Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense

KERAGAMAN DAN KELIMPAHAN CENDAWAN PADA
RIZOSFER KELAPA SAWIT SEHAT
DAN TERSERANG Ganoderma boninense

MUHAMMAD JULYANDA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK
MUHAMMAD JULYANDA. Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada
Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense. Dibimbing
oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Indonesia merupakan produsen kelapa sawit nomor satu di dunia dan
memberikan devisa yang besar. Kendala utama saat ini dalam pengembangan
perkebunan kelapa sawit adalah penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) yang
disebabkan oleh Ganoderma boninense. Studi dilakukan dengan tujuan untuk
menganalisis keragaman dan kelimpahan serta mengidentifikasi cendawan pada

rizosfer kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense. Hipotesis: bahwa
keragaman dan kelimpahan cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi
dibandingkan dengan rizosfer kelapa sawit terinfeksi G. boninense. Studi
dilakukan dengan mengambil sampel tanah dari rizosfer tanaman kelapa sawit
untuk dianalisis keragaman dan kelimpahan cendawan. Analisis dilakukan dengan
menggunakan metode pengenceran dan pencawanan (dilution and plating
methods). Pengenceran berseri dari sampel rizosfer dibuat hingga tingkat
pengenceran 10-5 dan pencawanan dilakukan mulai tingkat pengenceran 10-3
hingga 10-5. Pencawanan dilakukan pada media Agar Kentang Dekstrosa (AKD)
yang telah diberi antibiotik (Chloramphenicol). Pengamatan dilakukan dengan
menghitung keragaman dan kelimpahan setelah 3 Hari Setelah Pencawanan
(HSP). Keragaman menggunakan rumus Indeks Keragaman Shanon-Wiener dan
kelimpahan menggunakan rumus Standard Plate Count (SPC). Identifikasi
cendawan dilakukan dengan pengamatan morfologi dan kunci identifikasi
(Watanabe dan “Doctor Fungus”). Dari hasil isolasi cendawan rizosfer kelapa
sawit sehat maupun yang terinfeksi telah diperoleh 29 isolat koloni cendawan dan
hasil identifikasi diketahui sebanyak 20 jenis cendawan yang berbeda. Nilai
Indeks Keragaman Cendawan (IKC) pada rizosfer tanah tanaman sehat dan muda
lebih tinggi dibandingkan dengan IKC pada rizosfer tanah tanaman terinfeksi dan
berumur tua. Keragaman dan kelimpahan cendawan terutama cendawan yang

bersifat antagonis bagi G. boninense pada tanah rizosfer kelapa sawit berindikasi
kuat untuk memprediksi apakah tanaman kelapa sawit sudah terinfeksi dan
ketepatan penerapan budidaya tanaman. Namun hal ini perlu diklarifikasi lanjut
dengan memperbanyak ulangan.
Kata kunci : Ganoderma boninense , Kelapa sawit, Keragaman, Kelimpahan

KERAGAMAN DAN KELIMPAHAN CENDAWAN PADA
RIZOSFER KELAPA SAWIT SEHAT
DAN TERSERANG Ganoderma boninense

MUHAMMAD JULYANDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Skripsi

: Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa
Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense
Nama Mahasiswa : Muhammad Julyanda
NIM
: A34070070

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc
NIP. 19501125 197603 2 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman


Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc
NIP. 19640204 199002 1 002

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Pakam, Sumatera Utara pada tanggal 1 Juli
1988. Penulis merupakan putra ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak
Ir. H. Abdul Aziz dan Ibu Hj. Nirwana Saragih.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2
Medan pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studinya di
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan, yaitu Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (2007), Himpunan
Mahasiswa Islam (2008), dan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman
(HIMASITA) pada divisi Public Relationship (2009-2010). Selain itu, penulis
pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman
Setahun (2010) dan asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Proteksi Tanaman

(2011).

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit
Sehat dan Terserang Ganoderma boninense”. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor
dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2011.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, dan bantuan dari
berbagai pihak, penulis tidak dapat berbuat maksimal dalam menyelesaikan
skripsi ini. Untuk itu dengan rasa tulus pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan bimbingan, masukan, dan arahan kepada penulis;
2. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan arahan dan saran yang bermanfaat;
3. Kebun kelapa sawit Adolina, PT Perkebunan Nusantara IV, Sumatera Utara

atas izin dan kerjasamanya dalam pengambilan contoh tanah;
4. Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara IV atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk menempuh pendidikan di IPB melalui jalur Beasiswa
Utusan Daerah (BUD) PTPN IV;
5. Ayahanda dan Ibunda serta kakak dan adik Chandra Dalimunthe, Eka Suci
Ramadhani, Muhammad Taufan, Inda Lusiana, Baby Nur Maharani, dan
Muhammad Reza yang tak henti-hentinya memberi perhatian dan bantuan
moril maupun spiritual, yang mana setiap langkah, gerak, dan ucapnya
merupakan do’a bagi penulis;
6. Sahabat seperjuangan Proteksi Tanaman 44, khususnya kepada Alice Mayella
Ayudya, Avanty Widias Mahar, dan Harwan Susetio;
7. Rekan kerja di Laboratorium Mikologi, Bapak Dadang Surachman, mba Dian
Safitri, Alchemi Putri Juliantika Kusdiana, Nur’asiah, Etika Ayu
Kusumadewi, Veronica, dan Bapak Fajar Rianto;
8. Sahabat IMMAM, Anggi Rhaditya Lubis, Fandi W. Iksani, Ginda Pramana
Putra, M. Nanda Rahadiansyah, Yuri Dalian, Indra Yudhika Zulmi, bang
Amril, Rizqi Febrina, Rini Utami, dan Dhinda Hidayanthi;
9. Mahasiswa, dosen, staff, beserta laboran Departemen Proteksi Tanaman, serta
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk kedepannya. Akhir kata penulis serahkan skripsi ini dengan penuh rasa
bangga.
Bogor, November 2011
Muhammad Julyanda

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

x

PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
Latar belakang ......................................................................................
Tujuan Penelitian .................................................................................

Hipotesis ...........................................................................................
Manfaat Penelitian ...............................................................................

1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
Tanaman Kelapa Sawit ........................................................................
Deskripsi Tumbuhan ..................................................................
Penyakit BPB pada Kelapa Sawit ........................................................
Patogen Penyebab BPB .............................................................
Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB. ..................................
Gejala Penyakit BPB ..................................................................
Mikroorganisme rizosfer ..................................................................
Hama dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit ........................................
Hama ........................................................................................
Penyakit ....................................................................................


4
4
5
5
6
6
7
9
9
9

BAHAN DAN METODE .............................................................................

11

Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................
Bahan ..................................................................................................
Metode ................................................................................................
Pengambilan Sampel Tanah .......................................................
Analisis Keragaman, Kelimpahan, dan Identifikasi ...................

Indeks Keragaman Spesies .........................................................
Kelimpahan spesies ...................................................................
Identifikasi ................................................................................
Rancangan Percobaan ..........................................................................
Analisis Data .............................................................................

11
11
11
11
12
12
13
13
13
13

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................

14


Keragaman dan Kelimpahan Cendawan ..............................................
Identifikasi Cendawan ........................................................................

14
19

KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................

27

Kesimpulan .......................................................................................... 27
Saran ..................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

28

vii

LAMPIRAN ..................................................................................................

32

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pengaruh kondisi rizosfer tanaman terhadap rataan indeks
keragaman cendawan ...........................................................................

16

2 Hasil identifikasi .................................................................................

20

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah S98 ......

14

2

Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H98 .....

15

3

Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H06 .....

15

4

Kelimpahan cendawan ada sampel tanah S98 ...................................

17

5

Kelimpahan cendawan ada sampel tanah H98 ..................................

18

6

Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H06 .....

18

7

Aspergillus fumigatus dan A. niger ....................................................

21

8

Fusarium solani, Gongronella butleri, dan Mortierella uniramosa ..

22

9

Paecilomyces inflatus, P. victoriae, dan Phialophora malorum ........

23

10 Penicillium corylophilum, P. lanosum, dan Rhizoctonia solani .........

23

11 Pythium acanthicum, P. aphanidermatum, dan P. irregulare ............

24

12 Gliocladium roseum, G. viride, Trichoderma pseudokoningii,
T. harzianum .......................................................................................

25

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Isolat hasil isolasi cendawan dari tanah rizosfer kelapa sawit ...............

33

2 Keragaman dan kelimpahan isolat pada media AKD ............................

35

3 Analisis ragam RAL respon IKC ............................................................ 36

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan industri
penting penghasil Crude Palm Oil (CPO), minyak goreng, dan sebagai bahan
bakar terbarukan (biodiesel). Kebutuhan produksi kelapa sawit meningkat tajam
seiring dengan meningkatnya kebutuhan CPO dunia, seperti yang terjadi beberapa
tahun terakhir ini. Selain itu dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia,
membuat CPO menjadi pilihan untuk bahan baku pembuatan bioenergi sebagai
alternatif bahan bakar. Diperkirakan beberapa tahun ke depan investasi terbesar
sub sektor perkebunan masih didominasi oleh kelapa sawit. Perkebunan kelapa
sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan
lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil
minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Luas area perkebunan kelapa sawit
pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta hektar serta mampu memproduksi 12,9 juta
ton minyak sawit dan 2,9 juta ton biji sawit (BPS 2009). Sepanjang tahun 2010,
nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar,
mengalami kenaikan 50% dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang
berjumlah US$ 10 miliar total ekspor 15,6 juta ton. Ekspor CPO berjumlah
8.779.940 ton (56,2%) dan sisanya produk turunan CPO berjumlah 6.876.405 ton
(43,8%) (Gapki 2010).
Saat ini kendala utama yang terjadi dalam pengembangan perkebunan
kelapa sawit ialah serangan patogen G. boninense yang menyebabkan penyakit
Busuk Pangkal Batang (BPB). Kejadian penyakit BPB semakin tinggi pada area
kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Hal ini dimungkinkan
karena akumulasi inokulum patogen dan berkurangnya keanekaragaman dan
kelimpahan musuh alami pada area pertanaman kelapa sawit (Sinaga et al. 2003).
Biasanya penyakit BPB hanya menyerang tanaman diatas umur 10 tahun, namun
pada tanaman yang mengalami peremajaan apalagi pertanaman dengan
peremajaan berulang dapat ditemukan BPB pada tanaman dibawah umur 5 tahun
(PTPN IV 2007).

2

Cendawan G. boninense termasuk dalam kelompok cendawan busuk putih
(white rot fungi) yang bersifat lignolitik yang mempunyai aktivitas yang lebih
tinggi dalam mendegradasi lignin (Susanto 2002; Paterson 2007). Kisaran inang
untuk patogen ini sangat luas, dapat menyerang tanaman perkebunan lain seperti
kelapa, karet, teh, dan kakao, serta berbagai jenis tanaman berkayu (Ariffin et al.
2000).
Pengendalian patogen tanaman secara biologi termasuk BPB pada kelapa
sawit menjadi sangat penting, apalagi perkebunan kelapa sawit dituntut
melakukan perlindungan kualitas lingkungan. Penggunaan pestisida untuk
patogen tanah, selain sangat berbahaya bagi manusia dan tanah, juga sasarannya
tidak tercapai karena sebelum pestisida sampai ke target sudah terdegradasi.
Pestisida dilaporkan dapat menurunkan keseimbangan ekosistem tanah, sehingga
mengakibatkan penurunan produksi tanaman.
Potensi G. boninense sebagai patogen tular tanah sangat berkaitan dengan
keragaman dan kelimpahan mikroba terutama pada rizosfer. Rizosfer merupakan
daerah yang ideal bagi tumbuh dan berkembangnya mikroba tanah, termasuk di
dalamnya agens pengendalian hayati. Oleh karena itu diperlukan suatu informasi
mengenai keragaman dan kelimpahan mikroorganisme pada rizosfer. Pada
kepadatan volume akar tertentu dan dengan semakin kaya kandungan bahan
organik pada rizosfer, maka akan semakin beragam dan berlimpah mikroba tanah
yang menguntungkan (Soesanto 2008). Informasi keragaman dan kelimpahan
mikroorganisme pada rizosfer kelapa sawit pada tanaman sehat dan terserang
dapat menjadi sebuah indikasi dini untuk menentukan strategi pengendalian BPB.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman dan kelimpahan
cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense.

3

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa keragaman dan kelimpahan
cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi dibandingkan dengan rizosfer
kelapa sawit terinfeksi G. boninense.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah diperoleh informasi mengenai keragaman dan
kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terinfeksi
G. boninense dapat menjadi dasar pertimbangan yang akurat untuk penerapan
strategis pengendalian BPB kelapa sawit (G. boninense), serta dapat memprediksi
awal apakah tanaman kelapa sawit terinfeksi penyebab BPB.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa Sawit
Deskripsi Tumbuhan
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) tergolong dalam kingdom tumbuhan,
divisi Embryophyta Siphonagama, kelas Angiospermae, ordo Monocotyledonae,
famili Arecaceae, subfamili Cocoideae, dan genus Elaeis (Pahan 2006). Kelapa
sawit berbentuk pohon dan mampu mencapai ketinggian 24 meter. Kelapa sawit
dapat tumbuh baik di daerah antara 15o LU dan 15o LS. Curah hujan rata-rata
2.000-2.500 mm/tahun. Lama penyinaran matahari optimal 5-7 jam per hari
dengan suhu harian 25-30 oC. Kelembaban udara 80% – 90% pada ketinggian dari
dataran rendah sampai 500 m dpl.
Akar kelapa sawit merupakan akar serabut yang mengarah ke bawah yang
mencapai kedalaman ±1 m, ke arah samping mencapai >6 m, serta beberapa akar
napas yang tumbuh mengarah samping atas untuk mendapatkan aerasi
(Setyamidjadja 2006). Akar utama kelapa sawit membentuk akar sekunder, tertier,
dan kuartener.
Batang kelapa sawit berbentuk selinder dan tidak bercabang dengan
diameter sekitar 20–75 cm. Tinggi batang bertambah sekitar 45 cm per tahun.
Dalam kondisi lingkungan yang sesuai pertambahan tinggi dapat mencapai 100
cm per tahun. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah membentuk spiral hingga
umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas
sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa (Setyamidjadja 2006).
Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip. Susunan daun kelapa sawit
seperti umumnya jenis palmae. Daunnya berwarna hijau tua dan pelepah berwarna
sedikit lebih muda dari daunnya. Panjang pelepah daun mampu mencapai sekitar
7,5-9 m dengan jumlah anak daun setiap pelepahnya mencapai 250-400 helai.
Selama satu tahun kelapa sawit mampu menghasilkan 20-30 pelepah (Sunarko
2007).
Kelapa sawit merupakan tanaman monoecious diclin yaitu tanaman
berumah satu dengan bunga jantan dan betina terpisah namun masih dalam satu

5

pohon. Tanaman kelapa sawit biasanya melakukan penyerbukan silang karena
waktu pematangan bunga jantan dan bunga betina berbeda sehingga sangat jarang
terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang
sedangkan bunga betina berukuran lebih besar dan mekar (Sastrosaryono 2003).
Saat berumur 12-14 bulan kelapa sawit sudah mulai berbunga.
Kelapa sawit memiliki beberapa jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya
tanaman ini dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Tipe dura memiliki
ketebalan cangkang antara 2-8 mm dan tidak terdapat cincin serabut. Persentase
daging buah 35-60 % dengan rendemen minyak 17-18 %. Tipe dura digunakan
sebagai induk betina dalam pemuliaan kelapa sawit. Tipe ini berasal dari Kebun
Raya Bogor yang dimasukan dari Afrika pada tahun 1848 dan kemudian
dikembangkan di Deli, Sumatera Utara. Tipe Pisifera tidak memiliki cangkang
tetapi terdapat cincin serabut yang mengelilingi inti dan daging buahnya tebal.
Intinya sangat kecil jika dibandingkan dengan tipe dura ataupun tenera. Ratio
ketebalan daging buah dengan diameter buahnya dan kandungan minyaknya
relatif tinggi. Tipe pisifera digunakan sebagai induk jantan pada pemuliaan
tanaman. Tipe tenera merupakan hasil silang antara dura dan pesifera sehingga
sifatnya merupakan kombinasi dari kedua induknya. Ketebalan cangkangnya
mencapai 0,5-4 mm dan mempunyai cincin serabut walaupun tidak sebanyak tipe
pesifera. Perbandingan daging buah terhadap buahnya 60-90 % dengan rendemen
minyak 22-24% (Setyamidjadja 2006).

Penyakit BPB pada Kelapa Sawit
Patogen Penyebab BPB
Penyebab penyakit BPB adalah patogen cendawan dari genus Ganoderma
yang pertama kali diungkapkan pada tahun 1915 di Republik Kongo, Afrika
Barat. Penyebab BPB pada kelapa sawit berbeda untuk setiap negara. Di Afrika
Selatan BPB disebabkan oleh G. lucidum Karst. sedangkan di Nigeria disebabkan
oleh G. zonatum, G. encidum, G. colossus, dan G. applanatum. Di Malaysia,
4 spesies teridentifikasi sebagai penyebab busuk pangkal batang yaitu
G. boninense, G. miniatocinctum, G. zonatum dan G. tornatum. Cendawan

6

G. boninense yang paling sering ditemukan sedangkan G. tornatum hanya
ditemukan tumbuh di pedalaman dan dataran tinggi dengan curah hujan tinggi. Di
Indonesia, G. boninense teridentifikasi sebagai spesies yang paling umum
menyerang kelapa sawit (Abadi 1987).

Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB
Di Indonesia tingkat kejadian penyakit BPB awalnya rendah pada tanaman
kelapa sawit muda hingga berusia 12 tahun, semakin tua kejadian penyakit dapat
meningkat sebesar 40% (Ariffin et al. 2000). Pada lahan dengan peremajaan
keempat, penyebab BPB bisa menyerang tanaman kelapa sawit berumur 1 hingga
2 tahun (Sinaga et al. 2003). Susanto (2002) menyatakan bahwa gejala penyakit
BPB bisa muncul pada bibit-bibit kelapa sawit sejak di persemaian. Hal ini
dimungkinkan

karena

akumulasi

inokulum

patogen

dan

berkurangnya

keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami pada area pertanaman kelapa
sawit. Sinaga et al. (2003) menyatakan, bahwa penyakit BPB merupakan ancaman
utama bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terutama pada kebun yang telah
mengalami peremajaan berulang tanpa ada rotasi tanaman.
Penyakit BPB dapat menyebabkan kehilangan hasil secara langsung
terhadap minyak sawit dan penurunan bobot tandan buah segar (TBS), sedangkan
kerugian tidak langsung berupa penurunan bobot batang terhadap tandan kelapa
sawit (Susanto et al. 2005). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini
telah menyebabkan kematian tanaman sampai lebih dari 80% dari seluruh
populasi kelapa sawit, dan menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per unit
area (Susanto 2002)

Gejala Penyakit BPB
Gejala awal penyakit sulit diidentifikasi dikarenakan perkembangannya
yang lambat. Saat tubuh buah sudah terbentuk, maka penyakit ini sudah menyebar
luas ke tanaman kelapa sawit sehingga sudah sangat sulit untuk dikendalikan.
Gejala utama BPB adalah terhambatnya pertumbuhan, warna daun menjadi hijau
pucat dan busuk pada batang tanaman. Pada tanaman belum menghasilkan
(TBM), gejala awal ditandai dengan penguningan tanaman atau daun terbawah

7

diikuti dengan nekrosis yang menyebar ke seluruh daun. Pada tanaman
menghasilkan (TM), semua pelepah menjadi pucat, semua daun dan pelepah
mengering, daun tombak tidak membuka (terjadinya akumulasi daun tombak) dan
suatu saat tanaman akan mati (Purba 1993). Gejala ditandai dengan mati dan
mengeringnya tanaman dapat terjadi bersamaan dengan adanya serangan rayap.
Dapat diasumsikan jika gejala pada daun terlihat, maka setengah batang kelapa
sawit telah hancur oleh Ganoderma. Pada TBM, saat gejala muncul, tanaman
akan mati setelah 7 sampai 12 bulan, sementara tanaman dewasa akan mati setelah
2 tahun. Saat gejala tajuk muncul, biasanya setengah dari jaringan di dalam
pangkal batang sudah mati oleh Ganoderma. Sebagai tambahan, gejala internal
yang ditandai dengan busuk pangkal batang muncul. Dalam jaringan yang busuk,
luka terlihat dari area berwarna coklat muda diikuti dengan area gelap seperti
bayangan pita, yang umumnya disebut zona reaksi resin (Semangun 2000).
Secara mikroskopik, gejala internal dari akar yang terserang Ganoderma
sama dengan batang yang terinfeksi. Jaringan korteks dari akar yang terinfeksi
berubah menjadi coklat sampai putih. Pada serangan lanjutan, jaringan korteks
menjadi rapuh dan mudah hancur. Jaringan stele akar terinfeksi menjadi hitam
pada serangan berat (Rahayu 1986). Hifa patogen umumnya berada pada jaringan
korteks, endodermis, perisel, xilem, dan floem. Klamidospora sering dibentuk
untuk bertahan hidup pada kondisi ekstrim. Tanda lain dari penyakit ialah
munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal batang kelapa sawit.

Mikroorganisme Rizosfer
Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada di sekitar perakaran tanaman
dan berfungsi sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen
akar. Keragaman dan kelimpahan mikroorganisme di rizosfer biasanya lebih
banyak dan beragam dibandingkan pada tanah yang bukan rizosfer (Lynch 1983).
Mikroorganisme rizosfer adalah organisme berukuran kecil yang terdapat pada
perakaran tanaman atau hidup dalam tanah disekitar perakaran dan dapat
membantu dalam berbagai proses penguraian tanah, siklus nutrisi, maupun
pembentukan struktur tanah. Mikroorganisme rizosfer juga dapat mempengaruhi

8

pertumbuhan tanaman karena dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan
mempertahankan kesuburan tanah akibat dari pengaruh aktivitas mikroorganisme
yang ada didalam tanah. Kehadiran sejumlah populasi mikroorganisme baik yang
bersifat antagonis maupun saprofit dapat menambah keragaman spesies di dalam
komunitas alami tanaman (Jeger 2001).
Tanah memiliki potensi mikroorganisme yang bersifat antagonis yang
mampu menekan perkembangan patogen tular tanah dan sebagian besar
mikroorganisme antagonis tersebut hidup sebagai saprofit. Mikroorganisme yang
hidup pada daerah rizosfer biasanya digunakan sebagai agens pengendalian hayati
dan keberadaanya dapat menghambat penyebaran dan infeksi akar oleh patogen.
Interaksi tanaman dengan mikroorganisme sulit untuk diamati karena
perubahan pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh mikroorganisme
menyerupai perubahan yang dipengaruhi oleh bahan organik tanah. Bahan organik
tanah juga mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang kemudian akan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Mikroorganisme merombak bahan organik
yang kemudian melepaskan hara anorganik yang dibutuhkan oleh tanaman. Jika
mikroorganisme tidak ada maka bahan organik akan terakumulasi dan unsur hara
tidak akan tersedia bagi tanaman.
Cendawan yang bersimbiosis mutualisme dengan perakaran tanaman tingkat
tinggi adalah mikroriza. Mikoriza menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa
menimbulkan gejala nekrosis yang umumnya terjadi pada cendawan patogen dan
mendapat pasokan nutrisi secara teratur dari tanaman. Mikoriza secara efektif
dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro.
Selain itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat
dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas 1997). Mikoriza juga menghasilkan
metabolit yang berguna untuk pertumbuhan tanaman dan sebagai induksi
pertahanan

tanaman

terhadap

patogen

tanah

(Rao

1994).

Berdasarkan

perkembangan cendawannya mikoriza dibagi menjadi dua golongan, yaitu
ektomikoriza dan endomikoriza (Schneck 1982). Ektomikoriza adalah jamur yang
berkembang di permukaan luar akar dan diantara sel-sel korteks akar. Sedangkan
endomikroza berkembang di dalam akar di antara dan di dalam sel-sel korteks
akar.

9

Hama dan Penyakit pada Tanaman Kelapa Sawit
Hama
Hama pada kelapa sawit dapat menyerang tanaman pada pembibitan,
TBM, dan TM. Hama yang umum menyerang pada pembibitan antara lain
Apogonia expeditionis, Adoretus compressus, Aphis sp., Tetranychus piercei,
Spodoptera litura, Setora nitens, Metisa plana, Valanga nigricornis, Cryllus sp.,
keong (snail), dan tikus. Untuk hama yang menyerang pada TBM adalah Oryctes
rhinoceros, tikus, babi hutan, dan Apogonia expeditionis. Sedangkan untuk hama
yang menyerang TM adalah ulat api (Thosea asigna, Setora nitens, Darna trima,
Thosea bisura, Ploneta diducta, dan Susica pellide) dan ulat kantong (Mahasena
corbetti, Metisa plana, dan Cremastopsyche pendula) (SPO PTPN IV 2007).
Serangan hama ulat api dan ulat kantong telah banyak menimbulkan
masalah yang berkepanjangan dengan terjadinya eksploitasi dari waktu ke waktu.
Hal ini menyebabkan kehilangan daun tanaman yang berdampak langsung
terhadap penurunan produksi. Pada serangan yang berat hama ini dapat
mengakibatkan kehilangan daun mencapai 100% yang bisa menyebabkan
menurunkan produksi hingga 70% (Pahan 2006).
Gejala serangan tikus berupa bekas bekas gerekan pada bagian pangkal
pelepah hingga titik tumbuh tanaman yang menyebabkan kematian pada tanaman.
hama ini juga menyerang buah kelapa sawit yang menyebabkan kehilangan
produksi hingga 5% (Pahan 2006)
Penyakit
Pada kelapa sawit berbagai penyebab penyakit dapat menyerang setiap
fase perrtumbuhan tanaman. Penyakit yang umum terjadi pada tanaman selain
BPB adalah penyakit busuk akar pada persemaian yang disebabkan Rhizoctonia
sp. dan Pythium sp.; antraknosa yang disebabkan patogen Spetriodiplodia sp.,
Glomerella cingulata, dan Melanconium elaedis; bercak daun yang disebabkan
oleh Culvularia sp., Helminthosporium sp., dan Drechclera halodes; busuk tandan
yang disebabkan oleh Marasmius palmivorus; layu pucuk yang disebabkan oleh
Fusarium sp.; dan busuk batang atas yang disebabkan oleh Fomes noxius (SPO
PTPN IV 2007).

10

Penyakit busuk tandan ini sering menyerang tanaman yang baru mulai
berbuah (3-9 tahun) pada daerah dengan kelembaban udara tinggi. Pada serangan
yang berat penyakit ini dapat menurunkan produksi hingga 25%. Serangan
semakin meningkat pada musim hujan dan buruknya kebersihan serta sanitasi
tanaman. (SPO PTPN IV 2007)
Penyakit busuk batang atas biasanya menyerang tanaman yang berumur
lebih dari 10 tahun dan serangan muncul bersamaan dengan serangan BPB. Gejala
serangan menyebabkan jaringan tanaman membusuk dan berwarna coklat tua dan
munculnya tubuh buah pada pangkal batang atas jika serangan sudah sangat parah
(Semangun 2000).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2011 di
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel tanah yang
berasal dari rizosfer tanaman kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense
penyebab BPB di Perkebunan Kelapa Sawit Adolina PTPN IV Sumatera Utara
dan media Agar Kentang Dekstrosa (AKD).
Metode
Analisis keragaman dan kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit
dilakukan dengan beberapa tahap. Dimulai pengambilan sampel tanah dari
rizosfer tanaman sehat dan terserang G. boninense. Selanjutnya dilakukan analisis
keragaman, kelimpahan, dan identifikasi cendawan yang terisolasi dengan metode
pengenceran dan pencawanan (dilution and plating methods).

Pengambilan Sampel Tanah
Sampel tanah diambil dari rizosfer tanaman kelapa sawit sehat dan terserang
G. boninense. Tanah rizosfer diambil sebanyak 100 g pada kedalaman 25 cm
sampai dengan 40 cm dengan menggunakan bor tanah. Setiap sampel tanah
diambil dari 10 titik dimana pada satu pohon ada 2 titik sehingga diperlukan 5
pohon untuk setiap sampel. Sampel tanah diambil dari TBM yang sehat dengan
tahun tanam 2006 (H06), TM yang sehat dengan tahun tanam 1998 (H98), dan
TM yang terserang G. boninense dengan tahun tanam 1998 (S98). Untuk sampel
tanah sehat diambil pada tanaman yang sehat diantara tanaman-tanaman yang
terserang G. boninense. Setiap sampel tanah yang diambil mewakili 1 blok (25 ha)
lahan.

12

Beda tanaman yang terserang G. boninense dengan yang sehat dengan
melihat penampakan gejala luar. Tanaman terserang menunjukkan empat-lima
daun tombak yang tidak membuka dan berwarna hijau pucat, lilit batang pada
pangkal daun nampak mengecil, pada batang bawah sudah terdapat bercak coklat,
dan jumlah buah semakin sedikit dengan ukuran buah yang semakin kecil.

Analis Keragaman, Kelimpahan dan Identifikasi
Sebanyak 10 g dari tiap sampel rizosfer diambil untuk analisis keragaman
dan kelimpahan cendawan melalui metode pengenceran dan pencawanan. Tiap 10
g sampel dilarutkan dengan air steril sehingga didapat suspensi tanah sebanyak
100 ml. Suspensi diguncang dengan menggunakan alat orbital shaker selama 20
menit dengan kecepatan 150 rpm. Suspensi kemudian diencerkan segera secara
seri dengan cara mencampurkan 1 ml suspensi tanah dengan 9 ml air steril dalam
tabung reaksi sehingga didapat pengenceran 10-1. Suspensi pengenceran 10-1
diencerkan dengan mencampurkan 1 ml larutan 10-1 dengan 9 ml air steril dalam
tabung reaksi sehingga didapat pengenceran 10-2. Pengenceran terus dilakukan
hingga tingkat pengenceran 10-5. Untuk pengenceran 10-3 sampai 10-5 di ambil
1 ml kemudian dibiakan dalam media AKD. Hasil biakan diamati tiga hari setelah
pencawanan (HSP) dengan asumsi semua mikroba sudah tumbuh.

Indeks Keragaman Spesies
Indeks keragaman dihitung berdasarkan rumus Shannon-Wiener (Maguran
1987) sebagai berikut:

dimana;
H’ = Keragaman spesies
pi = Proporsi setiap spesies
s

= Spesies

13

Kelimpahan Spesies
Kelimpahan spesies dihitung dengan menggunakan rumus Standard Plate
Count (Kusumaningrum et al. 2010) sebagai berikut:
N = ΣC/[(1 x n1) + (0.1 x n2)]d
dimana;
N = Jumlah kelimpahan spesies (cfu/ml)
ΣC = Jumlah koloni spesies yang tumbuh
n1 = Jumlah dari cawan pengenceran terendah
n2 = Jumlah dari cawan pengenceran tertinggi
d

= Pengenceran terendah

Identifikasi
Koloni cendawan yang tumbuh diisolasi dan dimurnikan, kemudian
diidentifikasi sampai tingkat spesies dengan bantuan kunci identifikasi (Watanabe
2002) dan “Doctor Fungus” (http://nt.ars-grin.gov/). Untuk mempermudah
identifikasi dilakukan pemurnian biakan.

Rancangan Percobaan
Rancangan

percobaan

untuk

menganalisis

indeks

keragaman

dan

kelimpahan cendawan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor
perlakuan; tanah TBM sehat tahun 2006 (H06), TM sehat tahun 1998 (H98), dan
TM sakit tahun 1998 (S98). Setiap perlakuan dilakukan sebanyak enam ulangan,
sehingga terdapat 18 unit percobaan. Penghitungan jumlah koloni diamati pada
tiga HSP.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Microscoft Office Excel 2007 dan
analisis sidik ragam menggunakan program Statistical Analysis System (SAS)
versi 9.1.3. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Tukey
dengan taraf  = 5% (Mattjik & Sumertajaya 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman dan Kelimpahan Cendawan Rizosfer Kelapa Sawit
Analisis keragaman dan kelimpahan rizosfer kelapa sawit yang dilakukan
hanya dari golongan cendawan, sedangkan untuk bakteri tidak dilakukan. Dari
rizosfer kelapa sawit sehat (H98 dan H06) dan terinfeksi G. boninense (S98) dapat
diisolasi berbagai jenis cendawan dengan keragaman dan kelimpahan yang
berbeda. Pada tahap awal isolasi cendawan dari sampel tanah rizosfer, diketahui
secara umum kelimpahan cendawan baik pada S98, H98, maupun H06 termasuk
rendah. Hal ini nampak pada saat metode pencawanan dengan tingkat
pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7 tidak terdapat koloni cendawan yang tumbuh,
sehingga pencawanan dilakukan pada tingkat pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5.
Koloni cendawan hanya tumbuh pada pencawanan tingkat pengenceran 10-3 dan
10-4, sedangkan pada pengenceran 10-5 sangat sedikit atau tidak ada koloni
cendawan yang tumbuh. Hal ini terjadi diduga karena sampel tanah yang
digunakan berasal dari tanah dengan ordo Entisol, dimana tanah Entisol
merupakan tanah yang bertekstur pasir dengan kandungan bahan organik yang
sangat rendah (Rosmarkam 2002). Sehingga dapat dipahami bahwa pada tanah
dengan kandungan bahan organik yang rendah dan penggunaan pupuk kimia
sintetis serta pestisida yang intensif akan mengkondisikan penyempitan
keragaman dan kelimpahan mikroorganisme terutama cendawan.
Pertumbuhan koloni cendawan baru tampak pada 3 HSP. Penghitungan
keragaman dan kelimpahan cendawan dilakukan pada 3 HSP karena saat itu
koloni cendawan sudah dapat dibedakan secara morfologi (Gambar 1, 2, dan 3).

Gambar 1. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel rizosfer tanah
S98 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C) pada 3 HSP

15

Gambar 2. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah rizosfer
H98 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C) pada 3 HSP

Gambar 3. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah rizosfer
H06 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C) pada 3 HSP
Saat berumur dibawah 3 HSP koloni cendawan sudah tumbuh tetapi
cendawan masih terlalu muda sehingga sangat sulit untuk dibedakan antar
koloninya. Pada umur lebih dari 3 HSP pertumbuhan koloni cendawan sudah
terjadi penumpukan antar koloni yang menyulitkan dalam penghitungan jumlah
koloni dan pemurniannya.
Berdasarkan analisis keragaman rizosfer tanah yang berbeda dari perlakuan,
diketahui bahwa umur dan kondisi tanaman berpengaruh nyata terhadap Indeks
Keragaman Cendawan (IKC) rizosfer (Lampiran 3). Berdasarkan uji lanjut Tukey
diketahui bahwa IKC pada tanah rizosfer S98, H98, dan H06 berbeda nyata
( = 5%, Tabel 1). Nilai IKC tanah rizosfer sehat lebih tinggi dibandingkan
dengan IKC tanah rizosfer terserang G. boninense. Rendahnya indeks keragaman
pada tanah rizosfer memungkinkan G. boninense untuk tumbuh dan menginfeksi
akar karena tidak adanya pesaing. Menurut Krebs (1978), adanya kompetisi antara
organisme yang berakhir dengan dominasi salah satu organisme dapat
mengakibatkan menurunnya indeks keragaman organisme tersebut dalam suatu
area. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa IKC pada rizosfer tanaman yang

16

terserang G. boninense lebih rendah dibandingkan IKC pada rizosfer tanaman
sehat.
Nilai IKC pada rizosfer tanaman yang lebih muda lebih tinggi
dibandingkan dengan IKC pada rizosfer tanaman tua. Diduga rendahnya IKC
pada rizosfer tanah tanaman tua karena kandungan bahan organik yang lebih
rendah dibandingkan dengan tanah tanaman muda. Kandungan bahan organik
sangat mempengaruhi populasi mikroba tanah karena bahan organik digunakan
sebagai penyusun tubuh dan sumber energi bagi mikroba tanah (Simanungkalit
et al. 2006). Menurut Bergeret (1977), tanah di tanaman tua memiliki kandungan
bahan organik yang rendah karena telah dilakukan pengolahan lahan yang intesif.
Bergeret juga menyatakan budidaya monokultur tanpa rotasi menyebabkan
hilangnya bahan organik tanah. Sampel tanah S98 dan H98 berasal dari tanah
sawit peremajaan ke-3, sedangkan H06 berasal dari tanah sawit tanam ke-1 yang
sebelumnya tanah ditanam tanaman kakao dan karet. Hal ini menjelaskan bahwa
S98 dan H98 berasal dari tanah tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan secara
monokultur tanpa dilakukan rotasi tanam. Sehingga dapat dimengerti bahwa
indeks keragaman pada rizosfer tanaman muda lebih tinggi dibandingkan pada
rizosfer tanaman tua.
Tabel 1 Pengaruh kondisi rizosfer tanaman terhadap rataan indeks keragaman
cendawan
Ulangan KePerlakuan
Rataan*
1
2
3
4
5
6
S98

1,81

1,73

2,00

2,05

2,62

2,55

2.13 c

H98

1,96

3,62

3,06

3,36

4,86

6,01

3.81 b

H06

6,01

6,26

5,29

6,01

4,31

4,24

5.35 a

* Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji Tukey
5%)

Hal-hal lain yang mempengaruhi IKC ialah aplikasi pupuk anorganik dan
pestisida. Berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) PTPN IV (2007) ada
delapan jenis pupuk yang diaplikasikan untuk TBM yaitu pupuk majemuk
N.P.K.Mg , pupuk tunggal Urea, P2O5, TSP, KCL, Kieserit, dan Borax. Pada TM

17

menggunakan lima jenis pupuk yaitu pupuk N, P, K, Mg, dan pupuk majemuk
hara mikro. Pupuk ini diaplikasikan secara bertahap dan ada juga diaplikasikan
secara bersama. Aplikasi pestisida dilakukan apabila terjadi serangan hama atau
penyakit yang penanganannya harus cepat. Beberapa bahan aktif pestisida yang
digunakan adalah Karbofuran 3G, Karbaril 4%, dan Lindan 4% untuk hama
kumbang, Brodifacaoum dan Walfarin untuk hama tikus, senyawa monokrotofos
dan senyawa metamidofos untuk hama ulat, Propineb 70%, Carbendazim 60%,
Mankozep 80%, dan Klorolatonil 75% untuk penyakit busuk buah yang
disebabkan Marasmius palmivorus, serta herbisida berbahan aktif Glyphosat
untuk mengendalikan gulma.
Kelimpahan cendawan tidak diolah secara statistik karena cendawan yang
tumbuh pada setiap perlakuan berbeda jenis genus/spesiesnya dan hanya beberapa
yang sama dan tidak dapat mewakili keseluruhan komunitas cendawan pada tiap
kondisi rizosfer. Pada sampel tanah S98 kelimpahan tertinggi terdapat pada isolat
A. niger dan terjadi dominasi karena nilai kelimpahan isolat A. niger sangat
berbeda jauh dengan isolat-isolat lainnya (Gambar 4). Pada sampel tanah H98
kelimpahan tertinggi juga terdapat pada isolat A. niger dan terjadi dominasi
karena nilai kelimpahan isolat A. niger sangat berbeda jauh dengan isolat-isolat
lainnya (Gambar 5). Pada sampel tanah H06 kelimpahan tertinggi terdapat pada
isolat P. lanosum dan G. roseum, namun tidak terjadi dominasi salah satu
cendawan karena nilai kelimpahannya tidak ada yang terlalu berbeda jauh

x 102 cfu/ml

(Gambar 6).

350
300
250
200
150
100
50
0

332

74
39
3

30

2

6

Isolat
Gambar 4. Kelimpahan cendawan pada sampel tanah S98

8

x 102 cfu/ml

18

350
300
250
200
150
100
50
0

185

26

55
17

11

17

9

5

8

3

x 102 cfu/ml

Isolat
Gambar 5. Kelimpahan cendawan pada sampel tanah H98

350
300
250
200
150
100
50
0

62

73

33

27

35

6

18

6

6

Isolat
Gambar 6. Kelimpahan cendawan pada sampel tanah H06

Total Kelimpahan Cendawan (TKC) pada sampel S98, H98, dan H06 secara
berturut-turut adalah 4,94x104 cfu/ml, 3,33x104 cfu/ml, dan 2,67x104 cfu/ml. Hal
ini menunjukkan sampel H06 memiliki nilai TKC paling rendah dibandingkan
dengan TKC pada sampel S98 dan H98. Tingginya nilai TKC pada S98 dan H98
didominasi oleh nilai kelimpahan Aspergillus fumigatus. Oleh karena itu
walaupun nilai TKC S98 dan H98 tinggi, hal ini tidak mempengaruhi serangan
G. boninense karena A. fumigatus belum pernah dilaporkan bersifat antagonis
terhadap G. boninense.
Kelimpahan suatu spesies sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi kimiawi
dan fisik, serta habitat tumbuh. Faktor-faktor ini harus berada dalam kisaran yang
dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. Tanah merupakan habitat bagi berbagai

19

ragam mikroba tanah, sehingga tercipta suatu pola interaksi antar mikroba yang
hidup pada habitat yang sama demi mempertahankan hidupnya. Pola interaksi
yang dibangun dalam kehidupan bersama antar dua atau lebih spesies mikroba
dapat bersifat mutualistik, asosiatik, netral, atau antagonistik. Isolat- isolat yang
memiliki kelimpahan tinggi berarti mampu bertoleransi dengan kondisi
lingkungan pada rizosfer tanah. Sampel tanah S98, H98, dan H06 memiliki isolat
dengan kelimpahan yang berbeda-beda.
Keragaman dan kelimpahan mikroba dipengaruhi oleh perubahan
kandungan bahan organik. Menurut Six et al. (1988), salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas dan kesehatan tanah adalah kandungan bahan organik.
Rendahnya keragaman dan kelimpahan untuk setiap sampel menunjukkan
kandungan bahan organik yang rendah juga. Walaupun demikian pada sampel
H06 diketahui memiliki kelimpahan cendawan yang bersifat antagonis yang
mampu menekan perkembangan patogen tular tanah. Sehingga dengan
mengetahui perbedaan antara indeks keragaman dan kelimpahan cendawan
rizosfer terutama cendawan yang bersifat antagonis bagi G. boninense dapat
diketahui lebih cepat apakah tanaman beresiko tinggi untuk diserang patogen
tanah atau tidak.

Identifikasi Cendawan
Koloni yang tumbuh dari hasil pencawanan dipisahkan berdasarkan bentuk
dan warna koloni pada media AKD. Dari hasil pemurnian didapat 28 isolat yang
berasal dari tanah rizosfer kelapa sawit. Hasil identifikasi dengan menggunakan
kunci identifikasi masih bersifat sementara karena untuk mendapatkan hasil
identifikasi permanen harus diuji secara molukuler.
Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 20 jenis cendawan (Tabel 2).
Cendawan P. lanosum dan T. harzianum ditemukan di ketiga sampel tanah.
Cendawan P. lanosum memiliki kelimpahan secara berturut dari yang tertinggi
adalah sampel tanah H06, H98, dan S98. Sedangkan T. harzianum memiliki
kelimpahan secara berurut dari yang tertinggi adalah sampel S98, H06, dan H98.
T. Harzianum merupakan agens antagonis G. boninense, mekanisme antagonisnya

20

parasitisme yaitu dengan melilit hifa patogen kemudian mengeluarkan enzim
kitinase dan glukanase (Susanto 2002).

Tabel 2 Hasil identifikasi (sementara)
Nama Spesimen
Aspergillus fumigatus

Penicillium corylophilum

Aspergilus niger

Penicillium lanosum

Fusarium solani

Phialophora cinerescens

Gongronella butleri

Phialophora malorum

Gliocladium roseum

Pythium acanthicum

Gliocladium viride

Pythium aphanidermatum

hifa steril

Pythium irregulare

Mortierella uniramosa

Rhizoctonia solani

Paecilomyces inflatus

Trichoderma harzianum

Paecilomyces victoriae

Trichoderma pseudokoningi

Karakter mikroskopis yang penting dalam taksonomi Aspergillus sp. adanya
aspergilum berupa struktur bantalan spora, memiliki miselium yang menghasilkan
konidiofor tunggal tegak lurus dengan panjang sumbu sel yang membesar
dipuncaknya membentuk seperti klub bulat, elips, atau berbentuk vesikel. Pada
vesikel terdapat phialid yang menghasilkan rantai panjang spora atau konidia.
Spora warna hitam mengidentifikasikan spesies Aspergillus dalam kelompok
A. niger dan hijau untuk A. fumigatus (Raper & Fennell 1965). Cendawan A. niger
memiliki panjang konidiofor sampai 740 µm dengan lebar 10-14 µm, vesikelnya
memiliki panjang 55-75 µm, phialid dengan panjang 5-13,8 µm, dan diamter
konidia 3,7-4,5 µm. Cendawan A. niger yang stadia perfectnya adalah jamur
Ascomycetes, hidup diberbagai macam lingkungan salah satunya dibagian
tanaman yang membusuk. Cendawan A. niger secara ekonomis berperan penting
sebagai organisme fermentasi yang digunakan untuk produksi asam sitrat (Baker
et al. 2006) tapi juga bersifat patogenik pada benih/biji-bijian. Cendawan
A. fumigatus memiliki panjang konidiofor 55-125 µm, diameter vesikel
(12,5-)13,3-14,6(-16,3) µm, phialid dengan panjang 3,6-4,9 µm dan lebar 2,5 µm,

21

serta diameter konidia 2,4-2,7 µm. Cendawan A. fumigatus menghasilkan
mikotoksin yang kuat yang dapat menyebabkan penyakit (Pasqualotto 2009).
Cendawan A. fumigatus belum pernah dilaporkan bersifat antagonis terhadap
patogen G. boninense. Sehingga tingginya kelimpahan S98 dan H98 yang
didominasi oleh A. fumigatus

tidak mempengaruhi serangan patogen

G. boninense.

Gambar 7. A. konidiofor A. fumigatus B. konidiofor dan konidia A. niger

Cendawan F. solani memiliki hifa bersekat dan hialin, konidiofor tidak
bercabang atau bercabang dengan panjang 50-165 µm dan lebar 2,4-4,3 µm, serta
memiliki konidia yang melengkung, kekar, dan berdinding tebal, serta bersekat
tiga sampai lima dengan panjang 31,5-59,4 µm dan lebar 4,6-6,2 µm untuk
makrokonidia sedangkan mikrokonidianya memiliki panjang 7,2-15 µm dan lebar
2,4-3,9 µm (Nelson et al. 1983). Fusarium selain berperan penting bagi industri
makanan dan obat-obatan juga sebagai penyebab berbagai penyakit tanaman.
Cendawan G. butleri memiliki sporangiofor hialin, tegak, sederhana atau
bercabang dengan panjang 54-340,5 µm, bersekat didekat sporangia yang
berbentuk bulat dan berwarna abu-abu dengan diameter 15-20,7 µm (Hesseltine &
Ellis 1964). Cendawan G. butleri merupakan penghasil kitosan yang tinggi (Tan
et al. 1996) yang bermanfaat sebagai anti bakteri dan cendawan, serta membantu
pertumbuhan akar tanaman.
Cendawan M. uniramosa memiliki sporangiofor hialin, tegak, sederhana
atau bercabang sekali dibagian atas, meruncing kearah puncak dengan panjang
(85-) 100-250 (-275) µm. Sporangia memiliki diameter 14-15 µm yang banyak
terdapat di sekitar kolumela (Gams 1977). Menurut Wagner (1993), cendawan

22

Mortierella spp. memiliki sifat antagonis terhadap beberapa jenis patogen tular
tanah penyebab penyakit-penyakit pada apel, bit, beri, dan lobak.

Gambar 8.

A. Hifa dan konidia F. solani
C. Sporangiofor M. uniramosa

B. Sporangiofor G. butleri

Paecilomyces memiliki hifa bersekat hialin, konidiofor bercabang, dan
terdapat phialid diujungnya. Phialidnya langsing membesar dipangkalnya dan
memanjang diujungnya dan biasanya berkelompok seperti sikat berupa struktur di
ujung konidiofornya. Konidia berbentuk oval, hialin, dan muncul dalam bentuk
rantai yang panjang (Brown & Smith 1957). Paecilomyces sp. adalah cendawan
entomopatogen untuk beberapa serangga dan juga dapat mengendalikan nematoda
(Johnson et al. 2009). Cendawan P. inflatus memiliki konidiofor dengan panjang
6-13,4 µm dan lebar 2,9-3,9 µm, konidia dengan panjang 4,8-5,6 µm dan lebar
2,4-3,7 µm. Cendawan P. victoriae memiliki konodiofor dengan panjang 22,5-64
µm, phialid panjangnya 6,3-22 µm dan lebar 2,7-2,8 µm, serta memiliki konidia
dengan diameter 2,5-3 µm. Untuk beberapa spesies tertentu Paecilomyces
dikombinasikan dengan Trichoderma spp. untuk meningkatkan imunitas akar
terhadap patogen tular tanah seperti G. boninense pada kelapa sawit.
Genus Phialophora memiliki konidiofor coklat, tegak, sederhana atau
bercabang. Setiap ujung konidiofor terdapat phialid yang berkelompok dan
diujungnya terdapat konidia hialin, berbentuk silender atau oval, dan bersel satu
(Schol-Schwarz 1970). Cendawan P. cinerescens memiliki konidiofor dengan
panjang 11,5-40 µm dan lebar 2,2-2,5 µm, phialid dengan panjang 5,5-12,5 µm,
dan konidia dengan panjang 3,7-5 µm dan lebar 1,8-2,6 µm Cendawan
P. malorum memiliki phialid dengan panjang 12 µm dan konidia dengan panjang
6,3-12,6 µm dan lebar 2,1-2,2 µm Cendawan ini merupakan patogen tular tanah
terhadap tanaman anyelir (Arbelaez 1988)

23

Gambar 9. A. Phialid dan konidia P. inflatus B. Konidiofor dan rantai konidia
P. victoriae C. Phialid P. malorum
Penicillium memiliki hifa hialin bersekat, konidiofor sederhana, atau
bercabang yang diatasnya terdapat metula berupa cabang sekunder. Setiap metula
terdapat phialid yang diujungnya terdapat konidia yang membentuk seperti rantai
(Samson & Pitt 1990). Cendawan P. corylophilum memiliki konidiofor dengan
panjang 120-220 µm, phialid dengan panjang 10,5-12,5 µm dan lebar 2,5 µm,
konidia dengan panjang 2,7-3,5 µm dan lebar 2,2-2,3 µm. Cendawan P. lanosum
memiliki konidiofor dengan panjang 12,5-62,5 µm dan lebar 2,5-2,8 µm, phialid
dengan panjang 10-13,8 µm dan lebar 2,5-3 µm, konidia dengan diameter 2,7-4
µm. Penicillium memiliki kemampuan antagonisme in vitro yang tinggi terhadap
patogen R. lignosus (Kusdiana 2011).
Rhizoctonia memiliki hifa cok