TINDAKAN AMERIKA SERIKAT DALAM MEMERANGI TERORISME DI AFGHANISTAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP NON INTERVENSI

(1)

iii ABSTRACT

THE ACTION OF UNITED STATES TO AGAINST THE TERRORISM IN AFGHANISTAN AND ITS RELATION WITH THE

PRINCIPLE OF NON INTERVENTION By

Beni Prawira Candra Jaya1

The country is a subject of international law which has an obligation to defend its territory from the existence of various threats, both from intern or extern, including from the threat of terrorist attacks. Terrorism is an international crime that must be fought by every country, but a country is not allowed to fight terrorism in the territory of another country, because it is contrary to the principle of non-intervention, which stresses the principle of the sovereign equality of every country as stipulated in Article 2 paragraph (1) of the UN Charter. But in fact, the United States has committed military attacks against Afghanistan which resulted in many civilian casualties, Afghans people died, and they didn’t include the thousands of people who had to flee to the surrounding countries.

This research aimed to examine and analyze the principle of non-intervention on the regulations according to the international law and its relations with action of the United States to combat the terrorism in Afghanistan. The Research in this thesis conducted in normative legal research; with data collection was done through literature and documents from primary legal materials and secondary legal materials related to the issue of this thesis. After that, the author did data classification which was carried over the normative analysis of these data.

The results showed that the regulation on non-intervention principle governed by international law was regulation in general legal principles, the UN Charter, and UN General Assembly Resolution No. 2131 on the protection declaration of independence and sovereignty and non-acceptance of intervention in the domestic territory of the country. It was also stipulated in the Resolution of UN General Assembly No. 2625 on the declaration of principles of international law concerning the relationship and cooperation between countries in accordance with the UN Charter. It was also known that the US intervention into Afghanistan are


(2)

iv

carried out by humanitarian reasons, self defence and in an effort to catch and prosecute the perpetrators of terrorism is an act that violates the principle of non-intervention in international law. It happened because there is no evidence of crimes against humanity in Afghanistan. United States also intervened without permission from the government of Afghanistan and didn’t coordinated with the UN Security Council, so that the reasons given by the US to attack Afghanistan was not appropriate and it was not justified under international law. In fact, as a result of such action would lead to the view that the purpose of the United States was not only to fight against the perpetrators of terrorism, but also to change the form of government of Afghanistan.


(3)

i .

ABSTRAK

TINDAKAN AMERIKA SERIKAT DALAM MEMERANGI TERORISME DI AFGHANISTAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN PRINSIP NON INTERVENSI

Oleh

Beni Prawira Candra Jaya1

Negara merupakan subjek hukum internasional yang memiliki kewajiban untuk mempertahankan wilayah kedaulatannya dari adanya berbagai ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negara itu sendiri, termasuk dari adanya ancaman serangan terorisme. Terorisme sendiri merupakan kejahatan internasional yang wajib di perangi oleh setiap negara, akan tetapi suatu negara tidak diperkenankan untuk memerangi terorisme di wilayah negara lain, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip non intervensi yang sangat menekankan asas kesetaraan kedaulatan bagi setiap negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB. Namun pada kenyataannya, Amerika Serikat telah melakukan tindakan serangan militer terhadap Afghanistan yang mengakibatkan banyaknya korban sipil yang merupakan warga negara Afghanistan meninggal dunia, dan belum termasuk ribuan penduduk yang harus mengungsi ke berbagai negara sekitar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis tentang pengaturan prinsip non intervensi menurut hukum internasional dan kaitannya dengan tindakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di Afghanistan. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka dan dokumen terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang terkait dengan permasalahan skripsi ini. Setelah itu, dilakukan proses seleksi dan klasifikasi data yang kemudian dilakukan analisis normatif atas data-data tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai prinsip non intervensi dalam hukum internasional diatur dalam prinsip hukum umum, Piagam PBB, serta Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2131 tentang deklarasi perlindungan kemerdekaan dan kedaulatan serta tidak diterimanya tindakan intervensi di wilayah domestik suatu negara. Selain itu juga diatur dalam Resolusi Majelis


(4)

ii

Umum PBB Nomor 2625 tentang deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan dan kerjasama antar negara sesuai dengan piagam PBB. Selain itu juga diketahui bahwa tindakan intervensi Amerika Serikat ke Afghanistan yang dilakukan dengan alasan kemanusiaan, pembelaan diri (self defence) dan dalam upaya menangkap serta mengadili para pelaku terorisme merupakan tindakan yang melanggar prinsip non intervensi dalam hukum internasional. Hal ini terjadi karena tidak ditemukan bukti terjadinya kejahatan kemanusiaan di Afghanistan. Amerika juga melakukan intervensi tanpa izin dari pemerintah Afghanistan dan tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Keamanan PBB, sehingga alasan yang dikemukakan Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan sangatlah tidak tepat dan tidak dibenarkan menurut hukum internasional. Bahkan, akibat dari tindakan tersebut justru menimbulkan pandangan bahwa tujuan Amerika Serikat yang sebenarnya tidak hanya untuk memerangi para pelaku terorisme, tetapi juga untuk mengubah bentuk pemerintahan Afghanistan.


(5)

v TINDAKAN AMERIKA SERIKAT DALAM MEMERANGI TERORISME

DI AFGHANISTAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP NON INTERVENSI

Oleh

BENI PRAWIRA CANDRA JAYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(6)

TINDAKAN AMERIKA SERIKAT DALAM MEMERANGI TERORISME DI AFGHANISTAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN PRINSIP NON INTERVENSI

(Skripsi)

Oleh

BENI PRAWIRA CANDRA JAYA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(7)

xvi

DAFTAR ISI

Abstrak...i

Halaman Judul...v

Halaman Persetujuan...vi

Halaman Pengesahan...vii

Riwayat Hidup...viii

Moto...x

Persembahan...xi

Sanwacana...xii

Daftar Isi...xvi

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... ..1

1.2. Rumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

1.3.1. Tujuan Penulisan ... 10

1.3.2. Manfaat Penulisan ... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

1.5. Sistematika Penulisan ... 11

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Istilah ... 14

2.1.1. Istilah Intervensi ... 14

2.1.2. Definisi Negara ... 16

2.1.3. Kedaulatan Negara ...17

2.1.4. Yurisdiksi Negara ... 19


(8)

xvii

2.2. Tinjauan Umum Mengenai kejahatan Terorisme...25

2.2.1. Sejarah Terorisme ... 25

2.2.2. Definisi Terorisme ... 28

2.2.3. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kejahatan Terorisme ... .32

2.2.3.1. Convention Against Terrorist Bombing (1997)...32

2.2.3.2. Convention for the Supression of the Financing of Terrorism (1999)...35

2.3. Gambaran Umum Negara Afghanistan...39

2.3.1. Kondisi Geografis...39

2.3.2. Kondisi Sosial Politik...40

III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 43

3.2. Pendekatan Masalah ... 44

3.3. Sumber Data ... 45

3.4. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 46

3.4.1. Metode Pengumpulan Data ... 46

3.4.2. Metode Pengolahan Data ... 46

3.5. Analisis Data ... 47

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaturan Mengenai Prinsip Non Intervensi dalam Hukum Internasional ... 48

4.1.1. Prinsip Non Intervensi Sebagai Prinsip Hukum Umum... 48

4.1.2. Piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)...51

4.1.3. Resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)...55

4.2 Tindakan Amerika Serikat dalam Memerangi Terorisme di Afghanistan...63

4.2.1.Kronologi Peristiwa 11 September 2001...63

4.2.2.Kronologi Serangan Amerika Serikat ke Afghanistan...66

4.2.3. Alasan-Alasan Amerika Serikat Melakukan Tindakan Intervensi di Afghanistan...69


(9)

xviii

4.2.3.1. Intervensi Kemanusiaan...83 4.2.3.1. Intervensi untuk Pembelaan Diri (Self Defence)...88

V PENUTUP

5.1. Kesimpulan...92 5.2 . Saran ...93


(10)

(11)

(12)

x

Negara yang hebat bukanlah negara pemenang

perang, tetapi negara yang mampu menciptakan

perdamaian diantara negara yang berperang

(Sun Tzu)

Ada seribu alasan untuk berperang, tetapi kita

punya milyaran alasan untuk berdamai


(13)

xi

Persembahan

Bissmilahirrahmannirrahim

Dengan segenap rasa syukur kepada Allah SWT, penulis mempersembahkan karya ini

kepada:

Kedua orang tuaku (Agusman Candra Jaya dan Susmiati Usman) yang senantiasa

memberikan limpahan cinta kasih, dukungan dan doa yang selalu menjadi kekuatan bagi

penulis.

Adik-adikku tersayang (Cyntia Candra Jaya dan Devaline Candra Jaya) yang senantiasa

memberikan limpahan kasih sayang, dukungan, serta mendoakan penulis.


(14)

(15)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 08 Desember 1993 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari

Bapak Agusman Candra Jaya, S.H.,M.H. dan Ibu Susmiati Usman.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 03 Natar, Lampung Selatan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 26 Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Perintis 1 Bandar Lampung, lulus pada tahun 2011.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi internal maupun eksternal kampus. Di internal kampus, penulis aktif di UKM-F PERSIKUSI (Perhimpunan Mahasasiswa Hukum Untuk Seni) dan menjabat sebagai ketua umum untuk periode 2013-2014, DPM FH (Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum) dan menjabat sebagai ketua umum untuk periode 2014-2015. Selain itu juga, penulis aktif pada Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional (HIMA HI) dan menjabat sebagai kepala bidang Humas untuk


(16)

ix periode 2014-2015. Di eksternal kampus, penulis aktif sebagai kader di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Bandar Lampung, Komisariat Hukum Unila dan menjabat sebagai kepala bidang KPP (Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi) untuk periode 2014-2015. Penulis juga melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Gunung Sugih Besar Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2014.


(17)

xii

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Tindakan Amerika Serikat dalam Memerangi Terorisme di Afghanistan dan Hubungannya Dengan Prinsip Non Intervensi” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Melly Aida, S.H.,M.Hum, selaku ketua bagian Hukum Internasional sekaligus Pembahas Utama serta Penguji Utama atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

3. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(18)

xiii 4. Ibu Desy Churul Aini, S.H., M.H., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Ibu Siti Azizah, S.H., M.H., selaku Pembahas serta Penguji Kedua atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Kedua orang tuaku, Bapak Agusman Candra Jaya S.H.,M.H. dan Ibu Susmiati Usman yang penulis cintai, serta adik-adikku (Cyntia Candra Jaya dan Devaline Candra Jaya) yang tak pernah berhenti untuk selalu

memberikan Do’a dan dukungan kepada penulis;

7. Bapak Ahmad Zazili, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum Internasional (Bapak Naek Siregar, S.H., M.H., Bapak Ahmad Syofyan, S.H., M.H., Ibu Rehulina Tarigan, S.H., M.H., Ibu Widya Krulinasari dan lain-lain), atas bimbingan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini;

9. Bapak Marjiyono, Bapak Sujarwo dan Bapak Supendi selaku Staf Administrasi Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung, atas bantuan, saran dan masukannya serta motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini;

10. Kanda Budiyono, Kanda Muhtadi, Kanda Ahmad Saleh, dan Kanda Yusdianto atas bimbingan dan saran kepada penulis selama berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Bandar Lampung, Komisariat Hukum Universitas Lampung.


(19)

xiv 11. Bapak Dr. Hamzah, S.H.,M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Pak Rusmialdi, S.H. serta Mba Lusi atas bimbingan dan saran kepada penulis selama berorganisasi Fakultas Hukum.

12. Squad of International Law (Bakur, Jesicca, Very, Anisa, Belardo, Shinta, El renova, Farid) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan. Akan selalu mengingat hari dimana kita bersama;

13. Presidium Persikusi FH Unila Periode 2013-2014 (Asa, Prabu, Eka, Ponidi) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan;

14. Teman-teman DPM FH (Agung, Panca, Ucup, Rendy, Diana, Hany, Rae, Sandy) atas kerjasamanya selama ini;

15. Fathimah Fitri Alawiyah, yang telah memberikan motivasi dan selalu mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini;

16. Teman-teman komunitas jalan-jalan (Asa, Aii, Andika, Ika, Ines, Iis, Kresna, Dhaniko, Mba Dewi, Herra, Johana, Jandri, Budi P.E.) untuk cinta kasih, tawa, dukungan dan kebersamaannya selama ini;

17. Teman-teman KKN Gunung Sugih Besar

18. Presidium HmI Komisariat Hukum Unila periode 2014-2015 (Kodri, Imam, Prabu, Panca, Agung Rooney, Maryanto, Mamat, Shintya Sardi, Abung); 19. Keluarga besara HmI Komisariat Hukum Unila, “Prabu Dafa”, “Samudera

Byzantium”, “Anti Stagnasi”, “Victoria Bonefide”, untuk kebersamaan, pengalaman dan kekeluargaan yang sangat luar biasa;


(20)

xv 20. Untuk sahabat-sahabatku dalam bermusik (Asep, Bimo, Fadhil, Ando, Pandu,

Agung didi, Irfan);

21. Untuk sahabat-sahabat rumahku (Ali, Rudi, Santo ’Kentuy’, Pekik, Talent,

Yudhi’borat’, Taufik ‘tomcruise’);

22. Kepada semua pihak yang terlibat namun tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 15 Agustus 2015 Penulis


(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara merupakan organisasi yang mempunyai wilayah tertentu, rakyat yang diperintah oleh penguasa, pemerintah yang berdaulat dan diakui oleh negara lain.1 Pendapat senada juga dikemukan oleh J.J Rousseau2 yang mengatakan bahwa negara sebagai perserikatan dari rakyat bersama-sama yang melindungi dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta benda anggota-anggota yang hidup dengan bebas merdeka.

Hukum internasional mengartikan negara sebagai salah satu pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Konvensi Montevideo 1933 mengenai hak dan kewajiban negara, dijelaskan bahwa kualifikasi suatu negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki penduduk yang tetap, wilayah (teritorial) tertentu, pemerintahan dan kapasitas mengadakan hubungan dengan negara lain.3 Negara dalam hukum internasional dianggap sebagai subjek hukum utama, sebagai salah satu subjek hukum internasional, terdapat hak dan kewajiban yang dipikul oleh suatu negara.4

1

Yulia Neta dan M. Iwan Satriawan, Ilmu Negara, Bandar Lampung : PKKPU FH Universitas Lampung, 2013, hlm.4.

2

Yulia Neta, Ilmu Negara, Bandar Lampung : Justice Publisher, 2014, hlm.4.

3

S.Tasrif, Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Abardin, 1987, hlm.10.

4


(22)

2

Hak-hak yang berhubungan dengan kedudukan negara terhadap negara lain yang sering diutarakan ialah hak kemerdekaan, hak kesederajatan dan hak untuk mempertahankan diri. Adapun kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan kedudukan negara terhadap negara lain yang sering diutarakan ialah tidak melakukan perang, melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik dan tidak mencampuri urusan negara lain.5

Berkaitan dengan hak yang berhubungan dengan kedudukan negara tersebut, salah satunya yaitu hak mempertahankan diri dalam rangka menjaga kedaulatan negara tersebut. Kedaulatan adalah salah satu prinsip dasar bagi terciptanya hubungan internasional yang damai. Kedaulatan atas wilayah adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasannya.6

Kedaulatan atas wilayah juga dapat diartikan sebagai kedaulatan teritorial yang menandakan bahwa di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan harta benda yang menyampingkan negara- negara lain.7 Negara dalam mempertahankan wilayah kedaulatan dari adanya ancaman kejahatan merupakan kewajiban mutlak. Ancaman tersebut dapat berasal dari luar maupun dari dalam negara tersebut, termasuk dari adanya ancaman serangan terorisme. Perkembangan terorisme ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa ancaman-ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu, bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu

5

Ibid.

6

Jawahir Thantowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hlm. 169.

7

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional I, penerjemah Bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm.210.


(23)

3

kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.8 Terorisme terjadi pertama kali sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh pasukan pembebasan yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.9

Perkembangan tindakan terorisme yang dilakukan dengan cara “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil terjadi pada tanggal 11 September tahun 2001 di Amerika Serikat. Peristiwa tersebut merupakan serangkaian serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di kota New York, New Jersey dan kota Washington D.C. pada 11 September 2001. Kejadian tersebut dilakukan oleh sekelompok teroris dengan membajak empat pesawat terbang yang berbeda.10

Tepat pada hari Selasa, 11 September 2001 pukul 8.45 pagi waktu New York, pesawat Boeing 767 milik maskapai American Airlines menghantam menara utara gedung WTC (World Trade Center) di kota New York. Sementara itu pesawat kedua, Boeing 767 milik United Airlines dengan nomor penerbangan 175, muncul

8

Muladi, Hakikat Terorismedan Beberapa Prinsip Pengaturan Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Vol.2, No.3, Desember 2002, hlm. 4.

9 Ibid. 10

Vivanews.co.id, Tragedi 9-11, diakses melalui situs :

http://dunia.news.viva.co.id/news/read/246153-11-9-2001--tragedi-9-11 pada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 13.00 WIB.


(24)

4

di langit, berbelok tajam mengarah ke gedung WTC, dan menghantam menara selatan WTC di sekitar lantai 60. Tabrakan itu menyebabkan ledakan hebat, reruntuhan bangunan berjatuhan ke gedung-gedung sekitarnya dan jalanan di bawahnya.11 Pesawat ketiga yaitu sebuah pesawat milik American Airlines dengan nomor penerbangan 77 berputar mengarah ke Washington dan menabrak sisi timur gedung kantor pusat Pentagon pukul 9.45 waktu Washington, dalam peristiwa tersebut, bahan bakar pesawat jet menyebabkan kobaran api hebat. Sebanyak 125 personel militer dan warga sipil tewas di Pentagon bersama 64 orang didalam pesawat.12 Pesawat keempat milik United Airlines dengan nomor penerbangan 93 dibajak sekitar 40 menit setelah meninggalkan bandara internasional Newark di New Jersey. Pesawat tersebut jatuh ke wilayah pemukiman di sebelah barat Pennsylvania pukul 10.10 pagi dan mengakibatkan sebanyak 45 penumpang tewas.13

Insiden pembajakan beberapa pesawat tersebut mengakibatkan jumlah korban meninggal di WTC dan sekitarnya mendekati 4.000 orang, termasuk 343 petugas pemadam kebakaran dan 23 personel kepolisian yang berusaha mengevakuasi dan menyelamatkan para pegawai yang terjebak di lantai atas. Hanya 6 orang di menara WTC yang selamat tanpa luka. Sebanyak 10.000 orang lainnya mengalami luka-luka, sebagian besar menderita luka parah.14 Akibat dari insiden tersebut, jaringan militan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas insiden itu. Sebanyak 19 pelaku adalah teroris

11

Ibid. 12

Ibid. 13

Rahmi Fitriyani, Kajian Mengenai Legalitas Formal Use Of Force Amerika Serikat Terhadap Afghanistan, Orbit : Jurnal Hubungan Internasional, Vol.1, No.1, Jakarta : Pusat Kajian Hubungan Internasional, UIN, Januari 2008, hlm.66.

14

Vivanews.co.id, Tragedi 9-11, http://dunia.news.viva.co.id/news/read/246153-11-9-2001-- tragedi-9-11, Loc.cit.


(25)

5

dari Arab Saudi dan beberapa negara Arab lain. Mereka dibiayai organisasi teroris milik Osama bin Laden, Al-Qaeda. Beberapa teroris sudah tinggal di negara Amerika Serikat lebih dari satu tahun dan mempelajari cara menerbangkan pesawat di sekolah penerbangan komersial Amerika. 15

Amerika Serikat yang melancarkan tuduhannya kepada jaringan militan Al-Qaeda, juga menganggap negara Afghanistan sebagai pihak yang telah memberikan perlindungan kepada Osama Bin Laden, karena memang sebelum terjadinya serangan 11 September, Amerika Serikat telah mengidentifikasi pemerintah Taliban di Afghanistan sebagai pelindung dan pendukung Al-Qaeda.16 Taliban yang menolak untuk menyerahkan Osama bin Laden kepada pemerintah negara Amerika Serikat, membuat Amerika Serikat memutuskan untuk memulai operasi militer ke wilayah Afghanistan dalam rangka memerangi dan menangkap para pelaku teroris yang dituding bertanggung jawab atas insiden 11 September 2001.

Operasi militer ini dimulai pada tanggal 7 Oktober 2001 yang berlangsung selama beberapa bulan, dengan serangan awal melalui udara oleh pesawat-pesawat pembom yang berbasis di darat seperti B-1, B-2 dan B-52, pesawat-pesawat tempur berbasis kapal induk seperti F-14 dan F/A 18, dan rudal jelajah yang diluncurkan kapal selam Amerika dan Inggris.17 Amerika Serikat yang melakukan operasi militer pada tahun 2001, telah berhasil membuat Taliban mundur ke wilayah timur dan selatan Afghanistan dan membuat kota Kabul menjadi ibukota

15

Ibid. 16

Rahmi Fitriyani, Kajian Mengenai Legalitas Formal Use Of Force Amerika Serikat Terhadap Afghanistan, Loc.cit.

17

www.liputan6.com, Amerika Serikat Mengobarkan Perang di Afghanistan, diakses melalui situs http://news.liputan6.com/read/2115168/7-10-2001-amerika-serikat-kobarkan-perang-di-afghanistan pada tanggal 16 Maret 2015 pukul 10.00 WIB.


(26)

6

yang tidak nyaman dan muram.18 Amerika Serikat kemudian juga berusaha mengatur negara itu dan mempromosikan beberapa nilai khasnya, seperti demokrasi dan liberalisme.19 Bulan Desember 2001, faksi-faksi yang ada di Afghanistan dan merupakan kelompok oposisi dari Taliban mengadakan pertemuan di Bonn, Jerman dan pertemuan tersebut disponsori oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).20

Pertemuan tersebut memperoleh kesepakatan untuk membentuk suatu stabilitas pemerintahan di Afghanistan melalui dibentuknya pemerintahan interim (sementara) dan menciptakan suatu proses menuju pembentukan pemerintahan yang lebih permanen. Maka, melalui kesepakatan yang disebut sebagai kesepakatan Bonn itu, dibentuklah pemerintahan interim Afghanistan dan mulai bertugas sejak tanggal 22 Desember 2001 dengan Hamid Karzai sebagai pemimpinnya.21 Otoritas interim ini memegang tampuk kepentingan selama enam bulan sambil mempersiapkan terbentuknya ”Loya Jirga” (Parlemen Tradisional Afghanistan) pada pertengahan bulan Juni 2002 yang akan memutuskan bentuk dari struktur otoritas transisional. Otoritas transisional ini, diketuai oleh Presiden Hamid Karzai, mengubah namanya pemerintahan Afghanistan menjadi ”Negara Islam Transisional Afghanistan (TISA/Transitional Islamic State Of Afghanistan).22 Operasi-operasi militer yang dijalankan dari tahun ke tahun turut menyebabkan munculnya pengungsian di wilayah selatan dan barat daya

18

Dina Susanti dan Farah Monika, Peran AS dalam Transisi Rezim di Negara Lain: Studi Kasus Afganistan, Global Jurnal Politik Internasional Vol. 7 No. 2 , Mei 2005, hlm. 49

19

www.hizbuttahrir.or.id, Analisis Politik dibalik Pertemuan di London, diakses melalui situs :http://hizbut-tahrir.or.id/2010/02/15/analisis-politik-dibalik-pertemuan-london/ pada tanggal 20 Maret 2015 pukul 10.00 WIB.

20

Ibid. 21

www.bbc.com, Afghanistan Profile, diakses melalui situs : http://www.bbc.com/news/world south-asia-12024253 pada tanggal 18 Maret pukul 16.00 WIB.

22

www.liputan6.com, Oposisi Taliban Menyepakati Pembentukan Pemerintahan Transisi, diakses melalui situs :


(27)

7

Afghanistan. Jumlah korban anak-anak yang meninggal dunia akibat perang Afghanistan mencapai 561 jiwa dan yang terluka sebanyak 1.195 jiwa.23 Keadaan ini semakin diperburuk dengan banyaknya korban sipil yang meninggal dunia sebanyak 17.774 orang dan sebanyak 29.971 korban terluka, belum termasuk jumlah penduduk yang harus mengungsi ke berbagai negara sekitar, yang diperkirakan mencapai lebih dari tiga juta orang.24

Tindakan Amerika Serikat ini mengukuhkan citra Amerika Serikat sebagai negara superpower yang unilateral.25 Amerika Serikat memiliki alasan tersendiri untuk melegitimasi tindakannya, presiden Bush dalam pidatonya mengemukakan 4 alasan Amerika Serikat harus menyerang Afghanistan yaitu :26

a. Chapter IV of United Nation Charter (Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1368 tentang ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional yang disebabkan oleh tindakan teroris)

b. Intervention by Invitation c. Humanitarian Intervention d. Self Defence

Dewan Keamanan PBB, dalam Resolusi No.1368 tentang ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional yang disebabkan oleh tindakan teroris, menyebutkan bahwa PBB memperbolehkan suatu negara mengambil tindakan

23

news.okezone.com, Ribuan Warga Sipil Tewas Akibat Perang Afghanistan, diakses melalui situs : http://news.okezone.com/read/2014/02/08/413/937959/ribuan-warga-sipil-tewas-akibat-perang pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 19.00 WIB.

24

www.republika.co.id, Kematian Warga Sipil Afghanistan Meningkat 25%, diakses melalui situs : http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/02/18/njynrx-pbb-kematian-warga-sipil-meningkat-25-persen-di-afghanistan pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 19.00 WIB.

25

Tindakan Unilateral diartikan sebagai tindakan sepihak yang dilakukan oleh suatu negara dengan menimbulkan akibat hukum.

26

Bill Bowring, The Degradation of the International Legal Order?: The Rehabilitation of Law and the Possibility of Politics, Routledge : London , 2008, hlm.57.


(28)

8

yang dianggap perlu terhadap sebuah negara atau golongan yang melakukan maupun melindungi terorisme, dimana salah satu isi Resolusi tersebut adalah :27

“Calls those state to work together urgently to bring to justice theperpetrators,

organizers and sponsor of these terrorist attacks and stresses that those responsible for aiding, supporting or harbouring therperpetrators, organizers and

sponsors of these acts will be heldaccountable”( Mengajak negara-negara tersebut bekerjasama secepatnya untuk menegakkan keadilan bagi pelaku, penggerak dan pendukung dari penyerangan-penyerangan teroris ini dan menekankan bahwa hal-hal tersebut harus dipertanggungjawabkan bagi pertolongan, bantuan atau penyembunyian pelaku-pelaku, penggerak-penggerak dan pendukung -pendukung dari tindakan ini akan dipertanggungjawabkan).28

Resolusi lainnya yang digunakan sebagai alasan Amerika Serikat untuk melegitimasi tindakannya adalah Resolusi Dewan Kemanan PBB No.1373 tentang kerjasama masyarakat internasional dan gerakan anti teror yang mengisyaratkan bahwa setiap negara untuk bekerja sama dalam memberantas tindakan terorisme, dimana salah satu isi Resolusi tersebut adalah :29

Calls upon all States to Find ways of intensifying and accelerating the exchange of operational information, especially regarding actions or movements of terrorist persons or networks; forged or falsified travel documents; traffic in arms, explosives or sensitive materials; use of communications technologies by terrorist groups; and the threat posed by the possession of weapons of mass destruction by terrorist groups” ( Mengajak semua negara untuk menemukan cara mengintensifkan dan mempercepat pertukaran informasi operasional, terutama mengenai tindakan atau gerakan teroris atau jaringan teroris, dokumen perjalanan palsu atau dipalsukan, bahan peledak atau bahan-bahan sensitif, penggunaan teknologi komunikasi oleh kelompok-kelompok teroris, dan ancaman yang ditimbulkan akibat kepemilikan senjata pemusnah massal oleh kelompok-kelompok teroris).30

Alasan yang lainnya yaitu alasan kedua, ketiga dan keempat menunjukkan bahwa Amerika Serikat melakukan penyerangan di Afghanistan karena diserang terlebih dahulu, ditambah lagi Amerika Serikat memposisikan diri sebagai negara yang

27

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1368

28

Terjemahan bebas dari penulis

29

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373

30


(29)

9

diserang dan menganggap perlu melakukan serangan balik ke Afghanistan yang merupakan markas teroris yang dipimpin oleh Osama bin Laden.31 Namun dalam hal ini, Amerika Serikat tidak mempedulikan PBB, meskipun Piagam PBB Pasal 1 dan 2 sangat menekankan prinsip perdamaian dan non-intervensi dalam hubungan internasional.32

Jika dilihat dari sisi hukum internasional publik, tindakan campur tangan (intervensi) suatu negara didalam wilayah negara lain tentu sangat dilarang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Piagam PBB. Tetapi di sisi lain, Amerika Serikat memiliki alasan untuk melegitimasi tindakannya, sebagaimana yang tercantum dalam Resolusi Dewan Kemanan PBB No.1368 tentang ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional yang disebabkan oleh tindakan teroris serta Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1373 tentang kerjasama internasional dan gerakan anti teror.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana Amerika Serikat melakukan intervensi di wilayah Afghanistan dalam rangka memerangi kejahatan terorisme, kajian dan analisis tersebut penulis tuangkan ke dalam bentuk skripsi yang berjudul “Tindakan Amerika Serikat dalam Memerangi Terorisme di Afghanistan dan Hubungannya dengan Prinsip Non Intervensi”

31

Ibid. 32

Mohammad Shoelhi, Demi Harga Diri Mereka Melawan Amerika, Jakarta : PT Pustaka Cidesindo, 2003, hlm.152.


(30)

10 1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan mengenai prinsip non intervensi menurut hukum internasional ?

2. Apakah tindakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di Afghanistan merupakan pelanggaran terhadap prinsip non intervensi ?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.3.1.Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pengaturan mengenai prinsip non intervensi menurut hukum internasional.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis tindakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di Afghanistan merupakan pelanggaran terhadap prinsip non intervensi atau bukan.

1. 3.2. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu : 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan serta wawasan bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya, khususnya mengenai tindakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di Afghanistan dan kaitannya dengan prinsip non intervensi.


(31)

11

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum internasional untuk kemudian digunakan sebagai data sekunder.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan bagi setiap negara dalam menjalankan hubungan internasional sehingga dapat saling menghormati kedaulatan negara masing-masing.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai referensi bagi kalangan akademisi, baik dosen maupun mahasiswa yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut yang terkait dengan tindakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di Afghanistan dan kaitannya dengan prinsip non intervensi. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum yang hendak memperluas pengetahuan dan wawasan dalam bidang hukum internasional.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini terfokus pada pembahasan yang meliputi pengaturan prinsip non intervensi menurut hukum internasional dan kaitannya dengan tindakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di Afghanistan.

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan, dan pengembangan terhadap isi skripsi ini maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 Bab yang diorganisirkan ke dalam bab demi bab sebagai berikut :


(32)

12 Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab ini merupakan gambaran umum dari isi skripsi untuk memudahkan pembaca dalam mendalami isi skripsi ini.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Pada bab ini membahas tentang pengertian umum mengenai pokok-pokok pembahasan skripsi, yang meliputi definisi dan istilah, tinjauan umum mengenai kejahatan terorisme, dan gambaran umum negara Afghanistan. Bab ini merupakan landasan teoritis untuk memberikan dasar-dasar teori sehingga memudahkan dalam pembahasan yang akan dibahas dalam bab IV.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini membahas tentang metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan masalah, data dan sumber data, prosedur pengumpulan data, prosedur pengolahan data dan analisis data.

Bab IV: Hasil Penelitian dan Analisis Data

Bab ini dimulai dengan pemaparan hasil penelitian dan uraian dari pembahasannya. Diawali dengan pemaparan pemecahan masalah yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini, yaitu bagaimana pengaturan mengenai prinsip non intervensi menurut hukum internasional dan apakah tindakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di Afghanistan merupakan pelanggaran terhadap prinsip non intervensi atau bukan.


(33)

13 Bab V: Penutup

Bab ini menguraikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran- saran. Dalam bagian ini dijelaskan bahwa kesimpulan merupakan inti dari keseluruhan uraian yang dibuat setelah permasalahan selesai dibahas secara menyeluruh. Terakhir, berdasarkan kesimpulan tersebut diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil keseluruhan sebagai alternatif pemecahan masalah.


(34)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Istilah 2.1.1. Istilah Intervensi

Intervensi merupakan salah satu bentuk turut campur dalam urusan negara lain yang bersifat diktatorial, mempunyai fungsi sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional.31 Intervensi juga dapat diartikan sebagai turut campurnya sebuah negara dalam urusan dalam negeri negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan.32

Hukum internasional mengartikan intervensi dalam arti tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.33 Oppenheim Lauterpacht34 mengatakan bahwa intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut.

31

Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Batara, 1971, hlm. 108.

32

Bryan A.Garner ed., Black’s Law Dictionar , Seventh Edition, Book 1, ST. Paul, Minn : West Group, 1999, hlm. 826

33

Wirjono Prodjodikoro,Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1967, hlm 149-150.

34

Huala Adolf, Aspek - Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, cet.ketiga, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.31.


(35)

15

J.G. Starke35 sendiri mengemukakan ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi negara terhadap negara lain, yaitu:

1. Intervensi Internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan dalam negeri negara lain.

2. Intervensi Eksternal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan luar negeri sebuah negara dengan negara lain.

3. Intervensi Punitive, yaitu intervensi sebuah negara terhadap negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh negara tersebut.

J.G. Starke36 mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention yaitu :

“Mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu

negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di

negara lain”.

Prinsip non intervensi sendiri merupakan suatu kewajiban bagi setiap negara berdaulat untuk tidak campur tangan dalam urusan negara lain.37 Prinsip ini dijalankan karena suatu negara memiliki kedaulatan penuh yang didasari oleh paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara, artinya bahwa negara berdaulat bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain.38 Piagam PBB sendiri telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan non-intervensi dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “organisasi ini (PBB) berdasarkan prinsip kesetaraan kedaulatan dari semua anggota." Kemudian Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB juga mengatur bahwa "semua anggota harus menahan diri dalam hubungan

35

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Op.cit., hlm.136-137.

36

Ibid.,

37

Steven L. Spiegel, World Politics in A New Era, New Jersey : Harcout Brace College Publishers, 1995, hlm. 395.

38

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Alumni, 2003, hlm.19.


(36)

16

internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun, atau dengan cara lain tidak konsisten dengan tujuan PBB." Piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antar negara tidak diperbolehkan adanya intervensi.39

2.1.2. Definisi Negara

Negara merupakan organisasi yang mempunyai wilayah tertentu, rakyat yang diperintah oleh penguasa, pemerintah yang berdaulat dan diakui oleh negara lain.40 Pendapat senada juga dikemukan oleh J.J Rousseau41 yang mengatakan bahwa negara sebagai perserikatan dari rakyat bersama-sama yang melindungi dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta benda anggota-anggota yang hidup dengan bebas merdeka.

Hans Kelsen42 dalam konsepsinya mengenai negara, menekankan bahwa negara merupakan suatu gagasan teknis yang semata-mata menyatakan fakta bahwa serangkaian kaidah hukum tertentu mengikat sekelompok individu yang hidup di dalam suatu wilayah teritorial terbatas, dengan perkataan lain, negara dan hukum merupakan suatu istilah yang sinonim. Hukum internasional sendiri menyebutkan bahwa negara merupakan subjek utama dari hukum internasional, baik ditinjau secara historis maupun secara faktual.43 Negara dalam sejarah perkembangan hukum internasional dipandang sebagai subyek hukum terpenting (par excellence) dibandingkan dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya, tentunya dalam kedudukan sebagai subyek hukum internasional maka negara memiliki hak

39

Pasal 2 Piagam Perserikatan Bangsa - Bangsa

40

Yulia Neta dan M. Iwan Satriawan, Ilmu Negara, Bandar Lampung : PKKPU FH Universitas Lampung, 2013, hlm.4.

41

Yulia Neta, Ilmu Negara, Bandar Lampung : Justice Publisher, 2014, hlm.4.

42 Ibid. 43


(37)

17

dan kewajiban menurut hukum internasional.44 Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara (Convention on Rights and Duties of States of 1933) disebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu negara untuk dapat dikatakan dan atau diakui sebagai negara, adalah :

“Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut : (a) penduduk tetap; (b) wilayah tertentu; (c) pemerintah; dan (d) kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan dengan negara-negara lain”.45

2.1.3. Kedaulatan Negara

Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara yang merupakan kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya. Parthiana

46

menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin47 menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara.48

Konsep kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara yang tidak dibatasi oleh hukum, ini tidak berarti kedaulatan negara tidak ada batasnya. Kedaulatan negara hanya berlaku terhadap orang, benda, dan peristiwa di dalam batas-batas teritorial negara yang bersangkutan, dengan kata lain, kedaulatan

44

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1. Terj. Bambang Iriana Djajaatmadja. 2006. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 127.

45 Ibid. 46

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011 hlm. 8

47


(38)

18

negara berhenti sampai batas teritorial negara lain.49 Hal ini berarti suatu negara hanya memiliki kewenangan untuk melaksanakan pemerintahannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasannya.50

Pengakuan terhadap wilayah kedaulatan suatu negara oleh negara lain merupakan suatu bentuk penghormatan atas kemerdekaan negara dari adanya kendali eksternal dan juga merupakan bentuk kesetaraan yang utuh terhadap negara-negara lain, sehingga dapat menentukan sistem politiknya sendiri.51 Kedaulatan

menurut istilah dalam bahasa inggris adalah “Sovereignity”, dalam bahasa arab

daulah”, dan dalam bahasa latin disebut dengan “supremus” yang berarti kekuasaan tertinggi.52 Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa negara itu merdeka dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain. Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek sebagai berikut :53

a. Aspek internal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas teritorialnya.

b. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan internasional dengan negara lain atau melakukan tindakan-tindakan yang dibenarkan oleh hukum internasional. Kedaulatan negara tersebut direfleksikan atau dimanifestasikan dalam bentuk yurisdiksi negara.

49

Khaidir Anwar, Hukum Internasional II, Bandar Lampung : Universitas lampung, 2011, hlm. 30.

50

Jawahir Thantowi dan Pranoto Iskandar, Op.cit., hlm. 169.

51

Philip R. Cateora, Pemasaran Internasional 1, edisi ke 13, Jakarta : Salemba Empat,2007, hlm.209

52

Yulia Neta dan M. Iwan Satriawan, Ilmu Negara, Op.cit., hlm.37.

53 Ibid.


(39)

19 2.1.4. Yurisdiksi Negara

Negara-negara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional, kedaulatan tersebut terdapat hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah internal dan eksternal. Kekuasaan atau dengan yurisdiksi tersebut, suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu, sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.54 Yurisdiksi dalam pengertian hukum adalah hak atau kekuasaan suatu negara untuk mengatur dan menegakkan aturan terhadap orang, benda, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam batas-batas teritorialnya.55

Piagam PBB sering menggunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering digunakan terhadap orang, benda atau peristiwa. Kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.56 Hukum internasional membagi pengaturan mengenai yurisdiksi menjadi beberapa prinsip yang meliputi prinsip yurisdiksi teritorial, yurisdiksi personal (individu), yurisdiksi menurut prinsip

54

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.71

55 Ibid. 56

I Wayan Patriana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Mandar Maju, 1990, hlm. 293-294.


(40)

20

perlindungan, yurisdiksi menurut prinsip universal, yurisdiksi terhadap kejahatan yang berkaitan dengan pesawat terbang, dan yurisdiksi terhadap kejahatan terorisme. Beberapa prinsip yurisdiksi tersebut dijabarkan sebagai berikut :57 a. Prinsip Yurisdiksi Teritorial

Menurut prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya, termasuk semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorialnya, dibandingkan prinsip-prinsip lain, prinsip teritorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam hukum internasional.

b. Yurisdiksi Personal (Individu)

Berdasarkan prinsip ini, seseorang (warga negara sendiri atau orang asing) yang sedang memasuki, berada dan melakukan aktivitas dalam suatu wilayah negara, maka ia tunduk pada yurisdiksi negara yang bersangkutan.

c. Yurisdiksi Menurut Prinsip Perlindungan

Hukum internasional mengakui bahwa setiap negara memiliki kewenangan melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang berkaitan dengan keamanan dan integritas atau kepentingan ekonomi yang sangat vital, wewenang ini didasarkan pada prinsip perlindungan (Protective Principle).

d. Yurisdiksi Menurut Prinsip Universal

Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di mana pun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya prinsip

57


(41)

21

ini adalah para pelaku kejahatan dianggap sebagai orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.

Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa ciri menonjol sebagai berikut :58

1. Setiap negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara” mengarah hanya pada negara yang bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya adanya serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya.

2. Setiap negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana kejahatan dilakukan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak. Tidak mungkin suatu negara bisa melaksanakan yurisdiksi universal bila pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hukum internasional bila negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah negara lain.

3. Setiap negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku kejahatan yang serius (serious crime) atau lazim disebut kejahatan internasional (international crime).

58

Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 251.


(42)

22

e. Yurisdiksi Terhadap Kejahatan Yang Berkaitan Dengan Pesawat Terbang Berdasarkan prinsip ini, negara registrasi pesawat udara memiliki kewenangan melaksanakan yurisdiksi terhadap pelakunya, namun tidak mencakup yurisdiksi kriminal yang dilakukan berdasarkan hukum nasional.

f. Yurisdiksi Terhadap Kejahatan Terorisme

Prinsip ini muncul sebagai akibat dari makin meluasnya kejahatan-kejahatan internasional dengan modus baru yang sebelumnya tidak diatur dalam konvensi internasional, seperti kejahatan terorisme.59 Prinsip ini diatur dalam dua konvensi yaitu Convention on the Supression of Terorist Bombing (1997) dan Convention on the Supression of Financing Terorism (1999).

2.1.5. Istilah Self Defence ( Pembelaan Diri)

Pembelaan diri atau biasa disebut self defence merupakan istilah dalam hukum internasional yang berlaku sejak lama sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Tindakan self defence dalam hukum kebiasaan internasional pertama kali terjadi pada tahun 1837, Saat itu terjadi penembakan kapal Amerika Serikat Caroline oleh angkatan bersenjata Inggris. Penembakan itu dilakukan karena kapal tersebut memasok kebutuhan kelompok-kelompok warga Amerika Serikat yang melakukan serangan terhadap teritorial Kanada.60

Penembak yang merupakan seorang warga negara Inggris bernama Mc Leod, dituduh melakukan pembunuhan dan perbuatan tidak sah dengan menembak kapal tersebut. Dalam komunikasi yang dijalin antara menteri luar negeri Amerika Serikat dengan pemerintah Inggris pada waktu itu, berujung pada kesimpulan

59

Khaidir Anwar, Hukum Internasional II, Op.cit., hlm. 33.

60

D. J. Harris, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, London : Sweet & Maxwell, 2004. Hlm. 889


(43)

23 bahwa tindakan Inggris dikategorikan sebagai “The Nescessity of self defence and

preservation”. Inggris mengklaim bahwa tindakan mereka adalah sebuah tindakan self defence.61 Peristiwa Caroline kemudian secara tidak langsung membentuk prinsip-prinsip yang kini tertanam kuat sebagai landasan yang digunakan dalam beberapa kasus sengketa internasional dan kemudian menjadi hukum kebiasaan internasional dalam hal self defence. Hukum internasional menjelaskan bahwa tindakan self defence hanya diizinkan jika ada keadaan terpaksa dan harus memenuhi kriteria berikut :62

1. Instant (berlangsung sangat cepat)

2. Overwhelming (keadaan terpaksa yang luar biasa) 3. There is no alternative (tidak ada pilihan lain)

4. No moment for deliberation (tidak ada waktu untuk bermusyawarah)

Hukum Internasional menggunakan kriteria tersebut sebagai standar untuk menentukan seperti apa tindakan pre-emptive63 yang dilegalkan menurut international customary law. Pengaturan dalam hukum internasional mengenai upaya untuk melakukan tindakan self defence sampai saat ini masih dipertanyakan validitasnya. Hal ini terjadi karena tindakan self defence memberikan ruang interpretasi bagi negara-negara sebagai suatu alasan untuk melakukan serangan ke negara lain dalam bentuk nyata dengan menggunakan mobilisasi militer dalam skala besar.64

61

Ibid. 62

J.L. Brierly, The Law of Nations, Great Britain : Clarendon Press, 1955, hlm. 316.

63

Pre-emptive berarti melakukan serangan pertama terhadap negara lain yang tampak sedang mempersiapkan serangan atau telah dalam proses melakukan serangan

64

www.Kemlu.go.id, Interdiksi dan Hak Mempertahankan diri, diakses melalui situs : http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%203,%20SeptemberDesember%202011_29_41.PD F pada tanggal 11 April 2015 pukul 08.00 WIB


(44)

24

Pasca terbentuknya organisasi internasional PBB dan melahirkan piagam PBB, tindakan self defence diatur dalam pasal 51 Piagam PBB yang mengakui adanya "inherent right” yaitu hak yang melekat baik pada individu atau kolektif untuk melakukan self defence. Pasal 51 Piagam PBB memberikan aturan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dalam piagam PBB yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap satu anggota perserikatan bangsa-bangsa, sampai dewan keamanan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional.65 Tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota-anggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada dewan keamanan dan dengan cara bagaimana pun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab dewan keamanan menurut piagam dalam mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.66

Pasal 51 Piagam tersebut dalam perkembanganya, banyak menimbulkan banyak perdebatan, beberapa pendapat mengartikan bahwa isi pasal tersebut merupakan pengecualian mengenai larangan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional sebagaimana yang terdapat dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang menjelaskan bahwa seluruh negara anggota PBB harus menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik suatu negara.67 Hal ini disadari karena kemanusiaan mengakui adanya hak yang melekat untuk melakukan pembelaan diri ketika terjadi kekerasan pada dirinya, tindakan self defence yang terkandung dalam pasal

65

Lihat Pasal 51 Piagam PBB

66

Ibid. 67


(45)

25

51 Piagam PBB memberikan makna tentang pembatasan kondisi yang mengatur mengenai dasar dari penggunaan kekuatan bersenjata dan bukan terkait dengan substansi mengenai aturan tata cara berperang.68 Tindakan self defence, dalam hal pelaksanaannya dapat dilakukan jika telah terjadi serangan bersenjata, yaitu ketika suatu angkatan bersenjata dari suatu negara telah melewati perbatasan suatu negara dan melakukan serangan bersenjata sebagai suatu respon dari adanya serangan bersenjata tersebut.69

2.2. Tinjauan Umum Mengenai Kejahatan Terorisme 2.2.1. Sejarah Terorisme

Terorisme sebenarnya baru mulai dikenal pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjukkan aksi-aksi pemerintah dalam menjamin ketaatan rakyatnya. Istilah

terorisme juga diterapkan untuk “terorisme pembalasan” yang dilakukan oleh

individu-indvidu atau kelompok terhadap penguasa.70 Pertengahan abad ke-19, terorisme mulai dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan massal terhadap warga Armenia pada perang dunia I. Dekade tersebut membuat aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.71

68

www.Kemlu.go.id, Interdiksi dan Hak Mempertahankan diri,Ibid. 69

Niaz A. Shah, Self-defense in Islamic and International Law: Assessig Al-Qaeda and the Invasion of Iraq, New York : Palgrace Macmillan, 2008, hlm. 89

70

Ari Wibowo, Hukum Pidana terorisme, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012, Hlm. 71.

71 Ibid.


(46)

26

Terorisme dalam perkembangannya ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa ancaman untuk mencapai tujuan tertentu, bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.72

Kata terorisme berasal dari bahasa Perancis le terrear yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah, selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia, dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.73 Terorisme terjadi pertama kali sebelum perang dunia II. Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh pasukan pembebasan yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan.74

Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah

“terorisme media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Terorisme pada era 90-an mengalami perubahan pandangan setelah munculnya Osama bin Laden yang menjadi aikon teror era 90-an, dengan

72

Muladi, Hakikat Terorismedan Beberapa Prinsip Pengaturan Kriminalisasi, Loc.cit. 73

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme : suatu persepektif krimonologi, Op.cit., hlm. 33.

74


(47)

27

membentuk kelompok Al Qaeda. Anggotanya multi bangsa, tak mengenal batas negara.75 Terorisme juga telah berkembang antara lain dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara, dan sarana menegakkan kekuasannya. Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik, yakni :76

a. Ada maksimal korban secara mengerikan.

b. Keinginan untuk mendapatkan liputan di media masa secara internasional. c. Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah

dilakukan.

d. Serangan terorisme tidak pernah bisa diduga karena sasasarannya sama dengan luasnya permukaan bumi.

Terorisme dalam perkembangannya telah memiliki dimensi dan jaringan yang luas yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan yang melampaui batas-batas negara dan sudah dapat dikatakan sebagai kejahatan yang melibatkan dunia internasional. Saat ini terorisme tidak hanya menjadikan kehidupan politik untuk sasarannya sebagaimana awal kemunculannya, tetapi telah menambah dan menghancurkan berbagai aspek kehidupan manusia, seperti menurunnya kegiatan ekonomi dan terganggunya kehidupan dan budaya masyarakat yang beradab sehingga digolongkan sebagai salah satu dari delapan transnational crime.77

75

Ibid. 76

Ibid. 77


(48)

28 2.2.2. Definisi Terorisme

Terorisme dalam konteks pengertiannya sampai saat ini masih menjadi

perdebatan, Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang gamblang dan jelas sehingga

semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta termarjinalkan.78 Tidak mudahnya merumuskan definisi terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk adhoc comittee on terorism Tahun 1972 yang bersidang selama 7 tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.79 Beberapa lembaga dan konvensi internasional telah mencoba mendefinisikan terorisme sebagai berikut :80

a. US Central Intelegency Agency (CIA)

Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.

b. US Federal Bureau of Investigation (FBI)

Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial politik.

c. US Departmen of State and Defense

Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan.

78

Abdul Wahid, et.al, Kejahatan terorisme : Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung : PT Refika Aditama, 2011, hlm. 21.

79

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme : suatu persepektif krimonologi, Jurnal Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Vol.2, No.3, Desember 2002, hlm. 35.

80


(49)

29

Biasanya dimaksudkan untuk memperngaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.

d. Black’s law Dictionary

Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.

e. Convention Against Terrorist Bombing (1997)

Pasal 2 ayat (1) konvensi ini menjelaskan bahwa teroris adalah orang-orang yang melakukan suatu kejahatan secara melawan hukum dan sengaja menyampaikan, menempatkan, menembakkan, atau meledakkan suatu bahan peledak, atau alat persenjataan lain di dalam, ke arah atau terhadap tempat-tempat yang digunakan untuk umum, suatu fasilitas negara atau pemerintah.

f. Convention for the Supression of the Financing of Terrorism (1999)

Pasal 2 dalam konvensi ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai teroris jika dilakukan oleh seseorang yang dengan sengaja dan melanggar hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung, menyediakan sejumlah dana dengan tujuan untuk melaksanakan suatu tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka berat bagi orang lain atau orang yang tidak terlibat aktif dalam situasi konflik bersenjata, dengan tujuan untuk mengintimidasi masyarakat atau memaksa suatu pemerintahan.


(50)

30

Berdasarkan penjelasan mengenai definisi terorisme oleh beberapa lembaga tersebut, maka dapat dipastikan belum tercapainya kesepakatan mengenai pengertian terorisme tersebut. Namun hal itu tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum, karena secara harfiah, terorisme dapat diartikan sebagai serangan-serangan yang terkoordinasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok sub-nasional yang bertujuan membangkitkan perasaan teror kepada sekelompok masyarakat.81 Untuk mempermudah pemahaman terhadap definisi terorisme, ada beberapa motif perbuatan yang merupakan terorisme dengan merujuk pada :82

1. Motif Politik

Secara umum terorisme mengandung motif politik, demikian kira-kira pandangan klasik mengenai terorisme.

2. Motif Ekonomi

Terorisme yang bermotifkan ekonomi, yakni mencari keuntungan secara material sebanyak-banyaknya, biasanya dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations) seperti Mafia, Yakuza, kartel-kartel perdagangan obat terlarang dan sejenisnya.

3. Motif Penyelamatan (salvation)

Motif ini bertalian erat dengan ajaran sekte-sekte aliran kepercayaan. Pelaku terorisme sama sekali tidak mengganggap tindakannya sebagai teror, dalam keyakinan mereka, manusia hidup senantiasa dalam keadaan terpenjara dan sengsara, karena itu diperlukan adanya suatu kematian yang cepat untuk

81

Sukawarsini Djelantik, Teorisme (Tinjauan Psikologi Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan

Kemanaan Nasional) Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010, hlm.183

82

TB. Rony R. Nitibaskara, Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.2, No.3, Desember 2002, hlm 16-17.


(51)

31

penyelamatan. Pelaksanaan terorisme bertujuan untuk penyelamatan nyawa orang lain sebagai tindakan mulia.

4. Motif Balas Dendam

Terorisme dengan motif ini biasanya dilakukan pelaku individual, atau kelompok-kelompok kecil terorganisir maupun organisasi-organisasi kejahatan. Pelaku individual dengan motif balas dendam salah satu contohnya adalah Theodore John Kecynski yang merasa kecewa dengan lembaga riset universitas tertentu yang dirasakannya telah memperlakukannya secara kurang layak, sehingga ia merasa terdorong untuk menumpahkan kemarahannya berupa terorisme berantai

Seiring perkembangan waktu, terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (Crimes against Piece and Security of Mankind).83 Kejahatan terorisme juga merupakan kejahatan terhadap peradaban dan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan tiap negara. Terorisme merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan.84

83

Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Persepktif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Vol.2 No. 3, Desember 2002 hlm. 22.

84


(52)

32 2.2.3. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kejahatan Terorisme85

Kejahatan terorisme diatur dalam dua instrumen hukum internasional, yaitu Convention Against Terrorist Bombing (1997), dan Convention For The Supression of the financing of Terrorism (1999). Dibawah ini akan diuraikan masing-masing (konvensi tersebut secara terbatas) :

2.2.3.1. Convention Against Terrorist Bombing (1997)

Konvensi ini diterima oleh majelis umum PBB pada tanggal 15 Desember 1997, terdiri atas 24 Pasal, dan terbuka untuk diratifikasi sampai tanggal 12 januari 1998. Secara garis besar konvensi ini mengatur beberapa hal mengenai kejahatan terorisme, Pasal 2 mengatur pengertian kejahatan teroris yaitu :

(1) Orang-orang yang melakukan suatu kejahatan di dalam pengertian konvensi ini jika orang itu secara melawan hukum dan sengaja menyampaikan, menempatkan, menembakkan, atau meledakkan suatu bahan peledak, atau alat persenjataan lain di dalam, ke arah atau terhadap tempat-tempat yang digunakan untuk umum, suatu fasilitas negara atau pemerintah, sistem angkutan umum atau fasilitas infrastruktur :

(a) Dengan sengaja untuk menyebabkan kematian atau luka-luka serius disekujur badan.

(b) Dengan sengaja menyebabkan kehancuran yang meluas terhadap tempat demikian, fasilitas atau sistem, di mana akibat-akibat dari penghancuran demikian atau seperti itu mengakibatkan kehilangan ekonomi yang besar.

85


(53)

33

(2) Orang-orang juga melakukan suatu kejahatan, jika orang itu berusaha melakukan suatu sebagaimana disebutkan dalam ayat 1.

(3) Orang -orang juga melakukan suatu kejahatan jika orang itu :

(a) Berpartisipasi sebagai kaki tangan dalam suatu kejahatan sebagaimana disebutkan dalam ayat 1.

(b) Mengorganisir orang lain untuk melakukan suatu kejahatan sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 atau 2.

(c) Dengan cara lain menyokong untuk mempersiapkan satu atau lebih kejahatan sebagaimana tersebut pada ayat 1 atau 2 oleh suatu kelompok orang-orang yang bertindak dengan tujuan umum; penyokongan tersebut.

(d) Dilakukan secara sengaja dan keduanya dibuat dengan tujuan kegiatan- kegiatan kejahatan umum lebih lanjut atau bertujuan terhadap kelompok atau dibuat sepengetahuan secara sengaja terhadap kelompok itu untuk melakukan kejahatan tersebut.

Pasal 3 konvensi ini menentukan bahwa konvensi ini tidak berlaku di mana kejahatan itu dilakukan di dalam suatu negara tunggal, pelaku kejahatan dan korban-korbannya adalah warga negara itu, pelaku kejahatan ditemukan di dalam wilayah negara itu dan bukan negara lain berdasarkan Pasal 6 ayat 1, atau Pasal 6 ayat 2 konvensi ini untuk melaksanakan yurisdiksi.

Pasal 4 mengatur kewajiban bagi negara peserta untuk merumuskan kejahatan- kejahatan yang diatur dalam Pasal 2 konvensi ini didalam ketentuan hukum nasionalnya sebagai kejahatan kriminal, dan dapat dihukum dengan hukuman yang tepat.


(54)

34

Pasal 5 pada intinya menentukan bahwa setiap negara wajib menerapkan cara- cara yang diperlukan, termasuk melalui peraturan dalam negeri, untuk mengatur tindak pidana yang terdapat dalam konvensi tersebut dan tidak boleh dikenakan berdasarkan politik, filosofis, ideologi, ras, etnis, agama, atau hal lainnya.

Selanjutnya Pasal 6 konvensi ini menentukan :

1. Setiap negara peserta akan mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan dalam Pasal 2, apabila :

(a) Kejahatan itu dilakukan di dalam wilayah negara itu ; atau

(b) Kejahatan itu dilakukan di dalam pesawat terbang yang terdaftar menurut undang-undang negara itu pada saat kejahatan itu dilakukan; atau

(c) Kejahatan itu dilakukan oleh warga negara dari negara itu.

2. Suatu negara peserta dapat juga melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan- kejahatan demikian, apabila (A state Party may also establish its jurisdiction over any such offence when) :

(a) Kejahatan itu dilakukan terhadap fasilitas negara dari negara itu (The offence is commited against a national of that State); atau

(b) Kejahatan itu dilakukan terhadap fasilitas negara atau pemerintah negara itu diluar negeri, termasuk kedutaan, tempat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler negara itu (The offence is commited against state or goverment facility of State abroad, including an embassy or other diplomatic or consular premises of the State); atau

(c) Kejahatan itu dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang tempat kediamannya di dalam wilayah negara itu


(1)

D. J. Harris, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, London : Sweet & Maxwell, 2004

Douglas Kellner, From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy, Oxford : Rowman and Littlefield, , 2003.

Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1996

F. Sugeng Istanto, Hukum Intenasional, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1998. Huala Adolf, Aspek - Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, cet.ketiga,

Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.

H.Abdurahman dan Soejono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Iwan Hadibroto, et al, Perang Afghanistan: Di Balik Perseteruan AS vs Taliban,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

I Wayan Patriana,Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Mandar Maju, 1990.

Jawahir Thontowi, dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung : PT Refika Aditama, 2006.

J. Z. Holzgrefe, Humanitarian Intervention Ethical Legal and Political Dillemas, : Australia : Cambridge University Press, 2003.

J.L. Brierly, The Law of Nations, Great Britain : Clarendon Press, 1955.

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, penerjemah Bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju : Bandung, 2008. Khaidir Anwar, Hukum Internasional II, Bandar Lampung : Universitas lampung,

2011.

K.J. Holsti, International Politics A Framework For Analisys, New Jersey : A Simon & Schuster Company, 1992.

Leah Levin, Hak Asasi Manusia – Pertanyaan dan Jawaban, Jakarta : JK-LPK, 1994.

Liang Gie, Ilmu Politik :Suatu Pembahasan tentang pengertian, kedudukan, Lingkup Metodologi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1982.

Likadja, F.E. dan Bassie, F.D, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, Edisi keenam, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie, dkk, Bandung : Nusa Media, 2013.


(2)

Marko Divac Oberg, The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ, Munich : European Journal of International Law, 2006.

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Alumni, 2003.

Moch Faisal Salam , Motivasi tindakan terorisme, jakarta: Mandar Maju, 2005. Muhammad Abbas, Bukan, Tapi Perang terhadap Islam , terjemahan Ibnu

Bukhori, Solo: Wacana Ilmiah Press, 2004.

Mohammad Shoelhi, Demi Harga Diri Mereka Melawan Amerika, Jakarta : PT Pustaka Cidesindo, 2003.

Mustafa abd. Rahman, Geliat Iraq Menuju Era Pasca Saddam, Jakarta : Kompas, 2003.

Niaz A. Shah, Self-defense in Islamic and International Law: Assessig Al-Qaeda and the Invasion of Iraq, New York : Palgrace Macmillan, 2008. Philip Alston dan Franz Magnis Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta

: PUSHAM UI, 2008.

Philip R. Cateora, Pemasaran Internasional 1, edisi ke 13, Jakarta : Salemba Empat, 2007.

Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional : Sebuah Pengantar Kontekstual, Cianjur : IMR Press , 2012.

Richard K.Gardiner, International Law, England : Pearson Education Limited, 2003.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003.

Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010.

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Bandung: Alumni, 1997

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press), 2007.


(3)

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peneliitan Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 2006.

Steven L. Spiegel, World Politics in A New Era, New Jersey : Harcout Brace College Publishers, 1995.

S.Tasrif, Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Abardin, 1987.

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011.

Sukawarsini Djelantik, Teorisme (Tinjauan Psikologi Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Kemanaan Nasional) Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010.

Thomas M. Frank, Fairness in International Law and Institutions, e-book edition, Oxford : Clarendon Press, 1995.

Umu Ilmy, Metodologi Penelitian dari Konsep Ke Metode : Sebuah Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang : Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2000.

Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1967.

Yoram Dinstein, War, Aggression and Self-Defence, Second Edition, Australia : Cambridge University Press, 1994.

Yudha Bhakti, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : PT. Fikahati Aneksa, 2012.

Yulia Neta dan M. Iwan Satriawan, Ilmu Negara, Bandar Lampung : PKKPU FH Universitas Lampung, 2013.

Peraturan Perundang - Undangan Piagam PBB

Resolusi PBB

Convention Against Terrorist Bombing (1997)

Convention for the Supression of the Financing of Terrorism (1999) Statuta Roma Tahun 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional


(4)

Jurnal dan Makalah

Ekram Pawiroputro dan Samsuri, Perang Melawan Terorisme : Studi Komparatif Penerapan Hukum Humaniter Terhadap Peran Amerika Serikat Dalam Perang di Afghanistan dan Irak, Laporan Penelitian, FISIP : Universitas Negeri Yogyakarta, 2004.

Erika, Meneropong Prinsip Non Intervensi yang Masih Melingkar dalam ASEAN, Jurnal Perspektif, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

Samarinda, Vol.19,No.3, September 2014.

I. Halina, Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN, Multiversa: Journal of International Studies, Vol. 1, No.1, 2011.

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme : suatu persepektif krimonologi, Jurnal Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Vol.2, No.3, Desember 2002.

Mulyana W Kusumah, Terorisme dalam Persepktif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Vol.2 No. 3, Desember 2002.

Muladi, Hakikat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Vol.2, No.3, Desember 2002.

Rahmi Fitriyanti, “Kajian Mengenai legalitas Formal Use Of Force Amerika Serikat terhadap Afghanistan,” Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 1 No.1, Jakarta: Pusat Kajian Hubungan Intenasional, UIN, Januari 2008. Rizal Sukma, Keamanan Internasional Pasca 11 September : Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, Makalah disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar : Departemen Kehakiman dan HAM RI , 14 - 18 Juli 2003.

TB. Rony R. Nitibaskara, Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.2, No.3, Desember 2002.

Dina Susanti dan Farah Monika, Peran AS dalam Transisi Rezim di Negara Lain: Studi Kasus Afganistan, Global Jurnal Politik Internasional Vol. 7 No. 2, Mei 2005.


(5)

Internet

Vivanews.co.id, Tragedi 9-11, : http://dunia.news.viva.co.id/news/read/246153-11-9-2001--tragedi-9-11

www.liputan.com, Amerika Serikat Mengobarkan Perang, http://news.liputan6.com/read/2115168/7-10-2001-amerika-serikat-kobarkan-perang-di-afghanistan

www.hizbuttahrir.or.id, Analisis Politik dibalik Pertemuan di London, diakses melalui situs :http://hizbut-tahrir.or.id/2010/02/15/analisis-politik-dibalik-pertemuan-london/

www.bbc.com, Afghanistan Profile, http://www.bbc.com/news/world south-asia-12024253

www.liputan6.com, Oposisi Taliban Menyepakati Pembentukan Pemerintahan Transisi, http://news.liputan6.com/read/22491/oposisi-taliban-menyepakati-pembentukan-pemerintah-transisi

news.okezone.com, Ribuan Warga Sipil Tewas Akibat Perang Afghanistan,http://news.okezone.com/read/2014/02/08/413/937959/ribuan-warga-sipil-tewas-akibat-perang

www.republika.co.id, Kematian Warga Sipil Afghanistan Meningkat 25%,http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/02/18/njynrx-pbb-kematian-warga-sipil-meningkat-25-persen-di-afghanistan

www.amazine.co.id, Ketahui Budaya, Bahasa dan Tradisi Afghanistan, http://www.amazine.co/22584/ketahui-budaya-bahasa-dan-tradisi- afghanistan/ www.bbc.co.uk, Siapakah Kelompok Taliban ?, diakses melalui situs http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2009/06/090624_talibanhistory.sh tml

www.kompas.com, 10 Tahun Invasi AS ke Afghanistan Diperingati, http://internasional.kompas.com/read/2011/10/07/12431190/10.Tahun.Invasi.AS.k e.Afghanistan.diperingati

http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%203,%20SeptemberDesember%20201 1_29_41.PDF

http://internasional.kompas.com/read/2011/10/07/12431190/10.Tahun.Invasi.AS.k e.Afghanistan.diperingati

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/4212/3838

http://news.liputan6.com/read/55442/amnesti-internasional-menilai-as-kerap-melanggar-ham


(6)