Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan Intraoperatif dengan Pencucian

ABSTRAK
MADE DWI TANAYA, Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus
domestica) pada Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan
Intraoperatif dengan Pencucian. Dibimbing oleh Gunanti dan Riki Siswandi.
Studi ini dilakukan untuk menganalisis dampak pada tindakan
autotransfusi darah sebelum operasi (kelompok I/AP), autotransfusi darah
intraoperatif sederhana (kelompok II/AIS) dan autotransfusi darah intraoperatif
dengan pencucian menggunakan alat cell saver. Sembilan babi domestik (AP ±
16,8 kg; AIS ± 21,5 kg; AIP ± 28,5 kg) ditetapkan ke dalam tiga kelompok
perlakuan. Autotransfusi dilakukan setelah perdarahan 30% dengan melakukan
splenectomi untuk menginduksi trauma abdominal. Interpretasi gambaran
radiografi digunakan untuk menganalisis dampak perlakuan. Kelainan patologi
yang ditemukan adalah adanya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
Pada radiogram, kelainan tersebut ditandai dengan terjadinya perubahan patologis
pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa
peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema
pulmonum. Prevalensi kelainan patologi paling besar ditemukan pada kelompok
AIS (dilatasi vena pulmonalis = 1/3; peribronchial pattern = 3/3; cotton like
density = 1/3; edema pulmonum = 1/3) saat post torakotomi.
Kata kunci: ARDS, autotransfusi, babi domestik, radiografi toraks.


ABSTRACT
MADE DWI TANAYA, Thorax Radiography Interpretation of the Domestic Pig
(Sus domestica) on the Preoperative, Simple Filtred Intraoperative, and Cell
Saver Intraoperative Blood Autotransfusion. Guided by Gunanti and Riki
Siswandi.
The study was conducted to analyze impact on the preoperative blood
autotransfusion (group I/AP), simple filtred intraoperative blood autotransfusion
(group II/AIS), and cell saver intraoperative blood autotransfusion (group III/AIP).
Nine domestic pigs (AP 16.8 kg; AIS 21.5 kg; AIP 28.5 kg) were assigned into
three treatment groups. Autotransfusion was conducted after bleeding has reached
30% by splenectomy for inducing abdominal trauma. Analysis of this study
conducted through interpretation of the radiographic images. The presence of
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) was discovered as pathology
abnormalities. Based on the radiogram, that abnormalities characterized by the
occurrence of pathological changes the pattern of vascular dilating pulmonary
vein, interstitial pattern as peribronchial pattern, alveolar pattern of cotton like
density and pulmonary edema. The most of prevalence pathology abnormalities
was discovered in the group AIS (dilation of the vena pulmonalis = 1/3;
peribronchial pattern = 3/3; cotton like density = 1/3; pulmonary edema = 1/3)
when the post torakotomi has occured.

Keywords: ARDS, autotransfusi, domestic swine, thorax radiography.

INTERPRETASI RADIOGRAFI TORAKS BABI DOMESTIK
(Sus domestica) PADA TINDAKAN AUTOTRANSFUSI
PRAOPERATIF, INTRAOPERATIF SEDERHANA
DAN INTRAOPERATIF DENGAN PENCUCIAN

MADE DWI TANAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Interpretasi
Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada Tindakan Autotransfusi
Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan Intraoperatif dengan Pencucian adalah
karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Made Dwi Tanaya
B04080016

ABSTRAK
MADE DWI TANAYA, Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus
domestica) pada Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan
Intraoperatif dengan Pencucian. Dibimbing oleh Gunanti dan Riki Siswandi.
Studi ini dilakukan untuk menganalisis dampak pada tindakan
autotransfusi darah sebelum operasi (kelompok I/AP), autotransfusi darah
intraoperatif sederhana (kelompok II/AIS) dan autotransfusi darah intraoperatif
dengan pencucian menggunakan alat cell saver. Sembilan babi domestik (AP ±
16,8 kg; AIS ± 21,5 kg; AIP ± 28,5 kg) ditetapkan ke dalam tiga kelompok
perlakuan. Autotransfusi dilakukan setelah perdarahan 30% dengan melakukan

splenectomi untuk menginduksi trauma abdominal. Interpretasi gambaran
radiografi digunakan untuk menganalisis dampak perlakuan. Kelainan patologi
yang ditemukan adalah adanya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
Pada radiogram, kelainan tersebut ditandai dengan terjadinya perubahan patologis
pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa
peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema
pulmonum. Prevalensi kelainan patologi paling besar ditemukan pada kelompok
AIS (dilatasi vena pulmonalis = 1/3; peribronchial pattern = 3/3; cotton like
density = 1/3; edema pulmonum = 1/3) saat post torakotomi.
Kata kunci: ARDS, autotransfusi, babi domestik, radiografi toraks.

ABSTRACT
MADE DWI TANAYA, Thorax Radiography Interpretation of the Domestic Pig
(Sus domestica) on the Preoperative, Simple Filtred Intraoperative, and Cell
Saver Intraoperative Blood Autotransfusion. Guided by Gunanti and Riki
Siswandi.
The study was conducted to analyze impact on the preoperative blood
autotransfusion (group I/AP), simple filtred intraoperative blood autotransfusion
(group II/AIS), and cell saver intraoperative blood autotransfusion (group III/AIP).
Nine domestic pigs (AP 16.8 kg; AIS 21.5 kg; AIP 28.5 kg) were assigned into

three treatment groups. Autotransfusion was conducted after bleeding has reached
30% by splenectomy for inducing abdominal trauma. Analysis of this study
conducted through interpretation of the radiographic images. The presence of
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) was discovered as pathology
abnormalities. Based on the radiogram, that abnormalities characterized by the
occurrence of pathological changes the pattern of vascular dilating pulmonary
vein, interstitial pattern as peribronchial pattern, alveolar pattern of cotton like
density and pulmonary edema. The most of prevalence pathology abnormalities
was discovered in the group AIS (dilation of the vena pulmonalis = 1/3;
peribronchial pattern = 3/3; cotton like density = 1/3; pulmonary edema = 1/3)
when the post torakotomi has occured.
Keywords: ARDS, autotransfusi, domestic swine, thorax radiography.

INTERPRETASI RADIOGRAFI TORAKS BABI DOMESTIK
(Sus domestica) PADA TINDAKAN AUTOTRANSFUSI
PRAOPERATIF, INTRAOPERATIF SEDERHANA
DAN INTRAOPERATIF DENGAN PENCUCIAN

MADE DWI TANAYA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada
Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan
Intraoperatif dengan Pencucian
Nama
: Made Dwi Tanaya
NIM
: B04080016

Disetujui oleh


Dr drh Gunanti, M.S
Pembimbing I

drh Riki Siswandi
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada
Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan Intraoperatif
dengan Pencucian”. Skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi banyak

pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2011 sampai Juni 2011 di Laboratorium
Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Gunanti, M.S selaku
pembimbing pertama dan drh. Riki Siswandi selaku pembimbing kedua, atas
bimbingan dan arahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Katim dan Kosasih selaku petugas
laboran di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Titus Ardhi Prasetya, Anita Rahmayanti, Khansaa Mirajziana,
Ambar Hanum Melati Ramadhani dan Yayuk Sri Rahayu Puspitawati sebagai
rekan sepenelitian dan keluarga besar FKH IPB angkatan 45. Selain itu, penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta, keluarga besar
kontrakan Mahayana dan Ida Ayu Amarilia Dewi Murni yang senantiasa
memberikan motivasi dan doa.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan karya ilmiah ini,
sehingga diharapkan adanya saran dan kritik dari pembaca untuk memperlancar
dan memperoleh hasil penelitian selanjutnya yang lebih baik.


Bogor, Januari 2013
Made Dwi Tanaya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

Hipotesis Penelitian

3

METODE

4


Tempat dan Waktu

4

Alat dan Bahan

4

Metode Penelitian

4

Tahap Persiapan

4

Tahap Pelaksanaan

5

Teknik Interpretasi Radiografi

5

Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

8
8
11
15

Simpulan

15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

18

DAFTAR TABEL
1 Temuan kelainan pada masing-masing kelompok perlakuan

9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS dan AIP
Skema sisi lateral sistem pembuluh darah paru
Skema kejadian peribronchial pattern
Skema bentuk tampilan peribronchial pattern
Radiografi kejadian cotton like density pada posisi lateral
Skema bentuk tampilan edema pulmonum
Ukuran vena pulmonalis mengalami dilatasi
Kejadian peribronchial pattern
Kejadian cotton like density
Kejadian edema pulmonum

5
6
6
7
7
8
9
10
10
11

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trauma merupakan penyebab kematian utama pada manusia usia di bawah
40 tahun. Tingginya angka kematian akibat trauma pada usia dibawah 40 tahun
ditemukan pula di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia (Ruslan
2010).
Komplikasi pembedahan pada kasus trauma pada abdomen dapat berupa
peritonitis atau pun adanya hemodinamik yang tidak stabil. Pada pasien dengan
indikasi hemodinamik yang tidak stabil sering disebabkan adanya perdarahan
intraabdomen. Berdasarkan alasan tersebut dibutuhkan transfusi darah untuk
mengembalikan keseimbangan hemodinamik (McClelland 2007).
Saat ini biasanya transfusi darah dengan darah pengganti sering
menggunakan darah homolog. Darah homolog adalah darah yang berasal dari
donor atau berasal dari bank darah dan bukan berasal dari darah individu itu
sendiri. Permasalahan yang ditemui dari penggunaan darah homolog adalah
besarnya biaya penapisan darah donor. Tujuan penapisan darah tersebut untuk
mencegah risiko terjadinya infeksi dari donor terhadap resipien. Masalah lain
yang dapat ditemukan adalah adanya reaksi imunologis antara antigen darah
donor dengan antibodi darah resipien ataupun sebaliknya (Widjanarko 2002).
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketersediaan
darah tersebut adalah penggantian secara homolog darah yang mengalami
ekstravasasi pada pasien trauma dengan melakukan transfusi autolog. Transfusi
autolog adalah transfusi darah yang berasal dari individu yang sama atau disebut
juga autotransfusi. Pasien dengan trauma abdomen umumnya memerlukan darah
sebanyak 1,5 sampai 2 liter yang diperlukan dalam waktu singkat. Oleh karena itu
diperlukan ketersediaan darah yang sangat cepat antara lain melalui transfusi
autolog. Keuntungan yang paling besar dari autotransfusi pasien trauma adalah
ketersediaan darah autolog dalam waktu yang relatif singkat (Widjanarko 2002).
Autotransfusi intraoperatif sederhana berupa pengambilan, penampungan,
dan penyaringan, serta transfusi kembali darah tanpa alat khusus sehingga efisien
dalam segi fasilitas, waktu, dan biaya (Widjanarko 2002). Autotransfusi dengan
cara pencucian dilakukan menggunakan alat cell saver. Darah yang diambil dari
lapangan operasi dengan menggunakan alat ini dipisahkan antara komponen sel
darah merah yang akan ditransfusikan kembali dengan plasma dan sebagian besar
lekosit serta debris. Tindakan ini dilakukan karena dianggap bahwa pengambilan
darah dari lapangan operasi merupakan tindakan traumatis yang akan
menimbulkan pengaktifan lekosit pada tingkatan yang lebih besar sehingga akan
timbul reaksi inflamasi yang besar pula (Krohn et al.1999).
Dalam dunia kedokteran negara maju, autotransfusi intraoperatif sederhana
saat ini telah digantikan oleh autotransfusi sel darah merah dengan pencucian. Hal
yang serupa juga dapat ditemukan dari kajian pustaka yang membahas
autotransfusi intraoperatif dengan pencucian sel darah merah. Hal ini sejalan
dengan pemikiran dan laporan kasus bahwa autotransfusi intraoperatif sederhana
akan memiliki risiko terjadinya gangguan respirasi maupun efek samping lainnya.
Laporan kasus yang adapun terbatas pada penggunaan autotransfusi sederhana

2
pada operasi coronary artery bypass grafting (CABG) atau ortopedi, terutama hip
dan spine surgery. Terdapat beberapa laporan kasus autotransfusi pada pasien
trauma, namun metoda autotransfusi yang digunakan adalah autotransfusi
intraoperatif dengan pencucian (Dry et al. 1999 dan Alotti et al. 2000). Efek
samping lain dari autotransfusi yang dapat terjadi adalah reaksi inflamasi pada
paru dalam bentuk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan gagal ginjal
akut. Dalam terjadinya ARDS, sitokin memiliki peranan yang cukup besar.
Informasi tentang seberapa besar pengaruh autotransfusi intraoperatif sederhana
dan peranan sitokin terhadap reaksi inflamasi pada paru dan jantung sampai saat
ini masih sangat terbatas (Krohn et al.1999). Berdasarkan alasan tersebut
diperlukan suatu telaah autotransfusi intraoperatif sederhana pada pasien trauma.
Autotransfusi dengan pencucian dan autotransfusi intraoperatif sederhana
mempunyai prosedur yang sama, akan tetapi autotransfusi intraoperatif sederhana
relatif memiliki prosedur yang lebih mudah dalam pelaksanaan, pengambilan,
penyimpanan dan cara autotransfusi pada pasien. Autotransfusi dengan pencucian
lebih banyak dilaksanakan di negara-negara maju, akan tetapi di negara-negara
berkembang yang memiliki sarana dan prasarana transfusi yang relatif terbatas
diharapkan dengan autotransfusi intraoperatif sederhana dapat menjadi solusi dan
menekan kemungkinan efek samping yang ditimbulkan dibandingkan dengan
autotransfusi pencucian. Keuntungan lainnya adalah tidak adanya reaksi
imunologis (Limas dan Hanafi 2010).
Berdasarkan uraian diatas autotransfusi intraoperatif sederhana
kemungkinan dapat menjadi jawaban bagi kebutuhan akan darah pada pasien
trauma abdomen yang menjalani operasi laparotomi. Pada saat ini yang masih
direkomendasikan untuk autotransfusi pada perdarahan intraperitoneal akibat
trauma abdomen adalah autotransfusi intraoperatif dengan pencucian. Akan tetapi
sebagaimana diuraikan diatas penggunaan autotransfusi intraoperatif dengan
pencucian relatif sulit dilaksanakan di Indonesia oleh karena terbatasnya alat-alat
yang diperlukan serta biaya yang relatif sangat mahal.
Tema sentral yang dikemukakan adalah adanya perbedaan antara
autotransfusi berupa autotransfusi intraoperatif dengan cara pencucian yang dianut
saat ini dengan autotransfusi intraoperatif sederhana. Hal ini berkaitan dengan
mengingat kebutuhan akan darah untuk pasien-pasien trauma abdomen yang dapat
mencapai jumlah yang cukup banyak yang kadangkala tidak didukung adanya
darah donor yang cukup. Namun demikian tindakan autotransfusi intraoperatif
sederhana masih memerlukan penelaahan lebih lanjut untuk mengetahui apakah
ada pengaruhnya terhadap mortalitas dan morbiditas. Untuk hal ini diperlukan
suatu parameter yang dapat dipercaya untuk memprediksi kemungkinan
timbulnya efek samping yang tidak diinginkan, terutama pada paru sebagai salah
satu organ yang paling pertama akan mengalami pengaruh efek samping
autotransfusi.
Interpretasi radiologi sebagai suatu parameter risiko terjadinya efek samping
autotransfusi masih harus diuji. Dengan demikian, pengambilan gambaran
radiologi sebagai suatu parameter risiko terjadinya efek samping harus dilakukan.
Penelitian ini menggunakan hewan model babi domestic. Alasan
penggunaan hewan ini karena babi merupakan mamalia dengan struktur anatomi
yang tidak jauh berbeda dengan manusia. Ukuran babi dapat dipilih sehingga akan
memberi kemudahan dalam melakukan proses autotransfusi, baik sewaktu

3
pengambilan darah dari pembuluh darah, pengambilan darah dari rongga abdomen,
maupun proses transfusi kembali. Penelitian terhadap babi juga sering dilakukan
dan merupakan hewan ternak yang umum dijumpai sehingga pemeliharaan serta
pelaksanaan suatu tindakan dengan mudah dapat dilakukan oleh seorang dokter
hewan.

Perumusan Masalah
Dengan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini
adalah bagaimanakah perbedaan perubahan gambaran radiografi paru setelah
tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana dan autotransfusi dengan pencucian
dibandingkan dengan autotransfusi praoperatif menggunakan darah simpan
sebagai kontrol.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelainan pada paru yang timbul
pada tindakan autotransfusi praoperatif, intraoperatif sederhana dan autotransfusi
dengan pencucian terhadap keadaan patologi anatomi paru melalui intepretasi
gambaran radiografi dengan pengambilan gambar radiografi pada daerah toraks.
Untilisasi analisis gambaran radiografi sebagai salah satu metode diagnosa awal
pada tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana dan autotransfusi dengan
pencucian terhadap keadaan patologi paru dan organ pada rongga toraks lainnya.
Apabila terdapat perbedaan keadaan patologi paru dan organ pada rongga toraks
lainnya antara ketiga tindakan, maka hal ini dapat menjadi pertimbangan pada
keamanan autotransfusi intraoperatif sederhana.

Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini akan menyumbangkan pengetahuan akan efek
autotransfusi praoperatif, intraoperatif sederhana dan intraoperatif dengan
pencucian terhadap perbedaan keadaan patologi anatomi paru antara ketiga
tindakan tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
pertimbangan untuk menggunakan autotransfusi sederhana sebagai solusi untuk
mengatasi perdarahan intraperitoneal karena trauma limpa.

Hipotesis Penelitian
Tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana dan autotransfusi dengan
pencucian dapat menimbulkan efek samping kelainan pada paru sehingga
mempengaruhi gambaran radiografi pada daerah toraks.

4

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2011 dan berakhir bulan Juni 2011.
Penelitian bertempat di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen
Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor, Dramaga, Bogor.

Alat dan Bahan
Penelitian dilakukan terhadap hewan model yaitu babi lokal Indonesia (Sus
domestica) sebanyak 9 ekor dengan rata-rata bobot badan kelompok AP ±16,8 kg;
AIS ±21,5 kg; AIP ±28,5 kg, berjenis kelamin jantan, dan berumur 3-6 bulan.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung tentang efek autotransfusi
pada hewan babi sebagai model untuk manusia.
Penelitian dilakukan menggunakan alat unit mesin Sinar-X stasioner
(General X-ray Beam), kaset film yang dilengkapi dengan intensifying screen dan
film Röntgen ukuran 24 x 30 produksi Fujifilm, apron, hanger, lampu iluminator,
alat cell saver (Haemonetics Cell Saver® 5, THE Blood Management Company),
seperangkat alat bedah mayor, seperangkat alat anestesi inhalasi, obat bius
ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100, Troy),
dan zoletil 5% (zoletil®, Virbac), ETT (Endo Tracheal Tube), alat suction
(Asahiilca®), benang jahit bahan silk dan catgut ukuran 3/0, jarum segitiga dan
bulat, alat infus (Infusion Pump OT-701, JMS), kateter kupu-kupu (IV-catheter),
termometer, stetoskop, spoit, kapas/tampon, plester, alat cukur, alkohol 70%, dan
obat cacing oxfendazole 5 mg/kg (Verm-O®, Sanbe).

Metode Penelitian
Tahap persiapan
Babi dikelompokan ke dalam tiga kelompok yaitu kontrol (kelompok AP)
dengan transfusi menggunakan darah simpan, kelompok dengan perlakuan
autotransfusi intraoperatif sederhana (kelompok AIS) dan autotransfusi dengan
pencucian (kelompok AIP). Masing–masing kelompok terdiri dari tiga ekor babi.
Hewan ditempatkan dalam kandang kelompok berukuran 4x3 meter. Pakan
berupa pelet diberikan setiap pagi dan sore setelah dilakukan pemeriksaan fisik.
Babi kelompok AP dengan darah yang akan diautotransfusikan
diekstravasasi 14 hari sebelumnya. Darah disimpan dalam kantung darah CPDA
(Citrate, Phosphate, Dextrose, dan Adenin), kemudian dimasukkan dalam lemari
es. Kelompok AP menggunakan dosis obat bius induksi dengan KX-maksimal,
yaitu ketamin 15 mg/kg, dan xylazyn 2 mg/kg. Babi kelompok AIS diberi
perlakuan autotransfusi dengan menggunakan darah hasil penyaringan secara
manual. Kelompok AIS menggunakan dosis obat bius induksi dengan ZKX, yaitu
ketamin 1 mg/25 kg, dan xylazyn 1 mg/25 kg, dan zoletil 1 mg/25 kg. Babi

5
kelompok AIP diberi perlakuan autotransfusi dengan menggunakan darah hasil
pencucian alat cell saver. Kelompok AIP menggunakan dosis obat bius induksi
dengan KX-minimal, yaitu ketamin 10 mg/kg, dan xylazyn 1 mg/kg.
Autotransfusi dilakukan setelah terjadi pendarahan 30% dengan melakukan
splenektomi. Darah tersebut merupakan 30% volume darah babi (61-68 ml/kg).

Tahap Pelaksanaan
Sebelum perlakuan babi terlebih dahulu dibius. Sesaat setelah babi terbius
dilakukan pengambilan gambar radiografi dengan menggunakan dua standar
pandang yakni ventro dorsal dan latero lateral. Nilai kVp yang digunakan antara
66-74 kVp, tergantung ketebalan jaringan yang akan ditembus oleh sinar-X. Nilai
mAs yang digunakan adalah 2,5 mAs.
Waktu yang ditempuh dalam penelitian selama satu bulan. Pada H-14,
kelompok babi AP diambil darah sebanyak 30% total darah untuk disimpan,
namun tidak pada kelompok AIS dan AIP karena akan diambil langsung pada saat
splenektomi. Kemudian pada hari H0, masing-masing kelompok dilakukan
splenektomi hingga mengalami pendarahan 30% lalu diautotransfusi. Dua hari
berikutnya dilakukan torakotomi dan pada hari ketujuh setelah operasi adalah
panen. Torakotomi dilakukan untuk pengambilan jaringan paru yang akan
dimanfaatkan dalam analisis efek samping autotransfusi. Setiap kelompok
perlakuan (kelompok AP, AIS, dan AIP) dilakukan tiga kali ulangan.
Pengambilan gambar radiografi dilakukan empat kali dalam satu kali
rangkaian perlakuan. Pengambilan pertama dilakukan saat babi terbius sempurna
sebelum autotransfusi (H0). Babi terbius sempurna dengan ciri-ciri babi tertidur
dan belum diberi perlakuan apapun. Pengambilan kedua dilakukan sesaat sebelum
operasi torakotomi yaitu dua hari setelah babi mengalami pendarahan 30% dan
telah dilakukan splenektomi (H+2). Pengambilan gambar kedua dilakukan untuk
mengamati dampak awal dari autotransfusi. Pengambilan gambar radiografi ketiga
dilakukan setelah operasi torakotomi (H+2‟) dan tujuh hari setelah autotransfusi
dilakukan pengambilan gambar keempat (H+7).
Thoracotomy
(kelompok
AP,AIS,AIP)

Adaptasi, pemeliharan, pemberian obat
cacing (kelompok AP,AIS,AIP)
Post transfusi

H-14

H

Teranestesi sempurna

Pengambilan darah simpan 30%
total darah (kelompok AP)

H0

H+2

Awal recovery

Pendarahan 30%
(kelompok AP,AIS,AIP)

H+2’

H
H+7

Post Thoracotomy
Panen
(kelompok
(kelompok
AP,AIS,AIP)
AP,AIS,AIP)

Gambar 1 Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS, dan AIP

Teknik Interpretasi Radiografi
Evaluasi radiografi dan interpretasi radiografi dilakukan pada foto Röntgen
yang terkumpul dengan bantuan lampu iluminator. Interpretasi yang dilakukan

6
berupa penilaian lapang paru secara radiografi. Penilaian lapang paru secara
radiografi untuk melihat perubahan pada radiogram paru yang meliputi perubahan
pola vaskular berupa dilatasi pada vena pulmonal, pola interstitial berupa
peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema
pulmonum (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Kejadian dilatasi vena pulmonalis akan terlihat secara radiografi yaitu
ukuran vena akan tampak lebih besar dari pada arteri yang ditunjukkan anak
panah berwarna kuning. Vena pulmonalis pada lobus paru kranial lebih besar 75%
dari lebar 1/3 proksimal tulang rusuk ke 4 yang ditunjukkan pada Gambar 2
(O'Sullivan dan O'Grady 2004).
A

B

Gambar 2 Skema sisi lateral sistem pembuluh darah paru. Anak panah berwarna
kuning merupakan letak dilatasi vena pulmonalis (A) dan T4 adalah
vertebral thorachalis ke 4 (B) (modifikasi dari O'Sullivan dan O'Grady
2004)
Kejadian peribronchial pattern secara radiografi maka akan terlihat adanya
penebalan pada dinding bronkiolus yang lebih radioopak. Pada penampang
melintang peribronchial pattern terlihat berbentuk „donat‟ dengan garis lebih
radioopak dan bagian tengah yang radiolusen pada Gambar 3. Pada potongan
longitudinal maka akan terlihat dua garis paralel yang radioopak seperti jalan
kereta api pada Gambar 3 dan Gambar 4 (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
A

B

Gambar 3 Skema kejadian peribronchial pattern. Penampang melintang (A) dan
posisi lateral (B). Peribronchial pattern ditujukkan oleh kepala panah
hitam (modifikasi dari O'Sullivan dan O'Grady 2004)

7

Gambar 4

Skema bentuk tampilan peribronchial pattern yang terlihat pada
gambar radiografi, bentuk donat dan jalan kereta (O'Sullivan dan
O'Grady 2004)

Cotton like density disebabkan karena lanjutan dari kejadian edema alveolar
(air bronchogram) yaitu cairan yang berasal dari kapiler terakumulasi dalam
ruang interstisial perivascular dan peribronchial sehingga secara radiografi akan
terlihat seperti kapas (Gambar 5).

Gambar 5

Radiografi kejadian cotton like density pada posisi lateral yang di
tandai dengan lingkaran elips berwarna hitam (modifikasi dari
O'Sullivan dan O'Grady 2004)

Secara radiografi edema pulmonum ditunjukkan oleh adanya garis
radioopak berdekatan dengan daerah radiolusen pada lobus paru yang mengalami
edema. Paru yang terisi dengan cairan (edema pulmonum) akan tampak lobus
paru berwarna lebih radioopak (Gambar 6).

8

Gambar 6 Skema bentuk tampilan edema pulmonum. Lobus paru menjadi lebih
radioopak (tanda panah berwarna merah). Gambaran radiografi seperti
ini diistilahkan sebagai „lobar signs‟ (modifikasi dari O'Sullivan dan
O'Grady 2004)
Interpretasi gambar radiografi dilakukan dengan menggunakan bantuan
lampu iluminator. Hasil foto Röntgen yang terkumpul selanjutnya dilakukan
dokumentasi dengan mengambil foto hasil foto Röntgen menggunakan camera
single lens reflect (SLR) tipe Canon® dan juga menggunakan program Photoshop
CS4 Portable ®.

Analisis Data
Hasil penelitian yang didapat berupa data kualitatif menggunakan metode
skoring. Tanda “ - “ menyatakan tidak adanya temuan klinis pada gambaran
radiografi. Nilai “1/3” menyatakan adanya temuan klinis pada satu individu dari
tiga individu dalam masing – masing kelompok, nilai “2/3” pada dua individu dan
nilai “3/3” apabila temuan klinis ditemukan pada semua individu kelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil analisis gambaran radiografi menunjukkan adanya pengaruh dari
tindakan autotransfusi terhadap gambaran radiografi pada daerah toraks. Pada
radiogram, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perubahan patologis
pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa
peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema
pulmonum.

9
Tabel 1 Temuan kelainan pada masing-masing kelompok perlakuan
Kelainan Patologis

1

2

3

Kelompok Perlakuan
AIS
4 1 2 3 4 1

-

-

-

1/3

SP

AP

-

1/3

1/3

-

-

4

VD
1/3
1/3
1/3
LL
2/3 1/3
2/3 3/3 2/3
1/3
VD
Peribronchial Pattern
2/3
1/3
2/3
3/3
2/3
1/3
LL
1/3
1/3
VD
Cotton Like Density
1/3 1/3
LL
1/3
1/3
1/3
1/3
1/3
VD
Edema Pulmonum
1/3
1/3
1/3
1/3
1/3
LL
1: waktu babi terbius sempurna sebelum autotransfusi (H0), 2: waktu sebelum torakotomi (H+2),
3: waktu setelah torakotomi (H+2‟), 4: waktu panen (H+7). SP: standar pandang. Tanda “ - ” :
tidak adanya temuan klinis pada gambaran radiografi. Nilai “1/3” menyatakan prevalensi temuan
klinis pada satu individu dari tiga individu dalam masing – masing kelompok, nilai “2/3” pada dua
individu dan nilai “3/3” apabila temuan klinis ditemukan pada semua individu kelompok.

Dilatasi Vena Pulmonalis

-

AIP
2 3
-

Berdasarkan data pada Tabel 1, dilatasi pada vena pulmonalis terjadi pada
kelompok AP dan AIS. Dilatasi vena pulmonalis teramati pada waktu
pengambilan gambar radiografi setelah torakotomi (H+2‟) dan H+7 (kelompok
AIS). Sebelum mengalami dilatasi, ukuran vena pulmonalis adalah 4 mm dan
setelah mengalami dilatasi menjadi 5 mm. Pada kelompok AP, dilatasi vena
pulmonalis hanya teramati pada saat H+7. Kejadian yang serupa tidak ditemukan
pada kelompok AIP.
B

A

AP

AP

VP

Gambar 7

VP

Arteri dan vena pulmonalis memiliki ukuran yang sama dalam
keadaan normal (A). Ukuran vena pulmonalis pada kelompok AIS
saat setelah torakotomi mengalami dilatasi sehingga ukuranya lebih
besar dari arteri pulmonalis (B). AP: arteri pulmonalis, VP: vena
pulmonalis

Kejadian peribronchial pattern ditemukan pada hampir semua kelompok
perlakuan. Kejadian ini pada kelompok AP ditemukan setelah torakotomi dan
H+7. Kelompok AIS menunjukkan kejadian peribronchial pattern yang luar biasa.
Setelah torakotomi, kejadian peribronchial pattern ditemukan pada semua

10
individu. Peribronchial pattern pada kelompoak AIP hanya ditemukan saat
sebelum torakotomi pada satu individu dalam kelompok.
.
A

B

Gambar 8 Kejadian peribronchial pattern pada kelompok AIS saat sebelum
torakotomi. Secara radiografi akan terlihat pola berbentuk lingkaran
radioopak dengan pusat radiolusen menyerupain bentuk „donat‟
(panah berwarna merah). A: standar pandang ventro dorsal. B: standar
pandang latero lateral
Kejadian cotton like density hanya ditemukan pada kelompok AIS ketika
sebelum torakotomi. Kejadian yang serupa tidak ditemukan pada kelompok AP
dan AIP dari semua waktu pengambilan gambar radiografi.
A

Gambar 9

B

Kejadian cotton like density pada kelompok AIS saat sebelum
torakotomi yang ditunjukkan oleh lingkaran berwarna kuning.
Daerah sekitaran kapiler paru akan tampak masa radioopak
menyerupai kapas. A: standar pandang ventro dorsal. B: standar
pandang latero lateral

11
Kejadian edema pulmonum ditemukan pada kelompok AP dan AIS. Edema
pulmonum pada kelompok AP ditemukan saat sebelum torakotomi dan setelah
torakotomi yang terlihat pada standar pandang latero lateral (LL) dan ventro
dorsal (VD). Hal yang hampir sama juga ditemukan pada kelompok AIS.
Kejadian edema pulmonum pada kelompok AIS ditemukan saat sebelum
torakotomi, setelah torakotomi dan H+7. Pada kelompok AIP kejadian edema
pulmonun tidak ditemukan.
A

B

Gambar 10 Kejadian edema pulmonum pada kelompok AIS saat panen (H+7)
yang ditandai dengan lobus paru berwarna lebih radioopak karena
adanya akumulasi cairan pada lobus tersebut. Gambaran radiografi
seperti ini diistilahkan dengan lobar signs (garis putus – putus
berwarna kuning). A: standar pandang ventro dorsal. B: standar
pandang latero lateral

Pembahasan
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) memiliki patofisiologi yang
kompleks dan multipel. Terdapat 3 komponen yang terpisah, yakni stimulus yang
menginisiasi atau sebagai penyebab ARDS, respons pasien terhadap stimulus ini,
serta peranan iatrogenik yang menyebabkan semakin lanjutnya penyakit. Stimulus
awal akan mengaktifkan suatu efek berantai dengan efek paling awal adalah
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler alveolus dan paru (Danielson
et al. 2008). Cairan dengan kandungan tinggi protein akan memasuki alveolus,
diikuti neutrofil dan makrofag teraktivasi dan suatu reaksi berantai inflamasi
dimulai. Reaksi berantai ini akan melepaskan Interleukin, Tumor Necrosis Factor
(TNF) dan mediator inflamasi lain. Neutrofil melepaskan oksidan, leukotrin dan
protease (Limas dan Hanafi 2010).
Pada trauma abdominal darah yang diambil dari rongga abdomen akan
mengalami penurunan hematokrit sebanyak 29-42% tergantung dari cara
pengambilannya. Selain itu ditemukan pula kerusakan sel yang tercermin dari
peningkatan Laktat Dehidrogenase (LDH) yang mencapai nilai 3890 hingga 4880
U/L (nilai normal >232 U/L) (Limas dan Hanafi 2010).

12
Menurut Baigrie et al. (1991) dan Schroeder et al. (2007), penurunan
hematokrit dan peningkatan Laktat Dehidrogenase (LDH) dapat dijadikan
parameter untuk menunjukkan adanya lisis sel yang cukup berarti. Lisis sel yang
terjadi berupa lisis sel leukosit dan eritrosit. Lisis sel leukosit yang merupakan selsel proinflamasi yang akan menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti
sitokin dan mediator lainnya. Sitokin yang umum ditemukan dalam proses
inflamasi akibat autotransfusi adalah IL-1, IL-6, dan Tumor Necrosis Factor-
(TNF-). IL-1 merupakan sitokin yang paling pertama muncul dalam peredaran
darah setelah terjadinya suatu rangsangan yang menimbulkan inflamasi. TNF-
muncul dalam peredaran darah 30 menit setelah trauma dan perdarahan. Kadar
TNF- dalam peredaran dan akan kembali menuju normal setelah 24 jam. IL-6
akan meningkat 2 jam setelah trauma, dan nilainya tetap di atas normal hingga
lebih 24 jam setelah terjadinya perdarahan (Faist 2004).
Proses pencucian darah juga dilaporkan dapat menurunkan kualitas darah
yang akan ditransfusikan kembali. Selama proses pencucian, terdapat beberapa
komponen darah yang mengendap pada mangkuk sentrifuge dan akan memicu
aktivasi platelet dan pelepasan mediator imflamasi (Heath 1995).
Hadirnya mediator inflamasi ini dalam sirkulasi darah kemungkinan sebagai
penyebab kelainan yang teramati dari gambaran radiografi. Pada radiogram,
perubahan yang ditemukan meliputi perubahan patologis pola vaskular berupa
dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola
alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum (O'Sullivan dan O'Grady
2004). Dari literatur yang ada, belum dapat dijelaskan secara pasti urutan tahapan
kejadian patologis yang teramati.
Ketika hewan pengalami perdarahan akibat induksi trauma abdominal
kemungkinan sebagai pemicu terjadinya gagal jantung. Darah yang keluar dalam
jumlah banyak mengakibatkan jumlah yang tersirkulasikan dalam tubuh menjadi
berkurang. Hal ini kemungkinan berdampak pada suplai oksigen dan nutrisi ke sel
termasuk sel jantung menjadi berkurang (Wintrobe 2011). Hewan yang
mengalami kekurangan darah akan menyebabkan stres jantung melalui takikardia
dan hipertofi ventrikel kiri yang dapat menyebabkan sel jantung mengalami
apoptosis dan memperburuk gagal jantung (Manolis et al. 2005).
Awal dari manifestasi gangguan pada sistem kardiovaskular secara
radiografi akan teramati adanya dilatasi vena pulmonalis. Pada dilatasi vena
pulmonalis secara radiografi akan terlihat ukuran vena tampak lebih besar dari
pada arteri. Dalam keadaan normal, vena dan arteri pulmonalis memiliki ukuran
yang sama (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Pada studi lain yang dilakukan oleh Bryk tahun 1970, kasus dilatasi vena
pulmonalis ditemukan pada pasien yang mengalami kelainan jantung pada
ventrikel kiri. Akibat gagal jantung pada ventrikel kiri mengakibatkan
pemompaan darah oleh ventrikel tidak maksimal. Ketika ventrikel memompa
darah akan ada darah yang masih tersisa sebagian dan pengosongan ventrikel
tidak terjadi secara sempurna. Hal ini akan mengakibatkan bendungan pada sistem
vena. Darah yang terbendung menyebabkan volume darah pada vena semakin
tinggi. Volume darah yang tinggi akan menyebabkan pembesaran dinding vena.
Secara radiografi akan terlihat vena pulmonalis mengalami pembesaran atau
dilatasi (O'Sullivan dan O'Grady 2004).

13
Peningkatan ukuran vena pulmonalis ditemukan juga pada pasien yang
mengalami penyempitan pada katup mitral. Dampak dari katup mitral yang
menyempit mengakibatkan aliran darah ke ventrikel kiri menjadi tertahan dan
pengosongan atrium kiri tidak optimal. Darah yang masih tersisa pada atrium kiri
menyebabkan pembendungan darah dari paru menuju jantung. Darah yang
terbendung berdampak pula pada peningkatan tekanan intravaskular dan
pembesaran pembuluh darah dalam hal ini adalah vena pulmonalis (Baumgartner
et al. 2009).
Dari penelitian lain yang dilakukan oleh Takase et al. (2004), kejadian
dilatasi vena pulmonalis ditemukan pada pasien yang mengalami gagal jantung
dan gangguan ritme jantung (atrial fibrillation). Hadirnya faktor lain yang
mengakibatkan kerusakan dan peregangan vena pulmonalis juga berperan pada
dilatasi vena pulmonalis (Medi et al. 2007).
Kelanjutan dari dilatasi vena pulmonalis akan ditemukan pula perubahan
patologis pola interstitial berupa peribronchial pattern. Pada kejadian
peribronchial pattern secara radiografi maka akan terlihat pola berbentuk
lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen menyerupai bentuk „donat‟ (Gambar
8) (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Hadirnya peradangan paru akan berdampak pada peningkatan permeabilitas
kapiler. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler akan menyebabkan cairan
dalam vaskular berdifusi ke interstisial alveolar dan membentuk peribronchial
pattern (Kuday dan Hanci 1990).
Kelanjutan dari terbentuknya peribronchial pattern, cairan yang
terakumulasi akan merembes turun baik di dalam maupun di luar bronkiolus.
Dinding bronkiolus tersier tidak dapat terdeteksi karena tidak memiliki cincin
kartilaginosa akibat akumulasi cairan tadi. Namun, setelah dinding dalam dan luar
bronkiolus tercakup oleh cairan, kontras radiografi dinding akan menjadi lebih
radioopak dan kontras lumen lebih radiolusen karena masih diisi dengan udara.
Sebagai akibatnya, pada penampang bronkiolus akan muncul sebagai lingkaran
radioopak dengan pusat radiolusen („donat‟) seperti pada Gambar 8. Pada
penampang melintang peribronchial pattern terlihat berbentuk „donat‟ dengan
garis lebih radioopak dan bagian tengah yang radiolusen. Pada potongan
longitudinal maka akan tampak dua garis pararel yang radioopak seperti jalan
kereta api (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Menyadari bahwa peribronchial pattern adalah istilah untuk sebuah pola
radiografi berupa cairan pada lapisan dalam atau luar dari bronkiolus yang
membentuk pola „donat‟ (berdasarkan penampang) atau jalur kereta api (jika
memotong longitudinal). Cairan yang bertanggungjawab untuk kejadian
peribronchial pattern dapat disebabkan oleh semua cairan baik edema, perdarahan,
produksi lendir berlebih dan lain sebagainya. Oleh karena itu, keberadaan
peribronchial pattern tidak dapat menyimpulkan bahwa hewan mengalami edema
paru. Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati tanda – tanda lain
berupa pembesaran atrium kiri, pembesaran vena pulmonum, adanya
peribronchial pattern itu sendiri atau temuan lain seperti air bronchograms
(O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler juga berperan pada terbentuknya
peribronchial pattern. Gagal jantung mengakibatkan hewan mengalami
penurunan dalam kemampuan memompa darah keseluruh tubuh. Apabila gagal

14
jantung terjadi pada jantung sebelah kiri akan berdampak pada ketidakmampuan
jantung memompa darah yang kembali ke jantung dari paru (Benton 2012). Darah
dari paru akan terbendung sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik darah
pada pembuluh balik. Peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan cairan darah
(plasma) bocor/keluar dari vaskular ke interstitium paru dan terkumpul sepanjang
percabangan arteri, bronkus dan vena. Hal ini yang menyebabkan terbentuknya
peribronchial pattern dan siluet dari margin arteri dan vena paru (O'Sullivan dan
O'Grady 2004).
Bentuk lanjut dari adanya rembesan cairan pada bronkiolus akan
menyebabkan kejadian cotton like density yaitu cairan yang berasal dari kapiler
terakumulasi dalam ruang interstisial perivascular dan peribronchial sehingga
secara radiografi akan terlihat seperti kapas (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Aktivasi sel proinflamasi yang terjadi dikarenakan adanya trauma terhadap
komponen darah. Trauma ini terjadi sewaktu proses autotransfusi yang
mengakibatkan terjadinya lisis sel, maupun akibat dari perdarahan yang
diakibatkan oleh trauma yang diterima pasien (Limas dan Hanafi 2010). Stimulus
awal dari aktivasi sel proinflamasi akan mengaktifkan suatu efek berantai dengan
efek paling awal adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler
alveolus dan paru. Cairan dengan kandungan tinggi protein akan memasuki
alveolus, diikuti neutrofil dan makrofag teraktivasi, dan suatu reaksi berantai
inflamasi dimulai (Danielson et al. 2008).
Istilah cotton like density digunakan tidak eksklusif untuk suatu kondisi
penyakit, melainkan untuk menggambarkan proses kemunculan penyakit. Hal ini
terjadi ketika susunan dan pola parenkima paru mengalami infiltrasi sel atau
cairan (cairan dapat berupa eksudat ataupun cairan dari perdarahan). Gambaran
radiografi akan tampak sebagai wilayah diskrit yang relatif keburaman dengan
perbatasan diskrit maupun non-diskrit. Gambaran cotton like density biasanya
akan tampak lebih radioopak dengan perbatasan „berbulu‟. Cotton like density
juga dapat ditemukan pada individu dengan keadaan paru osteoma, infiltrasi jamur
dan daerah paru yang mengalami abses (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Tahapan yang lebih lanjut dari akumulasi cairan dalam ruang interstisial
perivascular dan peribronchial adalah terjadinya edema pulmonum (O'Sullivan
dan O'Grady 2004). Edema pulmonum adalah suatu keadaan abnormal dengan
adanya akumulasi cairan di dalam komponen ekstravaskular dari paru. Jumlah
relatif cairan intravaskular dan ekstravaskural di dalam paru sebagian besar
dikontrol oleh permeabilitas dan tekanan onkotik dari dinding membran vaskular
(Gluecker et al. 1999). Secara radiografi edema pulmonum ditunjukkan oleh
adanya garis radioopak yang berdekatan dengan daerah radiolusen pada lobus
paru yang mengalami edema. Lobus paru yang mengalami edema juga akan
tampak lebih radioopak (Gambar 10) (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
Menurut Perina (2003), edema pulmonum dapat dibedakan menjadi dua
kategori yakni cadiogenic dan noncardiogenic. Edema pulmonum tipe
noncardiogenic disebut juga sebagai sindrom pernapasan akut atau Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Edema pulmonum tipe cadiogenic
terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler. Sebaliknya, kelainan yang
menyebabkan edema pulmonum tipe noncardiogenic adalah meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler paru untuk protein sehingga terjadi penumpukan
cairan yang kaya protein di alveolar.

15
Dengan terjadinya pelepasan sitokin, maka kapiler akan mengalami
permeabilitas lebih tinggi agar sel darah putih dapat masuk ke dalam jaringan.
Ketika jumlah sitokin semakin banyak, maka kapiler dalam paru akan melewatkan
cairan berlebih ke dalam alveoli. Cairan ini akan menghalangi terjadinya
pertukaran oksigen dalam paru (Danielson et al. 2008).
Pada penelitian lain oleh Perina (2003) juga menyatakan penyebab edema
pulmonum tipe noncardiogenic sangat beragam baik proses patologi secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
perlukaan paru dan alveolar secara langsung diduga sebagai salah satu faktor
pemicu. Proses tidak langsung dapat terjadi secara hematogenous dengan adanya
pengiriman mediator inflamasi. Mekanisme tidak langsung hasil dari respon
peradangan yang berlebihan dapat mempengaruhi kerusakan organ tubuh lainya.
Respon peradangan dapat dijelaskan melalui tiga tahapan. Tahap pertama yakni
tahap presipitating yang menyebabkan berbagai mediator inflamasi dan sitokin
dirilis. Tahap kedua adalah fase amplifikasi, yaitu neutrofil diaktifkan dan
diasingkan di organ target (dalam hal ini paru). Fase ketiga adalah fase cidera,
yaitu sel yang diasingkan melepaskan oksigen reaktif metabolis sehingga
menyebabkan kerusakan sel.
Dalam keadaan normal, cairan mengalir dari sistem kapiler ruang interstisial
dan kembali ke sirkulasi sistemik melalui sistem limpatik paru. Ketika kapiler
menghasilkan cairan ke dalam ruang interstisial melebihi penyerapan limpatik
maka akan terjadi edema pulmonum. Kelainan pada permeabilitas kapiler dan
gangguan penyerapan oleh sistem limpatik yang menyebabkan terjadinya edema
pulmonum. Kejadian ini merupakan kelanjutan dari paru yang mengalami
peradangan akibat hadirnya mediator inflamasi tersebut (Perina 2003).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Gambaran radiografi daerah toraks menunjukkan adanya temuan sindrom
pernapasan akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Perubahan
patologis yang terjadi merupakan pengaruh dari aktivasi sel proinflamasi yang
terjadi dikarenakan adanya trauma terhadap komponen darah. Trauma ini terjadi
sewaktu proses autotransfusi yang mengakibatkan terjadinya lisis sel, maupun
akibat dari perdarahan yang disebabkan oleh trauma yang diterima pasien. Pada
radiogram, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perubahan patologis
pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa
peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema
pulmonum. Secara keseluruhan prevalensi kelainan paling besar ditemukan pada
kelompok AIS saat setelah torakotomi.

16
Saran
Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap keamanan metode
autotransfusi sederhana karena adanya temuan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) pada hewan model yang digunakan. Penelitian lebih lanjut
perlu dilakukan untuk menganalisis ukuran jantung secara radiografi dan
penggunaan hewan model yang lebih banyak dengan berat badan yang seragam.
Biopsi paru dan analisis kadar sitokin dalam darah perlu dilakukan untuk
mendukung temuan kelainan paru pada radiogram.

DAFTAR PUSTAKA
Ruslan B. 2010. Korban Tewas Selama Arus Mudik 128 Jiwa. Antara News.
Hukum. [Internet]. [diunduh 2011 Sep 9]. Tersedia pada: http//www.
antaranews.com/berita/1283985157/korban-tewas-selama-arus-mudik-128jiwa.
Alotti N, Varro M, Gombocz K, Simon J, Wrana G, Kecskes G. 2000. Adult
respiratory distress syndrome after open heart surgery. Orvosi Hetilap
Journal. 141(10):493-6.
Baigrie RJ, Lamont PM, Dallman M, Morris PJ. 1991. The release of interleukin1 beta (IL-1) precedes that of interleukin 6 (IL-6) in patients undergoing
major surgery. Lymphokine Cytokine Res. 10(4):253-6.
Baumgartner H, Hung J, Bermejo J, Chambers JB, Evangelista A. 2009.
Echocardiographic Assessment of Valvee Stenosis: EAE/ASE
Recommendations for Clinical Practice. Jurnal of the American Society of
Echocardiography. 22:1-23
Benton T. 2012. Cardiovascular Disease: Hypertension, Congestive Heart
Failure and Angina. New Mexico (MX): UNM School of Medicine.
Bryk D. 1970. Dilated Right Pulmonary Vein in Mitral Insuffiency. Chest
Radiography. 58:24-27.
Danielson C, Benjamin RJ, Mangano MM, Mills CJ, Waxman DA. 2008.
Pulmonary pathology of rapidly fatal transfusion-related acute lung injury
reveals minimal evidence of diffuse alveolar damage or alveolar granulocyte
infiltration. Transfusion. 48(11):2401-8.
Dry SM, Bechard KM, Milford EL, Churchill WH, Benjamin RJ. 1999. The
pathology of transfusion-related acute lung injury. American Journal of
Clinical Pathology. 112(2):216-21.
Faist E, Angele M, Wichmann M. 2004. Trauma 5th ed. Moore EE, editor. New
York (US): Mc Graw Hill.
Gluecker T, Capasso P, Scbnyder P, Gudincbet F, Scballer MD, Revelly JP,
Cbiolero R, Vock P, Wicky S. 1999. Clinical and Radiologic Features of
Pulmonary Edema. Radiographics. 19:1507-1531.
Heath MKJ. 1995. Acute Respiratory Distress Syndrome following
Autotransfusion with the BiosurgeTM Autotransfuser. Journal of the Royal
Medical Corps. 141:105-106.

17
Krohn CD, Reikeras O, Mollnes TE. 1999. Complement activation and increased
systemic and pulmonary vascular resistance indices during infusion of
postoperatively drained untreated blood. British Journal of Anaesthesia.
82(1):47-51.
Kuday C, Hanci M. 1990. Adult respiratory distress syndrome due to central
nervous system lesion. Turkish Neurosurgery. 1:109-113
Limas PI, Hanafi B. 2010. Difference in Quality of Blood Harvested By
Skimming And By Suctioning From A Blood Formed Into A Pool, In
Relation To Autotransfusion. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli
Bedah Indonesia (PABI).
Manolis AS, Tzeis S, Triantafyllou K, Michaelidis J, Pyrros I, Sakellaris N,
Kranidis A, Melita H. 2005. Erythropoietin in heart failure and uther
cardiovascular diseases: hematopoietic and pleiotropic effects.
Cardiovascular & Haematological Disorders. 5:355-375.
Medi C, Hankey GJ, Freedman SB. 2007. Atrial fibrillation. Medical Journal of
Australia. 186:197-202.
McClelland DBL. 2007. Handbook of transfusion medicine. 4th ed. London:
Stationery Office.
O'Sullivan ML, O'Grady MR. 2004. Clinical Evaluation of Heart Disease. VetGo.
[Internet]. [diunduh 2012 Agu 3]. Tersedia pada: http://vetgo.com/cardio/
concepts/concsect.php?sectionkey=2§ion=Clinical%20Evaluation%20o
f%20Heart%20Disease.
Perina DG. 2003. Noncardiogenic pulmonary edema. Emergency Medicine
Clinics of North America. 21:385-393.
Schroeder S, von Spiegel T, Stuber F, Hoeft A, Preusse CJ, Welz A. 2007.
Interleukin-6 enhancement after direct autologous retransfusion of shed
thoracic blood does not influence haemodynamic stability following
coronary artery bypass grafting. Thorac Cardiovasc Surg. 55(2):68-72.
Takase B, Nagata M, Matsui T, Kihara T, Kameyama A, Hamabe A, Noya K,
Satomura K, Ishihari M, Kurita A, Ohsuzu F. 2004. Pulmonary vein
dimensions and variation of branching pattern in patients with paroxymal
atrial fibrillation using magnetic resonance angiography. Japanese Heart
Journal. 45:81-92.
Widjanarko HG, editor. 2002. Autotransfusi pada