Kajian Efektivitas Membran Selulosa Asetat pada Proses Filtrasi Bertahap untuk Desalinasi Air Laut

(1)

KAJIAN EFEKTIVITAS MEMBRAN SELULOSA ASETAT

PADA PROSES FILTRASI BERTAHAP

UNTUK DESALINASI AIR LAUT

INA ADE WINANI

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ABSTRAK

INA ADE WINANI. Kajian Efektivitas Membran Selulosa Asetat pada Proses Filtrasi

Bertahap untuk Desalinasi Air Laut. Dibimbing oleh JAJANG JUANSAH dan M. NUR

INDRO.

Penelitian ini fokus pada pengkajian efektivitas membran selulosa asetat untuk

desalinasi air laut dengan menggunakan sistem filtrasi bertahap. Membran selulosa asetat

telah digunakan untuk menyaring air laut. Teknik filtrasi yang digunakan yaitu sistem

aliran

dead end

. Sistem filtrasi dilakukan pada kondisi pemberian variasi tekanan. Nilai

fluks membran menurun seiring dengan meningkatnya waktu filtrasi. Nilai fluks

mengalami peningkatan dengan meningkatnya tekanan. Kualitas hasil filtrasi

menunjukkan peningkatan, terlihat dari nilai salinitas, kekeruhan, pH, maupun rapat

massanya yang menurun. Salinitas air laut menurun setelah melewati membran, berarti

terjadi desalinasi. Penurunan salinitasnya sebesar 6,25%. Dalam hal ini membran

mempunyai kemampuan merejeksi. Hasil sistem filtrasi bertahap memiliki rejeksi

kekeruhan sebesar 64,407%, nilai ini lebih tinggi dibanding rejeksi: salinitas, pH, dan

rapat massa. Membran yang telah dipakai pada masing-masing tahapan filtrasi mengalami

peristiwa

fouling

.


(3)

KAJIAN EFEKTIVITAS MEMBRAN SELULOSA ASETAT

PADA PROSES FILTRASI BERTAHAP

UNTUK DESALINASI AIR LAUT

INA ADE WINANI

G74070029

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

Judul : Kajian Efektivitas Membran Selulosa Asetat pada Proses Filtrasi

Bertahap untuk Desalinasi Air Laut

Nama : Ina Ade Winani

NIM : G74070029

Disetujui,

Pembimbing 1

Jajang Juansah, M.Si

NIP. 19771020 200501 1 002

Pembimbing 2

M. Nur Indro, M.Sc

NIP. 19561015 198703 1 001

Diketahui,

Kepala Departemen Fisika

Dr. Akhiruddin Maddu

NIP. 19660907 198802 1 006


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis mempunyai nama lengkap Ina Ade Winani, putri

pertama dari pasangan Tasnya dan Eni, lahir pada tanggal 4

Maret 1989 di Cirebon. Pendidikan yang telah ditempuh

penulis: SDN 1 Pabuaranlor, SMPN 1 Ciledug, dan SMAN 1

Babakan.

Pada

tahun

2007

penulis

melanjutkan

pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi di Departemen

Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah, penulis aktif di

Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Kekeluargaan Cirebon

(OMDA-IKC) IPB. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan penghargaan 10 penulis

terbaik dalam acara Seminar Buku

Best Seller

yang diselenggarakan oleh OMDA-IKC

IPB.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohiim, Assalammualaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, berkat rahmat,

inayah dan taufik-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian

Efektivitas Membran Selulosa Asetat pada Proses Filtrasi Bertahap untuk Desalinasi Air

Laut

.

Skripsi ini disusun sebagai syarat kelulusan program sarjana di Departemen Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada

orang-orang terkasih yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis, yaitu dosen

pembimbing, orang tua, kakak, para sahabat, rekan-rekan fisika serta para dosen dan staf

Departemen Fisika. Kepada Bapak Jajang Juansah dan Bapak M. Nur Indro sebagai

pembimbing skripsi yang telah berkenan memberikan bimbingan serta motivasi kepada

penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

Demi kesempurnaan skripsi ini, penulis membuka dengan selebar-lebarnya untuk

kritik dan saran terkait makalah hasil penelitian ini. Akhir kata, penulis mengucapkan

terima kasih.

Bogor, Juni 2011


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 1

1.3 Perumusan Masalah ... 1

1.4 Hipotesis ... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 2

2.1 Air Laut dan Karakteristiknya ... 2

2.2 Desalinasi Air Laut ... 2

2.3 Membran ... 3

2.4 Membran Selulosa Asetat ... 4

2.5 Filtrasi Membran ... 5

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 6

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 6

3.2 Bahan dan Alat ... 6

3.3 Prosedur Penelitian ... 6

3.3.1 Persiapan Membran dan Umpan ... 6

3.3.2 Set up Alat ... 6

3.3.3 Proses Filtrasi ... 7

3.3.4 Uji Fluks ... 7

3.3.5 Uji Rejeksi Membran ... 7

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

4.1 Filtrasi Tahap I ... 8

4.2 Filtrasi Tahap II... 11

4.3 Filtrasi Total ... 14

BAB 5 KESIMPULAN ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 19


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Klasifikasi air menurut salinitas ... 2

Tabel 2 Perbedaan dari macam-macam filtrasi membran ... 5

Tabel 3 Derajat swelling membran selulosa asetat ... 8

Tabel 4 Presentase penurunan fluks pada filtrasi tahap I ... 9

Tabel 5 Konsentrasi umpan dan permeat filtrasi tahap I pada tekanan 5 psi ... 10

Table 6 Nilai rejeksi membran filtrasi tahap I pada tekanan 5 psi ... 11

Tabel 7 Persentase penurunan fluks pada filtrasi tahap II ... 12

Tabel 8 Konsentrasi umpan dan permeat filtrasi tahap II pada tekanan 5 psi ... 14

Tabel 9 Nilai rejeksi membran filtrasi tahap II pada tekanan 5 psi ... 14

Tabel 10 Persentase penurunan fluks pada masing-masing tahapan filtrasi ... 16

Tabel 11 Kualitas umpan dan permeat filtrasi bertahap pada tekanan 5 psi ... 16


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Sistem dead end dan cross flow ... 6 Gambar 2 Skema peralatan filtrasi bertahap ... 7 Gambar 3 Hubungan fluks permeat terhadap waktu pada filtrasi tahap I menggunakan

membran selulosa asetat melalui sistem dead end dengan variasi tekanan ... 8 Gambar 4 Hubungan fluks terhadap variasi tekanan (tanpa tekanan, 5 psi, 8 psi, dan 15 psi)

pada filtrasi tahap I pada waktu tertentu ... 9 Gambar 5 Total volume permeat pada masing-masing tekanan yang diberikan psds filtrasi

tahap I ... 10 Gambar 6 Hubungan fluks permeat terhadap waktu pada filtrasi tahap II menggunakan

membran selulosa asetat melalui sistem dead end dengan variasi tekanan ... 11 Gambar 7 Hubungan fluks terhadap variasi tekanan (tanpa tekanan, 5 psi, 8 psi, dan 15 psi)

pada filtrasi tahap I pada waktu tertentu ... 13 Gambar 8 Total volume permeat pada masing-masing tekanan yang diberikan psds filtrasi

tahap II ... 13 Gambar 9 Hubungan fluks peremat terhadap waktu dalam filtrasi tahap I dan tahap II pada

tekanan 5 psi menggunakan sistem aliran dead end ... 14 Gambar 10 Hubungan fluks peremat terhadap waktu dalam filtrasi tahap I dan tahap II

dengan menggunakan membran selulosa asetat tanpa tekanan melalui sistem aliran dead end ... 15 Gambar 11 Hubungan fluks terhadap variasi tekanan pada filtrasi tahap I dan tahap II pada


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian ... 22

Lampiran 2 Gambar Alat dan Membran ... 23

Lampiran 3 Data Penelitian ... 24


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju konsumsi air bersih di Indonesia semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Sedangkan ketersediaan air bersih semakin berkurang. Forum Air Dunia1 di Den Haag pada Maret 2000 sudah memprediksikan Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada tahun 2025. Penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah satunya adalah pemakaian air yang tidak efisien. Laju kebutuhan akan sumber daya air dan potensi ketersediaannya tidak seimbang sehingga semakin menekan kemampuan alam dalam menyuplai air.2

Kepulauan Indonesia terdiri atas 17.508 pulau besar dan pulau kecil, memiliki garis pantai 81.000 km, serta luas laut 5,8 juta km2 yang merupakan luas laut terbesar di dunia.3 Air laut memiliki potensi untuk mengatasi masalah krisis air karena air bersih dapat dihasilkan dari air laut melalui proses desalinasi. Desalinasi adalah proses pemisahan yang dilakukan untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air laut. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi. Teknologi desalinasi juga dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengatasi krisis air.2

Teknologi membran semakin berkembang pesat. Salah satu aplikasi dari penggunaan membran adalah sebagai filter air, dalam hal ini membran digunakan sebagai media pemisahan. Keuntungan dalam penggunaan membran terletak pada beberapa hal, antara lain: sederhana dalam proses pemisahannya, dapat berlangsung pada suhu kamar, dan tidak destruktif (tidak menimbulkan degradasi pada zat yang dipisahkan) secara fisis maupun kimia. Selain itu pemisahan menggunakan membran dapat berjalan secara sinambung dan tidak banyak membutuhkan energi.4

Di samping mempunyai keuntungan, proses membran juga mempunyai kekurangan di antaranya: penyumbatan pori membran (fouling). Adanya fouling dapat menyebabkan penurunan fluks. Fluks berbanding terbalik dengan selektivitas. Semakin tinggi fluks seringkali berakibat

menurunnya selektivitas dan sebaliknya. Sedangkan hal yang diinginkan dalam proses berbasiskan membran adalah mempertinggi fluks dan selektivitas. Selain fouling, kekurangan membran ada pada stabilitas membran. Kebanyakan material membran berbahan polimer mempunyai kendala dalam keterbatasan terhadap pH, temperatur, dan ketahanan kimia.4

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengkaji efektivitas membran selulosa asetat pada filtrasi bertahap menggunakan sistem dead end untuk desalinasi air laut.

b. Mengkaji kemampuan membran melewatkan air laut dan menyaring partikel-partikel garam dan pengotor air laut melalui analisis kakateristik air hasil filtrasi.

1.3 Hipotesis

Teknologi filtrasi bertahap melalui membran selulosa asetat memiliki kemampuan untuk memisahkan garam terlarut pada air laut sehingga salinitas permeat menurun. Sistem dead end memiliki pola fluks terhadap waktu yang menurun, semakin lama waktunya maka semakin kecil fluks yang dihasilkan. Dari variasi tekanan yang diberikan akan menghasilkan hubungan fluks terhadap tekanan yang berbanding lurus, semakin besar tekanan yang diberikan maka semakin besar fluks yang dihasilkan.

1.4 Rumusan Masalah

Pada penelitian ini difokuskan pada mengkaji efektivitas membran selulosa asetat pada filtrasi bertahap melalui parameter fluks permeat dan rejeksi membran. Adapun yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. Apakah membran selulosa asetat mampu menyaring partikel garam pada air laut? b. Berapa persen salinitas air laut dapat

berkurang setelah melalui proses filtrasi bertahap?

c. Berapa persen kekeruhan air laut dapat berkurang setelah melalui filtrasi bertahap?

d. Berapa persen pH air laut dapat berkurang setelah melalui filtrasi bertahap?

e. Berapa persen rapat massa air laut dapat berkurang setelah melalui filtrasi bertahap?


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Laut dan Karakteristiknya

Air laut adalah air dari laut atau samudera. Air laut terasa asin karena karakteristiknya memiliki salinitas 3-5% (30-50‰). Salinitas merupakan tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah.5 Kadar garam tersebut dinyatakan dalam persen (%) atau permil (‰). Namun satuan salinitas yang sering digunakan adalah permil (‰),kira-kira sama dengan jumlah gram garam dalam setiap satu liter larutan. Kandungan salinitas pada macam-macam air dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air tawar, secara definisi kurang dari 0,05% (0,5‰). Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline.6 Faktor–faktor yang mempengaruhi salinitas, yaitu:

1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.

2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi. 3. Banyak sedikitnya sungai yang

bermuara di laut tersebut, semakin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.

Karapatan air laut adalah sekitar 1027 kg/m3. Jika dibandingkan dengan air murni, air laut memiliki kerapatan yang lebih besar karena mengandung banyak garam-garaman. Tekanan di suatu titik di dalam air tergantung pada kedalaman, kerapatan dan gravitasinya. Semakin dalam tingkat kedalaman laut maka semakin besar tekanannya.7

Tabel 1 Klasifikasi air menurut salinitas.7

Air Salinitas (‰)

Air laut > 30 Air payau 0,5 – 30 Air tawar < 0,5

Kekeruhan air merupakan ukuran kejernihan air. Kekeruhan disebabkan oleh partikel-partikel yang tersuspensi dalam air. Dengan demikian kekeruhan menyatakan banyaknya material tersuspensi dalam air yang menghambat kemampuan air meneruskan cahaya. Pengukuran kekeruhan menggunakan alat nephelometer atau disebut juga turbidimeter. Alat tersebut mengukur intensitas cahaya yang disebarkan pada 90 derajat dari cahaya yang melalui sampel air. Satuan yang digunakan untuk mengukur kekeruhan adalah Nephelometric Turbidity Unit (NTU).7

pH merupakan singkatan dari pondus hydrogenii yang menunjukkan derajat keasaman atau derajat kebasaan dari suatu bahan.8 Nilai pH merupakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya unsur hara serta toksitas dari unsur-unsur renik. Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui berapa kadar asam atau basa dari air yang diuji. Rentang nilai pH mulai dari 0 sampai 14, angka 7 menunjukkan sifat netral. Nilai pH yang kurang dari 7 bersifat asam, sedangkan nilai pH yang lebih dari 7 bersifat basa. Nilai pH merupakan petunjuk penting untuk air yang zat kimianya berubah, karena pH dapat dipengaruhi oleh zat kimia di dalam air.

2.2 Desalinasi Air Laut

Desalinasi yang paling umum dilakukan adalah melalui proses destilasi dan Reverse Osmosis (RO). Secara prinsip proses destilasi merupakan perubahan fase cair menjadi fase uap. Dimana pada tahap akhir, uap air laut akan mengalami kondensasi menjadi air murni. Sementara, pada proses RO air dalam prosesnya tidak ada perubahan fase. Pada proses RO yang terjadi hanya fase cair saja, dimana untuk memisahkan air tawar dengan air laut diperoleh dari adanya perbedaan tekanan yang menggunakan membran semi permeabelnya.9

Masing-masing teknologi pemisahan air tawar dengan air laut itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Kelemahan pada proses desalinasi yang


(13)

menggunakan teknologi RO di antaranya adalah adanya kemungkinan penyumbatan pada selaput membran oleh bakteri, kerak kapur atau fosfat dari air laut. Selain itu, pemanfaatan teknologi RO untuk menghasilkan air tawar di Indonesia pun masih menghadapi kendala terhadap bahan baku air laut yang sudah kotor. Jika penggunaaan bahan baku semacam ini dipaksakan tentu akan berpotensi untuk menyumbat membran.

Pada proses destilasi, air laut dipanaskan untuk menguapkan air laut dan kemudian uap air yang dihasilkan dikondensasi untuk memperoleh air tawar. Proses ini menghasilkan air tawar yang sangat tinggi tingkat kemurniannya dibandingkan dengan proses lain. Air laut mendidih pada 1000 C pada tekanan atmosfir, namun dapat mendidih di bawah 100 apabila tekanan diturunkan. Penguapan air memerlukan panas penguapan yang tertahan pada uap air yang terjadi sebagai panas laten. Apabila uap air dikondensasi maka panas laten akan dilepaskan yang dapat dimanfaatkan untuk pemanasan awal air laut. Peralatan pada proses destilasi sering rusak akibat korosi (karat). Oleh karena itu sistem pengolahan tidak dapat beroperasi. Perbaikan alat memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Selama pebaikan berlangsung produksi air akan terhenti.10 Ada beberapa peralatan yang mendukung proses destilasi ini, antara lain adalah heater, kondensor, ejektor air, pompa ejektor, pompa kondensat, indikator salinitas, dan peralatan kontrol.9

Air tawar yang dihasilkan dari proses destilasi ini kualitasnya sudah terjamin. Setelah proses destilasi usai, air tawar yang dihasilkan telah siap untuk diminum. Ini disebabkan karena air tawar tersebut sudah memenuhi standar air bersih yang ditetapkan oleh Lembaga Kesehatan Dunia (WHO). Berdasarkan hasil penelitian, air destilasi memiliki pH 8,5 pada suhu 25 0C. Selain itu, tingkat alkalinitasnya sekitar 3 CaCO3

miligram per liter. Kandungan ion klorida, ion besi masing-masing sebanyak kurang dari 2 mg/L Cl- dan kurang dari 0,05 mg/L Fe. Sementara itu kualitas air yang ditetapkan WHO, pH yang baik berkisar antara 5,8--8,6. Kandungan ion klorida kurang dari 200 mg/L Cl-. Dan kandungan ion besinya adalah kurang dari 0,3 mg/L Fe. Selama ini pemanfaatan teknologi desalinasi ini banyak digunakan pada kapal-kapal tanker.9

2.3 Membran

Membran berasal dari bahasa latin “membrana” yang berarti potongan kain. Membran dikenal sebagai lapisan tipis di antara dua fasa fluida sebagai penghalang (barrier) terhadap suatu zat tertentu, dapat memisahkan zat dengan ukuran berbeda, serta membatasi transport dari berbagai zat berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Proses pemisahan dengan membran dapat terjadi karena adanya perbedaan ukuran pori, bentuk, serta struktur kimianya. Membran demikian biasa disebut sebagai membran semipermeabel, artinya dapat menahan zat tertentu, tetapi dapat melewatkan zat yang lainnya. Fasa campuran yang akan dipisahkan disebut umpan (feed), dan fasa hasil pemisahan disebut permeat (permeate). sedangkan yang tertahan oleh membran disebut sebagai retentate atau kosentrat.11

Menurut Sartika12, membran merupakan suatu bahan yang mempunyai dimensi lateral yang lebih besar daripada ketebalannya. Dalam aplikasinya membran berperan sebagai penghalang yang memisahkan sistem menjadi dua, yaitu upstream dan down stream. Perpindahan materi secara selektif antara dua bagian sistem tersebut akan terjadi apabila ada tanaga penggeraknya, yaitu dapat berupa perbedaan tekanan, konsentrasi, suhu atau potensial kimianya. Praptowidodo13 menyebutkan bahwa proses filtrasi menggunakan membran adalah proses perpindahan massa larutan/pelarut melalui membran oleh adanya suatu gaya dorong.

Ditinjau dari bahannya membran terdiri dari bahan alami dan bahan sintetis. Bahan alami adalah bahan yang berasal dari alam misalnya pulp dan kapas, sedangkan bahan sintetis dibuat dari bahan kimia, misalnya polimer. Pemilihan bahan baku pembentuk membran penting dilakukan karena jenis bahan baku dapat mempengaruhi karakteristik membran yang dihasilkan. membran dapat disintesa dari bahan organik maupun anorganik. Wenten11 menyatakan bahwa ada empat jenis membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, membran gelas, membran metal, dan membran zeolit. Sedangkan membran yang dihasilkan dari bahan polimer alam, di antaranya adalah polisulfon (PS), selulosa asetat (CA), Selulosa triasetat (CTA), poliamida (PA), poliestersulfon (PES), dan poliolefin (PO).


(14)

Teknologi membran memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan proses lain, antara lain:14

 Pemisahan dapat dilakukan secara kontinu

 Konsumsi energi umumnya relatif lebih rendah

 Proses membran dapat mudah digabungkan dengan proses pemisahan lainnya ( hybrid processing)

 Pemisahan dapat dilakukan dalam kondisi yang mudah diciptakan  Tidak perlu adanya bahan

tambahan

 Material membrane bervariasi sehingga mudah diadaptasikan pemakaiannya.

Efisiensi membran ditentukan oleh permeabilitas dan selektivitasnya. Permeabilitas merupakan ukuran kecepatan dari suatu zat pada saat melewati membran. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran pori, tekanan yang diberikan, serta ketebalan membran. Permeabilitas dinyatakan sebagai suatu besaran fluks dengan lambang J, yang didefinisikan sebagai jumlah volum permeat yang melewati satu satuan luas membran dalam satuan waktu tertentu dengan adanya gaya penggerak berupa tekanan.14

J =

= (1)

Keterangan:

J = Fluks volume (Lm-2s-1) V = Volume permeat (L) A = Luas permukaan membran (m

2

) t = Waktu (s)

Menurut Wenten,11 fluks dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi umpan, tekanan transmembran, kecepatan aliran, temperatur umpan, dan waktu. Nilai fluks akan meningkat jika tekanan yang diberikan bertambah, artinya kemampuan melewatkan cairan meningkat.

Selektivitas membran diukur dengan menentukan koefisien rejeksinya, yaitu kemampuan membran untuk menahan partikel terlarut. Selektivitas dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan membran dalam menahan atau melewatkan suatu partikel. Kemampuan membran dalam menahan suatu patrikel dinyatakan sebagai koefisien rejeksi, dilambangkan dengan R. Rejeksi terlarut besarnya tergantung membran, reconvery, konsentrasi umpan,

valensi ion-ion dalam terlarut (yang kecil lebih tak direjeksi) dan sebagainya.15

R = ( 1 -

) x 100% (2) Keterangan :

R = koefisien rejeksi

Cp = konsentrasi partikel dalam permeat CJ =konsentrasi partikel dalam umpan

Membran memiliki usia kerja tertentu, yakni jangka waktu pemanfaatan membran. Usia kerja membran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fouling. Terjadinya fouling menyebabkan kinerja membran menurun, serta usia kerja membran pun menurun. Kinerja membran dapat diketahui dari beberapa parameter seperti fluks membran, kemampuan rejeksi, kekuatan membran, dan antifouling.16

2.4 Membran Selulosa Asetat

Selulosa merupakan salah satu polimer alam yang melimpah dan dapat dimodifikasi dimana kegunaannya sangat luas mulai dari bidang industri kertas, film transparant, film fotografi, plastik biodegradable, sampai untuk membran yang digunakan diberbagai bidang industri. Selulosa dapat dimodifikasi melalui reaksi esterifikasi menghasilkan suatu ester organik dan salah satu diantaranya yang dikenal dengan nama selulosa asetat.17

Selulosa asetat (CA) merupakan ester organik selulosa yang berupa padatan putih, tidak berbau, dan tidak berasa, dihasilkan melalui esterifikasi molekul selulosa dengan anhidrida asetat dan sejumlah katalis. Selain asam sulfat, dalam pembentukan CA dapat digunakan katalis asam perklorat dan zink klorida. Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa, sehingga dapat dibentuk menjadi selulosa monoasetat, diasetat, atau triasetat. CA yang homogen hanya diperoleh dari substitusi sempurna gugus-gugus hidroksil anhidroglukosa menjadi selulosa triasetat.7 Keunggulan membran selulosa asetat:18 1. Mudah disintesis

2. Bahan dasar merupakan bahan yang terbarukan

3. Relatif lebih kuat

4. Tidak latur dalam alkohol

Kelemahan membran selulosa asetat:18 1. Membran selulosa asetat biasanya

dioperasikan pada suhu tidak lebih dari 300C


(15)

2. Kisaran pH rendah antara 3-6, tidak tahan pada keadaan sangat asam atau sangat basa

3. Tidak taha terhadap khlorin (dapat teroksidasi oleh khlorin)

4. Dapat mengalami pengerutan atau pengompakan

5. Dapat mengalami biodegradasi, mudah rusak oleh bakteri

2.5 Filtrasi Membran

Gutman19 mendefinisikan filtrasi sebagai pemisahan material partikulat dalam suatu campuran dengan cara mengalirkan umpan melalui suatu membran yang dapat menahan partikulat yang memiliki molekul lebih besar dari ukuran pori membran. Menurut Wenten,11 ada dua kelas utama dalam proses filtrasi, yaitu filtrasi partikel konvensional dan proses filtrasi membran. Filtrasi konvensional biasanya dilakukan dalam pemisahan partikel besar yang tersuspensi dengan ukuran lebih dari 10 µm. Sedangkan filtrasi membran memisahkan zat dengan ukuran molekul kurang dari 10 µm.

Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul, menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar dari pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran yang lebih kecil. Filtrasi dengan menggunakan membran selain berfungsi sebagai sarana pemisahan juga berfungsi sebagai sarana

pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan yang dilewatkan pada membran tersebut. Menurut Dutre dan G. Tragardh,20 membran dapat memisahkan antara dua atau lebih tipe molekul berdasarkan ukuran molekul, bentuk, susunan kimia atau berdasarkan energi potensialnya. Membran dapat diaplikasikan secara luas dalam berbagai proses pemisahan. Proses pemisahan dapat menggunakan membran, antara lain membran mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan reverse osmosis.

Proses-proses pemisahan membran tersebut di atas berbeda dari ukuran partilek yang mampu ditahan, dapat dilihat pada Tabel 2. Mikrofiltrasi merupakan pemisahan partikel berukuran micron atau submicron. Membran mikrofiltrasi berfungsi untuk merejeksi partikel dari air yang berukuran 0,1-100 µm. Ultrafiltrasi merupakan pemisahan partikel berukuran nano. Membran ultrafiltrasi untuk merejeksi partikel dari air yang berukuran 5 nm sampai 0,1 µm. Nanofiltrasi dan Reverse osmosis juga mampu memisahkan partikel berukuran nano, ukuran partikel yang dapat direjeksi sekitar < 5 µm. Selain itu proses-proses tersebut dapat dibedakan dalam hal kisaran tekanan operasinya. Mikrofiltrasi beroperasi pada tekanan antara 0,1-2 Bar. Ultrasfiltrasi beroperasi pada tekanan antara 1-5 Bar. Nanofiltrasi beroperasi pada tekanan antara 5-20 Bar. Sedangkan RO beroperasi pada tekanan antara 10-100 Bar.21

Tabel 2 Perbedaan dari macam-macam filtrasi membran.22

Proses Filtrasi Membran

Karakteristik

Air Ion

Monovalen

Ion Multivalen

Virus Bakteri Padatan Tersuspensi

Mikrofiltrasi + + + + - -

Ultrafiltrasi + + + - - -

Nanofiltrasi + + ± - - -

Reverse Osmosis

+ - - - - -

Keterangan: (+):komponen yang dapat melewati membran; (-): komponen yang tertahan oleh membran; (±): sebagian tertahan


(16)

(a)

(b)

Gambar 1 (a) Sistem cross flow, (b) Sistem dead end.23

Sistem pemisahan menggunakan membran berdasarkan arah aliran larutan umpan dapat dibedakan menjadi sistem dead end dan cross flow, seperti diperlihatkan oleh Gambar 1 di atas.18 Pada sistem dead end arah aliran umpan tegak lurus permukaan membran. Sistem ini mempunyai kelemahan, yaitu terjadinya fouling yang merupakan pelapisan pada bagian permukaan membran. Fouling ini disababkan oleh endapan organik, anorganik dan partikulat lain. Jika pelapisan ini semakin tinggi, fluks akan semakin menurun sampai mencapai nol. Pada sistem cross flow arah aliran larutan umpan aksial (sejajar) dengan permukaan membran. Pada sistem ini fouling masih dapat terjadi, namun dapat dikurangi dengan gaya dorong aliran umpan akibat kecepatan aliran larutan umpan, sehingga pada sistem ini pemilihan kecepatan aliran larutan umpan memegang peranan penting untuk meningkatkan efisiensi pemisahan. Pada aplikasi industri, sistem crossflow yang sering dipakai.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika dan Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor pada bulan Januari sampai April 2011.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah membran selulosa asetat berpori 0,2µm dengan tebal 0,087mm, air laut, dan aquades. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, sistem dead end, turbidimeter, salinitimeter, pH meter, mikrometer skrup, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, pipet, stop watch, kertas saring dan ember.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Persiapan Membran dan Umpan

Membran diukur terlebih dahulu massa dan tebalnya sebelum digunakan untuk menyaring, kemudian membran direndam dalam air laut selama ±24 jam. Setelah direndam, membran diangkat dan ditiriskan selama 10 menit, kemudian membran diukur kembali massanya. Hal ini dilakukan untuk mencari derajat swelling membran. Umpan yang akan digunakan, disaring terlebih dahulu menggunakan kertas saring. Kemudian umpan diuji kualitasnya sebelum dimasukkan dalam alat filtrasi. Kualitas umpan yang diuji meliputi kekeruhan; salinitas, pH, dan rapat massa.

3.3.2 Set up Alat

Alat filtrasi yang digunakan merupakan rangkaian alat sederhana untuk sistem pemisahan yang arah alirannya memenuhi sistem dead end. Skema persiapan alat ini dapat dilihat pada Gambar 2. Tahap filtrasi air laut dilakukan dua kali. Pertama air laut disaring, kemudian hasil penyaringan (permeat) disaring kembali. Hasil akhirnya merupakan permeat yang diperoleh pada filtrasi tahap II. Analisis dilakukan terhadap filtrasi tahap satu dan dua.


(17)

Gambar 2 Skema peralatan filtrasi bertahap.

3.3.3 Proses Filtrasi

Proses filtrasi terdiri atas dua tahap dengan masing-masing tahapan menggunakan membran selulosa asetat. Pada filtrasi tahap I umpan yang digunakan adalah air laut sudah melalui kertas saring. Sedangkan pada filtrasi tahap II umpannya merupakan permeat hasil filtrasi tahap I. Proses filtrasi berlangsung selama 15 menit dengan diberikan variasi tekanan. Perlakuan tekanan pada filtrasi tahap I, yaitu pada 5 psi, 8 psi, 15 psi, dan tanpa tekanan. Sedangkan pada filtrasi tahap II diberikan variasi tekanan pada 2,5 psi, 5 psi, 10 psi, dan tanpa tekanan. Pada saat proses filtrasi berlangsung, dilakukan uji fluks permeat dan setelah filtrasi selesai dilakukan uji rejeksi membran pada tiap tahapan filtrasi. Uji rejeksi membran dilakukan dengan menganalisis konsentrasi permeat hasil filtrasi pada tekanan 5 psi.

3.3.4Uji Fluks

Baik pada filtrasi tahap I maupun filtrasi tahap II dilakukan uji fluks dengan melewatkan air laut pada membran yang sudah terpasang dalam sistem dead end. Untuk memperoleh data fluks diperlukan data volume permeat dalam tiap 30 detik. Sebelum mendapatkan data volume permeat, lakukan pengisian umpan, kemudian aktifkan stop watch untuk memulai mengambil data volume permeat. Masing-masing tahapaan filtrasi, umpan akan dilewatkan melalui membran dalam waktu 15 menit dengan diberikan variasi tekanan. Pada viltrasi tahap I diberikan tekanan 5 psi, 8 psi, 15 psi dan tanpa tekanan. Sedangkan pada filtrasi tahap II diberikan tekanan 2,5 psi, 5 psi, 10 psi dan tanpa tekanan. Membran yang telah dipakai dicuci terlebih

dahulu dengan menggunakan aquadest sebelum dipasang kembali pada sistem dead end yang kemudian digunakan kembali sebagai filter umpan pada masing-masing tekanan.

3.3.5Uji Rejeksi Membran

Parameter rejeksi membran diuji melalui data kualitas air laut sebelum dan sesudah filtrasi. Air laut yang belum dilewatkan dalam membran atau disebut sebagai umpan sudah diuji kualitasnya sebelum proses filtrasi. Setelah proses filtrasi selesai pada masing-masing tahapan filtrasi akan dihasilkan permeat. Permeat yang diuji kualitasnya adalah permeat pada masing-masing tahap filtrasi dengan menggunakan tekanan 5 psi. Parameter kualitas air yang diuji, meliputi salinitas, kekeruhan, pH, dan rapat massa. Uji salinitas, pH, dan rapat massa dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali, sedangkan uji kekeruhan dilakukan pengulangan pengukuran sebanyak sepuluh kali. Rapat massa air laut diukur secara manual, yaitu dengan cara menimbang massa dan mengukur volumenya, kemudian dihitung rasio massa terhadap volume.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah diukur dalam kondisi kering, membran selulosa asetat (CA) dengan ukuran pori 0,2 µm memiliki ketebalan sebesar 0,087 mm (lampiran 3). Sedangkan ukuran kemampuan membran CA menyerap air laut yang biasa disebut dengan deratat swelling dapat dilihat pada Tabel 3.

Air umpan

pompa

Filttrasi 1

permeat

Filtrasi 2

permeat


(18)

Tabel 3 Derajat swelling membran selulosa asetat.

Massa membran (gram) Derajat

swelling (%) Sebelum direndam Setelah direndam

0,1219 0,3075 152,26 Berdasarkan hasil pada Tabel 3, membran selulosa asetat yang dipakai dalam penelitian ini memiliki derajat swelling sebesar 152,26%. Artinya, setiap 100 gram membran selulosa asetat memiliki kemampuan menyerap air laut sebanyak 152,26 gram. Air laut yang digunakan sebagai umpan pada proses filtrasi tahap I memiliki nilai salinitas 32 ‰ dan nilai kekeruhan sebesar 116 NTU (dapat dilihat pada Lampiran 3). Kekeruhan air laut tersebut cukup tinggi, hal ini yang menjadi alasan dilakukannya penyaringan air laut dengan menggunakan kertas saring terlebih dahulu. Langkah ini dilakukan agar umpan yang digunakan dalam proses filtrasi lebih jernih, sehingga mengurangi terjadinya kerusakan membran akibat fouling (menempelnya pengotor pada membran).

4.1. Filtrasi Tahap I A. Fluks

Membran selulosa asetat yang digunakan dalam pengolahan air laut dipasang dalam sistem dead end. Membran ini mampu melewatkan air laut, terlihat pada nilai fluks yang dihasilkan. Analisis pengaruh waktu terhadap fluks dapat dilihat pada Gambar 3.

Fluks pada membran selulosa asetat dengan ukuran pori 0,2 µm pada tekanan

yang diberikan sebesar 5 psi memiliki nilai fluks awal sebesar 0,229 L/m2s dan fluks akhir sebesar 0,167 L/m2s. Sedangkan pada tekanan 8 psi, fluks awal yang dihasilkan memiliki nilai sebesar 0,292 L/m2s dan fluks akhir sebesar 0,192 L/m2s. Pada tekanan 15 psi memiliki niali awal fluks sebesar 0,458 L/m2s dan fluks akhir sebesar 0,275 L/m2s. Pada kondisi tanpa tekanan menghasilkan nilai fluks yang lebih rendah dibandingkan dengan adanya tekanan. Fluks awal dalam kondisi tanpa tekanan memiliki nilai sebesar 0,047 L/m2s dan fluks akhir sebesar 0,033 L/m2s. Dengan melihat grafik pada Gambar 3, terlihat jelas bahwa nilai fluks semakin menurun terhadap waktu. Semakin lama waktu yang diberikan, semakin kecil fluks yang dihasilkan.

Penurunan fluks cukup signifikan pada rentang waktu antara 30-300 s. Sedangkan pada waktu antara 330-900 s fluks yang dihasilkan cenderung stabil. Diperkirakan penurunan fluks terjadi karena umpan mengandung pengotor. Pada rentang waktu 30-300 s, secara perlahan partikel-pertikel pengotor terakumulasi di atas permukaan membran dan menutup sebagian pori-pori membran, sehingga penurunan fluks terlihat jelas. Sedangkan pada rentang waktu 330-900 s cenderung stabil nilai fluksnya, diperkirakan karena jumlah partikel pengotor yang menyumbat membran pada rentang waktu tersebut sudah dalam keadaan jenuh. Faktor waktu mempengaruhi kinerja membran, dimana semakin lama waktu filtrasi maka membran semakin tersumbat oleh kotoran berupa padatan terlarut pada umpan. Peristiwa tersumbatnya membran disebut dengan peristiwa fouling.

Gambar 3 Hubungan fluks permeat terhadap waktu pada filtrasi tahap I menggunakan membran selulosa asetat melalui sistem dead end dengan variasi tekanan (1psi = 6896,552 Pa)

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50

30 90 150 210 270 330 390 450 510 570 630 690 750 810 870 930 Fluks (Lm-2s-1)

Waktu (s) Tekanan 5 psi

Tekanan 8 psi Tekanan 15 psi tanpa tekanan


(19)

Pola penurunan nilai fluks terhadap waktu dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 4 yang menyajikan hubungan nilai fluks pada waktu-waktu tertentu, dimana waktu yang dipilih adalah pada waktu 90 s, 180 s, 420 s dan 900 s. Penurunan fluks terhadap waktu pada masing-masing tekanan yang diberikan pada filtrasi tahap I dapat dilihat pada Tabel 4. Pada masing-masing tekanan

yang diberikan, penurunan nilai fluks semakin besar seiring bertambahnya waktu. Penurunan fluks diukur dengan membandingkan nilai fluks pada waktu tertentu terhadap nilai fluks pada waktu awal (t=30s). Sedangkan Gambar 5 menyajikan data total volume permeat pada filtrasi tahap I.

Tabel 4 Persentase penurunan fluks pada filtrasi tahap I.

Waktu (S) % penurunan fluks

tanpa tekanan 5 psi 10 psi 15 psi

90 17,647 7,527 5,263 12,500

180 19,118 11,290 14,035 24,479

420 24,789 12,442 24,436 35,045

900 30,882 21,720 33,246 42,604

Gambar 5 Total volume permeat selama 15 menit tiap masing-masing tekanan yang diberikan pada filtrasi tahap I

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45

0 5 10 15

Fluks (Lm-2s-1)

Tekanan (psi)

Gambar 4 Hubungan fluks terhadap variasi tekanan (tanpa tekanan, 5 psi, 8 psi, dan 15 psi) pada filtrasi tahap I dalam waktu t tertentu

pada t = 90 s pada t = 180 s

pada t = 420 s pada t = 900s

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.0 180.0 200.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Total volume (mL)


(20)

Bagan pada Gambar 4, selain menunjukkan hubungan fluks terhadap waktu juga menyajikan hubungan fluks terhadap variasi tekanan yang diberikan pada filtrasi tahap I. Perlakuan tekanan yang diberikan mempengaruhi nilai fluks. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada waktu yang sama, semakin tinggi tekanan yang diberikan semakin meningkat nilai fluks yang dihasilkan. Nilai fluks yang meningkat menunjukkan jumlah volume permeat yang melewati membran semakin besar (lihat Gambar 5). Total volume permeat pada kondisi tanpa tekanan 23,5 mL; pada tekanan 5 psi sebanyak 121,3 mL; pada tekanan 8 psi sebanyak 126,8 mL; dan total volume permeat pada tekanan 15 psi sebesar 183,7 mL. Dengan demikian peningkatan tekanan yang diberikan akan meningkatkan efisiensi membran melewatkan air, jumlah air yang melewati membran semakin banyak. Namun pada penelitian ini tidak dianalisis kosentrasi permeat pada tiap tekanan yang diberikan.

Jika Gambar 3 dan Gambar 4 dikorelasikan, terlihat adanya keistimewaan pada fluks yang dihasilkan ketika membran diberikan tekanan 5 psi dan 8 psi. Walaupun pada tekanan 8 psi mengalami peningkatan nilai fluks, namun peningkatannya tidak signifikan, dapat dikatakan hampir sama nilai fluks yang dihasilkan. Hal ini karena dimungkinkan pada kondisi tekanan 5-8 psi membran masih mampu menahan kondisi tekanan tersebut. Pada kondisi ini dimungkinkan jari-jari pori membran belum mengalami pelebaran atau belum adanya kerusakan pada membran, sehingga volume air laut yang melewati membran hampir sama pada tekanan 5 psi dan 8 psi. Berbeda dengan kondisi ketika tekanan dinaikkan menjadi 15 psi, nilai fluks meningkat tajam. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kondisi pori-pori membran yang semakin membesar dibandingkan kondisi membran pada

tekanan 5-8 psi, bahkan mungkin pada tekanan 15 psi membran sudah mulai mengalami kerusakan sedikit demi sedikit.

B. Rejeksi

Pengukuran kualitas umpan maupun permeat penting dilakukan untuk mendukung analisis kemampuan membran menahan ataupun melewatkan larutan tertentu. Pengukuran ini dilakukan untuk menganalisis konsentrasi umpan yang masuk dalam sistem filtrasi dan konsentrasi permeat sebagai hasil filtrasi. Kualitas umpan maupun permeat pada filtrasi tahap I dapat dilihat pada Tabel 5. Kemudian nilai rejeksi membran terhadap kualitas-kualitas tersebut dihitung nilai rejeksinya yang tercantum dalam Tabel 6.

Sebelum disaring, air laut yang digunakan memiliki salinitas 32 ‰, artinya dalan satu liter air laut terdapat 32 gram garam-garaman. Kekeruhan umpan memeliki nilai 0,826 NTU, nilai ini berada di bawah batas ambang kekeruhan yang diperbolehkan. Batas maksimal nilai kekeruhan yang ditetapkan pada keputusan

menteri kesehatan RI

No:907/MENKES/VII/2002 untuk air bersih sebesar 5 NTU. Sedangkan pH air laut berada pada nilai 8,74, berarti air tersebut memiliki sifat basa karena pH-nya berada di atas nilai netral. Rapat massa umpan sebesar 1000,553 kg/m3, nilai ini sedikit berada di atas rapat massa air tawar. Permeat yang dianalisis kualitasnya yaitu permeat yang dihasilkah oleh filtrasi air laut pada kondisi tekanan 5 psi. Setelah melewati proses filtrasi, nilai salinitas, kekeruhan, pH maupun rapat massa air laut menjadi turun. Penurunan ini menunjukkan bahwa membran CA yang digunakan telah berfungsi menyaring sebagian partikel-partikel di dalam air laut.

Tabel 5 Konsentrasi umpan dan permeat pada filtrasi tahap I pada tekanan 5 psi.

Komponen Salinitas

(‰) Kekeruhan (NTU)

pH Rapat massa (kg/m³)

Umpan 32 0,826 8,740 1000,553


(21)

Tabel 6 Nilai rejeksi membran pada filtrasi tahap I pada tekanan 5 psi.

Parameter uji Nilai rejeksi (%)

Salinitas 6,250

Kekeruhan 38,499

pH 0,305

Pada penelitian ini, komponen rejeksi yang dianalisis meliputi rejeksi salinitas, kekeruhan, pH dan rapat massa. Rejeksi salinitas pada filtrasi air laut dapat dilihat dari kadar garam yang terkandung dalam permeat membran selulosa asetat. Nilai rejeksi salinitas menunjukkan kemampuan membran dalam merejeksi (menahan) garam-garaman pada umpan. Rejeksi kekeruhan menunjukkan kemampuan membran dalam merejeksi partikel-partikel pengotor dalam umpan. Nilai rejeksi pH menunjukkan kemampuan membran merejeksi keasaman atau kebasaan umpan. Nilai rapat massa pun dianalisis terhadap pengarauh rejeksi garam-garaman, kekeruhan, dan pH. Semakin besar nilai rejeksi yang dihasilkan maka kinerja membran menahan partikel-partikel tertentu semakin baik.

Hasil uji salinitas, kekeruhan, pH, dan rapat massa masing-masing mengalami penurunan. Dengan demikian, membran mampu merejeksi partikel-partikel yang mempengaruhi parameter-parameter yang

telah diuji. Analisis data yang dapat dilihat pada Tabel 6, kemampuan membran untuk merejeksi garam-garaman air laut hanya sebesar 6,25%, nilai ini memiliki arti bahwa salinitasnya berkurang sebanyak 2‰, dengan demikian pada proses filtrasi tahap I membran mampu menahan garam-garaman sebanyak 2 gram dari tiap 1 liter air laut. Filtrasi tahap I sudah mampu menurunkan salinitas air laut, desalinasi sudah terjadi, namun kondisi air lautnya masih dalam kondisi payau. Sedangkan kemampuan membran untuk merejeksi kekeruhan mencapai 38,499%. Dibandingkan dengan rejeksi pH, nilai tersebut lebih besar. Rejeksi pH hanya mencapai 0,305%. Hasil rejeksi garam-garaman air laut, kekeruhan, dan pH mempengaruhi rapat massa air laut. Rapat massa permeat lebih kecil dibandingkan dengan rapat massa umpan. Berarti rapat massa menurun seiring dengan menurunnya salinitas, kekeruhan dan pH.

4.2. Filtrasi Tahap II A. Fluks

Uji fluks pada proses filtrasi tahap II menggunakan umpan yang berbeda dengan umpan pada filtrasi tahap I. Umpan yang digunakan pada filtrasi tahap II merupakan permeat filtrasi tahap I. Fulks yang dihasilkan pada filtrasi tahap II dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Hubungan fluks permeat terhadap waktu pada filtrasi tahap II menggunakan membran selulosa asetat melalui sistem dead end dengan variasi tekanan. 0.0 0.3 0.6 0.9 1.2 1.5 1.8 2.1

30 90 150 210 270 330 390 450 510 570 630 690 750 810 870 930

Fluks (

Lm-2s-1

)

Waktu (s)

Tekanan 2,5 psi Tekanan 5 psi


(22)

Variasi tekanan yang diberikan pada filtrasi tahap II, yaitu 2,5 psi, 5 psi, 10 psi dan tanpa tekanan. Pemilihan rentang tekanan ini sengaja dibedakan dengan rentang tekanan pada filtrasi tahap I. Tujuannya untuk menganalisis pengaruh fluks terhadap variasi tekanan pada membran yang sama namun umpan yang digunakan berbeda. Pengukuran fluks air pada filtrasi tahap II bertujuan untuk menganalisis kemampuan membran melewatkan air laut dengan konsesntrasi yang berbeda. Gambar 6 menunjukkan hubungan fluks air terhadap waktu pada masing-masing tekanan yang diberikan dalam filtrasi tahap II. Fluks air pada membran selulosa asetat pada tekanan 2,5 psi memiliki nilai fluks awal sebesar 0,458 L/m2s dan fluks akhir sebesar 0,361 L/m2s. Sedangkan pada tekanan 5 psi, fluks awal yang dihasilkan memiliki nilai sebesar 0,625 L/m2s dan fluks akhir sebesar 0,442 L/m2s. Pada tekanan 10 psi nilai fluksnya semakin meningkat, nilai fluks awalnya sebesar 1,875 L/m2s dan fluks akhir sebesar 1,836 L/m2s. Pada kondisi tanpa tekanan menghasilkan nilai fluks yang lebih rendah dibandingkan dengan adanya tekanan. Fluks awal dengan tanpa tekanan memiliki nilai sebesar 0,048 L/m2s dan fluks akhir sebesar 0,038 L/m2s.

Berdasarkan hasil tersebut, filtrasi tahap II juga memperoleh fluks yang semakin menurun terhadap waktu pada masing-masing tekanan yang diberikan. Namun penurunannya tidak signifikan seperti fluks pada filtrasi tahap I. Hal ini disebabkan karena konsentrasi pengotor pada umpan filtrasi tahap II lebih kecil dibandingkan pada filtrasi tahap II. Semakin lama waktu yang diberikan, akan semakin kecil fluks yang dihasilkan. Diperkirakan penurunan fluks terjadi karena air umpan mesih mengandung pengotor meskipun sebagian sudah terejeksi pada filtrasi tahap I.

Faktor waktu juga masih mempengaruhi kinerja membran pada filtrasi tahap II, dimana semakin lama waktu filtrasi maka membran tersumbat oleh kotoran berupa padatan yang masih terdapat pada umpan sehingga menimbulkan fouling.

Pada Gambar 6 terlihat adanya keistimewaan pada fluks yang dihasilkan ketika membran diberikan tekanan 2,5 psi dan 5 psi. Walaupun pada tekanan 5 psi mengalami peningkatan nilai fluks, namun peningkatannya tidak signifikan, dapat dikatakan hampir sama nilai fluks yang dihasilkan dengan kondisi tekanan 2,5 psi. Hal ini karena dimungkinkan pada kondisi tekanan 2,5-5 psi membran masih mampu menahan kondisi tekanan tersebut. Pada kondisi ini dimungkinkan jari-jari pori membran belum mengalami pelebaran atau belum adanya kerusakan pada membran, sehingga volume air laut yang melewati membran hampir sama pada tekanan 2,5 psi dan 5 psi. Berbeda dengan kondisi ketika tekanan dinaikkan menjadi 10 psi, nilai fluks meningkat tajam. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kondisi pori-pori membran yang semakin membesar dibandingkan kondisi membran pada tekanan 2,5-5 psi, bahkan mungkin pada tekanan 10 psi membran sudah mulai mengalami kerusakan sedikit demi sedikit.

Analisis penurunan fluks (dalam %) terhadap waktu pada masing-masing tekanan dapat dilihat pada Tabel 7. Dalam setiap tekanan yang diberikan pada filtrasi tahap II, dihasilkan penurunan fluks yang nilainya cenderung semakin besar. Dengan demikian waktu sangat mempengaruhi nilai fluks, semakin lama waktu penyaringan semakin menurun nilai fluks yang dihasilkan. Penurunan fluks pada filtrasi tahap II dalam tiap tekanan yang diberikan dapat terlihat jelas pada Gambar 7, serta total volume permeat dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 7 Persentase penurunan fluks pada filtrasi tahap II.

Waktu (S) % penurunan fluks

tanpa tekanan 2,5 psi 5 psi 10 psi

90 12,381 8,046 5,714 0

180 2,857 14,368 10 0,476

420 9,388 15,764 13,061 2,704


(23)

Gambar 8 Total volume permeat sela ma 15 menittiap masing-masing tekanan yang diberikan pada filtrasi tahap II

Gambar 7 menunjukkan hubungan fluks terhadap variasi tekanan yang diberikan pada filtrasi tahap II pada waktu t tertentu. Data yang dianalisis adalah data fluks pada waktu 90 s, 180 s, 420 s, dan 900 s. Pada waktu yang sama, semakin tinggi tekanan yang diberikan semakin meningkat nilai fluks yang dihasilkan. Nilai fluks yang meningkat terhadap besar tekanan menunjukkan jumlah volume permeat yang melewati membran semakin besar (lihat Gambar 8). Total volume permeat pada kondisi tanpa tekanan 26,3 mL; pada tekanan 2,5 psi sebanyak 221,0 mL; pada tekanan 5 psi sebanyak 289,3 mL; dan total volume permeat pada tekanan 10 psi sebesar 1044,0 mL. Dengan demikian pada filtrasi tahap II, variasi tekanan masih

mempengaruhi nilai fluks. Peningkatan tekanan yang diberikan akan meningkatkan efisiensi membran melewatkan air. Namun pada filtrasi tahap II pun tidak menguji kualitas permeat pada masing-masing tekanan yang diterapkan.

B. Rejeksi

Komponen rejeksi yang dianalisis kembali pada filtrasi tahap II. Hal ini dilakukan untuk menganalisis apakah membran masih mempunyai kemampuan untuk merejeksi, meskipun membran yang digunakan memiliki jenis yang sama pada filtrasi tahap I. Data hasil analisis salinitas, kekeruhan, pH dan rapat massa yang terkandung dalam permeat pada filtrasi tahap II dapat dilihat pada Tabel 8.

0.00 0.30 0.60 0.90 1.20 1.50 1.80 2.10

0 2 4 6 8 10

Fluks (Lm-2s-1)

Tekanan (psi)

Gambar 7 Hubungan fluks terhadap variasi tekanan (tanpa tekanan; 2,5 psi; 5 psi; dan 10 psi) pada filtrasi tahap II dalam waktu t tertentu

pada t = 90 s pada t = 180 s pada t = 420 s pada t = 900s

0.0 100.0 200.0 300.0 400.0 500.0 600.0 700.0 800.0 900.0 1000.0 1100.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Total volume (mL)


(24)

Tabel 8 Konsentrasi umpan dan permeat pada filtrasi tahap II pada tekanan 5 psi.

Komponen Salinitas

(‰) Kekeruhan (NTU)

pH Rapat massa (kg/m³)

Umpan 30 0,508 8,713 1000,127

Permeat 30 0,294 8,627 992,483

Tabel 9 Nilai rejeksi membran pada filtrasi tahap II pada tekanan 5 psi.

Parameter uji Nilai rejeksi (%)

Salinitas 0

Kekeruhan 42,126

pH 0,995

Hasil uji kekeruhan, pH, dan rapat massa pada filtrasi tahap II masih mengalami penurunan. Dengan demikian, membran masih memiliki kemampuan untuk merejeksi, walaupun jenis, ukuran pori, dan tebal membran sama dengan membran yang digunakan pada filtrasi tahap I. Namun membran sudah tidak mampu merejeksi garam-garaman yang terlarut dalam air laut. Karena pada filtrasi tahap II nilai salinitas tidak menurun. Kemampuan membran merejeksi sebagian partikel-partikel dalam air laut pada filtrasi tahap II dapat dilihat pada Tabel 9.

Dari Tabel 9 di atas, terlihat bahwa membran sudah tidak mampu lagi untuk merejeksi garam-garam air laut, salinitas tidak menurun, sehingga nilai rejeksi salinitas nol. Hal ini dikarenakan jenis membran yang digunakan sama dengan membran pada filtrasi tahap I dan ukuran porinya pun sama. Sehingga garam-garam air laut yang sudah terejeksi pada filtrasi tahap I tidak mampu direjeksi kembali pada

filtrasi tahap II. Sedangkan untuk parameter uji yang lain masih mampu. Kemampuan membran untuk merejeksi kekeruhan mencapai 42,126%. Sedangkan rejeksi pH mencapai 0,995%. Pada filtrasi tahap II nilai rapat massa menunjukkan penurunan, hal ini disebabkan kekeruhan dan pH air laut juga menurun.

4.3. Filtrasi Total

Proses filtrasi pada penelitian ini terdiri atas dua tahap. Hal ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan membran baik dari nilai fluks maupun rejeksi yang dihasilkan pada masing-masing tahapan filtrasi. Melihat dari awal sampai akhir tahapan filtrasi dihasilkan data fluks terhadap waktu pada masing-masing tahapan filtrasi dengan diberikan tekanan yang sama beserta rejeksi dari beberapa komponen. Data-data tersebut dinalisis dengan tujuan untuk melihat pengaruh umpan yang digunakan pada masing-masing tahapan filtrasi terhadap fluks yang dihasilkan serta rejeksi total filtrasi air laut dengan menggunakan membran selulosa asetat. Analisis fluks terhadap waktu pada masing-masing tahapan filtrasi dengan kondisi tekanan yang sama dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

. 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

30 90 150 210 270 330 390 450 510 570 630 690 750 810 870 930

Fluks (Lm-2s-1)

Waktu (s)

Gambar 9 Hubungan fluks permeat terhadap waktu dalam filtrasi tahap I dan tahap II pada tekanan 5 psi menggunakan sistem aliran dead end

FILTRASI I FILTRASI II


(25)

Baik pada Gambar 9 maupun Gambar 10 diperoleh fluks yang semakin menurun terhadap waktu pada masing-masing tekanan yang diberikan. Jika dilihat dari tahapan filtrasi, filtrasi tahap I memiliki nilai fluks yang lebih rendah dibanding dengan fluks pada filtrasi tahap II. Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi umpan yang masuk dalam sistem filtrasi. Konsentrasi umpan pada filtrasi tahap I lebih tinggi dibandingkan konsentrasi umpan pada filtrasi tahap II. Sehingga diperoleh korelasi antara konsentrasi dengan fluks, semakin tinggi konsentrasi umpan maka semakin kecil nilai fluks yang dihasilkan.

Secara umum sistem dead end yang digunakan dalam penyaringan juga mempengaruhi fluks. Terjadi penurunan fluks baik pada filtrasi tahap I maupun filtrasi tahap II dipengaruhi oleh sistem penyaringan yang digunakan. Sistem dead end mempunyai pola fluks yang menurun terhadap waktu. Karena pada sistem ini arah aliran umpan tegak lurus dengan permukaan membran, sehingga peristiwa fouling lebih mudah terjadi. Peristiwa fouling inilah yang menyebabkan aliran permeat terhambat sehingga fluks permeat menurun.

Perbedaan fluks pada filtrasi tahap I dan filtrasi tahap II juga dapat dilihat dari nilai fluks berdasarkan variasi tekanan, dalam hal ini dipilih dua kondisi, yaitu tanpa

tekanan dan diberi tekanan sebesar 5 psi, kon disi ini dapat dilihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 terlihat jelas perbedaan fluks pada masing-masing tahapan dengan kondisi yang sama. Pada tekanan yang sama, fluks pada filtrasi tahap I lebih rendah dibanding dengan fluks pada filtrasi tahap II. Hasil ini membuktikan bahwa kondisi umpan yang digunakan mempengaruhi kinerja membran. Perbedaan umpan dapat dilihat dari perbedaan nilai salinitas, kekeruhan, pH dan rapat massanya. Namun dalan hal ini yang dapat dijadikan parameter utama adalah kekeruhan, karena pengaruhnya cukup besar terhadap kinerja membran.

Umpan pada filtrasi tahap I memiliki kekeruhan sebesar 0,826 NTU, sedangkan umpan pada filtrasi tahap II memiliki nilai kekeruhan sebesar 0,508 NTU. Nilai kekeruhan umpan pada filtrasi tahap I lebih besar dibandingkan pada filtrasi tahap II. Dengan demikian beban kerja membran pada filtrasi tahap II sudah berkurang karena bantuan membran filtrasi tahap I. Pada akhirnya proses filtrasi tahap II menghasilkan fluks yang lebih besar dibanding dengan fluks filtrasi tahap I. Penurunan fluks yang terjadi pada filtrasi tahap I dapat dibandingkan dengan penurunan fluks pada filtrasi tahap II, yang disajikan pada Tabel 10. 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0.060

30 90 150 210 270 330 390 450 510 570 630 690 750 810 870 930

Fluks (Lm-2s-1)

Waktu (s)

Gambar 10 Hubungan fluks permeat terhadap waktu pada filtrasi tahap I dan tahap II dengan menggunakan membran selulosa asetat tanpa tekanan melalui sistem aliran dead end

Filtrasi I Filtrasi II


(26)

Tabel 10 Persentase penurunan fluks pada masing-masing tahapan filtrasi.

Waktu (S) % penurunan fluks

Filtrasi tahap I Filtrasi tahap II tanpa tekanan 5 psi tanpa tekanan 5 psi

90 17,647 7,527 12,381 8,046

180 19,118 11,29 2,857 14,368

420 24,789 12,442 9,388 15,764

900 30,882 21,72 22 23,793

Pada Tabel 10 terlihat bahwa ketika kondisi tanpa tekanan, penurunan fluks (dalam %) pada filtrasi tahap I lebih besar dibandingkan dengan penurunan fluks pada filtrasi tahap II. Hal ini terjadi karena konsentrasi umpan pada filtrasi tahap I lebih tinggi dibandingkan konsentrasi umpan pada filtrasi tahap II. Namun tidak demikinan dengan penurunan fluks pada tekanan 5 psi, penurunan fluks pada filtrasi tahap II lebih besar dibanding dengan penurunan fluks

pada filtrasi tahap I. Perbedaannya tidak terlampau jauh, hal ini dimungkinkan terjadi karena nilai fluks awal (t = 30s) pada tekanan 5 psi sangat jauh berbeda. Pada filtrasi tahap I, fluks awalnya sebesar 0,215 L/m2s, sedangkan pada filtrasi tahap II sebesar 0,486 L/m2s.

Proses filtrasi bertahap menghasilkan kualitas permeat yang disajikan pada Tabel 11. Sedangkan nilai rejeksi pada proses filtrasi bertahap dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 11 Kualitas umpan dan permeat pada filtrasi bertahap pada tekanan 5 psi.

Komponen Salinitas

(‰) Kekeruhan (NTU)

pH Rapat massa (kg/m³)

Umpan 32 0,826 8,740 1000,553

Permeat 30 0,294 8,627 992,483 0.00

0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50

tanpa tekanan 5

Fluks (Lm-2s-1)

Tekanan (psi)

Gambar 11 Hubungan fluks terhadap variasi tekanan pada filtrasi tahap I dan tahap II dalam waktu t = 180 s

Filtrasi tahap I Filtrasi tahap II


(27)

Tabel 12 Nilai rejeksi total membran pada filtrasi bertahap pada tekanan 5 psi.

Parameter uji Nilai rejeksi (%)

Salinitas 6,25

Kekeruhan 64,407

pH 1,297

Permeat pada filtrasi tahap I mempunyai nilai sanlinitas 30‰. Nilai ini masih di atas batas ambang untuk air bersih. Baku mutu salinitas untuk air tawar lebih kecil dari 0,5‰. Nilai salinitas yang dihasilkan masih dalam batas atas air payau. Oleh karena itu, membran selulosa asetta yang digunakan dalam penelitian ini kurang efektif diterapkan dalam proses desalinasi air laut yang menginginkan hasil airnya bersalinitas rendah atau sama dengan salinitas air tawar. Sedangkan kekeruhan permeat mempunyai nilai sebesar 0,508 NTU. Nilai berada di bawah batas maksimal yang diperbolahkan.

Setelah melewati proses filtrasi tahap II, salinitas permeat masih tetap sama dengan salinitas permeat filtrasi tahap I, yaitu 30‰. Dengan demikian membran selulosa asetat yang digunakan hanya mampu menurunkan kadar garam dari 32‰ menjadi 30‰ atau rejeksi salinitas total membran sebesar 6,25% (penurunan salinitas sebesar 2‰). Dengan demikian membran selulosa asetat pada filtrasi bertahap hanya mampu menahan partikel garam-garaman sebanyak 2 gram dalam setiap 1 liter air laut. Nilai kekeruhan, pH dan rapat massa masih mengalami penurunan baik dari umpan awal (umpan filtrasi tahap I) sampai kepada permeat filtrasi tahap II. Kekeruhan dari umpan awal sebesar 0,826 NTU, sedangkan kekeruhan permeat filtrasi tahap II sebesar 0,294 NTU. Sehingga nilai rejeksi kekeruhan total mencapai 64,407%. Nilai pH pada umpan awal sebesar 8,740 dan pada permeat filtrasi tahap II nilai pH turun menjadi 8,627. Sehingga nilai rejeksi pH total mencapai 1,297%. Sedangkan rapat massa pada umpan awal sebesar 1000,553 kg/m³ dan pada permeat filtrasi tahap II sebesar 992,483 kg/m³. Sehingga persentase rapat massa total sebesar 0,764%.

Melihat dari nilai rejeksi total pada tiap parameter, nilai rejeksi kekeruhan total memiliki nilai yang paling besar dibanding dengan rejeksi salinitas dan rejeksi pH . Dengan demikian proses filtrasi bertahap dengan menggunakan membran selulosa asetat berpori 0,2 µm dan tebal 0,087 mm

cukup efektif untuk mengurangi kekeruhan air laut. Bahkan nilai kekeruhan pada hasil filtrasi tahap akhir (tahap II) memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai kekeruhan pada air mineral yang diuji pada penelitian ini. Nilai rata-rata kekeruhan pada air mineral sebesar 0,272 NTU. Jika salinitas permeat yang diinginkan pada kondisi tawar (< 0,5‰), proses filtrasi bertahap dengan menggunakan membran ini kurang efektif digunakan untuk desalinasi air laut, karena nilai rejeksi salinitas total hanya mencapai 6,25%, permeat yang dihasilkan dalam kondisi payau. Bahkan pada filtrasi tahap II membran sudah tidak mempu lagi merejeksi garam-garam yang terkandung dalam air laut karena membran yang digunakan mempunyai jenis dan karakterisasi yang sama dengan membran pada filtrasi tahap I.

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis derajat swelling membran, membran selulosa asetat berpori 0,2 µm memiliki kemampuan menyerap air laut sebesar 152,26%. Artinya, 100 gram membran selulosa asetat memiliki kemampuan menyerap air laut sebanyak 152,26 gram. Berdasarkan analisis dari data rejeksi, membran selulosa asetat mampu merejeksi salinitas, kekeruhan, pH, maupun rapat massa air laut. Membran dalam proses filtrasi dapat menurunkan salinitas air laut namun kurang efektif digunakan dalam proses filtrasi bertahap. Karena pada tahap kedua membran sudah tidak mampu merejeksi kadar garam-garam air laut. Nilai rejeksi salinitas total hanya mencapai 6,25%. Dengan demikian membran selulosa asetat tidak efektif dipakai dalam proses desalinasi air laut yang mengharapkan keluaran air dengan salinitas sama dengan air tawar.

Membran ini efektif digunakan dalam proses filtrasi bertahap untuk menurunkan kekeruhan air laut. Karena baik pada filtrasi tahap I maupun filtrasi tahap II, kekeruhan permeat masih menurun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada kondisi membran yang sama (jenis maupun ukuran porinya) masih memiliki kemampuan untuk merejeksi kekeruhan umpan meskipun sebelumnya (pada filtrasi tahap I) kekeruhannya sudah terejeksi. Rejeksi kekeruhan total pada filtrasi bertahap dengan menggunakan membran selulosa asetat mencapai 64,407%. Sedangkan rejeksi total untuk pH permeat memiliki nilai yang lebih


(28)

kecil yaitu 1,297% dan penururnan rapat massa sebesar 0,764%.

Berdasarkan nilai fluks yang dihasilkan, sistem dead end memiliki kekurangan yaitu cepat terjadi fouling pada membran, sehingga fluks yang dihasilkan semakin menurun terhadap waktu. Menurut Wenten, fluks dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi umpan, tekanan transmembran, kecepatan aliran, temperatur umpan, dan waktu. Pada penelitian ini hanya menganalisis tiga parameter yang mempengaruhi fluks yaitu waktu, konsentrasi umpan dan tekanan yang diberikan. Hasil penelitian ini mendapatkan korelasi antara fluks dengan waktu, fluks dengan tekanan, dan korelasi fluks dengan konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu filtrasi maka semakin kecil fluks yang dihasilkan, semakin tinggi konsentrasi umpan maka semakin kecil nilai fluks yang dihasilkan. Sedangkan semakin tinggi tekanan yang

diberikan maka semakin besar nilai fluks yang dihasilkan.

Saran

Disarankan melakukan filtrasi dengan menggunakan membran yang berbeda jenisnya dan memiliki pori lebih kecil. Melihat analisis yang sudah dilakukan terhadap hasil penelitian ini, sarannya agar dilakukan penelitian lanjutan dengan parameter uji yang beragam dan lengkap. Sebaiknya dilakukan penelitian dengan menggunakan dua sistem filtrasi pada membran yang sama (jenis dan ukuran porinya), yaitu sistem dead end dan crossflow agar diperoleh korelasi antara keduanya terhadap fluks yang dihasilkan. Dilakukan pengujian kualitas permeat yang dihasilkan pada masing-masing tekanan yang diberikan. Kemudian untuk melengkapi analisis kualitas air yang dihasilkan perlu adanya uji parameter fisik-kimia maupun mikrobiologi dalam air.


(29)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. (2010). Indonesia akan Krisis Air.

gerbangtani.files.wordpress.com/20 10/10/indonesia-akan-krisis-air.pdf. [22 November 2010].

2. Anonim. (2010). Indonesia akan Krisis Air.

gerbangtani.files.wordpress.com/20 10/10/indonesia-akan-krisis-air.pdf. [22 November 2010].

3. Anonim. Sumberdaya Laut Indonesia dan Pengelolaannya.

images.ibasoke.multiply. multiplycontent.com. [10 September 2010].

3. Anonim. (2002). Desalinasi: Menguapkan Air Laut Menjadi Air Bersih. Artikel dalam republika.[5 Oktober 2010]

4. Sulistiyani, E.

eprints.undip.ac.id/13965/2/BAB_2. pdf. [6 Maret 2011]

5. Darmadi. (2010). Salinitas Laut. dhamadharma.wordpress.com. [20 September 2010].

6. Anonim. (2001). Salinitas.

id.wikipedia.org/wiki/Salinitas [16 Juni 2011]

7. Karim, M.A. (2010). Perairan Laut. http://malikabdulkarim.blogspot.co m/2010_10_01_archive.html[10 September 2010]

8. Madona. (2005). Karakterisasi Fisik dan Kimia Minyak Goreng Bekas Pakai yang Dicampur dengan Sari Buah Mengkudu, Sari Daun Lidah Buaya dan Ca-Bentonit [skripsi]. Departemen Fisika. IPB:Bogor. 9. Anonim. (2010). Air Laut untuk

Konsumsi Bisakah?.

http://www.ampl.or.id/detail/detail0 1. [10 September 2010].

10. Idaman, N.S. Pengolahan Air Payau Menjadi Air Minum dengan Teknologi

Membran.www.kelair.bppt.go.id/Pu blikasi/BukuAirMinum/BAB10RO.p df [6 Maret 2011].

11. Wenten, I.G. (1999). Teknologi Membran Industrial. Teknik Kimia Insitut Teknologi Bandung.

12. Sartika. (2003). Aplikasi Teknologi Membran Pervaporasi Dalam Ekstraksi Senyawa 1-Butanol.

Paper pada Seminar Teknologi Untuk Negeri. BPPT: Jakarta. 13. Praptowidodo, S. (1993). Bahan

Pengajaran: Penggunaan Membran dalam Proses Hilir Bioteknologi. PAU Bioteknologi. ITB.

14. Sjostrom, E. (1995). Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan. Yogyakarta: GadjahMada Univ. Pr. Terjemahan dari: Wood Chemistry: Fundamentals and Application. Di dalam Nuryono. Kajian Desalinasi Membran Komposit Selulosa Asetat-Polistirena dengan Poli(Etilena Glikol) Sebagai Porogen Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

IPB:Bogor.repository.ipb.ac.id/bitst ream/handle/123456789/.../Nuryon o_G2008.pdf. [6 Maret 2011] 15. Hartomo, et al. (1994). Teknologi

Membran Pemurnian Air. Andi Offset:Yogyakarta.

16. Rohman, .S. 2009. Membran Polisulfon Sintetik. majarimagazine.com. [10 Oktober 2010]

17. Mulder, M. R. (1993). An Overviwe of Juice Filtration Technology. Di dalam D L. Dowing (ed). 1993 Juice Technology Workshop:New York.

18. Mangunwidjaja, D. dan Darnoko. (1991). Diktat Teknologi Membran pada Bioproses. PAU-IPB: Bogor. 19. Gutman, R.G. (1987). Membrane

Filtration, The Reological of Pressure Driven Crossflow Process. Di dalam Greiche Dian Kususmawardani. Pemekatan Sirup Glukosa dengan Proses

Mikrofiltrasi Crossflow Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, IPB: Bogor.

20. Dutre, B. dan Tragardh, G. Purification of Gelatin with A Forced Solvent Stream Along The Membrane Permeat Side: An Experimental Approach. Jurnal of Food Engineering. 25 (1995) 233-244. 21. Notodarmojo, S. Mayasanthy, D. dan

Zulkarnain, T. PROC.ITB Sains & Tek. 36A/I (2004). Di dalam Juansah J., Kiagus Dahlan, Faridah Hunan. Peningkatan Mutu Sari


(30)

Buah Nanas dengan Memanfaatkan Sistem Filtrasi Aliran Dead End dari Membran Selulosa Asetat. Makara Sains 13/1 (2009). isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131 0994100%20ta%20h.98.pdf [30 Juni 2011].

22. Sulistyani, E. (2010). Perbedaan Mikrofiltrasi.

eprints.undip.ac.id/13965/2/BAB_2

.pdf. [16 Juni 2011] 23. Anonim. The Fiber With The

Competitive Edge.


(31)

(32)

Lampiran 1

DIAGRAM ALIR PENELITIAN

Lampiran 2

Persiapan alat dan bahan

Filtrasi tahap I

dengan variasi

tekanan

Hasil

permaet

I

Hasil

permaeat

II

STOP

Pengukuran salinitas, PH

kekeruhan, dan kerapatan air laut

Pengukuran

salinitas, PH

kekeruhan, dan

kerapatan air laut

Pengukuran

salinitas, PH

kekeruhan, dan

kerapatan air laut

Filtrasi tahap II

dengan variasi

tekanan

Perhitungan Fluks

Perhitungan Fluks

Perhitungan derajat

swelling

dan

pengukuran tebal

membran

Penyaringan air laut menggunakan


(33)

Gambar Alat dan Membran

Salinitimeter

Turbidimeter

Sistem

dead end

Membran selulosa asetat Membran selulosa asetat

sebelum dipakai setelah dipakai


(34)

Lampiran 3

DATA PENELITIAN

DATA FLUKS FILTRASI TAHAP I TANPA TEKANAN

Waktu (s)

Fluks 1 (L/m

2

s)

Fluks 2 (L/m

2

s)

Fluks 3 (L/m

2

s)

Rata-rata

30

0,062500000

0,045833333

0,0333333333

0,047222222

60

0,047916667

0,039583333

0,0312500000

0,039583333

90

0,048611111

0,036111111

0,0319444444

0,038888889

120

0,046875000

0,035416667

0,0312500000

0,037847222

150

0,050000000

0,035000000

0,0308333333

0,038611111

180

0,048611111

0,034722222

0,0312500000

0,038194444

210

0,047619048

0,034523810

0,0315476190

0,037896825

240

0,046875000

0,032812500

0,0312500000

0,036979167

270

0,046296296

0,031944444

0,0310185185

0,036419753

300

0,045833333

0,030833333

0,0312500000

0,035972222

330

0,045454545

0,030681818

0,0310606061

0,035732323

360

0,045138889

0,030902778

0,0312500000

0,035763889

390

0,044871795

0,030769231

0,0310897436

0,035576923

420

0,044642857

0,030654762

0,0312500000

0,035515873

450

0,044444444

0,030555556

0,0316666667

0,035555556

480

0,044791667

0,030729167

0,0317708333

0,035763889

510

0,044117647

0,030637255

0,0318627451

0,035539216

540

0,043981481

0,030787037

0,0319444444

0,035570988

570

0,043859649

0,030701754

0,0320175439

0,035526316

600

0,043750000

0,030625000

0,0318750000

0,035416667

630

0,043849206

0,030357143

0,0315476190

0,035251323

660

0,043750000

0,030113636

0,0312500000

0,035037879

690

0,043478261

0,029891304

0,0309782609

0,034782609

720

0,043229167

0,029687500

0,0307291667

0,034548611

750

0,043000000

0,029500000

0,0303333333

0,034277778

780

0,042628205

0,029166667

0,0299679487

0,033920940

810

0,042283951

0,028858025

0,0296296296

0,033590535

840

0,041815476

0,028571429

0,0294642857

0,033283730

870

0,041379310

0,028304598

0,0291666667

0,032950192

900

0,040972222

0,028055556

0,0288888889

0,032638889


(1)

DATA FLUKS FILTRASI TAHAP II PADA TEKANAN 2,5psi Waktu (s) Fluks 1 (L/m2s) Fluks 2 (L/m2s) Fluks 3 (L/m2s) Rata-rata

30 0,4583333333 0,4166666667 0,3333333333 0,402777778

60 0,4791666667 0,3958333333 0,3125000000 0,395833333

90 0,4444444444 0,3750000000 0,2916666667 0,370370370

120 0,4375000000 0,3645833333 0,2916666667 0,364583333

150 0,4166666667 0,3416666667 0,2916666667 0,350000000

180 0,4097222222 0,3402777778 0,2847222222 0,344907407

210 0,4107142857 0,3392857143 0,2857142857 0,345238095

240 0,4166666667 0,3385416667 0,2812500000 0,345486111

270 0,4120370370 0,3379629630 0,2824074074 0,344135802

300 0,4083333333 0,3333333333 0,2833333333 0,341666667

330 0,4090909091 0,3333333333 0,2803030303 0,340909091

360 0,4062500000 0,3368055556 0,2812500000 0,341435185

390 0,4326923077 0,3429487179 0,2820512821 0,352564103

420 0,3988095238 0,3392857143 0,2797619048 0,339285714

450 0,3722222222 0,3333333333 0,2833333333 0,329629630

480 0,3750000000 0,3255208333 0,2812500000 0,327256944

510 0,3897058824 0,3186274510 0,2794117647 0,329248366

540 0,3865740741 0,3171296296 0,2800925926 0,327932099

570 0,3837719298 0,3157894737 0,2785087719 0,326023392

600 0,3812500000 0,3145833333 0,2770833333 0,324305556

630 0,3809523810 0,3154761905 0,2777777778 0,324735450

660 0,3806818182 0,3143939394 0,2765151515 0,323863636

690 0,3786231884 0,3134057971 0,2753623188 0,322463768

720 0,3767361111 0,3107638889 0,2725694444 0,320023148

750 0,3766666667 0,3100000000 0,2716666667 0,319444444

780 0,3733974359 0,3076923077 0,2692307692 0,316773504

810 0,3703703704 0,3055555556 0,2685185185 0,314814815

840 0,3660714286 0,3020833333 0,2663690476 0,311507937

870 0,3635057471 0,3002873563 0,2643678161 0,309386973


(2)

DATA FLUKS FILTRASI TAHAP II PADA TEKANAN 5psi

Waktu (s) Fluks 1 (L/m2s) Fluks 2 (L/m2s) Fluks 3 (L/m2s) Rata-rata

30 0,625000000 0,458333333 0,375000000 0,486111111

60 0,541666667 0,437500000 0,395833333 0,458333333

90 0,527777778 0,444444444 0,402777778 0,458333333

120 0,510416667 0,437500000 0,395833333 0,447916667

150 0,500000000 0,425000000 0,400000000 0,441666667

180 0,493055556 0,423611111 0,395833333 0,437500000

210 0,488095238 0,428571429 0,398809524 0,438492063

240 0,484375000 0,427083333 0,390625000 0,434027778

270 0,486111111 0,425925926 0,384259259 0,432098765

300 0,487500000 0,429166667 0,379166667 0,431944444

330 0,488636364 0,431818182 0,371212121 0,430555556

360 0,482638889 0,427083333 0,371527778 0,427083333

390 0,477564103 0,426282051 0,368589744 0,424145299

420 0,476190476 0,422619048 0,369047619 0,422619048

450 0,475000000 0,422222222 0,366666667 0,421296296

480 0,471354167 0,421875000 0,361979167 0,418402778

510 0,470588235 0,421568627 0,357843137 0,416666667

540 0,469907407 0,418981481 0,356481481 0,415123457

570 0,467105263 0,421052632 0,355263158 0,414473684

600 0,464583333 0,420833333 0,356250000 0,413888889

630 0,462301587 0,420634921 0,355158730 0,412698413

660 0,460227273 0,420454545 0,356060606 0,412247475

690 0,458333333 0,418478261 0,356884058 0,411231884

720 0,454861111 0,416666667 0,359375000 0,410300926

750 0,451666667 0,416666667 0,358333333 0,408888889

780 0,448717949 0,415064103 0,357371795 0,407051282

810 0,445987654 0,413580247 0,356481481 0,405349794

840 0,443452381 0,412202381 0,355654762 0,403769841

870 0,442528736 0,412356322 0,354885057 0,403256705


(3)

DATA FLUKS FILTRASI TAHAP II PADA TEKANAN 10psi Waktu (s) Fluks 1 (L/m2s) Fluks 2 (L/m2s) Fluks 3 (L/m2s) Rata-rata

30 1,875000000 2,000000000 1,958333333 1,944444444

60 1,895833333 2,020833333 1,958333333 1,958333333

90 1,875000000 2,000000000 1,958333333 1,944444444

120 1,875000000 2,000000000 1,947916667 1,940972222

150 1,891666667 1,991666667 1,941666667 1,941666667

180 1,888888889 1,979166667 1,937500000 1,935185185

210 1,875000000 1,964285714 1,940476190 1,926587302

240 1,875000000 1,953125000 1,937500000 1,921875000

270 1,870370370 1,939814815 1,935185185 1,915123457

300 1,875000000 1,925000000 1,929166667 1,909722222

330 1,875000000 1,909090909 1,928030303 1,904040404

360 1,871527778 1,906250000 1,927083333 1,901620370

390 1,862179487 1,900641026 1,923076923 1,895299145

420 1,860119048 1,895833333 1,919642857 1,891865079

450 1,863888889 1,891666667 1,916666667 1,890740741

480 1,869791667 1,885416667 1,914062500 1,889756944

510 1,870098039 1,882352941 1,914215686 1,888888889

540 1,868055556 1,875000000 1,912037037 1,885030864

570 1,866228070 1,868421053 1,907894737 1,880847953

600 1,860416667 1,858333333 1,902083333 1,873611111

630 1,855158730 1,851190476 1,898809524 1,868386243

660 1,854166667 1,846590909 1,895833333 1,865530303

690 1,853260870 1,842391304 1,891304348 1,862318841

720 1,852430556 1,840277778 1,887152778 1,859953704

750 1,850000000 1,838333333 1,883333333 1,857222222

780 1,847756410 1,834935897 1,878205128 1,853632479

810 1,844135802 1,833333333 1,873456790 1,850308642

840 1,840773810 1,830357143 1,867559524 1,846230159

870 1,839080460 1,826149425 1,863505747 1,842911877


(4)

Tebal membran I (mm) Tebal membran II (mm)

0,09 0,09

0,08 0,09

0,09 0,08

Rata-rata 0,087 0,087

Massa membran filtrasi tahap 1 Massa membran filtrasi tahap 2

sebelum sesudah sebelum sesudah

0,1179 0,2908 0,1246 0,3260

0,1199 0,2895 0,1247 0,3252

0,1197 0,2899 0,1246 0,3236

Rata-rata: 0,1191 0,2901 0,1246 0,3249

Massa umpan (g) Volume umpan (mL) Rapat massa umpan (kg/m³)

10,0056 10 1000,56

10,0057 10 1000,57

10,0053 10 1000,53

Rata-rata 1000,553

Massa permeat I (g) Volume permeat I (mL) Rapat massa permeat I (kg/m³)

10,0013 10 1000,13

10,0012 10 1000,12

10,0013 10 1000,13

Rata-rata 1000,127

Massa permeat II (g) Volume permeat II (mL)

Rapat massa permeat II (kg/m³)

9,9248 10 992,48

9,9249 10 992,49

9,9248 10 992,48


(5)

Sampel Salinitas (‰) Rata-rata

(‰)

1 2 3

umpan 32 32 32 32

permeat filtrasi tahap I 30 30 30 30 permeat filtrasi tahap II 30 30 30 30

Tekanan (psi)

Total volume pada filtrasi tahap I (mL)

Rata-rata (mL)

U1 U2 U3

0 29,5 20,2 20,8 23,5

5 120,5 120,5 123 121,3

8 138 124,5 118 126,8

15 198 164 189 183,7

Ket: U1(Ulangan ke 1); U2 (Ulangan ke 2); U3 (Ulangan ke 3) Tekanan

(psi)

Total volume pada filtrasi tahap II (mL)

Rata-rata (mL)

U1 U2 U3

0 32,2 28,6 18,1 26,3

2,5 260 214 189 221,0

5 318 296 254 289,3

10 1332 900 900 1044,0

Ket: U1(Ulangan ke 1); U2 (Ulangan ke 2); U3 (Ulangan ke 3)

Sampel Turbiditas ulangan (NTU)

Rata-rata (NTU)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Air laut sebelum melewati kertas saring

102 118 98 123 123 117 120 116 120 123 116,000

Umpan 0,88 0,85 0,87 0,79 0,84 0,82 0,79 0,83 0,80 0,79 0,820 Permeat filtrasi tahap

I

0,53 0,51 0,50 0,50 0,50 0,50 0,51 0,50 0,52 0,51 0,508 Permeat filtrasi tahap

II

0,30 0,30 0,30 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,293 Air mineral 0,26 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,28 0,28 0,28 0,272


(6)

A. Derajat swelling membran

Derajat swelling membran diperoleh dari analisis data massa membran sebelum direndam dan setelah direndam dalam air laut. Cara menghitung derajat swelling membran adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Derajat swelling = | m1 m2

m1 | x 100% Keterangan:

m1 : massa membran sebelum direndam (gram)

m2 : massa membran setelah direndam (gram)

B. Rapat massa umpan dan permeat

Pengukuran rapat massa permeat dilakukan secara manual, yaitu dengan merasiokan massa permeat dengan volumenya. Jika dituangkan dalam rumus, rapat massa dapat dihitung dari:

Rapat massa = mv Keterangan:

m : massa permeat (gram) v : volume permeat (cm3)

C. Fluks permeat

Menghitung fluks permeat dapat menggunakan rumus di bawah ini: J = volumpermeat

luasmembranxwaktu = V

t keterangan :

J = Fluks volume (Lm-2s-1) V = Volume permeat (L)

A = Luas permukaan membran (m

2

) t = Waktu ( s)

D. Rejeksi membran

Rejeksi membran dapat dianalisis dari kualitas air laut sebelum disaring (umpan) yang dibandingkan dengan data kualitas air setelah disaring membran (permeat). R=nilai rejeksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus seperti berikut:

R = (1 - p

) x 100% Keterangan :

R = koefisien rejeksi

Cp = konsentrasi partikel dalam permeat CJ =konsentrasi partikel dalam umpan

E. Penurunan fluks (%)

Penurunan fluks yang dinyatakan dalam persen dianalisis dari data fluks awal (pada t=30s) dengan data fluks pada masing-masing waktu yang ingin dianalisis. Menghitung penurunan fluks dengan rumus berikut:

Penurunan fluks = | 1 n

1 | x 100% Keterangan:

J1 : Fluks pada waktu t=30s (Lm -2

s-1) Jn : Fluks pada waktu ke n (Lm

-2