Lampiran 3 Luas sub sub DAS Ciliwung Hulu hasil delineasi model No DAS
Nama Sub DAS Luas Ha
DAS 1 Katulampa
1.167,75
8,15 2 Ciesek
1
366,30
2,56 3 Ciesek
2
962,19
6,72 4 Ciesek
3
1.055,34
7,37 5 Ciseuseupan
1
212,49
1,48 6 Ciseuseupan
2
119,70
0,84 7 Ciseuseupan
3
103,41
0,72 8 Ciseuseupan
4
376,83
2,63 9 Cisarua
1
1302,48
9,09 10 Cisarua
2
320,13
2,23 11 Cisarua
3
328,95
2,30 12 Cisarua
4
298,44
2,08 13 Cisarua
5
423,27
2,95 14 Ciseuseupan
5
704,52
4,92 15 Cisukabirus
1
45,90
0,32 16 Tugu1
742,05
5,18 17 Cisukabirus
2
333,99
2,33 18 Cisukabirus
3
400,41
2,80 19 Tugu
2
525,85
5,67 20 Cibogo
1
972,99
6,79 21 Cisukabirus
4
352,35
2,46 22 Tugu
3
647,64
4,52 23 Cibogo
2
328,32
2,29 24 Cisukabirus
5
310,05
2,16 25 Cibogo
3
344,52
2,40 26 Cisukabirus
6
600,21
4,19 27 Cibogo
4
289,17
2,02 28 Cibogo
5
404,46
2,82 Jumlah
14.325,84 100,00
71
Lampiran 4. Overland flow aliran permukan langsung tiap sub sub DAS Ciliwung Hulu
No Sub sub DAS
Penggunaan Lahan Luas ha Aliran
Permukaan mm
2008 2009 2011
1 Kebun campuran
1.167,75 2.490,83
2.260,93 1.771,78
2 Teh 366,30
1.950,61 1.709,22
1.293,51 3
Hutan sekunder, teh 962,19
1.938,01 2.384,43
1.252,20 4 Kebun
campuran 1.055,34
2.510,71 2.269,18
1.782,60 5 Kebun
campuran, TegalanLadang
212,49 2.513,86
2.264,93 1.783,50
6 Kebun campuran,
TegalanLadang 119,70
2.495,60 2.255,15
1.772,71 7 Permukiman,
TegalanLadang 103,41
2.020,49 1.751,96
1.393,52 8 Kebun
campuran 376,83
2.472,20 2.251,86
1.761,23 9 Permukiman,
TegalanLadang 1302,48
1.849,14 1.960,69
1.295,64 10
Hutan sekunder, teh 320,13
1.927,48 2.379,14
1.244,39 11
Hutan sekunder, teh 328,95
1.935,17 2.384,41
1.250,30 12
Kebun campuran, teh 298,44
1.943,15 2.374,69
1.295,83 13 Kebun
campuran 423,27
1.798,51 2.213,46
1.140,31 14 Kebun
campuran 704,52
2.456,96 2.243,70
1.752,04 15 Kebun
campuran 45,90
2.147,26 2.308,15
1.506,76 16 Teh
742,05 1.931,33
2.360,69 1.238,52
17 Kebun campuran,
TegalanLadang 333,99
1.544,24 1.658,06
1.029,83 18 Kebun
campuran, TegalanLadang
400,41 1.586,55
1.704,43 1.063,19
19 Hutan sekunder, teh
525,85 1.560,93
1.930,00 985,03
20 Kebun campuran
972,99 1.832,32
1.969,75 1.256,63
21 Kebun campuran,
TegalanLadang 352,35
1.513,70 1.628,46
1.005,71 22
Hutan sekunder, TegalanLadang 647,64
1.268,45 1.594,22
774,09 23 Hutan
primer, TegalanLadang
328,32 1.306,01
1.394,72 862,33
24 Hutan sekunder, TegalanLadang
310,05 1.000,50
1.090,52 643,18
25 Hutan sekunder, TegalanLadang
344,52 1.130,24
1.223,59 734,72
26 Hutan sekunder, TegalanLadang
600,21 1.065,39
1.156,93 688,80
27 Hutan sekunder
289,17 820,03
907,69 514,50
28 Hutan sekunder
404,46 1.039,86
1.333,49 614,07
Lampiran 5. Aliran permukaan setelah aplikasi teknik konservasi tanah
No Sub sub
DAS Aliran permukaan tahun 2008 mm
Aliran permukaan tahun 2009 mm Aliran permukaan tahun 2011mm
Teras bangku
Kontur Penanaman
strip Agroforestri Teras
bangku Kontur
Penanaman strip
Agroforestri Teras bangku
Kontur Penanaman
strip Agroforestri
1 773.67 1.015,85
890,12 506,86
734,98 615,44
414,97 583,98
595,38 2
1.015,09 746,69
576,66 3
1.310,75 1.644,20
810,69 4 771,88
1.010,59 886.71
504,26 729,77
611,11 412,22
579,62 491,64
5 775,98 1.071,24
892,02 506,99
733,92 614,50
416,87 585,28
496,78 6 766,61
1.009,49 882,89
498,97 725,95
606,57 412,04
580,23 491,76
7 1.154,77 1.279,65
1.214,92 884,73 1002,57
940,59 715,31
802,77 756,92
8 740,42 980,17 854,68
477,38 700,37
582,96 393,94
558,94 471,87
9 755,35 900,70 824,57
827,20 979,73
899,78 518,04
608,69 561,01
10 1.353,57
1.700,43 842,29
11 1.337,86
1.679,74 829,26
12 869,66 997,94 931,12 1.102,04
1.252,89 1.174,29
524,10 599,92
559,69 13 642,33 892,34 762,27
831,88 1.127,83
973,69 366,11
512,26 434,66
14 728,07 968,10 842,15 466,46 688,38
571,60 386,47
550,47 463,85
15 469,85 680,28 569,82 531,79 755,90
638,72 315,78
446,57 377,59
16 945,60
1.198,06 543,79
17 474,58 686,78 575,77 532,47 756,63
639,48 318,99
449,59 380,92
18 487,66 702,90 590,46 546,76 774,26
655,46 326,75
459,50 389,77
19 1.334,43
1.661,95 828,75
20 475,28 1.201,55 576,00
535,89 1.504,60
642,90 318,51
724,34 380,37
21 481,89 695,28 583,52 540,93 766,90
648,49 323,32
454,88 385,51
73
ABSTRACT
RAHMAH DEWI YUSTIKA. Simulation of Best Management Practices Using SWAT Model To Reduce Surface Runoff in Upper Ciliwung Watershed. Under
supervision of SURIA DARMA TARIGAN, YAYAT HIDAYAT and UNTUNG SUDADI.
Serious problems encountered in watershed management are related to the vegetated-land conversion and increasing areas of critical lands. The later is
caused by inproper land management ignoring land capability and suitability, lack of application soil and water conservation techniques and landuse changes.
Measurement of various field parameters at watershed scale was not easy to do because of its complex characteristics which sometime interrelated to each
others. Modelling can be useful to understand processes involving those parameters in a watershed. SWAT Soil and Water Assessment Tool is a
physically-based model developed to predict the impacts of land management practices on water, sediment and agricultural chemical yields in large complex
watersheds with varying soils, land uses and management conditions over long periods of time. The objectives of this research were: 1 To analysis application
of SWAT model to predict surface runoff, erosion and nutrient loss nitrate in upper Ciliwung Hulu watershed, 2 To predict Best Management Practices in
agriculture field in order to reduce surface runoff in upper Ciliwung Hulu watershed. Methods applied includes collection of primary and secondary data,
preparation and analysis of the input data, application of the SWAT model, analysis of the calibration parameters, determination of the validation values and
simulation land management. The research was held in the period of June 2011 until June 2012. Based on daily flow discharge in February and March 2008 and
2009, the calibration result showed an R
value of 0,80 and NSE value of 0,55. Validation result in February and March 2009 and 2011 showed an R value of
0,88 and NSE value of 0,74. These results described that SWAT model can be used to predict hydrological processes in upper Ciliwung Hulu watershed.
Calibration of sediment observation and nitrat data were not successful because the values between observation and simulation were so different. This condition
made erosion prediction and nutrient loss prediction could not be proceeded. Best Management Practices recommended terraces to be applied in upper Ciliwung
Hulu watershed as terrace is the most effective soil conservation techniques to reduce surface runoff.
Keywords: calibration, soil conservation, surface runoff, SWAT, validation
RINGKASAN
RAHMAH DEWI YUSTIKA. Pengelolaan Lahan Terbaik Hasil Simulasi Model SWAT Untuk Mengurangi Aliran Permukaan di Sub DAS Ciliwung Hulu.
Komisi Pembimbing: SURIA DARMA TARIGAN, YAYAT HIDAYAT dan UNTUNG SUDADI.
Pengelolaan DAS merupakan masalah serius karena luas lahan kritis dan konversi lahan di kawasan DAS semakin meningkat. Salah satu DAS yang
mencerminkan keadaan tersebut adalah sub DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. Peningkatan luas lahan kritis antara lain diakibatkan oleh pengelolaan lahan yang
tidak sesuai dengan kesesuaian dan kemampuannya dan tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air, maupun perubahan pola penggunaan lahan
bervegetasi. DAS memiliki komponen-komponen yang kompleks sehingga pengukuran
lapang tidak mudah dilakukan. Penggunaan model diperlukan untuk membantu dalam memprediksi proses yang terjadi di dalam DAS. SWAT Soil and Water
Assessment Tool merupakan salah satu model yang dapat memperkirakan kondisi hidrologi berbasis proses fisik physical based model, sehingga memungkinkan
sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Pergerakan air, sedimen, unsur hara dan pertumbuhan tanaman merupakan proses-
proses yang dapat digunakan sebagai input dalam model SWAT untuk melakukan prediksi kondisi hidrologi suatu DAS. Untuk mensimulasikan proses tersebut
model memerlukan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi dan praktek pengelolaan lahan.
Tujuan penelitian yaitu 1 mengkaji kinerja aplikasi model SWAT untuk memprediksi aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara N-nitrat di sub DAS
Ciliwung Hulu 2 menentukan Pengelolaan Lahan Terbaik Best Management Practices pada lahan pertanian di sub DAS Ciliwung Hulu. Metode penelitian
yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, mengolah data input, penggunaan model SWAT, kalibrasi, validasi dan aplikasi model untuk
menentukan Pengelolaan Lahan Terbaik PLT.
Kalibrasi parameter input model yang digunakan di sub DAS Ciliwung Hulu adalah kurva aliran permukaan CN, faktor alpha aliran dasar
ALPHA_BF, lama ‘delay’ air bawah tanah GW_DELAY, ketinggian minimum aliran dasar GWQMN, koefisien revap air bawah tanah
GW_REVAP, fraksi perkolasi perairan dalam RCHRG_DP, faktor evaporasi tanah ESCO, faktor uptake tanaman EPCO, nilai Manning untuk saluran utama
CH_N2, hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium CH_K2, faktor alpha aliran dasar untuk ‘bank storage’ALPHA_BNK dan koefisien lag aliran
permukaan SURLAG. Model yang sudah dikalibrasi di sub DAS Ciliwung Hulu pada tahun 2008
dan 2009 memberikan nilai korelasi R 0,8 dan NSE 0,55. Model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi debit aliran di sub DAS Ciliwung Hulu seperti
ditunjukkan hasil validasi yang baik dengan nilai R 0,88 dan NSE 0,74. Kalibrasi dan validasi pada data observasi sedimen dan hara nitrat tidak
berhasil dilakukan. Hal ini disebabkan data hasil simulasi dan observasi berbeda jauh. Dalam pengambilan sampel sedimen perlu diperhatikan mengenai metoda
pengambilan sampel agar didapatkan hasil yang akurat. Pengukuran unsur hara nitrat untuk kedepannya seharusnya mempertimbangkan teknik penyimpanan data
mempergunakan bahan kimia dan lamanya waktu penyimpanan sebelum masuk ke laboratorium untuk dianalisis.
Teknik konservasi tanah dan air yaitu teras bangku, penanaman menurut kontur, penanaman menurut strip dan agroforestri dapat mengurangi aliran
permukaan hingga 79,21, 70,36, 74,52 dan 56,31. Pengelolaan Lahan Terbaik di sub DAS Ciliwung Hulu yang paling efektif menurunkan aliran
permukaan adalah teras bangku.
Kata Kunci: aliran permukaan, kalibrasi, konservasi tanah, SWAT, validasi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pengelolaan DAS merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas sumberdaya alam dan ekosistem DAS. DAS Ciliwung Hulu termasuk ke dalam
DAS yang banyak mendapatkan perhatian karena di bagian wilayah hilir DAS Ciliwung yaitu ibukota negara Jakarta sering mengalami kejadian banjir.
Tekanan pembangunan yang tinggi pada sub DAS Ciliwung Hulu menyebabkan DAS ini tergolong salah satu DAS yang mengalami degradasi.
Kondisi ini dicirikan oleh pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air, serta
perubahan pola penggunaan lahan bervegetasi. Pemanfaatan DAS secara intensif mengakibatkan terjadinya konversi lahan
di bagian hulu yang membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kualitas sumberdaya air. Konversi lahan pada umumnya terjadi pada penggunaan
lahan hutan menjadi daerah perkebunan dan pertanian, daerah perkebunan menjadi lahan pertanian dan permukiman, daerah pertanian menjadi permukiman
dan industri. Tidak jarang terdapat daerah hutan dan perkebunan yang berubah menjadi tanah kosong, terlantar dan gundul yang kemudian menjadi lahan kritis.
Fakhrudin 2003 mengemukakan bahwa, berdasarkan hasil analisis penggunaan lahan, luas permukiman di sub DAS Ciliwung meningkat secara subtansial dari
1990 sampai 1996 meningkat 67,88. Penurunan luas lahan pertanian dan hutan, dan peningkatan luas lahan terbangun tersebut telah meningkatkan debit
puncak hidrograf pada Stasiun Katulampa dari 150 m
3
dt
-1
menjadi 205 m
3
dt
-1
. Bertambahnya luasan lahan kritis dan konversi lahan dapat mengakibatkan
peningkatan aliran permukaan, erosi, kehilangan hara dari lahan pertanian dan peningkatan debit sungai pada musim hujan. Pada peristiwa erosi dalam suatu
DAS dapat terangkut hara N yang merupakan hara utama tanaman. Hara N tersebut berasal dari aktivitas pertanian yang menggunakan pupuk inorganik N
secara intensif dan berlebihan sehingga tidak semua hara tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman dan kemudian terbawa aliran permukaan.
Manajemen pengelolaan lahan diperlukan agar lahan dapat dipergunakan secara lestari dan berkesinambungan sustainable. Berbagai teknologi
konservasi tanah vegetatif strip cropping, alley cropping dan mekanik teras, gulud, saluran pengelak pada lahan pertanian dapat diaplikasikan untuk menjaga
dan memperbaiki kualitas tanah. Desa Megamendung Kabupaten Bogor yang terletak di Sub DAS Ciliwung Hulu telah menerapkan teknik konservasi teras
Mulyana et al. 2011. Kualitas tanah yang baik pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap ekosistem sekitarnya.
1.2 Perumusan Masalah
Pengelolaan lahan DAS bagian hulu pada saat ini dapat dikatakan masih belum berkelanjutan. Hal ini antara lain dicirikan oleh terjadinya konversi lahan
dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, peningkatan aliran permukaan dari tahun ke tahun, semakin tingginya perbedaan debit sungai antara musim
penghujan dan musim kemarau dan terjadinya peningkatan erosi. Berdasarkan hasil evaluasi Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung 2002 nilai erosi pada
tahun 2001 sebesar 247,28 t ha
-1
tahun
-1
dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 443,21 t ha
-1
tahun
-1
. Hasil penelitian Singgih 2000 dengan menggunakan
simulasi model HEC-1 terhadap debit, volume banjir dan kontribusi terhadap banjir di bagian hilir, menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan tahun
1981 dan tahun 1999 di DAS Ciliwung Hulu mengindikasikan terjadi peningkatan debit sebesar 67, volume banjir 59 dan kontribusi banjir di bagian hilir 8.
DAS memiliki komponen-komponen hidrologi yang kompleks dan mungkin sulit untuk dipahami secara keseluruhan. Penggunaan model sebagai suatu
penyederhanaan dari realitas yang sebenarnya diperlukan untuk membantu dalam memprediksi proses yang terjadi di dalam DAS. SWAT Soil and Water
Assessment Tool merupakan suatu model yang dapat memperkirakan kondisi hidrologi berbasis proses fisik physical based model, sehingga memungkinkan
sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS Neitsch et al. 2005. Pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman dan unsur hara
merupakan proses yang dapat digunakan sebagai input dalam model SWAT untuk melakukan prediksi kondisi hidrologi suatu DAS. Untuk mensimulasikan proses
tersebut model memerlukan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi dan praktek pengelolaan lahan.
1.3. Kerangka Pemikiran
Prediksi aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara nitrat di sub DAS Ciliwung Hulu dilakukan dengan menggunakan model SWAT. Kalibrasi dan
validasi model dilakukan untuk mengetahui keakuratan model. Berdasarkan hasil run model yang didapat maka dilakukan simulasi berbagai pilihan Pengelolaan
Lahan Terbaik Best Management Practices berupa teknologi konservasi. Dari hasil simulasi tersebut dihasilkan rekomendasi teknologi konservasi yang sesuai
untuk diterapkan di sub DAS Ciliwung Hulu.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji kinerja model SWAT untuk memprediksi aliran permukaan, erosi
dan kehilangan hara N-nitrat di sub DAS Ciliwung Hulu. 2.
Menentukan Pengelolaan Lahan Terbaik Best Management Practices pada lahan pertanian di sub DAS Ciliwung Hulu.
1.5 Manfaat
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan lesson learned bagi pemangku kepentingan utamanya pengambil keputusan dalam merencanakan
pengelolaan DAS dan memberikan masukan dalam menentukan Pengelolaaan Lahan Terbaik Best Management Practices sehingga sub DAS Ciliwung Hulu
memberikan manfaat yang lestari.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai DAS adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan
kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya atau single outlet Departemen Kehutanan 2001. Terdapat berbagai komponen dalam DAS yang
salah satunya adalah sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya alam tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan konsep keberlanjutan.
Daerah aliran sungai terdiri dari beberapa unsur, yaitu: unsur abiotik tanah, air dan iklim, biotik flora dan fauna dan manusia. Unsur-unsur tersebut saling
berinteraksi dan berinterelasi. Proses yang terjadi di dalam DAS terkait dengan karakteristik DAS yang meliputi: sifat-sifat tanah, topografi, tataguna lahan,
kondisi permukaan tanah, geomorfologi dan morfometri DAS. Daerah aliran sungai terbagi menjadi tiga daerah yaitu bagian hulu, bagian
tengah dan bagian hilir. Masing-masing daerah mempunyai karakteristik dan pengaruh tersendiri terhadap lingkungan ekosistem DAS. DAS bagian hulu
Upperstream mempunyai ciri-ciri: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng
besar 15, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase,
jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan, laju erosi lebih cepat daripada
pengendapan, pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “v”. Daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, kemiringan
lerengnya kecil 8 dan daerah banjir. DAS bagian tengah merupakan transisi dari DAS hulu dan hilir Asdak 2002.
Dalam suatu DAS terdapat penggunaan lahan yang termasuk ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah, serta budaya
bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Perubahan fungsi
kawasan akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem yang ada. Perubahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya dapat mempunyai pengaruh insitu
dan exsitu. Pengaruh insitu terjadi karena sifat lingkungan yang mengalami kemunduran sehingga berpengaruh terhadap lingkungan lokal, sedangkan
pengaruh exsitu terjadi karena adanya transfer dampak dari hulu DAS ke bagian hilirnya.
Penyelenggaraan pengelolaan DAS secara umum bertujuan untuk mengatur sumberdaya dalam DAS sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia dengan tetap mempertahankan kondisi kelestarian DAS. Pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu yang bersandar pada partisipasi
berbagai sektor terkait. Pengelolaan DAS yang salah dapat menimbulkan kerusakan lingkungan di bagian hulu dan bagian hilir DAS. Konsep pengelolaan
DAS berbasis bioregion dapat diterapkan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Dalam konsep bioregion, antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya saling
berinteraksi. Dalam pengelolaan DAS terdapat prinsip-prinsip dasar yaitu Departemen
Kehutanan 2001: 1 dilaksanakan secara terpadu, holistik, berkesinambungan, berwawasan lingkungan dengan pendekatan DAS yang diterapkan berdasarkan
sistem pemerintahan yang desentralistik, 2 berasas kelestarian, kemanfaatan, keadilan, kemandirian dan akuntabilitas, 3 melibatkan stakeholders dalam
pengambilan keputusan, 4 prioritas berdasarkan DAS strategis, 5 meliputi management watershed conservation, water resources development
, pengelolaan lahan dan pengelolaan vegetasi serta pembinaan, 6 efektivitas dan efisiensi
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi, 7 peninjauan kembali secara berkala dan program lanjutan.
Aspek hidrologi perlu diperhatikan dalam pengelolaan DAS untuk menjaga keseimbangan proses yang berlangsung di dalam suatu DAS. Aspek hidrologi
berkaitan dengan kuantitas, kualitas dan distribusi air yang cukup serta merata
sepanjang tahun. Parameter yang memegang peranan penting dalam neraca air DAS adalah presipitasi, evaporasi, akumulasi air dan aliran permukaan.
DAS yang lestari merupakan DAS yang dapat menunjang keberlangsungan lingkungan sekitarnya. DAS yang baik dan sehat dapat dicirikan oleh pengelolaan
sumberdaya yang ada yang dapat menjamin kehidupan yang layak serta terdapat kualitas, kuantitas dan distribusi air yang baik.
2.2 Konservasi Tanah
Teknik konservasi tanah berfungsi menjaga agar tanah dapat terlindungi dari kejadian erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah di atas permukaan tanah
melalui aliran permukaan. Terdapat berbagai jenis teknik konservasi tanah yaitu teknik konservasi mekanik, teknik konservasi vegetatif, teknik konservasi kimia
dan teknik konservasi agronomi. Teknik konservasi tanah mekanik merupakan perlakuan fisik mekanis yang
diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi. Seringkali teknik konservasi tanah ini
disebut dengan teknik konservasi sipil teknis. Teknik konservasi mekanik meliputi pembuatan teras gulud, teras bangku, teras kredit, teras individu, rorak, barisan
batu, saluran drainase dan sebagainya. Pada Gambar 2 disajikan teknik konservasi mekanik teras bangku yang terdapat di lokasi penelitian.
Teknik konservasi tanah vegetatif meliputi tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-tumbuhan vegetasi, baik tanaman legum yang menjalar,
semak atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan serta tumbuh-tumbuhan lain. Teknik konservasi vegetatif meliputi agroforestri, tumpang sari, tumpang
gilir, alley cropping budidaya lorong dan penanaman cover crop seperti mukuna, Centrocema Pubecens serta penanaman rumput. Teknik konservasi
vegetatif akan berpengaruh maksimum apabila dikombinasikan dengan teknik konservasi mekanik. Haryati et al. 1991 mengemukakan bahwa sistem budidaya
lorong dapat efektif menahan laju erosi.
Gambar 2 Teknik konservasi mekanik teras bangku Keefektifan praktek konservasi tanah pada skala DAS diteliti oleh Walker
dan Graczyk 1993. Penelitian Pengelolaan Lahan Terbaik PLT dilakukan pada dua DAS mikro di Wisconsin berdasarkan perlakuan penanaman strip menurut
kontur, pengolahan minimum dan rotasi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PLT dapat mengurangi sedimen dan NH
3
-N di satu DAS, sedangkan pengaruh PLT di DAS lainnya tidak menunjukkan pengurangan sedimen dan
NH
3
-N yang signifikan karena tidak lengkapnya data. Park et al. 1994 menyebutkan keefektifan PLT dapat diketahui dari faktor aliran permukaan, erosi
dan hara yang terkait parameter curve number, total konsentrasi padatan terlarut suspended solids dan keluaran jumlah N dan P sebelum dan sesudah aplikasi
PLT. Penelitian PLT skala DAS membutuhkan biaya besar dan waktu penelitian
yang cukup lama. Selain itu terdapat ketidakpastianerror yang menyangkut cara pengukuran di lapang. Penggunaan model untuk mengevaluasi PLT dapat
mengurangi biaya dan waktu serta dapat digunakan sebagai acuan penggunaan skenario penggunaan lahan yang dapat mengurangi nonpoint source pollution.
2.3 Aliran Permukaan
Air hujan yang jatuh dapat mengalami berbagai proses yaitu intersepsi ditangkap oleh tajuk tanaman, jatuh di permukaan tanah kemudian menjadi
aliran permukaan dan meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Pada proses infiltrasi, ada sebagian air yang menjadi aliran bawah permukaan dan yang
lainnya akan masuk ke lapisan tanah yang lebih dalam melalui proses perkolasi. Aliran permukaan berasal dari kelebihan infiltrasi infiltration excess
overland flow terjadi bila intensitas hujan yang besar melebihi laju infiltrasi. Laju
infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan dalam mm jam
-1
atau cm jam
-1
Arsyad 2010. Konversi lahan dapat menimbulkan perubahan karakteristik hidrologi yang
berkaitan dengan kapasitas infiltrasi. Pengurangan kapasitas infiltrasi akan menyebabkan kenaikan bagian hujan yang beralih menjadi aliran permukaan.
Kondisi ini berpotensi mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat aliran permukaan
antara lain: a curah hujan: jumlah, intensitas dan distribusi, b temperatur, c tanah: tipe, jenis substratum dan topografi tanah berpasir akan mempunyai laju
aliran permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah berliat, d luas daerah aliran laju aliran permukaan akan lebih rendah pada lahan yang luas
penutupan tanahnya besar dibandingkan pada lahan yang luas penutupannya lebih kecil, e tanamantumbuhan penutup tanah dan f sistem pengelolaan tanah
Arsyad 2010. Aliran permukaan merupakan faktor hidrologi terbesar yang dapat
menyumbang debit pada saat terjadi banjir. Volume aliran permukaan dalam jumlah besar dan terus-menerus dapat mengakibatkan erosi yang mengangkut
partikel-partikel tanah dan mendeposisikan pada badan-badan air seperti sungai, danau, waduk dan sebagainya. Makin besar jumlah sedimen yang terbawa oleh
aliran menunjukkan kondisi DAS yang tidak sehat.
2.4 Erosi
Erosi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan sebagai akibat pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan aspek
konservasi tanah dan air. Erosi tanah merupakan pengangkutan bahan-bahan material tanah yang disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Indonesia
sebagai negara tropis yang memiliki curah hujan tinggi, maka penyebab erosi utama adalah air. Erosi dapat mengakibatkan merosotnya produktivitas dan daya
dukung tanah untuk produksi pertanian dan lingkungan hidup karena pada prosesnya terjadi pengangkutan tanah lapisan atas yang kaya hara. Erosi yang
berjalan intensif pada permukaan tanah dapat menyebabkan terangkutnya komplek liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang kaya akan unsur hara
yang diperlukan oleh tanaman. Erosi ini merupakan masalah yang serius sebab tidak hanya menurunkan kualitas fisik dan kimia tanah, tetapi juga menurunkan
kualitas air. Erosi itu bisa terjadi sangat lambat, atau dapat juga sangat cepat, tergantung
pada bentang alam, kemiringan lereng, sifat kepekaan tanah dan keadaan hujannya. Proses erosi dapat terjadi secara alamiah berpengaruh terhadap
pembentukan tanah atau dipercepat accelerated akibat aktivitas manusia yang dapat memindahkan sebagian atau seluruh tanah yang ada di bentang alam.
Terdapat empat jenis erosi air yang dipercepat sebagai akibat pemindahan bahan tanah oleh air yang mengalir, antara lain Balittanah 2004:
- erosi permukaan sheet erosion: lebih seragam dalam pemindahan bahan
tanah di suatu lahan tanpa pembentukan parit air yang jelas. Kalaupun terjadi parit-parit, akan berbentuk halus, terdapat menyeluruh di
permukaan dan tidak stabilberpindah-pindah. Gejala erosi permukaan ini biasanya tidak tampak pada awal kejadiannya, tetapi semakin curam
lereng suatu lahan, erosi makin serius. -
erosi alur rill erosion: berupa parit-parit erosi yang jelas, dari hasil pemotonganpertemuan alur, akibat aliran permukaan yang terkonsentrasi.
Alur-alur erosi ini cukup dangkal dan dapat terhapus oleh pengolahan tanah, sehingga setelah itu sukar dibedakan apakah disebabkan oleh erosi
permukaan atau oleh erosi alur.
- erosi parit gully erosion: berbeda dengan erosi alur, erosi parit tidak
dapat terhapus oleh pengolahan tanah. Pada umumnya parit-parit erosi tidak dapat dilintasi oleh alat-alat mekanis. Kedalaman dan bentuk parit
erosi bervariasi dan ditentukan oleh lapisan-lapisan bahan resisten di dasar parit. Sedangkan bentuk parit erosi V dan U masing-masing diakibatkan
oleh adanya peningkatan dan penurunan resistensi bahan dengan kedalaman tanah.
- erosi terowongan tunnel erosion: terutama dijumpai pada lahan dengan
kadar Na dapat tukar yang tinggi dengan pembentukan drainase internal, yang berakibat terhadap penerobosan air melalui rekahan atau pori
kasarbesar atau lubang fauna tanah. Selanjutnya secara berangsur di bagian dalam tanah terjadi pemindahan mencolok bahan tanah melalui
outlet , sehingga terbentuk terowongan-terowongan.
Kejadian erosi dapat mengakibatkan tanah kehilangan hara yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Sudirman et al. 1986
menyatakan bahwa hilangnya lapisan atas dapat menyebabkan penurunan kadar bahan organik, peningkatan pemadatan tanah, penurunan stabilitas agregat tanah,
peningkatan kejenuhan alumunium serta penurunan KTK tanah.
2.5 Nitrogen
Kandungan hara N pada suatu penggunaan lahan dapat terangkut oleh aliran permukaan dan erosi. Semakin tinggi aliran permukaan dan erosi yang terjadi
pada suatu penggunaan lahan maka diperkirakan hara N yang terangkut juga akan semakin tinggi. Sehingga dengan demikian diperlukan penerapan manajemen
lahan yang tepat agar dapat menghambat kehilangan hara N. Hara N sangat diperlukan tanaman untuk pertumbuhannya. Fungsi N
diantaranya adalah untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan akar, berperan penting dalam pembentukan
hijau daun, protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik. Nitrogen dapat dibedakan atas empat kelompok utama yaitu: nitrogen nitrat N-NO
3 -
, nitrogen amonium NH
4 +
, nitrogen molekuler N-N
2
, dan nitrogen organik N-org. Pada
umumnya tanaman memanfaatkan nitrat lebih banyak dibandingkan amonium karena konsentrasinya yang lebih besar Tisdale et al. 1990.
Sumber utama N adalah berasal dari bahan organik, atmosfir, fiksasi oleh mikroorganisme, pupuk kandang dan pupuk kimia urea dan ZA. Nitrogen
mudah hilang atau tidak tersedia bagi tanaman melalui proses pencucian NO
3 -
, denitrifikasi NO
3 -
menjadi N
2
, volatilisasi NH
3
, fiksasi oleh mineral liat dan digunakan oleh mikroorganisme tanah. Permodelan N dalam SWAT disajikan
pada Gambar 3.
Gambar 3 Model N dalam SWAT Neitsch et al. 2005 Sebagian besar N tanah adalah N-organik. Nitrogen organik tersebut
ditransformasikan secara lambat menjadi amonium dan akhirnya menjadi nitrat yang merupakan bentuk N yang dapat diserap oleh tanaman. Nitrat merupakan
bentuk terlarut dalam air, karena itu cenderung bergerak bersama air ke dalam profil, akibat proses pencucian.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryati 1999 pada DAS Ciliwung Gadog-Ciawi, hasil analisis kandungan N-
NO
3
adalah 0,23 mg l
-1
. Kandungan nitrat pada perairan kelas I dan II menurut PP 822001 yang diperbolehkan
≤ 10 mg l
-1
.
Zubaidah 2004 mengemukakan bahwa dalam aliran air sesudah hujan di DAS Ciliwung Hulu, kadar hara tertinggi adalah N yaitu 20,73 ppm yang berasal
dari penggunaan lahan hutan dan terendah adalah P yaitu 0,68 ppm yang berasal dari penggunaan lahan perkebunan. Dalam endapan, kadar hara tertinggi adalah
C-organik yaitu 96566,67 ppm 9,66 dan terendah adalah P yaitu 1,00 ppm yang berasal dari penggunaan lahan perkebunan Tabel 1.
Tabel 1 Kadar unsur hara dalam aliran air dan sedimen sesudah hujan menurut penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu
Parameter Kadar unsur hara sesudah hujan ppm
Aliran air Sedimen
Hutan Perkebunan Tegalan Hutan Perkebunan Tegalan
N 20,73 14,74 16,39
3200,00 3500,00
2900,00 P 0,68 0,65
2,14 14,10
1,00 1,90
K 0,93 0,80 1,00
39,00 58,50
158,60 Ca 10,43
4,50 7,30
190,00 478,00
1706,00 Mg 2,70 1,95
2,30 33,60
93,60 90,00
C-organik - -
- 96566,67
42700,00 21500,00
Kegiatan pertanian merupakan salah satu penyebab dari non point source pollution
. Suatu kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang diakibatkan oleh penggunaan bermacam-
macam pupuk buatan dan pestisida. Pupuk yang mengandung N dan P dapat larut oleh aliran permukaan dan terakumulasi di badan air sungai.
2.6 Model SWAT
Model merupakan replika sistem dengan perbandingan tertentu, suatu konsep, sesuatu yang mengandung hubungan empiris, atau suatu seri persamaan
matematis atau statistik yang menggambarkan sistem Indarto 2012. Model merupakan alat yang digunakan untuk mempelajari hubungan antar parameter di
dalam suatu sistem. Soil and Water Assessment Tool
SWAT adalah model prediksi untuk skala daerah aliran sungai DAS yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk
USDA ARS Neitsch et al. 2005. SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen dan bahan kimia
pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacam-macam
sepanjang waktu yang lama.
Model SWAT mempunyai beberapa keunggulan yaitu dibangun berdasarkan proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim,
sifat tanah, topografi, tanaman dan pengelolaan lahan yang terdapat dalam DAS, mempunyai data input yang sudah tersedia, dapat dikerjakan secara efisien
menggunakan komputer sehingga hemat waktu dan biaya dan memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dalam suatu DAS Neitsch
et al. 2005. Selain itu Model SWAT menggunakan hubungan deskripsi
matematika dan empiris dalam menghitung respon hidrologi. Dalam penggunaannya, model SWAT membutuhkan data input yang cukup banyak dan
kompleks. SWAT merupakan perkembangan dari model CREAMS Chemical, Runoff
and Erosion from Agriculture Management System Knisel 1980, GLEAMS
Groundwater Loading Effects on Agriculture Managements System Leonard et al
. 1987 dan EPIC Erosion-Productivity Impact Calculator Gassman et al. 2005. Dalam perkembangannya, SWAT telah dikembangkan dalam Windows
dan Microsoft Visual Basic. SWAT juga telah dikembangkan sebagai interface dalam software GIS ArcGIS.
Komponen model SWAT mencakup iklim, hidrologi, temperatur tanah, sifat-sifat tanah, pertumbuhan tanaman, hara, pestisida, bakteri dan manajemen
lahan. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa sub-basin atau sub- DAS. Sub-basin adalah pembagian atau pengelompokan berdasarkan kesamaan
penggunaan lahan dan tanah atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Informasi input untuk setiap sub-basin dikelompokkan atau disusun ke dalam
katagori berikut: iklim, unit respon hidrologi HRUs, daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase sub-basin.
SWAT Editor merupakan suatu interface yang digunakan dalam melakukan pengeditan parameter, database SWAT, point source model, inlet, data reservoir,
menjalankan proses running model SWAT dan analisis kalibrasi serta sensitivitas Winchell dan Srinivasan 2007. SWAT Editor memerlukan parameter
geodatabase dan database yang sesuai dengan format SWAT.
2.7 SWATCUP
Model SWAT-CUP dapat membantu pemodel untuk melakukan kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastiaan pada model hidrologi SWAT. SWAT-CUP
dapat membantu pemakai model untuk mengurangi masalah dan error dalam proses kalibrasi. Dalam suatu model skala DAS terdapat banyak ketidakpastian
yang mencakup konsep yang digunakan, data input yang digunakan, dan penghitungan parameter. Abbaspour 2011 menyatakan bahwa ketidakpastian
konsep mencakup a penyederhanaan konsep yang digunakan, b proses yang terjadi dalam suatu DAS tidak terdapat dalam model erosi angin dan longsor, c
proses yang dihitung dalam suatu model akan tetapi pengguna tidak mengetahui proses yang terjadi dalam DAS misalnya irigasi, transfer air dan peternakan ayam
yang mempengaruhi kualitas air dan d adanya suatu proses yang tidak diketahui pembuatpengguna model dan tidak terdapat dalam model misalnya pembangunan
jalan, dam dan terowongan. Ketidakpastian input data mencakup kesalahan dalam memasukkan data input seperti data curah hujan. Ketidakpastian parameter
mencakup adanya beberapa parameter yang berpengaruh terhadap output sehingga tidak diketahui parameter yang paling dominan dan bersifat unik. Kondisi suatu
wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya menyebabkan parameter yang mempunyai pengaruh dalam suatu DAS juga berbeda. Parameter yang
menentukan dalam suatu DAS dapat berbeda dengan DAS lainnya. SWAT CUP merupakan program yang dapat digunakan dan disebarluaskan
secara bebas. Pada model SWAT-CUP terdapat empat program yaitu SUFI2, GLUE, ParaSol dan MCMC yang berhubungan dengan database SWAT. Model
SUFI2 merupakan model yang tingkat kesulitannya agak rendah dibandingkan dengan model GLUE, ParaSol dan MCMC.
Pada Gambar 4 disajikan langkah pengoperasian SWATCUP. Terdapat tiga bagian yang saling terkait yaitu model SWAT merah muda, input SWAT hijau
dan model SWATCUP-SUFI2 kuning.
Gambar 4 Langkah operasi penggunaan SWATCUP SUFI2 Abbaspour 2011
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di sub DAS Ciliwung Hulu yang terletak pada posisi 6º37’- 6º46’ LS dan 106º50’ - 107º0’ BT Gambar 5, yang secara administratif
meliputi 5 wilayah kecamatan yaitu Bogor Timur, Ciawi, Sukaraja, Megamendung dan Cisarua. Kegiatan penelitian lapang dilaksanakan mulai bulan
Juni 2011 sampai dengan Juni 2012.
Gambar 5 Peta lokasi penelitian
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Berikut data yang digunakan:
• Data iklim harian tahun 2006-2011 yang meliputi penyinaran matahari,
temperatur dan kecepatan angin Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Citeko