memiliki aliran permukaan kurang dari 1000 mm setelah aplikasi penanaman strip dan agroforestri pada tahun 2008 yaitu sebanyak 16 sub sub DAS, pada tahun
2009 sebanyak 15 sub sub DAS dan pada tahun 2011 sebanyak 28 sub sub DAS Gambar 36, 37 dan 38. Penerapan teknik konservasi ini menyebabkan tidak
terdapat sub sub DAS yang memiliki aliran permukaan lebih besar dari 2000 mm.
Gambar 36. Tinggi aliran permukaan mm setelah aplikasi
penanaman strip dan agroforestri tahun 2008
Gambar 37. Tinggi aliran permukaan mm setelah aplikasi
penanaman strip dan agroforestri tahun 2009
Gambar 38. Tinggi aliran permukaan mm setelah aplikasi penanaman strip dan agroforestri tahun 2011
Dari ketiga teknik konservasi tanah teras bangku, penanaman menurut kontur dan penanaman strip yang diaplikasikan pada kebun campuran dan
tegalanladang, teknik konservasi teras bangku merupakan teknik konservasi yang paling efektif dalam menghambat aliran permukaan hingga 79,21 . Penggunaan
aplikasi agroforestri di perkebunan teh dapat menghambat aliran permukaan hingga 51,04 tahun 2008, 56,31 tahun 2009 dan 56,09 tahun 2011.
Berbagai penelitian sebelumnya telah menyebutkan mengenai keefektifan teknik konservasi tanah dalam mengurangi jumlah aliran permukaan. Saifudin dan
Agus 1998 menyebutkan bahwa faktor yang dominan menurunkan aliran permukaan pada micro cathments seluas 2,31 ha dan 1,93 ha adalah kemiringan
lahan, teknik konservasi dan penutupan permukaan tanah. Penelitian mengenai keefektifan teras dalam menghambat aliran permukaan sudah banyak dilakukan.
Menurut Haryati et al. 1995 pada tahun pertama penelitian di Ungaran, aliran permukaan pada teras bangku datar adalah yang paling rendah, disusul kemudian
oleh teras gulud, teras kredit dan teras bangku miring. Setelah tahun ketiga penelitian, aliran permukaan yang terjadi pada semua teknologi konservasi teras
yang dicobakan sudah cukup rendah. Talaohu et al. 1989 menyebutkan bahwa jumlah aliran permukaan pada
teras bangku dan teras gulud lebih kecil dibandingkan tanpa konservasi tanah, Pembuatan teras gulud mengakibatkan lereng menjadi pendek sehingga daya
rusak air aliran permukaan juga berkurang, Hasil penelitian lain yang juga menyebutkan keefektifan teknik konservasi dalam mengurangi aliran permukaan
dilakukan oleh Suganda et al. 1997 yang menyebutkan bahwa model bedengan searah kontur selama periode tanam buncis-kubis mampu menekan jumlah aliran
permukaan hingga lebih rendah 36 dari model bedengan yang searah lereng.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
1. Parameter hidrologi masukan model SWAT yang sesuai di sub DAS
Ciliwung Hulu adalah faktor alpha aliran dasar ALPHA_BF 0,57, lama ‘delay’ air bawah tanah GW_DELAY 16,09, ketinggian minimum aliran
dasar GWQMN 397,97, koefisien revap air bawah tanah GW_REVAP 0,04, fraksi perkolasi perairan dalam RCHRG_DP 0,28, faktor evaporasi
tanah ESCO 0,87, faktor uptake tanaman EPCO 0,68, nilai Manning untuk saluran utama CH_N2 0,19, hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium
CH_K2 245,01, faktor alpha aliran dasar untuk ‘bank storage’ALPHA_BNK 0,57, dan koefisien lag aliran permukaan
SURLAG 3,74. 2.
Model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi debit aliran di sub DAS Ciliwung Hulu seperti ditunjukkan hasil validasi yang baik dengan nilai R
0,88 dan NSE 0,74. 3.
Teknik konservasi tanah dan air yaitu teras bangku, penanaman menurut kontur, penanaman menurut strip dan agroforestri dapat mengurangi aliran
permukaan hingga 79,21, 70,36, 74,52 dan 56,31. Pengelolaan Lahan Terbaik di sub DAS Ciliwung Hulu yang paling efektif menurunkan aliran
permukaan adalah teras bangku.
6.2. Saran
Dalam pengambilan sampel sedimen perlu diperhatikan mengenai metoda pengambilan sampel agar didapatkan hasil yang akurat. Pengukuran unsur hara
nitrat untuk kedepannya seharusnya mempertimbangkan teknik penyimpanan data mempergunakan bahan kimia dan lamanya waktu penyimpanan sebelum masuk
ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis unsur hara dilakukan sesuai dengan metoda baku Keeney and Nelson 1982, Sulaeman et al. 2005.
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour K. 2011. SWAT CUP4: SWAT Calibration and Uncertainty Program- A User Manual. Eawag.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. [Balittanah]. Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 2002. Laporan Hasil
Monitoring Tata Air di Wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 2002. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial BP DAS Citarum-Ciliwung. Bogor.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan
DAS. Jakarta: Dephut. Fakhrudin M. 2003. Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan
DAS Ciliwung dengan model Sedimot II [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Gassman PW, Williams JR, Benson VR, Izaurralde RC, Hauck LM, Jones CA, Atwood JD, Kiniry JR, Flowers JD. 2005. Historical Development and
Applications of the EPIC and APEX Models. CARD Working Paper 05-WP 397. Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University.
Harmel RD, Cooper RJ, Slade RM, Haney RL, and Arnold JG. 2006. Cumulative uncertainty in measured streamflow and water quality data for small
watersheds. Trans. ASAE 49 3:689-701. Haryati U, Haryono, Aburachman A. 1995. Pengendalian erosi dan aliran
permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit
Penelitian Tanah dan Pupuk 13:40-50.
Haryati U, Rachman A, Sulaeman Y, Prasetyo T, Abdurachman A. 1991. Tingkat erosi, hasil tanaman pangan dan daya dukung ternak dalam sistem
pertanaman lorong. Di dalam: Risalah Lokakarya Hasil Penelitian P3HTAUACP-FSR; Bandungan, 25-26 Februari 1991. P3HTA. Badan
Litbang Pertanian.