Analisis Ruang Terbuka Hijau (Rth) Dan Keterkaitannya Dengan Kenyamanan Kota Samarinda

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN
KETERKAITANNYA DENGAN KENYAMANAN
KOTA SAMARINDA

AFRIANTO PUTRA RAMDANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ruang Terbuka
Hijau dan Keterkaitannya dengan Kenyamanan Kota Samarinda adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Afrianto Putra Ramdani
NIM A156120021

RINGKASAN
AFRIANTO PUTRA RAMDANI. Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan
Keterkaitannya dengan Kenyamanan Kota Samarinda. Dibimbing oleh SANTUN
RISMA PANDAPOTAN SITORUS dan BAMBANG SULISTYANTARA.
Banyaknya lahan terbangun dan kurangnya RTH di Kota Samarinda
menyebabkan terjadinya perubahan iklim mikro perkotaan. Hal ini menyebabkan
ketidaknyamanan bagi penduduknya, terutama untuk penduduk yang beraktivitas
diluar ruangan. Tingkat ketidaknyamanan iklim mikro di kawasan perkotaan pada
akhirnya juga akan berpengaruh terhadap penurunan produktifitas dari aktivitas
masyarakat perkotaan, oleh karena itu keberadaaan Ruang Terbuka Hijau dalam
suatu kawasan perkotaan sangatlah penting untuk dipertimbangkan agar dapat
berfungsi sebagai penjaga iklim mikro yang sejuk dan nyaman.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis kondisi eksisting Ruang
Terbuka Hijau di Kota Samarinda, 2) menganalisis temperatur dan kelembaban
udara serta keterkaitannya dengan Ruang Terbuka Hijau dan lahan terbangun, 3)

menganalisis Tingkat Kenyamanan Kota Samarinda dan Keterkaitannya dengan
luas RTH, 4) menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau dan areal yang
berprioritas untuk dijadikan Ruang Terbuka Hijau, 5) menyusun arahan untuk
penambahan Ruang Terbuka Hijau.
Berdasarkan hasil studi penelitian diketahui bahwa kondisi eksisting RTH
Kota Samarinda saat ini secara keseluruhan ialah seluas 8.850,31 ha atau 12,21%
dari luas kota. Luasan tersebut terdiri dari RTH publik dengan luas 732,77 ha atau
1,01% dan RTH privat dengan luas 8.117,54 ha atau seluas 11,20%.
Hasil dari analisis keterkaitan RTH dengan temperatur menunjukan bahwa
RTH cenderung berpengaruh kecil terhadap penurunan temperatur udara di Kota
Samarinda. Setiap penambahan 1% dari luas RTH hanya dapat berpengaruh
terhadap penurunan temperatur udara sebesar 0,015⁰C. Target penurunan
termperatur sebesar 0,5⁰C di Kota Samarinda dapat diperoleh dengan luas RTH
sebesar 33,33%. Hasil analisis keterkaitan antara luas RTH dan kelembaban udara
diketahui bahwa setiap meningkatnya RTH seluas 2,84% akan meningkatkan
kelembaban udara sebesar 1%. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa
perencanaan RTH kurang efektif menggunakan variabel temperatur sebagai
pertimbangan dalam penambahan RTH.
Saat ini Kota Samarinda membutuhkan RTH seluas 13.627,23 ha atau
18,9% dari luas kota untuk memenuhi luas minimal RTH. Hasil pemetaan RTH

menunjukan bahwa terdapat 4 jenis prioritas areal yang dapat dijadikan RTH di
Kota Samarinda. Pertama adalah areal prioritas 1 dengan luas 25.638 ha (35%),
areal prioritas 2 dengan luas 24.235 ha (33%), areal prioritas 3 dengan luas 2.883
ha (4%), dan areal prioritas 4 dengan luas 937 ha (1%).
Berdasarkan hasil survei kenyamanan masyarakat diketahui bahwa kota
Samarinda tidak nyaman secara termal. Hasil analisis regresi logistik terkait
dengan kenyamanan masyarakat menunjukan bahwa RTH hanya sedikit
pengaruhnya dalam menentukan respon kenyamanan masyarakat di Kota
Samarinda. Hasil tersebut menunjukan bahwa perencanaan RTH kurang efektif
menggunakan pertimbangan kenyamanan dalam penambahan RTH.

Arahan penambahan RTH Kota Samarinda didasarkan pada prioritas lahan
untuk RTH dan luas mininal RTH Kota. Hasil perhitungan untuk rencana
penambahan RTH di Kota Samarinda adalah dengan penambahan RTH pada
Kecamatan Palaran 4.022 ha, Samarinda Ilir 1.246 Samarinda Seberang 904 ha,
Samarinda Ulu 320 ha, Samarinda Utara 6.086 ha, dan Sungai Kunjang 1.049 ha.
Kata kunci : Prioritas, Ruang Terbuka Hijau, Temperatur dan Kelembaban udara.

SUMMARY
AFRIANTO PUTRA RAMDANI. Green Open Space Analysis and Relationship

with Human Comfort in Samarinda City. Supervised by SANTUN RISMA
PANDAPOTAN SITORUS dan BAMBANG SULISTYANTARA.
Many built area and lack of Green Open Space (GOS) in Samarinda City
caused the mikro climate change. This matter caused uncomfortable for
townspeople, especially for society are activity on out door. The uncomfortable
micro climate in urban area finally will also take effect on society productivity.
Therefore existention of GOS in rural area is very important considered to make
mikro climate that cool and comfort.
The goal of this research is 1) Analyze existing condition GOS in
Samarinda City, 2) Analyze relation of air temperature and humidity with GOS, 3)
Analyze thermal comfort in Samarinda City and relation with GOS area, 4)
Analyze GOS needs and priority area to built GOS, 5) Formulate GOS
development direction to increase GOS area.
The result of study showed that the current total existing area of Green Open
Space in Samarinda City are 8.850,31 ha or 12,21% of total area. The area
consists of public GOS area 732,77 ha or 1,01% dan private GOS area 8.117,54
ha or 11,20% of total area.
The result of analyze, GOS relation with temperature showed that there are
tendency RTH is related to decrease air temperatur in Samarinda City, every
increased 1% of GOS area can effect to decrease air temperature 0.015⁰C.

Therefore to reduce 0,5⁰C air temperatur in Samarinda City required GOS area
33,33% of total area. The result of analyze GOS relation with air humidity showed
that every increased 2,84% GOS area effect increase air humidity 1%.
Samarinda City needs GOS area 13.627,23 ha or 18,9% of total area to
fulfills GOS area minimum. The result of mapped analyze showed that Samarinda
City have 4 priority type for built GOS area. They are priority 1 is 25.638 ha
(35%), priority 2 is 24.235 ha (33%), priority 3 is 2.883 ha (4%), and priority 4 is
937 ha (1%).
The result of comfort society survey showed that Samarinda City is not
comfort in thermal. The result of regresion logistic analyze showed that
percentation of RTH area is a variabel that have effect to make comfort responses
in Samarinda City.
GOS development direction to increased GOS area in Samarinda City is
based on region area and shared by proportion area to sub distric in Samarinda
City. Best election land for GOS can looked based on priority area. The result of
calculation to development GOS area in Samarinda City, required addition GOS
area on every Sub district namely, Palaran 4.022 ha, Samarinda Ilir 1246
Samarinda Seberang 904 ha, Samarinda Ulu 320 ha, Samarinda Utara 6.086 ha
and Sungai Kunjang 1.049 ha.
Keywords : Green Open Space, Priority, Temperature and Humidity.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN
KETERKAITANNYA DENGAN KENYAMANAN KOTA
SAMARINDA

AFRIANTO PUTRA RAMDANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Alinda Fitriani Malik Zain, MSi

iv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilimiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam karya ilmiah ini adalah pengembangan wilayah khususnya dari aspek
analisis yang diperlukan sebagai pertimbangan dalam merencanakan Ruang
Terbuka Hijau yang saat ini menjadi masalah di banyak kota di dunia. Masalah ini

timbul terutama disebabkan oleh adanya konversi lahan terbuka menjadi lahan
terbangun yang banyak terjadi di wilayah perkotaan. Adapun judul tesis ini adalah
Analisis RTH dan Keterkaitannya dengan Kenyamanan Kota Samarinda.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tinginya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Bapak Dr Ir Bambang Sulistyantara selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberi arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis
ini.
2. Dr Ir Alinda Fitriani Malik Zain, MSi selaku penguji luar komisi yang
telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
4. Orang tua tercinta Dr Heryanto MPd MSi dan Siti Murti SPd yang terus
mendukung dengan doa dan semangat. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
5. Teman-teman Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman yang telah
membantu dalam pengumpulan data lapang.
6. Semua pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2015

Afrianto Putra Ramdani

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ..........................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................viii
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
Latar Belakang ............................................................................................................. 1
Perumusan Masalah ...................................................................................................... 2
Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 3
Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 3
Kerangka Pemikiran ..................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 5
Kota Hijau (Green City) ............................................................................................... 5
Ruang Terbuka Hijau ................................................................................................... 6

Temperatur Permukaan ................................................................................................ 6
Pengaruh vegetasi pada temperatur lingkungan ........................................................... 7
Kelembaban Udara ....................................................................................................... 8
Kenyamanan Termal .................................................................................................... 9
Perubahan Luas RTH ................................................................................................. 10
Penginderaan Jauh ...................................................................................................... 11
METODE PENELITIAN ................................................................................................ 12
Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 12
Jenis dan Sumber Data serta Alat Penelitian .............................................................. 13
Metode Analisis Data ................................................................................................. 13
Tahap Persiapan ......................................................................................................... 15
Tahap Analisis Data Citra .......................................................................................... 15
Tahap Pengecekan Lapang ......................................................................................... 16
Teknik Pengumpulan Data Lapang ............................................................................ 17
Analisis Keterkaitan RTH dengan Suhu dan Kelembaban Udara .............................. 19
Analisis Prioritas Areal untuk RTH ........................................................................... 19
Survei Keterkaitan RTH dan Kenyamanan Masyarakat ............................................ 20
Arahan Penambahan RTH .......................................................................................... 21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................................... 23
Letak Geografis .......................................................................................................... 23

Topografi .................................................................................................................... 23
Iklim dan Curah Hujan ............................................................................................... 23
Penggunaan Lahan ..................................................................................................... 24
Penduduk .................................................................................................................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................... 26
Interpretasi Citra Landsat ........................................................................................... 26
Interpretasi Citra Quick Bird ...................................................................................... 29

vi
Penggunaan Lahan Kota Samarinda .......................................................................... 32
Kondisi eksisting RTH di Kota Samarinda................................................................ 34
RTH Publik Kota Samarinda ..................................................................................... 36
RTH Privat Kota Samarinda ...................................................................................... 38
Analisis Keterkaitan RTH dengan Temperatur dan Kelembaban Udara ................... 38
Survei Respon Kenyamanan ...................................................................................... 40
Kebutuhan RTH Kota Samarinda .............................................................................. 42
Prioritas Areal untuk RTH ......................................................................................... 42
Arahan untuk Penambahan RTH ............................................................................... 45
SIMPULAN DAN SARAN............................................................................................ 48
Simpulan .................................................................................................................... 48
Saran .......................................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 49
LAMPIRAN ................................................................................................................... 52
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................ 63

vii

DAFTAR TABEL
1 Tujuan penelitian, jenis data, sumber data serta teknik analisis
2 Peubah Kenyaman Masyarakat
3 Luas Wilayah Kota Samarinda Berdasarkan Kelerengan
4 Penggunaan Lahan Kota Samarinda
5 Kunci Interpretasi yang diperoleh dari citra Landsat
6 Jumlah Titik Pengecekan Lapang
7 Kunci Interpretasi yang diperoleh dari citra Quick Bird
8 Luas Penggunaan Lahan Kota Samarinda dalam Satuan Hektar (Ha)
9 Luas RTH Publik dan Privat di Kota Samarinda
10 Luas RTH publik di Kota Samarinda
11 Informasi hasil wawancara yang diperoleh dari masyarakat
12 Hasil persamaan Regresi Logistik
13 Luas Prioritas RTH Kota Samarinda
14 Luas areal untuk rencana penambahan RTH

13
21
23
24
26
27
29
32
35
36
41
41
45
46

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran
2 Lokasi Penelitian
3 Diagram Alir Penelitian
4 Grid dan Jalur menuju Titik Pengambilan Data
5 Ukuran Grid Pengambilan Data
6 Proses overlay untuk analisis areal prioritas RTH
7 Peta hasil interpretasi secara visual Kota Samarinda
8 Peta hasil interpretasi secara visual bagian Kota Samarinda
9 Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Samarinda
10 Peta Lokasi RTH Publik Kota Samarinda
11 Variabel luas RTH (x) dan temperatur (y)
12 Grafik hubungan antara kenyamanan masyarakat dan luas RTH
13 Peta Prioritas Ruang Terbuka Hijau Kota Samarinda
14 Peta Arahan Penambahan RTH Kota Samarinda

4
12
14
18
19
20
28
31
33
37
39
42
44
47

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Pengamatan, luas RTH dalam grid, temperatur dan kelembaban
udara di Kota Samarinda
2 Peta Nilai Tanah Kota Samarinda Tahun 2014
3 Penggunaan Lahan di Kota Samarinda
4 Dokumentasi pengumpulan data temperatur dan kelembaban udara di
Kota Samarinda
5 Dokumentasi wawancara terkait kenyamanan Kota Samarinda
6 Titik koordinat pengecekan lapang (Ground Check) pada hasil
interpretasi Citra Quick Bird
7 Titik koordinat pengecekan lapang (Ground Check) pada hasil
interpretasi Citra Landsat

52
53
53
55
55
56
60

viii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terjadinya perubahan kondisi iklim di kawasan perkotaan yang mengarah pada
kondisi tidak nyaman merupakan sebuah dampak buruk yang dihasilkan dari
pembangunan fisik kota yang kurang memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Permasalahan terkait dengan iklim seringkali muncul ketika kawasan perkotaan dalam
pembangunan fisiknya lebih didominasi oleh material non alami daripada material
alaminya sehingga menyebabkan terjadi perubahan iklim mikro. Saat ini kecenderungan
beberapa Kota di Indonesia, kuantitas RTH publiknya semakin berkurang, terutama
pada 30 tahun terakhir ini (Siahaan, 2010). Dilihat dari fungsinya RTH memiliki fungsi
yang penting bagi suatu kota. Menurut Purnomohadi (2002) RTH yang ditumbuhi
tanaman dapat berfungsi memberikan kesejukan dan kenyamanan. Kendati Ruang
Terbuka Hijau (RTH) saat ini masih belum terlalu dipertimbangkan dalam sudut
pandang ekonomi, namun saat ini hal tersebut sebenarnya penting dan perlu
dipertimbangkan dalam pembangunan agar nantinya suatu pembangunan dapat tetap
berkelanjutan.
Kota Samarinda sebagai Ibu Kota dari Provinsi Kalimantan Timur, secara fisik
mengalami pembangunan yang begitu cepat. Hal tersebut ditandai dengan
bertambahnya jumlah bangunan-bangunan, baik untuk keperluan permukiman maupun
keperluan lainya seperti perkantoran, tempat perniagaan dan pendidikan, namun
bertambahnya ruang terbangun ini tidak diimbangi secara baik dengan pendistribusian
Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai penyeimbang kenyamanan di lingkungan
perkotaan sehingga yang terjadi saat ini adalah turunnya tingkat kenyamanan iklim
mikro yang salah satu parameternya ditunjukan oleh peningkatan temperatur udara Kota
Samarinda hingga mencapai 34°C pada tahun 2014. Idealnya tempertur udara yang
nyaman bagi manusia adalah sekitar 27°C sampai dengan 28°C (Laurie, 1986). Suhu
nyaman sangat diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktifitas kerjanya
(Idealistina, 1991). Temperatur udara di Kota Samarinda pada beberapa tahun terakhir
menunjukan tren peningkatan setiap tahunnya, dimana temperatur udara Kota
Samarinda pada tahun 2011 berkisar 31°C, pada tahun 2012 meningkat menjadi 32°C
dan kembali meningkat menjadi 33°C pada tahun 2013 (BMKG, 2014).
Berdasarkan data BPS Kota Samarinda tahun 2005 dan 2010, jumlah penduduk
Kota Samarinda mengalami peningkatan sebesar 3 % per tahunnya. Pertambahan
jumlah penduduk di Kota Samarinda ini meningkatkan kebutuhan ruang untuk dijadikan
lahan terbangun. Menurut Sitorus et al. (2007) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan luas RTH yaitu alokasi RTH dalam RTRW, fasilitas
kesehatan, jumlah pendatang, kepadatan penduduk, dan fasilitas pendidikan. Secara
perlahan banyaknya lahan terbangun di Kota Samarinda menyebabkan terjadinya
perubahan iklim mikro perkotaan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi
penduduknya, terutama untuk aktivitas penduduk yang dilakukan diluar ruangan.
Tingkat ketidaknyamanan iklim mikro di kawasan perkotaan pada akhirnya juga akan
berpengaruh terhadap penurunan produktifitas dari aktivitas masyarakat perkotaan, oleh
karena itu keberadaaan Ruang Terbuka Hijau dalam suatu kawasan perkotaan sangatlah
penting untuk dipertimbangkan agar dapat berfungsi sebagai penjaga iklim mikro yang
sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara
faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara, cahaya dan pergerakan angin.

2

Iklim mikro perkotaan sangat erat kaitannya dengan keberadaan RTH. Selama
ini pembangunan kota masih menganggap RTH tidak memiliki manfaat ekonomi yang
besar sehingga dalam proses pembangunan ada kecenderungan mengesampingkan RTH
dan lebih memprioritaskan pada pemanfaatan ruang terbangun. Pada Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, keberadaan RTH sudah ditetapkan
luasannya yaitu seluas 30% dari luas wilayah kota, dengan proporsi 20% sebagai RTH
publik dan 10% sebagai RTH privat, namun karena seiring belum mencukupi serta tidak
menyebar atau tidak terdistribusi dengan baik maka keberadaan RTH tersebut belum
berpengaruh besar terhadap kenyaman iklim mikro di kawasan perkotaan.
Pendistribusian RTH terkait dengan iklim mikro perkotaan sendiri menjadi
persoalan yang cukup sulit karena belum dipetakannya kondisi eksisting Ruang Terbuka
Hijau di Kota Samarinda dan belum diketahuinya seberapa besar pengaruh RTH
terhadap temperatur dan kelembaban udara dalam menciptakan iklim mikro yang
nyaman untuk kawasan perkotaan yang tergambar secara spasial, oleh karena itu perlu
dilakukan analisis RTH dan keterkaitannya dengan kenyamanan Kota Samarinda.
Penelitian mengenai analisis Ruang Terbuka Hijau ini sendiri dilakukan dengan cara
mengukur dua unsur iklim yang dapat dirasakan secara langsung oleh manusia, yaitu
temperatur dan kelembaban udara.
Informasi mengenai kondisi eksisting RTH dan temperatur serta kelembaban
udara dapat digunakan untuk melakukan pendistribusian RTH secara tepat, oleh karena
itu dengan diketahuinya informasi tersebut suatu kawasan perkotaan dapat didisain agar
dapat menjaga kondisi iklim yang senyaman mungkin bagi aktifitas masyarakat
perkotaan, selain itu dengan adanya pendistribusian RTH, pembangunan kota juga akan
lebih mengarah pada pembangunan yang ramah lingkungan. Penelitian ini dilakukan
untuk mempelajari dan memecahkan permasalahan dari iklim mikro perkotaan di Kota
Samarinda melalui pendistribusian RTH.
Perumusan Masalah
Pembangunan fisik kota Samarinda yang tidak selaras antara keberadaan Ruang
Terbangun dan distribusi Ruang Terbuka Hijau berdampak pada terjadinya perubahan
pada iklim mikro perkotaan. Perubahan tersebut terjadi pada elemen-elemen iklim
mikro seperti temperatur, kelembaban, intensitas sinar matahari dan angin. Apabila
elemen iklim mikro tersebut berubah, maka dikhawatirkan akan terjadi perubahan
kearah yang tidak sesuai dengan kenyamanan kondisi tubuh manusia. Tingkat
ketidaknyamanan iklim mikro di kawasan perkotaan pada akhirnya juga akan dapat
berpengaruh terhadap penurunan produktifitas dari aktivitas masyarakat perkotaan, oleh
karena itu keberadaaan Ruang Terbuka Hijau dalam suatu kawasan perkotaan sangatlah
penting untuk dipertimbangkan agar dapat berfungsi sebagai penjaga iklim mikro yang
sejuk dan nyaman.
Guna memperoleh iklim mikro kota yang optimal diperlukan suatu
pendistribusian RTH yang merata, akan tetapi pendistribusian RTH terkait dengan iklim
mikro perkotaan sendiri menjadi persoalan yang cukup sulit karena belum dipetakannya
kondisi eksisting Ruang Terbuka Hijau di Kota Samarinda dan belum diketahuinya
seberapa besar pengaruh RTH terhadap temperatur dan kelembaban udara dalam
menciptakan iklim mikro yang nyaman untuk kawasan perkotaan secara spasial, oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian terkait dengan tingkat kenyamanan klimatologis
yang dihubungkan dengan keberadaan RTH.

3

Dengan memperhatikan permasalahan di atas, maka disusun empat pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi eksisting Ruang Terbuka Hijau di Kota Samarinda ?
2. Seberapa besar temperatur dan kelembaban udara serta bagaimana
keterkaitannya dengan Ruang Terbuka Hijau ?
3. Bagaimana kondisi kenyamanan termal di Kota Samarinda ?
4. Bagaimana kebutuhan RTH dan dimana areal yang dapat diprioritaskan untuk
dijadikan Ruang Terbuka Hijau di Kota Samarinda ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis kondisi eksisting Ruang Terbuka Hijau di Kota Samarinda
2. Menganalisis temperatur dan kelembaban udara serta keterkaitannya dengan
Ruang Terbuka Hijau
3. Menganalisis Tingkat Kenyamanan Kota Samarinda dan Keterkaitannya dengan
luas RTH
4. Menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau dan prioritas areal untuk
dijadikan Ruang Terbuka Hijau
5. Menyusun arahan untuk penambahan Ruang Terbuka Hijau
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi
berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu :
1. Memberikan masukan untuk memudahkan pengaturan distribusi RTH di Kota
Samarinda dalam rangka menciptakan kenyamanan iklim mikro diperkotaan.
2. Memberikan kontribusi pada pengembangan kota serta penerapan RTH di Kota
Samarinda.
Kerangka Pemikiran
Pesatnya pembangunan fisik Kota Samarinda yang menambah Ruang
Terbangun mengakibatkan keberadaan Ruang Terbuka menjadi berkurang. Ruang
terbangun disini merupakan ruang yang keberadaanya diperuntukkan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat dengan tingkat penggunaan yang tinggi, misalnya jalan, gedunggedung, perumahan, dan infrastruktur lainnya. Ruang terbuka adalah ruang dalam
bentuk area maupun dalam bentuk memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih
bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri
No. 14, 1988). Ruang terbuka terdiri dari Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka
Non Hijau. Ruang Terbuka Hijau adalah area yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik tanaman yang tumbuh secara alamiah maupun
yang sengaja ditanam (Undang-Undang No. 26, 2007), sedangkan ruang terbuka non
hijau adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan berupa lahan yang diperkeras maupun
yang berupa badan air (Menteri Pekerjaan Umum, 2009).
Elemen-elemen iklim mikro seperti temperatur, kelembaban, intensitas sinar
matahari dan angin akan berubah apabila kondisi fisik lingkungan perkotaan mengalami
perubahan, khususnya perubahan fisik lingkungan yang menyangkut keberadaan Ruang
Terbuka Hijau (RTH). Dua elemen iklim mikro yang berpengaruh langsung terhadap
aktifitas manusia diluar ruangan adalah temperatur dan kelembaban udara. Meluasnya

4

pembangunan fisik kota diiringi dengan bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan
pemanfaatan ruang intensif yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim mikro
secara spasial dalam bentuk peningkatan temperatur kota. Hal ini banyak atau sedikit
dapat menyebabkan ketidaknyamanan kota.
Berkurangnya tingkat kenyamanan iklim mikro di Kota Samarinda sampai batas
tertentu pasti akan berdampak buruk terhadap kehidupan kota, oleh karena itu
temperatur udara di Kota Samarinda sangat perlu ditekan dengan upaya-upaya
penghijauan. Terjadinya perubahan iklim perkotaan secara mikro salah satunya dapat
disebabkan oleh distribusi Ruang Terbuka Hijau yang tidak merata secara spasial, oleh
karena itu diperlukan analisis spasial Ruang Terbuka Hijau dan keterkaitannya dengan
kenyamanan kota untuk mengetahui sejauh mana keberadaan Ruang Terbuka Hijau
dapat berpengaruh terhadap kenyaman di kawasan perkotaan dan seperti apa distribusi
Ruang Terbuka Hijau yang efisien dalam mengatur iklim mikro kota. Hasil analisis ini
nantinya diharapkan mampu memberikan arahan dalam Perencanaan Ruang Terbuka
Hijau untuk menjaga kenyamanan iklim mikro di Kota Samarinda.
Langkah-langkah penyusunan studi Analisis Ruang Terbuka Hijau dan
keterkaitannya dengan kenyamanan Kota Samarinda dapat dilihat pada kerangka pikir
penelitian seperti tertera pada Gambar 1.
Pembangunan Fisik Kota
Samarinda

Ruang Terbuka

Ruang Terbangun

Perubahan temperatur dan
kelembaban

Ruang Terbuka
Hijau (Vegetasi)

Ruang
Terbuka Non
Hijau

Analisis RTH &
Keterkaitannya dengan
Kenyamanan Kota

Ketidaknyamanan Kota
Samarinda

Rekomendasi
Perencanaan RTH
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA
Kota Hijau (Green City)
Berdasarkan definisinya Kota Hijau (Green City) menurut Utomo (2003)
diartikan sebagai penataan ruang kota yang menempatkan RTH sebagai asset, potensi
dan investasi kota jangka panjang yang memiliki nilai ekonomi, ekologis, edukatif dan
estetis sebagai bagian penting nilai jual kota. Menurut Direktorat Budidaya dan Pasca
Panen Florikultura (2011), Green City diartikan sebagai kota hijau yang diharapkan
akan tumbuh kembang sebagai kampanye pemanfaatan florikultura untuk cipta pasar
dalam negeri secara sistemik. Green City mempunyai 8 komponen yaitu green planning
and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green
energy, green building dan green community (Andayani, 2011). Kota hijau adalah kota
yang sehat secara ekologis. Kota hijau harus dipahami sebagai kota yang memanfaatkan
secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan
sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, dan menyinergikan
lingkungan alami dan buatan (BKPRN, 2012). Salah satu komponen dari green city
yang terkait dengan temperatur dan suhu udara perkotaan adalah green open space atau
yang dikenal sebagai Ruang Terbuka Hijau.
Kondisi fisik dari suatu lingkungan perkotaan terbentuk dari tiga unsur
(dinamis) dasar yaitu pepohonan dan organisme di dalamnya, struktur sosial (kondisi
sosial), dan manusia (Grey, 1986). Gunadi (1995) menjelaskan istilah Ruang Terbuka
(open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. Ruang
Terbuka berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar
bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) dalam bangunan.
Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk
kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan
olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square. Zona hijau bisa berbentuk jalur (path),
seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel
kereta api, saluran/jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes) berupa ruang
taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota,
dan seterusnya. Zona hijau inilah yang kemudian kita sebut Ruang Terbuka Hijau
(RTH).
Definisi selanjutnya, RTH adalah bagian dari ruang terbuka yang merupakan
salah satu bagian dari ruang-ruang di suatu kota yang biasa menjadi ruang bagi
kehidupan manusia dan mahkluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara
berkelanjutan. Ruang terbuka dapat dipahami sebagai ruang atau lahan yang belum
dibangun atau sebagian besar belum dibangun di wilayah perkotaan yang mempunyai
nilai untuk keperluan taman dan rekreasi, konservasi lahan dan sumberdaya alam
lainnya, atau keperluan sejarah dan keindahan (Green, 1959).
RTH memiliki tiga fungsi dasar, yaitu secara sosial, fisik, dan estetik (Adams,
1952). Secara sosial, RTH merupakan fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi,
pendidikan, dan olah raga. Ruang Terbuka Hijau kota dapat menjadi tempat untuk
menjalin komunikasi antar masyarakat kota. Secara fisik, RTH berfungsi sebagai paruparu kota, melindungi sistem tata air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, dan
menahan perkembangan lahan terbangun (sebagai penyangga). Pepohonan dan vegetasi
yang ada di Ruang Terbuka Hijau dapat menghasilkan udara segar dan menyaring debu
serta mengatur sirkulasi udara sehingga dapat melindungi warga kota dari gangguan
polusi udara. Secara estetika, RTH kota berfungsi sebagai pengikat antar elemen

6

gedung, sebagai pemberi ciri dalam membentuk wajah kota, dan juga sebagai salah satu
unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.
Kota hijau merupakan konsep perkotaan, dimana masalah lingkungan hidup,
ekonomi, dan sosial budaya (kearifan lokal) harus seimbang demi generasi mendatang
yang lebih baik. Kota hijau berkorelasi dengan faktor urbanisasi yang menyebabkan
pertumbuhan kota-kota besar menjadi tidak terkendali bila tidak ditata dengan
baik (BKPRN, 2012). Dengan penyediaan RTH kota akan menjadikan kota yang lebih
baik yaitu kota sehat.
Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau (green open space) kota merupakan ruang-ruang terbuka
(open space) di berbagai tempat di suatu wilayah kota yang secara optimal digunakan
sebagai daerah penghijauan dan berfungsi baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk kehidupan manusia dan kesejahteraan manusia atau warga kotanya selain untuk
kelestarian dan keindahan lingkungan (Nurisyah, 1996). Ruang Terbuka Hijau kota
terdiri atas tamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota,
kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang Terbuka Hijau
diklasifikasikan berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur
vegetasinya (Fandeli, 2004).
Menurut UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Ruang Terbuka
Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun
yang sengaja ditanam. Berdasarkan luasannya setiap Kota wajib menyediakan RTH
seluas 30% dari luas wilayahnya yang dibedakan masing-masing yaitu 20% untuk
luasan RTH publik dan 10% untuk RTH privat.
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) diperlukan guna meningkatkan
kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan secara ekologis, estetis, dan sosial.
Secara ekologis, Ruang Terbuka Hijau berfungsi sebagai pengatur iklim mikro kota
yang menyejukkan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang
mampu mengendalikan iklim melalui pengendalian fluktuasi atau perubahan unsurunsur iklim yang ada di sekitarnya misalnya suhu, kelembaban, angin dan curah hujan.
Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum
(2006) Ruang Terbuka Hijau dibangun untuk memenuhi berbagai fungsi dasar, yang
secara umum dibedakan atas empat fungsi dasar yaitu : 1. Fungsi Bio-ekologis (fisik), 2.
Fungsi Sosial, ekonomi (produktif), dan budaya, 3. Fungsi Ekosistem perkotaan dan 4.
Fungsi estetis untuk meningkatkan kenyamanan, dan memperindah lingkungan.
Temperatur Permukaan
Arie (2012) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap sebaran temperatur permukaan lahan yaitu, Pertama, perubahan
luas tutupan lahan terbangun. Hal ini didasarkan pada hasil pengolahan citra satelit yang
menunjukkan bahwa persentase perubahan tutupan lahan terbangun mengalami
peningkatan temperatur permukaan yang lebih tinggi sedangkan tutupan lahan lainnya
seperti vegetasi yang berupa pepohonan justru memiliki temperatur permukaan yang
lebih rendah. Pada analisis penampang kawasan juga menunjukkan pola sebaran pada
wilayah dengan kawasan yang mengalami perubahan menjadi lahan terbangun memiliki
kecenderungan adanya peningkatan temperatur permukaan lahan dan menyebabkan
terbentuknya titik-titik panas. Kedua, Peningkatan sebaran vegetasi. Berdasarkan hasil

7

analisis penampang kawasan menunjukkan bahwa wilayah dengan perubahan tutupan
menjadi vegetasi memiliki kecenderungan temperatur menjadi lebih dingin. Hal ini
diperkuat dengan analisis indeks vegetasi yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
sebaran vegetasi pada tahun 2008, sehingga di beberapa wilayah menjadi lebih dingin
dari sebelumnya.
Faktor-faktor tersebut diatas, dapat dijadikan sebagai indikator adanya
peningkatan atau penurunan temperatur permukaan lahan di Kota, yang berarti bahwa
apabila pengelolaan kota lebih banyak merubah tutupan lahan kota menjadi bangunan
dengan lapisan permukaan buatan seperti beton, aspal atau membiarkan lahan-lahan
menjadi terbuka tanpa adanya vegetasi di permukaan maka peningkatan temperatur
permukaan lahan pasti akan terjadi.
Pengaruh vegetasi pada temperatur lingkungan
Lingkungan termal (temperatur) didefinisikan sebagai lingkungan yang
mempengaruhi manusia dalam hal kualitas temperaturnya, sehingga manusia dapat
merasakan lingkungan tersebut sebagai lingkungan yang dingin atau panas. Salah satu
unsur utama yang membetuk lingkungan termal adalah temperatur udara, disamping
unsur lain seperti temperatur radiasi, kelembaban, dan pergerakan udara. Perubahan
lingkungan termal di perkotaan pada penelitian ini dilihat dari berubahnya temperatur
udara. Emmanuel (2000) berpendapat bahwa perubahan lingkungan termal dipengaruhi
oleh :
a. Pergantian natural land cover dengan perkerasan, bangunan, dan infrastruktur
lainnya
b. Pengurangan jumlah pohon dan tanaman sehingga mengurangi efek pendinginan
alami dari pembayangan dan penguapan air dari tanah dan dedaunan
(evapotranspiration).
c. Peningkatan jumlah bangunan tinggi sehingga membentuk jalur-jalur jalan
sempit yang memerangkap udara panas dan menghambat aliran udara (geometry
effect).
d. Peningkatan buangan panas dari kendaraan, pabrik dan AC serta kegiatan
manusia lainnya yang menambah panas lingkungan.
e. Peningkatan polusi udara yang membentuk lapisan greenhouse gas dan ozone di
udara.
Salah satu peran vegetasi untuk mengendalikan lingkungan termal adalah
melalui mekanisme evapotranspiation (proses penguapan air dari daun ke udara) yang
dapat mempercepat pendinginan permukaan daun yang juga berakibat pada penurunan
temperatur udara. Pengukuran terhadap proses evapotranspiration pernah dilakukan oleh
DOE (Department of Energy) Lawrence Berkeley National Laboratory dan dilaporkan
bahwa pohon berdiameter 30 feet dapat melepas air sebanyak 40 galon / hari (Taha,
1997).
Di dalam artikel Trees and Vegetation yang dikeluarkan HIG (2004) dinyatakan
bahwa pohon dan tanaman mendinginkan udara dengan cara membayangi dan
mengurangi jumlah sinar matahari yang mencapai tanah. Jumlah sinar matahari yang
menembus canopy dinyatakan dalam nilai transmitansi bervariasi dari 0 – 100%. Nilai 0
berarti sinar matahari sama sekali tidak dapat menembus canopy, nilai 100 berarti tidak
ada sinar matahari yang ditahan oleh canopy.
Vegetasi berupa pohon sangat berpengaruh positif terhadap lingkungan
termalnya dalam hal laju penurunan temperatur udara dan temperatur udara rata-rata,

8

dengan demikian maka mekanisme pohon dalam pengendalian lingkungan termal dapat
diintepretasikan sebagai berikut :
a. Pohon berpengaruh positif terhadap temperatur udara berdasarkan mekanisme
pembayangan (canopy effect), di mana pohon memayungi daerah di bawahnya
dari sinar matahari langsung sehingga tidak menjadi panas dan berpengaruh
pada udara.
b. Pohon berpengaruh positif terhadap proses pendinginan (penurunan temperatur
udara sore hari) berdasarkan mekanisme evapotranspirasi, dimana pelepasan air
dari permukaan daun pada sore hari mendinginkan permukaan daun dan
mempengaruhi temperatur udara di sekitarnya.
c. Pohon berpengaruh negatif terhadap proses pemanasan (naiknya temperatur
udara pagi hari) berdasarkan mekanisme ‘selimut’ dimana canopy menghalangi
pertukaran panas dengan daerah sekitarnya sehingga lingkungan di bawahnya
cepat menjadi panas. Efek dari laju naik temperatur udara tidak terlalu
berpengaruh pada temperatur udara rata-rata.
Kelembaban Udara
Secara harfiah kelembaban udara dapat dirtikan sebagai jumlah uap air yang
terdapat dalam udara yang dinyatakan dalam persen (Harijanto, 2000). Kelembaban
udara erat kaitannya dengan keberadaan RTH, seperti yang dinyatakan oleh Putra
(2011) yang mengevaluasi kenyamanan pada beberapa taman kota di jakarta pusat
menyatakan bahwa area yang memiliki tutupan kanopi pohon memiliki suhu udara yang
rendah dengan kelembaban yang tinggi. Begitu pula dengan area yang sedikit memiliki
tutupan kanopi pohon, suhu udara menjadi lebih tinggi dan kelembabannya rendah.
Kaka (2013) juga berpendapat bahwa berkurangnya RTH turut mempengaruhi
penurunan kelembaban udara dan penurunan jumlah radiasi yang diserap tanaman. Pada
siang hari, pohon mampu menyerap radiasi matahari, memberi naungan, dan melakukan
transpirasi sehingga dapat menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara
(Grey et al. 1978).
Wicaksono (2010) yang meneliti pengaruh taman kota sebagai upaya untuk
menurunkan polutan debu, menyatakan bahwa pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) taman
kota mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap kelembaban. Pepohonan dapat
meningkatkan kelembaban udara relatif lingkungan yang dinaunginya dan diperlukan
untuk memberikan keteduhan yang dapat menurunkan suhu udara lingkungan (Lakitan,
1994). Menurut Purnomohadi (2002) RTH yang ditumbuhi tanaman dapat berfungsi
memberikan kesejukan dan kenyamanan. Fungsi dari tanaman bergantung pada
karakteristik tanaman tersebut, misal pohon dengan tajuk berbeda maka menghasilkan
suhu udara, kelembaban udara, menyerap sinar matahari yang berbeda pula. Struktur
tanaman sangat menentukan kondisi iklim mikro sekitarnya. Variasi kelembaban
udaranya sendiri bergantung pada suhu udara, perbedaan tipe penutupan lahan atau
permukaan di masing-masing lokasi dan kerapatan vegetasi/kerindangan (Lakitan,
1994).
Kelembaban udara memiliki pengaruh terhadap kenyamanan manusia, dimana
dalam KEPMENKES RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 dinyatakan bahwa
persyaratan kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%. Menurut Laurie (1986)
kelembaban udara yang ideal bagi manusia adalah kelembaban udara yang berkisar
antara 40% sampai dengan 75%, dengan suhu udara kurang lebih 27°C sampai dengan
28°C. Apabila kelembaban udara kurang dari 20 % maka hal tersebut dapat

9

menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan kelembaban tinggi akan
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Prasasti et al. 2005).
Kenyamanan Termal
Istilah kenyamanan termal sendiri sesungguhnya sudah dikenal oleh nenek
moyang kita berabad-abad lalu. Peneliti kenyamanan termal dari Inggris, Webb (1959)
menyatakan bahwa sejak 400 tahun sebelum Masehi, Hippocrates telah
memperkenalkan effek fisik dari iklim terhadap manusia yakni dalam bentuk suhu
udara, kelembaban, angin dan radiasi sinar matahari. Di dalam bahasa Inggris kata
‘nyaman’ atau ‘comfort’ diartikan sebagai bebas dari rasa sakit atau bebas dari masalah
(Macfarlane, 1958). Manusia dinyatakan nyaman secara termal ketika ia tidak dapat
menyatakan apakah ia menghendaki perubahan suhu udara yang lebih panas atau lebih
dingin dalam ruangan tersebut (McIntyre, 1980). Olgyay (1963) merumuskan suatu
‘daerah nyaman’ sebagai suatu kondisi di mana manusia berhasil meminimalkan
pengeluaran energi dari dalam tubuhnya dalam rangka menyesuaikan (mengadaptasi)
terhadap lingkungan termal di sekitarnya.
Standard ASHRAE (1992) mendefinisikan kenyamanan termal sebagai perasaan
dalam pikiran manusia yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termalnya.
Di dalam standar ini juga disyaratkan bahwa suatu kondisi dinyatakan nyaman apabila
tidak kurang dari 90% responden yang diukur menyatakan nyaman secara termal,
sementara Standar Internasional Kenyamanan Termal, ISO (1994) juga mensyaratkan
kondisi yang sama, yakni tidak lebih dari 10% responden yang diukur diperkenankan
berada dalam kondisi tidak nyaman.
Manusia merasakan panas atau dingin adalah wujud respon dari sensor perasa
yang terletak di bawah kulit terhadap stimulus suhu yang ada di sekitarnya. Sensor
perasa berperan menyampaikan informasi rangsangan rasa pada otak, di mana otak akan
memberikan perintah pada bagian-bagian tubuh tertentu agar melakukan antisipasi
tertentu untuk mempertahankan suhu tubuhnya sekitar 37°C. Hal ini diperlukan organ
tubuh agar dapat menjalankan fungsinya secara baik (Karyono, 1996).
Apabila suhu udara di sekitar tubuh manusia lebih tinggi dari suhu yang
diperlukan tubuh, aliran darah pada permukaan tubuh atau anggota badan akan
meningkat dan ini akan meningkatkan suhu kulit dan bertujuan untuk melepaskan panas
dari dalam tubuh secara radiasi ke udara di sekitarnya. Pada tingkat selanjutnya hal ini
akan diikuti oleh proses pengeluaran keringat sebagai upaya lebih lanjut dari tubuh
untuk melepaskan lebih banyak panas atau kalor melalui proses penguapan. Pada situasi
sebaliknya di mana suhu udara lebih rendah dari yang diperlukan tubuh, peredaran
darah ke permukaan tubuh atau anggota badan dikurangi. Hal ini dilakukan sebagai
usaha untuk mengurangi pelepasan panas dari tubuh ke udara di sekitarnya. Pada
kondisi ini umumnya tangan atau kaki menjadi dingin dan pucat. Pada situasi lebih
lanjut, otot-otot akan berkontraksi dan tubuh akan menggigil. Hal ini merupakan usaha
terakhir tubuh untuk meningkatkan proses metabolisme dalam rangka memperoleh
tambahan panas dalam tubuh (Karyono, 2001).
Ilmu kenyamanan termal hanya membatasi pada kondisi udara tidak ekstrim
(moderate thermal environment), dimana manusia masih dapat mengantisipasi dirinya
terhadap perubahan suhu udara di sekitarnya. Pada kondisi yang tidak ekstrim ini
terdapat daerah suhu tertentu di mana manusia tidak memerlukan usaha apapun, seperti
halnya menggigil atau mengeluarkan keringat guna mempertahankan suhu tubuhnya
agar tetap berkisar pada 37°C. Daerah suhu inilah yang kemudian disebut dengan 'suhu

10

nyaman'. Suhu nyaman sangat diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktifitas
kerjanya (Idealistina, 1991).
Tubuh manusia memiliki variasi antara satu dengan lainnya, seperti halnya
gemuk, kurus, kekar, dan sebagainya, ada kecenderungan bahwa suhu nyaman yang
dimiliki oleh tiap-tiap individu berbeda, untuk itu secara teori tidak akan pernah terjadi
bahwa sekelompok manusia yang mengenakan pakaian sama, beraktifitas sama, dapat
merasakan nyaman seluruhnya apabila ditempatkan dalam satu ruang yang memiliki
suhu yang sama. Persentase maksimum yang dapat dicapai oleh suhu tertentu untuk
memberikan kenyamanan terhadap suatu kelompok manusia adalah 95%. Artinya pada
suhu tersebut 95% dari individu dalam kelompok itu akan merasa nyaman. Suhu inilah
yang kemudian secara teori didefinisikan sebagai suhu netral atau suhu nyaman (ISO,
1994).
Perubahan Luas RTH
Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan
kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota
besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luas RTH telah berkurang dari
35% pada awal tahun 1970-an menjadi 10% pada saat ini. Ruang Terbuka Hijau yang
ada sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan
permukiman baru.
Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya densifikasi penduduk
dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal tersebut
menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingannya.
Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan
terbangun berdampak pada semakin merosotnya kualitas lingkungan. Rencana Tata
Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan
sehingga keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin terancam dan kota semakin
tidak nyaman untuk beraktivitas (Dwihatmojo, 2012).
Menurut Sitorus et al. (2007) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
perubahan luas RTH yaitu alokasi RTH dalam RTRW, fasilitas kesehatan, jumlah
pendatang, kepadatan penduduk, dan fasilitas pendidikan. Agrissantika (2007) dalam
penelitiannya mengenai dinamika spasial mengenai ruang terbangun dan Ruang
Terbuka Hijau menyatakan bahwa berubahnya lahan RTH disebakan karena konversi
lahan perkotaan dari lahan bervegetasi atau RTH menjadi lahan terbangun.
Muis (2005) melakukan analisis kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen
dan air di kota Depok Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa ketersediaan dan
kebutuhan air bagi masyarakat di Kota Depok diprediksikan tahun 2005-2015 akan
mengalami krisis air akibat penggunaan dan peningkatan jumlah penduduk. Hasil
penelitian Hakim (2006) yang melakukan analisis temporal dan spasial perubahan
Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Purwakarta menyimpulkan bahwa luas Ruang
Terbuka Hijau berkurang. Hal tersebut disebabkan karena meningkatnya kebutuhan
lahan untuk penggunaan kawasan dan zona industri.
Sementara itu menurut Nurisyah et al. (2011) perubahan penggunaan lahan pada
bantaran Sungai Martapura, terutama, disebabkan karena pembangunan permukiman,
dan karena terjadinya erosi. Perubahan tersebut terlihat dari beralihnya lahan-lahan
terbuka terutama dalam bentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi lahan terbangun
dan hilangnya sebagian lahan di bantaran sungai tersebut akibat erosi.

11

Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang
suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu
alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand
dan Kiefer, 1999). Definisi yang lain juga dikemukakan oleh Konecny (2003) yang
mana penginderaan jauh adalah metode untuk memperoleh informasi dari objek yang
jauh tanp