ANALISIS KAUSALITAS HARGA BERAS, HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) DAN INFLASI DI INDONESIA

(1)

ANALISIS KAUSALITAS HARGA BERAS, HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) DAN INFLASI DI INDONESIA

Oleh

ANDI SAPUTRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Jurusan Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS KAUSALITAS HARGA BERAS, HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) DAN INFLASI DI INDONESIA

Oleh Andi Saputra

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) hubungan kausalitas antara harga eceran beras (HEB) dan inflasi di Indonesia, (2) hubungan kausalitas antara harga pembelian pemerintah (HPP) dan inflasi di Indonesia, (3) hubungan kausalitas antara harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran beras (HEB) di Indonesia, dan (4) efektifitas kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) di Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan di Indonesia menggunakan data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1986 sampai 2011. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis kausalitas Engel Granger, analisis struktur pasar dan elastisitas transmisi harga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Adanya hubungan kausalitas satu arah antara inflasi dan harga eceran beras. Inflasi mempengaruhi harga eceran beras sebesar 0,04735%, (2) Adanya hubungan kausalitas satu arah antara inflasi dan harga pembelian pemerintah. Inflasi mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) dan gabah kering giling (HGKG) masing– masing sebesar 0,00347% dan 0,00098%, (3) Adanya hubungan kausalitas satu arah antara harga eceran beras dan harga pembelian pemerintah. Harga eceran beras mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) dan gabah kering giling (HGKG) masing-masing sebesar 0,00084% dan 0,04690%, dan (4) Kebijakan harga pembelian pemerintah yang dilakukan belum efektif dengan elastisitas transmisi harga kurang dari satu (Et<1), ini berarti bahwa perubahan harga ditingkat konsumen yang terjadi tidak direspon secara baik oleh harga ditingkat produsen.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

1. Pengaruh harga eceran beras (HEB) terhadap inflasi di Indonesia ... 6

2. Pengaruh harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap inflasi di Indonesia ... 8

3. Pengaruh harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap harga eceran beras (HEB) di Indonesia ... 11

4. Efektifitas kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Kegunaan Penelitian ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 18

A. Tinjauan Pustaka ... 18

1. Kebijakan Harga ... 18

2. Pengertian Inflasi ... 20

3. Landasan Teori ... 20

a. Teori Permintaan ... 20

b. Teori Inflasi ... 22

c. Toeri Elastisitas Transmisi ... 27

4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 28

B. Kerangka Pemikiran ... 31

C. Hipotesis ... 36

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional ... 37

B. Lokasi Penelitian dan Pengumpulan Data ... 38

C. Metode Analisis ... 39


(6)

c. Uji kausalitas Engel Granger ... 42

3. Analisis Elastisitas Transmisi Harga ... 45

IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 47

A. Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi di Indonesia ... 47

B. Hubungan Kebijakan HPP dan harga eceran beras (HEB) ... 49

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Pembahasan Mekanisme Perhitungan ... 52

1. Analisis Hubungan Kausalitas ... 52

a. Uji stasioner ... 52

b. Uji kointegrasi ... 64

c. Uji kausalitas ... 70

2. Analisis Struktur Pasar ... 76

a. Integrasi vertikal ... 77

b. Elastisitas transmisi harga ... 88

B. Pembahasan Secara Teori Ekonomi ... 93

1. Inflasi mempengaruhi harga eceran beras (HEB) ... 93

2. Inflasi mempengaruhi HGKP dan HGKG ... 94

3. Harga eceran beras (HEB) mempengaruhi HGKP dan HGKG ... 96

4. Inflasi volatile food mempengaruhi harga eceran beras (HEB) 97 5. Struktur pasar dan elastisitas transmisi harga ... 99

C. Pembahasan Kebijakan ... 100

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produk pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja dan mendorong pemerataan kesempatan usaha (Soekartawi, 2000).

Sektor pertanian mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi. Kontribusinya dapat dilihat dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2002, sektor pertanian menyumbang sekitar 17,3% dan menempati posisi kedua setelah sektor industri pengolahan. Selain itu, sektor pertanian mempunyai peran strategis dalam penyerapan tenaga kerja, penyediaan bahan baku industri dan menyediakan beras sebagai pangan pokok masyarakat

Indonesia (Irawan, 2005). Dalam arti luas, konteks pertanian mencakup beberapa subsektor diantaranya tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.


(8)

Subsektor tanaman pangan mempunyai andil yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan subsektor tanaman pangan

mempunyai peran dalam mengendalikan inflasi dan merupakan subsektor vital dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga, menurut Timmer dalam Amang dan Sawit (2001), tidak ada negara yang dapat mempertahankan pertumbuhan

ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan (food security).

Komoditas pangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia adalah beras. Hal ini dikarenakan beras merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia dan berperan sebagai komoditas ekonomi. Implikasi ekonominya adalah ketika terjadi peningkatan pendapatan, maka akan diikuti oleh

meningkatnya permintaan kuantitas dan kualitas beras yang lebih baik (Arifin

et.al, 2006).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka sudah menjadi tugas pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan. Ketahanan pangan sendiri diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Mantau dan Bahtiar, 2010). Kebijakan khusus yang disusun oleh WTO untuk menjamin ketahan pangan terdiri dari tiga komponen kebijakan ketahanan pangan yaitu: 1) Ketersediaan Pangan yang dipengaruhi oleh kebijakan larangan impor beras, upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi beras sebagai pangan utama dan pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras, 2) Keterjangkauan Pangan dan 3) Kualitas


(9)

Makanan dan Nutrisi. Kebijakan harga gabah dan beras merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional (Widiarsih, 2012).

Kebijakan harga beras di Indonesia pertama kali diajukan secara komprehensif dan operasional oleh Mears dan Afiff tahun 1969. Falsafah dasar kebijakan tersebut berisikan beberapa komponen sebagai berikut: (1) menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, (2) perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan yang layak antara harga dasar dan harga maksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan beras dan (4) hubungan harga yang wajar antara daerah maupun terhadap harga internasional (Amang (1989) dalam

Kusumaningrum (2008) ).

Kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah adalah berupa penetapan harga dasar (floor price) dengan tujuan untuk meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed price) yang wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price) dengan tujuan memberikan perlindungan kepada konsumen.

Penetapan harga dasar yang dilakukan pemerintah untuk melindungi petani adalah berupa penetapan harga dasar gabah. Kebijakan harga dasar gabah dimulai sejak tahun 1969 dan dievaluasi setiap tahun, kecuali pada tahun 1998 dimana


(10)

Kebijakan harga dasar gabah yang dilakukan dirasa kurang efektif oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam Inpres No.9/2002 istilah harga dasar disandingkan dan dikaburkan dengan istilah harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) yang tentu saja tidak terlalu memiliki konsekuensi kewajiban pemerintah untuk mengamankannya. Harga dasar akhirnya sama sekali hilang dalam Inpres No. 2/2005 karena telah berganti dengan istilah harga pembelian pemerintah (HPP) (Arifin, 2006).

Berbagai kebijakan dengan istilah yang berbeda tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu menjaga stabilitas harga beras dalam negeri. Stabilitas harga tersebut dilakukan agar tidak terjadi kenaikan harga secara umum yang dapat

menyebabkan inflasi. Hal ini dikarenakan beras memiliki andil yang cukup besar dalam laju inflasi di Indonesia.

Inflasi sendiri didefinisikan sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus-menerus (Boediono, 2001). Dalam ilmu

ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat

disebabkan oleh berbagai faktor.

Inflasi merupakan dilema yang menghantui perekonomian setiap negara. Perkembangannya yang terus meningkat memberikan hambatan pada

pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik. Banyak kajian membahas inflasi, tidak hanya cakupan regional, nasional, namun juga internasional. Inflasi

cenderung terjadi pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia dengan struktur perekonomian bercorak agraris. Kegagalan atau guncangan dalam


(11)

negeri akan menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik dan berakhir dengan inflasi pada perekonomian (Nugraha dan Basuki, 2012).

Di Indonesia, perkembangan inflasi menunjukkan fluktuasi yang bervariasi dari waktu ke waktu dengan berbagai faktor penyebab yang berbeda. Diawali dengan pengalaman pahit hyper inflation yang melanda perekonomian nasional pada pertengahan dasarwarsa 1960-an, dimana inflasi mencapai tingkat yang sangat tinggi hingga mencapai 650%.

Inflasi pada masa Orde Lama ini terutama disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian dibiayai Bank Indonesia dalam bentuk pencetakan uang. Akibatnya, terjadi ekspansi moneter yang cukup besar. Peningkatan produksi rill agak terhambat yang disebabkan oleh pengeluaran pemerintah yang sangat besar, sementara di sisi lain kurang didukung oleh penerimaan pemerintah yang memadai (Dwiantoro, 2004).

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 berimbas pada perekonomian tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi mencapai kontraksi dengan pertumbuhan minus 13,3%, hyperinflasi juga terjadi di Indonesia dengan tingkat inflasi 77, 63%. Selanjutnya pada tahun 1999, laju inflasi sudah dapat dikendalikan seiring dengan membaiknya kondisi moneter di Indonesia menjadi sebesar 2,01%. Memasuki tahun 2000 stabilitas moneter cukup terkendali dengan tingkat inflasi sebesar 9,35% dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%. Dalam perkembangannya inflasi terus berfluktuasi setiap tahun hingga mencapai angka tertinggi sebesar 17,11% pada tahun 2005 dan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,1%.


(12)

Inflasi dalam perkembanganya menunjukkan angka yang meningkat mencapai di atas 11% pada akhir 2008 dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di angka sekitar 5,3%. Inflasi sempat menurun hingga kisaran 2-3% pada 2009, tetapi kemudian meningkat lagi pada level 6,96% di akhir tahun 2010. Selanjutnya, perkembangan di akhir tahun 2010, selama triwulan I 2011 inflasi masih berada di level yang tinggi, mendekati 7%, yang antara lain dipicu oleh tingginya inflasi

volatile food dan inflasi inti. Laju inflasi Indonesia sepanjang tahun 2011 tercatat sebesar 3,79 % dimana perekonomian tumbuh sebesar 6,5%. Inflasi yang terjadi memberikan dampak yang cukup serius terhadap perekonomian di Indonesia (Nugroho dan Basuki, 2012).

Oleh sebab itu, pemerintah melalui beberapa Departemen dan Bank Indonesia berusaha mengendalikan inflasi melalui kewenangan dan instrumen kebijakan yang dimiliki, sehingga masalah tersebut dapat di atasi seperti yang diharapkan (Susila dan Munadi, 2008).

B.Identifikasi Masalah

1. Pengaruh Harga Eceran Beras (HEB) terhadap Inflasi di Indonesia Inflasi diartikan sebagai suatu gejala dimana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus-menerus. Venieris dan Sebold mendefinisikan inflasi sebagai suatu kecenderungan meningkatnya tingkat harga umum secara terus menerus sepanjang waktu (a sustained tendency for the general level of prices to rise over time). Berdasarkan definisi tersebut, kenaikan tingkat harga umum (general price level) yang terjadi sekali waktu saja, tidaklah dapat dikatakan


(13)

sebagai inflasi (Nanga, 2005). Menurut Nopirin (2000) inflasi adalah proses kenaikan harga umum barang-barang secara terus menerus.

Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang sangat penting dan selalu menjadi perhatian utama, baik bagi pemerintah, pelaku ekonomi, maupun masyarakat secara umum. Sebagai indikator ekonomi makro, laju inflasi tidak hanya akan berpengaruh terhadap kinerja pasar barang, tetapi juga akan berpengaruh langsung terhadap pasar uang dan pasar modal. Dinamika pasar barang merupakan salah satu faktor kunci dalam menentukan laju inflasi. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pasar produk makanan (pangan) merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam penentuan laju inflasi. Sebagai contoh, pada periode 2002 - 2007, rata-rata kontribusi kelompok

makanan terhadap laju inflasi mencapai lebih dari 50% (Bank Indonesia, 2007).

Komoditas pangan yang memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap laju inflasi di Indonesia adalah beras yaitu sebesar 24 persen (BPS, 2012). Di

Indonesia, beras memberikan peran hingga sekitar 45 persen dari total food intake, atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi

masyarakat Indonesia. Hal tersebut relatif merata di seluruh Indonesia,

maksudnya secara nutrisi, ekonomi, sosial dan budaya, beras tetap merupakan pangan terpenting bagi sebagian besar masyarakat (Arifin, 2003). Selain itu, dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling tinggi. Oleh karena itu, inflasi nasional sangat dipengaruhi oleh perubahan harga beras.


(14)

Kontribusi beras terhadap asupan kalori penduduk Indonesia yang besar menyebabkan konsumsi akan beras menjadi tinggi. Tingkat konsumsi beras Indonesia tahun 2011 sebesar 139,15 kg/kapita. Salah satu yang menyebabkan tingginya jumlah konsumsi beras adalah tingginya jumlah penduduk Indonesia yaitu mencapai 240 juta jiwa. Di sisi suplai, produksi beras relatif tetap. Hal ini menyebabkan kelebihan permintaan beras. Permintaan beras yang tinggi

sementara suplai beras tetap, akan menyebabkan harga beras di pasaran meningkat (Fadillah, 2007). Lonjakan harga beras yang tinggi ini akan mengakibatkan laju inflasi meningkat (Setneg, 2011).

Dengan demikian dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu pengendalian terhadap harga kelompok makanan terutama beras. Peran kelompok pangan terhadap laju inflasi

diperkirakan akan masih dominan, paling tidak untuk 5–10 tahun mendatang. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang dilakukan untuk menjaga kestabilan harga beras agar tidak mempengaruhi laju inflasi.

2. Pengaruh Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap Inflasi di Indonesia

Pangan merupakan kebutuhan yang penting dalam kehidupan sehari-hari demi mempertahankan hidup. Pangan harus tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dari dua sektor yakni (1) sumber produksi dalam negeri dan (2) sumber impor dari luar negeri.


(15)

Komoditas pangan yang mendapat perhatian khusus adalah beras, dengan alasan : (1) lebih 50 persen sumber kalori dikonsumsi rata-rata penduduk Indonesia berasal dari beras, (2) teknologi tinggi dalam memproduksi padi sudah cukup tersedia, (3) produksi dapat ditingkatkan tanpa banyak bergantung pada subsidi atau intervensi pemerintah, (4) beras adalah komoditas pangan yang normal, yang ditunjukkan dengan respon permintaan yang terus meningkat dengan adanya kenaikan pendapatan dan (5) harga beras secara politis sangat penting, yaitu sebagai salah satu indikator situasi perkonomian negara, khususnya dari segi peranannya sebagai komoditas tunggal dalam perhitungan inflasi (Amang dan Sawit, 2001).

Kontribusi beras tehadap asupan kalori penduduk Indonesia yang besar menyebabkan konsumsi akan beras menjadi tinggi dan permintaan pun meningkat. Permintaan terhadap beras yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras yang memadai di dalam negeri. Pada saat ini, jumlah permintaan dan penawaran beras di Indonesia relatif berimbang, dalam arti jumlah yang tersedia dan jumlah yang dikonsumsi berselisih tipis.

Keadaan tersebut sangat riskan, karena apabila terjadi goncangan permintaan atau penawaran, harga beras akan mudah berfluktuasi. Disamping itu, cadangan beras untuk pengamanan ketersedian oleh pemerintah dilakukan dengan kebijakan impor. Instrumen impor inilah yang digunakan dalam mengantisipasi perilaku pasar agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang justru memperkeruh pasar seperti aksi-aksi spekulasi.


(16)

Mengandalkan pengamanan stok beras kepada impor merupakan problematika tersendiri. Misalnya, pada saat terjadi perubahan cuaca seperti sekarang ini, membuat negara eksportir beras mengamankan cadangan berasnya sendiri dengan menutup aktivitas eskpor. Dengan demikian, Indonesia tidak lagi dapat

menggantungkan diri pada instrumen impor. Indonesia harus mampu meningkatkan produktivitas beras dalam negeri. Salah satunya dengan memberikan insentif dan fasilitas tambahan kepada petani agar petani lebih bergairah, terutama jaminan harga jual padi pada musim panen.

Kebijakan insentif yang dilakukan adalah berupa penetapan harga dasar (floor price) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed price) yang wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price) dengan tujuan memberikan

perlindungan kepada konsumen.

Kebijakan harga dasar atau lebih dikenal sekarang sebagai harga pembelian pemerintah (HPP) memiliki beberapa tujuan. Pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim panceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga.

Dalam hal pengendalian laju inflasi, tujuan ketiga dari kebijakan HPP mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah akan mempengaruhi harga beras di pasaran. Gejolak harga beras yang terjadi nantinya akan mempengaruhi laju inflasi.


(17)

Selain itu juga, kebijakan HPP sendiri secara tidak langsung akan mempengaruhi laju inflasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan Bank Indonesia yang menghitung dampak dari kenaikan kebijakan harga terhadap inflasi. Hasil yang didapat adalah jika tarif dasar listrik (TDL) dinaikkan 10 % maka akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,2 %. Sementara jika harga pembelian pemerintah (HPP) dinaikkan 10 % maka akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,1 5. Dengan demikian secara tidak langsung kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP), baik untuk gabah maupun beras terbukti dapat memicu inflasi.Oleh karena itu, pemerintah perlu bertindak hati-hati dalam menetapkan kebijakan HPP.

3. Pengaruh Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap Harga Eceran Beras (HEB) di Indonesia

Peran utama dari analisis kebijakan pangan adalah untuk merancang sebuah program yang menghubungkan antara masalah lingkungan mikro dan makro, yang bertujuan untuk pertumbuhan lebih cepat. Empat tujuan dasar kebijakan pangan nasional adalah : 1) efisiensi pertumbuhan di sektor pertanian, 2) peningkatan distribusi pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan, 3) kecukupan gizi bagi seluruh penduduk, dan 4) menjamin ketahanan pangan yang memadai ketika gagal panen, bencana alam atau pasokan makanan dan harga dunia yang tidak stabil (Timmer, et.al. 1983).

Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga kategori yaitu, kebijakan harga, kebijakan makroekonomi dan


(18)

kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas (misalnya, beras).

Kebijakan harga merupakan salah satu kebijakan yang terpenting dibanyak negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and income policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilisasi harga, sedangkan dari segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberiaan suatu penyangga (support) atas harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Selama dua dekade terakhir, kebijakan harga yang menjadi perhatian utama pemerintah adalah kebijakan harga pangan yang terfokus pada komoditas beras (Mubyarto, 1989).

Salah suatu instrumen dari kebijakan harga beras adalah penetapan harga dasar (floor price) dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price). Kebijakan harga dasar lebih ditekankan pada produksi padi yang maksimal agar terpeliharanya stabilisasi harga beras di pasar. Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1969 dan dievaluasi setiap tahun, kecuali pada tahun 1998 dimana pemerintah menaikkan harga dasar sampai empat kali selama setahun.

Ketidakefektifan harga dasar gabah (HDG) membuat pemerintah mulai


(19)

transisi menuju pelepasan harga gabah ke pasar. Dalam Inpres No 9/2002, istilah harga dasar disandingkan dan dikaburkan dengan istilah harga dasar pembelian pemerintah (HDPP), yang tentu saja tidak terlalu memiliki konsekuensi kewajiban pemerintah untuk mengamankannya.

Harga dasar akhirnya sama sekali hilang dalam Inpres No 2/2005 karena telah berganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Kebijakan terbaru Inpres No 13/2005 hanya menyebut secara implisit, yaitu menjaga stabilitas harga beras dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah.

Kebijakan harga pembelian pemerintah tergolong sangat penting dan masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Harga pembelian pemerintah ditetapkan

pemerintah secara rasional dengan memperhatikan beberapa faktor, terutama tingkat keuntungan usahatani padi yang layak dan harga beras kualitas medium di pasar luar negeri.

Meskipun kebijakan harga tersebut telah berubah nama, tetapi tujuan dari kebijakan tersebut tetap sama yaitu menjamin harga di tingkat petani. Menurut BPS setiap kebijakan baru pemerintah yang diterbitkan dalam bentuk penetapan kenaikan HPP untuk gabah atau beras, secara tidak langsung dapat mendorong kenaikan harga beras di pasar. Adanya kenaikan HPP membuat petani secara psikologis berharap menjual gabah atau beras dengan harga lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pedagang membayar lebih mahal gabah atau beras tersebut sehingga harga jual beras dipasaran meningkat. Dengan kenaikan HPP ini diharapkan petani dapat menikmati hasil dari kebijakan tersebut, sehingga petani dapat hidup layak dengan pendapatan yang lebih baik (Kompas, 2011).


(20)

4. Efektifitas Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah

Beras merupakan komoditas pangan yang memiliki peran strategis dengan dimensi yang sangat luas dan kompleks. Sekitar 95% penduduk Indonesia masih mengandalkan beras sebagai komoditas pangan utama, sehingga ketersediaan dan distribusi beras serta keterjangkauan daya beli masyarakat merupakan issue sentral yang berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi nasional (Haryono, 2005). Sehubungan dengan hal itu, maka sudah menjadi tugas pemerintah dalam

menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan. Kebijakan harga merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahan pangan nasional.

Kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah adalah penetapan harga dasar gabah (floor price) dan kebijakan harga atas beras (ceiling price) yang juga disertai operasi pasar. Kebijakan harga dasar dimaksudkan untuk melindungi petani padi dari ancaman anjloknya harga yang lebih parah lagi karena kelebihan penawaran (excess supply) pada musim panen. Sedangkan kebijakan harga atas beras atau operasi pasar dimaksudkan untuk melindungi konsumen karena melambungnya harga eceran beras pada saat stok rumah tangga dan stok nasional menipis (Arifin, 2006).

Sejak tahun 2005, pemerintah mengakhiri instrumen kebijakan harga dasar gabah (HDG) menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Walaupun memiliki tujuan yang sama, namun HDG dan HPP berbeda dalam fungsi dan operasionalisasinya. Harga dasar gabah (HDG) adalah instrumen insentif harga yang digunakan pada masa pemerintahan orde baru sampai dengan tahun 2002. Adanya HDG


(21)

pemerintah berusaha untuk melindungi petani dari anjloknya harga pada musim panen dengan membeli kelebihan pasokan dalam jumlah besar, sehingga petani ketika menjual gabahnya akan mendapatkan harga minimal tidak dibawah HDG yang ditetapkan. Dengan kata lain ada konsekuensi kewajiban dari pemerintah untuk menjamin harga gabah petani diatas HDG.

Sementara untuk HPP pemerintah tidak menjamin bahwa harga gabah yang diterima petani selalu berada diatas HPP yang ditetapkan. Artinya, pemerintah tidak melakukan upaya ekstensifikasi dalam penyerapan gabah petani untuk mengamankan harga sebagaimana seperti penetapan HDG (KRKP, 2012).

Berbicara mengenai masalah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pada tanggal 1 April 2007 yang lalu pemerintah telah meluncurkan inpres baru mengenai HPP terhadap Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) dan Harga Beras. Melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2007 tentang kebijakan

perberasan, pemerintah memutuskan kenaikan HPP gabah kering panen di petani dari Rp 1.730 menjadi Rp 2.000. Sementara itu, HPP gabah kering giling dari Rp 2.280 naik menjadi Rp 2.575, serta HPP beras di gudang Bulog dari Rp 3.500 naik menjadi Rp 4.000.

Mengkritisi kebijakan tersebut, pertama perlu kita cermati mengenai tanggal penerbitan Inpres tersebut. Pada tanggal 1 April tersebut kebanyakan petani sudah melakukan pemanenan, sehingga petani yang sudah terlanjur menjual hasil

panennya tidak ikut menikmati kenaikan HPP tersebut. Selanjutnya adalah

masalah yang berkaitan dengan perangkat kebijakan yang harus disiapkan terlebih dahulu. Dalam beberapa pengamatan di lapang di beberapa Kabupaten di Jawa


(22)

Timur, masih ditemukan harga yang jauh di bawah HPP. Rendahnya harga yang diterima petani tersebut disebabkan lemahnya informasi harga yang diterima petani. Akses informasi harga seharusnya menjadi perangkat penting yang harus disediakan pemerintah dalam meluncurkan kebijakan harga tersebut.

Kedua, rendahnya harga yang diterima petani juga diakibatkan pengaruh peran tengkulak dalam mempermainkan harga pembelian di tingkat petani. Lemahnya akses modal yang dimiliki petani kita juga turut serta menyebabkan petani

menyegerakan menjual hasil panennya, karena untuk memenuhi kebutuhan modal untuk tanam berikutnya. Apabila petani mampu melakukan tunda jual, maka petani dapat menunggu hingga harga yang jatuh saat panen raya bisa kembali menjadi normal.

Peran pemerintah selaku pengambil kebijakan seharusnya mampu menyediakan perangkat kelembagaan yang lebih bagus, khususnya dalam menangani

pemasaran hasil panen padi dari petani. Pemerintah seharusnya juga menyiapkan skim kepada petani untuk memberikan bantuan modal usaha agar petani bisa melakukan tunda jual dari hasil panennya (Nugroho, 2008)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasikan adalah :

1. Bagaimanakah pola hubungan kausalitas harga beras dan inflasi di Indonesia ? 2. Bagaimanakah pola hubungan kausalitas harga pembelian pemerintah (HPP)

dan inflasi di Indonesia ?

3. Bagaimanakah pola hubungan kausalitas harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga beras di Indonesia ?


(23)

4. Bagaimanakah efektifitas kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan oleh pemerintah di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis hubungan kausalitas harga beras dengan inflasi di Indonesia. 2. Menganalisis hubungan kausalitas harga pembelian pemerintah (HPP) dengan

inflasi di Indonesia.

3. Menganalisis hubungan kausalitas harga pembelian pemerintah (HPP) dengan harga beras di Indonesia.

4. Menganalisis keefektifan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan yang lebih efektif dan efisien yang terkait dengan laju inflasi dan determinannya.

2. Sebagai bahan referensi maupun informasi serta perbandingan bagi penelitian sejenis.


(24)

I. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A.Tinjauan Pustaka

1. Kebijakan Harga

Peran utama dari analisis kebijakan pangan adalah untuk merancang sebuah program yang menghubungkan antara masalah lingkungan mikro dan makro, yang bertujuan untuk pertumbuhan lebih cepat. Empat tujuan dasar kebijakan pangan nasional adalah: (1) efisiensi pertumbuhan di sektor pertanian, (2) peningkatan distribusi pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan, (3) kecukupan gizi bagi seluruh penduduk, dan (4) menjamin ketahanan pangan yang memadai ketika gagal panen, bencana alam atau pasokan makanan dan harga dunia yang tidak stabil (Timmer, et.al. 1983).

Salah satu kebijakan pangan yang mendapat perhatian khusus adalah kebijakan harga beras. Kebijakan harga beras di Indonesia pertama kali diajukan secara komprehensif dan operasional oleh Mears dan Afiff pada tahun 1969. Falsafah dasar kebijakan tersebut berisikan beberapa komponen sebagai berikut: (1) menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, (2)

perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan yang layak antara harga dasar dan harga maksimum untuk


(25)

(4) hubungan harga yang wajar antara daerah maupun terhadap harga internasional (Amang (1989) dalam Kusumaningrum (2008) ).

Instrumen kebijakan harga yang dilakukan pemerintah adalah penetapan harga dasar (floor price) dengan tujuan untuk meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed price) yang wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price) dengan tujuan memberikan perlindungan kepada konsumen.

Bulog adalah lembaga yang dirancang pemerintah untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga, membeli beras pada tingkat tertentu yang telah ditetapkan

pemerintah, serta penyaluran beras untuk masyarakat rawan pangan dan emerjensi (Amang dan Sawit, 2001). Kebijakan harga dasar yang ditetapkan pemerintah dalam memperbaiki tingkat harga yang diterima petani, setelah tahun 1999 relatif kurang efektif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan harga dasar yang ditetapkan pemerintah jauh diatas harga paritas impor, sehingga membanjirnya beras impor yang masuk Indonesia.

Ketidakefektifan harga dasar gabah (HDG) membuat pemerintah mulai

menggagas harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) yang tidak lain merupakan transisi menuju pelepasan harga gabah ke pasar. Dalam Inpres No 9/2002, istilah harga dasar disandingkan dan dikaburkan dengan istilah harga dasar pembelian pemerintah (HDPP), yang tentu saja tidak terlalu memiliki konsekuensi kewajiban pemerintah untuk mengamankannya. Harga dasar akhirnya sama sekali hilang dalam Inpres No 2/2005 karena telah berganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP) (Arifin, 2006).


(26)

2. Pengertian Inflasi

Inflasi didefinisikan sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus-menerus (Boediono, 2001). Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.

3. Landasan Teori

a. Teori permintaan

Nopirin (2000) menyatakan bahwa permintaan adalah berbagai kombinasi harga dan jumlah yang menunjukkan jumlah sesuatu barang yang ingin dan dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu. Jumlah yang diminta tidak hanya bergantung pada harga saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti : pendapatan, selera, perkiraan, banyaknya konsumen serta harga barang lain. Sehingga secara matematis dapat dibentuk fungsi sebagai berikut:

Qd : F (Ht, Hl, I, C, T)

Keterangan : Qd : jumlah barang yang diminta Ht : harga barang yang ingin dibeli Hl : harga barang lain


(27)

I : pendapatan RT C : jumlah penduduk T : selera

Menurut Sukirno (2004) teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Permintaan akan suatu barang disebabkan oleh banyak faktor. Di antara faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah harga barang itu sendiri, harga barang lain, pendapatan, corak distribusi pendapatan dalam masyarakat, cita rasa, jumlah penduduk dan ramalan mengenai keadaan dimasa datang. Dalam analisis ekonomi dianggap bahwa permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh tingkat harganya. Oleh karena itu, dalam teori

permintaan yang terutama dianalisis adalah hubungan antara jumlah permintaan suatu barang dengan harga barang tersebut dan faktor-faktor lain dianggap tetap (cateris paribus).

Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya. Hukum permintaan menyatakan makin rendah harga suatu barang makan makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan terhadap barang tersebut. Gambaran mengenai jumlah barang yang diminta dengan harga barang tersebut dapat disajikan dalam bentuk kurva permintaan. Kurva permintaan adalah suatu kurva yang dapat menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta para pembeli. Bentuk kurva permintaan dapat dilihat pada gambar 1.


(28)

Gambar 1. Kurva Permintaan

Pada Gambar 1 kurva permintaan berbagai jenis barang pada umumnya menurun dari kiri atas ke kanan bawah. Kurva yang demikian disebabkan oleh sifat

hubungan antara harga dan jumlah yang diminta, yang mempunyai sifat hubungan yang terbalik. Kalau salah satu variabel naik (misalnya harga) maka variabel yang lain akan turun (misalnya jumlah yang diminta).

b. Teori Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi

P

E

F

3

G

H

Q D


(29)

barang. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.

Nopirin (2000) membagi inflasi ke dalam tiga kategori, yaitu :

1. Inflasi Merayap (Creeping Inflation), inflasi ini ditandai dengan harga-harga yang meningkat secara perlahan atau dapat disebut sebagai laju inflasi satu digit pertahun. Biasanya creeping inflation ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10%).

2. Inflasi Menengah (Galloping Inflation), merupakan inflasi yang ditandai

dengan kenaikan harga yang cukup besar (bisanya dua atau tiga digit per tahun) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari

minggu/bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi merayap.

3. Inflasi Tinggi (Hyperinflation),merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai 5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam, sehingga ingin ditukar dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja ( misalnya ditimbulkan oleh adanya perang) yang

dibelanjai/ditutup dengan mencetak uang.

Didalam teori kuantitas dijelaskan bahwa sumber utama inflasi adalah


(30)

masyarakatbertambah banyak. Teori kuantitas membedakan penyebab inflasi menjadi dua, yaitu:

Inflasi tarikan permintaan

Inflasi tarikan permintaan ( demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor

produksi meningkat.

Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.


(31)

Gambar 2. Inflasi tarikan permintaan

Pada Gambar 2 bermula dengan harga P1 dan output Q1, kenaikan permintaan total dari AD1 ke AD2 menyebabkan ada sebagian permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh penawaran yang ada. Akibatnya, harga menjadi naik menjadi P2 dan output naik menjadi QFE. Kenaikan AD2 selanjutnya menjadi AD3

menyebabkan harga naik menjadi P3 sedang output tetap pada QFE. Kenaikan harga ini disebabkan oleh adanya inflationary gap. Proses kenaikan harga ini akan berjalan terus sepanjang permintaan total terus naik.

Sementara itu peningkatan permintaan yang terjadi pada faktor produksi menyebabkan harga faktor produksi pun naik. Kenaikan harga barang dan jasa serta kenaikan harga faktor produksi inilah yang merupakan inflasi bagi

perekonomian. Sumber terjadinya peningkatan permintaan semesta ini ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi.

P3

Q3

0 Q1 QFE

AD3

AD2

AD1

Q P2


(32)

Golongan monetaris menganggap hal itu sebagai akibat peningkatan ekspansi jumlah uang beredar. Sedangkan golongan non-monetaris, yaitu neo-keynesian tidak menyangkal pendapat tersebut, tetapi ditambahkan bahwa peningkatan permintaan semesta dapat terjadi karena adanya peningkatan dalam pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah atau sektor netto, walaupun tidak disertai oleh peningkatan jumlah uang beredar.

Inflasi desakan biaya

Menurut Nopirin (2000) inflasi desakan biaya ( cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran. Proses terjadinya inflasi desakan biaya dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Inflasi desakan biaya P

P3

Q1 Q2 0

Q P1

P2

AS1 AS2 AS3

AD


(33)

Bermula pada harga P1 dan QFE, kenaikan biaya produksi (disebabkan karena berhasilnya tuntutan kenaikan upah oleh serikat buruh ataupun kenaikan harga bahan bakau industri) akan menggeser kurva penawaran total dari AS1 menjadi AS2. Konsekuensi dari kejadian itu harga naik menjadi P1. Kenaikan harga

selanjutnya akan menggeser kurva AS menjadi AS3, harga naik dan produksi turun menjadi Q2. Proses ini akan berhenti apabila AS tidak lagi bergeser ke atas. Proses kenaikan harga yang sering diikuti dengan menurunnya produksi ini disebut dengan inflasi desakan biaya (cosh push inflation).

c. Teori Elastisitas Transmisi

Analisis elastisitas transmisi harga adalah analisis yang menggambarkan sejauh mana dampak perubahan harga suatu barang disatu tingkat pasar terhadap perubahan harga barang itu di tenpat/tingkat pasar lainnya (Hasyim, 2012). Rumus elastisitas transmisi harga adalah :

Et =

atau Et =

Pf dan Pr berhubungan linear dalam persamaan Pf = a + b Pr, sehingga

= b atau

, dan Et = Keterangan :

Et = Elastisitas transmisi harga a = Intersep (titik potong) b = Koefisien regresi atau slope Pf = Harga di tingkat produsen Pr = Harga di tingkat konsumen


(34)

Kriteria pengukuran yang digunakan pada analisis transmisi harga adalah (Hasyim, 2012):

(1) jika Et = 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen sama dengan laju perubahan harga ditingkat produsen. Hal ini berarti bahwa pasar yang dihadapi oleh seluruh pelaku tataniaga adalah bersaing sempurna, dan sistem tataniaga yang terjadi sudah efisien,

(2) jika Et < 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih kecil dibanding dengan laju perubahan harga di tingkat produsen. Keadaan ini bermakna bahwa pemasaran yang berlaku belum efisien dan pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga adalah bersaing tidak sempurna, yaitu terdapat kekuatan monopsoni atau oligopoli,

(3) jika Et > 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih besar dibandingkan dengan laju perubahan harga di tingkat produsen. Pasar yang dihadapi oleh seluruh pelaku pasar adalah pelaku tidak sempurna, yaitu terdapat kekuatan monopoli dan oligopoli dalam sistem pemasaran tersebut serta sistem pemasaran yang berlaku belum efisien.

4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Timmer (1975) dalam Kusumaningrum (2008) menyimpulkan bahwa di pulau Jawa 31 persen dari biaya hidup penduduknya dikeluarkan untuk mengkonsumsi beras dan sebagai barang upah. Dua hal ini menjadikan beras sebagai salah satu

cost push inflation factor. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari banyak segi beras tetap merupakan komoditas yang sangat strategis bagi bangsa


(35)

Nopirin (2000) menyatakan bahwa permintaan adalah berbagai kombinasi harga dan jumlah yang menunjukkan jumlah sesuatu barang yang ingin dan dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu. Jumlah yang diminta tidak hanya bergantung pada harga saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti: pendapatan, selera, perkiraan, banyaknya konsumen serta harga barang lain.

Kusumaningrum (2008) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

penawaran beras di Indonesia dipengaruhi oleh produksi beras Indonesia, jumlah beras untuk benih atau susut, stok beras awal tahun Bulog, jumlah impor dan ekpor beras Indonesia. Sedangkan permintaan beras untuk konsumsi dipengaruhi secara nyata oleh harga beras eceran, harga jagung, jumlah penduduk dan

permintaan beras untuk konsumsi tahun sebelumnya. Permintaan beras untuk konsumsi tidak responsif terhadap harga beras eceran dan harga jagung baik jangka pendek maupun jangka panjang. Perubahan harga beras eceran dan harga jagung berdampak kecil terhadap perubahan permintaan beras, karena nilai elatisitasnya lebih kecil dari satu. Sedangkan permintaan beras untuk konsumsi responsif terhadap jumlah penduduk Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Nopirin (2000) menyatakan bahwa inflasi merupakan proses kenaikan harga umum barang-barang secara terus menerus. Kenaikan yang terjadi sekali saja meskipun dengan persentase yang cukup besar bukanlah merupakan inflasi. Boediono (2001) menyatakan bahwa inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga-harga dari satu


(36)

atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain.

Susila dan Munadi (2008) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara elastisitas harga eceran gula terhadap perubahan biaya distribusi dengan

kontribusi harga eceran terhadap inflasi menyimpulkan bahwa, setiap kenaikan 1% biaya distribusi akan menyebabkan kenaikan inflasi di 45 kota dengan kisaran 0,001% - 0,003%. Dampak yang paling besar ditimbulkan oleh kenaikan harga tingkat petani, disusul oleh kenaikan harga impor. Setiap kenaikan harga tingkat petani sebesar 1%, akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0,005%. Untuk harga impor, kenaikan harga sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0,003%.

Widiarsih (2012), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa harga dasar gabah berpengaruh signifikan terhadap inflasi bahan makanan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Sedangkan jumlah impor beras memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel inflasi bahan makanan dalam jangka pendek namun tidak untuk jangka panjang sedangkan dalam jangka panjang jumlah produksi padi berpengaruh signifikan terhadap inflasi bahan makanan.

Widarjono (2007) menyatakan bahwa kausalitas adalah hubungan dua arah. Dengan demikian, jika terjadi kausalitas di dalam perilaku ekonomi maka di dalam model ekonometrika ini tidak terdapat variabel independen, semua variabel merupakan variabel dependen.


(37)

Nugroho dan Basuki (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa produk domestik bruto (PDB), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan kurs memiliki hubungan positif terhadap laju inflasi dengan nilai koefisien masing-masing sebesar 0,011 dan 1,08. Sedangkan jumlah uang yang beredar memiliki hubungan negatif terhadap laju inflasi dengan nilai koefisien 0,001.

Dwiantoro (2004) dalam penelitiannya mengenai Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle-Granger Error Correction Model menyimpulkan bahwa inflasi dalam jangka panjang dipengaruhi oleh pendapatan nasional riil secara negatif, inflasi harapan secara positif dan kebijakan devaluasi mata uang Rupiah terhadap US$ secara negatif.

Arifin, dkk (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang terjadi transmisi harga yang baik dari harga beras konsumen ke harga gabah petani. Transmisi harga dari gabah ke konsumen lebih cepat tejadi,

maksudnya perubahan harga gabah petani cepat sekali mempengaruhi harga beras konsumen. akan tetapi, harga beras konsumen tidak direspons secara cepat oleh harga gabah petani.

B. Kerangka Pemikiran

Salah satu komoditas tanaman pangan yang cukup baik dalam perekonomian di Indonesia dan mempunyai peranan yang sangat strategis adalah beras. Hal ini dikarenakan beras memberikan peran hingga sekitar 45 persen dari total food intake, atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia (Arifin, 2003).


(38)

Sehubungan dengan hal tersebut, maka sudah menjadi tugas pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan. Ketahanan pangan sendiri diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Mantau dan Bahtiar, 2010). Kebijakan harga gabah dan beras merupakan salah satu instrumen penting dalam

menciptakan ketahanan pangan nasional (Widiarsih, 2012).

Kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah adalah berupa kebijakan harga dasar (floor price) dan harga atas eceran tertinggi (ceiling price). Harga dasar (floor price) bertujuan untuk melindungi petani dari kemerosotan harga,

sementara harga atas eceran tertinggi (ceiling price) bertujuan untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga yang terlalu tinggi.

Kebijakan harga dasar atau lebih dikenal sekarang sebagai HPP memiliki beberapa tujuan. Pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim panceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga.

Dalam menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pemerintah mengahadapi dilema yang cukup besar. Hal ini dikarenakan disatu sisi kebijakan HPP yang ditetapkan pemerintah bertujuan untuk melindungi petani dan menjaga stabilitas harga agar tidak terjadi inflasi. Namun, disisi lain kebijakan HPP yang ditetapkan pemerintah akan menyebabkan harga beras dipasaran meningkat dan memberikan andil terhadap inflasi. Adanya kenaikan HPP membuat petani secara


(39)

psikologis berharap menjual gabah atau beras dengan harga lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pedagang membayar lebih mahal gabah atau beras tersebut sehingga harga jual beras dipasaran meningkat, peningkatan harga tersebut ditakutkan agar menyebabkan inflasi.

Selain kebijakan HPP, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan harga beras meningkat, yaitu jumlah produksi, stok beras, biaya produksi, distribusi dan perubahan iklim. Jumlah produksi dan stok beras yang terbatas menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan beras yang tinggi akibat tingginya jumlah penduduk di Indonesia. Keadaan tersebut akan mengakibatkan harga beras di pasaran meningkat. Sementara itu, biaya produksi yang tinggi, distribusi dan perubahan iklim yang tidak baik akan mengakibatkan terjadinya penurunan penawaran beras sehingga permintaan beras tidak terpenuhi. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya lonjakan harga beras di pasar. Lonjakan harga beras yang terjadi dan cenderung meningkat akibat faktor-faktor tersebut akan

mengakibatkan kenaikan laju inflasi (Setneg, 2011).

Inflasi sendiri diartikan sebagai suatu gejala dimana tingkat harga umum

mengalami kenaikan secara terus – menerus. Venieris dan Sebold mendefinisikan inflasi sebagai suatu kecenderungan meningkatnya tingkat harga umum secara terus menerus sepanjang waktu (a sustained tendency for the general level of prices to rise over time). Berdasarkan definisi tersebut, kenaikan tingkat harga umum (general price level) yang terjadi sekali waktu saja, tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi (Nanga, 2005).


(40)

Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang sangat penting dan selalu menjadi perhatian utama, baik bagi pemerintah, pelaku ekonomi, maupun masyarakat secara umum. Tinggi rendahnya inflasi di Indonesia di sebabkan oleh kontribusi dari berbagai aspek, yaitu inflasi inti, inflasi administered dan inflasi

volatile food. Inflasi inti adalahkomponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan dan penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang) dan ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen.

Inflasi administered adalah Inflasi yang dominan dipengaruhi

oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan. Sedangkan inflasi volatile food adalah Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga

komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

Dalam laju inflasi umum, kelompok bahan pangan (volatile food) memberikan kontribusi terbesar dibandingkan jenis pengeluaran rumah tangga lainnya yaitu sebesar 1,85 persen. Sedangkan makanan jadi, minuman dan rokok sebesar 0,65 persen, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,54 persen, kesehatan 0,51 persen, pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,15 persen, transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,23 persen,dan penurunan harga yang ditunjukkan oleh penurunan indeks kelompok sandang sebesar 0,08 persen.


(41)

Dalam kelompok bahan pangan, beras memiliki andil terbesar dalam laju inflasi di Indonesia yaitu sebesar 24 persen (BPS, 2012). Hal ini dikarenakan beras

merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia yang sulit digantikan dengan makanan pokok lain. Konsumsi beras yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan jumlah permintaan beras

meningkat. Permintaan yang tinggi sedangkan penawaran menurun menyebabkan gejolak harga beras dipasaran meningkat. Peningkatan harga beras di pasaran dapat memicu kenaikan harga bahan pokok lainnya yang dapat menyebabkan inflasi.

Selain itu juga, kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah berupa kebijakan HPP secara tidak langsung akan mempengaruhi laju inflasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan Bank Indonesia yang menghitung dampak dari kenaikan kebijakan harga terhadap inflasi. Hasil yang didapat adalah jika tarif dasar listrik (TDL) dinaikkan 10 persen maka akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,2 persen. Sementara jika harga pembelian pemerintah (HPP) dinaikkan 10 persen maka akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,1 persen. Dengan demikian secara tidak langsung kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pembelian

pemerintah (HPP), baik untuk gabah maupun beras terbukti dapat memicu inflasi.

Dengan demikian dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu pengendalian terhadap harga kelompok bahan pangan. Dengan mempertimbangan prospek perekonomian Indonesia yang relatif belum menunjukkan perubahan yang substansial, peran kelompok pangan terhadap laju inflasi diperkirakan akan masih dominan, paling tidak untuk 5–10


(42)

tahun mendatang.

Gambar 4. Kerangka pemikiran

Keterangan : : Garis yang diteliti

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Diduga terdapat hubungan kausalitas dua arah antara harga beras, HPP (GKP dan GKG) dan inflasi di Indonesia.

Kebijakan

HPP Inflasi Inti

Inflasi

administere

INFLASI Jumlah

produksi

Inflasi

volatile food

Harga Beras Biaya

produksi Distribusi

Perubahan iklim Stok beras

Beras GKP GKG


(43)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansi-instansi tertentu dalam bentuk data publikasi yang berhubungan dengan penelitian.

Data berkala (time series) adalah data yang dikumpulkan menurut untaian waktu tertentu yang menggambarkan perkembangan dan pertumbuhan suatu kegiatan.

Harga beras adalah harga beras yang berlaku di pasar pada tahun tertentu, diukur dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/Kg).

Harga pembelian pemerintah (HPP) adalah harga pembelian oleh Bulog yang ditetapkan oleh pemerintah, diukur dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/Kg).

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, kelebihan likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang.

Inflasi volatile food adalah inflasi yang dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor


(44)

perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

Interpolasi data adalah metode menghasilkan titik-titik data baru dalam suatu jangkauan dari suatu set diskret data-data yang diketahui.

Uji Stasioner adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui bahwa data time series

tidak dipengaruhi oleh waktu.

Uji Kointegrasi adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui hubungan jangka panjang antara peubah-peubah.

Kausalitas Granger adalah alat analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh masa lalu dari suatu variabel terhadap kondisi variabel lain pada masa sekarang, diukur tanpa satuan.

Elastisitas transmisi harga adalah analisis yang menggambarkan sejauh mana dampak perubahan harga suatu barang di satu tingkat pasar terhadap perubahan harga barang itu di tempat atau tingkat pasar lainnya

B.Lokasi Penelitian dan Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan di Indonesia yang mencakup seluruh wilayah negara Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan rangkaian waktu (Time series) dari tahun 1986-2011 dan data bulanan yaitu sebanyak 60 bulan, dari 2007M01-2011M12. Data bulanan digunakan adalah data inflasi volatile food, harga eceran beras dan harga pembelian


(45)

pemerintah (HPP). Data sekunder yang diperoleh berasal dari Badan Pusat

Statistik Republik Indonesia, Bank Indonesia, Badan Urusan Logistik dan instansi lain yang berkaitan dengan penelitian ini serta untuk melengkapi data yang

diperlukan, digunakan data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu, buku, artikel, siklus internet, maupun perpustakaan serta publikasi-publikasi lain yang relevan. Sementara data sekunder bulanan HPP didapat melalui metode interpolasi data dengan menggunakan program Eviews.

C. Metode Analisis

1. Sumber data

Data yang digunakan adalah data inflasi umum, harga eceran beras (HEB) dan harga pembelian pemerintah (HPP) tahunan dari tahun 1986-2011, serta data inflasi volatile food, harga eceran beras (HEB) dan harga pembelian pemerintah (HPP) bulanan dari bulan Januari 2007-Desember 2011(60 bulan). Data inflasi umum tahunan dan inflasi volatile food bulanan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan harga eceran beras (HEB) dan harga pembelian pemerintah (HPP) tahunan bersumber dari Badan Urusan Logistik (Bulog). Data harga eceran beras (HEB) bulanan bersumber dari Bulog, sedangkan data HPP bulanan dihitung dengan menggunakan metode interpolasi data dengan program

E-views. Interpolasi data dilakukan untuk menampilkan data bulanan yang berasal dari data tahunan.


(46)

Data inflasi yang digunakan adalah inflasi umum dan inflasi volatile food. Inflasi umum digunakan untuk melihat apakah harga beras dan HPP mempengaruhi inflasi secara umum dan data inflasi volatile food digunakan untuk melihat apakah harga beras dan HPP mempengaruhi inflasi volatile food (inflasi bahan pangan) secara khusus. Data harga eceran beras yang digunakan adalah harga eceran beras medium, karena beras medium banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data HPP yang digunakan adalah harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen dan gabah kering giling (HGKP dan HGKG). Data-data yang digunakan harus di uji stasioner terlebih dahulu untuk melihat apakah data-data tersebut valid dan dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Setelah data-data tersebut stasioner, maka data-data tersebut dilakukan uji kointegrasi dan uji kausalitas. Uji kausalitas dilakukan untuk melihat apakah terjadi hubungan kausalitas dua arah antar variabel.

2. Analisis Kausalitas dan Integrasi Pasar

a. Uji Stasioner

Stasioner merupakan suatu kondisi data time series yang jika rata-rata, varian dan

covarian dari peubah-peubah tersebut seluruhnya tidak dipengaruhi oleh waktu (Juanda dan Junaidi, 2012). Metode pengujian stasioneritas dan akar unit yang akan digunakan disini adalah metode Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Phillips Perron (PP).

Prosedur untuk mengetahui data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik ADF atau PP dengan nilai kritis distribusi Mac Kinnon. Nilai


(47)

statistik ADF atau PP ditunjukkan oleh nilai t statistik. Jika nilai absolut statistik ADF atau PP lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati

menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai statistik ADF atau PP lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Model persamaannya sebagai berikut:

ΔYt = a0 + Yt-1+ ∑ ΔYt-1+1+ et ... (1)

Keterangan:

Y : variabel yang diamati ΔYt : Yt – Yt-1

T : Trend waktu

b. Uji Kointegrasi

Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara peubah-peubah yang meskipun secara individual tidak stasioner, tetapi kombinasi linier antara peubah tersebut dapat menjadi stasioner (Juanda dan Junaidi, 2012). Uji kointegrasi dapat digunakan untuk mengetahui apakah dua atau lebih variabel ekonomi atau

variabel finansial memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang. Apabila data variabel-variabel telah stasioner artinya antara variabel tersebut terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang.

Menurut Gujarati (1995) dalam Fajar (2010), jika dua variabel memiliki

kointegrasi, maka regresi dihasilkan tidak akan spurious dan hasil dari uji t dan uji F akan valid. Untuk melihat apakah antar variabel terkointegrasi dapat dilihat stasioner atau tidaknya data. Jika data tersebut stasioner maka antar variabel terkointegrasi. Model kointegrasinya sebagai berikut:


(48)

It = �0 + �1 HBEt + �2 HPPt + et...(2) IVFt = �0 + �1 HBEt + �2 HPPt + et...(3)

Keterangan:

It = Inflasi

IVFt = Inflasi volatile food

HBEt = Harga beras

HPPt = Harga Pembelian Pemerintah

c. Uji Kausalitas Engel Granger

Uji kausalitas pertama kali dikemukakan oleh Engel dan Granger. Tujuan kausalitas Granger adalah meneliti apakah A mendahului B, ataukah B mendahului A, ataukah hubungan antara A dan B timbal balik. Hubungan kausalitas dapat terjadi antar dua variabel, jika suatu variabel y, yaitu inflasi dipengaruhi oleh variabel x, yaitu harga beras. Uji kausalitas Granger bertujuan untuk melihat pengaruh masa lalu dari suatu variabel terhadap kondisi variabel lain pada masa sekarang. Dengan kata lain, uji kausalitas Granger dapat

digunakan untuk melihat apakah peramalan y dapat lebih akurat dengan

memasukan lag variabel x. Bentuk umum dari model kausalitas Granger adalah sebagai berikut:

It = a0 + ∑ + ∑ + D1 + D2 + ut ...(4a) HBEt = c0 + ∑ + ∑ + D1 + D2 + vt ... .(4b) It = a0 + ∑ + ∑ + ∑ D1 + D2 + ut... .(5a) HGKPt = d0 + ∑ + ∑ + ∑ D1 + D2


(49)

HGKGt = g0 + ∑ + ∑ + ∑ + D1 + D2 + vt ... (5c) HBEt = a0 + ∑ + ∑ + ∑ D1 + D2 + ut...(6a) HGKPt = d0 + ∑ + ∑ + ∑ D1 + D2 + vt...(6b) HGKGt = g0 + ∑ + ∑ + ∑ D1

+ D2 + vt ...(6c) IVFt = a0 + ∑ + ∑ + D1 + D2 + ut ...(7a) HBEt = c0 + ∑ + ∑ + D1 + D2 + vt ... .(7b) IVFt = a0 + ∑ + ∑ + ∑ D1

+D2 + ut...(8a) HGKPt = d0 + ∑ + ∑ + ∑ D1

+ D2 + vt ... (8b) HGKGt = g0 + ∑ + ∑ + ∑ + D1 +

D2 + vt ... (8c) HBEt = a0 + ∑ + ∑ + ∑ D1 + D2 + ut...(9a) HGKPt = d0 + ∑ + ∑ + ∑ D1 + D2 + vt...(9b) HGKGt = g0 + ∑ + ∑ + ∑ D1


(50)

Keterangan: It = Inflasi umum IVFt = Inflasi volatile food

HBEt = Harga Beras Eceran

HGKPt = Harga Pembelian Pemerintah Untuk Gabah Kering Penen HGKGt = Harga Pembelian Pemerintah Untuk Gabah Kering Giling t = Waktu

D1 = variabel dummy, 0 = sebelum krisis 1998 1 = setelah krisis 1998

D2 = variabel dummy, 0 = sebelum kebijakan HPP 2005 1 = setelah kebijakan HPP 2005 ut vt = Diasumsikan tidak saling berkorelasi atau dipandang

mempunyai sifat swarsa resik (White noise)

t-j = Operasi kelambanan (lag /masa lalu)

Pada uji kausalitas Granger ada empat kemungkinan hasil yang diperoleh yaitu: 1. jika ∑ ≠ 0 dan ∑ = 0, maka terdapat kausalitas satu arah dari

inflasi ke harga beras dan harga pembelian pemerintah, dan dari harga beras ke harga pembelian pemerintah,

2 jika ∑ = 0 dan ∑ ≠ 0, maka terdapat kausalitas satu arah dari harga beras dan harga pembelian pemerintah ke inflasi, dan dari harga pembelian pemerintah ke harga beras,

3. jika ∑ = 0 dan ∑ = 0 , maka tidak terdapat hubungan kausalitas antara harga beras, harga pembelian pemerintah dan inflasi,

4. jika ∑ ≠ 0 dan ∑ ≠ 0, maka terdapat kausalitas dua arah antara harga beras, harga pembelian pemerintah dan inflasi.


(51)

3. Analisis Elastisitas Transmisi Harga

Analisis elastisitas transmisi harga adalah analisis yang menggambarkan sejauh mana dampak perubahan harga suatu barang disatu tingkat pasar terhadap perubahan harga barang itu di tempat atau tingkat pasar lainnya (Hasyim, 2012). Rumus elastisitas transmisi harga adalah:

Et =

atau Et =

Pf dan Pr berhubungan linear dalam persamaan Pf = a + b Pr, sehingga = b atau , dan Et =

dimana : Et = Elastisitas transmisi harga a = Intersep (titik potong) b = Koefisien regresi atau slope Pf = Harga di tingkat produsen Pr = Harga di tingkat konsumen

Kriteria pengukuran yang digunakan pada analisis transmisi harga adalah (Hasyim, 2012):

(1) jika Et = 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen sama dengan laju perubahan harga ditingkat produsen. Hal ini berarti bahwa pasar yang dihadapi oleh seluruh pelaku tataniaga adalah bersaing sempurna, dan sistem tataniaga yang terjadi sudah efisien,

(2) jika Et < 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih kecil dibanding dengan laju perubahan harga di tingkat produsen. Keadaan ini bermakna bahwa pemasaran yang berlaku belum efisien dan pasar yang


(52)

dihadapi oleh pelaku tataniaga adalah bersaing tidak sempurna, yaitu terdapat kekuatan monopsoni atau oligopoli,

(3) jika Et > 1, maka laju perubahan harga di tingkat produsen. Pasar yang dihadapi oleh seluruh pelaku pasar adalah pelaku tidak sempurna, yaitu terdapat kekuatan monopoli dan oligopoli dalam sistem pemasaran tersebut serta sistem pemasaran yang berlaku belum efisien.


(53)

IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN

A.Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia

Inflasi volatile food merupakan inflasi yang berasal dari sekelompok komoditas bahan pangan. Inflasi volatile food memberikan kontribusi yang cukup besar dalam laju inflasi di Indonesia. Secara empiris harga komoditas pangan (volatile foods) mempunyai peranan penting dalam pengendalian inflasi. Porsi

sumbangannya yang cukup signifikan terhadap inflasi dan responnya yang cepat terhadap berbagai shocks membuatnya layak untuk dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Permintaan konsumsi komoditas pangan yang telah menjadi kebutuhan pokok cenderung stabil sehingga gejolak harganya lebih dipengaruhi oleh shock di sisi penawaran seperti siklus panen, bencana, dan distribusi (Prastowo, dkk, 2008).

Komoditas bahan pangan yang memberikan kontribusi yang besar dalam laju inflasi volatile food adalah beras. Hal ini dikarenakan beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Kontribusi beras terhadap asupan kalori penduduk Indonesia yang besar menyebabkan konsumsi akan beras menjadi tinggi. Tingkat konsumsi beras Indonesia tahun 2011 sebesar 139,15 kg/kapita. Salah satu yang menyebabkan tingginya jumlah konsumsi beras adalah tingginya jumlah penduduk Indonesia yaitu mencapai 240 juta jiwa. Permintaan terhadap beras yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras


(54)

yang memadai di dalam negeri. Hal ini dapat mengakibatkan harga beras

meningkat dan terjadi inflasi. Perkembangan kontribusi beras terhadap laju inflasi nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan kontribusi beras terhadap laju inflasi nasional tahun 2006-2011

Sumber : BPS, Diolah

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kontribusi beras terhadap laju inflasi nasional mengalami fluktuasi. Kontribusi beras terhadap laju inflasi nasional tertinggi terjadi pada tahun 2006, hal ini disebabkan karena adanya kenaikan harga beras. Harga beras pada tahun 2006 naik karena adanya pembatasan impor beras, kenaikan HPP beras, produksi beras yang relatif stagnan dan musim kemarau berkepanjangan juga memicu kenaikan harga beras. Tahun 2007 kontribusi beras terhadap laju inflasi nasional mengalami penurunan, hal ini dikarenakan terjaganya pasokan dan distribusi beras. Selain itu, peningkatan produksi beras dan impor beras yang dilakukan oleh Bulog juga membantu terjaganya kebutuhan beras dalam negeri, sehingga harga beras masih bisa dikendalikan.

Produksi beras yang membaik pada tahun 2008 dan 2009, plus tekad dan keputusan kebijakan untuk tidak melakukan impor beras ketika harga pangan Tahun Kontribusi beras (%) Inflasi (%)

2006 1,63 17,11

2007 0,18 6,60

2008 0,05 6,59

2009 0,14 11,06

2010 0,23 2,78


(55)

global melonjak liar, ternyata mampu mengurangi kontribusi kenaikan harga beras terhadap laju inflasi. Tahun 2010, kontribusi beras terhadap laju inflasi nasional mengalami peningkatan kembali sebesar 0,09% dari tahun 2009. Kenaikan

kontribusi ini diakibatkan instabilitas harga pangan yang terjadi. Instabilitas harga pangan yang terjadi dikarenakan musim basah yang terlalu panjang dan

mempengaruhi pola distribusi bahan pangan. Tahun 2011, kontribusi beras terhadap laju inflasi nasional mengalami penurunan, ini dikarenakan harga beras yang mulai sedikit mengalami kestabilan.

Oleh karena itu, dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu pengendalian terhadap harga kelompok makanan terutama beras. Dengan mempertimbangan prospek perekonomian Indonesia yang relatif belum menunjukkan perubahan yang substansial, peran kelompok pangan terhadap laju inflasi diperkirakan akan masih dominan, paling tidak untuk 5–10 tahun mendatang. Perlu adanya kebijakan yang efektif dalam menjaga stabilitas harga pangan yang terjadi.

B.Hubungan kebijakan HPP dan Harga Eceran Beras (HEB)

Kebijakan harga merupakan salah satu kebijakan yang terpenting dibanyak negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and income policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilisasi harga, sedangkan dari segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberiaan suatu


(56)

penyangga (support) atas harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Selama dua dekade terakhir, kebijakan harga yang menjadi perhatian utama pemerintah adalah kebijakan harga pangan yang terfokus pada komoditas beras (Mubyarto, 1989).

Salah suatu instrumen dari kebijakan harga beras adalah penetapan harga dasar (floor price) dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price). Kebijakan harga dasar lebih ditekankan pada produksi padi yang maksimal agar terpeliharanya stabilisasi harga beras di pasar. Kebijakan harga dasar atau sekarang disebut dengan HPP memiliki tujuan yaitu menjamin harga di tingkat petani.

Menurut BPS setiap kebijakan baru pemerintah yang diterbitkan dalam bentuk penetapan kenaikan HPP untuk gabah atau beras, secara tidak langsung dapat mendorong kenaikan harga beras di pasar. Adanya kenaikan HPP membuat petani secara psikologis berharap menjual gabah atau beras dengan harga lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pedagang membayar lebih mahal gabah atau beras tersebut sehingga harga jual beras dipasaran meningkat. Perkembangan HPP dan harga eceran beras dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa harga kebijakan HPP baik untuk gabah kering panen dan gabah kering giling serta harga eceran beras meningkat setiap tahunnya. Harga pembelian pemerintah (HPP) memiliki pengaruh terhadap harga eceran beras. Sepanjang tahun 2005 sampai 2011 kebijakan HPP untuk gabah kering panen mempengaruhi harga eceran beras sebesar 0,3%. Sementara itu, HPP


(57)

untuk gabah kering giling dari tahun 2005 sampai 2011 mempengaruhi harga eceran beras sebesar 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase HPP baik untuk gabah kering panen maupun gabah kering giling dalam mempengaruhi harga eceran beras adalah hampir sama setiap tahunnya.

Selain itu, dapat dilihat pula bahwa transmisi harga dari harga gabah ke beras konsumen lebih cepat terjadi, artinya perubahan harga gabah yang terjadi akan cepat mempengaruhi harga beras dipasaran. Akan tetapi perubahan harga beras konsumen (HEB) tidak direspon secara baik oleh harga gabah. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata HPP untuk gabah kering panen Rp 218,33 lebih kecil dari rata-rata harga eceran beras yaitu Rp 771,33. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan HPP yang lebih efektif agar petani dapat menikmati hasil dari tujuan kebijakan tersebut.

Tabel 2. Perkembangan HPP (gabah kering panen dan gabah kering giling) dan harga eceran beras tahun 2005-2011

Tahun HPP Gabah Kering Panen (Rp)

HPP Gabah Kering Giling (Rp)

Harga Eceran Beras (Rp)

2005 1330 1740 3.475

2006 1730 2250 4.462

2007 1730 2575 5.157

2008 2200 2800 5.484

2009 2400 3000 6.011

2010 2640 3300 7.097

2011 2640 3300 8.103


(58)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Hubungan kausalitas yang terjadi antara inflasi dan harga eceran beras (HEB) adalah satu arah, yaitu dari inflasi ke harga eceran beras (HEB). Inflasi mempengaruhi harga eceran beras (HEB) pada α 5% yaitu sebesar 0,04735. Artinya, kenaikan 1% inflasi akan mempengaruhi harga eceran beras (HEB) sebesar 0,04735%.

2. Hubungan kausalitas yang terjadi antara inflasi dan harga pembelian pemerintah (HPP) baik untuk gabah kering panen maupun gabah kering giling adalah satu arah, yaitu inflasi mempengaruhi HPP. Inflasi

mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) pada α 1% yaitu sebesar 0,00347%. Artinya, kenaikan 1% inflasi akan mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) sebesar 0,00347%. Sedangkan inflasi mempengaruhi harga

pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (HGKG) pada α 1% yaitu sebesar 0,00098. Artinya, kenaikan 1% inflasi akan mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (HGKG) sebesar 0,00098%.


(59)

3. Hubungan kausalitas yang terjadi antara harga pembelian pemerintah (HPP) baik untuk gabah kering panen maupun gabah kering giling dan dan harga eceran beras (HEB) adalah satu arah, yaitu HEB mempengaruhi HPP. Harga eceran beras (HEB) mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) pada α 1% yaitu sebesar 0,00084. Artinya, kenaikan 1% harga eceran beras (HEB) akan mempengaruhi harga pembelian

pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) sebesar 0,00084%. Sedangkan harga eceran beras (HEB) mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (HGKG) pada α 5% yaitu sebesar 0,04690. Artinya, kenaikan 1% harga eceran beras (HEB) akan mempengaruhi harga

pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (HGKG) sebesar 0,04690%.

4. Hubungan kausalitas yang terjadi antara inflasi volatile food (IVF)dan harga eceran beras (HEB) adalah satu arah, yaitu dari inflasi volatile food (IVF) ke harga eceran beras (HEB). Inflasi volatile food (IVF) mempengaruhi harga eceran beras (HEB) pada α 10% yaitu sebesar 0,07856. Artinya, kenaikan 1% inflasi volatile food akan mempengaruhi harga eceran beras (HEB) sebesar 0,07856%.

5. Kebijakan HPP yang dilakukan oleh pemerintah masih belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari hasil elastisitas transmisi harga antara harga eceran beras (HEB) dan harga pembelian pemerintah (HGKP dan HGKG) yang kurang <1 (Et < 1). Artinya bahwa perubahan harga di tingkat konsumen yang terjadi tidak direspon secara baik oleh harga di tingkat produsen, sehingga petani tidak merasakan dampak dari kenaikan harga yang terjadi.


(60)

B. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang ada, maka saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan HPP yang ditetapkan, karena kebijakan tersebut belum mampu menjelaskan fungsinya dengan baik. Sistem informasi dan pengawasan yang kurang baik perlu diperbaiki, agar kebijakan tersebut dapat benar-benar memberikan dampak yang baik bagi kesejahteraan petani. Kebijakan multikualitas perlu diterapkan dalam kebijakan HPP, hal ini akan berdampak pada peningkatan kualitas gabah/beras dan harga yang diterima oleh petani.

2. Bagi peneliti sejenis, diharapkan agar dapat melakukan penelitian lanjutan mengenai efektifitas kebijakan HPP dan dampaknya bagi kesejahteraan petani, agar penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Amang, Beddu dan Sawit, M. Husein. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. IPB Press: Bogor

Arifin, Bustanul. 2003. Pembangunan Pertanian. Universitas Lampung. Lampung Arifin, Bustanul. 2006. Kebijakan Pertanian. Universitas Lampung. Lampung Arifin, Bustanul, Suparmin dan Sugiyono. 2006. Analisis Tataniaga Beras

Indonesia. Jurnal Sosio Ekonomika, Volume 12, No. 2 Bank Indonesia. 2007. Laporan Angka Inflasi Di Indonesia

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Inflasi Indonesia Tahun 1982 - 2011. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2012. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Badan Urusan Logistik. 2012. Perkembangan Harga Eceran Beras Medium di Indonesia Tahun 1982 – 2011. Badan Urusan Logistik. Jakarta Boediono. 2001. Ekonomi Moneter. BPFE Yogyakarta : Yogyakarta

Buana, Nanga. 2005. Makro Ekonomi : Teori, Masalah dan Kebijakan. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Dwiantoro, Dedy. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle – Granger Error Correction Model. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, Volume. 5, No. 2


(1)

109

3. Hubungan kausalitas yang terjadi antara harga pembelian pemerintah (HPP) baik untuk gabah kering panen maupun gabah kering giling dan dan harga eceran beras (HEB) adalah satu arah, yaitu HEB mempengaruhi HPP. Harga eceran beras (HEB) mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) pada α 1% yaitu sebesar 0,00084. Artinya, kenaikan 1% harga eceran beras (HEB) akan mempengaruhi harga pembelian

pemerintah untuk gabah kering panen (HGKP) sebesar 0,00084%. Sedangkan harga eceran beras (HEB) mempengaruhi harga pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (HGKG) pada α 5% yaitu sebesar 0,04690. Artinya, kenaikan 1% harga eceran beras (HEB) akan mempengaruhi harga

pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (HGKG) sebesar 0,04690%.

4. Hubungan kausalitas yang terjadi antara inflasi volatile food (IVF)dan harga eceran beras (HEB) adalah satu arah, yaitu dari inflasi volatile food (IVF) ke harga eceran beras (HEB). Inflasi volatile food (IVF) mempengaruhi harga eceran beras (HEB) pada α 10% yaitu sebesar 0,07856. Artinya, kenaikan 1% inflasi volatile food akan mempengaruhi harga eceran beras (HEB) sebesar 0,07856%.

5. Kebijakan HPP yang dilakukan oleh pemerintah masih belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari hasil elastisitas transmisi harga antara harga eceran beras (HEB) dan harga pembelian pemerintah (HGKP dan HGKG) yang kurang <1 (Et < 1). Artinya bahwa perubahan harga di tingkat konsumen yang terjadi tidak direspon secara baik oleh harga di tingkat produsen, sehingga petani tidak merasakan dampak dari kenaikan harga yang terjadi.


(2)

110

B. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang ada, maka saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan HPP yang ditetapkan, karena kebijakan tersebut belum mampu menjelaskan fungsinya dengan baik. Sistem informasi dan pengawasan yang kurang baik perlu diperbaiki, agar kebijakan tersebut dapat benar-benar memberikan dampak yang baik bagi kesejahteraan petani. Kebijakan multikualitas perlu diterapkan dalam kebijakan HPP, hal ini akan berdampak pada peningkatan kualitas gabah/beras dan harga yang diterima oleh petani.

2. Bagi peneliti sejenis, diharapkan agar dapat melakukan penelitian lanjutan mengenai efektifitas kebijakan HPP dan dampaknya bagi kesejahteraan petani, agar penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Amang, Beddu dan Sawit, M. Husein. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. IPB Press: Bogor

Arifin, Bustanul. 2003. Pembangunan Pertanian. Universitas Lampung. Lampung Arifin, Bustanul. 2006. Kebijakan Pertanian. Universitas Lampung. Lampung Arifin, Bustanul, Suparmin dan Sugiyono. 2006. Analisis Tataniaga Beras

Indonesia. Jurnal Sosio Ekonomika, Volume 12, No. 2 Bank Indonesia. 2007. Laporan Angka Inflasi Di Indonesia

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Inflasi Indonesia Tahun 1982 - 2011. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2012. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Badan Urusan Logistik. 2012. Perkembangan Harga Eceran Beras Medium di Indonesia Tahun 1982 – 2011. Badan Urusan Logistik. Jakarta Boediono. 2001. Ekonomi Moneter. BPFE Yogyakarta : Yogyakarta

Buana, Nanga. 2005. Makro Ekonomi : Teori, Masalah dan Kebijakan. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Dwiantoro, Dedy. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle – Granger Error Correction Model. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, Volume. 5, No. 2


(4)

Fadillah, Arief. 2007. Dampak Peningkatan Harga Beras Terhadap Pola Pengeluaran Pangan Pada Beberapa Strata Pendapatan.(Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan

Fajar, Muhammad. 2010. Analisis Kausalitas Antara Inflasi dan Tingkat

Pengangguran Terbuka ( Studi Kasus Indonesia 1980 M12 s.d. 2010 ). Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Jakarta

Haryono, Dwi. 2005. Dampak Kebijakan Peningkatan Tarif Impor Beras terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral : Suatu Pendekatan Model Keseimbangan Umum. Jurnal Sosio Ekonomika 11(1). Lampung Hasyim, Ali Ibrahim. 2012 . Tataniaga Pertanian. Universitas Lampung: Bandar

Lampung.

Irawan. 2005. Analisis Ketersediaan Beras Nasional : Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis. Prociding Mulitifungsi Pertanian. Bogor Hutabarat, Akhis R. 2005. Determinan Inflasi Indonesia. Occasional Paper

(OP/06/2005). Bank Indonesia

Juanda, Bambang dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu : Teori dan Aplikasi. IPB Press : Bogor

Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga Dasar serta Implikasinya Terhadap Daya Saing Beras Indonesia di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan Pertanian, 1 (4) : 315-330

Kompas. 2011. Kenaikan HPP, Gabah dan Beras Memicu Inflasi.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2011/01/07/21000872/Kenai kan.HPP.Gabah.dan.Beras.Memicu.Inflasi. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2012


(5)

Kompasiana. 2012. Inefektifitas Inpres Gabah/Beras Tahun 2012.

http://politik.kompasiana.com/2012/05/02/inefektifitas-inpres-gabahberas-tahun-2012-460095.html. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2012

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. 2009. Kebijakan Harga Beras di Asia : Kajian di 5 Negara Asia. KRKP. Bogor

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. 2012. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Kesejahteraan Petani. Policy Paper

Kusumaningrum, Ria. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras Di Indonesia. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor

Mantau, Zulkifli dan Bahtiar. 2010. Kajian Kebijakan Harga Pangan Non-Beras dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Litbang, 29 (2). Mubyarto. 1998. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.

Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. BPFE Yogyakarta : Yogyakarta

Nugroho, Primawan W. dan Basuki, Maruto U. 2012. Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia periode 2000.1 – 2011.4. Diponegoro Journal Of Economics, Volume 1No. 1. Semarang

Prastowo, Nugroho J., Yanuarti, Tri, dan Depari, Yuni. 2008. Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi. Working Paper . Bank Indonesia

Sekretariat Negara. 2011. Inflasi dan Kenaikan Harga Beras.

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id =5171&Itemid=29. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2012


(6)

Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT Rajawali Grafindo Persada : Jarkarta

Sukirno, Sadono. 2004. Ekonomi Mikro. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Susila, R. Wayan dan Munadi, Ernawati. 2008. Analisis Keterkaitan Harga Gula Eceran, Sistem Distribusi dan Laju Inflasi. Jurnal Informatika Pertanian, Volume 17, No. 1.

Timer, C. P., Falcon, W. P. dan Pearson, S. R. 1983. Food Policy Analysis. John Hopkins University Press. London

Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika : Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Ekonisia Universitas Islam Indonesia : Yogyakarta

Widiarsih, Dwi. 2012. Pengaruh Sektor Komoditi Beras Terhadap Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, Tahun II No. 6