Model Optimum Budidaya Padi Intensif Dengan Pertimbangan Gas Metan Pada Sawah Irigasi Teknis

(1)

MODEL OPTIMUM BUDIDAYA PADI INTENSIF

DENGAN PERTIMBANGAN GAS METAN

PADA SAWAH IRIGASI TEKNIS

DISERTASI

Oleh:

KHADIJAH EL RAMIJA

NIM : 098106004

Program Doktor (S3)

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

MODEL OPTIMUM BUDIDAYA PADI INTENSIF

DENGAN PERTIMBANGAN GAS METAN

PADA SAWAH IRIGASI TEKNIS

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada

Sekolah PascasarjanaUniversitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) untuk dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

KHADIJAH EL RAMIJA

NIM : 098106004

Program Doktor (S3)

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Disertasi : MODEL OPTIMUM BUDIDAYA PADI INTENSIFDENGAN PERTIMBANGAN GAS METAN PADA SAWAH IRIGASI TEKNIS

Nama Mahasiswa : Khadijah EL Ramija

Nomor Induk : 098106004

Program Studi : Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Promotor

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D)

Co-Promotor

(Prof. Dr. Muhammad Zarlis)

Co-Promotor

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS.)

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)

Direktur

(Prof. Dr. Erman Munir, MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal: 22 April 2013

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Pemimpin Sidang:

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) (Rektor USU)

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D USU Medan Anggota : Prof. Dr. Muhammad Zarlis

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, MSc Dr. Didik Harnowo, MS

Dr. Delvian, SP, MP

USU Medan USU Medan USU Medan

Kepala BPTP Jawa Timur USU Medan


(5)

HALAMAN PERNYATAAN Judul Disertasi

“MODEL OPTIMUM BUDIDAYA PADI INTENSIF DENGAN PERTIMBANGAN GAS METAN

PADA SAWAH IRIGASI TEKNIS”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan karya penulis sendiri atau plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 22 April 2013 Penulis,


(6)

MODEL OPTIMUM BUDIDAYA PADI INTENSIF

DENGAN PERTIMBANGAN GAS METAN PADA SAWAH IRIGASI TEKNIS.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis pola perubahan kualitas tanah, kualitas air dan gas Metan (CH4) akibat peningkatan intensitas pertanaman, (2) menganalisis produktivitas dan ekonomi akibat peningkatan intensitas pertanaman padi pada lahan sawah irigasi teknis,(3) menyusun model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang rendah emisi gas metan secara berkelanjutan, dan (4) menganalisis indeks keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis serta (5) menyusun strategi kebijakan dalam penerapan model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan PTT yang rendah emisi gas metan secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan rancangan petak terbagi. Perlakuan Sistem Pengairan sebagai faktor petak utama yakni sistem pengairan terputus dan sistem mengalir secara terus menerus (penggenangan) dan Pemupukan sebagai faktor anak petak yaitu perlakuan pemupukan dilakukan berdasarkan Rekomendasi Permentan No 40 Tahun 2007 dan rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis laboratorium dengan 8 taraf perlakuan pemupukan dengan 3 ulangan. Analisis data kualitas tanah, air, emisi metan, produksi dan produktivitas padi dilakuan dengan analisis sidik ragam atau ANOVA dan untuk analisis produksi, produktivitas dan emisi metan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Selanjutnya Analisis Keberlanjutan modifikasi RAPFISH ini dinamakan Rapfarm (Rapid Appraisal for Farming) dengan menggunakan metode multidimensional scaling (MDS), untuk menyusun skenario digunakan pendekatan sistem model dinamik. Hasil penelitian menunjukkan sistem budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman tidak menurunkan kualitas tanah dan kualitas air dan emisi metan dapat ditekan sampai 66,05%. Budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman sampai empat musim tanam dalam satu tahun dengan pendekatan PTT dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi sampai 30% dan meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Model Optimum budidaya padi intensif yaitu menanam padi empat kali dalam satu tahun dengan pola tanam padi-padi-padi-padi menggunakan sistem PTT khususnya dengan sistem pengairan intermittent dan pemberian pupuk sesuai kebutuhan hara tanaman (rekomendasi hasil analisis laboratorium dengan dosis 100% ditambah probiotik). Nilai metan dengan penerapan model optimum dapat diturunkan secara signifikan dari 218.826.889,43 kg CH4 dapat menjadi 397.181,03 kg CH4 pada tahun 2030. Nilai indeks keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif, berkisar antara 42,84-66,54 (masuk ke dalam kategori cukup) dan hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode RAP-INLASIT-IP 400 cukup baik untuk dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mengevaluasi keberlanjutan penerapan model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis.


(7)

THE OPTIMUM MODEL OF INTENSIVE RICE CULTIVATION BY GAS OF METHANE CONSIDERATION AT TECHNICAL IRRIGATION OF

RICE FIELD ABSTRACT

The objectives of this research are (1) to analyze the changing patterns of soil quality, water quality and Methane (CH4) due to cropping index improvement, (2)

to analyze productivity and economic due to the increasing of rice cultivation intensity at technical irrigated rice field, (3) to arrange the optimum model of intensive rice cultivation at technical irrigated rice field by Integrated Crop Management (ICM) approach with low methane emission sustainably, and (4) to analyze sustainable index of optimum model of intensive rice cultivation with cropping index improvement at technical irrigated rice field and (5) to arrange the policy strategy in the implementation of optimum model of intensive rice cultivation at technical irrigated rice field by Integrated Crop Management (ICM) with low methane emission sustainably. This research used split plot design. The treatment of irrigation systems as the main split plot factor is intermittent irrigation and continuous system (flooded) and fertilization as sub plot factor which is fertilization treatment are applied, based on the Recommendation of the Minister of Agriculture No. 40/2007 and based on laboratory analysis recommendation with 8 levels of fertilization treatment with 3 replications. Data analysis for soil quality, water, methane emissions, production and rice productivity are done by analysis of variance (ANOVA) and for the analysis of production, productivity and the methane emission are continued into Duncan Multiple Range Test (DMRT) test. Further sustainability analysis of the RAPFISH modification is called Rapfarm (Rapid Appraisal for Farming) by using the multidimensional scaling (MDS) method, to arrange the scenario is used dynamic model systems approach. The result of study showed that intensive rice cultivation by increasing of planting intensity did not reduce soil and water quality and methane emission can be pushed until 66,05%. Cultivation of intensive rice by increasing of planting season up to four planting seasons in a year by ICM approach can increase rice production and productivity up to 30% and also increase farmer’s income significantly. Optimum Model of intensive rice cultivation is by planting rice for four times a year with the planting pattern of rice-rice-rice-rice by using ICM system especially by using intermittent irrigation system and fertilization appropriate for plant nutrients (recommendation from result of laboratory analysis with the dosage 100% plus probiotic). The value of methane with optimum model application can be reduced significantly from 218.826.889,43 kg CH4 to 397.181,03 kg CH4 in 2030. The value of sustainable

index of optimum model of intensive rice cultivation has range between 42,84-66,54 (included in the category of sufficiency) and the result of statistical test showed that RAP-INLASIT-IP 400 method is good enough to be used as one of the devices to evaluate the sustainability implementation optimum model of intensive rice cultivation on technical irrigated rice field.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Model Optimum Budidaya Padi Intensif Dengan Pertimbangan Gas Metan Pada Sawah Irigasi Teknis.

Selama melakukan penelitian dan penulisan disertasi ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada: 1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., MSc (CTM), Sp.A (K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Erman Munir, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara dan selaku Co-Promotor, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan disertasi ini.

4. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D selaku Promotor yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan disertasi ini.

5. Prof. Dr. Muhammad Zarlis selaku Co-Promotor, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan disertasi ini.

6. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, MSc, selaku Penguji atas saran untuk perbaikan yang telah diberikan.

7. Dr. Didik Harnowo, MS, selaku Penguji Luar Komisi atas saran untuk perbaikan yang telah diberikan.

8. Dr. Delvian, SP, MP, selaku Sekretaris Program Doktor Program Studi pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan selaku penguji atas saran untuk perbaikan yang telah diberikan.

9. Seluruh staf pengajar Program S3 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan rekomendasi teknologi bagi peningkatan produksi padi di Sumatera Utara dan dapat berkontribusi pada peningkatan produksi beras Nasional secara berkelanjutan.

Medan, 22 April 2013


(9)

RIWAYAT HIDUP

KHADIJAH EL RAMIJA, dilahirkan di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 28 Februari 1969 sebagai Putri ketiga dari tigabelas bersaudara. Ayah bernama (Alm.) Abdul Mubin Lubis dan Ibu yang bernama Masytah Khatib. Penulis menikah di Medan, pada tanggal 15 Mei 1996 dengan Cecep Sutisna Endan dan dikaruniai 2 (dua) orang putra yaitu Muhammad Luthfi Khadna dan Sheilla Fahira KhadnaPendidikan SD ditempuh mulai tahun 1975 dan lulus pada tahun 1981 di SD Negeri 050731 Tanjung Pura, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Tanjung Pura dan lulus tahun 1984, pendidikan sekolah lanjutan ditempuh di SMA Negeri 1 Tanjung Pura jurusan A1 (Fisika) lulus pada tahun 1987. Pendidikan Sarjana ditempuh di FKIP S1 UNSYIAH Banda Aceh pada tahun 1987 namun hanya 1 semester dan berhenti karena sakit, sehingga pendidikan sarjana diperoleh dijurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Dharmawangsa, Medan, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995 penulis diterima bekerja di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara Medan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Pada Tahun 2000 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program studi Ekonomi Pertanian Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan lulus pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana program Magister diperoleh dari Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (P2KP3/ARM-II Project) merupakan Proyek kerjasama Departemen Pertanian Republik Indonesia dengan World Bank. Selanjutnya Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Universitas Sumatera Utara.

Penulis sampai saat ini bekerja di BPTP Sumatera sebagai Peneliti Muda dan menjabat sebagai Ketua Kelompok Peneliti Bidang Sumberdaya.


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR...iv

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL ...ix

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Kerangka Pemikiran... 11

1.4. Tujuan Penelitian ... 13

1.5. Hipotesis ... 14

1.6. Manfaat Penelitian ... 14

1.7. Novelty Penelitian... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Sawah dan Budidaya Padi ... 15

2.2. Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) ... 18

2.3. Degradasi Lahan Sawah ... 19

2.3.1. Pencemaran Tanah Sawah ... 19

2.3.2. Pencemaran Air dan Kualitas Air Sawah ... 31

2.4. Gas Rumah Kaca (GKR) ... 42

2.4.1. Gas Metan ... 49

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Gas Metan ... 71

2.5. Analisis Keberlanjutan ... 78

2.6. Sistem dan Permodelan ... 80

2.6.1. Definisi dan Kategori ... 80

2.6.2. Pendekatan Sistem Dinamis ... 82

2.6.3. Struktur, Perilaku Sistem dan Causal loop Diagram ... 86

2.6.4. Model... 89

2.6.5. Validasi Model ... 90

2.6.6. Sensitivitas Model, Intervensi Fungsional dan Struktural ... 93

2.6.7. Simulasi Model ... 95

BAB III METODE PENELITIAN ... 98

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 98

3.2. Pendekatan Penelitian ... 98

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 99

3.3.1. Perlakuan dan Rancangan Percobaan ... 99

3.3.2. Jenis dan Sumber Data ... 101

3.3.3. Metode Pengambilan Sampel... 102

3.4. Analisis Data ... 106

3.4.1. Analisis Contoh Tanah untuk Parameter Kualitas Tanah ... 106

3.4.2. Analisis Contoh Air untuk Parameter Kualitas Air ... 106

3.4.3. Analisis Gas Metan ... 107

3.4.4. Efisiensi Agronomis ... 108


(11)

3.5. Analisis Keberlanjutan Budidaya Padi Intensif ... 109

3.6. Pendekatan Sistem ... 113

3.6.1. Analisis Kebutuhan ... 113

3.6.2. Identifikasi dan Formulasi Masalah ... 114

3.6.3. Identifikasi Sistem ... 116

3.6.4. Diagram Lingkar Sebab-Akibat (Causal Loop) ... 117

3.6.5. Permodelan dan Perilaku Sistem ... 119

3.6.6. Diagram Kotak Hitam ... 119

3.6.7. Validasi ... 121

3.6.8. Tahapan Penelitian ... 122

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 125

4.1. Potensi Wilayah Daerah Penelitian dan Letak Geografi ... 125

4.2. Zonase Agroekosistem Kabupaten Simalungun ... 126

4.3. Penggunaan Lahan Pertanian di Desa Purbaganda Kecamatan Pematang Bandar, Simalungun ... 129

4.4. Iklim dan Hidrologi ... 130

4.5. Landform dan Bahan Induk ... 137

4.6. Tanah ... 138

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 141

5.1. Analisis Pola Perubahan Kualitas Tanah, Kualitas Air dan Gas Metan (CH4 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Awal ... 141

) Akibat Peningkatan Intensitas Pertanaman ... 141

5.1.2. Kualitas Tanah ... 142

5.1.3. Sifat Kimia Air Awal... 153

5.1.4. Kualitas Air Selama Penelitian ... 154

5.1.5. Emisi Metan ... 162

5.1.6. Korelasi Komponen Hasil dengan Emisi Metan ... 170

5.1.7. Korelasi Jumlah Anakan maksimum dengan Total Emisi Metan ... 171

5.1.8. Korelasi Jumlah Anakan Produktif dengan Total Emisi Metan ... 174

5.2. Analisis Produksi, Produktivitas dan Ekonomi Budidaya Intensif Pada Lahan Sawah Irigasi Teknis ... 176

5.2.1. Produksi, Produktivitas dan Komponen Hasil ... 176

5.2.2. Efisiensi Agronomis ... 189

5.2.3. Keragaan Analisis Usaha Tani ... 195

5.3. Model Optimum Budidaya Padi Intensif pada Sawah Irigasi Teknis dengan Pendekatan PTT Rendah Emisi Gas Metan Secara Berkelanjutan ... 199

5.3.1. Analisis Kebutuhan ... 199

5.3.2. Formulasi Masalah ... 201

5.3.3. Identifikasi Sistem ... 204

5.3.4. Simulasi Model ... 208

5.3.5. Simulasi Model Existing Condition ... 214

5.3.6. Validasi Model ... 214

5.3.7. Validasi Struktur Model ... 215

5.3.8. Validasi Kinerja/Output Model ... 219

5.3.9. Penyusunan Skenario ... 222

5.3.10. Simulasi Skenario ... 225

5.3.11. Simulasi Skenario Empat Musim Tanam ... 228

5.4. Analisis Keberlanjutan Model Optimum Budidaya Padi Intensif pada Sawah Irigasi Teknis ... 230


(12)

5.4.1. Keberlanjutan Model Optimum Budidaya Padi Intensif pada

Sawah Irigasi Teknis Dimensi Ekologi ... 234

5.4.2. Keberlanjutan Model Optimum Budidaya Intensif pada Sawah Irigasi Teknis Dimensi Ekonomi ... 234

5.4.3. Keberlanjutan Model Optimum Budidaya Intensif pada Sawah Irigasi Teknis Dimensi Sosial ... 237

5.4.4. Keberlanjutan Model Optimum Budidaya Intensif pada Sawah Irigasi Teknis Dimensi Teknologi... 240

5.4.5. Keberlanjutan Model Optimum Budidaya Intensif pada Sawah ... 245

5.5. Strategi Kebijakan dalam Penerapan Model Optimum Budidaya Padi Intensif pada Sawah Irigasi Teknis Rendah Emisi Gas Metan ... 249

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 249

6.1. Kesimpulan ... 249

6.2. Saran ... 250

DAFTAR PUSTAKA ... 251

LAMPIRAN ... 272


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1.1 Rumusan masalah model optimum budidaya padi intensif, rendah emisi gas metan dan berkelanjutan pada sawah irigasi teknis

12

2.1 Dinamika produksi dan emisi CH4 dari lahan sawah 52

2.2 Causal loop diagram 87

2.3 Penggunaan simulasi model 95

3.1 Ilustrasi indeks setiap dimensi keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis di Kabupaten Simalungun

111

3.2 Tahapan analisis rapfish modifikasi menggunakan MDS

113 3.3 Diagram sebab akibat model optimum budidaya padi

intensif rendah emisi gas metan dan berkelanjutan pada sawah irgasi teknis di Kabupaten Simalungun

118

3.4 Konsep diagram kotak hitam 121

3.5 Tahapan penelitian model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis

124 4.1 Peta Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara 126 4.2 Peta klasifikasi iklim oldeman di Kabupaten

Simalungun

130 4.3 Peta klasifikasi iklim Scmidth-Ferguson di Kabupaten

Simalungun

131 4.4 Grafik korelasi data iklim dengan pola tanam di

Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun

133

4.5 Grafik korelasi data iklim dengan pola tanam MT I tahun 2011, di Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun

133

4.6 Grafik korelasi data iklim dengan pola tanam MT II tahun 2011, di Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun

134

4.7 Grafik korelasi data iklim dengan pola tanam MT I tahun 2012, di Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun

135

4.8 Grafik korelasi data iklim dengan pola tanam MT II tahun 2012, di Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun

136

5.1 Grafik pH tanah selama empat musim tanam 144 5.2 Grafik C-organik tanah selama empat musim tanam 146 5.3 Grafik N-total tanah selama empat musim tanam 148 5.4 Grafik P-tersedia selama empat musim tanam 149 5.5 Grafik K-dd selama empat musim tanam 150 5.6 Grafik pH air selama empat musim tanam 155 5.7 Grafik EC air selama empat musim tanam 155 5.8 Grafik N-total air selama empat musim tanam 156 5.9 Grafik P-air selama empat musim tanam 157


(14)

5.10 Grafik K-air selama empat musim tanam 158 5.11 Grafik kandungan Fe air selama empat musim tanam 159 5.12 Emisi CH4 selama empat musim tanam 163 5.13 Kumulatif metan ( CH4) selama empat musim tanam 164 5.14 Total emisi CH4 pada setiap perlakuan selama empat

musim tanam

172 5.15 Grafik Jumlah Anakan Maksimum dengan Total Emisi

Metan

173 5.16 Korelasi jumlah anakan maksimum dengan total metan

perlakuan A2B6

174 5.17 Grafik jumlah anakan produktif dengan total emisi

metan

175 5.18 Hubungan jumlah anakan produktif dengan total metan

perlakuan A2B6

176 5.19 Grafik jumlah anakan selama empat musim tanam 177 5.20 Grafik bobot 1000 butir selama empat musim tanam 178 5.21 Grafik jumlah gabah isi selama empat musim tanam 179 5.22 Grafik gabah kering panen selama empat musim tanam 180 5.23 Grafik jumlah anakan produktif selama empat musim

tanam

181 5.24 Grafik gabah kering giling selama empat musim tanam 181 5.25 Grafik tinggi tanaman (cm) selama empat musim

tanam

181 5.26 Grafik berat berangkasan selama empat musim tanam 181 5.27 Variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sistem 202 5.28 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) 203 5.29 Stock flow diagram model pengelolaan budidaya padi

intensif di lahan sawah irigasi teknis rendah emisi gas metan

205

5.30 Sub model sosial 208

5.31 Pertumbuhan penduduk dan jumlah petani kabupaten simalungun

209

5.32 Tingkat pendidikan petani 210

5.33 Sub model ekonomi 211

5.34 Laju pertumbuhan PDRB daerah dan kontribusi sektor pertanian

211 5.35 Luas panen dan jumlah produksi 212

5.36 Rata-rata pendapatan petani 213

5.37 Sub model ekologi 213

5.38 Grafik validasi penduduk 217

5.39 Grafik validasi PDRB 218

5.40 Grafik validasi kontribusi sektor pertanian 218 5.41 Skenario rata-rata pendapatan petani 223 5.42 Emisi metan pada kondisi eksisting dan perlakuan

intermitent serta pola tanam

224 5.43 Analisis indeks dan status keberlanjutan model

optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis multidimensi


(15)

5.44 Ordinasi dimensi ekologi (ordination of ecological dimension)

228 5.45 Ordinasi dimensi sosial (ordination of social

dimension)

229 5.46 Analisis laverage indeks dan status keberlanjutan

model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dimensi ekologi dan faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi

231

5.47 Ordinasi dimensi ekonomi (ordination of economic dimension)

234 5.48 Analisis leverage indeks dan status keberlanjutan

model optimum budidaya padi intensif pada lahan sawah irigasi teknis dimensi teknologi dan faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi

237

5.49 Ordinasi Dimensi Sosial (Ordination of sosial Dimension)

238 5.50 Analisis leverage indeks dan status keberlanjutan

model optimum budidaya padi intensif pada lahan sawah irigasi teknis dimensi kelembagaan dan faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial

238

5.51 Ordinasi dimensi teknologi (Ordination of technological)

238 5.52 Analisis leverage indeks dan status keberlanjutan

model optimum budidaya padi intensif pada lahan sawah irigasi teknis dimensi teknologi dan faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi

240

5.53 Ordinasi dimensi kelembagaan (Ordination of institutional dimension)

241 5.54 Diagram layang (kite diagram) analisis keberlanjutan

model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dari lima dimensi

243


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Deskripsi padi varietas padi INPARI I3 272

2 Kriteria sifat kimia tanah 273

3 Peraturan pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang pengelolan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

279

4 Perlakuan penelitian model optimum budidaya padi intensif dengan pertimbangan gas metan pada sawah irigasi teknis di Kabupaten Simalungun

279

5 Denah plot penelitian 281

6 Atribut dan skor keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif rendah emisi metan pada lahan sawah irigasi teknis dimensi ekologi

282

7 Atribut dan skor keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif rendah emisi metan pada lahan sawah irigasi teknis dimensi ekonomi

284

8 Atribut dan skor keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif rendah emisi metan pada lahan sawah irigasi teknis dimensi teknologi

286

9 Atribut dan skor keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif rendah emisi metan pada lahan sawah irigasi teknis dimensi sosial

289

10 Atribut dan skor keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif rendah emisi metan pada lahan sawah irigasi teknis dimensi kelembagaan

291

11 Skenario pendapatan petani 293

12 Gas metan yang dikeluarkan pada kondisi eksisting dari luasan sawah di kabupaten simalungun sangat jauh diatas nilai metan dengan penerapan intermitent dan pola empat musim tanam


(17)

MODEL OPTIMUM BUDIDAYA PADI INTENSIF

DENGAN PERTIMBANGAN GAS METAN PADA SAWAH IRIGASI TEKNIS.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis pola perubahan kualitas tanah, kualitas air dan gas Metan (CH4) akibat peningkatan intensitas pertanaman, (2) menganalisis produktivitas dan ekonomi akibat peningkatan intensitas pertanaman padi pada lahan sawah irigasi teknis,(3) menyusun model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang rendah emisi gas metan secara berkelanjutan, dan (4) menganalisis indeks keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis serta (5) menyusun strategi kebijakan dalam penerapan model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan PTT yang rendah emisi gas metan secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan rancangan petak terbagi. Perlakuan Sistem Pengairan sebagai faktor petak utama yakni sistem pengairan terputus dan sistem mengalir secara terus menerus (penggenangan) dan Pemupukan sebagai faktor anak petak yaitu perlakuan pemupukan dilakukan berdasarkan Rekomendasi Permentan No 40 Tahun 2007 dan rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis laboratorium dengan 8 taraf perlakuan pemupukan dengan 3 ulangan. Analisis data kualitas tanah, air, emisi metan, produksi dan produktivitas padi dilakuan dengan analisis sidik ragam atau ANOVA dan untuk analisis produksi, produktivitas dan emisi metan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Selanjutnya Analisis Keberlanjutan modifikasi RAPFISH ini dinamakan Rapfarm (Rapid Appraisal for Farming) dengan menggunakan metode multidimensional scaling (MDS), untuk menyusun skenario digunakan pendekatan sistem model dinamik. Hasil penelitian menunjukkan sistem budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman tidak menurunkan kualitas tanah dan kualitas air dan emisi metan dapat ditekan sampai 66,05%. Budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman sampai empat musim tanam dalam satu tahun dengan pendekatan PTT dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi sampai 30% dan meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Model Optimum budidaya padi intensif yaitu menanam padi empat kali dalam satu tahun dengan pola tanam padi-padi-padi-padi menggunakan sistem PTT khususnya dengan sistem pengairan intermittent dan pemberian pupuk sesuai kebutuhan hara tanaman (rekomendasi hasil analisis laboratorium dengan dosis 100% ditambah probiotik). Nilai metan dengan penerapan model optimum dapat diturunkan secara signifikan dari 218.826.889,43 kg CH4 dapat menjadi 397.181,03 kg CH4 pada tahun 2030. Nilai indeks keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif, berkisar antara 42,84-66,54 (masuk ke dalam kategori cukup) dan hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode RAP-INLASIT-IP 400 cukup baik untuk dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mengevaluasi keberlanjutan penerapan model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis.


(18)

THE OPTIMUM MODEL OF INTENSIVE RICE CULTIVATION BY GAS OF METHANE CONSIDERATION AT TECHNICAL IRRIGATION OF

RICE FIELD ABSTRACT

The objectives of this research are (1) to analyze the changing patterns of soil quality, water quality and Methane (CH4) due to cropping index improvement, (2)

to analyze productivity and economic due to the increasing of rice cultivation intensity at technical irrigated rice field, (3) to arrange the optimum model of intensive rice cultivation at technical irrigated rice field by Integrated Crop Management (ICM) approach with low methane emission sustainably, and (4) to analyze sustainable index of optimum model of intensive rice cultivation with cropping index improvement at technical irrigated rice field and (5) to arrange the policy strategy in the implementation of optimum model of intensive rice cultivation at technical irrigated rice field by Integrated Crop Management (ICM) with low methane emission sustainably. This research used split plot design. The treatment of irrigation systems as the main split plot factor is intermittent irrigation and continuous system (flooded) and fertilization as sub plot factor which is fertilization treatment are applied, based on the Recommendation of the Minister of Agriculture No. 40/2007 and based on laboratory analysis recommendation with 8 levels of fertilization treatment with 3 replications. Data analysis for soil quality, water, methane emissions, production and rice productivity are done by analysis of variance (ANOVA) and for the analysis of production, productivity and the methane emission are continued into Duncan Multiple Range Test (DMRT) test. Further sustainability analysis of the RAPFISH modification is called Rapfarm (Rapid Appraisal for Farming) by using the multidimensional scaling (MDS) method, to arrange the scenario is used dynamic model systems approach. The result of study showed that intensive rice cultivation by increasing of planting intensity did not reduce soil and water quality and methane emission can be pushed until 66,05%. Cultivation of intensive rice by increasing of planting season up to four planting seasons in a year by ICM approach can increase rice production and productivity up to 30% and also increase farmer’s income significantly. Optimum Model of intensive rice cultivation is by planting rice for four times a year with the planting pattern of rice-rice-rice-rice by using ICM system especially by using intermittent irrigation system and fertilization appropriate for plant nutrients (recommendation from result of laboratory analysis with the dosage 100% plus probiotic). The value of methane with optimum model application can be reduced significantly from 218.826.889,43 kg CH4 to 397.181,03 kg CH4 in 2030. The value of sustainable

index of optimum model of intensive rice cultivation has range between 42,84-66,54 (included in the category of sufficiency) and the result of statistical test showed that RAP-INLASIT-IP 400 method is good enough to be used as one of the devices to evaluate the sustainability implementation optimum model of intensive rice cultivation on technical irrigated rice field.


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia dewasa ini memerlukan kerja keras dengan melibatkan puluhan juta orang yang berhadapan dengan berbagai faktor alam dan pasar yang tidak selalu bersahabat dan mendukung. Penyediaan pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau tetap menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Selain merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia, bercocok tanam padi juga telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 36,1 juta rumah tangga petani di pedesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi sangat penting dan strategis karena turut mempengaruhi tatanan politik dan stabilitas nasional (Deptan, 2008).

Pertumbuhan jumlah penduduk dan dan tingkat konsumsi beras yang masih tinggi menyebabkan kebutuhan beras terus meningkat. Hal ini berarti pertumbuhan produksi tidak mampu mengimbangi peningkatan jumlah penduduk (Hilman et al., 2010). Pada tahun 2011 jumlah penduduk 241,1 juta orang dengan tingkat konsumsi 139,15 kg beras perkapita pertahun (BPS, 2011). Upaya peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan pangan yang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dapat ditempuh dengan strategi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, dan pemanfaatan sumberdaya teknologi.

Salah satu indikator penting kinerja pemerintah terutama untuk sektor pertanian adalah terpenuhinya kebutuhan pangan dalam jumlah yang cukup dan


(20)

berkualitas serta harga yang terjangkau bagi masyarakat. Ditengah krisis pangan dunia yang dipicu oleh perubahan iklim, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian tetap menargetkan surplus 10 juta ton beras sampai tahun 2014, dan pada akhirnya dijadikan agenda penting Kementerian Pertanian yang harus didukung oleh seluruh Provinsi di Indonesia termasuk Sumatera Utara. Program tersebut juga membutuhkan pengawalan dan kerjakeras secara terintegrasi dan komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah.

Pencapaian surplus ini dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan produksi beras. Penurunan konsumsi beras dapat dicapai melalui diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan budaya lokal. Penurunan ini menjadi bermakna karena diharapkan mampu berkontribusi dalam menurunkan angka kerawanan pangan dunia yang mencapai 1,02 miliar orang atau 15,8 persen dari jumlah total penduduk dunia (Renstra Kementan, 2009).

Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan swasembada beras. Diantara tingginya pertumbuhan populasi penduduk, konversi lahan sawah subur ke tanaman lainnya yang lebih bernilai jual tinggi, pembangunan kawasan perumahan, perkantoran dan kawasan industri, meningkatnya kompetisi antar-usahatani, keterbatasan sumberdaya air serta terjadinya banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim (climate change) karena pemanasan global (global warming), (Suyamto dan Zaini, 2010 ).

Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain juga disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal


(21)

penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional untuk pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan.

Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, karena : 1) akses terhadap pangan dan gizi yang cukup menjadi hak paling azasi bagi manusia, 2) kecukupan pangan berperan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan 3) ketahanan pangan menjadi pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Las et al., 2006). Sehingga Upaya mempertahankan ketahanan pangan nasional perlu dilaksanakan secara simultan melalui : 1) pengendalian konversi lahan pertanian; 2) mencetak lahan pertanian baru; dan (3) intensifikasi sistem pertanian dengan menerapkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas (peningkatan intensitas tanam) dan sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan. Namun menurut Agus dan Mulyani (2006), peningkatan produktivitas dapat mengalami berbagai kendala diantaranya; 1) degradasi dan konversi lahan pertanian; 2) infrastruktur pertanian; 3) ketersediaan sarana produksi; 4) adopsi teknologi tepat guna; 5) luas kepemilikan lahan; 6) kelembagaan pertanian; 7) akses permodalan petani; 8) jaminan harga hasil panen dan 9) perubahan iklim global. Berbagai penelitian dan permodelan terhadap produksi pertanian dan perubahan iklim menunjukkan bahwa perubahan


(22)

iklim memiliki dampak negatif terhadap produksi pertanian. Bahkan Warren et al. (2006) memprediksi peningkatan suhu sebesar 30

Penelitian Wahyuni dan Wihardjaka (2007) serta Susandi (2008) menyimpulkan dampak pemanasan global terhadap usaha pertanian adalah; 1) penyusutan luas lahan sawah dan makin luasnya areal sawah yang terintrusi air laut di daerah pantai akibat naiknya permukaan air laut ; 2) Makin sering terjadi banjir dan kekeringan pada lahan sawah; 3) Kenaikan suhu yang berpengaruh terhadap pola pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi; 4) Variabilitas intensitas dan distribusi hujan akan mengubah awal musim tanam dan jadwal musim tanam yang kemudian berdampak terhadap penurunan produksi pertanian; 5) Menstimulasi perkembangan organisme penggangu tanaman (OPT).

C akan menimbulkan kelaparan bagi 600 juta jiwa, terutama dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Lahan sawah, yang luasnya mencapai 7,7 juta ha, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan terutama beras, sehingga perlu ditambah dengan impor. Produksi dan kebutuhan beras pada tahun 2010 mencapai 32,65 juta ton, sedangkan kebutuhan mencapai 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Pada tahun 2015 diprediksi di Indonesia terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton dan meningkat menjadi 7,49 ton beras pada tahun 2020. Untuk menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen sekitar 13.500-15.000 ha lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000 ha dengan asumsi IP 150%. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif tinggi menuntut peningkatan produksi yang sinambung, sementara sebagian lahan sawah yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lain


(23)

Peningkatan Indeks Pertanaman (IP) merupakan salah satu skenario yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi padi (DEPTAN, 2008).

Menurut Pusat Sosial-Ekonomi dan kebijakan Pertanian (2010), kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2050 diperkirakan 48,2 juta ton setara dengan 80,3 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada saat ini tingkat produksi beras baru mencapai 36 juta ton atau setara 60 juta ton GKG. Kekurangan 12,2 juta ton beras pada tahun 2050 atau setara 20,3 juta ton GKG sebagian dapat dipenuhi melalui peningkatan produktivitas. Dengan kapasitas produksi gabah maksimal pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan yang dewasa ini 60,2 juta ton, maka defisit sekitar 20 juta ton hanya dapat dicukupi melalui pemanfaatan lahan rawa, lahan kering, dan peningkatan intensitas pertanaman (Suyamto dan Zaini, 2010).

Target Pemerintah melalui Kementerian Pertanian yaitu 70,6 juta ton GKG dan 10 juta ton beras pada 2014 (Inpres No 5 Tahun 2011). Jumlah kebutuhan beras yang sangat tinggi tersebut dapat dipenuhi dengan berbagai skenario antara lain dengan peningkatan intensitas Pertanaman atau meningkatkan IP. Luas lahan potensial untuk penerapan IP padi 400 di 17 provinsi mencapai 231.000 hektar (BB Penelitian Padi, 2009), terutama pada lahan sawah beririgasi teknis di sekitar waduk di Jawa dan luar pulau Jawa. Namun demikian, upaya peningkatan intensitas tanam padi yang selama ini dipraktekkan akan mengurangi luas areal pertanaman palawija, sayuran, tebu, dan tembakau pada lahan sawah. Dari segi ekonomi usahatani, petani akan memilih pola tanam setahun yang paling menguntungkan, namun dengan penerapan Indeks Pertanaman 3 sampai 4 kali


(24)

setahun upaya pencapaian swasembada dan swasembada pangan berkelanjutan dapat diwujudkan.

Lembaga-lembaga penelitian seperti Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) di Sukamandi telah menghasilkan varietas padi umur pendek (Super genjah dan Ultra genjah) dengan tingkat produktivitas yang tinggi, demikian juga teknologi pendukungnya sehingga dalam waktu satu tahun melalui pengelolaan dan pola tanam yang baik dapat dilakukan peningkatan produksi minimal 20 t ha-1 tahun-1

Konsep IP Padi 400 juga ditujukan untuk optimalisasi ruang dan waktu sehingga indeks pertanaman dapat dimaksimalkan. Sumarno dan Kartasasmita (2009) menyatakan bahwa budidaya kerja petani padi sawah pada saat ini belum sepenuhnya mendukung diterapkannya program padi sawah IP 300 apalagi IP 400, walaupun sebenarnya dengan peningkatan intensitas tanam dari IP Padi 200 ke IP Padi 300 bahkan jika sampai ke IP Padi 400 dapat meningkatkan perluasan dan kesempatan kerja yang semakin tinggi. Upaya peningkatan produksi padi melalui intensitas tanam juga tidak bisa terlepas dari peran kelembagaan petani dan kelompok tani, kelembagaan permodalan, kelembagaan pemasaran dan kelembagaan penyuluhan pertanian. Menurut Mangkuprawira (2008), revitalisasi kelembagaan pertanian melalaui peningkatan sumberdaya manusia.

melalui peningkatan IP sampai 400 khususnya pada lahan-lahan sawah beririgasi teknis.

Pengembangan indeks pertanaman padi menuju 400 (IP Padi 400) melalui peningkatan intensitas tanam merupakan pilihan menjanjikan guna meningkatkan produksi padi di Propinsi Sumatera Utara khususnya dan Nasional secara umum tanpa memerlukan tambahan irigasi yang luar biasa. IP Padi 400 artinya petani


(25)

dapat menanam dan memanen padi sebanyak empat kali secara rotasi dalam satu tahun, secara terus menerus pada hamparan lahan yang sama. Pengembangan IP Padi 400 memerlukan empat pilar pendukung. Pertama, produksi benih super genjah dengan umur kurang 85 hari; kedua, dukungan pengendalian hama terpadu (PHT), ketiga pengelolaan hara terpadu dan spesifik lokasi; dan keempat, manajemen tanam dan panen yang efisien. Peningkatan intensitas tanam perlu didukung dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang meliputi penerapan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi penunjang. Komponen teknologi dasar meliputi ;1) penggunaan varietas unggul baru; 2) benih bermutu dan berlabel; 3) peningkatan populasi tanaman dengan sistem jajar legowo 4:1 atau 2:1; 4) pemupukan berimbang spesifik lokasi (berdasarkan analisa tanah), Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), Permentan NO. 40/OT.140/4/2007, penggunaan BWD (Bagan Warna Daun) ;5) pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) melaui pengendalian hama terpadu (PHT); dan 6) pemberian pupuk organik. Komponen teknologi penunjang meliputi; 1) pengolahan tanah secara tepat; 2) tanam bibit muda 15 hari; 3) tanam bibit 1 bibit per lubang tanam; 4) pengairan berselang (intermittent), dan 5) panen tepat waktu (Irianto, 2008).

Peningkatan Indek Pertanaman (IP) merupakan langkah yang lebih operasional dan lebih realistis dalam meningkatkan luas tanam dan panen menuju produksi padi berkelanjutan, karena relatif tidak memerlukan biaya yang besar namun dapat meningkatkan pendapatan petani walaupun dengan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perubahan kualitas lingkungan baik kualitas tanah, air, emisi gas rumah kaca (GRK) terutama metan (CH4) dan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi. Lahan pertanian


(26)

merupakan sumber penyumbang metan yang cukup signifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan metan. Luasnya areal tanah pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi metan di atmosfer.

Emisi metan tahunan secara global diduga sebesar 420-620 Tg tahun-1 dan konsentrasinya meningkat 1% tiap tahunnya. Konsentrasi metan di atmosfer saat ini diperkirakan mencapai 1.7 ppmV (IPCC 1992). Emisi metan dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg tahun-1 (Yagi dan Minami 1990; Seiler et al., 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian sebesar 6,8% dari luas lahan pertanian di dunia, diduga memberi kontribusi sebesar 3.4-4.5 Tg CH4

Pada skala nasional kontribusi lahan sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Peningkatan intensitas pertanaman dengan sistem budidaya padi sepanjang tahun merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produksi namun disatu sisi dapat memicu emisi metan dari lahan sawah. Salah satu upaya penurunan emisi metan dari lahan sawah dapat dilakukan dengan cara mitigasi yang tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi yaitu dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).

tahun.

Penelitian tentang perubahan kualitas lingkungan terutama kualitas tannah, kialitas air dan emisi metan di sentra produksi padi akibat peningkatan intensitas tanam menjadi Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) dilakukan untuk mendukung produksi dan produktivitas padi berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Upaya pendukung swasembada dan swasembada berkelanjutan, sebagaimana empat sukses Kementerian Pertanian TA. 2010-2014, dilakukan


(27)

melalui pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) dan intensitas budidaya (intensifikasi). Intensitas budidaya melalui usaha peningkatan indeks pertanaman yang diarahkan hingga indeks pertanaman (IP 400). IP 400 dicirikan antara lain : benih berumur pendek, pupuk NPK sesuai dosis anjuran, pengendalian hama penyakit tanaman, dan pengaturan air. Sehingga IP 400 diarahkan dan hanya dimungkinkan pada lahan sawahberigasi teknis.

Penggunaan varietas unggul baru (VUB) dan intensitas penanaman menyebabkan pemanfaatan unsur hara tanah meningkat sehingga ketersediaan unsur hara secara alamiah berkurang. Untuk mengoptimalisasi produksi padi diperlukan input pupuk anorganik secara komulatif tinggi sesuai kebutuhan tanaman. Disisi lain, penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus menyebabkan penurunan kualitas tanah, air dan peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama metan.

Perubahan iklim dan tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup menyebabkan dampak terhadap komponen fisik, kimia, biologi, ekonomi, sosial dan kesehatan lingkungan, baik dampak positif maupun dampak negatif. Penanaman padi dengan Intensitas Pertanaman (IP) Padi 400 akan menimbulkan dampak terhadap kualitas lingkungan karena adanya pengaruh pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida, Penjelasannya adalah residu bahan kimia tersebut mengakibatkan berubahnya kualitas lingkungan karena pemakaiannya dalam jumlah besar dan terus-menerus sepanjang tahun. Pada kondisi anaerob lahan sawah yang terus ditanami merupakan sumber penghasil metan (CH4), nitrogen dioksida (N2O) dan karbon dioksida (CO2), yang berarti menambah emisi gas-gas rumah kaca (GRK) terutama metan. Penggunaan lahan sepanjang tahun tanpa


(28)

istirahat akan menghasilkan metan (CH4) dan nitrogen dioksida (N2

Perubahan kualitas lingkungan di sentra produksi padi akibat peningkatan intensitas tanam Padi (IP Padi 400) meliputi perubahan kualitas tanah, kualitas dan ketersediaan air untuk kelangsungan 4 musim tanam, peningkatan emisi gas rumah kaca (terutama metan), perubahan hama penyakit utama padi lahan sawah yang akan meningkat dan dominannya di tiap-tiap musim tanam selama 4 musim tanam.

O) yang tinggi. Hal-hal tersebut adalah dampak negative. Sejauh mana hal-hal tersebut berdampak terhadap lingkungan perlu penelitian lebih mendalam. Pemakaian air yang terus menerus sepanjang tahun juga akan mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan seperti daya dukung dan daya tampung, sumber daya air untuk kelangsungan pertumbuhan tanaman padi dan kualitas air akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang terus-menerus.

Disamping dampak negatif tentunya ada dampak positif dari Indeks Pertanaman (IP Padi 400), yaitu peningkatan frekuensi panen menjadi 4 kali dan hasil produksi gabah menjadi lebih besar dibandingkan hanya 2-3 kali panen. Pendapatan petani akan meningkat dan penggunaan tenaga kerja juga tinggi, sehingga mampu menampung penyerapan tenaga kerja secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pola perubahan kualitas lingkungan di sentra produksi padi akibat peningkatan intensitas pertanaman padi 400 menuju Produksi Padi Berkelanjutan perlu diteliti secara komprehensif.

Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah:


(29)

1. Kebutuhan pangan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, sementara lahan untuk produksi cenderung berkurang. Perubahan iklim global sering mengakibatkan kekeringan dan banjir serta peningkatan kelembaban sehingga terjadi break OPT yang semuanya menyebabkan terjadinya gagal panen.

2. Akibat Intensitas Pertanaman yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap perubahan kualitas lingkungan (kualitas tanah, kualitas air, dan emisi metan di sentra produksi padi.

3. Peningkatan produksi secara komulatif melalui peningkatan intensitas pertanaman dapat meningkatkan pendapatan dan nilai tambah petani, tetapi dapat juga menurunkan kualitas lingkungan. Berusaha tani pada kondisi demikian memerlukan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga marjin keuntungan secara ekonomi berkurang.

1.3. Kerangka Pemikiran

Peningkatan indeks pertanaman akan menyebabkan perubahan kualitas fungsi lingkungan seperti daya dukung dan daya tampung sumberdaya lahan dan lingkungan. Kondisi pertanaman padi yang terus menerus sepanjang tahun tanpa jeda menuntut penggunaan pupuk anorganik khususnya urea meningkat, menyisakan residu yang dapat merusak lingkungan.

Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi gas rumah kaca, terutama metan. Selanjutnya metan dan residu pupuk (N2

kehidupan sosial ekonomi petani. Manfaat positif dari penanaman padi secara terus menerus pada satu hamparan yang sama dan tetap yaitu produksi padi

) dapat menyebabkan perubahan fisik, kimia dan biologi tanah yang secara langsung akan berdampak terhadap


(30)

meningkat, pendapatan meningkat akan menghasilkan sistem input output yang saling mempengaruhi. Gambar 1.1 menunjukkan alur berfikir logis (logical frame work) dari permasalahan, hubungan antar faktor dan upaya pengelolaannya.

Gambar 1.1. Rumusan masalah model optimum budidaya padi intensif, rendah emisi metan dan berkelanjutan pada sawah irigasi teknis.

Lahan Sawah Irigasi Teknis

VUB Intensitas Pertanaman

(IP 400)

Pupuk

Ekonomi (Analisi Usaha Tani)

Perencanaan & Pengelolaan Lahan Sawah Irigasi Teknis

Produksi Padi

Penduduk

Pestisida Olah Tanah

Pengairan

B

udi

day

a P

a

di

Kualitas Air Kualitas

Tanah

Gas Metan Ketersediaan &

Kebutuhan Pangan

Mutu lingkungan

Jerami Padi

Kompos Pakan

ternak


(31)

Fokus dalam penelitian ini lebih kepada analisis perubahan kualitas lingkungan pada sawah meliputi perubahan kualitas tanah (sifat kimia dan dinamika unsur hara, perubahan kualitas air (sifat fisik dan kimia), analisis emisi metan (CH4

1.4. Tujuan Penelitian

) serta mitigasi dan antisipasi dalam penekanan emisi metan akibat peningkatan intensitas tanam menjadi Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) sehingga pada akhirnya akan dihasilkan model optimum budidaya padi intensif berkelanjutan pada sawah irigasi teknis dengan beberapa skenario sehinga sehingga prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan.

1. Menganalisis pola perubahan kualitas tanah, kualitas air dan emisi metan (CH4

2. Menganalisis produktivitas dan ekonomi akibat peningkatan intensitas pertanaman padi pada lahan sawah irigasi teknis.

) akibat peningkatan intensitas pertanaman.

3. Menyusun model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan PTT yang rendah emisi metan secara berkelanjutan.

4. Menganalisis indeks keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis

5. Menyusun strategi kebijakan dalam penerapan model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan PTT yang rendah emisi metan secara berkelanjutan.

1.5. Hipotesis

1. Budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman menurunkan kualitas tanah, dan air serta meningkatkan emisi metan yang


(32)

besar akibat peningkatan intensitas pertanaman kecuali dikelola dengan pendekatan PTT.

2. Budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman dapat meningkatkan produksi dan produktivitas serta pendapatan petani jika dikelola dengan pendekatan PTT.

3. Model optimum budidaya padi intensif dapat mempertahankan produksi dan produktivitas padi yang tinggi dan berkelanjutan.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Penelitian model optimum budidaya padi intensif berkelanjutan melalui peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis diharapkan mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan petani khususnya dalam mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).

2. Pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian sawah irigasi secara Optimum akan memberikan margin keuntungan ekonomi terbesar, kualitas lingkungan tetap terjaga sehingga dapat menjamin keberlanjutan usahatani dalam menentukan swasembada berkelanjutan.

3. Diperolehnya rekomendasi kebijakan model optimum budidaya padi intensif berkelanjutan pada sawah irigasi teknis.

1.7. Novelty Penelitian

Membangun model optimum budidaya padi intensif melalui peningkatan intensitas pertanaman dengan pertimbangan gas metan.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sawah dan Budidaya Padi

Lahan sawah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tanah yang digunakan atau potensial dapat digunakan untuk menanam padi sawah sekali atau lebih selama setahun. Istilah tanah sawah berkaitan dengan tataguna tanah, bukan dengan jenis tanah tertentu dalam istilah pedologi. Sawah adalah suatu ekosistem buatan dan suatu jenis habitat khusus yang mengalami kondisi kering dan basah tergantung pada ketersediaan air. Karakteristik ekosistem sawah ditentukan oleh penggenangan, tanaman padi, dan budidayanya. Sawah tergenang biasanya merupakan lingkungan air sementara yang mempengaruhi oleh keragaman sinar matahari, suhu, pH, konsentrasi O2

Lahan sawah tidak hanya penting sebagai penghasil barang privat (privat goods) seperti padi dan palawija yang memberikan keuntungan langsung kepada petani, tetapi juga penghasil barang dan jasa publik (public goods and service) sehingga sawah dikenal memiliki multifungsi. Multifungsi lahan sawah antara lain sebagai penopang ketahanan pangan, penyedia lapangan kerja, penjaga kelestarian budaya, pembawa suasana nyaman pedesaan, penyumbang jasa lingkungan (environmental services): seperti pengurangan erosi, mitigasi banjir, dan mendaur ulang sumberdaya air (Agus, 2006). Sawah adalah suatu ekosistem buatan dan suatu jenis habitat khusus yang mengalami kondisi kering dan basah tergantung pada ketersediaan air. Karakteristik ekosistem sawah ditentukan oleh penggenangan, tanaman padi, dan budi dayanya. Sawah tergenang biasanya


(34)

merupakan lingkungan air sementara yang dipengaruhi oleh keragaman sinar matahari, suhu, pH, konsentrasi O2

Sawah merupakan suatu sistem budaya tanaman yang khas dilihat dari sudut kekhususan pertanaman yaitu padi, pengelolaan air, dan dampaknya atas lingkungan. Maka sawah perlu diperhatikan secara khusus dalam penatagunaan lahan. Meskipun di lahan sawah dapat diadakan pergiliran berbagai tanaman, namun pertanaman pokok selalu padi.

dan status hara (Watanabe dan Roger, 1985).

Penanaman padi sawah secara tradisional sangat berhasil melestarikan produktivitas lahan. Selama beribu-ribu tahun sistem padi sawah telah berhasil mempertahankan tingkat hasil padi yang moderat tetapi stabil tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan (Bray, 1986 dalam Agus et al., 2004). Hal ini terjadi karena penggenangan meningkatkan kesuburan tanah dan produksi padi dengan jalan: (1) menaikkan pH tanah mendekati netral; (2) meningkatkan ketersediaan hara, terutama P dan Fe; (3) memperlambat perombakan bahan organik tanah; (4) menguntungkan penambatan N2; (5) menekan timbulnya penyakit terbawa tanah; (6) memasok hara melalui air irigasi; (7) menghambat pertumbuhan gulma tipe C4; dan (8) mencegah perkolasi air dan erosi tanah.Pengolahan tanah, pindah tanam, dan pengendalian gulma telah merusak stabilitas komunitas, sehingga terbentuklah fauna dan struktur komunitas khusus sawah. Pada tulisan ini akan dijelaskan tentang ekosistem lahan sawah berikut flora dan faunanya secara detail serta pengaruh negatif atau eksternalitas negatif lahan sawah akibat intensifikasi (eksploitasi) yang terus menerus terutama yang berkenaan dengan emisi gas rumah kaca (GRK) khususnya metan.


(35)

Intensitas Pertanaman merupakan frekuensi pertanaman padi padi dalam setahun pada luasan baku lahan. Dengan penanaman dua kali padi dalam setahun pada baku lahan 1 ha, luas tanam menjadi 2 ha dengan intensitas pertanaman 2, disebut IP 2 atau IP Padi 200, demikian seterusnya, jika kita bertanam empat kali dalam setahun pada baku lahan 1 ha, luas tanam menjadi 4 ha, dengan intensitas pertanaman 4 disebut IP 4 atau IP Padi 400. Banyak faktor yang menentukan tingkat IP yang secara teknis ditentukan oleh ketersediaan air, khususnya pada musim kemarau (MT II) (Deptan, 2008).

Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) yang diprogramkan oleh Departemen Pertanian yang dipelopori oleh Badan Litbang Pertanian dengan tujuan untuk ketahanan pangan dan surplus produksi tahun 2008 sebesar 2.89 juta ton beras. Peluang eksport dapat dicapai pada tahun 2009-2020 sebesar 0.09-3.19 juta ton beras menjadi harapan ketahanan pangan kini dan masa depan (Deptan, 2008). IP Padi 400 menjadi harapan teknologi inovasi baru untuk mencapai ketahan pangan di masa mendatang terutama pada lahan sempit (<0.1 ha) dan konversi lahan yang setiap tahun meningkat 100 ha /tahun.

IP Padi 400 artinya petani dapat menanam dan memanen padi sebanyak empat kali secara rotasi dalam satu tahun, secara terus menerus pada hamparan lahan yang sama dengan konsekuensi penerapan penggunaan bibit padi berumur genjah dan variatif (komposisi penggunaan bibit unggul padi berumur genjah). Jadi Indeks Pertanaman padi menuju 400 atau IP Padi 400 tidak hanya merupakan jumlah frekuensi pertanaman padi dalam satu hamparan atau lahan dalam satu tahun namun merupakan salah satu terobosan baru dengan memadukan seluruh komponen teknologi sehingga peningkatan intensitas tanam dapat dilaksanakan.


(36)

2.2. Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400)

Untuk mendukung penerapan IP Padi 400 diperlukan strategi, kebijakan dan kebijakan. Upaya peningkatan produksi padi perlu memperhitungkan pertumbuhan produksi yang dapat memberikan kontribusi dan alternatif kebijakan untuk mengekspoitasi secara wajar sumber pertumbuhan baru yang menjadi penyumbang peningkatan produksi (Deptan, 2008). Peta jalan peningkatan produksi padi menuju 2020 akan berhasil karena: pertama, kultur bangsa adalah bertani, dan kedua adalah falsafah petani ”bila ada air, petani pasti menanam padi”. Untuk mendukung hal tersebut dua strategi yang perlu diterapkan pada IP Padi 400 adalah ; (1) rekayasa sosial dan (2) rekayasa teknologi.

Rekayasa Teknologi untuk peningkatan produksi padi dengan penerapan IP Padi 400 yaitu pemanfaatan sumberdaya lahan dan sumberdaya teknologi. Rekayasa teknologi pada IP Padi 400 dengan menggunakan varietas unggul yang berumur sangat genjah (ultra genjah) yaitu berumur 90-104 hari mampu berproduksi tinggi, teknologi hemat air dengan pengairan berselang (intermittent), tanam benih langsung, persemaian dapog atau culikan, serta pengembangan sistem monitoring dini (sebelum tanam, saat ada padi di pertanaman, dan sesudah panen).

Landasan pengambilan kebijakan dimulai dari beberapa masalah yang terjadi dan isu yang berkembang saat ini diantaranya seperti lahan pertanian di muka bumi sangat terbatas, bahkan cenderung terus berkurang sebagai akibat dari pemakaian atau alih fungsi menjadi lahan non pertanian. Disisi lain ada penambahan lahan dari proses reklamasi pantai, namun penambahan lahan ini tidak sebanding dengan penciutan lahan pertanian yang beralih fungsi. Oleh


(37)

karena itu lahan sebagai sumberdaya alam yang paling azasi perlu mendapat perhatian dan tidak dibiarkanterus-menerus menyusut sehingga betul-betul memahami ungkapan no earth, no life, and no production.

2.3. Degradasi Lahan Sawah 2.3.1. Pencemaran Tanah Sawah

Secara fisik, tanah sawah dicirikan oleh terbentuknya lapisan oksidatif atau aerobik di atas lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya sebagai akibat penggenangan (Patrick dan Reddy, 1978; Ponnamperuma, 1985).

Tanaman memerlukan 16 unsur hara esensial bagi penumbuhan tanaman. Tiga diantaranya C, H dan O disuplai dari air dan udara (CO2), sementara 13 unsur lainnya dikelompok atas dua bagian yaitu enam unsur sebagai unsur hara makro dan tujuh unsur sebagai unsur hara mikro. Unsur yang tergolong unsur hara makro adalah nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), belerang (S), sedangkan unsur hara mikro adalah boron (B). Mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), besi (Fe), molidenum (Mo) khlor (Cl). Unsur makro adalah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah besar sedangkan unsur hara mikro adalah unsur yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah kecil.Apabila unsur mikro yang diberikan ke dalam tanah melebihi kebutuhan tanaman akan mengakibatkan keracunan tanaman, sebaliknya kalau kekurangan akan menimbulkan kekahatan (Setyorini et al., 2004).

Pada sistem pertanian intensif tanaman padi,pemberian pupuk sebagai penambah unsur hara yang ada dalam tanah merupakan keharusan agar tanaman dapat mencukupi kebutuhannya. Perkembangan perhatian terhadap keberlanjutan usaha tani (sustainabilitas), kebutuhan akan pemupukan menjadi bertambah agar


(38)

unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah tidak terkuras habis. Jika pada setiap musim tanam padi dari dalam tanah “dikuras” sekitar 120, 30 dan 130 kg unsur hara N, P, dan K per ha (De Datta 1981; Dobermann dan Fairhust 2000; Gani et al., 2005), disamping unsur hara lainnya. Begitu banyak ketiga unsur hara ini diserap tanaman, dibanding kemampuan tanah untuk menyediakannya menyebabkan umumnya tanah pertanian mengalami kekurangan.

Meelu et al. (1986) mengemukakan bahwa, secara umum tanah-tanah di negara-negara Asia adalah kahat terhadap bahan organik dan juga kandungan nitrogen yang rendah. Hal ini disebabkan oleh pertanaman yang intensif, pembakaran atau pengangkutan sisa tanaman dari lahan. Bahan organik tanah telah mengalami penurunan yang akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah secara berkelanjutan, sehingga penambahan bahan organik ke dalam tanah akan menjadi solusi yang tepat. Berbagai sumber bahan organik yang direkomendasikan untuk pensuplai kandungan bahan organik dalam tanah antara lain adalah kotoran sapi, pupuk kandang ayam, kompos, sisa tanaman, pupuk kandang, dan pupuk hijau.

Di sisi lain, walaupun diketahui bahwa tanah yang disawahkan (digenangi) akan mengalami perubahan beberapa sifat termasuk kecenderungan meningkatnya kandungan P tersedia dalam tanah (Kyuma, 2004), masih sangat sering ditemukan terjadinya kahat atau kekurangan P dalam tanah untuk pertumbuhan normal tanaman padi khususnya, sehingga dengan waktu, aplikasi pupuk P akan mampu meningkatkan respon tanaman per unit penambahan P karena adsorpsi dari penambahan P akan menurun sejumlah P yang telah ditambahkan (Barrow, 1990). Perbaikan kesuburan P tanah juga akan


(39)

memperbaiki karbon tanah dan status N melalui peningkatan input karbon dan nitrogen dari residu tanaman (Kirk et al., 1998).

Penggunaan bahan organik untuk usahatani padi telah ditemukan menjadi lebih efektif dalam peningkatan kapasitas buffer pH dari tanah dan ketersediaan hara dan peningkatan retensi hara khususnya pada tanah-tanah berpasir (Wade dan Ladha, 1995). Strategi pengelolaan hara yang terintegrasi selanjutnya akan dibutuhkan dalam daerah-daerah marginal untuk memperbaiki kesuburan tanah, peningkatan hasil, dan pendapatan petani. Bahan organik telah ditemukan mampu memperbaiki keefektifan penggunaan pupuk anorganik dan peningkatan hasil padi khususnya pada tanah-tanah berpasir di Thailand Timur Laut (Seng et al., 1999 dalam Agus, 2004).

Pupuk nitrogen, di dalam tanah mengalami proses nitrifikasi atau denitrifikasi tergantung kondisi tanah, menghasilkan gas N2O yang dilepaskan ke atmosfer. Gas ini ikut berperan dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan berdampak terhadap pemanasan global. Emisi N2

Dobermann dan Fairhurst (2000) menyatakan bahwa pada umumnya petani padi di lahan sawah irigasi hanya dapat mencapai produksi 60% dari potensi hasil genetis di suatu tempat dengan dengan kondisi iklim tertentu. Faktor iklim menyumbang variasi hasil sebesar 10% dari hasil maksimum padi varietas O dari tanah ke atmosfer tidak langsung menyebabkan pencemaran pada lahan pertanian, namun akibat perubahan iklim global dapat menyebabkan penurunan produktivitas pertanian. Pupuk P yang digunakan dalam budi daya pertanian dapat menyebabkan pencemaran tanah, karena pupuk tersebut mengandunglogam berat (Setyorini dan Nurjaya, 2004).


(40)

unggul di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pada musim kemarau hasil

gabah tercatat sekitar 10 t ha -1, sedangkan pada musim hujan sebesar 7-8 t ha-1

Selanjutnya Dobermann dan Fairhurst (2000) menjelaskan bahwa meskipun pengelolaan hara dan pengelolaan tanaman telah dilaksanakan dengan baik, pencapaian produksi gabah aktual di lahan petani 80% dari potensi hasil padi atau terjadi kehilangan hasil (yield gap) sebesar 20%. Pengeloalaan hara yang tidak berimbang akan menurunkan hasil padi hingga 40 %, dan apabila disertai dengan pengeloalaan tanaman yang tidak baik maka kehilangan hasil padi dapat mencapai 60% dari potensi hasilnya. Oleh karena itu, faktor pengelolaan hara tanaman harus mendapat perhatian yang seimbang.

. Penurunan produksi ini disebabkan pada musim hujan, radiasi matahari lebih rendah dan kelembaban tinggi menyebabkan penyakit tanaman meningkat.

Pemupukan P dan K secara terus-menerus pada tiga dasawarsa terakhir ini menyebabkan sebagian besar lahan sawah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Lombok dan Bali berstatus hara P dan K tinggi. Selain itu penggunaan pupuk P dan K terus-menerus menyebabkan ketidak seimbangan hara tanah. Ketidakseimbangan hara tanah disinyalir mengakibatkan terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off) padi sawah. Kadar hara P dan K yang tinggi menyebabkan ketersediaan hara mikro seperti Zn dan Cu tertekan. Selain itu dilaporkan oleh Kasno et al. (2003) bahwa sebagian besar lahan sawah di Indonesia berstatus C-organik <2%.

Penggenangan pada sistem usaha tani tanah sawah secara nyata akan mempengaruhi perilaku unsur hara esensial dan pertumbuhan serta hasil padi. Perubahan kimia yang disebabkan oleh penggenangan tersebut sangat


(41)

mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara padi. Transformasi kimia yang terjadi berkaitan erat dengan kegiatan mikroba tanah yang menggunakan oksigen sebagai sumber energinya dalam proses respirasi. Perubahan kimia tanah sawah ini berkaitan erat dengan proses oksidasi-reduksi (redoks) dan aktivitas mikroba tanah sangat sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan produktivitas tanah sawah (Setyorini et al., 2004).

Kimia tanah sawah merupakan sifat tanah sawah yang sangat penting dalam hubungannya dengan teknologi pemupukan yang efisien. Aplikasi pupuk baik jenis, takaran, waktu maupun cara pemupukan harus mempertimbangkan sifat kimia tanah tersebut. Sebagai contoh teknologi nitrogen, dimana jenis, waktu dan cara pemupukannya harus memperhatikan perubahan perilaku hara N.

Bila tanah digenangi, persediaan oksigen menurun sampai mencapai nol dalam waktu kurang sehari (Sanchez, 1993; Reddy et al., 1999). Laju difusi oksigen udara melalui lapisan air 10 ribu kali lebih lambat daripada melalui pori yang berisi udara. Mikroba aerob dengan cepat akan menghabiskan udara yang tersisa dan menjadi tidak aktif lagi atau mati. Mikroba fakultatif anaerob dan obligat aerob kemudian mengambil alih dekomposisi bahan organik tanah dengan menggunakan komponen tanah teroksida (seperti: nitrat, Mn, Fe-oksida dan sulfat) atau hasil penguraian bahan organik (fermentasi) sebagai penerima elektron dalam pernafasan (Sanchez, 1993, Kyuma, 2004).

Parameter yang dapat dipakai untuk mengukur dengan baik derajat anaerobiosis tanah dan tingkat transformasi biogeokimia yang terjadi adalah potensial redoks (nilai Eh dikoreksi pada pH 7) (Reddy et al., 1999). Penggenangan tanah mengakibatkan penurunan potensial redoks. Nilai potensial


(42)

redoks (Eh) turun dengan tajam dan mencapai minimum dalam beberapa hari, lalu naik dengan cepat mencapai suatu maksimum dan dan kemudian menurun secara asimptot (Sanchez, 1993).

Yoshida (1981) menyatakan bahwa proses reduksi merupakan proses yang mengkonsumsi elektron (sehingga terjadi penurunan Eh) yang menghasilkan ion OH- (sehingga pH meningkat) dan bentuk besi fero. Kecepatan reduksi dan macam serta jumlah hasil reduksi ditentukan oleh: (1) macam dan kandungan bahan organik; (2) macam dan konsentrasi zat anorganik penerima elektron; (3) pH; dan (4) lamanya penggenangan (Yoshida, 1981). Menurut Sanchez (1993), kuatnya proses reduksi bergantung pada jumlah bahan organik tanahnya makin besar kekuatan reduksinya. Pada umumnya, kadar zat yang tereduksi mencapai puncak pada 2-4 minggu setelah penggenangan kemudian berangsung-angsur menurun sampai suatu tingkat keseimbangan.

Penggenangan pada tanah meneral masam mengakibatkan nilai pH tanah akan meningkat dan pada tanah basa akan mengakibatkan nilai pH tanah menurun mendekati netral. Pada saat penggenangan pH tanah akan menurun selama beberapa hari pertama, kemudian mencapai minimum dan beberapa minggu kemudian pH akan meningkat lagi secara asimptot untuk mencapai nilai pH yang stabil yaitu sekitar 6,7-7,2. Penurunan awal disebabkan akumulasi CO2 dan juga terbentuknya asam organik. Kenaikan berikutnya bersamaan dengan reduksi tanah dan ditentukan oleh: (1) pH awal dari tanah; (2) macam dan kandungan komponen tanah teroksidasi terutama besi dan mangan; serta (3) macam dan kandungan bahan organik (Sutami dan Djakamihardja, 1990).


(43)

Reduksi besi adalah reaksi yang paling penting di dalam tanah masam tergenang karena dapat menaikkan pH dan ketersediaan fosfor serta menggantikan kation lain dari empat pertukaran seperti K+. Peningkatan Fe2+ pada tanah masam dapat menyebabkan keracunan besi pada padi, apabila kadarnya dalam larutan sebesar 350 ppm. Keadaan ini dapat dihindari dengan cara pencucian tanah atau menangguhkan waktu tanam sampai melewati puncak reduksi. Puncak kadar senyawa Fe2+ larutan tanah biasanya terjadi dalam bulan pertama setelah penggenangan dan diikuti penurunan secara berangsur-angsur (Ponnamperuma, 1985). Peningkatan pH tanah dari 4,5 ke 7,5 konsentrasi besi dalam larutan tanah Oxisols Sitiung secara nyata menurunkan konsentrasi besi dalam larutan tanah dari 1.231 ke 221 mg Fe kg-1

Sebagian besar N tanah berupa N organik baik yang terdapat dalam bahan organik tanah maupun fiksasi N oleh mikroba tanah dan hanya sebagian kecil (2-5%) berupa N anorganik yaitu NH

(Yusuf et al., 1990). Adanya akumulasi besi yang berlebih dalam larutan tanah dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman padi. Batas kritis Fe terlarut dalam larutan tanah untuk tanaman padi sekitar 50-100 ppm.

4+ dan NO3- serta sedikit NO2-. Pada tanah tergenang N merupakan hara yang tidak stabil karena adanya proses mineralisasi bahan organik (amonifikasi nitrifikasi dan denitrifikasi) oleh mirkroba tanah tertentu. Pada lapisan atas dimana oksigen masih cukup, proses mineralisasi akan menghasilkan NO3

-Mineralisasi bahan organik: .

N-organik NH4+ O2 NO3- amonifikasi nitrifikasi


(44)

Sedangkan pada lapisan dibawahnya yang sifatnya reduktif (tanpa oksigen) maka assimilasi akan berhenti sampai amonifikasi yaitu terbentuknya NH4+. Nitrat (NO3+) yang terbentuk di lapisan atas (lapisan oksidasi) sebagian akan berdifusi kelapisan reduksi dan selanjutnya terjadi proses denitrifikasi, terbentuknya gas N2O atau N2 yang hilang ke udara. Selain melaui proses denitrifikasi NO3- kehilangan N juga terjadi pada lapisan N juga terjadi pada lapisan air yang pH nya tinggi melalui proses volatisasi NH3+

Respon tanaman terhadap pemupukan fosfat tidak sama antara padi sawah dengan tanaman tanah kering. Meskipun masalah kekahatan P tidak umum pada tanah sawah, namun Diamond (1985) menyatakan bahwa pada tanah Ultisol, Oxisol, Inceptisol tertentu dan sulfat masam, hal tersebut merupakan masalah penting untuk tanaman padi. Ketersediaan P yang lebih besar pada kondisi tergenang dibandingkan dengan kondisi aerob umumnya disebabkan oleh perubahan redoks dalam tanah dan resultan perubahan status Fe dalam tanah.

. Penelitian Wetzelar (1983) di Sukamandi menunjukkan bahwa kehilangan N melalui kedua proses tersebut dapat mencapai 70%. Oleh karena itu pemupukan N harus diberikan kedalam reduksi dengan beberapa kali pemberian untuk mengurangi kehilangan N sehingga efisiensinya meningkat.

Pada awal penggenangan konsentrasi P dalam larutan tanah meningkat kemudian menurun untuk semua jenis tanah, tetapi nilai tertinggi dan waktu terjadinya bervariasi tergantung pada sifat tanah (Yoshida, 1981). Peningkatan ketersediaan P akibat penggenangan disebabkan oleh pelepasan P yang dihasilkan selama proses reduksi. Mekanismenya sebagai berikut;


(45)

1. Fosfor hanya dilepaskan apabila ferifosfat (Fe3+) tereduksi menjadi ferofosfat (Fe2+

2. Pelepasan occluded P akibat reduksi ferioksida yang menyeliputi P menjadi ferooksida yang lebih larut selama penggenangan. Penyelimutan P oleh ferioksida berada dalam liat dan zarah liat membentuk occluded P (Sanchez, 1993).

) yang lebih mudah larut. Willet (1991) menunjukkan reduksi feri oksida merupakan sumber yang dominan bagi pelepasan P selama penggenangan, walaupun sejumlah P yang dilepaskan akan diserap kembali. Pelepasan P yang berasal dari senyawa feri terjadi setelah reduksi mangan oksida.

3. Adanya hidrolisis sejumlah fosfat terikat besi dan aluminium dalam tanah masam, yang menyebabkan dibebaskannya fosfor terjerap pada pH tanah yang lebih tinggi (Kyuma, 2004). Menurut Willet (1991), peningkatan pH tanah masam akibat penggenangan ketersediaan P. Sebaliknya ketika pH pada tanah alkalin menurun dengan adanya penggenangan, stabilitas mineral kalsium fosfat akan menurun, akibatnya senyawa kalsium fosfat larut (Willet, 1985).

4. Asam organik yang dilepaskan selama dekomposisi anaerob dari bahan organik pada kondisi tanah tergenang dapat meningkatkan kelarutan dari senyawa (Ca, Fe, Al).

5. Difusi yang lebih besar dari ion H2PO4

-Kalium (K) merupakan hara mobil, diserap tanaman dalam bentuk ion K ke larutan tanah melalui pertukaran dengan anion organik (Sanchez, 1993).

+ dari larutan tanah. Dalam tanah K yang terdapat dalam larutan tanah berada dalam


(46)

bentuk keseimbangan dengan K yang diadsorpsi liat. Penurunan Eh akibat penggenangan akan menghasilkan Fe2+ dan Mn2+

Pemanfaatan lahan untuk padi sawah secara terus menerus sepanjang tahun tidak ditemukan pengaruh negatif yang nyata sebagaimana yang terjadi pada usahatani tanaman pangan pada lahan kering (Agus dan Irawan, 2004). Masalah yang terjadi pada sistem tanam padi yang selama ini dilakukan masih sangat rendah efisiensi pemupukannya, terutama pemupukan N hanya mencapai 30-50% (De Datta, 1987).

yang dalam jumlah besar dapat menggantikan K yang diadsorpsi liat sehingga K dilepaskan ke dalam larutan dan tersedia bagi tanaman. Oleh sebab itu penggenangan dapat meningkatkan ketersediaan K tanah. Yoshida (1981) mengemukakan bahwa respon padi sawah terhadap pemupukan K umumnya rendah karena kebutuhan K dapat dicukupi dari cadangan mineral K yang berada dalam keseimbangan dengan K dalam larutan tanah dan air irigasi serta dekomposisi bahan organik. Pada tanah sawah yang drainasenya buruk sehingga potensial redoksnya sangat rendah, dapat terjadi kekahatan K. Hal ini karena daya oksidasi akar sekitar rizosfer sangat rendah serta adanya akumulasi asam-asam organik dalam larutan tanah yang dapat menghambat serapan K oleh akar.

Rendahnya efisiensi karena tanaman melakuka serapan hara tergantung umur fisiologi, sebaliknya pelepasan hara tanah berlangsung terus mengikuti dinamika fisika-kimia tanah. Pada saat stadium generative tanaman tidak banyak membutuhkan hara, sehiga efisiensi pupuk rendah.

Pada sistem pertanian intensif tanaman padi, pemberian pupuk sebagai penambah unsur hara yang ada di dalam tanah merupakan keharusan agar


(47)

tanaman dapat mencukupi kebutuhannya. Dengan berkembangnya perhatian terhadap keberlanjutan usahatani (sustainabilitas), kebutuhan akan pemupukan ini akan menjadi bertambah agar unsur-unsur hara yang ada didalam tanah tidak terkuras habis. Dapat dibayangkan kalau pada setiap musim tanam padi dari dalam tanah “dikuras“ sekitar 120,30 dan 130 kg unsur hara N,P, K per ha (De Datta 1981: Dobermann dan Fairhust 2000; Gani et al., 2009), disamping unsur hara lainnya. Begitu banyaknya ketiga unsur hara ini diserap tanaman, dibanding kemampuan tanah untuk menyediakannya, menyebabkan tanah pertanian terutama lahan sawah mengalami kekurangan.

Pemberian pupuk secara terus menerus dan tidak rasional menyebabkan hasil semakin menurun. Hasil padi yang dicapai setelah 20 kali tanam pada perlakuan NPK berkurang dari awalnya sekitar 30% (dari 5,72 t ha -1 menjadi 4,04 t ha-1 untuk MK 1994-2004 dan sekitar 35% (dari 7,82 t ha -1 menjadi 5,13 t ha-1

Pelandaian produktivitas lahan (stagnasi peningkatan produksi padi) merupakan salah satu indikasi rendahnya efisiensi pemupukan. Hal ini terkait dengan satu atau banyak faktor. Terjadi penurunan kandungan bahan oganik tanah, penambatan N

untuk MH 1993/94-2003/04 (Abdulrachman, 2008). Meskipun informasi pelandaian produksi tersebut telah menginspirasi munculnya model PTT pada tanaman padi, tetapi ternyata informasi tentang hubungan antara efisensi pupuk dengan cara budidaya tanaman maupun jenis tanaman (varietas) yang ditanam masih diperlukan sebagai dasar pengelolaan hara yang lebih baik.

2 udara pada tanah sawah, dan penyediaan serta ketidakseimbangan hara dalam tanah maupun penimbunan senyawa toksik bagi


(48)

tanaman. Kahat hara tertentu dalam tanah sering dilaporkan sebagai penyebab terjadinya pelandaian produktivitas lahan.

Selain leveling off, perihal penting yang berkaitan dengan pupuk adalah masalah efisiensi pemupukan. Efisiensi pupuk ditentukan oleh 2 faktor utama yang saling berkaitan yaitu: 1) Ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan hara melalui irigasi dan sumber lainnya; 2) kebutuhan hara tanaman. Setiap terjadi perubahan cara budidaya tanaman maupun jenis tanaman yang diusahakan sangat boleh jadi dapat mempengaruhi efisiensi pemupukan (Susanti et al., 2009).

Suplai hara dari tanah merupakan hara potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tanaman padi sawah beririgasi, besar sumbangan hara dari tanah berkisar 30-70 kg N ha-1, 10-20 kg P2O5 ha-1, dan 50-100 kg K2O ha-1 tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan kecocokan musim. Sementara itu, kebutuhan hara tanaman padi berkisar 44-87,5 kg N ha-1, 7,5-15 kg P2O5 ha-1, dan 42,5-85 kg kg K2O ha-1 tergantung dari hasil gabah yang diperolehnya dengan kisaran hasil gabah 2,5-5,0 t ha-1

Penggenangan pada sistem usaha tani tanah sawah secara nyata akan mempengaruhi perilaku unsur hara esensial dan pertumbuhan serta hasil padi. Perubahan kimia yang disebabkan oleh penggenangan tersebut sangat mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara padi. Transformasi kimia yang terjadi berkaitan erat dengan kegiatan mikroba tanah yang menggunakan oksigen sebagai sumber energinya dalam proses respirasi. Perubahan kimia tanah sawah ini berkaitan erat dengan proses oksidasi-reduksi (redoks) dan dan aktivitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan produktivitas tanah sawah (Setyorini et al., 2004).


(1)

Lampiran 8. Atribut dan skor keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif rendah emisi metan pada lahan sawah irigasi

teknis dimensi teknologi

Dimensi/Atribut

Skor

Baik Buruk

Keterangan

Sumber data

TEKNOLOGI

Jumlah mesin

Jumlah mesin Pengolah Lahan

Jenis Traktor Roda Dua (Two

Wheels Tractors) dan Roda

Empat (Four Wheels Tractors)

0; 1; 2;3;4

4

0

Didasarkan pada jumlah mesin pengolah lahan di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin pengolah lahan di Indonesia: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata

Alat-alat Pertanian, 2002

Penerapan Sistem

persemaian culik dan dapok

Jumlah alat tanam caplak

0; 1; 2

2

0

Didasarkan pada trend perkembangan jumlah alat penanaman (Jabber, seeder dan transplanter) selang waktu 2000 dan 2002: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat

Alat Pertanian 2000 & 2002

Ketersediaan dan kecukupan

emposan tikus

0;1;2;3;4

4

0

Didasarkan pada perkembangan jumlah alat fumigator di setiap wilayah relatif terhadap jumlah alat fumigator di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama;(3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata

Alat-alat Pertanian, 2002


(2)

Dimensi/Atribut

Skor

Baik Buruk

Keterangan

Sumber

data

Pagar plastik

0;1;2;3;4 4 0 Didasarkan pada banyaknya petani yang menggunakan pagar plastik di

lahan sawah (0) Tidak Menggunakan pagar plastik (2) Sangat sedikit menggunakan pagar plastik (3) Menggunakan pagar plastik pada sebagian lahan (4) Menggunakan pagar plastik pada semua lahan usaha tani

BPTP Sumatera Utara, 2011

Benih Varietas

unggul umur genjah

0;1;2 2 0

Didasarkan pada trend perkembangan jumlah varietas di

Kab. Simalungun 2008-2012 : (0) menurun; (1) tetap; (2)

meningkat

BPTP Sumatera Utara, 2012

Penerapan Pendekatan PTT

0;1;2;3;4;5 5 0 Didasarkan pada banyaknya komponen Teknologi PTT dan pilihan yang diterapkan dalan usaha tani (5) Menerapkan 10 -12 Komponen PTT dasar dan pilihan (4) Menerapkan 8 -10 Komponen PTT dasar dan pilihan(3) Menerapkan 6-8 Komponen PTT dasar dan pilihan (2) Menerapkan 4-6 Komponen PTT dasar dan pilihan (1) Menerapkan 2-4 Komponen PTT dasar dan pilihan (0) Tidak menerapkan komponen PTT baik dasar dan pilihan

BPTP Sumatera Utara, 2011

Mesin Panen/ perontok gabah

0; 1; 2;3;4 4 0 Didasarkan pada jumlah mesin perontok padi di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin perontok padi di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata

Alat-alat Pertanian, 2002

Dimensi/Atribut

Skor

Baik Buruk

Keterangan

Sumber data

Jumlah RMU (Rice milling unit)

0;1;2;3;4 4 0 Didasarkan pada jumlah mesin penggiling padi di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin penggiling padi di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata

Alat-alat Pertanian, 2002

Ketersediaan saprodi 0; 1; ;3;4 4 0 Didasarkan pada desa yang memiliki pasar dengan bangunan permanen di setiap wilayah 2003 relatif terhadap rata-rata desa yang memiliki pasar dengan

Alat-alat Pertanian, 2002


(3)

Lampiran 10. Atribut dan skor keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif rendah emisi metan pada lahan sawah irigasi

teknis dimensi kelembagaan

Dimensi/Atribut

Skor Baik Buruk Keterangan

Sumber data

KELEMBAGAAN Ketersediaan dan Perkembangan KUD

Lembaga Keuangan mikro 0; 1;2 2 0 Didasarkan pada jumlah LKM disetiap wilayah relatif terhadap rata-rata jumlah LKM Indonesia: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar

Statistik Potensi Desa Indonesia, 2005

BPTP. BPP/BP3 K Penyuluh

0; 1;2 2 0 Didasarkan pada peran BPTP, BPP/BP3K, Penyuluh terhadap kegiatan usahatani padi dan peningkatan produksi di Kabupaten Simalungun

(0) Tidak berperan (1) Sedang (2) Sangat Berperan

BPTP Sumut, 2012, Hasil survei

P3A 0; 1;2 2 0 Didasarkan pada peran P3A terhadap kegiatan usahatani padi dan perbaikan irigasi serta peningkatan produksi di Kabupaten simalungun

(0) Tidak berperan (1 ) Sedang (2) Sangat Berperan

BPTP Sumut, 2012, Hasil survei

Pengamat OPT 0; 1;2 2 0 Didasarkan pada peran pengamat OPT terhadap kegiatan usahatani padi dan penanganan HPT, serta peningkatan produksi di Kabupaten Simalungun

(0) Tidak berperan (1) Sedang (2) Sangat Berperan


(4)

Dimensi/Atribut

Skor Baik Buruk

Keterangan

Sumber data

Penangkar/perbenihan 0; 1;2 2 0 Didasarkan pada perkembangan penangkar benih padi di Kabupaten

Simalungun (0) Tidak meningkat (1) Meningkat (2) Sangat Meningkat

BPTP Sumut, 2012, Hasil survey

Jlh Kelompok

tani/GAPOKTAN/KOPTAN

0; 1;2 2 0 Didasarkan pada jumlah kelompok tani/GAPOKTAN/KOPTAN di Simalungun dibandingkan dengan wilayah lain di Sumatera Utara (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar

BPTP Sumut, 2012, Hasil Survei

Jasa Alsintan 0; 1;2 2 0 Didasarkan pada perkembangan selang waktu 2010 dan 2012: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat

BPTP Sumut, 2012, Hasil survey


(5)

(6)

Lampiran 12. Emisi metan pada kondisi eksisting dari luasan sawah di Kabupaten

Simalungun sangat jauh diatas nilai metan dengan penerapan intermitent dan pola

empat musim tanam