Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Memerangi Faktor-faktor dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri Amerika Analisis terhadap penyebab perubahan kebijakan luar negeri 1. Faktor domestik internal

17

I.6. Sistematika Penulisan I.

Pendahuluan 1.1. Latar belakang penelitian 1.2. Pertanyaan penelitian 1.3. Kerangka teori 1.4. Metode penelitian 1.5. Sistematika penulisan

II. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Memerangi

Terorisme Internasional di Afghanistan Pada masa George W Bush dan Barack Obama II.1. Kebijakan luar Negeri Amerika Serikat pada masa George W Bush junior di Afghanistan II.2. Kebijakan luar Negeri Amerika Serikat pada masa Barack Obama di Afghanistan

III. Faktor-faktor dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri Amerika

Serikat III.1. Faktor Domestik Internal III.1.a. Kondisi sosial, ekonomi dan politik Amerika Serikat III.1.b. Pengaruh dari berbagai kelompok kepentingan 18 III.1.c. Pengaruh ideologi III.1.d. Faktor individu dari seorang pemimpin III.2. Faktor Internasional III.2.a. Kondisi internasional dalam menyikapi sebuah kebijakan pemerintahan sebelumnya George W Bush junior

IV. Analisis terhadap penyebab perubahan kebijakan luar negeri

Amerika Serikat dalam memerangi terorisme internasional di Afghanistan era Barack Obama IV.1. Faktor internal IV.1.a. Keadaan ekonomi, sosial, dan politik dalam negeri Amerika Serikat IV.1.b. Faktor internal dalam diri Barack Obama IV.2. Faktor internasional IV.3. Implementasi konsep smart power dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memerangi terorisme internasional di Afghanistan masa Barack Obama

V. Penutup

V.1. Kesimpulan Daftar Pustaka 19

BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT DALAM MEMERANGI

TERORISME INTERNASIONAL DI AFGHANISTAN PADA MASA GEORGE W BUSH DAN BARACK OBAMA

II.1. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pada masa George W Bush Junior di Afghanistan

George W Bush menjabat sebagai presiden Amerika Serikat selama dua periode yaitu pada 20 Januari 2001 sampai 20 Januari 2009. Pada masa jabatannya di Amerika Serikat terjadi sebuah peristiwa yang sangat mencengangkan dunia, yaitu runtuhnya gedung menara kembar WTC pada 11 September 2001. Atas peristiwa tersebut maka Bush mengambil sebuah tindakan untuk menyerang setiap pihak yang ikut secara langsung atau tidak langsung dalam penyerangan tersebut. Pengertian secara langsung disini adalah orang yang terlibat langsung dalam penyerangan gedung menara tersebut, sedangkan orang yang disebut-sebut sebagai dalang dari aksi penyerangan tersebut adalah Osama bin Laden. Osama merupakan pemimpin al- Qaeda yang berbasis di Afghanistan. 27 Adapun pengertian secara tidak langsung adalah bagi negara-negara yang mendukung aksi tersebut, yang memberikan bantuan baik dari segi materi ataupun persenjataan. Oleh karena itu George W Bush yang menjabat sebagai presiden Amerika serikat waktu itu mengambil sebuah kebijakan, diantaranya: 1. Mengisolasi setiap negara yang memberikan dukungan terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. 27 Bien Pasaribu dan Jamaluddin Ritonga, Perang Bush Memburu Osama Jakarta: Penerbit Sinar Haiti, 2001, h. 86. 20 2. Memperkuat peraturan dan hukum dalam melawan tindakan terorisme melalui berbagai kerjasama internasional. 3. Bersikap tegas dan menolak upaya tawar-menawar maupun negosiasi yang diminta oleh kelompok teroris. 4. UU the Anti-terrorism and Effective Death Penalty Act tahun 1996. 28 5. Undang-undang Patriot Act 2001, yaitu undang-undang yang secara keras menyatakan menentang terorisme, dan berbagai kegiatan yang mendukungnya atau bersentuhan dengan aksi terorisme dinyatakan sangat dilarang, terutama dalam pemberian bantuan. 6. Berusaha agar PBB juga ikut bertindak tegas dalam masalah teroris, karena Amerika Serikat sadar bahwa upaya dalam memerangi terorisme tidak akan berjalan efektif jika tidak dilakukan secara kolektif 29 . 7. Kebijakan unilateralisme, pre-emption strike dengan doktrin strike first. 30 Peristiwa 11 September 2001 tersebut menjadi titik balik kebijakan luar negeri Amerika Serikat, sehingga selain mengubah pola hubungan antara dunia muslim dengan Amerika namun juga telah mengubah pola hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara di Eropa. Hal ini diungkapkan pula oleh Philip Stephens dalam artikel harian Financial Times edisi tanggal 5 September 2002 yaitu akan adanya sebuah benturan “mindsets”. Negara-negara Eropa juga merasakan bahwa Amerika Serikat 28 Poltak Partogi Nainggolan, Terorisme dan Tata Dunia Baru Jakarta: Tim Peneliti HI Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi P3I DPR RI, 2002, h. 163-166. 29 Usaha Amerika Serikat dalam mempengaruhi PBB yaitu dengan dikeluarkannya resolusi 1368 PBB yang mengutuk serangan tersebut dan mengajak semua negara untuk mendukung tindakan Amerika Serikat pada 12 September 2001. A. Safril Mubah, Menguak Ulah Neokons Menyingkap Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 162. 30 Unilateralisme: suatu tindakan yang tidak harus mendapat persetujuan dari badan internasional atau dari negara sekutu; pre-emption strike: suatu tindakan untuk menyerang terlebih dahulu sebelum diserang oleh negara lain terhadap segala bentuk potensi ancaman terhadap warga negaranya. 21 setelah peristiwa tersebut nampak seperti unilateralisme yaitu dengan membentuk sebuah aliansi untuk melawan gerakan teroris. 31 Seperti yang dikutip diatas, Amerika Serikat juga melakukan kebijakan secara sepihak unilateralisme dalam upaya memerangi terorisme, yaitu seperti pertama mengisolasi negara-negara yang memberikan bantuan terhadap kelompok teroris baik bantuan berupa dukungan dana, pemasokan senjata, pelatihan militer, menyediakan tempat persembunyian. Kedua memperkuat hukum-hukum yang ada dengan menekankan pada perlawanan terhadap terorisme melalui kerjasama-kerjasama internasional, dikarenakan masalah terorisme ini sudah sangat kompleks dan harus ditanggulangi dengan cara bersama-sama. Ketiga bersikap tidak mau berkompromi dalam hal apapun dengan kelompok teroris. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat ini tidak lain adalah karena influence dari neo-konservatif. Karena sejak periode pertama pemerintahan Bush sudah dikelilingi oleh tokoh-tokoh neo-konservatif yang dipimpin oleh Cheney. Dick Cheney ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam keikutsertaan penentuan kebijakan luar negeri dikarenakan kedudukannya sebagai wakil presiden AS pada masa George W Bush. Pada dasarnya George W Bush beraliran realis, namun banyak dari staf-stafnya yang beraliran neo-konservatif dan keduanya lebih menekankan terhadap militer. Namun keinginan mereka setelah terjadi penyerangan 11 September tersebut berbeda. Realis menginginkan untuk menyerang Afghanistan sebagai sasaran utamanya yaitu terhadap Taliban sebagai pemimpin pemerintahan pada waktu itu sekaligus disinyalir sebagai pelindung dari Osama bin Laden, selain itu juga terdapatnya aliran al-Qaeda yang disinyalir sebagai jaringan yang turut serta melindungi Osama bin Laden 31 Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish Jakarta: Kompas, 2005, h. 85 22 dikarenakan menurut mereka Osama yang memberikan dana guna pelatihan al-Qaeda. Alasan menyerang Afghanistan juga untuk menyelamatkan rakyat yang tidak berdosa dari rezim Taliban sekaligus memusnahkan kerajaan Taliban. Sedangkan neo-konservatif mempunyai keinginan untuk menyerang Irak terlebih dahulu, karena mereka atau neo-konservatif ingin memusnahkan dari sumber pembuatan senjata pemusnah masal yang diduga Irak adalah pemasok senjata pasukan Taliban dan al-Qaeda. 32 Namun, karena Bush lebih berambisi untuk menyerang Afghanistan terlebih dahulu akhirnya neo-konservatifpun mengikutinya yang pada akhirnya nanti tetap mempunyai tujuan yang sama yaitu mematikan jaringan al-Qaeda dan terorisme. 33 Disinilah terlihat bagaimana Bush junior lebih menekankan konssep hard power yaitu dengan mengutamakan militer melalui pre emptive strike. Kemudian bagaimana dengan masyarakat muslim yang berada di Amerika Serikat? Menurut Farhana Khera aktivis muslim AS mengatakan bahwa ternyata warga muslim di Amerika Serikat mendapatkan perlakuan pendiskriminasian oleh pemerintah Amerika Serikat baik dari kubu Republik maupun dari kubu Demokrat, hal ini semakin terlihat terutama setelah terjadinya peristiwa WTC 11 September 2001 lalu. Dikutip dari sumber Metro TV meski di Amerika hanya terdapat sekitar 1 dari warga AS atau sekitar 3 juta pendiskriminasian warga muslim di AS sudah berlangsung sejak lama, tidak hanya itu warga kulit hitam, warga yahudi, bahkan warga bangsa India yang sebagai bangsa asli Amerika Serikat baru diakui tahun 1924. 34 32 A Safril Mubah, Menguak Ulah Neokons Menyingkap Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 218 33 Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish Jakarta: Kompas, 2005, h. 221. 34 Metro Siang Kamis 31 Maret 2011, pkl. 13.00 at Metro TV 23

II.2. Kebijakan Luar Negeri Amerika seriklat pada masa Barack Obama di Afghanistan

Pada kampanye pemilu presiden Amerika Serikat tahun 2008 Barack Obama lebih mengusung terhadap perbaikan dalam negeri dahulu, baik dari segi ekonomi, sosial dan juga politik dalam negeri Amerika Serikat setelah kepemimpinan George W Bush yang dipandang oleh masyarakat sangat merugikan oleh masyarakat Amerika Serikat sendiri pada khususnya. Hal ini terlihat dengan beberapa kampanye pemilu yang diantaranya adalah kebijakan ekonomi yang berupa menaikkan pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi. Selain itu juga mencoba mengajak masyarakat Amerika untuk tidak terlalu bergantung dengan minyak atau mencoba mengajak menggunakan bahan alternatif lain yang dapat mengurangi ketergantungannya terhadap minyak. 35 Adapun kebijakan luar negerinya diantaranya adalah dengan menarik pasukan militernya dari Irak, dan menambah pasukan militernya di Afghanistan guna meminimalisir gerakan terorisme atau bahkan membunuh kepala dari teroris, yang mereka sebut-sebut yaitu Osama bin Laden. 36 Dalam menjalankan kebijakan luar negerinya Obama cenderung lebih lunak. Obama lebih menekankan konsep smart power daripada hard power yang pernah digunakan oleh George W Bush. Hal ini terlihat dengan upaya Obama dalam memerangi terorisme di Afghanistan, yaitu dengan menyuruh pasukan militer untuk melakukan penyerangan terhadap Osama bin Laden. Konsep smart power ini merupakan perpaduan antara hard power dan soft power , jadi dalam arti kata lain adalah kemampuan untuk menggunakan secara bersamaan antara hard power dan smart power. Istilah smart power ini sudah lama 35 “Sang Kandidat Presiden” Koran Republika, Senin, 03 November 2008, h. 10 36 Ibid., 24 merujuk pada sebuah terbitan yang muncul di Foreign Affairs tahun 2004. 37 Istilah tersebut akhirnya semakin popular didalam diplomasi internasional dengan adanya laporan tentang “Smart Power” yang menekankan perlunya untuk memperhatikan atau menggunakan pendekatan ini untuk melengkapi hard power sebagai upaya untuk memaksimalkan kepentingan ditingkat internasional. 38 Oleh karena itu maka dapat kita lihat bagaimana Geroge W Bush menggunakan konsep hard power yang sangat berlebihan sehingga bukan hanya merusak citranya dalam negara Amerika Serikat itu sendiri namun juga merusak citranya di dunia internasional. Pada akhirnya kekuasaanya harus berhenti selain karena masa jabatannya telah selesai namun juga karena kebijakan luar negerinya yang sangat agresif. Kemenangan Barack Obama disambut baik oleh masyarakat Amerika Serikat karena masyarakat Amerika Serikat berharap bahwa ada perubahan baru dalam cara kepemimpinan Amerika serikat. Oleh karena itu Obama mencoba melakukan kebijakan dengan cara langsung memerangi gerakan Taliban yang ada di Afghanistan yang diduga sebagai basis terorisme, dengan meminimalisir korban dari rakyat Afghanistan. Konsep smart power kini diperkenalkan oleh Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton dan juga Barack Obama sebagai upaya mengembalikan reputasi internasional Amerika Serikat yang tersingkirkan karena metode militer dalam perang global melawan terorisme. Hillary Clinton mengatakan with smart power, diplomacy will be 37 Suzanne Nossel, “Smart Power”, Foreign Affairs, Vol. 83, No.2, 2004, hal. 131-142. Pengertian smart power ini ditulis pula oleh Riefqi Muna, “Paradigma Pertahanan dari Hard Power ke Smart Power dalam jurnal Pertahanan dan Perdamaian, ” Jakarta: Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian FISIP Universitas Al Azhar Indonesia V, no. 1 April 2009, h. 86-87. 38 Riefqi Muna, “Paradigma Pertahanan dari Hard Power ke Smart Power dalam jurnal Pertahanan dan Perdamaian, ” h. 86-87. 25 the vanguard of foreign policy atau dengan smart power maka diplomasi akan menjadi barisan depan dalam menjalan kebijakan luar negeri. 39 Seperti itulah upaya yang dilakukan Obama dalam menjalankan kebijakan luar negerinya untuk memerangi terorisme di Afghanistan. Obama lebih memilih untuk tepat pada sasaran dengan meminimalisir korban yang berlebihan. Maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada masa kepimpinan Geroge W Bush lebih banyak disetir oleh kelompok garis keras neokonservatif –yang akan dejalskan vada bab selanjutnya, walaupun pada masa Obama kelompok tersebut masih tetap mempengaruhi kebijakannya namun Obama berusaha untuk mengimbanginya agar tidak terjadi ketimpangan antara keinginan masyarakat Amerika Serikat dengan keinginan dari kelompok tersebut. Disinilah peran konsep smart power itu dijalankan oleh Barack Obama sebagai langkah dalam memerangi terorisme di Afghanistan. 39 Ibid., 26

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUMUSAN KEBIJAKAN

LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Kekuatan Amerika Serikat memang sudah tidak dapat diragukan lagi. Dari segi militernya kita bisa melihat sendiri bagaimana usahanya dalam memerangi gerakan terorisme di Afghanistan dan juga bagaimana usahanya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia menjadi negara yang superpower. Pada bab ini akan membahas tentang faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Perubahan kebijakan luar negeri suatu negara disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. 40 Faktor internal tersebut bermacam-macam mulai dari segi sosial, ekonomi, keadaan politik dan juga bagaimana kelompok kepentingan yang ada di Amerika Serikat saling memberikan pengaruhnya masing- masing dalam setiap perumusan kebijakan luar negeri Amerika. Faktor eksternal yang juga menjadi pertimbangan pula dalam pengambilan sebuah perumusan kebijakan luar negeri seperti bagaimana pandangan negara lain mengenai negara Amerika dan juga bagaimana situasi dan kondisi negara-negara lain, namun faktor internal lebih diutamakan daripada faktor eksternal. 40 William D. Colplin, dan Marsedes Marbun, Pengantar Politik Internasional Suatu Telaah Teoritis Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensido, 2003, h. 81. Sumber ini juga diperkuat dari Moestopo Magazine, “Harapan Akan Sebuah perubahan” artikel diakses pada 24 April 2011 dari http:majalah.moestopo.ac.id?tag=kebijakan-luar-negeri. 27

III. 1. Faktor domestik internal

III. 1. a. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik Amerika Serikat Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang besar, dengan luas wilayah sekitar 9,83 juta km pada tahun 1994 di Amerika pada 25 kota terbesar berjumlah sekitar 31.220.927 jiwa dan pada tahun 2012 jumlah penduduk Amerika Serikat sekitar 312.800.000 jiwa. 41 Negara ini termasuk negara multietnis dan multikultural karena masuknya para imigran dari seluruh penjuru dunia. Sebelum datangnya masyarakat Eropa, Amerika diduduki oleh suku Indian selama bertahun-tahun lamanya, namun kemudian suku Indian tersebut terkena wabah penyakit dan terjadi peperangan dengan pendatang Eropa. 42 Dalam hal ekonomi, Amerika menganut sistem kapitalis yaitu suatu sistem dimana pemerintah tidak ikut campur dalam masalah ekonomi, artinya baik individu maupun pihak swasta bebas menggunakan sumber ekonomi. Sistem ini biasa juga disebut dengan sistem ekonomi pasar bebas atau laissez faire. 43 Ekonomi di Amerika merupakan ekonomi yang terbesar didunia, karena kita tahu bahwa banyak negara yang menggunakan mata uang sebagai tolak ukur mata uangnya. Amerika juga kaya akan sumber daya mineral, seperti emas, minyak, batubara, dan lain-lain. Akan tetapi kekayaan itu masih dianggapnya kurang cukup karena mengingat penduduk Amerika yang sangat banyak dan juga untuk cadangan dikehidupan masyarakat Amerika mendatang. Untuk itu Amerika sangat berambisi 41 Stephen S. Birdsall, Garis Besar Geografi Amerika. John Wiley Sons, Inc, 1992, h. 193. Sumber lain diperkuat dari US News Weekly, Jumlah populasi AS 2012 hampir 313 juta orang diakses pada Rabu, 7 Maret 2012 dari http:translate.googleusercontent.comtranslate_c?hl=idprev=search3Fq3Ddata2Bpenduduk 2Bamerika2Bserikat2Btahun2B201226hl3Did26biw3D114326bih3D50126prmd 3Dimvnsrurl=translate.google.co.idsl=enu=http:www.usnews.comopinionblogsrobert- schlesinger20111230us-population-2012-nearly-313-million-people3Fs_cid3Drelated- links:TOPusg=ALkJrhhKKhx1Nv6pLQxdVwS1jMpIeh13Yw 42 Stephen S. Birdsall, Garis Besar Geografi Amerika. John Wiley Sons, Inc, 1992, h. 194. 43 www.scribd.comdoc...Teori-Laissez-Faire-Dalam-an-Ekonomi diakses pada Ahad, 25 Maret 2012. 28 dalam menyerang negara Timur Tengah yang pada dasarnya adalah untuk mengincar minyak, dan hal ini menjadi salah satu perhatian utama dalam setiap pengambilan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. 44 Dampak politik juga terjadi pada Amerika Serikat setelah runtuhnya gedung WTC. Kebijakan langsung dilakukan oleh George W Bush sebagai Presiden yang menjabat pada era tersebut yaitu dengan melakukan penyerangan terhadap Afghanistan, negara yang dituduh Amerika serikat sebagai dalang teroris. Keputusan dalam pengambilan kebijakan tersebut hanya selang waktu beberapa jam saja setelah kejadian tersebut, sehingga menjadikan masyarakat dunia terutama negara muslim berpikir bahwa hal tersebut kurang masuk akal, namun pemerintah Amerika Serikat tetap pada pendiriannya yaitu melakukan penyerangan terhadap Afghanistan meskipun banyak pula dari negara-negara lain terutama negara-negara Arab mengecam tindakan tersebut. Maka muncullah berbagai protes dan demo dari negara- negara yang kontra dengan tindakan AS tersebut. Akan tetapi langkah Amerika Serikat sangat keras dalam melakukan kampanye melawan terorisme. Dalam mencari dukungan tersebut Bush harus menawarkan iming-iming berupa bantuan asalkan negara yang dibantu tersebut mau untuk berada dibarisan Amerika Serikat dalam mengkampanyekan melawan terorisme. Sebut saja negara Indonesia yang juga mendapat bantuan berupa uang lebih dari US 1miliar dan mencabut embargo terhadap militer Indonesia, dan pernyataan kesanggupan dinyatakan oleh Megawati presiden Indonesia pada waktu itu. Pernyataan tersebut disampaikan ketika Megawati berkunjung ke negara Amerika Serikat 17 September 2001. Negara India dan juga Pakistan mendapatkan janji dari Amerika Serikat berupa pencabutan sanksi bahwa 44 Sidik Jatmika, AS penghambat demokrasi membongkar politik standar ganda AS Yogyakarta: Biograf publishing, 2000, h. 11. 29 kedua negara tersebut tidak lagi menjadi kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat. 45 Akhirnya banyak dari negara-negara Arab yang enggan untuk melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat karena kebijakan hard power yang digunakan oleh George W Bush. Kebijakan hard power yang lebih mengedepankan kemiliterannya dalam merealisasikan kepentingan nasionalnya tentu akan sangat merugikan bagi negara yang mengadakan hubungan dengan negara Amerika Serikat, kecuali apabila kedua negara tersebut mempunyai tujuan yang sama. 46 Dalam hal partai politik Amerika Serikat sangat didominasi oleh dua partai besar, yaitu partai Republik dan partai Demokrat, namun dari partai mana saja presiden tersebut terpilih, Amerika tetap menjalankan misinya yaitu mengedepankan kepentingan nasionalnya diantaranya adalah mnguasai minyak. Timur tengah yang menjadi pusat perhatian utama bagi Amerika Serikat tentu selalu menjadi bahan pembicaraan disetiap pembuatan sebuah kebijakan luar negeri Amerika. Dari ketiga faktor kondisi sosial, ekonomi, dan politik tersebut diatas secara garis besar Amerika Serikat berada dalam keterpurukan dan berusaha untuk bangkit untuk memulihkan keadaan dalam negerinya, yang pada masa itu Amerika Serikat dipimpin oleh presiden George W Bush. Kebijakan yang diambil sangat kontradiktif dan tidak banyak diterima oleh masyarakat internasional, yaitu sebuah kebijakan yang lebih mengutamakan militer meskipun yang dilakukannya adalah demi memperbaiki keamanan dalam negerinya. Untuk itu keadaan dalam negeri suatu negara sudah barang tentu menjadi perhatian utama pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan sebelum kebijakan tersebut disetujui oleh senat. 45 Bien Pasaribu dan Jamaluddin Ritonga, Perang Bush Memburu Osama Jakarta: Penerbit Sinar Haiti, 2001, h. 97. 46 Riefqi Muna, “Paradigma Pertahanan dari Hard Power ke Smart Power dalam jurnal Pertahanan dan Perdamaian, ” Jakarta: Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian FISIP Universitas Al Azhar Indonesia V, no. 1 April 2009: h. 86-87. 30

III. 1. b. Pengaruh dari berbagai kelompok kepentingan