3. Suhu tanah
Suhu tanah berkaitan erat dengan aktivitas mikroba di dalam tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofilik yang beraktivitas optimal
pada suhu 30-40 °C Vogels et al., 1988. Suhu tanah pada lapisan atas yaitu pada
kedalaman antara 1 dan 10 cm berkaitan erat dengan laju emisi metan Holzapfel- Pschorn and Seiler, 1986. Sedangkan pada kedalaman 15 cm tidak memberikan
pengaruh yang signifikan. Perubahan suhu akan mempengaruhi produksi metan pada tanah sawah.
Pada kondisi tersedia cukup substrat, peningkatan suhu dari 17 °C ke 30 °C
menyebabkan peningkatan produksi metan 2,5 sampai 3,5 kali lipat.
4. Varietas padi
Tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CH
4
yang dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir, melalui pembuluh aerinkima daun, batang dan akar
padi. Selanjutnya CH
4
akan dilepas melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian bawah. Varietas padi mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh
aerinkima yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi meneruskan metan.
Biomass akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi metan terutama pada stadium awal. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat
akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman Setyanto, 2004. Semakin banyak eksudat akar emisi metan makin
tinggi. Jumlah biomass akar juga mempengaruhi emisi metan. Makin banyak biomass akar yang terbentuk maka emisi metan makin tinggi pula.
Jumlah anakan juga merupakan faktor penentu besarnya pelepasan metan. Semakin banyak anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aerinkima
meningkat Wihardjaka, 2001.
5. Bahan organik tanah
Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan pertumbuhan tanaman baik secara fisik, kimia dan biologis. Bahan organik
merupakan penyedia unsur-unsur N, P dan S untuk tanaman. Ketersediaan substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena
bertindak sebagai sumber energi. Secara fisik berperan dalam memperbaiki struktur tanah.
Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan pembentukan metan di lahan sawah. Penelitian Wihardjaka 2001 dengan menggunakan
beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang, diikuti berturut-turut
jerami segar, kompos dan tanpa bahan organik. Menurut Hadi 2001, pengomposan jerami padi dapat mereduksi emisi metan sampai separohnya.
Berkaitan dengan bahan organik tanah, potensial redoks Eh tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan
memungkinkan terbentuknya CH
4
Hou et al., 2000.
Mitigasi Emisi Metan Melalui Pengelolaan Air
Dalam upaya menurunkan kebutuhan air tanaman, petani di Cina telah membuktikan bahwa dengan melakukan pengeringan lahan pada tengah musim
tanam padi dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi. Pengeringan lahan sawah akan menstimulasi perkembangan akar tanaman padi, dan juga
mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah untuk menghasilkan lebih banyak lagi nitrogen anorganik yang merupakan pupuk utama. Selain itu juga
memberikan kesempatan tanah untuk aerasi, sehingga memutus produksi gas metan.
Penelitian di Jakenan, Pati, Jawa Tengah membuktikan bahwa dengan melakukan pengaturan air irigasi dapat mempengaruhi pH, Eh tanah, reaksi-reaksi
kimia, serta aktivitas mikroorganisme tanah yang berkaitan dengan emisi GRK, tanpa mempengaruhi produksi padi Husin, 1994; Setyanto dan Abu Bakar, 2005.
Selanjutnya dari hasil penelitian didapatkan bahwa dengan pengaturan air irigasi atau pengelolaan air dengan cara berselangintermittent mampu menurunkan total
emisi CH
4
sebesar 10–80 Husin, 1994; Li et al., 2005; Setyanto dan Abu
Bakar, 2005; Minamikawa et al., 2006. Demikian juga dengan irigasi macak- macak atau genangan dangkal 0-1 cm menurunkan total emisi metan sebesar
48,6 Setyanto dan Abu Bakar, 2005 hingga 67 Husin, 1994. Salah satu kunci mengontrol produksi CH
4
pada lahan sawah adalah dengan melihat dinamika Eh tanah. Untuk menekan produksi metan dapat dilakukan
dengan pengelolaan air yang disertai dengan pemakaian bahan organik, untuk mempertahankan Eh tanah tetap pada kisaran menengah, yaitu antara -100 mV
hingga +200 mV Hou et al., 2000. Menurut Setyanto dan Abu Bakar 2005, pada irigasi intermittent Eh tanah begerak antara -150 mV hingga -100 mV rata-
rata -102 mV.
Budidaya Padi Metode SRI System of Rice Intensification
SRI System of Rice Intensification merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi pada lahan beririgasi dengan
pengelolaan tanaman, tanah, sistem pemberian air irigasi dan nutrisi. Metode SRI meliputi praktek-praktek pengelolaan yang menyediakan lingkungan tumbuh yang
baik untuk tanaman, terutama di sekitar perakaran. Konsep dasar metode SRI meliputi kegiatan-kegiatan yang meliputi:
1. Bibit muda. Bibit padi ditanam setelah berumur 8-15 hari setelah semai, atau setelah
memiliki dua daun. 2. Tanam 1 bibit per lubang
Bibit padi ditanam pada lahan dengan sistem tanam dangkal dan akar bibit membentuk huruf L.
3. Jarak tanam lebar Dengan tanam tunggal pada jarak tanam yang lebar ini memberikan
ruang lebih bagi perkembangan akar, serta persaingan dalam memperoleh sinar, udara dan nutrisi.
4. Sistem irigasi macak-macak Tanah dijaga pada kondisi lembab tetapi tidak jenuh selama fase
vegetatif, dan kemudian dibiarkan kering sampai terjadi retak rambut. Kondisi ini memungkinkan lebih banyak oksigen masuk kedalam tanah
dan akan mendorong pertumbuhan akar. Pada fase generatif air diberikan dengan sistem penggenangan 1-3 cm, dan kemudian dikeringkan total 25
hari sebelum panen. Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa sistem pemberian air
secara macak-macak memberikan hasil gabah yang tidak berbeda nyata dengan metode irigasi yang lain Setyanto dan Abu Bakar, 2005.
5. Penyiangan Penyiangan pertama dilakukan setelah tanaman berumur 10 HST.
Penyiangan berikutnya ditentukan oleh tingkat kerapatan gulma yang ada. Dalam satu musim tanam sebaiknya penyiangan dilakukan minimal
3 kali. Penyiangan ini bertujuan untuk memberbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi tanah.
6. Aplikasi pupuk organik khusus Jawa Barat Penggunaan kompos dianjurkan sebagai pengganti penggunaan pupuk
kimia, dan terbukti memberikan hasil yang lebih bagus. Penambahan kompos kedalam tanah akan menambah nutrisi pada tanah dan juga
memberikan kontribusi dalam perbaikan struktur tanah. Dalam perkembangannya metode SRI di Indonesia mengalami modifikasi,
sesuai dengan kondisi lahan dan iklim setempat. Metode yang sudah dikembangkan diantaranya Balai Irigasi, 2007:
1. Jawa Barat Pengelolaan air sesuai dengan uraian di atas. Penggunaan hanya pupuk
organik selama masa tanam, yaitu pemberian kompos saat olah tanah dan MOL mikro-organisme lokal selama pertumbuhan tanaman.
2. Luar Jawa Pengelolaan air irigasi dilakukan dengan cara penggenangan 2-3 cm dan
dikeringkan sampai batas macak-macak. Penggunaan pupuk organik dianjurkan diberikan pada saat olah tanah, sedangkan saat pertumbuhan
tanaman diberikan pupuk anorganik urea, SP-36 dan KCl. Dari hasil penerapan metode SRI yang sudah dilakukan di Indonesia
memberikan keuntungan sebagai berikut Balai Irigasi, 2007: 1 penggunaan benih lebih hemat, yaitu sebesar 5 kg ha
-1
; 2 hemat air; 3 hemat waktu dengan
penggunaan bibit muda; 4 ramah lingkungan dengan aplikasi pupuk organik; 5 produktivitas lahan meningkat; dan 6 memberikan peluang sistem terpadu
pertanian, peternakan dan pengelolaan limbah.
Model Denitrifikasi-Dekomposisi DNDC
Karakteristik lahan sawah yang berubah dari kondisi jenuh dan tidak jenuh berpengaruh pada dinamika Eh tanah. Perubahan Eh tanah yang terjadi akan
menentukan produksi dan konsumsi metan, dimana metan diproduksi oleh bakteri metanogen pada Eh tertentu. Produksi metan ini sangat bervariasi terhadap ruang
dan waktu, dan berkaitan erat dengan interaksi dari banyak faktor. Model DNDC mulai dikembangkan oleh Changsheng Li pada tahun 1989
sebagai pemodelan emisi N
2
O, dan kemudian dikembangkan untuk menduga emisi gas pada lahan pertanian tanpa genangan. Modifikasi selanjutnya
dikembangkan dengan menambahkan rangkaian proses anaerob, sehingga dapat digunakan untuk mensimulasi siklus biogeokimia C dan N pada ekosistem lahan
lahan padi sawah Li et al., 2006. Gambaran “balon anaerob” dipakai pada model DNDC untuk membagi lapisan tanah menjadi zone aerob dan anaerob. Rangkaian
proses mengembang dan menyusut dari “balon anaerob” menunjukkan perkiraan dinamika Eh tanah sebagai hasil reaksi reduksi – oksidasi, dimana terjadi produksi
dan konsumsi metan yang dihitung mengikuti persamaan Nernst dan Michaelis – Menten.
Secara garis besar DNDC model terdiri dari 2 komponen yang saling berkaitan Gambar 2. Komponen yang pertama terdiri dari sub-model iklim
tanah, pertumbuhan tanaman dan proses dekomposisi, untuk memprediksi suhu tanah, kelembaban, pH, redoks potensial Eh dan profil konsentrasi subtrat yang
dipengaruhi olah faktor-faktor ekologi iklim, tanah, vegetasi dan aktivitas antropogenik. Komponen yang lain terdiri dari sub-model nitrifikasi, denitrifikasi
dan fermentasi, untuk memprediksi laju NO, N
2
O, N
2
, CH
4
dan NH
3
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan tanah.
Karbon organik tanah atau soil organic carbon SOC tersedia dalam bentuk sisa tanaman, biomas dan humus, masing-masing dengan laju dekomposisi yang
berbeda. Saat terjadi proses dekomposisi, karbon yang terdekomposisi sebagian
berubah menjadi SOC yang lain dan sebagian lagi hilang dalam bentuk CO
2
. Dissolved organic carbon DOC merupakan hasil antara selama proses
dekomposisi, dan segera dikonsumsi oleh mikroba sebagai sumber energi. Nitrogen organik yang terdekomposisi sebagian diubah menjadi bahan organik
lain dan sebagian lagi diubah menjadi amonium NH
4 +
sebagai bahan proses nitrifikasi yang menghasilkan nitrat NO
3 -
. Jika lapisan anaerob membesar, substrat-substrat DOC, NH
4 +
, NO
3 -
akan mengisi lapisan anaerob dan mendorong terjadinya proses denitrifikasi. Jika lapisan anaerob menyusut, terjadi
peningkatan proses nitrifikasi. Proses denitrifikasi dan nitrifikasi tersebut menghasilkan gas NO dan N
2
O. Setelah waktu yang cukup lama, pada lapisan tanah bagian bawah akan terjadi proses fermentasi yang menghasilkan hidrogen
sulfida H
2
S dan metan CH
4
, yang dipengaruhi oleh penurunan Eh tanah.
Gambar 2 Struktur model DNDC
Climate Soil
Vegetation Human activity
ecological drivers
Soil environmental
factors Temperature
Moisture pH
Eh Substrat: NH
4 +
, NO
3 -
, DOC
annual average
temp. LAI-regulated
albedo soil temp
profile
soil moist profile
potential evapotrans.
evap. trans.
vertical water
flow O
2
diffusion soil Eh
profile O
2
use
Soil climate
water demand water uptake
water stress root respiration
daily growth N-demand
N-uptake grain
stems roots
Plant growth
very labile labile resistant
NH
4 +
DOC
passive humus CO
2
litter microbes
humads labile
labile
resistant resistant
Decomposition
effect of temperature and moisture on decomposition
NO N
2
O N
2
NO
2 -
nitrate denitrifier
nitrite denitrifier
N
2
O denitrifier
DOC
NO
3 -
DOC nitrifiers
Soil Eh aerenchyma
DOC CH
4
production NO
3 -
N
2
O NO
NH
3
NH
4 +
NH
3
clay- NH
4 +
CH
4
CH
4
oxidation CH
4
transport
Denitrification Nitrification
Fermentation
Didalam model DNDC dilakukan simulasi pada proses-proses yang mengendalikan interaksi diantara faktor-faktor ekologi, lingkungan tanah, dan
reaksi biokimia dan geokimia. Model ini sangat dipengaruhi oleh empat parameter, yaitu: iklim, sifat fisik tanah, vegetasi, dan aktivitas antropogenik.
Ketersediaan dan keakuratan data keempat parameter tersebut menentukan hasil simulasi.
III. METODOLOGI