdt.G/2009/ PN/MDN ………. 99

BAB IV. DASAR PERTIMBANGAN HUKUM YANG DILAKUKAN DALAM PENETAPAN HAK PEMELIHARAAN ANAK ... 107

A.Penetapan Hak Pemeliharaan Anak ………. 107

B.Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No. 101/Pdt.B/PN/MDN ……….. 110

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119


(14)

DAFTAR SINGKATAN

AB : Algemene Bepalingen

BW : Burgerlijk Wetboek

HIR : Herziene Inlandsche Reglement

HR : Hoge Raad

IR : Inlands Reglement

KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia

No. : Nomor

PN : Pengadilan Negeri

PT : Pengadilan Tinggi

PP : Peraturan Pemerintah

Rbg : Rechtsreglement voor de buiten gewesten

Stb : Staatblad

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar Tahun 1945

UU : Undang-Undang

UU Perkawinan : Undang-Undang Perkawinan


(15)

ABSTRAK

Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa “ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 tahun”. Pasal 49 juga menentukan bahwa bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Namun dalam kenyataannya dalam hal hak pemeliharaan anak ini dapat menimbulkan sengketa akibat berebut hak asuh atau penerima hak tidak melaksanakan kewajibannya.

Penulisan bertujuan untuk menjelaskan faktor yang menyebab terjadinya perceraian dan akibat hukumnya terhadap anak, upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak pemeliharaan (hak asuh) anak dan dasar pertimbangan hukum yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian.

Hasil penelitian diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya perceraian dalam Pengadilan Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN disebabkan karena adanya tuduhan pihak isteri bahwa pihak suami berbuat zina dan tidak melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga sehingga terus menerus terjadi perselisihan. Penggugat untuk memperoleh hak pemeliharaan anak mengupayakan untuk meyakinkan hakim melalui gugatan yang diajukan yaitu dengan menyertakan poin penetapan hak pemeliharaan dalam gugatannya. Dasar pertimbangan hukum yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak dalam putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN, bahwa kondisi dan perilaku Penggugat yang tidak baik atau kurang dapat dicontoh untuk diserahkan hak pemeliharaan anak sehingga anak diserahkan kepada ibunya sebab disamping anak tersebut sekarang berada dibawah asuhan ibunya juga sebaiknya anak dibawah umur tetap berada dibawah asuhan ibunya.

Disarankan hendaknya setiap gugatan perkara perceraian yang masuk ke pengadilan sebaiknya janganlah terlalu mudah untuk dikabulkan, kecuali alasan yang dikemukakan betul-betul dapat diterima serta bila ikatan perkawinan itu dilanjutkan akan menimbulkkan kesengsaraan salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Disarankan kepada Majelis Hakim agar mengedepankan dimensi nilai keadilan dan dalam melakukan penetapan hak pemeliharaan anak agar diatur secara jelas mengenai nominal nafkah anak serta juga diserta sanksi hukum yang tegas dan jelas terhadap orang tua yang terbukti melalaikan kewajibannya atau beriktikad tidak baik menyembunyikan kemampuannya untuk memberi nafkah.


(16)

ABSTRACT

Article 41 of Law No. 1/1974 on Marriage says that “a father is required to support his children’s life until they are 21 years old”. Article 49 also states that the right to his/her raise his/her child/children of one of the parents who fails to do his/her responsibility can be cancelled based on the request of the other parents. But, in fact, this right to raise his/her child/children can result in a dispute because the one who has the right does not do his/her responsibility.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach was to describe and analyze the factors that caused a divorce and its legal consequence to their child/children, the attempts done by each party to obtain the right to raise their child/children, and the basic legal consideration taken in deciding who has the right to raise their child/children after the divorce.

The result of this study showed that the factors caused the divorce in Medan court of the first instance according to the decision No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN were thet because the wife accused her husband to have conducted adultery and did not do his duty to his family that it made them quarrel all the time. To obtain the right to raise their children, the plaintiff did her best to ensure the judge by including the point of the right to raise one’s child/children in her law suit. The basic legal consideration taken in deciding who has the right to raise their child/children after the divorce in the decision No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN made by Medan court of the first instance was that the condition and the behaviour of the plaintiff was not good and cannot be used as a model that the children were handed to their mother because the children are now living with their mother and the minors will live a better life under their mother’s guidance.

It is suggested that any claim about divorce filed to the court of law should not be too easy to be granted, except the reasons proposed are logical and acceptable and if the marriage is continued it will inflict unhappiness to one or both parties. The judges are suggested to prioritize the dimension of justice and also to provide the sanction and to determine the amount of money to be given by the parent who fails to do his/her responsibility or having bad intention by hiding his ability to support their family to his children.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan) adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Iman Jauhari mengemukakan bahwa “Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak”.1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.

2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. 3. Perkawinan berasas monogami.

4. Calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

1

Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003. hal. 3


(18)

5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan. 7. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara calon suami isteri yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak keluarga dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dengan demikian, lahirnya anak dalam perkawinan menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka dewasa dan mandiri.

Meskipun demikian tidak setiap perkawinan dapat mencapai tujuan tersebut dengan baik. Ada perkawinan yang mengalami masalah yang sangat besar sehingga perkawinan tersebut terpaksa diputuskan dengan perceraian.

Dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah. Dibolehkan bercerai mengingat apabila dengan mempertahankan perkawinan itu akan lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya.

Bagi orang Islam perceraian dilakukan dengan mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Agama, sedangkan bagi orang non Islam mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri. Dalam memutuskan apakah akan


(19)

mengabulkan permohonan cerai atau tidak, Pengadilan akan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya agar keputusan yang diambil benar-benar yang terbaik.

Perceraian akan membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk ikut ayah atau ikut ibunya dan hal ini merupakan pilihan sulit dan memberatkan, karena seorang anak membutuhkan kedua orang tuanya. Meskipun demikian karena konsekuensi perceraian menimbulkan hal yang dilematis, maka anak tetap harus memilih untuk ikut salah satu orang tuanya. Kehadiran anak itu sendiri dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orangtua. Hubungan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak. Kewajiban orangtua ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan:

1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orangtua dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orangtua putus.

Selanjutnya Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan: 1. Anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik 2. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya orangtua

dan keluarga garis lurus ka atas bila mereka memerlukan bantuannya.

Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat dilihat bahwa ada hubungan timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orang tau dan anaknya yang tidak akan berakhir walaupun orang tuanya bercerai. Kewajiban dan tanggung jawab


(20)

keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 disebutkan:

1. Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

2. Dalam hal orangtua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak, yang terpenting kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak. Anak (yang masih di bawah umur) dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia, tatkala kedua orang tuanya berperkara di pengadilan (gugat cerai atau permohonan talak), tidak pernah dimintakan pendapatnya oleh kedua orang tuanya. Hakim yang mengadili perkara itu tidak pula meminta pendapat anak, atau mendalami bagaimana kehendak anak. Padahal, “dalam UU No. 23 Tahun 2002, dan Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) dikenal prinsip penghargaan pendapat anak (respect view of the child)”.2

Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah batin seperti pendidikan formal

2

Darwan Prints, Hak Asasi Anak: Perlindungan Hukum Atas Anak, Lembaga Advokasi Hak Anak Indonesia, Medan,1999, hal. 82.


(21)

dan pendidikan informal. Dalam hal ini siapapun yang diberikan hak pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 UU Perkawinan, ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 tahun. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut Pasal 49 UU Perkawinan dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi pasangan suami isteri yang beragama non muslim. Proses perceraian antar insan non-muslim yang berbeda agama memiliki sedikit perbedaan dari sisi prosedural dibandingkan dengan proses perceraian sesama muslim. Perbedaannya adalah bagi pasangan muslim perceraian dilakukan melalui Pengadilan Agama dengan dasar hukumnya UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan bagi yang beragama non muslim dan beda agama dilakukan melalui Pengadilan Negeri sedangkan dasar hukumnya tetap digunakan ketentuan UU Perkawinan.

Dalam hal terjadinya suatu proses perceraian dan akibat hukum terhadap pengasuhan anak, Sugiri Permana mengatakan bahwa “Mengenai hak pengasuhan anak kembali muncul menjadi perhatian publik dengan berbagai latar belakang pemikiran, baik berdasarkan join custodian yang muncul pada akhir tahun 2007 maupun yang didasarkan pada jurigenic effect yang (salah satunya) menjadi bahan pemberitaan di berbagai media”.3

3

Sugiri Permana, Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama, PA Mempawah, Departemen Agama, Kalbar , 2008, hal 1.


(22)

Kedua pembahasan mengenai pengasuhan anak tersebut lebih mengedepankan fakta yang terjadi pada peradilan di dunia Barat yang tidak terpaku lagi untuk menetapkan pengasuhan seorang anak atas dasar peraturan perundang-undangan. “Join custodian lebih mengedepankan hubungan baik antara mantan pasangan suami isteri, sedangkan jurigenic effect mengedepankan pada realitas psikologis anak saat akan ditetapkan oleh majelis hakim”.4

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu kajian terhadap hukum materiil yang menjadi pedoman dalam pengasuhan anak di lingkungan Pengadilan agama dan Pengadilan Negeri, dengan sentuhan pemahaman dari berbagai sudut pandang keilmuan.

Dalam perselisihan perkawinan yang berakibat pada putusnya perkawinan, prosedur yang harus dilalui antara lain :

1. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian harus memahami bahwa gugatan yang diajukan telah memenuhi syarat-syarat alasan perceraian sesuai ketentuan undang-undang;

2. Suami atau isteri yang akan mengajukan gugatan perceraian dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan atau mewakilkan kepada advokat atau kuasa hukum, dan gugatan dapat dibuat sendiri, jika tidak mengetahui format gugatan dapat meminta contoh gugatan perceraian kepada kepaniteraan pengadilan, pengadilan agama dan lembaga bantuan hukum yang ada;

3. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian dapat mempersiapkan gugatan perceraian dengan alasan-alasan yang jelas secara hukum (serta dapat juga memasukan tuntutan pengasuhan anak dan harta gono gini),

4. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal tergugat; 5. Bila tempat tinggal tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai

tempat tinggal tetap, gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat, dan bila tergugat di luar negeri gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat melalui perwakilan RI setempat;

4


(23)

6. Gugatan yang telah dibuat, ditandatangani di atas materai dan dibuat rangkap lima (tiga rangkap untuk hakim, satu rangkap untuk tergugat dan satu rangkap untuk berkas di kepaniteraan);

7. Gugatan tersebut didaftarkan di kepaniteraan perdata Pengadilan Negeri yang berkompeten;

8. Saat mendaftarkan gugatan diharuskan membayar biaya perkara; dan

9. Setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan, maka harus segera mengurus akta cerai di kantor catatan sipil tempat perkawinan dicatat.5

Lamanya proses perceraian tidak dapat diprediksi secara pasti, karena sejak panggilan untuk sidang pertama yang selambat-lambatnya dilakukan 30 (tiga puluh) hari setelah pendaftaran gugatan, kemudian dilanjutkan dengan acara dalam persidangan yang memuat pembacaan gugatan, jawaban tergugat, Replik (jawaban balasan penggugat atas jawaban tergugat), Duplik (jawaban tergugat atas replik penggugat), pembuktian (bukti tertulis ataupun bukti saksi), kesimpulan (terbukti atau tidaknya gugatan) dan yang terakhir adalah putusan atau hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan.

Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang terjadi pada kasus yang dijadikan objek penelitian ini yaitu putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN, yang dalam putusannya memberikan hak pemeliharaan anak kepada pihak mantan isteri sedangkan tanggung jawab terhadap biaya dibebankan kepada pihak mantan suami.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut tentang penyelesaian kasus sengketa pemeliharaan anak setelah terjadinya

5

Annonimous, Prosedur Perceraian Pasangan Non Muslim, http://www.tanyahukum. com/keluarga-dan-waris/24/ Diakses Oktober 2009


(24)

perceraian. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “KAJIAN YURIDIS HAK PEMELIHARAAN ANAK SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus Terhadap Putusan Perdata No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi pokok permasalahannya setelah dilakukan studi kasus pada putusan Pengadilan Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah faktor penyebab terjadinya perceraian dan akibat hukumnya terhadap anak ?

2. Bagaimanakah upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak pemeliharaan (hak asuh) anak ?

3. Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum yang diambil hakim dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perceraian dan akibat hukumnya terhadap anak dalam putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN.


(25)

2. Untuk mengetahui upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak pemeliharaan (hak asuh) anak terhadap putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN

3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang diambi hakim dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak dalam putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan pada khususnya, terutama mengenai masalah faktor penyebab perceraian dan akibat hukum terhadap anak serta hak dan kewajiban dalam pemeliharaan anak. Di samping itu, juga dapat menjadi tambahan literatur dalam memperkaya khazanah dan kepustakaan serta perkembangan ilmu hukum bidang keperdataan dan kenotariatan di Perguruan Tinggi.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada pasangan suami isteri maupun calon suami isteri, agar lebih


(26)

mengetahui tentang hak dan kewajibannya dalam melangsungkan perkawinan, perceraian dan akibat hukum bagi anak dan keturunannya sekaligus pula memberi masukan kepada praktisi hukum yang terlibat dalam penyelesaian sengketa perkawinan dan proses perceraian.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui terdapat sebuah hasil penelitian dengan judul Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas I Medan) oleh Fransisca M.U.Bangun/037011028 dengan permasalahan yang dibahas, antara lain :

1) Bagaimana putusan pengadilan negeri menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian.

2) Upaya apakah yang dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajiban terhadap anak sesuai putusan pengadilan

3) Apakah yang menyebabkan kesulitan dalam menjalankan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian.

Dari ketiga permasalahan tersebut terlihat bahwa ketiganya berbeda dengan permasalahan yang dijadikan rumusan masalah dalam penelitian ini. Dengan


(27)

demikian, penelitian tentang “KAJIAN YURIDIS HAK PEMELIHARAAN ANAK SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus Terhadap Putusan Perdata No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)” memang pernah dilakukan namun dengan kasus yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya, artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena walaupun telah pernah dilakukan, namun dalam kasus yang berbeda dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.6

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya”.7 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal . 6.

7

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal 203.


(28)

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. Perkawinan adalah

suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal bersama, saling setia, kewajiban memberi nafkah lahir dan batin, hak waris dan lain sebagainya.

Adanya suatu perkawinan tidak terlepas dari adanya aturan hukum dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. “Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan”.8

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum

8

Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 79


(29)

(rechtszekerheid).”9 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University

pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.10 Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).11

Menurut Satjipto Raharjo,

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.12

Kesemua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian dengan mengambil contoh satu putusan pengadilan. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

9

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85

10

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244

11 Ibid

., hal 244.

12

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, Bandung, 2000, hal. 53


(30)

“Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut majazi atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal

hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita”.13 Sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut Perkawinan.

Suatu kepercayaan yang diyakini oleh sebagian besar manusia di dunia,

bahwa lahir, kawin dan mati adalah kodrat manusia. Perkawinan selalu membawa harapan akan kebahagiaan bagi para pihak yang terikat di dalam perkawinan dan tidak seorang pun di dunia ini mengharapkan perkawinan akan membawa petaka dalam hidupnya. Namun dapat saja terjadi keadaan yakni harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Ahmad Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaasiin ayat 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun ayat 27, bahwa “perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rahasia yang diberikan kepada lawan jenisnya”.14

13

Musfir Husain Aj-Jahrani, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, Tahun 1996, hal. 13

14

Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Amzah, Jakarta, Tahun 2001, hal. 54


(31)

Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa, “perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di bumi”.15 Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam “perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah”.16

Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 UU Perkawinan, tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Salah satu asas yang dianut oleh Hukum Perkawinan Nasional adalah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama (khususnya agama Islam), karena kalau terjadi perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan yang dicita-citakan yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Berlainan halnya dengan putusnya perkawinan karena kematian salah satu pasangan suami isteri, sebab hal ini merupakan takdir dari Allah SWT, yang tidak dapat dielakkan.

15

Abdul Azis Dahlan, (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiyar Baru van Hoeve, Jakarta, Tahun 2006, hal. 156

16


(32)

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan lebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami istri.

Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan yang dibina dengan susah payah itu berakhir dengan suatu perceraian. Tidak selalu perkawinan yang dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinannya.

Mengenai definisi perceraian, UU Perkawinan tidak memberikan perumusan tentang perceraian, namun tidaklah berarti bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan kemungkinan akan terjadinya perceraian.

Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Happy Marpaung memberikan perumusan perceraian sebagai suatu bentuk “pembubaran perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan alasan yang benar dan ditetapkan


(33)

dengan suatu putusan pengadilan”.17 Abdul Manan mengutip dari H.A. Fuad Said yang menyatakan “perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami”.18

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh seorang suami atau istri dengan tujuan mengakhiri hubungan perkawinan ketika kedua suami istri masih hidup.

Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa ketentuan hukum, baik yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) karakteristik, yaitu sebagai berikut :

1. Akibat Cerai Talak

Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :

Pasal 149 KHI

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a) memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul;

17

Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Toni, Bandung, 1993, hal. 15.

18

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Jakarta, 2005. hal. 443.


(34)

b) memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau musyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

c) melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul;

d) memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.19)

2. Akibat Gugat Cerai

Gugat Cerai, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami). Gugat cerai didasarkan hadis Nabi Muhammad Saw : “Wahai Rasulullah Saw. Saya yang mengandung anak ini, air susuku yang diminumnya, dan bersamaku tempat kumpulnya, ayahnya telah menceraikanku dan ia ingin memisahkannya dariku”, maka Rasulullah Saw bersabda: “Kamu lebih berhak (memeliharanya, selama kamu tidak menikah”. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim mensahihkannya).20)

Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut :

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh :

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah;

19

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 87.

20


(35)

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula.

d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Dari ketentuan undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa memelihara dan mendidik anak menjadi kewajiban bersama antara ibu dan bapak, berlaku sampai


(36)

anak telah kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun akhirnya bapak ibu bersangkutan mengalami perceraian. Undang-undang tidak menegaskan tentang siapa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal ini dapat dikembalikan kepada ketentuan undang-undang Pasal 31 ayat (3) yang menegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Undang-undang menentukan juga bahwa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak adalah suami (bapak anak). Dari sini dapat dilihat adanya persesuaian antara ketentuan undang-undang dengan ketentuan hukum Islam dalam hal nafkah anak.

Kewajiban orang tua terhadap anak ini tidak terputus walaupun perkawinan yang dibina oleh kedua orang tua putus akibat perceraian. Dengan kata lain walaupun telah terjadi peceraian kewajiban dalam pemeliharaan anak tersebut tetap menjadi kewajiban kedua orang tua.

2. Konsepsi

“Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang


(37)

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional”.21

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

a) Sengketa adalah perselisihan yang timbul antara mantan suami isteri setelah terjadinya perceraian khususnya mengenai hak dan kewajiban pemeliharaan anak. b) Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat

kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami.

c) Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya.

d) Pemeliharaan anak adalah upaya yang dilakukan orang tua atau bagian dari keluarga untuk memberi kesempatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang serta belajar tingkah laku untuk perkembangannya

21

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta 1998, hal 3.


(38)

e) Hak pemeliharaan anak (Hadhanah) adalah jangka waktu (masa/term) untuk pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) yang timbul setelah kedua orang tua bercerai.

f) Putusan Perdata No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN adalah salah satu putusan Pengadilan Negeri Medan yang memuat tentang penetapan hak pemeliharaan anak.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan

penelitian deskriptif analitis, di mana melalui penelitian ini akan digambarkan, ditelaah dan dijelaskan serta dianalisa peraturan perundang-undangan

yang berlaku mengenai hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian. Selanjutnya juga menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang proses terjadinya perceraian dan akibat hukumnya, pertimbangan hakim dalam menetapkan hak pemeliharaan anak dengan segala akibat hukumnya.

“Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”.22 Menggambarkan

22


(39)

masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan.

Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum melalui studi kepustakaan yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang tumbuh dan hidup di masyarakat.

Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pendekatan perundang-undangan dengan meneliti keberlakukan hukum antara satu aturan dengan

aturan lainnya terutama dari segi hirarkhisnya maupun asas hukum yang berlaku terkait dengan, perkawinan, perceraian dan pemeliharaan anak.

2. TeknikPengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya

3. Bahan Penelitian

Adapun bahan penelitian yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah


(40)

1) norma atau kaidah dasar 2) peraturan dasar

3) peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hokum perkawinan 4) Putusan Pengadilan Negeri Medan

b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan narasumber, yakni hakim yang mengadili perkara dan pihak yang mendapat hak pemeliharaan anak.

4. Alat Pengumpulan Data

a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan.


(41)

b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mewawancarai nara sumber.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan secara analisis kualitatif. Terhadap data yang sudah terkumpul dapat dilakukan analisis kualitatif, dimana setelah data primer diperoleh dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan, dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diperoleh suatu kesimpulan terhadap penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(42)

BAB II

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN DAN AKIBATNYA TERHADAP HAK PEMELIHARAAN ANAK

A. Pengertian Perkawinan dan Pengaturannya

Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa “perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja


(43)

atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal”.23

Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.

Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja, sedangkan seorang pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan seorang wanita adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini, adalah kodrat (karunia Tuhan), bukan bentukan manusia. “Suami isteri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”. 24

R

.

Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten,

Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk

23

K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15.

24

Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.


(44)

hidup bersama/bersekutu yang kekal”.25 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.26

Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.27

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.28 Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.29 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

25

R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.

26

Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61.

27

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.

28

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468.

29

Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.


(45)

Perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :

1. Kesepakatan

Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan

Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Hal tertentu

Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.

4. Sebab yang dibolehkan

Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.30

30


(46)

Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.31

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.

Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya karena pembatalan perkawinan.

Soemiyati mengatakan bahwa

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai

31


(47)

karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.32

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi berten-tangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada tanggal 2 Januari 1974.

32

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.


(48)

Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu :”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual.

Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu


(49)

membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak.

“Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.33

Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan

kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.34 “Tujuan perkawinan menurut

33

Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74.

34


(50)

Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.35 Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara

kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada

bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.36

Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi istrinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.37

Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing

35

Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.

36

Sulaiman Rasjid.H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004,

37


(51)

bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

Hilma Hadi Kusuma mengatakan bahwa :

Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.38

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

38

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, HukumAgama, Mandar Maju, Bandung, 1992, 26-27.


(52)

Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:

a. Syarat materiil

Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta


(53)

syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan.

Syarat materiil mutlak terdiri dari:

a) kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b) persetujuan bebas dari kedua pihak;

c) setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU; d) izin dari pihak ketiga;

e) waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.39 2) Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi,

seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat untuk dirinya sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.40

Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:

a) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas.

b) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri.

39

Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus (UNTAG). Semarang 1997, hal 28.

40


(54)

d) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/ paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Sedangkan Pasal 10 UUP mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 (dua) kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

b. Syarat formil

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku – Buku

Al Afifi, Thaha Abdullah, Hak Orang Tua Pada Anak dan Hak Anak Pada Orang Tua, diterjemahkan oleh Zaid Husein Al Hamid, Dar El Fikr Indonesia, Jakarta, 1987.

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002.

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Daliyo, J.B., Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta

2004.

Dellyana, Santy, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998. Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

2005.

Djumairi, Achmad. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990.

Effendi, Satria, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999).

Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariyah di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, Alumni, Bnadung, 1991.

Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro, Bandung, 1983.


(2)

Hata, Fitrian Noor, Status Hukum Dan Hak Anak Hasil Dari Perkawinan Wanita Hamil (Studi Komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia). PA Banjarmasin, 2006.

Husein, Abdur Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Fikahati Aneska, Jakarta 1992. Irsyad, Syamsuhadi, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Pada Tingkat Kasasi,

dalam hal. 20. serta Achmad Djunaeni, Putusan Pengadilan Agama Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, masing-masing dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Dan Penerapannya, Mahkamah Agung RI, 2004. Jauhari, Iman, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,

Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta.

---, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, USU Press, Medan 2001.

Kartono, Kartini., Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan. Muttaqien Raisul, Bandung, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006.

Kusuma, Hilman Hadi, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999.

---, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, HukumAgama, Mandar Maju, Bandung, 1992.

Latif, M. Jamil, Aneka Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Predana

Media Group, Jakarta, 2006.

---, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Jakarta, 2005.

Marpaung, Happy, Masalah Perceraian, Toni, Bandung, 1993.

Mertokusumo, Sudikno, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2001.


(3)

Moch. Dja’is, Deasy Caroline, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999).

Moeliono, Anton M., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1988 Moleong, J. Lexy., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya,

1993.

Muhdlor A., Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk), Albayan (Mizan), Bandung. 1994.

Mujtaba, Saifuddin dalam Iman Jauhari (I), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka BangsaPress, Jakarta.

Mukti, Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Tahun 1998

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004.

Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004.

---, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Azhari Akmal Tarigan, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Permana, Sugiri, Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama, PA Mempawah, Kalbar , 2008.

Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Prawirohamijoyo R. Soetoyo, Pluralism Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1984. ---, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986.


(4)

Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, Tahun 1993

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Ruslan,. Warta Perundang-Undangan No. 2333. Jakarta. Kamis 19 Februari 2004. Said. M, Hukum Nikah, Thalak Rujuk (NTR), PT. Al Maarif, Bandung, tt.

Saleh. K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1996. Sarong, H. Hamid, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Pena, Banda Aceh, 2004.. Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung Tahun 1990. ---, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang. Citra

Aditya Bakti, Bandung 2000.

Setiyowati, Wahyuni Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus (UNTAG). Semarang 1997.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,

J

ilid XV, Jakarta, Lentera Hati, 2004.

Soebekti, Pokok –Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta , 2003.

Soekanto, Soerjono, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991.

---, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986.

Soemin, Soedaryono. 1992. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992.

Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta 1990.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982.

Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, Praktek Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika, Jakarta, 1996


(5)

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. ---, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1991. ---, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. ---, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000.

Suggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998. Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni,

Bandung 1989,

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media Jakarta, 2004.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI, Jakarta, 1994.

Trizakia, Yani, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005 Wuisman, J.J.J., M, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, UI Press Jakarta, 1996. Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/

pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


(6)

Insrtuksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

C.Internet

Annonimous, Prosedur Perseraian Pasangan Non Muslim, http://www.tanyahukum.com/ Diakses Oktober 2009

Aris Bintania, Hak Dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga Dan Setelah Terjadinya Perceraian, http://www.pdf-search-engine.com/.html, Diakses April 2010. Fitria A. Pengertian Anak Tinjauan secara Kronologis dan Psikologis,

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/, Desember 2009