Analisis Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras Terhadap Ketahanan Pangan Sumatera Utara

(1)

ANALISIS HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP)

BERAS TERHADAP KETAHANAN PANGAN

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH: LISA CHINTHIA

080304019 AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Ketua Komisi Pembimbing

(DR. Ir. Satia Negara L, MEc) NIP : 196304021997031001

Anggota Komisi Pembimbing

(Ir. Sinar Indra Kesuma G, MSi) NIP :196509261993031002

ANALISIS HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP)

BERAS TERHADAP KETAHANAN PANGAN

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH: LISA CHINTHIA

080304019 AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh:

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

RINGKASAN

Lisa Chinthia (080304019) dengan judul skripsi “Analisis Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras Terhadap Ketahanan Pangan Sumatera

Utara”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 di bawah bimbingan Bapak DR. Ir. Satia Negara L, MEc dan Bapak Ir. Sinar Indra Kesuma G, MSi.

Penelitian ini bertujuan untuk, (1) Untuk menganalisis perbedaan peningkatan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara; (2) Untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap harga jual beras; (3) Untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap konsumsi beras; (4) Merumuskan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras untuk menguntungkan produsen dan konsumen.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Sample T Test (Uji T Satu Sampel) untuk mengetahui perbedaan peningkatan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara, menggunakan analisis regresi linier sederhana untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap harga jual beras dan untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap konsumsi beras, dan menggunakan analisis deskriptif untuk merumuskan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras untuk menguntungkan produsen dan konsumen.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil rata-rata harga aktual GKP dan beras lebih besar dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP dan beras yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai inpres yang dikeluarkan di


(4)

Sumatera Utara, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mempunyai hubungan yang positif terhadap harga jual beras di tingkat petani yaitu apabila HPP meningkat maka harga jual beras juga meningkat, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mempunyai hubungan yang negatif terhadap konsumsi beras yaitu apabila HPP meningkat maka konsumsi beras di masyarakat menurun. Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah memberikan keuntungan kepada petani selaku produsen dengan menaikkan HPP sebesar 10-15% setiap tahunnya dan bagi masyarakat luas sebagai konsumen dibantu melalui subsidi dan operasi pasar.

Kata Kunci : Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Gabah Kering Panen


(5)

RIWAYAT HIDUP

LISA CHINTHIA lahir di Kisaran pada tanggal 17 Juli 1990. Anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Alm. H. Serma Bachtiar Idris dan Ibu Maria Christine. Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah pada tahun 1994–1996 TK Methodist 2 Kisaran, tahun 1996–2002 SD Methodist 2 Kisaran, tahun 2002–2005 SLTP Diponegoro, tahun 2005–2008 SMA Negeri 2 Kisaran, dan pada tahun 2008 diterima sebagai mahasiswa di program studi Agribisnis, Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB. Pada masa pendidikan penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dan pernah menjabat sebagai anggota divisi Keuangan IMASEP periode 2011-2012. Tahun 2012, penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Rawang Pasar VI, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan mulai 5 Juli hingga 31 Juli 2011.

Pada akhir masa studi penulis melakukan penelitian lapangan dengan topik penelitian “Analisis Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras Terhadap Ketahanan Pangan Sumatera Utara”, yang kemudian topik tersebut menjadi judul skripsi dibawah bimbingan Bapak DR. Ir. Satia Negara L, MEc dan Bapak Ir. Sinar Indra Kesuma G, MSi.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan nikmat dan karunia-Nya serta kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lengkap. Skripsi berjudul “Analisis Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras Terhadap Ketahanan Pangan Sumatera Utara” ini dibimbing oleh Bapak DR. Ir. Satia Negara L, MEc dan Bapak Ir. Sinar Indra Kesuma G, MSi.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing, Bapak DR. Ir. Satia Negara L, MEc dan Bapak Ir. Sinar Indra Kesuma G, MSi, yang telah membimbing penulis dari awal hingga akhir dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, yakni, Ayahanda Alm. H. Serma Bachtiar Idris dan Ibunda Maria Christine, serta kepada saudara kandung penulis, Cici Mutia Ningrum yang telah memberikan dukungan, semangat, materi, dan doa kepada penulis.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis pribadi.

Medan, Desember 2012


(7)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka ... 10

2.2 Landasan Teori ... 17

2.3 Kerangka Pemikiran... 20

2.4 Hipotesis Penelitian ... 21

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pemilihan Lokasi ... 22

3.2 Metode Penentuan Observasi ... 23

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 23

3.4 Metode Analisis Data ... 24

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional ... 28

3.5.1 Defenisi ... 28

3.5.2 Batasan Operasional ... 29

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH 4.1 Gambaran Umum Wilayah Sumatera Utara... 30

4.2 Iklim Wilayah Sumatera Utara ... 31

4.3 Kondisi Penduduk Sumatera Utara ... 32

4.4 Perkembangan HPP GKP dan Beras ... 34

4.5 Perkembangan Harga Aktual GKP ... 36


(8)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Analisis Perbedaan Antara HPP GKP dan HPP

Beras dengan Harga Aktual GKP dan Beras ... 43 5.2 Hasil Analisis Dampak HPP Beras Terhadap Harga Jual

Beras di Tingkat Petani ... 49 5.3 Hasil Analisis Dampak HPP Beras Terhadap Konsumsi

Beras ... 51 5.4 Kebijakan HPP Beras agar dapat Menguntungkan Produsen

dan Konsumen ... 53

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan... 62 6.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Halaman

1 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi GKP di Sentra

Produksi Padi di Indonesia Tahun 2007-2011 22

2 Metode Pengumpulan Data 23

3 Perkembangan Kebijakan HPP GKP dan Beras oleh

Pemerintah Melalui Instruksi Presiden Tahun 2007-2011 34 4 Perkembangan Harga Gabah Kering Panen (GKP) di

Provinsi Sumatera Utara 36

5 Perkembangan Harga Beras di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2007-2011 39

6 Jumlah Konsumsi Beras untuk Sumatera Utara Tahun

2007-2011 41

7 Uji Beda Rata-rata Satu Sampel (GKP) 44

8 Uji Beda Rata-rata Satu Sampel (Beras) 45

9 Persentase Perbedaan HPP dengan Harga Aktual GKP dan


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Halaman

1 Penetapan Harga Dasar 18

2 Kerangka Pemikiran Penetapan HPP 20

3 Grafik Perkembangan HPP GKP dan Beras di Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2007-2011 35

4 Grafik Perkembangan Harga Rata-rata Aktual GKP di

Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2011 38 5 Grafik Perkembangan Harga Beras di Provinsi Sumatera

Utara Tahun 2007-2011 40

6 Grafik Perkembangan Konsumsi Beras di Provinsi


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan Halaman

1 Hasil Analisis Perbedaan Antara HPP GKP dan HPP Beras dengan Harga Aktual GKP dan Beras

2 Hasil Analisis Perbedaan Antara HPP GKP dan HPP Beras dengan Harga Aktual GKP dan Beras

3 Hasil Analisis Dampak HPP Beras Terhadap Harga Jual Beras di Tingkat Petani

4 Hasil Analisis Dampak HPP Beras Terhadap Konsumsi Beras 5 Produks i Padi di Indonesia menurut Provinsi Tahun 1992-2011 6 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 2007

Tentang Kebijakan Perberasan

7 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Perberasan

8 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Perberasan

9 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Perberasan

10 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011

Tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras yang Dikelola oleh Pemerintah dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim


(12)

RINGKASAN

Lisa Chinthia (080304019) dengan judul skripsi “Analisis Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras Terhadap Ketahanan Pangan Sumatera

Utara”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 di bawah bimbingan Bapak DR. Ir. Satia Negara L, MEc dan Bapak Ir. Sinar Indra Kesuma G, MSi.

Penelitian ini bertujuan untuk, (1) Untuk menganalisis perbedaan peningkatan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara; (2) Untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap harga jual beras; (3) Untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap konsumsi beras; (4) Merumuskan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras untuk menguntungkan produsen dan konsumen.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Sample T Test (Uji T Satu Sampel) untuk mengetahui perbedaan peningkatan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara, menggunakan analisis regresi linier sederhana untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap harga jual beras dan untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap konsumsi beras, dan menggunakan analisis deskriptif untuk merumuskan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras untuk menguntungkan produsen dan konsumen.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil rata-rata harga aktual GKP dan beras lebih besar dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP dan beras yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai inpres yang dikeluarkan di


(13)

Sumatera Utara, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mempunyai hubungan yang positif terhadap harga jual beras di tingkat petani yaitu apabila HPP meningkat maka harga jual beras juga meningkat, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mempunyai hubungan yang negatif terhadap konsumsi beras yaitu apabila HPP meningkat maka konsumsi beras di masyarakat menurun. Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah memberikan keuntungan kepada petani selaku produsen dengan menaikkan HPP sebesar 10-15% setiap tahunnya dan bagi masyarakat luas sebagai konsumen dibantu melalui subsidi dan operasi pasar.

Kata Kunci : Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Gabah Kering Panen


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, artinya sektor pertanian memegang peranan penting dalam tatanan pembangunan nasional. Peran yang diberikan sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang devisa negara dari sektor non migas, membuka kesempatan kerja. Besarnya jumlah penduduk yang masih bergantung pada sektor ini menunjukkan bahwa di masa mendatang sektor ini masih perlu ditingkatkan (Noor, 1996).

Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki potensi pertanian cukup besar dan sebagai lumbung pangan di wilayah Sumatera Bagian Barat. Hal ini dikarenakan agroklimat, sumber daya alam dan budaya serta masyarakatnya sebagian besar bekerja di sektor pertanian khususnya tanaman pangan. Disamping letak geografisnya yang sangat strategis, Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu potensi lokasi pemasaran produk-produk hasil pertanian.

Dalam perkembangannya sektor pertanian memberikan dampak positif dan keuntungan bagi masyarakat dan negara. Selain itu di dalam sektor pertanian itu sendiri terdapat persoalan-persoalan. Persoalan itu ditimbulkan oleh banyak faktor. Persoalan yang ada tidak hanya berlangsung dalam waktu dekat saja tetapi juga sering kali berkepanjangan. Dan bahkan persoalan yang sama selalu terjadi tiap tahunnya. Persoalan klasik pada komoditas beras berpangkal pada dua tujuan yang harus dicapai sekaligus tetapi terkadang cenderung bertolak belakang, yaitu mempertahankan harga yang layak di tingkat produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Persoalan bertambah pelik karena komoditas ini ditanam secara serentak pada musim tertentu,


(15)

sehingga berlebihnya pasokan pada saat panen dan langkanya pasokan pada saat paceklik menjadi fenomena rutin setiap tahun (Jamal et al, 2008).

Harga adalah sinyal dari pasar yang menunjukkan tingkat kelangkaan produk secara relatif, harga tinggi cenderung mengurangi konsumsi dan mendorong produksi (Eachern, 2001). Mengingat kenaikan harga jual beras mengakibatkan penurunan terhadap konsumsi beras. Sesuai dengan hukum permintaan, semakin tinggi harga yang ditawarkan maka jumlah permintaan akan semakin berkurang.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 241 juta jiwa. Pada tahun 2011, data BKP menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar 1,89 persen per tahun yaitu dari 139,5 kg/kapita pada tahun 2009 turun menjadi 136,85 kg/kapita pada tahun 2010 dan terus mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 134,24 kg/kapita. Dengan berkurangnya konsumsi beras di masyarakat maka ketahanan pangan akan terwujud.

Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia. Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling tinggi. Oleh karena itu inflasi nasional sangat dipengaruhi oleh perubahan harga beras. Beras mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan/stabilitasi politik nasional (Suryana et al, 2001).


(16)

persen dari biaya hidup penduduknya dikeluarkan untuk mengkonsumsi beras dan sebagai barang upah. Dua hal ini menjadikan beras sebagai salah satu cost push inflation faktor. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari banyak segi beras tetap merupakan komoditas yang sangat strategis bagi bangsa Indonesia, bahkan Amang dan Sawit (1999) menyatakan bahwa beras merupakan komoditi yang unik tidak saja bagi bangsa Indonesia tapi juga sebagian besar negara-negara di Asia.

Dari sisi produksi, perhatian pemerintah terhadap produksi komoditas tanaman pangan khusunya produksi padi nasional sudah lebih dari 50 tahun dengan melakukan berbagai program peningkatan produksi dimulai dengan adanya program Bimas, Insus dan Supra Insus. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah pada bidang produksi hingga saat ini adalah dengan intervensi harga melalui kebijakan harga output dan kebijakan harga input sejak tahun 1969. Kebijakan harga tersebut selain untuk memotivasi petani dalam berproduksi juga untuk meningkatkan pendapatan petani dengan menetapkan Harga Dasar Gabah (Jamal et al, 2008).

Industri padi adalah industri primer yang terus didorong pengembangannya oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan harga dan non harga. Namun di pihak lain, industri beras khususnya industri penggilingan padi belum kokoh dalam mendukung industri primer karena minimnya dukungan pemerintah. Hal inilah yang telah memengaruhi kualitas, harga, dan daya saing beras Indonesia. Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) dengan kualitas tunggal yang diterapkan selama 41 tahun berdampak negatif terhadap daya saing gabah/beras nasional. Pemerintah perlu segera mengoreksi kebijakan HPP beras


(17)

dari kualitas tunggal menjadi multikualitas. Kebijakan HPP multikualitas telah lazim diterapkan di sejumlah Negara penghasil padi di Asia. Kebijakan ini akan berdampak positif terhadap upaya peningkatan volume pengadaan beras/gabah dalam negeri oleh Bulog, dan dalam waktu bersamaan akan memperbaiki kualitas pengadaan beras dan penyalurannya, serta harga yang diterima produsen (Sawit, 2010).

Pada dasarnya kebijakan harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1969 (MT 1969/70), yang pada awalnya pendekatannya menggunakan Rumus Tani, dengan ketentuan dimana 1 kg padi = 1 kg pupuk urea (Amang dan Sawit, 1999) dan sekarang menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) adalah untuk menjaga petani bisa menikmati harga yang wajar. Lebih lanjut, kebijakan ini bertujuan agar produksi gabah/beras terus meningkat sehingga ketahanan pangan, khususnya beras baik di tingkat rumah tangga petani maupun nasional menjadi lebih mantap. Ketidakstabilan persediaan pangan dan atau berfluktuasinya harga pangan utama (terutama beras) di Indonesia telah terbukti dapat memicu munculnya kerusuhan nasional yang mengarah pada tindak kriminal (Rachman et al, 2002).

Penetapan harga dasar ditentukan oleh berbagai variabel dan formula. Formula yang dipakai berubah dari waktu ke waktu. Awalnya harga dasar mengacu pada rumus tani, yaitu harga per kilogram gabah kering simpan (GKS) sama dengan harga per kilogram urea. Sejak awal 1990-an, harga dasar ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya produksi, tingkat inflasi, dan harga beras di pasar internasional. Harga beras luar negeri dipakai sebagai patokan biaya oportunitas dan efisiensi pada industri beras nasional (Sawit, 2010).


(18)

Namun sejak tahun 2009, kelihatannya penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tidak lagi merujuk kepada harga beras internasional, tetapi sepenuhnya ditentukan oleh ongkos produksi yang cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya harga sarana produksi terutama pupuk, bahan bakar minyak (BBM) dan upah tenaga kerja. Akibatnya harga pembelian beras pemerintah pada tahun 2009 menjadi lebih tinggi (US$508/ton) dibandingkan dengan harga beras internasional dengan kualitas yang sama US$ 384/ton dengan (FOB Vietnam 25%). Pada tahun 2010, pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10% dan menyebabkan menurunnya daya saing beras berkualitas medium yang dihasilkan Indonesia (Sawit, 2010).

Kebijakan harga dasar gabah tergolong sangat penting dan masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Harga dasar gabah ditetapkan pemerintah secara rasional dengan memperhatikan beberapa faktor, terutama tingkat keuntungan usahatani padi yang layak dan harga beras kualitas medium di pasar luar negeri (Bangkok) yang mencerminkan harga efisien (Sudaryanto et al, 1999)

Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan (2011), mengatakan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) baik untuk gabah maupun beras, secara tidak langsung dapat mendorong kenaikan harga beras di pasar. Dengan HPP naik, petani secara psikologis berharap menjual gabah atau beras dengan harga lebih tinggi. Pedagang membayar lebih mahal, sehingga harga jual beras naik. Kenaikan harga dapat memicu inflasi. Kenaikan harga beras melalui HPP tidak menjadi soal sepanjang dinikmati petani dan terjangkau masyarakat.


(19)

Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) bertujuan agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitas. Penetapan HPP tersebut berdasarkan pertimbangan agar petani dapat menerima marjin keuntungan minimal 28 persen dari harga yang diterima. Marjin keuntungan tersebut dapat dipandang sebagai insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada petani untuk meningkatkan produktivitas. (Suryana dan Hermanto, 2003).

Kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah digunakan sebagai faktor pendorong bagi peningkatan produksi padi, namun secara statistik HPP gabah tidak mempengaruhi produksi padi, pengaruh yang nyata terhadap produksi adalah harga yang diterima petani. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan harga secara langsung tidak menjadi pemacu peningkatan produksi, akan tetapi memacu peningkatan harga di tingkat petani. Oleh karena itu, keberhasilan peningkatan produksi padi lebih ditentukan oleh harga yang diterima petani dibandingkan dengan kebijakan harga. Oleh karena itu perlu memperhatikan perubahan harga di petani dalam mengambil suatu keputusan yang berkenaan dengan prose produksi (Jamal et al, 2008).

Pemerintah mampu mengimplementasikan kebijakan HPP karena adanya Bulog sebagai lembaga pelaksananya. Lembaga BUMN ini membeli gabah atau beras 2-3 juta ton/tahun atau 6-8 persen dari total produksi beras nasional. Pengadaan beras atau gabah setara beras pada musim panen raya dapat mencapai 66 persen, musim panen gadu 30 persen, dan hanya 4 persen pada musim panen paceklik (Sawit, 2010).


(20)

Pengalaman dari negara produsen di Asia memberikan keyakinan bahwa hampir tidak ditemui lagi penetapan harga dasar atau HPP dengan kualitas tunggal atau medium yang berlaku sepanjang tahun. Mereka menetapkan tingkat harga dasar atau HPP yang berbeda karena perbedaan kualitas beras, yaitu menurut butir patah, musim panen, dan varietas seperti yang dilaporkan oleh FAO (FAO, 2008).

Indonesia harus mengimplementasikan kebijakan harga multikualitas dengan kombinasi kriteria sebagai berikut: (1) perbedaan kualitas beras menurut butir patah, yaitu beras patah 5% atau 25%, tanpa butir menir; (2) perbedaan musim panen, yaitu musim hujan atau musim kemarau; dan (3) perbedaan varietas, yaitu varietas unggul atau varietas lokal/aromatik. Tingkat HPP untuk beras dengan butir patah 5%, dipanen pada musim kemarau, dan dari varietas lokal/ aromatik ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan beras berkualitas medium (Sawit, 2010).

Sejak zaman kemerdekaan sampai saat ini, pembangunan di bidang pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) serta pembangunan di bidang kesehatan dan gizi selalu menjadi agenda setiap pemerintahan di Indonesia. Pembangunan di berbagai sektor tersebut pada hakekatnya merupakan faktor kunci dalam pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Ketahanan pangan dan perbaikan gizi selalu menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional, bahkan pada Repelita III pembangunan di bidang pangan dan gizi dituangkan dalam satu bab tersendiri.


(21)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara?

2. Bagaimana dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap harga jual beras?

3. Bagaimana dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap konsumsi beras?

4. Bagaimana kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras agar dapat menguntungkan produsen dan konsumen?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah untuk :

1. Untuk menganalisis perbedaan peningkatan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap harga jual beras.

3. Untuk mengevaluasi dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras terhadap konsumsi beras.

4. Merumuskan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras untuk menguntungkan produsen dan konsumen.


(22)

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian; 2. Sebagai bahan informasi bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraan

petani beserta keluarganya;

3. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam membuat suatu kebijakan tentang hpp beras yang layak;


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau ekonomi saja, tapi sudah merupakan komoditas politik dan keamanan. Suryana et al (2001) mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih tetap menghendaki adanya pasokan (penyediaan) dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu, terdistribusi secara merata dan dengan harga yang terjangkau. Kondisi itu menunjukan b ahwa beras masih menjadi komoditas strategis secara politis. Pengalaman tahun 1966 dan tahun 1998 menunjukan bahwa goncangan politik dapat berubah menjadi krisis politik yang dahsyat karena harga pangan melonjak tinggi dalam waktu singkat. Saat ini pertumbuhan jumlah penduduk setiap tahun mencapai berkisar 3 juta jiwa sehingga jika terjadi kekurangan beras maka akan terjadi kerawanan sebab beras merupakan makanan pokok bagi bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia mengalami laju pertumbuhan sekitar 1.49 persen per tahun sehingga permintaan beras akan selalu mengalami kenaikan (Krisnamurthi, 2002).

Beras merupakan makanan pokok, menjadi ujung tombak ketahanan pangan wilayah dan nasional. Peran itu sudah terjadi sejak berabad-abad lalu dan disistematisasikan pada masa pemerintahan orde baru. Dengan demikian, kepentingan ketahanan pangan sekaligus kepentingan tenaga kerja dan kependudukan bukan lagi menjadi isu ekonomi dan perdagangan semata, tetapi


(24)

menjadi wilayah politik ekonomi karena aspek strategis berbagai bidang itu menuntut peran pemerintah yang proporsional dan efektif

(Arifin dan Rachbini, 2001).

Beras telah menjadi komoditas strategis dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Selain sebagai sumber pangan pokok, beras juga menjadi sumber penghasilan bagi petani dan kebutuhan hidup sehari-hari bagi jutaan penduduk. Beras juga bisa dijadikan sebagai komoditas politik karena keberadaannya tidak dapat digantikan oleh komoditas lain dan harus dalam jumlah yang memadai. Tingginya permintaan pangan, terutama beras dan peningkatan jumlah penduduk juga menjadi masalah dalam pencapaiannya. Oleh karena itu, gerakan peningkatan produksi beras nasional melalui perubahan teknologi dan adanya inovasi harus didukung oleh semua daerah di seluruh Indonesia (Jamal et al, 2008).

Di Provinsi Sumatera Utara maupun secara Nasional beras merupakan komoditas strategis dalam kehidupan sosial ekonomi nasional, karena beras menjadi bahan makanan pokok sekitar 95% penduduk dan menjadi sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tangga petani. Sebagai bangsa dengan penduduk dan potensi sumber daya pertanian yang besar, Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri (BKP, 2007).

Komoditi beras bagi masyarakat Indonesia bukan saja merupakan bahan pangan pokok, tetapi sudah merupakan komoditi sosial. Oleh karena itu, perubahan-perubahan yang terjadi pada beras akan begitu mudah mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi yang lain. Perhatian pemerintah terhadap beras sudah lama dimulai dan bahkan setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap beras ini sudah menjadikan program prioritas (Anonimous, 2004).


(25)

Harga beras di Provinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang cukup signifikan. Harga beras medium IR-64 rata-rata Rp 5.241,48/kg dan turun menjadi Rp 4.911,09/kg di akhir bulan September 2007. Hal ini disebabkan di beberapa daerah sentra produksi beras di Sumatera Utara mengalami panen dan terus masuknya beras antar pulau dari Jawa dan NAD (BPS, 2010).

Konsekuensi logis dari rendahnya harga beras di tingkat petani adalah bahwa disinsentif yang dihadapi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya menjadi sangat besar. Harus disadari bahwa motivasi kerja petani dapat meningkat sangat tergantung pada harga beras. Kalau harga beras lebih rendah dari biaya produksi, semangat kerja pun merosot. Sesuai dengan teori ekonomi mikro, harga dari suatu produk terlalu rendah tidak akan menggairahkan orang untuk menghasilkan produk tersebut. Berarti akan sedikit sekali petani Indonesia yang bersemangat menjadi produsen beras karena memproduksi komoditas pertanian lain yang memiliki harga jual yang lebih tinggi menjadi jauh lebih rasional (Arifin dan Rachbini, 2001).

Defenisi ketahanan pangan menurut International Conference of Nutrition (1992) adalah tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Di Indonesia, secara formal dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, istilah kebijakan dan program ketahanan pangan diadopsi sejak 1992 (Repelita VI) yang defenisi formalnya dicantumkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan


(26)

terjangkau”. Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena : (1) akses terhadap pangan dengan gizi seimbang merupakan hak yang paling asasi bagi manusia; (2) keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupa n konsumsi pangan dan gizi ; (3) ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Anonimous, 2012).

Dapat dikatakan ketahanan pangan merupakan konsentrasi untuk mewujudkan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi. Dalam ketahanan pangan terdapat tiga komponen penting pembentukan ketahanan pangan yaitu : produksi, dan ketersediaan pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan (Anonimous, 2012).

Ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Ada tiga alasan penting yang melandasi adanya kesadaran dari semua komponen bangsa atas pentingnya ketahanan pangan yaitu: (1) akses atas pangan yang cukup dan bergizi bagi setiap penduduk merupakan salah satu pemenuhan hak asasi manusia; (2) konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; (3) ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional suatu negara berdaulat.

Ketahanan pangan suatu negara dikatakan baik jika semua penduduk di suatu negara setiap saat dapat memiliki akses terhadap makanan dalam volume dan mutu yang sesuai bagi suatu kehidupan yang produktif dan sehat. Akses setiap individu terhadap pangan yang cukup merupakan hak asasi manusia yang


(27)

berlaku secara universal. Oleh sebab itu, sampai sejauh mana suatu negara menghormati hak asasi warganya yang dapat diukur dari ketahanan pangan yang dimilikinya, bahkan ketahanan pangan dijadikan salah satu indikator penting bagi keberhasilan pembangunan nasional, disamping indikator pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan (Saragih, 2001).

Berdasarkan defenisi ketahanan pangan dalam UU RI No. 7 Tahun 1996 yang mengadopsi FAO (Food Association Organization), didapat 5 komponen

yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: (1) Kecukupan ketersediaan pangan; (2) Stabilitas ketersediaan pangan; (3)

Fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (4) Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan dan; (5) Kualitas/keamanan pangan (FAO, 1996)

Campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan nasional pada dasarnya ada lima yaitu: meningkatkan produksi padi, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi ketidakstabilan harga di tingkat produsen dan konsumen, dan mengendalikan keseimbangan harga beras di antara pasar domestik dengan pasar internasional. Stabilisasi harga beras oleh pemerintah dilakukan melalui mekanisme buffer stock, yaitu dengan menetapkan harga dasar dan harga batas tertinggi. Harga dasar (minimum) dijamin pemerintah untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tidak terkendali terutama pada musim paceklik. Ini semuanya diusahakan dengan pengadaan beras dikala panen dan penyaluran di kala paceklik


(28)

Tujuan dari penetapan HPP gabah dan beras adalah untuk memberikan perlindungan kepada petani padi agar memperoleh pendapatan usahatani yang layak. Kenyataannya, harga gabah di tingkat petani sudah jauh lebih tinggi dari HPP sehingga tingkat keuntungan petani juga lebih tinggi lagi. Bila tujuan pemerintah adalah memberikan pendapatan yang layak kepada petani padi, maka dengan mengacu uraian di atas, kebijakan perberasan yang selama ini dilaksanakan cukup efektif. Namun, kebijakan tersebut perlu terus disesuaikan secara periodik seiring dengan dinamika yang berkembang. Beberapa justifikasi yang mendukung perlunya penyesuaian HPP gabah dari tingkat yang berlaku saat ini yaitu : (1) harga beras domestik saat ini lebih rendah dari harga di pasar dunia; (2) harga gabah aktual sudah lebih tinggi dari HPP sehingga dapat menyulitkan BULOG dalam membeli gabah dari petani; dan (3) harga komoditas lain naik lebih tinggi sehingga dapat mengurangi minat petani untuk menanam padi (Rachman dan Sudaryanto, 2009).

Kebijakan harga melalui jaminan harga dasar dapat memperkecil risiko usahatani, karena petani terlindungi dari kejatuhan harga jual gabah atau beras di bawah ongkos produksi, yang sering terjadi pada musim panen raya. Manakala risiko suatu usahatani dapat ditekan sekecil mungkin, maka ketersediaan beras dari produksi dalam negeri lebih terjamin. Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri menjadi salah satu unsur penting dalam memperkuat ketahanan pangan (Sawit, 2010).

Pada tahun 2001 melalui Inpres No. 9 Tahun 2001 tentang kebijakan perberasan terjadi perubahan istilah harga dasar menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) yang berlaku sejak 1 Januari 2002. Inpres perberasan di era


(29)

reformasi lebih komprehensif yang mencakup kebijakan harga dan non harga, kebijakan perdagangan, stok publik, serta subsidi beras terarah. Inpres perberasan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir setiap tahun diperbaharui (Sawit, 2010) Sejak tahun 2005 istilah HDPP diganti dengan harga pembelian pemerintah (HPP) melalui Inpres No. 2 Tahun 2005. Selanjutnya dikeluarkan Inpres No. 13 Tahun 2005, Inpres No. 3 Tahun 2007 dan Inpres No.1 Tahun 2008 peraturan sejenis yang terakhir adalah Inpres No. 7 tahun 2009 berlaku efektif pada Januari 2010 yang masih digunakan sampai saat ini (BKP, 2011).

Walaupun Pemerintah dengan Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan Nasional, telah menetapkan kebijakan Harga Dasar Pembelian Gabah oleh Pemerintah (HDPP), dimana untuk operasionalisasi kebijakan HDPP tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dengan Badan Urusan Logistik (BULOG) No. 02/SKB/BBKP/I/2003. Kep-08/UP/01/2003 tanggal 16 Januari 2003 tentang harga pembelian gabah oleh kontraktor pengadaan gabah/beras dalam negeri dari petani/kelompoktani. Namun demikian keadaan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang menjual gabahnya di bawah harga dasar. Hal ini disebabkan antara lain : kurangnya Akses Lembaga Usaha Ekonomi Pedesan (LUEP) terhadap desa untuk pengadaan gabah/beras, tidak adanya institusi penghubung antara Dolog dengan petani/kelompok tani yang menjamin bahwa petani menerima harga sesuai HDPP (BKP, 2007).

Bulog adalah lembaga pemerintah yang dibentuk pada tahun 1967. BULOG ditugaskan pemerintah untuk mengendalikan stabilitas harga dan


(30)

penyediaan bahan pokok, terutama pada tingkat konsumen. Pembelian hasil panen dengan harga dasar yang lebih tinggi dari pasar, bertujuan untuk mengendalikan harga beras yang murah pada saat panen. Pemerintah juga memberikan jaminan atas kerugian yang timbul dari operasi tersebut. Guna meratakan stok antar daerah, Bulog juga membangun jaringan pergudangan di daerah produsen dan konsumen yang tersebar disekitar 1500 lokasi gudang dengan kapasitas sekitar 3,5 juta ton (Amang dan Sawit, 1999).

Bulog di tahun 2012 diberikan anggaran sebesar Rp 19 triliun dan Inpres HPP beras sebesar Rp 6.600. Sebelum dikeluarkannya HPP baru, Bulog selama ini berpegang kepada HPP lama sesuai Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. Dalam Inpres tersebut harga gabah kering panen (GKP) ialah Rp 2.640 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp 3.300 per kg dan beras Rp 5.060 per kg (Munawar, 2012).

2.2 Landasan Teori

Menurut Sukirno (1994) untuk menstabilkan harga dan menjaga agar petani menerima harga yang wajar pemerintah dapat menstabilkan harga pada harga yang ditentukan oleh pasar bebas dan menstabilkan harga pada tingkat yang lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar bebas. Kebijakan ini sangat penting terutama ketika panen raya. Ketika panen raya penawaran melimpah. Penawaran yang melimpah akan menggeser kurva penawaran dari S ke S', sehingga jumlah produk pertanian yang ditawarkan meningkat dari Q0 menjadi Q1. Peningkatan

jumlah barang yang ditawarkan ini akan menyebabkan penurunan harga dari P0 ke

P1, bahkan sering sampai pada tingkat harga yang membuat petani rugi. Untuk


(31)

Q0 Q1

D2 S2

yang membuat petani rugi (P1) yaitu pada tingkat harga P2 atau P3. Hal ini dapat

dilakukan melalui penetapan harga pembelian pemerintah (HPP). Secara grafis hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penetapan Harga Dasar

Pengertian ketahanan pangan telah dibakukan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Pada bab 1 pasal 1 disebutkan ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik mutu, aman, merata dan terjangkau. Sementara definisi ketahanan pangan yang secara resmi disepakati oleh pimpinan negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia pada World Food Conference On Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat (Wibowo, 2000).

Menurut Suryana (2003), ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

P3

P0

P2

P1

S

S’

D3 S

3


(32)

Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Terpenuhinya pangan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan, dalam arti luas bukan hanya beras tetapi mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda/zat lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama.

3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata diseluruh tanah air.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartinkan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri (Krisnamurti, 2002).


(33)

HARGA JUAL

KONSUMSI HPP (INPRES)

(BULOG)

KETAHANAN PANGAN 2.3 Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu daerah penghasil beras di Indonesia adalah Provinsi Sumatera Utara. Meskipun Sumatera Utara merupakan salah satu lumbung beras di Indonesia, harga beras di tingkat petani tidak menentu. Harga beras yang tidak menentu merugikan petani. Oleh sebab itu, untuk melindungi petani maka pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras sesuai dengan Instruksi Presiden tentang Perberasan.

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada gambar 2 yang bertujuan untuk menjelaskan dampak kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras di Provinsi Sumatera Utara. Penetapan HPP oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi harga jual beras di tingkat petani dan menurunkan konsumsi beras di masyarakat sehingga ketahanan pangan dapat terwujud.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penetapan HPP PETANI


(34)

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Terjadi peningkatan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan 2011 di Provinsi Sumatera Utara.

2. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) meningkatkan harga jual beras.

3. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) menurunkan konsumsi beras di masyarakat.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pemilihan Lokasi

Daerah penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu di Provinsi Sumatera Utara, dengan pertimbangan bahwa Sumatera Utara merupakan salah satu Provinsi sentra produksi padi nasional. Luas panen, produktivitas dan produksi GKP di Provinsi Sumatera Utara lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1 :

Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi GKP di Sentra Produksi Padi di Indonesia Tahun 2007-2011

Tahun

P r o v i n s i

Jabar Jatim Sumut Sumsel Indonesia

2007 Luas Panen (Ha) 1,829,085 1,736,048 750,232 691,467 12.147.637 Produktivitas (Ku/Ha) 54.20 54.16 43.53 38.81 47,05 Produksi (Ton) 9,914,019 9,402,029 3,265,837 2,753,044 57.157.435 2008 Luas Panen (Ha) 1,803,628 1,774,884 748,540 718,797 12.327.425

Produktivitas (Ku/Ha) 56.06 59.02 44.63 41.34 48,94 Produksi (Ton) 10,111,069 10,474,773 3,340,794 2,971,286 60.325.925 2009 Luas Panen (Ha) 1,950,203 1,904,830 768,587 746,465 12.883.576

Produktivitas (Ku/Ha) 58.06 59.11 45.90 41.87 49,99 Produksi (Ton) 11,322,681 11,259,085 3,527,901 3,125,236 64.398.890 2010

Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) 2,037,657 57.60 1,963,903 59.29 754,674 47.47 769,478 42.53 13,469,394 50,15 Produksi (Ton) 11,737,070 11,643,773 3,582,302 3,272,451 66.469.394 2011 Luas Panen (Ha) 1.941.276 1.983.542 757.547 846.426 13.484.210

Produktivitas (Ku/Ha) 58,91 59,04 47,62 44,63 50,77 Produksi (Ton) 11.436.334 11.596.930 3.607.404 3.437.579 67.307.324 Sumber : BPS, 2010


(36)

3.2 Metode Penentuan Observasi

Observasi dalam penelitian ini adalah berupa perkembangan harga rata-rata gabah kering panen, harga rata-rata-rata-rata beras, dan konsumsi beras selama 5 (lima) tahun dalam kurun waktu dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 yang dihimpun berdasarkan laporan perkembangan harga dari kabupaten ke Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder runtun waktu (time series) mulai dari tahun 2007-2012 yaitu data HPP GKP, HPP beras, harga rata-rata GKP, harga rata-rata beras, dan konsumsi beras di Sumatera Utara. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, Dinas Pertanian Sumatera Utara dan Inpres tentang Perberasan. Data dan pengumpulannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Metode Pengumpulan Data

Jenis Data Sumber Data Keterangan

H P P Inpres No. 3 Thn 2007 Harga Tingkat Petani Inpres No. 1 Thn 2008

Inpres No. 8 Thn 2008 Inpres No. 7 Thn 2009 Inpres No. 8 Thn 2011 KONSUMSI Badan Ketahanan Pangan

Provinsi Sumatera Utara

Data Tahun 2007 - 2011 HARGA GKP Dinas Pertanian Provinsi

Sumatera Utara

Data Tahun 2007 – 2011 HARGA BERAS Dinas Pertanian Provinsi Data Tahun 2007 – 2011


(37)

3.4 Metode Analisis Data

Untuk menguji hipotesis pertama digunakan uji beda rata-rata. Dalam hal ini uji beda rata-rata yang dilakukan adalah dengan metode One Sample T Test (Uji T Satu Sampel), karena data harga yang digunakan adalah bersifat kuantitatif dan berdistribusi normal. Metode One Sample T Test merupakan teknik analisis untuk membandingakan satu variabel bebas dan untuk menguji apakah nilai tertentu berbeda secara signifikan atau tidak dengan rata-rata sebuah sampel. Variabel yang diuji adalah:

a. HPP GKP Inpres No. 3 Tahun 2007 dengan harga aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara.

b. HPP GKP Inpres No. 1 Tahun 2008 dengan harga aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara.

c. HPP GKP Inpres No. 8 Tahun 2008 dengan harga aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara.

d. HPP GKP Inpres No. 7 Tahun 2009 dengan harga aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara.

e. HPP GKP Inpres No. 8 Tahun 2011 dengan harga aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara.

f. HPP beras Inpres No. 3 Tahun 2007 dengan harga aktual beras di Provinsi Sumatera Utara.

g. HPP beras Inpres No. 1 Tahun 2008 dengan harga aktual beras di Provinsi Sumatera Utara.

h. HPP beras Inpres No. 8 Tahun 2008 dengan harga aktual beras di Provinsi Sumatera Utara.


(38)

i. HPP beras Inpres No. 7 Tahun 2009 dengan harga aktual beras di Provinsi Sumatera Utara .

j. HPP beras Inpres No. 8 Tahun 2011 dengan harga aktual beras di Provinsi Sumatera Utara.

Persamaan yang digunakan uji beda rata – rata satu sampel adalah :

t =

�̅�−�

�/√� ...(1)

Dimana:

�̅

� = rata-rata harga aktual GKP atau beras pada periode i

μ = HPP GKP atau beras menurut Inpres pada periode i n = jumlah pengamatan harga aktual GKP atau beras s = standar deviasi

Hipotesis yang diajukan adalah :

H0 :

�̅

� ≤ μ yaitu rata – rata harga aktual GKP atau beras lebih kecil atau

sama dengan harga HPP GKP atau beras menurut Inpres.

H1 :

�̅

� > μ yaitu rata – rata harga aktual GKP atau beras lebih besar dari

harga HPP GKP atau beras menurut Inpres. Kriteria pengujian adalah:

H0 : ditolak jika thit > ttabel atau sig. ≤ 0,05


(39)

Untuk hipotesis kedua digunakan metode analisis regresi linier sederhana. Analisis regresi adalah studi tentang ketergantungan dari satu variabel (variabel terikat/dependent variable) dengan satu atau lebih variabel lain (variabel bebas/independent variable) dengan tujuan menduga atau meramalkan. Pada hipotesis kedua akan digunakan analisis regresi linier untuk mengetahui dampak harga pembelian pemerintah (HPP) beras berpengaruh terhadap harga jual beras di Sumatera Utara.

Rumus dari analisis ini dapat dituliskan sebagai berikut: Y1 = b0 + b1X1

Dimana:

Y1 = Harga Jual Beras (Rp/Kg)

X1 = Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras (Rp/Kg)

b0 = Konstanta

b1 = Koefisien Regresi

Hipotesis yang diajukan adalah :

• H0 : b1 = 0 yaitu koefisien regresi tidak signifikan.

H1 : b1≠ 0 yaitu koefisien regresi signifikan.

• H0 : X1 dan Y1 tidak linier.

H1 : X1 dan Y1 linier.

Kriteria pengujian adalah:

• H0 : ditolak jika nilai signifikansi ≤ 0,05 atau thit > ttabel

H0 : diterima jika nilai signifikansi > 0,05 atau thit < ttabel

• H0 : ditolak jika nilai signifikansi ≤ 0,05 atau F hit > Ftabel


(40)

Untuk hipotesis ketiga jugamenggunakan metode analisis regresi linier sederhana untuk mengetahui dampak harga pembelian pemerintah (HPP) beras berpengaruh terhadap konsumsi beras di Sumatera Utara.

Rumus dari analisis ini dapat dituliskan sebagai berikut : Y2 = b0 + b2X1

Dimana:

Y2 = Konsumsi Beras (Kg/Kap/Thn)

X1 = Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras (Rp/Kg)

b0 = Konstanta

b2 = Koefisien Regresi

Hipotesis yang diajukan adalah :

• H0 : b1 = 0 yaitu koefisien regresi tidak signifikan.

H1 : b1≠ 0 yaitu koefisien regresi signifikan.

• H0 : X1 dan Y1 tidak linier.

H1 : X1 dan Y1 linier.

Kriteria pengujian adalah:

• H0 : ditolak jika nilai signifikansi ≤ 0,05 atau thit > ttabel

H0 : diterima jika nilai signifikansi > 0,05 atau thit < ttabel

• H0 : ditolak jika nilai signifikansi ≤ 0,05 atau F hit > Ftabel


(41)

3.5 Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka dibuatlah definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

3.5.1 Defenisi

a. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

b. HPP adalah harga pembelian pemerintah yang ditetapkan melalui Intruksi Presiden No. 3 Tahun 2007, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2008, Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2008, Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2009 serta Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2011.

c. GKP adalah gabah kering panen di tingkat petani dengan kualitas kadar air maksimum 25% dan kadar hampa/kotoran maksimum 10%.

d. BULOG adalah lembaga pangan di Indonesia yang mengurusi tata niaga beras.

e. Petani adalah orang yang mengusahakan lahan untuk usahatani padi. f. Konsumsi adalah setiap kegiatan memakai, menggunakan, atau menikmati

barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan.

g. Harga jual adalah harga yang harus dibayar konsumen untuk mendapatkan barang yang dibutuhkannya.


(42)

3.5.2 Batasan Operasional

Mengingat berbagai keterbatasan dalam melakukan tinjauan lapangan dan pengumpulan data baik dari institusi terkait maupun para responden, maka ruang lingkup pembahasan penelitian ini dibatasi hanya pada :

1. Penelitian hanya dilakukan untuk melihat perbandingan harga GKP dan beras berdasarkan penetapan HPP melalui Inpres dengan harga aktual GKP dan beras.

2. Penentuan HPP gabah di tingkat petani mengacu kepada Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2007, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2008, Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2008, Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2009 serta Instruksi Presiden No.8 Tahun 2011 tentang kebijakan perberasan.

3. Waktu penelitian dimulai pada Mei 2012.


(43)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH

4.1 Gambaran Umum Wilayah Sumatera Utara

Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Utara adalah sebuah garis 1°- 4° Lintang Utara dan 98°-100° Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Aceh, sebelah timur dengan Negara Malaysia di Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 km2 (± 5,5% dari total luas Republik Indonesia), sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, Pulau-pulau Batu, serta beberapa pulau kecil, bagian di bagian barat maupun bagian timur pantai Pulau Sumatera. Provinsi Sumatera Utara mempunyai 25 kabupaten, 8 kotamadya, dan 5. Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Mandailing Natal dengan luas 6.620,70 km2 atau sekitar 9,24 persen dari total luas Sumatera Utara, diikuti Kabupaten Langkat dengan luas 6.263,29 km2 atau 8,74 persen, kemudian Kabupaten Simalungun dengan luas 4.386,60 km2 atau sekitar 6,09 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 km2 atau sekitar 0,02 persen dari total luas wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan kondisi letak dan kondisi alam, Sumatera Utara dibagi ke dalam 3 kelompok


(44)

Pantai Barat meliput i Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Nias Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kota Sibolga dan Kota Gunung Sitoli.

Kawasan dataran tinggi meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Kabuten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Samosir, dan Kota Pematang Siantar.

Kawasan Pantai Timur meliputi Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tanjung Balai, Kota Tebing Tinggi, Kota Medan dan Kota Binjai.

4.2 Iklim Wilayah Sumatera Utara

Karena terletak dekat garis khatulistiwa, Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin pasat dan angin muson. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 34,2°C sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 20°C. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, Curah hujan 800-4000 mm/tahun dan penyinaran matahari 43%.


(45)

Sebagaimana Provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, di antara kedua musim itu diselingi dengan musim pancaroba.

4.3 Kondisi Penduduk Sumatera Utara

Sumatera Utara merupakn Provinsi terbesar keempat jumlah penduduknya di Indonesia, setelah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara keadaan tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,26 juta jiwa dan dari hasil SP 2000 jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,51 juta jiwa. Pada bulan April tahun 2003 dilakukan Pendaftaran Pemilihan dan Pendapatan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Dari hasil pendaftaran tersebut diperoleh jumlah penduduk sebesar 11.890.399 jiwa. Selanjutnya dari hasil Sensus Penduduk pada bulan Mei 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara 12.982.204 jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km2 dan tahun 2000 meningkat menjadi 161 jiwa per km2 dan selanjutnya pada 2010 menjadi 188 jiwa per km2. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun dan pada 1990-2000-2010 adalah 1,22 persen per tahun.

Penduduk laki-laki Sumatera Utara sedikit lebih banyak dari pada perempuan. Pada tahun 2010 penduduk Sumatera Utara yang berjenis kelamin laki-laki bejumlah sekitar 6.483.354 jiwa dan penduduk perempuan sekitar


(46)

6.498.850 jiwa, dengan demikian sex ratio penduduk Sumatera Utara sebesar 99,76.

Pada tahun 2010 penduduk Sumatera Utara masih banyak yang tinggal di daerah perdesaan dari pada di daerah perkotaan. Jumlah penduduk Sumatera Utara yang tinggal di daerah perdesaan adalah 6,60 juta jiwa (50,84 persen) dan yang tinggal di daerah perkotaan adalah sebesar 6,38 juta jiwa (49,16 persen).

Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mengalami perubahan dari tahun 1999-2010. Akibat terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, penduduk miskin di Sumatera Utara meningkat pada tahun1999 menjadi 16,74 persen dari total penduduk Sumatera Utara yaitu 1,97 juta jiwa. Pada tahun 2003 terjadi penurunan penduduk miskin baik secara abolut maupun secara presentasi, yaitu menjadi 1,89 juta jiwa dari sekitar 15,89 persen, sedangkan pada tahun 2004 jumlah dan presentasi turun menjadi 1,80 juta jiwa atau sekitar 14,93 persen, kemudian pada tahun 2005 turun menjadi 1,84 juta jiwa atau sekitar (14,68 persen), namun akibat dampak kenaikan BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 penduduk miskin tahun 2006 meningkat menjadi 1,98 juta jiwa (15,66 persen). Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin sebanyak 1,77 juta jiwa (13,90 persen) angka ini menurun pada tahun 2008 menjadi 1,61 juta jiwa atau sekitar 12,55 persen. Pada tahun 2009 angka kemiskinan ini kembali turun menjadi 1,50 juta jiwa (11,51 persen). Selanjutnya pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin Sumatera Utara menjadi 1,49 juta jiwa atau 11,31 persen.


(47)

4.4 Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP dan Beras

Adapun perkembangan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP dan beras yang telah ditetapkan oleh pemerintah dari tahun 2007-2011 dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Kebijakan HPP GKP dan Beras oleh Pemerintah Melalui Istruksi Presiden Tahun 2007-2011

INPRES HPP GKP

(Rp/Kg)

HPP Beras (Rp/Kg)

Bulan Berlaku No. 3 Tahun 2007 2.000 4.000 April 2007 No. 1 Tahun 2008 2.200 4.300 April 2008 No. 8 Tahun 2008 2.400 4.600 Desember 2008 No. 7 Tahun 2009 2.640 5.060 Januari 2010 No. 8 Tahun 2011 2.640 5.060 April 2011 Sumber : Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, 2012

Dari tabel 3 terlihat bahwa HPP GKP dan beras yang tertinggi yaitu tampak pada Inpres No. 7 Tahun 2009 dan Inpres No. 8 Tahun 2011 yaitu Rp 2.640/Kg untuk GKP dan Rp 5.060/Kg untuk beras, sedangkan HPP terendah yaitu sesuai dengan Inpres No. 3 Tahun 2007 yaitu Rp 2.000/Kg untuk GKP dan Rp 4.000/Kg untuk beras. Pada tabel 3 terlihat bahwa terjadi peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP dan beras setiap tahunnya kecuali pada tahun

2011. HPP GKP dan beras sesuai dengan Inpres No. 3 Tahun 2007 yaitu Rp 2.000/Kg untuk GKP dan Rp 4.000/Kg untuk beras. Kemudian pada April

2008 diterbitkan Inpres No. 1 Tahun 2008, HPP GKP mengalami kenaikan menjadi Rp 2.200/Kg dan HPP beras menjadi Rp 4.300/Kg. Pada akhir Desember 2008 diterbitkan Inpres No. 8 Tahun 2008, masing-masing mengalami kenaikan Rp 200/Kg yaitu HPP GKP menjadi Rp 2.400/Kg dan HPP beras menjadi Rp 4.600/Kg. Di awal Januari 2010 diterbitkan Inpres No. 7 Tahun 2009, HPP GKP mengalami kenaikan menjadi Rp 2.640/Kg dan HPP beras menjadi Rp 5.060/Kg. Kemudian April 2011 diterbitkan Inpres No. 8 Tahun 2011, HPP


(48)

GKP dan beras tidak mengalami kenaikan maupun penurunan. HPP GKP sebesar Rp 2.640/Kg dan HPP beras sebesar Rp 5.060/Kg.

Gambar 3. Grafik Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)

GKP dan Beras di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2011

Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa Harga Pembelian Pemerintah setiap tahunnya mengalami kenaikan. Persentase perbedaan HPP GKP dan beras sejak diterbitkanya Inpres No. 3 Tahun 2007 sampai dengan Inpres No. 1 Tahun 2008 HPP GKP mengalami kenaikan sebesar 10% dan HPP beras mengalami kenaikan sebesar 7,5%. Pada Bulan Desember diterbitkan Inpres No. 8 Tahun 2008. HPP GKP dan beras mengalami kenaikan lagi, HPP GKP naik sebesar 9,1% dan HPP beras sebesar 6,98%. Pada awal Januari tahun 2010, pemerintah menerbitkan Inpres No. 7 Tahun 2009. HPP GKP dan beras sama-sama mengalami kenaikan sebesar 10%. Pada April 2011, pemerintah menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2008 namun HPP GKP dan beras tidak mengalami kenaikan maupun penurunan. HPP GKP dan beras pada Inpres No. 8 Tahun 2011 sama dengan HPP GKP dan beras pada Inpres No. 7 Tahun 2010 yaitu sebesar Rp 2.640/Kg untuk HPP GKP dan Rp 5.060/Kg untuk HPP beras. Kenaikan HPP diakibatkan karena biaya faktor

0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000

No. 3 Tahun 2007

No. 1 Tahun 2008

No. 8 Tahun 2008

No. 7 Tahun 2009

No. 8 Tahun 2011


(49)

produksi yang semakin meningkat dan faktor lainnya yang mengharuskan HPP dinaikkan.

4.5 Perkembangan Harga Aktual GKP

Adapun perkembangan harga aktual GKP dari tahun 2007-2011 dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2011

Bulan 2007 2008 2009 2010 2011

Januari 2.292 2.490 2.483 2.869 3.388 Februari 2.532 2.457 2.495 2.939 3.188 Maret 2.418 2.370 2.523 2.750 3.283 April 2.316 2.470 2.559 2.785 3.157 Mei 2.409 2.588 2.571 2.879 3.375 Juni 2.378 2.612 2.571 2.860 3.315 Juli 2.357 2.659 2.591 2.935 2.913 Agustus 2.342 2.566 2.726 3.000 3.346 September 2.350 2.527 2.516 2.982 3.163 Oktober 2.200 2.611 2.804 3.021 3.158 Nopember 2.050 2.533 2.580 3.095 3.360 Desember 2.175 2.539 2.659 3.327 3.351 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2012

Keterangan :

____ = berlaku Inpres No. 3 Tahun 2007 ____ = berlaku Inpres No. 1 Tahun 2008 ____ = berlaku Inpres No. 8 Tahun 2008 ____ = berlaku Inpres No. 7 Tahun 2009 ____ = berlaku Inpres No. 8 Tahun 2011

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa harga gabah kering panen setiap tahunnya mengalami kenaikan. Rata-rata harga GKP ketika berlakunya Inpres No. 3 Tahun 2007 (April 2007-Maret 2008) yaitu Rp 2.324,5/Kg. Harga GKP terendah yaitu pada November 2007 sebesar Rp 2.050/Kg dan tertinggi pada bulan Januari 2008 sebesar Rp 2.490/Kg. Kemudian pada April 2008 diterbitkan Inpres No. 1 Tahun 2008 berlaku sampai dengan November 2008, rata-rata harga GKP adalah Rp 2.570,75/Kg. Harga GKP terendah yaitu pada bulan April 2008 sebesar Rp


(50)

2.470/Kg dan tertinggi pada bulan Juli 2008 sebesar Rp 2.659/Kg. Pada Bulan Desember diterbitkan Inpres No. 8 Tahun 2008 berlaku sampai dengan Desember 2009. Rata-rata harga GKP yaitu Rp 2.585,92/Kg, harga GKP terendah yaitu pada bulan Januari 2009 sebesar Rp 2.483/Kg dan tertinggi pada bulan Oktober 2009 sebesar Rp 2.804/Kg. Pada awal Januari tahun 2010, pemerintah menerbitkan Inpres No. 7 Tahun 2009 berlaku sampai dengan Maret 2011. Rata-rata harga GKP pada periode ini adalah Rp 3.020,07/Kg. Harga GKP terendah yaitu pada bulan Maret 2010 sebesar Rp 2.750/Kg dan tertinggi pada bulan Januari 2011 sebesar Rp 3.388/Kg. Pada April 2011, pemerintah menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2008. Rata-rata harga GKP pada periode ini adalah Rp 3.237,56/Kg dan harga terendah yaitu pada bulan Juli 2011 sebesar Rp 2.913/Kg dan tertinggi pada bulan Mei 2011 sebesar Rp 3.375/Kg.


(51)

Gambar 4. Grafik Perkembangan Harga Rata-rata Aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2011

Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa grafik harga rata-rata aktual GKP setiap bulannya di atas harga HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. Persentase perbedaan HPP GKP dengan harga rata-rata aktual GKP sejak diterbitkannya Inpres No. 3 Tahun 2007 sampai dengan Inpres No. 8 Tahun 2011 cenderung mengalami penurunan dan naik kembali di tahun 2011. Pada saat berlakunya HPP Inpres No. 3 Tahun 2007, harga aktual GKP di tingkat petani rata-rata lebih tinggi 16,225% dari HPP GKP. Harga GKP tertinggi mencapai Rp 2.490/Kg dan harga terendah Rp 2.050/Kg. Harga aktual GKP pada saat diberlakukannya Inpres No. 1 Tahun 2008 lebih tinggi 16,852% dari HPP GKP. Pada Inpres No. 8 Tahun 2008 harga aktual GKP di tingkat petani lebih tinggi 7,75% dari HPP GKP. Dan harga aktual terus naik saat diberlakukannya Inpres No. 7 Tahun 2009 lebih tinggi 14,396% dari HPP GKP. Demikian juga saat berlakunya Inpres No. 8 Tahun 2011, harga aktual GKP lebih tinggi 22,63% dari HPP GKP. Persentase perbedaan HPP GKP dengan harga aktual GKP di tingkat petani terus mengalami penurunan sampai dikeluarkannya Inpres No. 8 Tahun 2008, kemudian naik kembali pada

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 A p r-07 Ju l-07 Oct -07 Ja n -08 A p r-08 Ju l-08 Oct -08 Ja n -09 A p r-09 Ju l-09 Oct -09 Ja n -10 A p r-10 Ju l-10 Oct -10 Ja n -11 A p r-11 Ju l-11 Oct -11 Harga GKP HPP


(52)

4.6 Perkembangan Harga Aktual Beras

Adapun perkembangan harga aktual beras di tingkat petani dari tahun 2007-2011 dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Perkembangan Harga Beras di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2011

Bulan 2007 2008 2009 2010 2011

Januari 5.118 5.553 5.931 6.360 8.314 Februari 5.475 5.583 6.008 6.379 8.174 Maret 5.245 5.593 6.014 6.427 8.143 April 5.323 5.493 6.027 6.108 7.320 Mei 5.266 5.743 6.116 6.070 7.925 Juni 5.041 6.056 6.046 6.167 6.976 Juli 5.015 5.922 5.925 6.377 7.206 Agustus 5.300 5.919 6.055 6.127 7.832 September 5.500 5.719 6.034 6.431 7.955 Oktober 5.100 5.870 5.964 6.615 7.802 Nopember 5.200 5.819 5.840 7.146 7.818 Desember 5.250 5.905 5.897 7.565 8.010 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2012

Keterangan :

____ = berlaku Inpres No. 3 Tahun 2007 ____ = berlaku Inpres No. 1 Tahun 2008 ____ = berlaku Inpres No. 8 Tahun 2008 ____ = berlaku Inpres No. 7 Tahun 2009 ____ = berlaku Inpres No. 8 Tahun 2011

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa harga beras setiap tahunnya mengalami kenaikan. Rata-rata harga beras ketika berlakunya Inpres No. 3 Tahun 2007 (April 2007-Maret 2008) yaitu Rp 5.310,33/Kg. Harga beras terendah yaitu pada Juli 2007 sebesar Rp 5.015/Kg dan tertinggi pada bulan Maret 2008 sebesar Rp 5.593/Kg. Kemudian pada April 2008 diterbitkan Inpres No. 1 Tahun 2008 berlaku sampai dengan November 2008, rata-rata harga beras adalah Rp 5.817,63/Kg. Harga beras terendah yaitu pada bulan April 2008 sebesar Rp 5.493/Kg dan tertinggi pada bulan Juni 2008 sebesar Rp 6.056/Kg. Pada Bulan


(53)

Desember diterbitkan Inpres No. 8 Tahun 2008 berlaku sampai dengan Desember 2009. Rata-rata harga beras yaitu Rp 5.981,69/Kg, harga beras terendah yaitu pada bulan November 2009 sebesar Rp 5.840/Kg dan tertinggi pada bulan Mei 2009 sebesar Rp 6.116/Kg. Pada awal Januari tahun 2010, pemerintah menerbitkan Inpres No. 7 Tahun 2009 berlaku sampai dengan Maret 2011. Rata-rata harga beras pada periode ini adalah Rp 6.826,87/Kg. Harga beras terendah yaitu pada bulan Mei 2010 sebesar rp 6.070/Kg dan tertinggi pada bulan Januari 2011 sebesar Rp 8.314/Kg. Pada April 2011, pemerintah menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2008. Rata-rata harga beras pada periode ini adalah Rp 7.649,33/Kg dan harga terendah yaitu pada bulan Juni 2011 sebesar Rp 6.976/Kg dan tertinggi pada bulan Desember 2011 sebesar Rp 8.010/Kg.

Gambar 5. Grafik Perkembangan Harga Beras di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 – 2011.

Dari grafik terlihat perkembangan harga beras di Provinsi Sumatera Utara tahun 2007-2011 pada gambar 5 dapat dilihat harga aktual beras setiap bulannya di atas HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras diikuti juga oleh kenaikan harga beras di tingkat petani.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 A p r-07 Ju l-07 Oct -07 Ja n -08 A p r-08 Ju l-08 Oct -08 Ja n -09 A p r-09 Ju l-09 Oct -09 Ja n -10 A p r-10 Ju l-10 Oct -10 Ja n -11 A p r-11 Ju l-11 Oct -11 Harga Beras HPP


(54)

ditingkat petani yaitu 32,76% (Inpres No. 3 Tahun 2007), 35,29% (Inpres No. 1 Tahun 2008), 30,04% (Inpres No. 8 Tahun 2008), 34,92% (Inpres No. 7 Tahun 2009), dan 51,17% pada saat berlakunya Inpres No. 8 Tahun 2011.

4.7 Konsumsi Beras

Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan konsumsi beras penduduk Sumatera Utara dari tahun 2007-2011.

Tabel 6. Jumlah Konsumsi Beras untuk Sumatera Utara Tahun 2007-2011

Tahun Konsumsi Beras

(Kg/Kap/Thn)

2007 144,926

2008 142,187

2009 139,5

2010 136,85

2011 134,80

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, 2012

Dari Tabel 6, terlihat bahwa jumlah konsumsi beras penduduk Sumatera Utara yang terbesar yaitu tampak pada tahun 2007 sebanyak 144,926 Kg/Kap/Thn, sedangkan untuk jumlah konsumsi terkecil sebanyak 134,80 Kg/Kap/Thn pada tahun 2011.

Pada tabel juga terlihat terjadi penurunan konsumsi beras penduduk Sumatera Utara setiap tahun. Total konsumsi beras penduduk Sumatera Utara dari tahun 2007-2011 adalah sebesar 698,263 Kg/Kap dengan rata-rata jumlah konsumsi yaitu 139,65 Kg/Kap/Thn. Tetapi jumlah ini masih lebih tinggi dari target Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara yaitu sebesar 100,5 Kg/Kap/Thn. Jumlah konsumsi beras penduduk Sumatera Utara masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara lain konsumsi berasnya berkisar antara 60-80 Kg/Kap/Thn.


(55)

Gambar 6. Grafik Perkembangan Konsumsi Beras di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 – 2011.

Persentase penurunan beras dari tahun 2007-2010 sekitar 1,89% dan pada tahun 2011 persentase penurunannya sekitar 1,498%. Target penurunan konsumsi beras yang ditetapkan pemerintah adalah 1,5%. Penurunan konsumsi beras ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan faktor lainnya adalah program pemerintah untuk diversifikasi pangan, dan program pemerintah lainnya. Jika konsumsi beras dapat diturunkan maka ketahanan pangan akan terwujud dibarengi dengan peningkatan produktivitas, dan program pemerintah juga terlaksana dengan baik.

128 130 132 134 136 138 140 142 144 146

2007 2008 2009 2010 2011

Konsumsi Beras (Kg/Kap/Thn)

Konsumsi Beras (Kg/Kap/Thn)


(56)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Analisis Perbedaan Antara HPP GKP dan HPP Beras dengan Harga Aktual GKP dan Beras

Uji yang dilakukan dalam menganalisis data/variabel bagaimana perkembangan harga aktual GKP dan beras setelah penetapan HPP dari tahun 2007 sampai dengan 2011 adalah dengan menggunakan program SPSS 17. Dalam hal ini uji beda rata-rata yang dilakukan adalah dengan metode One Sample T Test. Uji ini dilakukan karena data harga yang digunakan adalah bersifat kuantitatif dan berdistribusi normal yang dibandingkan dengan penetapan HPP oleh Pemerintah (bersifat konstanta). Dari tabel 7 dan 8 dapat dilihat bahwa semua variabel yaitu harga aktual GKP dan harga aktual beras merupakan data time series dan kuantitatif yang dibandingkan dengan harga HPP yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dari hasil analisis uji beda rata-rata yang dilakukan antara HPP GKP dan beras yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai Inpres yang telah dikeluarkan dengan harga aktual GKP dan beras di Provinsi Sumatera Utara terlihat bahwa nilai signifikan 0,000 ≤ 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang

berarti rata-rata harga aktual GKP dan beras lebih besar dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP dan beras yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai Inpres yang dikeluarkan di Sumatera Utara. Hasil uji beda tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.


(57)

Tabel 7. Uji Beda Rata-rata Satu Sampel (GKP)

No. Instruksi Presiden HPP GKP Harga Aktual Uji beda rata-rata satu sampel

(Inpres) (Rp/Kg) (Rp/Kg) N t hitung Sig

1. No. 3 Tahun 2007 2000 2324,5 12 8,982 0,000

2. No. 1 Tahun 2008 2200 2570,75 8 17,575 0,000 3. No. 8 Tahun 2008 2400 2585,92 13 7,213 0,000 4. No. 7 Tahun 2009 2640 3020,07 15 7,462 0,000 5. No. 8 Tahun 2011 2640 3237,56 9 11,687 0,000

Sumber : Lampiran 1

Uji beda rata-rata yang dilakukan antara HPP GKP yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai Inpres yang telah dikeluarkan dengan harga aktual GKP yang terdiri dari :

a. HPP berdasarkan Inpres No. 3 Tahun 2007

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 3 Tahun 2007, HPP GKP

yang ditetapkan sebesar Rp 2.000/Kg dengan harga aktual GKP diperoleh: t hitung = 8,982 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

b. HPP berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 2008

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 2008, HPP GKP

yang ditetapkan sebesar Rp 2.200/Kg dengan harga aktual GKP diperoleh: t hitung = 17,575 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

c. HPP berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2008

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2008, HPP GKP

yang ditetapkan sebesar Rp 2.400/Kg dengan harga aktual GKP diperoleh: t hitung = 7,213 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

d. HPP berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 2009

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 2009, HPP GKP


(58)

e. HPP berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2011

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2011, HPP GKP

yang ditetapkan sebesar Rp 2.640/Kg dengan harga aktual GKP diperoleh: t hitung = 11,687 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

Tabel 8. Uji Beda Rata-rata Satu Sampel (Beras)

No. Instruksi Presiden HPP Beras Harga Aktual Uji beda rata-rata satu sampel

(Inpres) (Rp/Kg) (Rp/Kg) N t hitung Sig

1. No. 3 Tahun 2007 4000 5310,33 12 21,932 0,000 2. No. 1 Tahun 2008 4300 5817,63 8 25,305 0,000 3. No. 8 Tahun 2008 4600 5981,69 13 63,741 0,000 4. No. 7 Tahun 2009 5060 6826,87 15 8,350 0,000 5. No. 8 Tahun 2011 5060 7649,33 9 20,551 0,000

Sumber : Lampiran 2

Uji beda rata-rata yang dilakukan antara HPP beras yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai Inpres yang telah dikeluarkan dengan harga aktual beras yang terdiri dari :

a. HPP berdasarkan Inpres No. 3 Tahun 2007

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 3 Tahun 2007, HPP beras

yang ditetapkan sebesar Rp 4.000/Kg dengan harga aktual beras diperoleh: t hitung = 21,932 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

b. HPP berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 2008

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 2008, HPP beras

yang ditetapkan sebesar Rp 4.300/Kg dengan harga aktual beras diperoleh: t hitung = 25,305 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

c. HPP berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2008

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2008, HPP beras yang ditetapkan sebesar Rp 4.600/Kg dengan harga aktual beras diperoleh: t hitung = 63.741 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H ditolak.


(59)

d. HPP berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 2009

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 2009, HPP beras

yang ditetapkan sebesar Rp 5.060/Kg dengan harga aktual beras diperoleh: t hitung = 8,350 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

e. HPP berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2011

Hasil uji beda rata-rata berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2011, HPP beras yang ditetapkan sebesar Rp 5.060/Kg dengan harga aktual beras diperoleh: t hitung = 20,551 dan sig. 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak.

Tabel 9. Persentase Perbedaan HPP dengan Harga Aktual GKP dan Beras di Provinsi Sumatera Utara

Inpres GKP Beras

HPP (Rp/Kg)

Aktual (Rp/Kg)

% HPP

(Rp/Kg)

Aktual (Rp/Kg)

%

No. 3 Tahun 2007 2.000 2.324,5 16,225 4.000 5.310,33 32,76 No. 1 Tahun 2008 2.200 2.570,75 16,852 4.300 5.817,63 35,29 No. 8 tahun 2008 2.400 2.585,92 7,75 4.600 5.981,69 30,04 No. 7 Tahun 2009 2.640 3.020,07 14,396 5.060 6.826,87 34,92 No. 8 Tahun 2011 2.640 3237,56 22,63 5.060 7.649,33 51,17

Sumber: Data sekunder diolah

Dari data yang diperoleh rata-rata harga aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara selama berlakunya Inpres No. 3 Tahun 2007 (pada periode April 2007 sampai dengan Maret 2008) adalah sebesar Rp 2.324,5/Kg lebih tinggi 16,225% dari HPP. Selama periode tersebut harga aktual GKP terendah sebesar Rp 2.050/Kg (2,5% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi Rp2.490/Kg (24,5% lebih tinggi dari HPP). Dan harga rata-rata aktual beras sebesar Rp 5.310/Kg lebih tinggi 32,76% dari HPP. Harga aktual beras terendah sebesar Rp 5.015/Kg (25,375% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi Rp 5.593/Kg (39,825% lebih tinggi dari HPP).


(60)

Pada bulan April 2008 pemerintah melakukan penyesuaian HPP GKP dan beras menjadi Rp 2.200/Kg untuk GKP dan Rp 4.300/Kg untuk beras melalui Inpres No. 1 tahun 2008. Selama periode April 2008 sampai dengan November 2008 rata-rata harga GKP sebesar Rp. Rp 2.570,75/Kg lebih tinggi 16,852% dari HPP. Selama periode tersebut harga aktual GKP terendah sebesar Rp 2.470/Kg (12,27% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi Rp 2.659/Kg (20,86% lebih tinggi dari HPP). Harga beras sebesar Rp 5.817,63 lebih tinggi 35,29% dari HPP. Harga aktual beras terendah sebesar Rp 5.493/Kg (27,74% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi Rp 6.056/Kg (40,84% lebih tinggi dari HPP).

Selanjutnya diterbitkan Inpres No. 8 tahun 2008 yang mengatur tentang penetapan HPP GKP sebesar Rp 2.400/Kg dan beras sebesar Rp 4.600/Kg. Selama periode Desember 2008 sampai dengan Desember 2009 rata-rata harga GKP sebesar Rp 2.585,92 lebih tinggi 7,75% dari HPP. Selama periode tersebut harga aktual GKP terendah sebesar Rp 2.483/Kg (3,46% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi Rp 2.804/Kg (16,83% lebih tinggi dari HPP). Harga rata-rata aktual beras sebesar Rp 5.981,69/Kg lebih tinggi 30,04 % dari HPP. Harga aktual beras terendah sebesar Rp 5.840/Kg (26,96% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi Rp 6.116/Kg (32,96% lebih tinggi dari HPP).

Pada tahun 2010, pemerintah melalui Inpres No. 7 tahun 2009 menetapkan HPP GKP sebesar Rp 2.640/Kg dan untuk beras Rp 5.060/Kg. Selama periode Januari 2010 sampai dengan Maret 2011 harga rata-rata aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp 3.020,07/Kg, lebih tinggi 14,396% dari HPP. Selama periode tersebut harga aktual GKP terendah sebesar Rp 2.750/Kg (4,17% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi sebesar Rp 3.388/Kg (28,33% lebih tinggi dari


(61)

HPP). Sementara harga rata-rata aktual beras sebesar Rp 6.826,87/Kg lebih tinggi 34,92% dari HPP. Harga aktual beras terendah sebesar Rp 6.070/Kg (19,96% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi sebesar Rp 8.314/Kg (64,31% lebih tinggi dari HPP).

Seiring dengan terjadinya kenaikan sarana dan prasarana produksi untuk usahatani padi pemerintah selalu berupaya untuk melakukan penyesuaian harga pembelian GKP di tingkat petani. Hal tersebut direspon dengan ditetapkannya HPP yang baru melalui Inpres No. 8 tahun 2011 dimana HPP GKP sebesar Rp 2.640/Kg dan untuk HPP beras sebesar Rp 5.060/Kg yang berlaku pada bulan April 2011 sampai dengan Desember 2011. Selama periode tersebut harga rata-rata aktual GKP di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp 3.237,56/Kg, lebih tinggi 22,63% dari HPP. Selama periode tersebut harga aktual GKP terendah sebesar Rp 2.913/Kg (10,34% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi sebesar Rp 3.375/Kg (27,84% lebih tinggi dari HPP). Sementara harga rata-rata aktual beras sebesar Rp 7.649,33/Kg lebih tinggi 51,17% dari HPP. Harga aktual beras terendah sebesar Rp 6.976/Kg (37,87% lebih tinggi dari HPP) dan tertinggi sebesar Rp 8.010/Kg (58,3% lebih tinggi dari HPP).

Dari data yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa harga aktual GKP dan beras di Provinsi Sumatera Utara selama kurun waktu lima tahun yaitu tahun 2007 sampai dengan 2011 selalu di atas HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. HPP GKP dan beras sebagai instrumen yang dikeluarkan pemerintah memberikan dampak positif bagi petani di Provinsi Sumatera Utara.


(62)

5.2 Hasil Analisis Dampak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras Terhadap Harga Jual Beras di Tingkat Petani

Dari data harga jual beras di tingkat petani Sumatera Utara yang telah disajikan, maka dapat diperoleh model regresi harga jual beras tersebut. Dari hasil regresi tersebut diperoleh hasil sebagai berikut :

• Uji F

Proses pengujian X1 terhadap Y1 :

Hipotesis yang diajukan adalah : H0 : X1 dan Y1 tidak linier.

H1 : X1 dan Y1 linier.

Kriteria pengujian adalah:

H0 : ditolak jika nilai signifikansi ≤ 0,05 atau F hit > Ftabel

H0 : diterima jika nilai signifikansi > 0,05 atau Fhit < Ftabel

Dari hasil analisis regresi linier sederhana yang dilakukan antara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai Inpres yang telah dikeluarkan dengan harga jual beras di tingkat petani terlihat bahwa nilai signifikansi 0,023 ≤ 0,05 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa H0 ditolak yang berarti bahwa Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras

mempunyai hubungan yang linier dengan harga jual beras di tingkat petani. • Uji t

Proses pengujian X1 terhadap Y1 :

Hipotesis yang diajukan adalah :

H0 : b1 = 0 yaitu koefisien regresi tidak signifikan.


(1)

1.

Hasil Analisis Perbedaan Antara HPP GKP dan HPP Beras dengan Harga

Aktual GKP dan Beras

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Aktual GKP 2007 12 2.3245E3 125.15627 36.12950

One-Sample Test

Test Value = 2000

t Df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Aktual GKP 2007 8.982 11 .000 324.50000 244.9795 404.0205

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Aktual GKP 2008 8 2.5708E3 59.66514 21.09481

One-Sample Test

Test Value = 2200

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Aktual GKP 2008 17.575 7 .000 370.75000 320.8687 420.6313


(2)

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Aktual GKP 2011 9 3.2376E3 153.38849 51.12950

One-Sample Test

Test Value = 2640

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Aktual GKP 2011 11.687 8 .000 597.55556 479.6507 715.4604

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Aktual GKP 2010 15 3.0201E3 197.25417 50.93081

One-Sample Test

Test Value = 2640

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Aktual GKP 2010 7.462 14 .000 380.06667 270.8309 489.3024

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Aktual GKP 2009 13 2.5859E3 92.94305 25.77776

One-Sample Test

Test Value = 2400

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference


(3)

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Beras 2011 9 7.6493E3 377.98975 125.99658

One-Sample Test

Test Value = 5060

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Beras 2011 20.551 8 .000 2589.33333 2298.7847 2879.8820

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Beras 2010 15 6.8269E3 819.51648 211.59825

One-Sample Test

Test Value = 5060

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Beras 2010 8.350 14 .000 1766.86667 1313.0336 2220.6998


(4)

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Beras 2009 13 5.9817E3 78.15624 21.67664

One-Sample Test

Test Value = 4600

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Beras 2009 63.741 12 .000 1381.69231 1334.4630 1428.9216

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Beras 2008 8 5.8176E3 169.62811 59.97259

One-Sample Test

Test Value = 4300

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Harga Beras 2008 25.305 7 .000 1517.62500 1375.8123 1659.4377

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Harga Beras 2007 12 5.3103E3 206.95996 59.74419

One-Sample Test

Test Value = 4000

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference


(5)

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .928a .861 .815 397.39374 .861 18.595 1 3 .023

a. Predictors: (Constant), HPP beras b. Dependent Variable: Harga jual beras

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2936492.821 1 2936492.821 18.595 .023a Residual 473765.362 3 157921.787

Total 3410258.183 4

a. Predictors: (Constant), HPP beras b. Dependent Variable: Harga jual beras

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF 1 (Constant) 2126.142 1966.079 -1.081 .359 -8383.082 4130.799

HPP beras 1.834 .425 .928 4.312 .023 .480 3.187 .928 .928 .928 1.000 1.000


(6)

4. Hasil Analisis Dampak HPP Beras Terhadap Konsumsi Beras

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .983a .967 .956 .84892 .967 88.108 1 3 .003

a. Predictors: (Constant), HPP beras b. Dependent Variable: Konsumsi Beras

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 63.496 1 63.496 88.108 .003a

Residual 2.162 3 .721

Total 65.658 4

a. Predictors: (Constant), HPP beras b. Dependent Variable: Konsumsi Beras

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF

1 (Constant) 178.914 4.200 42.599 .000 165.548 192.281

HPP beras -.009 .001 -.983 -9.387 .003 -.011 -.006 -.983 -.983 -.983 1.000 1.000