Analisis Hubungan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah dengan Produksi dan Harga Beras di Tingkat Konsumen di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS HUBUNGAN KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN

PEMERINTAH DENGAN PRODUKSI DAN HARGA BERAS

DI TINGKAT KONSUMEN DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:

BUNGA HATI SINURAYA

040304022

SEP – AGRIBISNIS

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS HUBUNGAN KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN

PEMERINTAH DENGAN PRODUKSI DAN HARGA BERAS

DI TINGKAT KONSUMEN DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:

BUNGA HATI SINURAYA 040304022

SEP – AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Menyelesaikan Studi di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Tavi Supriana, MS) (H. M. Mozart B. Darus, M.Sc)

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah dengan Produksi dan Harga Beras di Tingkat Konsumen di Sumatera Utara

Nama : Bunga Hati Sinuraya

NIM : 040304022

Jurusan : Sosial Ekonomi Pertanian

Program Studi : Agribisnis

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Tavi Supriana, MS) (H. M. Mozart B. Darus, M.Sc)

Ketua Anggota

Mengetahui,

( Ir. Luhut Sihombing, MP) Ketua Jurusan


(4)

RINGKASAN

BUNGA HATI SINURAYA (040304022), ANALISIS HUBUNGAN KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH DENGAN PRODUKSI DAN HARGA BERAS DI SUMATERA UTARA. Dibimbing

oleh Ibu DR.Ir. Tavi Supriana, M.S. sebagai Ketua dan Bapak H. M. Mozart B. Darus, M.Sc sebagai Anggota.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Juni 2008 di Kantor Badan Ketahanan Sumatera Utara, badan Urusan Logistik (BULOG), dan Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara untuk memperoleh data-data sekunder yang diperlukan untuk penelitian ini.

Daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Propinsi Sumatera Utara, yang ditentukan secara purposive karena Sumatera Utara merupakan salah satu sentra produksi padi dan memiliki jumlah penduduk terbesar di Pulau Sumatera.

1. Hipotesis penelitian diuji dengan menggunakan metode analisis korelasi sederhana, sehingga diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : Setelah melakukan uji korelasi korelasi linier sederhana pada data HPP dan produksi beras di Sumatera Utara, diperoleh hasil r sebesar -0,540 dan thitung sebesar 1,114. Artinya, 54,0% perubahan produksi beras di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan produksi beras di Sumatera Utara memiliki korelasi yang negatif. Dengan demikian, dapat dinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin rendah


(5)

produksi beras, atau sebaliknya, semakin rendah HPP, maka justru semakin tinggi pula produksi beras.

2. Setelah melakukan uji korelasi korelasi sederhana pada data HPP dan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara, diperoleh hasil r sebesar 0,907 dan thitung sebesar 3,742. Artinya, 90,7% perubahan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara memiliki korelasi positif. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin tinggi harga beras.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kesehatan yang diberikan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “ANALISIS HUBUNGAN KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH DENGAN PRODUKSI DAN HARGA BERAS DI TINGKAT KONSUMEN DI SUMATERA UTARA sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: Ibu DR.Ir. Tavi Supriana, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak H. M. Mozart B. Darus, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, serta seluruh dosen dan staff pegawai Departemen Sosial Ekonomi Pertanian USU, Medan, para responden dan juga instansi-instansi yang berkaitan dengan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta yaitu: Ayahanda Musi Sinuraya, dan Ibunda Nur Hati br Ginting yang telah memberikan dukungan secara moril, materil maupun doa kepada penulis, juga terima kasih kepada Abangda Edi Kalpindonta Sinuraya, Amd., Abangda Gunawan Sinuraya, Amd., Abangda Montana Sinuraya yang juga telah memberikan dorongan dan juga doa kepada penulis. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman SEP angkatan 2004 teristimewa C8 (Yessi, Nancy, Leny, Siska, Risda, Julia, dan Intan) dan Christofer, SE yang telah setia mendukung saya lewat doa-doa dan motivasi mereka.


(7)

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat.

Medan, Desember 2008


(8)

RIWAYAT HIDUP

Bunga Hati Sinuraya (040304022), dilahirkan di Juhar pada tanggal 30

April 1986, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Musi Sinuraya dan Ibu Nur Hati br Ginting.

Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah: 1. Tahun 1998 lulus dari SD Free Methodist II Medan. 2. TahuN 2001 lulus dari SLTP Free Methodist II Medan. 3. Tahun 2004 lulus dari SMU St. THOMAS 3 Medan..

4. Tahun 2004 diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan melalui jalur SPMB.

5. Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Nagori Urung Purba, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun pada tanggal Juli – Agustus 2008.

6. Melaksanakan penelitian untuk skripsi dengan lokasi penelitian umumnya di propinsi Sumatera Utara.


(9)

DAFTAR ISI

RINGKASAN………... i

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ………. 1

Identifikasi Masalah ………. 6

Tujuan Penelitian ……….. 7

Kegunaan Penelitian ……… 7

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 8

Tinjauan Pustaka ... 8

Landasan Teori ... 22

Kerangka Pemikiran ... 26

Hipotesis Penelitian ... 28

METODOLOGI PENELITIAN ... 29

Metode Pengumpulan Data ... 29

Metode Analisis Data ... 29

Definisi dan Batasan Operasional ... 32

Definisi ... 32

Batasan Operasional ... 32

PROFIL SUMATERA UTARA DAN KEBIJAKAN HPP ... 33

Kondisi Geografis Sumatera Utara ... 33

Deskripsi Kebijakan HPP ... 35

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

Hasil ... 40

Hubungan Kebijakan HPP dengan Produksi Beras ... 40

Hubungan Kebijakan HPP dengan Harga Beras ... 41

Pembahasan ... 42

Perkembangan HPP dan Harga Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara………... 44


(10)

Perkembangan Produksi Beras dan Kebutuhan

Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara……….… 46

Perkembangan Harga Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara (dalam Triwulanan)……… 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

Kesimpulan ... 51

Saran ... 52

Saran untuk Pemerintah ... 52

Saran untuk Peneliti ……….. 52 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Impor beras yang masuk ke Provinsi Sumatera Utara

tahun 2002-2007……… 4 2 Harga Dasar Gabah Menurut Klas Mutu sesuai Inpres

No.8 tahun 2000 (Rp/kg)……… 15 3 Perkembangan Harga Dasar Gabah dan Harga Pembelian

Gabah dan Beras oleh BULOG serta masa berlakunya . 16 4 Interpretasi Terhadap Nilai r Hasil Analisis Korelasi … 31 6 Tingkat Produksi Padi Tingkat Swasembada Beras

TH. 2002-2006 Provinsi Sumatera Utara……….. 34 7 Persyaratan kualitas terhadap GKP dan GKG……….. 36 8 Persyaratan kualitas terhadap GKP dan GKG……….. 37 9 Persyartan kualitas beras berdasarkan komponen mutu 38 10 Perkembangan HPP dan Produksi Beras……… 40 11 Perkembangan HPP dan Harga Beras di tingkat

Konsumen ……….. 41 12 Kebutuhan Beras dan Produksi Beras Tahun


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Perkembangan HPP Tahun 1983 sampai dengan

2007 ... 18

2 Kondisi harga pasar diatas HPP………. 21

3 Kondisi harga pasar dibawah HPP……… 22

4 Skema Kerangka Pemikiran ... 20

5 Perkembangan HPP dan Harga Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara ... 45

6 Perkembangan Produksi Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara ... 46

8 Perkembangan Harga Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara (dalam Triwulanan) ... 48


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

1 Perkembangan HPP dan Harga Beras Tahun 2002-2006 2 Perkembangan HPP dan Produksi Beras Tahun 2002-2006

3 Analisis Korelasi Sederhana antara HPP (X) dan Harga Beras(Y) di Tingkat Konsumen

4 Analisis Korelasi Sederhana antara HPP(X) dan Produksi Beras(Y) 5 Harga Rata-rata Berasdi tingkat konsumen di Provinsi Sumatera

Utara (Jenis IR-64)

6 Perkembangan Harga Beras di Sumatera Utara dalam kurun waktu Januari 2002 hingga Oktober 2006 (triwulanan)


(14)

RINGKASAN

BUNGA HATI SINURAYA (040304022), ANALISIS HUBUNGAN KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH DENGAN PRODUKSI DAN HARGA BERAS DI SUMATERA UTARA. Dibimbing

oleh Ibu DR.Ir. Tavi Supriana, M.S. sebagai Ketua dan Bapak H. M. Mozart B. Darus, M.Sc sebagai Anggota.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Juni 2008 di Kantor Badan Ketahanan Sumatera Utara, badan Urusan Logistik (BULOG), dan Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara untuk memperoleh data-data sekunder yang diperlukan untuk penelitian ini.

Daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Propinsi Sumatera Utara, yang ditentukan secara purposive karena Sumatera Utara merupakan salah satu sentra produksi padi dan memiliki jumlah penduduk terbesar di Pulau Sumatera.

1. Hipotesis penelitian diuji dengan menggunakan metode analisis korelasi sederhana, sehingga diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : Setelah melakukan uji korelasi korelasi linier sederhana pada data HPP dan produksi beras di Sumatera Utara, diperoleh hasil r sebesar -0,540 dan thitung sebesar 1,114. Artinya, 54,0% perubahan produksi beras di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan produksi beras di Sumatera Utara memiliki korelasi yang negatif. Dengan demikian, dapat dinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin rendah


(15)

produksi beras, atau sebaliknya, semakin rendah HPP, maka justru semakin tinggi pula produksi beras.

2. Setelah melakukan uji korelasi korelasi sederhana pada data HPP dan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara, diperoleh hasil r sebesar 0,907 dan thitung sebesar 3,742. Artinya, 90,7% perubahan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara memiliki korelasi positif. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin tinggi harga beras.


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Jumlah masyarakat yang mengkonsumsi beras ini menunjukkan ketergantungan masyakarat pada beras. Hal ini menyebabkan persoalan beras selalu menjadi salah satu isu penting di masyarakat.

Persoalan beras di Indonesia juga merupakan isu sentral yang berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi nasional. Ketersediaan dan pemerataan distribusi beras serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat merupakan persoalan yang nampaknya belum bisa diatasi sampai sekarang. Beras sendiri memiliki nilai strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, dan ketahanan/stabilitas politik nasional. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya dan bahkan masa sekarang ini, menunjukkan harga pangan yang melonjak tinggi dapat menimbulkan goncangan di masyarakat, sehingga isu mengenai persoalan beras ini selalu menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat (Surono, 2001).

Persoalan beras menjadi topik penting karena beras merupakan kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumber daya manusia dan stabilitas sosial politik sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan. Karena itu, pemerintah sangat berkepentingan terhadap masalah perberasan. Mengingat pentingnya peran beras seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkanlah basis produksi lokal yang tangguh, dalam artian, mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Namun di saat basis produksi lokal tidak mampu memenuhi


(17)

kebutuhan beras dalam negeri, dibutuhkan serangkaian kebijakan dari pemerintah untuk menstabilkan pasar, termasuk diantaranya melalui kebijakan harga beras (Tambunan, 2003).

Kebijakan harga beras menghadapi berbagai permasalahan. Menurut Sawit (2001), permasalahan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua masalah utama, yaitu masalah ekternal dan masalah internal. Masalah eksternal adalah lingkungan strategis perdagangan internasional cenderung semakin meningkatnya derajat liberalisasi. Masalah internal adalah semakin terbatasnya anggaran pemerintah mendukung pembangunan. Dua masalah itu menyebabkan masih adanya ketidaktetapan kebijakan. Ada kelompok yang ingin pemerintah tetap mendukung produksi beras domestik, tetapi ada juga yang ingin menyerahkan masalah beras pada mekanisme pasar.

Masalah beras yang diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar belum tentu mampu menyelesaikan masalah, bahkan mungkin dapat menimbulkan masalah baru. Pengalaman negara berkembang yang membuka pasar dan mengurangi bantuan terhadap petani sejak 1995 menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik, pembangunan pedesaan merosot, impor pangan meningkat pesat, dan mengancam ketahanan pangan, serta arus urbanisasi tidak bisa terkontrol sehingga menimbulkan persoalan baru di perkotaan. M.H. Sawit (2001) malah dengan tegas menuliskan, Indonesia masih membutuhkan campur tangan pemerintah dalam pasar beras.

Dari sisi produksi, supply beras dalam negeri bersifat musiman, tidak merata sepanjang tahun. Umumnya sekitar 60% produksi terjadi pada bulan Januari sampai dengan Mei, 30% terjadi pada bulan Juni sampai Agustus dan


(18)

sisanya 10% pada bulan September sampai Desember. Produksi beras nasional sebagian besar masih berasal dari pulau Jawa (sekitar 57%). Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa lahan pertanian di Jawa semakin terbatas akibat adanya kompetisi untuk penggunaan sektor lainnya (industi, real estate dan lain-lain) (Amang, 1995).

Di awal tahun 2002, beras produksi petani Indonesia dijual pada harga Rp. 2,900,00 per kg. Dengan alasan mutu rendah dan terlalu mahal sehingga tidak laku, selanjutnya diganti dengan menjual beras impor dari Vietnam pada harga Rp. 2.500,00 per kg yang mutunya memang lebih baik (patah 15%). Harga ini terlalu rendah, apalagi kalau memang mutunya lebih baik daripada beras Indonesia. Padahal pada harga 172 dolar AS per ton (harga pembelian beras Vietnam) dan kurs adalah Rp. 10.400,00 per dolar AS harga normal, harga paritas beras impor adalah sekitar Rp. 2.900,00. Itu berarti harga beras pemerintah sekitar Rp. 400,00 per kg lebih murah dari harga normalnya. (Tambunan, 2003).

Harga beras impor yang terlalu murah ini merugikan petani karena dengan tingkat harga tersebut, harga jual (paritas) gabah kering panen (GKP) maupun GKG di tingkat petani menjadi sekitar Rp. 1.350,00 per kg atau sekitar Rp. 169,00 per kg lebih rendah dari harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp. 1.519,00 per kg. Ini berarti harga jual beras pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan HDG. Jika pemerintah tetap berusaha menstabilkan harga beras di angka Rp. 2.500,00 per kilogram per kg, maka konsumen yang akan menikmati subsidi yang sangat besar, sedang petani menderita kerugian (petani dilihat dari sisi produsen bukan konsumen) (Tambunan, 2003) .


(19)

Beras IR-64 produksi petani lokal di Sumatera Utara dijual pada harga rata-rata sebesar Rp. 2.913,00 pada tahun 2002. Harga ini meningkat menjadi Rp. 2.894,00 pada 2003, dan secara konsisten terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2004, harga tersebut meningkat menjadi Rp. 3.052,00, pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp. 3.701,00 tahun 2006 sebesar Rp. 4.706,00 dan pada tahun 2007 sebesar Rp. 5.375,00.

Namun bila rata-rata harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara (Lampiran 5) dibandingkan dengan harga beras impor, didapat kecenderungan bahwa harga beras lokal lebih mahal daripada harga beras impor. Pada tahun 2003, selisih harga rata-rata beras lokal dengan harga beras impor adalah sebesar Rp. 381,00, dan untuk tahun-tahun berikutnya selisih tersebut bervariasi. Selisih terbesar terjadi pada tahun 2007, dimana harga beras impor hanya sebesar Rp. 4.527,00 sementara harga rata-rata beras lokal sebesar Rp. 5.375,00. Pada tahun 2007 tersebut, terjadi selisih harga sebesar Rp. 848,00 atau 18,73%. Ini menunjukkan bahwa persoalan harga beras di Sumatera Utara tidak ada bedanya dengan harga beras nasional. Petani lokal tidak diuntungkan karena harga beras impor lebih murah daripada beras lokal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Impor beras yang masuk ke Provinsi Sumatera Utara tahun 2002-2007 Tahun Negara Asal Jumlah (Ton) Harga

2002 Vietnam 93.112 Rp 2.920

2003 Vietnam 89.277 Rp 2.513

2004 Vietnam 84.538 Rp 2.508

2005 Vietnam 14.066 Rp 3.029

2006 Vietnam 49.604 Rp 4.419

2007 Vietnam 95.928 Rp 4.527


(20)

Selain itu, konsekuensi logis dari rendahnya harga beras di tingkat petani adalah bahwa disinsentif yang dihadapi petani untuk meningkatkan produksi dan produkstifitasnya menjadi sangat besar. Harus disadari bahwa motivasi kerja petani dapat meningkat sangat tergantung pada harga beras. Kalau harga beras lebih rendah dari biaya produksi, semangat kerja pun merosot. Sesuai dengan teori ekonomi mikro, harga dari suatu produk terlalu rendah tidak akan menggairahkan orang untuk menghasilkan produk tersebut. Berarti akan sedikit sekali petani Indonesia yang bersemangat menjadi produsen beras karena memproduksi komoditas pertanian lain yang memiliki harga jual yang lebih tinggi menjadi jauh lebih rasional (Arifin, 2001).

Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatasai masalah di atas adalah kebijakan HPP. Ahmad Suryana (2003) menjelaskan, dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah, ditetapkanlah suatu tingkat harga beli pada suatu jumlah pembelian tertentu. Misalnya melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2002 tentang Kebijakan Perberasan, diktum ketiga, ditetapkan gabah kering giling petani Rp. 1.725,00 per kilogram di gudang Bulog, dan beras sebesar Rp. 2.790,00 per kilogram di gudang Bulog.

Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada petani padi dan upaya pemberian insentif usahatani padi, dengan cara menetapkan harga pembelian oleh pemerintah yang menjadi acuan harga gabah dan beras di pasar. Dengan upaya ini, diharapkan pada saat panen raya harga gabah atau beras petani dapat terangkat dan HPP menjadi harga acuan bagi pasar beras dalam negeri. Dengan perlindungan ini, diharapkan tingkat produksi beras oleh petani padi dapat meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas, karena kebijakan HPP juga


(21)

memasukkan kriteria-kriteria mutu gabah maupun beras tertentu yang akan dibeli pemerintah, seperti kualitas kadar air dan kadar hampa/kotoran untuk gabah dan kualitas kadar air dan butir patah untuk beras (Suryana, 2003).

Kebijakan HPP akan mendorong peningkatan produksi petani, dan selanjutnya akan meningkatkan jumlah ketersediaan beras di pasar. Sesuai hukum permintaan dan penawaran, bila jumlah beras yang tersedia di pasar meningkat, maka harga beras dapat dijaga di tingkat yang masih dapat ditoleransi, dalam artian, tidak terlalu mahal dan masih sesuai dengan daya beli masyarakat.

Pemerintah memiliki itikad baik untuk mensejahterakan masyarakatnya melalui kebijakan pangan, namun belum tentu kebijakan tersebut dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, yaitu untuk meningkatkan produksi dan menstabilkan harga beras. Berdasarkan hal inilah, penulis tertarik untuk mengangkat judul Analisis Hubungan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah dengan Produksi dan Harga Beras di Tingkat Konsumen di Sumatera Utara.

Identifikasi Masalah

Setelah diuraikan latar belakang maka dapat disimpulkan beberapa masalah yang akan diidentifikasikan:

1. Bagaimana hubungan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dengan produksi beras?

2. Bagaimana hubungan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dengan harga beras di tingkat konsumen?


(22)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hubungan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dengan produksi beras.

2. Untuk mengetahui hubungan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dengan harga beras di tingkat konsumen.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dikemudian hari dapat dipergunakan sebagai :

1. Sumbangan dalam kajian yang terkait dengan masalah kebijakan pemerintah tentang stabilitas harga bahan pokok terutama beras.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan organisasi profesi khususnya pemerintah (Deptan, Bulog, BKP dan lain-lain) untuk menetukan kebijakan yang menyangkut peningkatan produksi dan harga beras di Sumatera Utara.


(23)

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN

KERANGKA PEMIKIRAN

Tinjauan Pustaka

Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim, termasuk golongan rumput-rumputan dengan Famili Graminae. Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air, atau di daerah yang beriklim panas yang lembab (Suparyono dan Agus, 1993).

Menurut Wikipedia, kata "beras" mengacu pada bagia yang telah dipisah dar gabah ditumbuk dengan gabah) terlepas dari isinya. Bagian isi inilah, yang berwarna putih, kemerahan, ungu, atau bahkan hitam, yang disebut beras.

Beras sendiri secara biologi adalah bagian biji padi yang terdiri dari yang merupakan calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh lagi, kecuali dengan bantuan tekni disebut sebagai mata beras.

Beras "biasa" yang berwarna putih agak transparan karena hanya memiliki sedikit aleuron, dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20%. Beras ini mendominasi pasar beras. Beras merah, akibat aleuronnya mengandung gen yang memproduksi antosianin yang merupakan sumber warna merah atau ungu. Beras hitam, sangat langka, disebabkan aleuron dan endospermia memproduksi


(24)

antosianin dengan intensitas tinggi sehingga berwarna ungu pekat mendekati hitam.

Beras dimanfaatkan terutama untuk diolah menjadi nasi, makanan pokok terpenting warga dunia. Selain itu, beras merupakan komponen pentin beras (lapisan tepung rice bran. Bagian embrio juga diolah menjadi suplemen dengan sebutan tepung mata beras. Untuk kepentingan sumber pangan bebas

Curah hujan yang dikehendaki pertahun sekitar 1500 mm sampai dengan 2000 mm. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 230 C ke atas. Pengaruh suhu tidak terasa di Indonesia, sebab suhunya hampir konstan sepanjang tahun. Ketinggian tempat cocok untuk tanaman padi pada 0-65 m di atas permukaan laut (Aak, 1990).

Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan/disubsitusi oleh bahan makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat mudah digantikan oleh bahan makanan lainnya (Suparyono dan Agus, 1993).

Beras menjadi pangan hampir seluruh penduduk Indonesia, tanpa terkecuali. Pangan beras menjadi pangan pokok favorit semua lapisan, kaya dan miskin. Dilihat dari sisi gizi dan nutrisi, beras memang relatif unggul dibandingkan dengan pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan. Kandungan


(25)

energinya mencapai 360 kalori per 100 gram. Dengan kandungan protein 6,8 gram per 100 gram, beras juga merupakan sumber protein yang baik. Itulah sebabnya, di Indonesia, dalam neraca makanan, sumbangan beras terhadap energi dan protein masih sangat tinggi: lebih dari 55 persen. Seseorang yang makan beras dalam jumlah cukup pasti tidak akan kekurangan protein (Suhartiningsih, 2004).

Beras sebagai pangan pokok dalam masyarakat juga disertai dengan penetapan harga yang wajar bagi masyarakat dan pentingnya peran pemerintah untuk mengendalikannnya. Sawit (2007) seperti dikutip dari Mubyarto (1970) mengatakan bahwa kebijakan harga beras di Indonesia selalu berorientasi kepada konsumen. Pemerintah ingin menyediakan beras dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau konsumen. Beliau membagi kebijakan dalam tiga periode. Periode pertama, periode kebijakan pangan murah, sejak penjajahan Belanda sampai dengan 1959. Ini dimaksudkan oleh pemerintah Belanda untuk menekan biaya produksi hasil perkebunan besar, seperti kopi, teh, tembakau, dan sebagainya. Sebagian besar pengeluaran buruh perkebunan adalah untuk pangan terutama oleh impor, sehingga pemerintah Belanda dapat membayar upah pada tingkat yang lebih murah.

Periode kedua, periode kebijakan upah natura selama periode inflasi 1959 sampai dengan 1966. Periode ini, inflasi cukup tinggi, sehingga konsumen terutama pegawai negeri yang berpendapatan relatif tetap, sering mengalami kesulitan dalam menjangkau harga beras di pasar. Oleh karena itu, pemerintah menggaji pegawainya sebagian dalam bentuk beras (Sawit, 2007).

Periode ketiga, periode kebijakan era stabilitas Orde Baru. Hal ini masih tetap berjalan sampai sekarang. Intervensi pasar oleh pemerintah, banyak terkait


(26)

dengan pengendalian komoditas pangan terutama beras yang berperan cukup besar dalam penentuan terhadap perekonomian. Terlepas dari itu semua, sejak 1966, semua kebijakan harga seharusnya mengacu ke UU No. 7/1966 tentang Pangan, dan PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Kebijakan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk menstabilkan harga. Namun, belum tentu kebijakan tersebut memang mampu menstabilkan harga (Sawit, 2007).

Menurut Suraya (2003), pada era Orde Baru stabilitas harga beras merupakan salah satu kebijakan yang penting. Ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yaitu:

(i) ketidakstabilan dalam musim, yaitu musim panen dan musim paceklik;

(ii) ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan.

Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan pola panen, yaitu panen raya yang berlangsung pada bulan Februari sampai dengan Mei; panen musim gadu pertama yang berlangsung antara Juni sampai dengan September; dan sisanya panen antara bulan Oktober sampai dengan Januari. Bila harga padi/beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi/beras akan jatuh pada musim panen raya dan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober sampai dengan Januari). Ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan memberatkan konsumen pada musim paceklik. Pada saat itu, berbagai kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras (Suryana, 2003).


(27)

Menurut Amang dan Chrisman (1995), kebijaksanaan harga sering diartikan sebagai campur tangan langsung atau tidak langsung dari pemerintah yang dimaksudkan untuk merubah harga-harga yang diterima dan dibayar oleh pelaku pasar. Perubahan ini diarahkan untuk mendorong transfer sumber daya khususnya ke sector pertanian yang sering didapati adanya ketidaksempurnaan pasar dan masalah structural yang tidak memungkinkan transfer sumber daya dengan mudah.

Amang dan Chrisman (1995), juga menyebutkan bahwa harga merupakan salah satu variabel yang merupakan cerminan dari interaksi penawaran dan permintaan yang bersumber dari sektor rumah tangga maupun industri. Sebagai suatu cerminan, pemerintah tidak selalu dapat mengandalkan mekanisme pembentukan harga kepada kekuatan pasar atas suatu komoditas dan jasa. Pada umumnya, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, campur tangan pemerinatah masih dilakukan atas berbagai komoditi yang dianggap merupakan komoditas strategis.

Komoditas pangan merupakan salah satu komoditas strategis berhubungan dengan bobotnya yang cukup besar dalam komposisi pengeluaran rumah tangga. Lebih khusus lagi, beras merupakan salah satu komoditas yang sejak sebelum perang sudah dilakukan campur tangan sistematis dari pemerintah. Sejak tahun 1969 pendekatan untuk mengendalikan sistem pemasaran yang terkendali mulai ditangani oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan harga dasar. Penetapan harga dasar tidak berdiri sendiri karena menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan bagi pemerintah, yaitu pembelian gabah/beras dikala harga pasar di bawah atau sama dengan harga dasar. Bersamaan dengan itu kebijaksanaan untuk


(28)

melindungi kepentingan konsumen harus dilakukan. Campur tangan pemerintah dalam rantai tata niaga demikian itu dilakukan karena adanya ketidaksempurnaan pasar yang merugikan produsen atau konsumen. Namun demikian, campur tangan pemerintah harus dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai berakibat ketidakstabilan atau kerugian bagi para pelaku pasar (Amang dan Chrisman, 1995)

Campur tangan pemerintah diwujudkan dalam bentuk kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan HPP. Menurut Sadli (2005), kebijakan HPP atau Harga Dasar merupakan harga terendah yang harus dijamin oleh pemerintah dalam rangka stabilitasi harga di tingkat produsen dan konsumen.

Perkembangan Kebijakan Harga Dasar

Sejak awal Repelita I pembangunan pertanian, pemerintah menempuh kebijakan harga dasar pada komoditi padi. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar. Dengan adanya jaminan harga, petani diharapkan terdorong untuk mengusahakan dan meningkatkan produksi padi. Hal ini sangat penting karena pada awal pembangunan nasional yang dimulai dari Repelita I, kebutuhan beras Indonesia masih sangat tergantung pada impor. Pendekatan demikian juga ditempuh oleh negara-negara lain, termasuk yang sudah maju (Hadi, 2000).

Kebijakan harga dasar gabah telah dimulai sejak musim tanam awal Repelita I yaitu tahun 1969/1970 dan terus berlangsung hingga saat analisis ini dilaksanakan (2008). Setiap tahunnya, harga dasar gabah ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia tentang Penetapan Harga Dasar


(29)

Gabah. Ada beberapa macam harga dasar yang ditetapkan pada setiap Inpres, yaitu harga dasar gabah, harga pembelian gabah terendah oleh BULOG dan harga pembelian beras oleh BULOG (Hadi, 2000).

Gabah dalam ketentuan tersebut adalah Gabah Kering Giling (GKG), yaitu gabah yang memenuhi persyaratan kualitas sebagai berikut: kadar air maksimum 14%, butir hampa/kotoran maksimum 3%, butir kuning/rusak maksimum 3%, butir mengapur/hijau maksimum 5% dan butir merah maksimum 3%. Bilamana petani atau kelompok tani belum mampu memenuhi persyaratan kualitas tersebut, mereka dapat menjual hasilnya dalam berbagai kondisi kualitas gabah kepada BULOG sesuai dengan tabel harga yang berlaku. Contoh tabel harga beli BULOG dari petani untuk tiga kualitas gabah, yaitu Gabah Kering Giling (GKG), Gabah Kering Simpan (GKS) dan Gabah Kering Panen (GKP) untuk tahun 2000 adalah seperti pada Tabel 3. Harga dasar GKP merupakan 85,55% dari harga dasar GKS atau 73,33% dari harga dasar GKG, sedangkan harga dasar GKS merupakan 85,71% dari harga dasar GKG. Pembedaan harga antar kualitas gabah tersebut tidak hanya didasarkan atas perbedaan kadar air saja, tetapi juga perbedaan komponen kualitas lainnya. (Hadi, 2000).

Ketentuan-ketentuan tentang harga pembelian gabah oleh BULOG dari petani di tingkat BULOG adalah: (1) Apabila harga gabah sama atau di bawah harga dasar, maka untuk pengamanan harga dasar itu BULOG harus membeli gabah dari petani atau kelompok tani pada berbagai tingkat kualitas sesuai dengan pedoman harga pembelian; (2) Apabila pembelian gabah oleh BULOG dilakukan di tempat petani, maka harga pembelian adalah harga dasar dikurangi ongkos angkut ke gudang BULOG; dan (3) Apabila di suatu kecamatan tidak ada


(30)

BULOG atau apabila BULOG yang ada tidak mampu mengamankan harga dasar, maka BULOG dapat menurunkan Satuan Tugas (Satgas) Operasional Pengadaan Dalam Negeri untuk melakukan pembelian langsung dari petani (Hadi, 2000). Ketentuan pembelian harga dasar gabah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Harga Dasar Gabah Menurut Klas Mutu sesuai Inpres No.8 tahun 2000 (Rp/kg)

INPRES RI NO. 8 TH 2000

HPP (Rp/Kg) KADAR AIR (Max. %) HAMPA KOTORAN (Max. %) BUTIR PATAH (Max. %) BUTIR KAPUR (Max. %) BUTIR MERAH (Max. %)

GKG di Petani 1.500,- 14 10 - - -

GKG di Gd.

BULOG 1.519,- 14 3 - - -

Beras di Gd.

BULOG 2.470,- 14 - 3 5 3

Sumber: Perum Bulog Divre Sumut, 2008

BULOG sebelum melakukan pembelian gabah perlu menganalisis kualitas gabah terlebih dahulu, yang meliputi: (1) Kadar air; (2) Kadar hampa/kotoran dengan ayakan berdiameter 1,7 mm untuk butir gabah berdiameter kecil dan ayakan berdiameter 1,8 mm untuk butir gabah berdiameter besar; dan (3) Kadar komponen-komponen mutu lainnya secara visual (Hadi, 2000).

Perkembangan harga dasar GKG beserta nomor dan tanggal Inpres serta tanggal berlakunya harga dasar ditunjukkan pada Tabel 3. Terlihat bahwa harga dasar gabah tidak selalu diumumkan pada bulan yang sama, tetapi sebagian besar diberlakukan pada bulan yang sama setiap tahunnya. Selama 1969 sampai dengan 1974, harga dasar diumumkan pada bulan Februari atau Maret dan mulai diberlakukan antara 1 Februari dan 24 Mei pada tahun yang sama. Selama 1975 sampai dengan 1995, pengumuman harga dasar dilakukan lebih awal, yaitu antara Oktober dan Desember dan diberlakukan sejak 1 Februari tahun berikutnya. Dalam periode ini hanya diselingi pengumuman pada bulan Januari dan diberlakukan sejak 1 Februari atau 3 Mei tahun yang sama. Selama 1996 sampai


(31)

dengan 1997, pengumuman harga dasar kembali dilakukan pada bulan Januari atau Februari dan diberlakukan sejak Januari atau Februari pada tahun yang sama. Pada tahun 1999, pengumuman harga dasar dilakukan pada bulan Desember dan diberlakukan sejak bulan dan tahun yang sama. (Hadi, 2000).

Tabel 3. Perkembangan Harga Dasar Gabah dan Harga Pembelian Gabah dan Beras oleh BULOG serta masa berlakunya.

HARGA H A R G A P E M B E L I A N TAHUN DASAR G A B A H B E R A S NOMOR TANGGAL TANGGAL

GKG HPP KUD NON KUD KUD NON KUD INPRES INPRES BERLAKU 1983/84 145,00 156,00 152,00 238,00 233,00 14/1982 01/12/82 01/02/83 1984/85 165,00 177,70 172,70 270,00 264,00 16/1983 21/12/83 01/02/84 1985/86 175,00 187,70 182,70 285,00 279,00 12/1984 15/12/84 01/02/85 1986/87 175,00 187,70 182,70 285,00 279,00 11/1985 13/12/85 01/02/86 1987/88 190,00 202,70 197,70 313,00 307,00 4/1986 01/12/86 01/02/87 1988/89 210,00 222,70 217,70 344,00 338,00 6/1987 15/10/87 01/02/88 1989/90 250,00 262,70 257,70 405,00 399,00 4/1988 15/10/88 01/01/89 1990 270,00 282,70 277,70 436,00 430,00 7/1989 25/10/89 01/01/90 1991 295,00 310,00 305,00 480,00 474,00 6/1990 20/10/90 01/01/91 1992 330,00 346,00 341,00 536,00 530,00 5/1991 26/10/91 01/01/92 1993 340,00 356,00 351,00 551,00 545,00 5/1992 22/10/92 01/01/93 1994 360,00 376,00 371,00 592,00 586,00 4/1993 13/10/93 01/01/94 1995 400,00 416,00 411,00 657,00 652,00 6/1994 06/10/94 01/01/95 1996 450,00 466,00 460,00 738,00 730,00 1/1996 07/02/96 01/01/96 1997 525,00 541,00 535,00 856,00 848,00 2/1997 24/01/97 24/01/97 1998 600,00 616,00 610,00 971,00 961,00 7/1998 29/01/98 29/01/98 1998 700,00 716,00 710,00 1125,00 1115,00 7/1998 13/04/98 01/04/98 1998 1000,00 1016,00 1010,00 1660,00 1650,00 19/1998 10/07/98 01/06/98 1998*) 2400,00 2390,00 28/1998 15/09/98 15/09/98 1998 Wil I 1400,00 1419,00 1410,00 2310,00 2295,00 32/1998 31/12/98 01/12/98 1998 Wil II 1450,00 1469,00 1460,00 2390,00 2375,00 32/1998 31/12/98 01/12/98 1998 Wil III 1500,00 1519,00 1510,00 2470,00 2455,00 32/1998 31/12/98 01/12/98

1999 sama dengan 1998

2000 sama dengan 1998

2001 1500,00 1519,00 2470,00 8/2000 10/11/00 01/01/01 2002 **) 1519,00 2470,00 9/2001 31/12/01 02/01/02 2003 **) 1725,00 1725,00 2790,00 9/2002 31/12/02 02/01/03

2004 sama dengan 2003

2005 1740,00 1765,00 2790,00 2/2005 02/03/05 02/03/05 2006 2250,00 2280,00 3550,00 13/2005 10/10/05 01/01/06 2007 2575,00 2600,00 4000,00 3/2007 31/03/07 01/04/07


(32)

Keterangan :

*) Berdasarkan kawat Kabulog no.2898/091498 yang hanya berlaku di Aceh, Sumsel, Sumbar, Jatim, Kalsel, NTB, Sulsel, Sulteng dan Sultra.

Wil I = Jawa, Bali, NTB, Sulsel, Sultra, Sulteng; Wil II = Sumatera; Wil III = Kalimantan, NTT, Sulut, Maluku, Irian Jaya, TimTim

Inpres No. 2/2005 : Rp. 1.330/kg untuk GKP; Rp. 1.765 per kg GKG di gudang penyimpanan dan Rp. 1.740 per kg di penggilingan

Inpres No. 13/2005 : Rp. 1.730/kg untuk GKP; Rp. 2.280 per kg GKG di gudang penyimpanan dan Rp. 2.250 per kg di penggilingan

Inpres No. 3/2007 : Rp. 2.000/kg GKP di petani; Rp. 2.035/kg GKP di

penggilingan; Rp. 2.575/kg GKG di penggilingan; Rp. 2.600/kg GKG di gudang Bulog dan Rp. 4,000/kg beras di gudang Bulog.

Inpres No. 1/2008 : Rp 2.200/kg GKP di petani; Rp. 2.240/kg GKP di

penggilingan; Rp. 2.800/kg GKG di penggilingan; Rp 2.840/kg GKG di gudang BULOG dan Rp. 4.300/kg beras di gudang BULOG.

Sumber: Perum Bulog Divre Sumut, 2008

Untuk lebih jelas dalam melihat pergerakan dari kurva yang harga dasar GKG, gabah dan beras.dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:


(33)

(34)

Perkembangan harga dasar GKG selama 1969 sampai dengan 1999 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4 dapat dikemukakan sebagai berikut. Selama periode 1969 sampai dengan 1973 harga dasar GKG tidak berubah pada tingkat Rp 20,90 per kg, tetapi sejak 1975 terus meningkat sehingga pada tahun 1997 mencapai Rp 525 per kg. Selama 1969 sampai dengan 1997, rata-rata peningkatan harga dasar adalah 11,68% per tahun. Tetapi selama dua tahun terakhir (1998 sampai dengan 1999) yaitu selama krisis ekonomi berlangsung, terjadi peningkatan harga dasar sangat cepat. Pada tahun 1998 bahkan terjadi tiga kali perubahan harga dasar, yaitu menjadi Rp 600, Rp 700 dan Rp 1.000 per kg (Hadi, 2000).

Harga Dasar yang ditetapkan oleh pemerintah mengalami perubahan istilah penamaan, seperti: Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Dasar Pembelian Gabah (HDPG), Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan hal yang sama dalam menyebutkan harga dasar dengan konsep yang sama. Dan yang sering dipakai sampai sekarang ini adalah penggunaan dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) (Simatupang, 2003).

Kebijakan harga beras diajukan secara komprehensip dan operasional oleh Mears dan Affif (1969). Falsafah dasar kebijaksanaan tersebut berisikan beberapa komponen sebagai berikut: (a) Menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi; (b) perlindungan harga maksimum untuk menjamin harga yang layak bagi konsumen; (c) perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga meksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan beras; dan (d) hubungan harga yang wajar antar daerah maupun


(35)

terhadap harga internasional. Di dalam pengontrolan stabilitas harga beras, diperlukan penganganan dan pemeliharaan persediaan beras yang memadai (Amang dan Chrisman, 1995). Berdasarkan teori diatas, terdapat hubungan antara HPP atau harga dasar dengan produksi beras dimana dengan diterapkannya kebijakan HPP akan terjadi peningkatan produksi beras. Begitu pula dengan harga beras di tingkat konsumen dengan adanya HPP atau harga dasar, maka harga beras akan terjangkau oleh konsumen.

Implementasi kebijakan harga dasar dan harga batas tertinggi adalah sebagai berikut. Bulog melakukan pengadaan gabah dan beras dalam negeri selama musim panen untuk menjaga harga dasar dan untuk mengisi persediaan. Jika pengadaan tidak mencukupi untuk kebutuhan penyaluran, Bulog melakukan impor beras dari luar negeri. Pada waktu musim paceklik, dilakukan operasi pasar untuk mengurangi fluktuasi harga beras musiman. Kerangka kebijaksanaan harga beras diilustrasikan oleh gambar 2.

Pengadaan gabah dan beras dalam negeri serta penyaluran beras ke pasaran, umum tidak dilakukan secara langsung oleh Bulog, akan tetapi melalui pihak ketiga. Dengan demikian tidak mematikan usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak swasta. Pengadaan gabah dan beras dalam negeri dilakukan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) serta pedagang dan penggilingan swasta (Non KUD). Jadi Bulog sebagai jaminan pasarnya. Sedangkan penyaluran beras ke masyarakat dilakukan melalui para penyalur swasta dan koperasi-koperasi. Bulog akan ikut melakukan pengadaan dan penyaluran melalui satuan tugas khusus, jika para pihak swasta tidak mampu mengamankan harga.


(36)

Mekanisme harga dan pengendalian persediaan dalam rangka pengoperasian stabilitas harga, khususnya beras dipaparkan sebagai berikut. Pada waktu panen padi, penawaran beras dipasaran umum berlimpah, sehingga harga beras sangat rendah. Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat harga keseimbangan pada waktu itu adalah 0P, yang lebih rendah dibanding dengan harga dasar 0HPP. Agar harga beras berada pada harga dasar 0HPP, maka dilakukan pembelian beras untuk menampung kelebihan penawaran beras sebesar (0X2-0X1). Dengan pembelian ini berarti menggeser kurva permintaan dari D1 ke D2 dan harga keseimbangan yang baru pada tingkat harga 0HPP.

Harga

S D1 D2

HPP

P \

0

X1 X2 Kuantitas

Dimana: HPP : Harga Pembelian Pemerintah P : Harga beras di tingkat konsumen

X1 : Kuantitas sebelum perubahan permintaan X2 : Kuantitas sesudah perubahan permintaan S : Penawaran

D1 : Permintaan sebelum ada perubahan D2 : Permintaan sesudah ada perubahan Gambar 2. Kondisi harga pasar diatas HPP


(37)

Sedangkan pada waktu paceklik, harga keseimbangan beras berada pada tingkat 0HPP pada Gambar 3. Tingkat keseimbangan ini, 0HPP, melebihi harga batas tertinggi yang telah ditentukan, 0P. Oleh karena jumlah yang ditawarkan kurang dari jumlah yang diminta, sehingga harga keseimbangan menjadi lebih tinggi. Untuk itu perlu dilakukan penyaluran beras ke pasaran umum, guna menambah penawaran, agar harga beras menurun.

Harga

D S1 S2

HPP

P

0

X1 X2 Kuantitas Dimana: HPP : Harga Pembelian Pemerintah P : Harga beras di tingkat konsumen

X1 : Kuantitas sebelum perubahan permintaan X2 : Kuantitas sesudah perubahan permintaan S1 : Penawaran sebelum ada perubahan S2 : Penawaran sesudah ada perubahan

D : Permintaan

Gambar 3. Kondisi harga pasar dibawah HPP

2.1. Landasan Teori

Suharto (1997), menyebutkan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada tindakan dan berorientasi kepada masalah.


(38)

Dunn (1991), menyebutkan bahwa analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, ruang lingkup serta metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat dari suatu kebijaka. Dari kajian kebijakan tersebut diharapkan dapat memperoleh kesimpulan apakah kebijakan yang telah dijalankan efektif atau tidak.

Ilham dan Hermanto (2007), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tujuan dari dibuatnya kebijakan pertanian adalah untuk mengurangi ketidakpastian usaha tani, menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Instrumen yang bisa digunakan diantaranya dengan kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Sedangkan secara tidak langsung stabilitas harga dapat dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input yang dimaksud adalah dengan subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, pestisida dan benih.

Amang (1995), menyebutkan bahwa kebijaksanaan harga merupakan instrument pokok kebijaksanaan pengadaan pangan dengan sasarannya adalah: (1). Melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi

pada musim panen,

(2). Melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli khususnya pada musim paceklik,

(3). Mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga.

Falsafah dasar kebijakan harga yang pertama kali diajukan oleh Mears dan Affif (1969) seperti yang dikutip oleh Amang (1995) adalah: a) menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, b) perlindungan harga batas


(39)

tertinggi yang menjamin harga yang wajar bagi konsumen, c) perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga batas tertinggi untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk untuk penyimpanan, dan d) menjaga hubungan harga yang wajar antar daerah maupun terhadap harga internasional.

Harga merupakan salah satu faktor yang sulit dikendalikan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi sampai saat ini tetap saja harga masih merupakan masalah, malah lebih berkembang lagi menjadi masalah nomor wahid bagi petani. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada hal yang berhubungan dengan upaya dan kebijaksanaan yang ditempuh dalam pembangunan pertanian (Daniel, 2002).

Pasal 48 UU No.7/1966 tentang Pangan disebutkan bahwa: “...untuk mencegah atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan, pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka pengendalian harga pangan tersebut.” Diperjelas lagi dalam pasal 12 PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Di sana disebutkan seperti berikut: Pengendalian harga pangan tertentu yang bersifat pokok di tingkat masyarakat diselenggarakan untuk menghindari gejolak harga pangan yang mengakibatkan keresahan masyarakat…”. Diperjelas pula bahwa yang dimaksud dengan gejolak harga pangan tertentu yang bersifat pokok di tingkat pasar mencapai lebih dari 25% dari harga normal” ( Sawit, 2007).

Kebijaksanaan harga dalam bentuk peraturan yang diatur oleh pemerintah adalah kebijaksanaan harga dasar atau harga lantai (floor price) dan harga tertinggi atau harga atap (ceiling price). Harga dasar diperlukan untuk menjaga harga pasar pada saat panen tidak turun, supaya produsen bisa menerima hasilnya


(40)

sesuai dengan harga yang ditetapkan tersebut. Karena harga dasar ditetapkan berdasarkan perhitungan besarnya input yang ditanamkan untuk masing-masing komoditas yang diusahakan. Begitu juga harga tertinggi atau harga atap, merupakan kisaran berdasarkan besarnya masukan yang diberikan petani dalam proses produksi komoditas tersebut (Daniel, 2002).

Kebijaksanaan penetapan harga dasar dan harga atap ini secara teoritis harus diiringi oleh penampungan produk oleh pemerintah. Hal ini diperlukan untuk menjaga jika terjadi lonjakan produksi, misalnya pada waktu panen raya. Banyaknya barang yang ditawarkan, sementara pembeli atau permintaan tetap maka harga akan tertekan. Sudah jelas mekanisme pasar ini tidak bias dielakkan, dan sebenarnya di sinilah letak peran pemerintah, menyediakan dana untuk menampung produk petani supaya harga dasar tetap berlaku (Daniel, 2002).

Sebaliknya harga atap (harga maksimum) tetap diperlukan khususnya pada musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas. Sehingga dengan demikian kebijaksanaan harga dikatakan sangat efektif apabila harga pasar di antara harga dasar dan harga atap. Dengan kata lain, kebijaksanaan harga dimaksudkan untuk melindungi produsen dari tekanan pasar yang tidak berfungsi sempurna. Dalam keadaan harga pasar berada di antara harga dasar dan harga atap, maka baik produsen dan konsumen masing-masing tidak dirugikan (Daniel, 2002).

Kebijaksanaan mengenai harga merupakan wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang, seperti surat keputusan meteri atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Kebijaksanaan diambil dengan tujuan untuk melindungi petani dan menstabilkan


(41)

perekonomian. Dasar penetapan harga adalah hubungan antara input dengan output dalam proses produksi suatu komoditas. Harga-harga komoditas yang ditetapkan biasanya menyangkut barang-barang pokok atau kebutuhan utama masyarakat, komoditas pangan, komoditas industri, serta komoditas yang mempunyai fungsi strategis lainnya. Bagi komoditas-komoditas strategis seperti BBM (Bahan Bakar Minyak), komoditas pangan, pupuk, dan lainnya, pemerintah masih memberi kebijaksanaan berbentuk subsidi. Kebijakan ini ditempuh untuk membantu masyarakat yang tidak mampu (Daniel, 2002).

Di dalam teori ekonomi makro disebut bahwa peran pemerintah adalah sebagai stabilitator harga di dalam suatu ekonomi. Apabila terjadi kelebihan permintaan di pasar sehingga harga dari barang bersangkutan meningkat, maka pemerintah melakukan intervensi dengan cara menambah suplai di pasar tersebut; sebaliknya, jika terjadi kelebihan stok sehingga harganya jatuh, pemerintah ikut bermain di pasar sebagai pembeli (Tambunan, 2003).

Kerangka Pemikiran

Kebijakan stabilisasi yang pernah dilaksanakan Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya dengan tujuan menjaga stabilitas harga pangan pokok, mengurangi tingkat fluktuasi harga agar tidak terlalu besar, dan mengurangi disparitas harga yang terlalu lebar.

Namun di Indonesia sendiri harga beras sebenarnya masih berada di atas harga referensi atau harga pembelian pemerintah (HPP) menurut Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 tentang kebijakan perberasan, yang menetapkan


(42)

Rp 1.730 per kg untuk gabah kering panen (GKP) dan Rp 3.550 per kg untuk beras.

Kebijakan harga dasar gabah (HDG) pada waktu itu memang ditujukan untuk melindungi petani dari anjloknya harga gabah. Maksudnya, tersedia waktu yang cukup lama bagi para spekulan untuk menahan stok di gudang dan melepaskannya ke pasar menjelang atau setelah 1 Januari 2006.

Kebijakan pangan saat ini perlu diarahkan untuk mengurangi disparitas harga gabah dan harga beras atau meningkatkan harga gabah dan menurunkan harga beras. Kajian yang lebih teliti akan mampu menghasilkan suatu spread harga gabah dan beras yang cukup logis. Mampu menjadi insentif peningkatan produktivitas bagi petani padi, serta tidak memberatkan konsumen beras.

Peningkatan stok pangan dengan dukungan produksi dan produktivitas masih mutlak diperlukan untuk memenuhi permintaan bagan pangan yang masih tinggi. Dalam penelitian ini kebijakan pemerintah sebagai suatu instrumen penstabil harga akan diteliti penyebab dampak yang terjadi pada kebijakan pemerintah dan peranannya terhadap produksi dan harga beras.

Adapun skema kerangka pemikiran sebagai berikut :

Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah

Produksi Beras Harga Beras di


(43)

Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan kebijakan HPP dengan produksi beras.


(44)

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Menurut Wirartha (2006), penggunaan data sekunder lebih banyak digunakan untuk penelitian mengenai kebijakan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dukungan jenis data sekunder yang diperoleh dari BULOG, Badan Ketahanan Pangan, Badan Pusat Statistik, dan sejumlah dokumen Inpres.

Metode Analisis Data

Evaluasi terhadap kebijakan yang telah diberlakukan pemerintah dalam menstabilkan harga beras dilakukan dengan pendekatan ekonometrika. Salah satu pendekatan yang digunakan yaitu dengan analisis korelasi sederhana, sehingga nantinya akan diperoleh dugaan dari koefisien/parameter hubungan ekonomi. Nilai koefisien/parameter dugaan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi keseimbangan atau parameter dari teori ekonomi yang kemudian akan sangat penting untuk pengambilan keputusan bagi perusahaan maupun formulasi kebijakan ekonomi pemerintah dan nilai tersebut akan dapat membandingkan dampak dari berbagai alternatif kebijakan (Wirartha, 2006).

Tujuan utama dibuatnya kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) adalah untuk menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, untuk memberikan perlindungan harga batas tertinggi yang menjamin harga yang wajar bagi konsumen, untuk memberikan perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga batas tertinggi untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi


(45)

swasta untuk penyimpanan, dan untuk menjaga hubungan harga yang wajar antar daerah maupun terhadap harga internasional.

Pengujian hipotesis (1) dan (2) dianalisis dengan menggunakan korelasi sederhana, dengan menggunakan rumus:

2 2 2 2

)

(

)

(

X

n

Y

Y

X

n

Y

X

XY

n

r

=

Dimana: n adalah jumlah pengamatan

r adalah koefisien korelasi antara X dan Y

r2 adalah koefisien penentuan pengaruh X terhadap Y Signifikansi r diuji dengan t-test, yaitu:

2

1

2

r

n

r

h

t

=

Dimana: n adalah jumlah pengamatan th adalah nilai t hitung

r adalah koefisien korelasi antara X dan Y

r2 adalah koefisien penentuan pengaruh X terhadap Y Jika, th < tα(n-2) terima H0(α = 5%)

Jika, th > tα(n-2) terima H1(α = 5%)

Besarnya angka korelasi disebut koefisien korelasi dinyatakan dalam lambang r. Selanjutnya, besar nilai r dapat diinterpretasi untuk memperkirakan kekuatan hubungan korelasi, seperti ditampilkan pada tabel berikut:


(46)

Tabel 5. Interpretasi Terhadap Nilai r Hasil Analisis Korelasi Interval Nilai r*) Interpretasi

0,001 - 0,200 Korelasi sangat lemah 0,201 - 0,400 Korelasi lemah 0,401 - 0,600 Korelasi cukup kuat 0,601 - 0,800 Korelasi kuat 0,801 - 1,000 Korelasi sangat kuat *) Interpretasi berlaku untuk nilai r positif maupun negatif

Koefisien korelasi memiliki tiga ketentuan penting, yaitu:

1. Koefisien korelasi dapat bernilai positif atau negatif, tetapi tanda positif atau negatif tersebut khusus menunjukkan arah hubungan, bukan kekuatan hubungan.

2. Range koefisien korelasi dimulai dari 0 sampai ± 1, atau dapat dinotasikan -1 ≤ r ≤ 1.

3. Nilai koefisien korelasi dapat diinterpretasi simetris. Koefisien korelasi antara variabel X dengan Y adalah sama dengan koefisien korelasi antara variabel Y dan X.

(Budi, 2006).

Hipotesis (1) yang digunakan adalah:

Ho : Tidak ada hubungan kebijakan HPP dengan produksi beras. H1 : Ada hubungan kebijakan HPP dengan produksi beras.

Hipotesis (2) yang digunakan adalah:

Ho : Tidak ada hubungan kebijakan HPP dengan harga beras di tingkat konsumen. H1 : Ada hubungan kebijakan HPP dengan harga beras di tingkat konsumen


(47)

Defenisi dan Batasan Operasional Defenisi

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan pengertian dalam penelitian ini, maka diberikan batasan operasional sebagai berikut:

1. Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia mengenai harga pembelian beras petani oleh pemerintah dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2006. 2. Produksi beras adalah jumlah beras yang diproduksi di Sumatera Utara

dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2006.

3. Harga adalah ukuran nilai barang atau jasa yang dinyatakan dalam satuan mata uang (rupiah).

4. Harga beras adalah harga yang terbentuk di tingkat konsumen di Sumatera Utara dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2006.

5. Harga Dasar adalah harga pembelian komoditi dari tingkat produsen.

6. Fluktuasi harga adalah naik turunnya harga suatu komoditi akibat perubahan permintaan dan penawaran atas komoditas tersebut.

7. Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara produsen dan konsumen di pasar.

Batasan Operasional

1. Waktu penelitian dimulai pada bulan April tahun 2008.

2. Data yang diambil adalah data tahunan di Sumatera Utara dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2006.


(48)

PROFIL SUMATERA UTARA DAN KEBIJAKAN HPP

Kondisi Geografis Sumatera Utara

Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Adapun batas-batas daerah Propinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam - Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia di Selat Malaka. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Riau dan Sumatera Barat. - Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Provinsi Sumatera Utara terletak pada:1° - 4° Lintang Utara , dan 98° - 100° Bujur Timur, yang pada tahun 2004 memiliki 18 Kabupaten dan 7 kota, dan terdiri dari 328 kecamatan, secara keseluruhan Provinsi Sumatera Utara mempunyai 5.086 desa dan 382 kelurahan. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km².

Kondisi alam Sumatra Utara pada dasarnya dapat dibagi atas: pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Di daerah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini.


(49)

Sumatera Utara merupakan provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2002, jumlah penduduk Sumatera Utara adalah seramai 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 165 jiwa per km², sedangkan kadar peningkatan pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun.

Luas daratan provinsi Sumatra Utara 71.680 km². Luas pertanian padi dapat dilihat dari Tabel 6 yaitu pada tahun 2005 luas areal panen tinggal 822.073 hektar, atau turun sekitar 4.018 hektar dibanding luas tahun 2004 yang mencapai 826.091 hektar. Produktivitas tanaman padi tahun 2005 sudah bisa ditingkatkan menjadi berkisar 41,94 kwintal perhektar dari tahun 2004 yang masih 41,39 kwintal per hektar. Tahun 2005, surplus beras di Sumatera Utara mencapai 200.464 ton dari sekitar 2.178.752 ton total produksi beras di daerah ini.

Tabel 6. Tingkat Produksi Padi Tingkat Swasembada Beras Tahun 2002-2006 Provinsi Sumatera Utara

URAIAN TAHUN

2002 2003 2004 2005 2006 Penduduk (jiwa) 11.863.692 12.006.538 12.138.959 12.326.678 12.643.494 Konsumsi beras/Kapita/Tahun (Kg) 166,28 166,28 160 160 153 Kebutuhan beras (Ton) 1.660.918 1.680.917 1.687.134 1.972.268 1.934.455 Luas Panen (Ha) 822.073 826.188 826.091 822.073 705.023 Produkstivitas (Kw/Ha) 41,21 41,24 41,39 41,94 42,66 Produksi Gabah (Ton) 3.153.468 3.403.075 3.418.782 3.447.393 3.007.636 Produksi Beras (Ton) **) 1.992.992 2.150.743 2.160.670 2.178.752 1.900.826 Surplus/Minus (Ton) 332.074 469.826 473.536 206.484 -33.629

% SSB 119,99 127,95 128,05 110,47 98,26

**)Konversi GKG ke Beras = 0,632%


(50)

Deskripsi Kebijakan HPP

Kebijakan pemerintah yaitu kebijakan HPP dalam rangka menstabilkan harga beras yang berutujuan untuk menstabilkan harga beras yang terjangkau di masyarakat, antara lain:

 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2002 tanggal 31 Desember 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan

Inpres ini mengatur pelaksanaan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh Pemerintah dengan pedoman sebagai berikut:

a. Harga Dasar Pembelian Gabah Kering Giling petani dalam negeri oleh BULOG adalah Rp 1.725,00 (seribu tujuh ratus dua puluh lima rupiah) per kilogram di gudang BULOG;

b. Harga Dasar Pembelian Beras petani dalam negeri oleh BULOG adalah Rp 2.790,00 (dua ribu tujuh ratus sembilan puluh rupiah) per kilogram di gudang BULOG;

c. Persyaratan kualitas terhadap Harga Dasar Pembelian Gabah Kering Giling sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah sebagai berikut:

1. Kadar air maksimum 14,0%

2. Butir hampa/kotoran maksimum 3,0% 3. Butir kuning/rusak maksimum 3,0% 4. Butir hijau/mengapur maksimum 5,0% 5. Butir merah maksimum 3,0%

d. Dalam hal petani belum mampu memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan Pemerintah, maka petani atau kelompok tani dapat menjual produksinya dalam berbagai kondisi sesuai tabel harga yang berlaku.


(51)

Ketentuan mengenai Harga Dasar Pembelian gabah dan beras dalam negeri berlaku mulai tanggal 1 Januari 2003.

 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 tanggal 2 Maret 2005 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan

Inpres ini mengatur pelaksanaan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh Pemerintah dengan pedoman sebagai berikut:

1. Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri adalah Rp 1.330,00 (seribu tiga ratus tiga puluh rupiah) per kilogram di penggilingan;

2. Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeri adalah Rp 1.765,00 (seribu tujuh ratus enam puluh lima rupiah) per kilogram di gudang penyimpanan, atau Rp1.740,00 (seribu tujuh ratus empat puluh rupiah) per kilogram di penggilingan;

3. Harga Pembelian Beras dalam negeri adalah Rp 2.790,00 (dua ribu tujuh ratus sembilan puluh rupiah) per kilogram di penggilingan;

4. Persyaratan kualitas terhadap Harga Pembelian Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 adalah sebagai berikut :

Tabel 7. Persyaratan kualitas terhadap GKP dan GKG PERSYARATAN KUALITAS

GABAH

GABAH KERING PANEN (GKP)

GABAH KERING GILING (GKG)

Kadar Air Maksimum 25% 14%

Butir Hampa/kotoran Maksimum 10% 3%

Butir Kuning/Rusak Maksimum 3% 3%

Butir Hijau/Mengapur Maksimum 10% 5%

Butir Merah Maksimum 3% 3%


(52)

Ketentuan mengenai Harga Dasar Pembelian gabah dan beras dalam negeri berlaku mulai tanggal 2 Maret 2005.

 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2005 tanggal 10 Oktober 2005 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan

Inpres ini mengatur pelaksanaan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh Pemerintah dengan pedoman sebagai berikut:

1. Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri adalah Rp 1.730,00 (seribu tujuh ratus tiga puluh rupiah) per kilogram di penggilingan;

2. Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeri adalah Rp 2.280,00 (dua ribu dua ratus delapan puluh rupiah) per kilogram di gudang penyimpanan; atau Rp 2.250,00 (dua ribu dua ratus lima puluh rupiah) per kilogram di penggilingan;

3. Harga Pembelian Beras dalam negeri adalah Rp 3.550,00 (tiga ribu lima ratus lima puluh rupiah) per kilogram di gudang penyimpanan;

4. Persyaratan kualitas terhadap Harga Pembelian Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Persyaratan kualitas terhadap GKP dan GKG PERSYARATAN KUALITAS

GABAH

GABAHKERINGPANEN (GKP)

GABAHKERINGGILIN G

(GKG)

Kadar Air Maksimum 25% 14%

Butir Hampa/kotoran Maksimum 10% 3%

Butir Kuning/Rusak Maksimum 3% 3%

Butir Hijau/Mengapur Maksimum 10% 5%

Butir Merah Maksimum 3% 3%


(53)

5.Persyaratan kualitas terhadap Harga Pembelian Beras sebagaimana dimaksud pada angka 3 adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Persyartan kualitas beras berdasarkan komponen mutu

KOMPONEN MUTU SATUAN KUALITAS

BERAS

Derajat Sosoh (min) (%) 95

Kadar Air (max) (%) 14

Beras Kepala (min) (%) 78

Butir Utuh (min) (%) 35

Butir Patah (max) (%) 20

Butir Menir (max) (%) 2

Butir Merah (max) (%) 2

Butir Kuning/Rusak (max) (%) 2

Butir Pengapur (max) (%) 3

Benda Asing (max) (%) 0,02

Butir Gabah (max) Butir/100 g 1

Campuran Varietas Lain (max)

(%) 5

Sumber: Perum Bulog Divre Sumut, 2008.

6. Pelaksanaan pembelian Gabah/Beras oleh Pemerintah secara nasional dilakukan oleh Perum Bulog;

7. Pembelian Gabah/Beras oleh Pemerintah di daerah, selain dilakukan oleh Perum Bulog, juga dapat dilakukan oleh Badan Pemerintah atau Badan Usaha di bidang pangan.

Ketentuan mengenai harga pembelian gabah dan beras dalam negeri oleh Pemerintah berlaku mulai tanggal 1 Januari 2006.

 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tanggal 31 Maret 2007 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan

Inpres ini mengatur pelaksanaan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh Pemerintah dengan pedoman sebagai berikut:


(54)

1. Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 25% dan kadar hampa/kotoran maksimum 10% adalah Rp 2000 (dua ribu rupiah) per kilogram di petani, atau Rp 2035 (dua ribu tiga puluh lima rupiah) per kilogram dipenggilingan;

2. Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeridengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadarhampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp 2575 (dua ribu lima ratus tujuh puluh lima rupiah) per kilogram dipenggilingan; atau Rp 2600 (dua ribu enam ratus rupiah) per kilogram di gudang Bulog;

3. Harga Pembelian Beras dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan butir patah maksimum 20% adalah Rp 4000 (empat ribu rupiah) per kilogram di gudang Bulog.

Ketentuan mengenai Harga Dasar Pembelian gabah dan beras dalam negeri berlaku mulai tanggal 1 April 2007.


(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hubungan Kebijakan HPP dengan Produksi Beras

Tabel 10 dibawah ini memperlihatkan nilai variabel X (Harga Pembelian Pemerintah) dan nilai variabel Y (Produksi Beras).

Tabel 10. Perkembangan HPP dan Produksi Beras

Tahun X Y

2002 Rp2.470 1.992.889 2003 Rp2.790 2.150.743 2004 Rp2.790 2.160.669 2005 Rp2.790 2.178.752 2006 Rp3.550 1.900.826 Sumber: (diolah dari Lampiran 2)

Setelah melakukan uji korelasi korelasi linier sederhana pada data diatas, diperoleh hasil r sebesar -0,540 dan thitung sebesar 1,114. Artinya, 54,0% perubahan produksi beras di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan produksi beras di Sumatera Utara memiliki korelasi yang negatif. Dengan demikian, dapat dinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin rendah produksi beras, atau sebaliknya, semakin rendah HPP, maka justru semakin tinggi pula produksi beras.

Signifikansi hasil korelasi dapat diuji secara dua sisi dengan penyusunan hipotesis, sebagai berikut:

H0 : Tidak ada hubungan antara kebijakan HPP dengan produksi beras. H1 : Ada hubungan antara kebijakan HPP dengan produksi beras.


(56)

Berdasarkan rumus, diperoleh nilai ttabel sebesar 3,182. Dan dari hasil uji korelasi terhadap data pada tabel 10, diperoleh nilai thitung sebesar 1,114. Oleh karena t; maka dapat diambil kesimpulan bahwa H0 diterima. Ini berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara kebijakan HPP dan produksi beras.

Hubungan Kebijakan HPP dengan Harga Beras di Tingkat Konsumen

Tabel 11 dibawah ini memperlihatkan nilai variabel X (Harga Pembelian Pemerintah) dan nilai variabel Y (Harga beras di tingkat konsumen).

Tabel 11. Perkembangan HPP dan Harga Beras di tingkat Konsumen

Tahun X Y

2002 Rp2.470 Rp2.913 2003 Rp2.790 Rp2.894 2004 Rp2.790 Rp3.052 2005 Rp2.790 Rp3.701 2006 Rp3.550 Rp4.706 Sumber: (diolah dari Lampiran 1)

Setelah melakukan uji korelasi korelasi sederhana pada data diatas, diperoleh hasil r sebesar 0,907 dan thitung sebesar 3,742. Artinya, 90,7% perubahan produksi beras di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara memiliki korelasi positif. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin tinggi harga beras.

Signifikansi hasil korelasi dapat diuji secara dua sisi dengan penyusunan hipotesis, sebagai berikut:


(57)

H0 : Tidak ada hubungan antara kebijakan HPP dengan harga beras di tingkat konsumen.

H1 : Ada hubungan antara kebijakan HPP dengan harga beras di tingkat konsumen.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa H0 ditolak, atau hubungan antara HPP dan harga beras di tingkat konsumen adalah signifikan pada taraf kepercayaan 95%.

Pembahasan

Kebijakan HPP akan mendorong peningkatan produksi petani, dan selanjutnya akan meningkatkan jumlah ketersediaan beras di pasar. Sesuai hukum permintaan dan penawaran, bila jumlah beras yang tersedia di pasar meningkat, maka harga beras dapat dijaga di tingkat yang masih dapat ditoleransi, dalam artian, tidak terlalu mahal dan masih sesuai dengan daya beli masyarakat. Dengan demikian, kebijakan HPP juga memiliki hubungan dengan harga beras di tingkat konsumen.

Pernyataan diatas dibenarkan oleh Mears dan Affif (1969), yang menyebutkan bahwa falsafah dasar kebijakan harga beras berisikan beberapa komponen sebagai berikut: (a) Menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi; (b) perlindungan harga maksimum untuk menjamin harga yang layak bagi konsumen; (c) perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga meksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan beras; dan (d) hubungan harga yang wajar antar daerah maupun terhadap harga internasional. Di dalam pengontrolan stabilitas harga beras,


(58)

diperlukan penanganan dan pemeliharaan persediaan beras yang memadai (Amang dan Chrisman, 1995).

Tujuan utama dibuatnya kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) adalah untuk menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, untuk memberikan perlindungan harga batas tertinggi yang menjamin harga yang wajar bagi konsumen, untuk menciptakan perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga batas tertinggi untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan, dan untuk menjaga hubungan harga yang wajar antar daerah maupun terhadap harga internasional.

Perkembangan jumlah permintaan dan penawaran beras di Sumatera Utara dapat dilihat dari perkembangan total kebutuhan beras, total produksi beras selama periode yang telah ditentukan. Diasumsikan bahwa total kebutuhan beras dan total produksi beras diserap oleh pasar. Karena beras merupakan komoditas pangan serta merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, sehingga kebutuhan beras dianggap sebagai faktor permintaan utama tehadap beras. Sedangkan jumlah penawaran beras merupakan total produksi beras.

Kebutuhan akan beras yang terus meningkat merupakan akibat dari terus bertambahnya penduduk dari tahun ke tahun, seperti yang terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 12. Kebutuhan Beras dan Produksi Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara

Tahun Kebutuhan beras (Ton) Produksi Beras (Ton) Surplus/Minus

2002 1.660.918 1.992.992 332.074

2003 1.680.917 2.150.743 469.826

2004 1.687.134 2.160.670 473.536

2005 1.972.268 2.178.752 206.484

2006 1.934.455 1.900.826 -33.629


(59)

Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa baik kebutuhan beras dan produksi beras di Sumatera Utara pada tahun 2002 sampai dengan 2005 mengalami peningkatan. Kebutuhan beras pada tahun 2002 sampai tahun 2006 mengalami peningkatan dari 1.660.918 Ton sampai 1.934.455 Ton. Produksi beras mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2002 sebesar 1.992.992 Ton hingga pada tahun 2005 meningkat sebesar 2.178.752 Ton, tetapi turun pada tahun 2006 sebesar 1.900.826 Ton. Penurunan produksi beras pada tahun 2006 disebabkan terjadinya bencana alam (banjir), alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, rusaknya irigasi dibeberapa daerah yang menjadi sentra pertanian, dan pergeseran pola tanam/mundurnya musim tanam.

Perkembangan jumlah permintaan dan penawaran beras berada dalam kondisi surplus beras pada tahun 2002 sampai tahun 2005. Kondisi surplus beras mengalami peningkatan pada tahun 2002 sebesar 332.074 Ton hingga tahun 2004 sebesar 473.536 Ton, sedangkan pada tahun 2005 terjadi penurunan surplus beras sebesar 206.484 Ton. Tetapi pada tahun 2006 terjadi kondisi minus, yaitu sebesar -33.629 Ton. Menurunnya produksi tersebut di atas disebabkan terjadinya bencana alam (banjir), alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, rusaknya irigasi dibeberapa daerah yang menjadi sentra pertanian, dan pergeseran pola tanam/mundurnya musim tanam.

Perkembangan HPP dan Harga Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara

Pada Gambar 2 terlihat bahwa grafik perkembangan HPP dan Harga Beras cenderung mengalami kenaikan baik HPP maupun Harga Beras. Pada tahun 2003,


(60)

pada grafik terjadi penurunan pada Harga Beras, yaitu dari harga Rp 2.913,00 turun menjadi Rp 2.894,00, dengan nilai HPP sebesar Rp 2.790,00.

Gambar 5. Perkembangan HPP dan Harga Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara

Dan pada tahun 2005 terjadi peningkatan yang cukup tinggi sebesar Rp 3.701,00 dengan nilai HPP tetap sebesar Rp 2.790,00. Tingginya Harga Beras ini merupakan pasca kenaikan harga bahan bakar minyak pada Oktober 2005, jika terjadi kenaikan harga di atas ambang kemampuan daya beli masyarakat maka peran Bulog sebagai salah satu alat pemerintah untuk penyangga pangan nasional akan mengucurkan beras operasi pasar ke masyarakat untuk menjaga netralitas beras.

Pada tahun 2006 merangkak naik sebesar Rp 4.706,00 dengan nilai HPP sebesar Rp 3.550,00, dimana memiliki selisih yang tinggi yaitu sekitar Rp. 1.156,00. Tingginya harga beras ini merupakan akibat tidak tersedianya beras di pasar dalam kondisi yang cukup.


(61)

Perkembangan Produksi Beras dan Kebutuhan Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara

Pada Gambar 3 terlihat bahwa grafik perkembangan produksi beras dan kebutuhan beras cenderung mengalami kenaikan seperti terlihat pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005. Dan diantara tahun 2002 sampai tahun 2005, Sumatera Utara mengalami surplus beras dengan tingkat pertumbuhan 9,3%. Artinya setiap tahun antara 2002 dengan tahun 2005 jumlah beras di Sumatera Utara bertambah sebesar 9,3 persennya . Produksi beras di Sumut tahun 2005 mencapai 2.178.752 Ton dengan kebutuhan berasnya mencapai 1.972.268 Ton, yang berarti surplus beras di Sumut sebesar 206.484 Ton.

Gambar 6. Perkembangan Produksi Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara Dan memasuki tahun 2006, terjadi penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 277.962 Ton dan mengalami defisit sebesar 33.629 Ton. Untuk mengimbangi besarnya kebutuhan beras di Sumatera Utara yang sebesar 1.934.455 Ton yang harus dilakukan adalah mengimpor beras dari daerah lain, contohnya dari Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi beras.


(62)

Perkembangan Harga Beras Tahun 2002-2006 di Sumatera Utara (dalam Triwulanan)

Pada Gambar 7 terlihat bahwa grafik perkembangan Harga Beras di Sumatera Utara yang diawali pada bulan Januari 2002 yaitu sebesar Rp 2.889,67 hingga di bulan Oktober 2004 yaitu sebesar Rp 3.118,67 mengalami keadaan harga yang cenderung stabil secara teratur setiap bulannya. Keadaan ini dikarenakan Sumatera Utara mengalami surplus beras yang berawal di tahun 2002 yaitu sebesar 332.074 ton hingga tahun 2005 yaitu sebesar 206.484 ton, sehingga harga dapat stabil dan terjangkau oleh masyarakat pada umumnya.

Harga Beras mulai merangkak naik yaitu pada bulan Januari yaitu sebesar Rp 3.556,67 dan terus mengalami kenaikan dengan tingkat harga tertinggi yaitu di bulan Oktober 2006 sebesar Rp 4.793,33. Hal ini dikarenakan masuknya beras impor ke Sumatera Utara.


(63)

(64)

Efek psikologis masuknya beras impor ke Sumatera Utara telah menurunkan harga gabah kering panen di tingkat petani. Tahun 2006 Bulog total mengimpor 49.604 ton beras untuk wilayah Sumut. Dari jumlah tersebut 300 ton di antaranya diimpor berdasarkan kerja sama dengan pihak swasta. Berasnya juga masuk ke pasar tradisional, dengan patahannya sebesar lima persen.

Produksi beras di Sumut tahun 2005 mencapai 2.178.752 ton dengan kebutuhan berasnya mencapai 1.972.268 ton, yang berarti surplus beras di Sumut sebesar 206.484 ton. Tahun 2006 Dinas Pertanian Sumut tak berani meramalkan angka yang sama karena laju alih fungsi lahan yang cukup tinggi. Untuk Tahun 2006 untuk produksi beras di Sumut hanya 1.900.826 ton sementara kebutuhan naik menjadi 1.934.455 ton.

Posisi stok beras yang dikuasai Bulog Sumut, berasal dari Jawa Timur dan impor dari negara Vietnam. Stok itu cukup aman untuk penyaluran rutin bulog selama tiga bulan mendatang. Stok beras dari Jatim datang ke gudang penyimpangan Bulog pada kurun waktu Maret sampai dengan September, sedangkan beras dari Vietnam sudah didatangkan pada Januari 2006 lalu. Seluruh stok beras Bulog itu disediakan untuk memenuhi pengeluaran per bulan sebesar 10.000 ton. Pengeluaran beras itu dialokasikan untuk program raskin, Departemen Kehakiman (lembaga pemasyarakatan), karyawan Bulog, dan Departemen Sosial. Rencana pengadaan beras dari Sumut sendiri selama 2006 belum bisa dilakukan. Hal ini disebabkan harga beras bulan Januari sampai Agustus mencapai Rp 4,390,00 hingga Rp 4,823,00 per kilogram (kg).


(65)

Dan Bulog tidak bisa melakukan pembelian karena harga di tingkat petani belum memenuhi patokan harga berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 13 tahun 2005. Alasannya, untuk menjaga kestabilan harga beras dan gabah di Sumut.

Inpres nomor 13 tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan mengatur tentang pembelian beras oleh pemerintah. Di dalam butir keempat inpres tersebut dinyatakan pembelian gabah kering panen (GKP) dapat dilakukan apabila harganya Rp 1.730 per kg dan harga gabah kering giling (GKG) Rp 2.280 per kg. Walau saat ini ada di beberapa daerah harga GKP di bawah harga Inpres, namun belum bisa menggambarkan harga beras jatuh untuk wilayah Sumut..

Produksi beras di Sumut turun sepertiga dari tahun lalu. Hal ini disebabkan minimnya curah hujan sehingga memundurkan musim tanam, pupuk urea bersubsidi yang menghilang sejak bulan Agustus ini. Kondisi ini berdampak pada jumlah masa panen yang pada tahun 2005 panen bisa mencapai tiga kali dalam setahun, tapi tahun ini hanya terjadi dua kali.


(66)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

3. Setelah melakukan uji korelasi korelasi linier sederhana pada data HPP dan produksi beras di Sumatera Utara, diperoleh hasil r sebesar -0,540 dan thitung sebesar 1,114. Artinya, 54,0% perubahan produksi beras di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan produksi beras di Sumatera Utara memiliki korelasi yang negatif. Dengan demikian, dapat dinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin rendah produksi beras, atau sebaliknya, semakin rendah HPP, maka justru semakin tinggi pula produksi beras.

4. Setelah melakukan uji korelasi korelasi sederhana pada data HPP dan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara, diperoleh hasil r sebesar 0,907 dan thitung sebesar 3,742. Artinya, 90,7% perubahan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa HPP dan harga beras di tingkat konsumen di Sumatera Utara memiliki korelasi positif. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi HPP, maka semakin tinggi harga beras.


(67)

Saran

Saran untuk Pemerintah

1. Penetapan harga dasar GKG sebaiknya tetap memperhatikan tingkat keuntungan usahatani padi yang wajar dan harga beras di luar negeri dalam rupiah, sebagaimana telah dilakukan selama ini.

2. Harga dasar GKG tetap diperlukan dan disesuaikan yang disertai dengan pembelian oleh BULOG agar harga jual GKG di tingkat petani tidak jatuh sehingga luas areal padi tidak menurun dan stabilitas harga dalam negeri tetap terjaga. Namun peningkatan harga dasar sebaiknya tidak terlalu cepat karena akan meningkatkan harga beras di tingkat konsumen yang memberatkan konsumen kurang mampu.

3. Pengumuman harga dasar sebaiknya dilakukan sebelum musim tanam musim hujan Oktober karena luas areal musim tanam ini yang terbesar sehingga petani akan dapat membuat keputusan lebih tepat lagi.

4. Kebijakan pemerintah telah berhasil menstabilkan harga domestik, dan bahkan harga produsen lebih stabil dibanding harga konsumen. Oleh karena itu kebijakan harga dasar agar terus dilanjutkan.

Saran untuk Peneliti

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar melihat faktor-faktor apa yang mempengaruhi harga beras ditingkat konsumen dan peranan kebijakan pemerintah untuk mengendalikan gejolak harga beras yang terjadi di pasar.


(1)

Lampiran 3 Analisis Korelasi Sederhana antara HPP (X) dan Harga Beras(Y) di Tingkat Konsumen

Tahun X Y XY X^2 Y^2

2002 2.470 2.913 7.195.110 6.100.900 8.485.569

2003 2.790 2.894 8.074.260 7.784.100 8.375.236

2004 2.790 3.052 8.515.080 7.784.100 9.314.704

2005 2.790 3.701 10.325.790 7.784.100 13.697.401

2006 3.550 4.706 16.706.300 12.602.500 22.146.436

SUM 14.390 17.266 50.816.540 42.055.700 62.019.346

2 1 2 r n r h

t

− − =

Dimana: n = 5

∑XY = 50.816.540

∑X.∑Y = 14.390 x 17.266 = 248.457.740 ∑X2

= 207.072.100 ∑Y2

= 298.114.756 Perhitungan r, yaitu:

r = 0,907499516

Perhitungan th, yaitu:

2) 0,82355537 ( 1 2 5 6 0,90749951 − − = h

t

t = 3,741991604

2 2 2 2 ) ( )

( X n Y Y

X n Y X XY n r ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = ) 6 298.114.75 ( 6) 298.114.75 ( 5 0) 207.072.10 ( 0) 207.072.10 ( 5 ) 266 . 17 390 . 14 ( ) 540 . 816 . 50 ( 5 − − − = x r


(2)

Dari rumus diatas, diperoleh: r = 0,907

t hitung = 3,742

tα(n-2) = 3,182


(3)

Lampiran 4 Analisis Korelasi Sederhana antara HPP(X) dan Produksi Beras(Y)

Tahun X Y XY X^2 Y^2

2002 2.470 1.992.889 4.922.435.830 6.100.900 3.971.606.566.321 2003 2.790 2.150.743 6.000.572.970 7.784.100 4.625.695.452.049 2004 2.790 2.160.669 6.028.266.510 7.784.100 4.668.490.527.561 2005 2.790 2.178.752 6.078.718.080 7.784.100 4.746.960.277.504 2006 3.550 1.900.826 6.747.932.300 12.602.500 3.613.139.482.276 SUM 14.390 10.383.879 29.777.925.690 42.055.700 21.625.892.305.711

2 1 2 r n r h

t

− − =

Dimana: n = 5

∑XY = 29.777.925.690

∑X.∑Y = 14.390 x 10.383.879 = 1,49424E+11 ∑X2

= 42.055.700 ∑Y2

= 21.625.892.305.711 Perhitungan r, yaitu:

r = -0,540807824 Perhitungan th, yaitu:

2) 0,29247310 ( 1 2 5 4 0,54080782 − − = h

t

th = 1,113607419

Dimana, r2 = 0,292, maka th = 1,113 ; t5%(n-2) = 3,182 (Pada tabel t dengan dk=3

dan α 0,05)

2 2 2 2 ) ( )

( X n Y Y

X n Y X XY n r ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = ) 14 1,07825E ( ) 711 . 305 . 892 . 625 . 21 ( 5 ) 207072100 ( ) 700 . 055 . 42 ( 5 11) + 1,49424E ( .690) 29.777.925 ( 5 + − − − = r


(4)

t hitung = 1,114

tα(n-2) = 3,182


(5)

Lampiran 5 Harga Rata-rata Berasdi tingkat konsumen di Provinsi Sumatera Utara (Jenis IR-64)

THN/

BLN JAN FEB MAR

AP

R MEI JUN JUL

AGU

S SEP OKT NOV DES

RATA-RATA

2002 3.035 2.817 2.817 2.815 2.815 3.175 2.901 2.843 2.915 2.920 2.958 2.941 2.913 2003 2.930 2.915 2.870 2.875 2.912 2.884 2.910 2.900 2.890 2.880 2.875 2.885 2.894 2004 2.890 2.954 2.975 3.045 3.022 3.033 3.075 3.124 3.147 3.148 3.009 3.199 3.052 2005 3.469 3.507 3.694 3.650 3.649 3.675 3.700 3.700 3.706 3.802 3.911 3.950 3.701 2006 4.390 4.636 4.640 4.656 4.660 4.742 4.814 4.823 4.727 4.775 4.798 4.807 4.706 2007 5.249 5.590 5.458 5.374 5.348 5.350 5.350 5.349 5.352 5.290 5.321 5.474 5.375


(6)

Lampiran 6 Perkembangan Harga Beras di Sumatera Utara dalam kurun waktu Januari 2002 hingga Oktober 2006 (triwulanan)

Waktu Harga Beras

Jan-02 Rp 2.889,67

Apr-02 Rp 2.935,00

Jul-02 Rp 2.886,33

Okt-02 Rp 2.939,67

Jan-03 Rp 2.905,00

Apr-03 Rp 2.890,33

Jul-03 Rp 2.900,00

Okt-03 Rp 2.880,00

Jan-04 Rp 2.939,67

Apr-04 Rp 3.033,33

Jul-04 Rp 3.115,33

Okt-04 Rp 3.118,67

Jan-05 Rp 3.556,67

Apr-05 Rp 3.658,00

Jul-05 Rp 3.702,00

Okt-05 Rp 3.887,67

Jan-06 Rp 4.555,33

Apr-06 Rp 4.686,00

Jul-06 Rp 4.788,00

Okt-06 Rp 4.793,33