commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah banyaknya warga
yang menderita penyakit Demam Berdarah Dengue DBD atau Dengue Hemorrhagic Fever DHF Suirta et al., 2007 cit Rukmana, 2002. Awal
tahun 2005, tercatat 28.224 kasus demam berdarah terjadi di seluruh Indonesia, dengan jumlah kematian 348 orang. Kasus ini meningkat hingga
awal Oktober 2005, di mana di 33 provinsi kasus ini mencapai 50.196 kasus, dengan 701 di antaranya meninggal dunia. Akhir tahun 2006 hingga awal
tahun 2007 kasus demam berdarah terjadi lagi di beberapa daerah di Indonesia Suirta et al., 2007.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Sejak pertama kali
ditemukan, jumlah kasus DBD menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu
terjadi Kejadian Luar Biasa KLB setiap tahun Kristina et al., 2004. Kebijakan penanggulangan penyebaran penyakit DBD oleh pemerintah
Indonesia telah dilakukan dengan berbagai upaya yaitu dengan memutuskan rantai penularan penyakit dari penderita ke vektor kemudian dari vektor
kepada orang sehat yaitu dengan cara pemberantasan nyamuk Aedes aegypti Asiah, 2008 cit Adam, 2005. Strategi program DBD meliputi: 1.
commit to user
Kewaspadaan dini penyakit DBD, hal ini berguna untuk mencegah dan membatasi terjadinya KLB atau wabah penyakit dengan kegiatan bulan bakti
gerakan 3M menguras tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat tempat penampungan air dan mengubur atau menyingkirkan barang bekas
yang dapat menampung air, 2. Pemberantasan vektor yang dapat dilakukan dengan cara : a. Penyemprotan fogging yang difokuskan pada lokasi dimana
ditemui kasus b. Penyuluhan gerakan masyarakat dalam PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD melalui penyuluhan dengan pemanfaatan berbagai
jalur komunikasi dan informasi yang ada melalui kerjasama lintas program dan sektor serta dikoordinasi oleh Kepala daerah atau Wilayah c. Abatisasi
dan d. Kerja bakti dengan melakukan 3M Asiah, 2008 cit Suroso dan Umar, 2002.
Saat ini larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan larva Aedes aegypti adalah temefos Gafur et al., 2006 cit Ponlawat et al., 2005.
Namun, penggunaan larvasida dalam waktu lama dapat menyebabkan resistensi. Menurut suatu penelitian Raharjo, 2006 telah terjadi resistensi
larva Aedes aegypti di Surabaya, Palembang dan beberapa wilayah di Bandung terhadap temefos. Resistensi larva Aedes aegypti terhadap temefos
juga telah dilaporkan terjadi di Brazil Braga et al., 2004, Bolivia dan Argentina Llinas et al., 2010, Venezuela, Kuba Gafur et al., 2006 cit
Rodriguez et al., 2001, French Polynesia Gafur et al., 2006 cit Failloux et al., 1994, India Tikar et al., 2009, Karibia Gafur et al., 2006 cit Rawlins
Wan, 1995, Selangor Malaysia Dhang et al., 2008 dan Thailand Gafur et
commit to user
al., 2006 cit Ponlawat et al., 2005. Selain itu, air yang ditaburi temefos menjadi berbau kurang sedap Gafur et al., 2006 cit Mulla et al., 2004.
Temefos juga tidak ramah lingkungan karena temefos dan produk degradasinya sangat persisten Lacorte, 1996 dan dapat membunuh
zooplankton Hanazato et al., 1989. Hal ini mendorong untuk dikembangkannya alternatif lain dengan
menggunakan bahan alami, misalnya bahan dari tumbuhan sebagai larvasida nabati yang relatif lebih aman karena akan lebih mudah terurai bio-
degradable di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang Asiah, 2008 cit
Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2002. Penggunaan toksin yang berasal dari tanaman dapat digunakan untuk pemberantasan larva nyamuk Aedes aegypti
karena dalam suatu ekstrak tumbuhan selain beberapa senyawa aktif utama biasanya juga banyak terdapat senyawa lain yang kurang efektif, tapi
keberadaannya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan sinergi, hal ini memungkinkan serangga tidak mudah menjadi resisten
Utariningsih dan Purwanti, 2010. Beberapa penelitian telah memanfaatkan tanaman sebagai larvasida, di
antaranya ekstrak daun jeruk purut Hayati, 2006, ekstrak kulit jeruk manis Sari, 2008, ekstrak biji jeruk siam Al-Anshori, 2006 cit Puri, 2001 dan
lain-lain. Ekstrak kulit jeruk manis memiliki efek larvasida dengan nilai LD 50 sebesar 0,55 dan LD 100 sebesar 1,1 Sari, 2008. Selain dari ekstrak
juga telah dilakukan penelitian air perasan tanaman sebagai larvasida, seperti
commit to user
air perasan buah mengkudu Frihartini, 2008 dan belimbing wuluh Nopianti, 2008 yang terbukti dapat berfungsi sebagai larvasida. Pemakaian air perasan
lebih mudah dibuat daripada ekstrak karena hanya melalui proses pelumatan dan pelarut yang digunakan adalah air. Selain itu, kulit jeruk yang biasanya
dibuang begitu saja dan menjadi sampah dapat dimanfaatkan sebagai larvasida oleh masyarakat. Air perasan kulit jeruk manis lebih jernih daripada
ekstraknya maupun air perasan buah mengkudu dan belimbing wuluh. Buah mengkudu mengandung alkaloid, triterpenoid, saponin, polifenol
dan flavonoid Frihartini, 2008. Buah belimbing wuluh mengandung alkaloid, saponin dan flavonoid Nopianti, 2008. Kulit jeruk manis mengandung
saponin, flavonoid, tanin dan triterpenoid Sari, 2008. Dengan demikian terdapat beberapa kandungan kimia yang sama antara buah mengkudu,
belimbing wuluh dan kulit jeruk manis yang diperkirakan dapat berfungsi sebagai larvasida.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin mengadakan penelitian mengenai pengaruh air perasan kulit jeruk manis Citrus aurantium sub
spesies sinensis terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III In vitro.
B. Rumusan Masalah