UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Yong-Gu memiliki sifat bertanggung jawab dan menyadari bahwa dirinya adalah penyokong keuangan dalam keluarganya. Bekerjanya Lee Yong-Gu ditengah
keterbelakangan yang dimilikinya menjadikan dirinya menjadi sosok ayah yang maskulin yaitu sosok maskulinitas tradisional yang memiliki nilai kemandirian
dan kerja. Dari unit dunia keluarga, Lee Yong-Gu merupakan sosok maskulinitas
New man as nurturer dimana Lee Yong-Gu termasuk ayah yang mengurus anaknya. Ia merupakan ayah yang memiliki kelembutan hati. Lee Yong-Gu
mengurus putrinya dengan cintanya yang begitu besar kepada putrinya. Lee Yong-Gu selalu memikirkan segala sesuatu yang terbaik untuk putrinya. Lee
Yong-Gu adalah sosok ayah yang berperan aktif dalam keluarga. Ia bukan sosok ayah yang berkuasa, bukan sosok ayah yang keras tetapi Lee Yong-Gu sosok ayah
yang bersahabat dan tidak mendominasi dalam keluarga.
4.3. Realitas Sosial dalam film “Miracle In Cell No.7”
Film adalah bentuk komunikasi massa visual yang dominan karena dianggap mampu menjangkau banyak segmen sosial, serta memiliki potensi untuk
mempengaruhi khalayak. Isi dari pesan yang dibawa oleh film dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan cerita yang dibawa
dibalik film. Isi dari film adalah merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Menurut Turner Irawanto, 1999: 14, film sebagai
representasi dari realitas masyarakat dimana film adalah potret dari realitas masyarakat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar lebar. Diamati lebih jauh, film bukan hanya sebagai tontonan maupun hiburan
semata. Film mampu merepresentasikan berbagai hal dalam kehidupan masyarakat seperti sejarah, kebiasaan masyarakat, hubungan pernikahan,
kehidupan bertetangga, dan lain-lain. Setiap film tentu memiliki cara yang berbeda-beda dalam merepresentasikan isu maupun tema yang diangkat sesuai
dengan tujuan pembuat film. Pada sub bab ini, peneliti mencoba mengemukakan realitas sosial media
seperti yang ditampilkan dalam film “Miracle In Cell No.7”. Begitu pula halnya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan masalah mengenai sosok ayah yang selalu menarik untuk dibicarakan dan tidak pernah ada habisnya untuk dibahas. Pandangan masyarakat mengenai sosok
ayah sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh media massa, terutama sinema atau film. Berikut hasil interpretasi yang dapat
dikemukakan peneliti mengenai realitas sosial media dala m “Miracle In Cell
No.7”. Maskulinitas erat kaitannya dengan gender. Gender berbeda dengan jenis
kelamin. Jenis kelamin merupakan konstruksi biologis yang dibawa sejak lahir yang membedakan manusia menjadi laki-laki dan perempuan, sedangkan gender
merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya yang membedakan manusia menjadi maskulin dan feminin. Perbedaan ini dipertahankan secara kultural dan
terwujud di dalam budaya patriarkhi . Budaya patriarkhi menggiring anggapan umum bahwa karakteristik maskulin lekat dengan laki-laki, dan karakter ini
dikaitkan dengan tiga sifat khusus yaitu kuat, keras,dan beraroma keringat. Secara sederhana laki-laki dilabeli sifat macho.
Barker mengatakan maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak di lahiran begitu saja dengan
sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain
kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan dan kerja. Ciri maskulinitas tradisional inilah yang ditampilkan
dalam film “Miracle In Cell No.7”. Film ini menampilkan sosok maskulinitas Lee Yong-Gu meskipun Lee Yong-Gu dalam kondisi memiliki keterbelakangan
mental. Kekuatan, kemandirian, kesetiakawanan, aksi dan kerja Lee Yong-Gu menjadi ciri maskulinitas yang ditonjolka
n. Film “Miracle In Cell No.7” ini juga khas dengan menampilkan laki-laki yang pemberani dan penyayang. Perbuatan
yang menonjolkan kasih sayang terhadap putrinya menjadi ciri maskulin yang ditampilkan dalam film ini.
Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis dari gambar yang diambil dari potongan-
potongan film “Miracle In Cell No.7” tahun 2013, laki-laki digambarkan dalam sosok maskulinitas tradisonal dalam sosok ayah yang
memiliki keterbelakangan mental. Visualiasasi gambar dalam film ini dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dilihat dari penggunaan warna, bahasa tubuh, ekspresi, teknik pengambilan gambar, latar dan aksi yang dilakukan oleh pemeran Lee Yong-Gu.
Penggunaan warna paling dominan pada gambar maskulinitas ini adalah warna terang. Warna terang atau dapat terlihat warna oranye yang cukup dominan
membuat kesan sebuah kebahagiaan dan sukacita yang melatarbelakangi gambar tertangkap dalam suatu frame. Warna oranye dapat memiliki makna kehangatan,
persahabatan, dan kegembiraa seperti halnya Lee Yong-Gu yang ditunjukkan melalui warna baju baju yang dikenakannya. Tidak hanya terang, dalam film ini
juga memakai warna gelap yang identik dengan warna hitam yang membuat kesan kejantanan. Hitam merupakan warna yang melambangkan perlindungan,
kekuatan, formalitas, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, harga diri. Pemilihan warna tersebut bukanlah
tanpa alasan, melainkan untuk membuat gambar terlihat semakin dramatis. Selain warna, bahasa tubuh pemeran Lee Yong-Gu yang terdapat dalam
gambar maskulinitas ini juga sangat penting. Karena bahasa tubuh dapat memberikan pesan-pesan yang ingin disampaikan. Bahasa tubuh dapat
memberikan pesan-pesan yang ingin disampaikan secara nonverbal. Bahasa tubuh yang begitu terlihat jelas dalam setiap gambar adalah pada saat Lee Yong-Gu
selalu berusaha untuk menjaga putrinya Ye Sung agar tidak dilukai oleh orang lain dan bahagia. Selain itu juga terlihat saat Lee Yong-Gu ingin menolong teman
satu selnya saat ingin dilukai oleh tahanan lainnya serta pada saat Lee Yong-Gu menolong kepala sipir ketika kebakaran terjadi di penjara. Terlihat pergerakan
tubuh Lee Yong-Gu selalu sigap dalam memperjuangkan kebahagiaan putrinya dan orang-orang sekitarnya. Hal ini juga tampak begitu jelas karena didukung
dengan metode pengambilan gambar. Metode pengambilan gambar yang diambil secara long shoot menampilkan pergerakan Lee Yong-Gu secara keseluruhan dari
ujung kepala hingga ujung kaki. Karena cerita dikemas dengan begitu baik dan juga adegan di setiap
gambar yang tidak dilebih-lebihkan, film Miracle In Cell No.7 ini mampu membuat emosi penonton naik dan turun dengan adegan-adegan dalam film
Miracle In Cell No.7. Atas hasil tersebut, maka disimpulkan bahwa media memiliki kekuatan untuk membius dan mempengaruhi khalayak. Khalayak yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menganggap realitas sama dengan realitas dunia nyata melupakan kenyataan bahwa media melakukan proses seleksi informasi berlapis-lapis secara ketat
sebelum menyajikannya ke hadapan khalayak. Seleksi tersebut oleh berbagai pertimbangan, mulai dari pertimbangan atas norma kultural dalam lingkungan
sosial, pertimbangan ideologis organisasi media, hingga pemenuhan kebutuhan khalayak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN