Metode Cepat Penentuan Brazilin dalam Produk Jamu dan Kayu Secang menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet

METODE CEPAT PENENTUAN BRAZILIN DALAM
PRODUK JAMU DAN KAYU SECANG MENGGUNAKAN
SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF ULTRAVIOLET

MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

METODE CEPAT PENENTUAN BRAZILIN DALAM
PRODUK JAMU DAN KAYU SECANG MENGGUNAKAN
SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF ULTRAVIOLET

MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada

Program Studi Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Metode Cepat Penentuan Brazilin dalam Produk Jamu dan Kayu
Secang menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet
Nama
: Muhamad Amin Taqiyuddin Ghiffari
NIM
: G44080017

Disetujui
Pembimbing I

Pembimbing II


Dr Irmanida Batubara, SSi, MSi.
NIP 19750807 200501 2 001

Wulan Tri Wahyuni S, SSi, MSi

Diketahui
Ketua Departemen Kimia

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal Lulus:

ABSTRAK
MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI Metode Cepat Penentuan Kadar Brazilin dalam
Produk Jamu dan Kayu Secang menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet. Dibimbing
oleh IRMANIDA BATUBARA dan WULAN TRI WAHYUNI.
Brazilin merupakan senyawa aktif dalam kayu secang yang memiliki banyak bioaktivitas
serta berfungsi sebagai senyawa penciri kayu secang. Metode cepat dan efisien perlu digunakan
untuk mengukur kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamunya sebagai kendali mutunya.

Pada penelitian ini dikembangkan metode spektrofotometri derivatif ultraviolet (SDUV) untuk
menentukan kandungan brazilin di dalam produk jamu dan kayu secang. Kondisi optimum
pengukuran dan preparasi metode SDUV ditentukan terlebih dahulu pada penelitian ini. Kondisi
optimum pengukuran yang diperoleh antara lain, kecepatan pemayaran 200 nm/menit, orde
turunan 2, panjang gelombang maksimum 231 nm (kayu secang) dan 232 nm (produk jamu), orde
penghalusan 4, serta jumlah jendela 11 (kayu secang) dan 19 (produk jamu). Kondisi optimum
preparasi dengan parameter jenis pelarut, waktu sonikasi, dan volume pelarut, yang diperoleh
untuk kayu secang ialah metanol, 5 menit, dan 5 mL, sedangkan untuk produk jamu ialah etanol,
30 menit, dan 30 mL. Hasil pengukuran kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamu
dengan metode SDUV ialah sebesar 5.4091 dan -5.9585 mg/gram. Hasil tersebut berbeda nyata
dengan hasil metode kromatografi cair kinerja tinggi yaitu sebesar 2.2889 mg/g untuk kayu
secang, dan 0.7575 mg/g untuk produk jamu. Metode SDUV yang dikembangkan lebih murah dan
lebih cepat namun keakuratan metode ini masih diragukan.
Kata kunci: Secang, Produk Jamu, Brazilin, Spektrofotometri Derivatif UV.

ABSTRACT
MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI Rapid Method for Determination of Brazilin in
Jamu Product and Sappan Wood by Ultraviolet Derivative Spectrophotometry. Supervised by
IRMANIDA BATUBARA and WULAN TRI WAHYUNI.
Brazilin is an active compound in sappan wood with a lot of bioactivity and serves as

fingerprint compound for sappan wood. Fast and efficient method must be used to measure
brazilin contents in sappan wood and jamu product to control it’s quality. In this research,
ultraviolet derivative spectrophotometry (UVDS) method was developed to determine the content
of brazilin in sappan wood and jamu product. The optimum conditions of measurement and
preparation for UVDS methods was determined beforehand. The optimum conditions for
measurements obtained were scan speed at 200 nm / min, the second-order derivatives, the
maximum wavelength of 231 nm (sappan wood) and 232 nm (jamu products), smoothing order of
4, and the number of points 11 (sappan wood) and 19 (jamu products). The optimum conditions of
preparation with the parameter such as solvent, sonication time, and the volume of solvent,
obtained for sappan wood were methanol, 5 min, and 5 mL, while for jamu product were ethanol,
30 minutes, and 30 mL respectively. The results of measurements of brazilin in sappan wood and
jamu products by UVDS method were 5.4091 and -5.9585 mg/g. Those results were significantly
different from those using high performance liquid chromatography, which were 2.2889 mg/g for
sappan wood, and 0.7575 mg/g for jamu product. The developed UVDS method was less
expensive and faster, but the accuracy of this method was still in doubt.
Key words: Sappan wood, Jamu Product, Brazilin, UV Derivative Spectrophotometry.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan

judul Metode Cepat Penentuan Brazlilin dalam Produk Jamu dan Kayu
Secang Menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet ini disusun
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis sejak Maret sampai
Desember 2012 di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, dan
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Irmanida Batubara, SSi, MSi.
selaku Pembimbing I dan Ibu Wulan Tri Wahyuni, SSi, MSi. Selaku Pembimbing
2 atas informasi, arahan, saran, bimbingan, serta motivasi yang diberikan selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini, Pusat Studi Biofarmaka yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan fasilitas dan
peralatan selama penelitian, Lembaga BAZNAS yang telah membantu
memberikan beasiswa penelitian. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Om
Eman, Ibu Nunung, Pak Jaim, dan Kak Nio atas bantuan dan sarannya selama
penulis melakukan penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga (Ayah, Ibu, Teteh,
Mus, Muti, Teh Hawa, Om Jajang, BuLik, Pakle, Bude, Pakde) yang senantiasa
memberi dukungan moril dan memberikan semangat kepada penulis, serta kepada
Erna, Taufik, Wahyudi, Junaenah yang membantu serta memberikan saran kepada
penulis.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi pembaca.
Bogor, Januari 2013
Muhamad Amin TG

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Oktober 1990 dari pasangan
Ahmad Hadi Suprapto dan Dede Mardiah. Penulis merupakan anak kedua dari
empat bersaudara. Penulis lulus dari SMAN 1 Leuwiliang pada tahun 2008 dan
pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur PMDK dan diterima di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama menjalani perkuliahan, Penulis berkesempatan menjadi asisten
praktikum Kimia TPB (2010-2012), Kimia Dasar I (2012), Kimia Analitik
Layanan (2012), dan asisten Statistika untuk Kimia Analitik D3 (2012). Penulis
juga menjalani kegiatan Praktik Lapang di Laboratorium Kimia Air dan
Lingkungan, Balai Besar Industri Agro (BBIA) pada tahun 2011 dengan judul
Laporan “Verifikasi Metode Penentuan Kadar Logam Kadmium dan Kobalt
dalam Air Limbah dengan Menggunakan Inductively Coupled Plasma – Optical
Emission Spectroscopy”


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 2
Alat dan Bahan .................................................................................................... 2
Lingkup Kerja ..................................................................................................... 2
Isolasi Senyawa Brazilin (Hangoluan 2011) ....................................................... 2
Pengukuran Kadar Brazilin dengan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet
(SDUV) ............................................................................................................... 2
Pengukuran Kadar Brazilin dengan Metode KCKT ........................................... 3
Perbandingan Metode KCKT dan SDUV ........................................................... 4
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Isolasi Senyawa Brazilin ..................................................................................... 4
Penentuan Kadar Brazilin dengan Menggunakan Metode SDUV ...................... 4
Penentuan Kadar Brazilin menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT) ................................................................................................... 9

Perbandingan Hasil Metode SDUV dan Metode KCKT .................................... 9
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 10
Simpulan ........................................................................................................... 10
Saran .................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10
LAMPIRAN .......................................................................................................... 12

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kondisi preparasi sampel yang digunakan untuk optimasi .................................3
2 Data hasil pengukuran deret standar pada kondisi optimum .............................7
3 Kadar brazilin yang dihasilkan pada berbagai kondisi optimum preparasi ........8
4 Kondisi optimum untuk setiap sampel ................................................................9
5 Hasil penentuan kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamu dengan
menggunakan metode SDUV dan KCKT ........................................................10

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Spektrum serapan standar brazilin turunan ke-0 (a), ke-1 (b), dan ke-2(c)
pada berbagai kecepatan pemayaran ...................................................................4

2 Spektrum deret standar pada kecepatan pemayaran 400 nm/menit (a) dan
200 nm/menit (b) ..................................................................................................5
3 Spektrum serapan standar brazilin ( ) dan kayu secang ( ) pada turunan
ke-0 (a), ke-1 (b), ke-2 (c), dan ke-3 (d) .............................................................6
4 Spektrum serapan standar brazilin ( ) dan produk jamu ( ) pada turunan
ke-0 (a), ke-1 (b), ke-2 (c), dan ke-3 (d) ..............................................................7
5 Kurva deret standar optimum sampel kayu secang (a) dan produk jamu (b) ......7

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram alir penelitian ......................................................................................13
2 Data hasil ekstraksi ...........................................................................................14
3 Penentuan uji-F dan uji-t ...................................................................................15

PENDAHULUAN
Jamu merupakan ramuan herbal tradisional
khas Indonesia, penggunaan jamu merupakan
hal umum bagi masyarakat Indonesia. Jamu
biasanya dibuat dari bahan-bahan alami yang
dipercaya mengandung khasiat tertentu. Salah

satu bahan alami yang digunakan sebagai
bahan baku pembuatan jamu ialah kayu
secang. Kayu secang sudah sejak lama
digunakan di berbagai negara sebagai obatobatan tradisional, makanan tradisional, dan
minuman tradisional. Berdasarkan penelitian,
kayu secang memiliki bioaktivitas antara lain
sebagai
anti-anafilaktat,
antibakteri,
antikoagulan, antikomplementari, antiradang,
antitumor, antivirus, bersifat sitotoksik, dan
juga sebagai stimulan enzim transaminase
glutamat piruvat dan stimulan enzim
tirosinase (Badami et al. 2004). Penelitian lain
juga menunjukkan bahwa secang dapat
digunakan sebagai bahan anti jerawat
(Batubara et al. 2010a).
Bioaktivitas
kayu
secang

tersebut
disebabkan kandungan-kandungan senyawa di
dalamnya, salah satunya ialah brazilin.
Penelitian telah banyak dilakukan dalam
mengungkap potensi senyawa brazilin, dan
sampai saat ini brazilin telah diketahui
berpotensi sebagai antioksidan, antiradang,
antidiabetes, antibakteri, antikanker (Ren et
al. 2011), imunostimulan, antikomplementari,
bersifat hepatoprotektif (Badami et al. 2004),
antijerawat dengan menginhibisi kerja enzim
lipase dari bakteri jerawat (Batubara et al.
2010a). Senyawa brazilin merupakan salah
satu senyawa paling dominan dalam kayu
secang dan juga merupakan senyawa penciri
kayu secang (Pawar et al. 2008). Oleh karena
itu, sebagai kontrol kualitas kayu secang, dan
produk jamunya perlu ditentukan kadar
brazilin pada kayu secang dan produknya.
Pada penelitian ini akan dikembangkan
metode penentuan kadar brazilin, untuk
menjamin mutu serta khasiat kayu secang dan
produk jamunya. Metode analisis yang umum
digunakan dalam penentuan kadar brazilin
ialah kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Metode KCKT sudah umum digunakan, baik
dalam analisis kualitatif maupun analisis
kuantitatif senyawa brazilin dalam kayu
secang. Meskipun demikian, metode ini
memiliki beberapa kekurangan, antara lain
membutuhkan
banyak
pelarut,
waktu
pengerjaan yang lama, dan prosedur yang
tidak sederhana. Analisis yang lebih hemat
dan terjangkau perlu dikembangkan untuk
membantu petani agar petani dapat menjual

kayu secang sesuai dengan kualitasnya yang
berkorelasi dengan kadar brazilin yang
terkandung di dalamnya.
Metode yang akan dikembangkan untuk
analisis kadar brazilin dalam kayu secang dan
produk jamunya ialah spektrofotometri
derivatif ultraviolet (SDUV). Metode SDUV
merupakan pengembangan dari teknik
spektrofotometri
UV-Vis
konvensional.
Metode ini dapat digunakan untuk penentuan
jumlah senyawa kimia dalam bahan dengan
matriks yang kompleks yang menyebabkan
serapan analat bertumpang-tindih dengan
matriks
(Rachmanti
2006).
Teknik
spektrofotometri
derivatif
menawarkan
beberapa keuntungan dibandingkan dengan
teknik spektrofotometri konvensional, seperti
dapat memilih puncak yang tajam di antara
spektrum yang lebar dan meningkatkan
resolusi spektrum yang bertumpang-tindih.
Spektrofotometri
derivatif
juga
dapat
menghasilkan daerah sidik jari yang lebih baik
dibandingkan dengan spektrum absorpsi pada
umumnya (Batubara et al. 2005). Selain itu,
metode SDUV ini juga menawarkan
pendekatan alternatif untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas dalam analisis
campuran (Ojeda & Rojas 2004).
Metode SDUV sudah banyak digunakan
dalam berbagai analisis baik senyawa sintetik
maupun senyawa aktif yang terdapat dalam
bahan alam. Contoh analisis senyawa sintetik
dengan menggunakan metode SDUV ialah
analisis senyawa dikuat dan parakuat dalam
urin dan air (Kuo et al. 2001), triprolidin-HCl
dan pseudoefedrin-HCl dalam tablet obat
(Sriphong et al. 2009), parasetamol dan
ordansetron dalam tablet obat (Kumar et al.
2006), tartrazin dalam makanan dan minuman
(Altinoz & Toptan 2002), serta benzil alkohol
dalam obat piroksikam (Rizk et al. 2006).
Contoh analisis senyawa aktif pada bahan
alam dengan metode SDUV antara lain
analisis kafein dalam minuman kopi, kola, dan
teh (Alpdogan et al. 2002), asam askorbat
pada sayur-sayuran (Aydogmus et al. 2002),
kurkumin pada sediaan herbal komersial
(Batubara et al. 2005), analisis senyawa asam
amino aromatik dalam daging olahan
(Gatellier et al. 2009). Metode ini juga sudah
banyak digunakan dalam analisis-analisis
senyawa anorganik, senyawa organik, farmasi,
senyawa biologis, analisis makanan, dan
analisis lingkungan (Ojeda & Rojas 2004).
Pengembangan metode SDUV pada penelitian
ini diharapkan dapat membuktikan bahwa
metode ini sesuai serta menghasilkan nilai
yang dapat dipercaya dalam pengukuran kadar

2

brazilin, sehingga dapat dijadikan metode
alternatif dalam pengukuran kadar brazilin
dalam kayu secang dan produk jamunya.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang akan digunakan dalam
penelitian antara lain neraca analitik,
spektrofotometer
UV-Vis,
seperangkat
komputer, perangkat lunak UV Solutions versi
2.0, seperangkat alat KCKT, dan peralatan
kaca.
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam
penelitian antara lain standar brazilin, sampel
berupa serbuk produk jamu dan simplisia
kayu secang dari semarang, metanol, etanol
96%, kloroform, kertas saring Whatman No.2,
dan akuades.
Lingkup Kerja
Penelitian diawali dengan mengisolasi
senyawa brazilin dari kayu secang, yang
selanjutnya digunakan sebagai senyawa
standar. Tahap berikutnya ialah analisis
kandungan senyawa brazilin di dalam sampel
berupa produk jamu dan simplisia secang
menggunakan metode SDUV dan KCKT.
Analisis dengan metode SDUV terdiri atas 3
tahap. Tahap pertama ialah penentuan kondisi
optimum pengukuran yang mencakup
kecepatan pemayaran, orde turunan, orde
penghalusan, dan jumlah jendela. Tahap
kedua merupakan penentuan kondisi optimum
preparasi, sedangkan tahap ketiga ialah
analisis kadar brazilin menggunakan kondisi
optimum yang diperoleh. Secara lengkap, alur
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Isolasi Senyawa Brazilin (Hangoluan 2011)
Sebanyak 200 g simplisia kayu secang
dimaserasi menggunakan pelarut metanol
sebanyak 2 L, selama 24 jam. Proses maserasi
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Ekstrak
yang diperoleh disaring menggunakan kertas
saring Whatman No. 2. Filtrat yang diperoleh
dipekatkan menggunakan penguap putar
kemudian diekstraksi cair-cair dengan pelarut
n-heksana sebanyak 7.3 L. Ekstrak metanol
dari tahap ekstraksi cair-cair dipekatkan
menggunakan penguap putar, dilarutkan
dengan kloroform:metanol (5:1), kemudian
difraksionasi menggunakan kromatografi
kolom dengan fase diam silika gel dan fase
gerak
kloroform:metanol
(5:1).
Eluat
ditampung setiap 5 mL dalam tabung reaksi.
Eluat-eluat yang diperoleh diuji menggunakan

kromatografi lapis tipis (KLT) untuk
menentukan fraksi yang mengandung brazilin.
Fraksi tersebut kemudian dipekatkan
menggunakan penguap putar, dan dipisahkan
kembali menggunakan KLT preparatif
(KLTP) dengan fase gerak kloroform:metanol
(5:1). Pelat KLTP diamati di bawah sinar UV
366 nm, noda brazilin yang berpendar biru
dengan Rf 0.8 dipisahkan kemudian
dilarutkan kembali dengan kloroform:metanol
(5:1), dan dipekatkan menggunakan penguap
putar. Ekstrak ini selanjutnya digunakan
sebagai standar brazilin.
Pengukuran Kadar Brazilin dengan
Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet
(SDUV)
Preparasi Sampel (Batubara et al. 2010b)
Simplisia kayu secang dan produk jamu
sebanyak 10 g, masing-masing diekstraksi
dengan cara maserasi menggunakan etanol
50% (100 mL) selama 24 jam pada suhu
kamar dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
Ekstrak
kemudian
disaring
dengan
menggunakan kertas saring Whatman No. 2.
Filtrat
yang
diperoleh
dipekatkan
menggunakan penguap putar.
Preparasi Standar
Standar brazilin dilarutkan dalam metanol
kemudian dibuat deret standar dengan
konsentrasi 5, 10, 15, 20, 30, dan 50 ppm.
Penentuan Kondisi Optimum Pengukuran
SDUV
Ekstrak etanol 50% kayu secang dan
produk jamu masing-masing ditimbang sekitar
20 mg, kemudian dilarutkan dengan metanol
sampai homogen. Larutan yang terbentuk
ditera dalam labu takar 25 mL kemudian
diencerkan 10 kali menggunakan metanol.
Pelarutan sampel ini akan menghasilkan
larutan sampel dengan konsentrasi 80 ppm.
Larutan sampel 80 ppm dan larutan standar 30
ppm selanjutnya digunakan dalam penentuan
kondisi optimum pengukuran SDUV.
Parameter kondisi optimum pada metode
SDUV antara lain kecepatan pemayaran (scan
speed), orde turunan (derivative order),
panjang gelombang maksimum, penghalusan
(smoothing), dan jumlah jendela (number of
point). Kecepatan pemayaran diatur pada
berbagai kecepatan, yaitu 100, 200, 400, dan
800 nm/menit. Setelah diperoleh kecepatan
pemayaran optimum, ditentukan orde turunan
optimum. Orde turunan optimum dan panjang
gelombang maksimum, terlebih dahulu

3

ditentukan dengan mengukur serapan pada
panjang
gelombang
200 750
nm
menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Spektrum
standar
dan
sampel
lalu
digabungkan ke dalam satu tampilan (overlay)
dan diturunkan dengan orde turunan 1, 2, dan
3, untuk mendapatkan orde turunan optimum.
Tahap selanjutnya ialah penentuan orde
penghalusan dan jumlah jendela. Pada
penelitian,
kedua
parameter
tersebut
ditentukan dengan cara mengolah data
spektrum deret standar menggunakan program
Hitachi UV Solutions. Spektrum diolah pada
kondisi orde penghalusan 2, 3, dan 4, dengan
setiap orde penghalusan diikuti pengaturan
jumlah jendela pada kisaran nilai 5, 7, 9, 11,
13, …, 75. Parameter terbaik ditentukan
berdasarkan spektrum yang dihasilkan.
Penentuan Kurva Standar dari DL, DS, dan
DZ yang Terbaik
Serapan larutan standar 5, 10, 15, 20, 30,
dan 50 ppm dilakukan dengan menggunakan
nilai parameter yang optimum. Amplitudo DS,
DL dan DZ dari spektrum standar ditentukan.
Amplitudo yang digunakan ialah yang sesuai
untuk sampel dan standar berdasarkan
spektrum turunannya. Kurva standar dari
amplitudo
tersebut
digunakan
untuk
penentuan kadar brazilin selanjutnya.
Penentuan Kondisi Optimum Preparasi
Sampel
Pada tahap ini sampel (kayu secang dan
produk jamu) sebanyak 0.1 g dilarutkan dalam
pelarut kemudian disonikasi dalam rentang
waktu tertentu. Larutan selanjutnya disaring
dengan kertas saring Whatman no.2, dan
ditera di dalam labu takar 50 mL. Larutan
diukur kadar brazilinnya menggunakan
metode SDUV pada kondisi pengukuran
optimum.
Pada tahap ini kondisi optimum preparasi
sampel ditentukan dari 3 parameter yaitu jenis
pelarut yang digunakan, waktu sonikasi, dan
volume pelarut yang digunakan. Parameter
yang menghasilkan nilai kadar brazilin terbaik
merupakan kondisi optimum preparasi
sampel. Rancangan penentuan kondisi
optimum preparasi yang dilakukan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Penentuan Kadar Brazilin dalam Sampel
Larutan sampel masing-masing diukur
pada kondisi parameter (jenis pelarut, volume
pelarut, waktu sonikasi, kecepatan pemayaran,
orde turunan, orde penghalusan, jumlah
jendela, dan panjang gelombang) yang

optimum. Kadar atau konsentrasi brazilin
dalam sampel ditentukan dengan cara
memasukkan nilai amplitudo sampel ke dalam
persamaan garis kurva standar. Analisis
sampel dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
Tabel 1 Kondisi preparasi sampel yang
digunakan untuk optimasi
Kondisi

Pelarut

Waktu
Sonikasi
(menit)

Volume
Pelarut
(mL)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Metanol
Metanol
Metanol
Metanol
Etanol
Etanol
Etanol
Etanol
Air
Air
Air
Air

5
5
30
30
5
5
30
30
5
5
30
30

5
30
5
30
5
30
5
30
5
30
5
30

Pengukuran Kadar Brazilin dengan
Metode KCKT
Preparasi Sampel (Batubara et al. 2010b)
Ekstrak etanol kayu secang dan produk
jamu, masing-masing ditimbang sebanyak 30
mg kemudian dilarutkan menggunakan
metanol dalam labu takar 25 mL. Larutan
dibuat sebanyak dua kali ulangan.
Analisis Kadar Brazilin (Batubara et al.
2010b)
Sampel dan standar yang akan diukur
menggunakan KCKT disaring terlebih dahulu
menggunakan saringan membrane 0.45 µm
sebelum diinjeksi ke dalam perangkat KCKT.
Analisis KCKT dilakukan dengan kondisi fase
terbalik, yaitu dengan menggunakan kolom
Inertsil ODS-3 (Shimadzu 15 mm i.d.
4.6
mm) yang dipantau pada panjang gelombang
280 nm. Sistem elusi pelarut yang digunakan
ialah sistem gradien dengan dengan rentang
konsentrasi 5 % pada awal elusi sampai 50%
pelarut pada akhir elusi, dengan waktu elusi
selama 20 menit. Pelarut yang digunakan ialah
metanol dan larutan asam trifluoroasetat
0.05% dengan laju alir 1 mL/menit serta
injeksi sampel sebanyak 10 µL (Batubara et
al. 2010b).

4

Perbandingan Metode KCKT dengan
SDUV
Kadar brazilin yang diperoleh dari masingmasing metode dibandindingkan dengan
dengan perhitungan statistika menggunakan
uji-F dan uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Senyawa Brazilin
Ekstrak metanol kayu secang yang sudah
dipartisi
dengan
n-heksana
diperoleh
sebanyak 6.10% dari bobot awalnya. Ekstrak
tersebut
kemudian
dipartisi
dengan
menggunakan kromatografi kolom, sehingga
diproleh eluat-eluat hasil partisi. Eluat
tersebut kemudian di uji menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLTP) untuk
menentukan fraksi
yang mengandung
senyawa brazilin. Menurut Herdiana (2010)
senyawa brazilin akan memberikan warna biru
berpendar saat berada di bawah sinar UV 366
nm oleh karena itu eluat yang memiliki spot
berpendar biru di bawah sinar UV 366 nm

dicampurkan, sehingga diperolehlah fraksi 1
sebanyak 32.87%, Fraksi 1 tersebut kembali
dimurnikan dengan menggunakan KLTP.
Pada tahap ini spot yang berpendar biru di
bawah sinar UV 366 nm diambil dan
dipisahkan. Hasil KLTP yang didapat ialah
sebanyak 11.72%. Ekstrak dari spot pada
KLTP ini selanjutnya digunakan sebagai
standar brazilin untuk analisis-analisis
selanjutnya. Data dan perhitungan proses
isolasi dapat dilihat pada Lampiran 2.
Penentuan Kadar Brazilin dengan
Menggunakan Metode SDUV
Penentuan Kondisi Optimum Pengukuran
Tahap pertama yang dilakukan dalam
penentuan kondisi optimum pengukuran ialah
penentuan kecepatan pemayaran. Pada
penentuan kecepatan pemayaran, suatu
standar
brazilin
diukur
menggunakan
spektrofotometer
dengan
kecepatan
pemayaran 100, 200, 400, dan 800 nm/menit
pada daerah dengan panjang gelombang 200750 nm.

(a)

(b)

(c)

Gambar 1 Spektrum serapan standar brazilin turunan ke-0 (a), ke-1 (b), dan ke-2 (c) pada berbagai
kecepatan pemayaran
Keterangan: (

) 100nm/menit, (

) 200 nm/menit, (

) 400 nm/menit, (

) 800 nm/menit

5

Spektrum yang diperoleh dari setiap
pengukuran ditampilkan dalam satu kurva
agar diketahui perbedaannya. Spektrum
standar pada berbagai kecepatan pemayaran
dan turunannya ditunjukkan oleh Gambar 1.
Pada spektrum turunan ke-0 (Gambar 1a),
kecepatan
pemayaran
terlihat
tidak
memberikan perbedaan yang nyata dalam
pengukuran standar brazilin 30 ppm, akan
tetapi saat spektrum diturunkan dengan orde
penurunan 1 dan 2 (Gambar 1b dan 1c),
terlihat perbedaan yang cukup nyata untuk
setiap kecepatan pemayaran yang dilakukan.
Pada spektrum derivat satu (Gambar 1b) dan
derivat dua (Gambar 1c) tampak jelas bahwa
kecepatan
pemayaran
400
nm/menit
memberikan spektrum dengan puncak yang
lebih tajam dan dengan daerah puncak yang
tidak terlalu lebar dibandingkan spektrum
yang dihasilkan pada kecepatan pemayaran
100, 200, dan 800 nm/menit. Puncak yang
melebar tidak diharapkan karena bentuk
spektrum tersebut menyebabkan nilai yang
diperoleh menjadi tidak akurat (Rachmanti
2006).
Berdasarkan hasil tersebut, kecepatan
pemayaran 400 nm/menit baik untuk
digunakan dalam pengukuran kadar brazilin.
Selanjutnya dilakukan pengukuran sederet
standar dengan menggunakan kecepatan
pemayaran 400 nm/menit. Spektrum yang
dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 2a. Pada
Gambar 2a terlihat bahwa spektrum deret
standar yang dihasilkan kurang baik karena
tidak stabilnya pembacaan yang dilakukan
oleh spektrofotometer sehingga setiap
konsentrasi standar menghasilkan bentuk
spektrum yang berbeda, karena seharusnya
setiap standar menghasilkan bentuk spektrum
yang sama pada setiap tingkat konsentrasi,
adapun perbedaan yang ada seharusnya pada
tingkat intensitas absorbans yang dihasilkan
oleh perbedaan konsentrasi standar. Hal ini
menyebabkan spektrum yang dihasilkan tidak
dapat digunakan lebih lanjut untuk
pengukuran karena akan menghasilkan nilai
linearitas yang kurang baik pada kurva deret
standar. Oleh karena itu untuk mengatasi hal
tersebut selanjutnya dilakukan pembacaan
deret standar dengan menggunakan kecepatan
pemayaran 200 nm/menit.
Kecepatan 200 nm/menit dipilih karena
berdasarkan hasil pada Gambar 1b dan 1c
diketahui bahwa spektrum yang dihasilkan
lebih baik daripada spektrum pada kecepatan
100 nm/menit. Spektrum pada kecepatan 800
nm/menit sebenarnya menghasilkan spektrum
yang sama baiknya dengan kecepatan 200

nm/menit, namun tidak dipilih karena
dikhawatirkan akan menghasilkan pembacaan
yang tidak stabil dan kurang akurat, hal ini
disebabkan pembacaan yang dilakukan sangat
cepat. Selain itu menurut Gore (2000),
pemayaran yang terlalu cepat dapat
menyebabkan perubahan yang serius terhadap
puncak respons yang diamati dengan
hilangnya intensitas puncak dan mengaburkan
detil halus dalam sinyal sedangkan pemayaran
yang terlalu lambat dapat memungkinkan
terjadinya perubahan fisik maupun kimiawi
pada sampel karena adanya jeda waktu.
Spektrum yang diperoleh pada kecepatan 200
nm/menit ditunjukkan oleh Gambar 2b. Pada
gambar tersebut tampak jelas bahwa spektrum
yang dihasilkan jauh lebih baik dan lebih
stabil dibandingkan spektrum deret standar
pada 400 nm/menit, sehingga dipilihlah
kecepatan pemayaran 200 nm/menit sebagai
kecepatan pemayaran yang optimum untuk
pengukuran kadar brazilin dalam sampel.

(a)

(b)

Gambar 2

Spektrum deret standar pada
kecepatan
pemayaran
400
nm/menit (a) dan 200 nm/menit
(b)

Keterangan : ( ) 5 ppm, ( ) 10 ppm, ( ) 15
ppm, ( ) 20 ppm, ( ) 30 ppm,
dan ( ) 50 ppm.
Parameter selanjutnya yang ditentukan
ialah orde turunan dan panjang gelombang
maksimum. Penentuan dilakukan dengan cara
mengukur standar dan sampel, kemudian
menyatukan spektrum yang dihasilkan oleh
standar dan sampel dalam satu tampilan

6

(overlay). Orde derivatif dan panjang
gelombang optimum ditentukan saat spektrum
standar dan spektrum sampel menunjukkan
puncak yang sama dan saling berhimpitan
pada panjang gelombang tertentu.
Gambar 3 dan Gambar 4 merupakan hasil
overlay spektrum standar dan spektrum
sampel pada berbagai orde derivat. Gambar
tersebut dijadikan sebagai acuan dalam
menentukan orde derivat dan panjang
gelombang maksimum. Sampel kayu secang
menunjukkan adanya puncak yang sama dan
berhimpit pada orde derivat ke-2 dengan
panjang gelombang maksimum sampel kayu
secang terletak pada 231 nm, dan sampel
produk jamu juga menunjukkan puncak yang
berimpitan dan sama dengan puncak standar
pada overlay spektrum derivat ke-2, tetapi
dengan panjang gelombang maksimum untuk
sampel produk jamu terletak pada 232 nm.
Puncak yang sama dan berhimpitan antara
sampel dan standar menunjukkan sudah
tereleminasinya efek matriks pada sampel,
dan puncak yang dihasilkan oleh sampel
diduga merupakan puncak dari senyawa
brazilin, karena sama (identik) dengan puncak
pada spektrum standar yang diperoleh.
Parameter yang ditentukan selanjutnya
ialah penentuan orde penghalusan dan jumlah
jendela (number of point). Orde penghalusan
dan jumlah jendela perlu ditentukan untuk

menghaluskan spektrum turunan yang
dihasilkan tanpa mengurangi informasi
spektral sehingga dapat meminimalisasi nilai
noise yang dihasilkan dari proses derivatisasi
(Ojeda & Rojas 2004) selain itu kedua
parameter tersebut perlu ditentukan nilai
optimumnya karena jika terlalu banyak
penghalusan akan menyebabkan resolusi dan
intensitas sinyal berkurang, sedangkan
penghalusan yang terlalu sedikit dapat
menyebabkan noise pada spektrum masih
tersisa (Brereton 2003).
Teknik penghalusan spektrum yang
digunakan pada penelitian ini ialah teknik
Savitsky-Golay. Teknik ini terbukti dapat
menurunkan noise yang terdapat dalam
spektrum, namun semakin tinggi jumlah
jendela yang digunakan dapat mengurangi
resolusi spektrum yang dihasilkan (Brereton
2003). Spektrum yang dihasilkan pada setiap
kondisi penghalusan, diolah datanya pada
gelombang maksimum untuk setiap sampel
kemudian dibuat kurva standarnya serta
ditentukan regresi linear dan nilai koefisien
korelasinya (R2). Kondisi penghalusan yang
memiliki nilai R2 terbaik, digunakan sebagai
kondisi
penghalusan
optimum
pada
pengukuran sampel karena pada kondisi
tersebut, noise yang terdapat dalam spektrum
deret standar dianggap sudah mengalami
proses pengurangan yang paling maksimum.

(a)

(b)

(c)

(d)

231 nm

Gambar 3 Spektrum serapan standar brazilin (
(b), ke-2 (c), dan ke-3 (d).

) dan kayu secang (

) pada turunan ke-0 (a), ke-1

7

(a)

(b)

(c)

(d)

232 nm
Gambar 4 Spektrum serapan standar brazilin (
ke-1 (b), ke-2 (c), dan ke-3 (d).

) dan produk jamu (

) pada turunan ke-0 (a),

Tabel 2 Data hasil pengukuran deret standar pada kondisi optimum
Amplitudo (DZ)
[Brazilin]
Kayu
Secang
Produk Jamu
(ppm)
(2.4.11)
(2.4.19)
5
0.00048
0.00041
10
0.00093
0.00079
15
0.00132
0.00105
20
0.00165
0.00134
30
0.00258
0.00223
50
0.00502
0.00419

0.006

Amplitudo

Amplitudo

0.005

y = 0.00010x - 0.00017
R² = 0.98788

0.004
0.003

(a)

0.002
0.001
0
0

20

40

[Brazilin] (ppm)

60

0.0045
0.004
0.0035
0.003
0.0025
0.002
0.0015
0.001
0.0005
0

y = 0.00008x - 0.00015
R² = 0.98860

(b)

0

20
40
[Brazilin] (ppm)

Gambar 5 Kurva deret standar optimum sampel kayu secang (a) dan produk jamu (b)

60

8

Hasil penentuan persamaan linear dan nilai
koefisien korelasi pada setiap kondisi
penghalusan untuk sampel kayu secang dan
produk jamu menunjukkan bahwa kondisi
penghalusan paling optimum untuk kayu
secang ialah dengan orde penghalusan 4, dan
jumlah jendela sebanyak 11, sedangkan untuk
produk jamu ialah dengan orde penghalusan 4,
dan jumlah jendela sebanyak 19. Kondisi
optimum yang diperoleh digunakan untuk
mengukur
sederet
standar,
kemudian
ditentukan persamaan kurva linearnya, yang
selanjutnya digunakan untuk analisis brazilin
dalam sampel. Hasil pengukuran deret standar
untuk sampel kayu secang dan jamu yang
diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Gambar 5.
Jenis-jenis pengukuran amplitudo pada
spektrofotmetri derivatif yang sudah dikenal
ada 3 jenis yaitu DZ, DS, dan DL. DZ
merupakan amplitudo yang diukur dari tinggi
puncak yang dari garis dasar, DS merupakan
amplitudo yang diukur dari tinggi puncak
yang dihitung dari garis lurus antar puncak,
sedangkan DL merupakan amplitudo yang
diukur dari puncak rendah ke puncak tinggi
(Talsky 1994). Pada pembacaan spektrum
deret standar nilai amplitudo yang di baca
ialah DZ, hal ini dilakukan karena berdasarkan
Gambar 3 dan 4 puncak antara sampel dan
standar yang sama dan berimpitan hanya satu
puncak saja, sehingga untuk menentukan nilai
DS pada sampel tidak dapat dilakukan. Nilai
DL sebenarnya masih dapat ditentukan pada
sampel namun tidak digunakan karena
ketidaksesuaian antara spektrum sampel dan
standar.
Penentuan Kondisi Optimum Preparasi
Tahap yang dilakukan selanjutnya ialah
penentuan kondisi optimum preparasi sampel
yang mencakup 3 parameter yaitu jenis
pelarut, volume pelarut, dan waktu sonikasi.
Penentuan dilakukan dengan cara mengukur
kadar brazilin sampel pada 12 kondisi yang
berbeda dengan menggunakan kondisi
optimum
pengukuran
yang
diperoleh
sebelumnya. Kondisi preparasi yang paling
baik (optimum) dilihat berdasarkan kadar
brazilin yang diperoleh. Pengukuran dan
pengolahan data yang dilakukan terhadap
sampel kayu secang dan produk jamu dapat
dilihat pada Tabel 3. Konsentrasi brazilin pada
Tabel 3 menunjukkan banyaknya brazilin
(mg) dalam setiap gram sampel. Kondisi
preparasi optimum untuk sampel kayu secang
ialah kondisi 1, sedangkan untuk sampel
produk jamu ialah kondisi 8, hal ini diperoleh

berdasarkan Tabel 3, yaitu kondisi yang
menunjukkan nilai kadar brazilin yang
terbesar untuk setiap sampel. Nilai kadar
brazilin yang terbesar tersebut menandakan
pada kondisi tersebut brazilin pada sampel
sudah terekstraksi secara maksimum dan
dapat dibaca secara optimum oleh metode
SDUV dibandingkan dengan kondisi lainnya,
sedangkan nilai negatif pada Tabel 3
menandakan brazilin tidak dapat terdeteksi
oleh Metode SDUV yang digunakan, bukan
berarti brazilin tidak terekstraksi sama sekali
pada kondisi tersebut. Hal ini diduga karena
pengaruh matriks yang menyebabkan brazilin
tidak dapat terdekteksi, atau dapat terjadi
karena kadar brazilin yang terlalu rendah
sehingga tidak dapat terdeteksi oleh metode
SDUV.
Tabel 3 Kadar brazilin yang dihasilkan pada
berbagai kondisi preparasi
[Brazilin] (mg/gram)
Kondisi
Secang
Produk Jamu
1

2.7027

0.9766

2

1.8797

-19.5413

3

2.1905

2.3849

4

1.3711

5.1746

5

1.8904

0.8085

6

2.2099

-2.3417

7

2.1978

-0.6427

8

2.5234

6.6044

9

1.7341

1.2887

10

1.6473

2.7419

11

1.6098

2.1104

12

1.6275

1.2887

Analisis Kadar Brazilin menggunakan
Metode SDUV
Penentuan kadar brazilin menggunakan
metode SDUV dilakukan pada kondisi
optimum yang telah ditentukan, secara
keseluruhan kondisi optimum tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4. Penentuan kadar brazilin
dilakukan dengan cara memasukkan nilai
amplitudo yang diperoleh dari spektrum
sampel setelah diukur dan diolah pada kondisi
optimum ke dalam persamaan regresi linear Y
= 0.00010X – 0.00017 untuk sampel kayu
secang, sedangkan untuk sampel produk jamu
digunakan persamaan regresi linear Y =
0.00008X – 0.00015. Masing-masing sampel
dilakukan pengukuran sebanyak tiga kali
ulangan.

9

Tabel 4 Kondisi optimum untuk setiap sampel
Kayu
Produk
Parameter
Secang
Jamu
Kecepatan Pemayaran
200
200
(nm/menit)
Orde Turunan
2
2
Panjang Gelombang
231
232
Maks (nm)
Orde Penghalusan
4
4
Jumlah Jendela

11

19

Jenis Pelarut

Metanol

Etanol

Waktu Sonikasi (Menit)

5

30

Volume Pelarut (mL)

5

30

Hasil perhitungan dan pengolahan data
yang dilakukan dengan Metode SDUV
menunjukkan
bahwa
kayu
secang
mengandung brazilin dengan kadar sebanyak
5.4091 mg/gram, sedangkan dalam produk
jamu kadar brazilin yang terukur ialah bernilai
-5.9585 mg/gram. Nilai negatif pada produk
jamu menandakan pada produk jamu brazilin
tidak terdeteksi dengan baik, seharusnya pada
pengukuran terdeteksi sesuai dengan pada
penentuan kondisi optimum preparasi yang
menghasilkan nilai positif, tetapi pada
pengukuran yang dilakukan kembali nilainya
menjadi negatif, hal ini membuktikan bahwa
metode SDUV kurang baik dan memiliki
reprodusibilitas yang buruk untuk analisis
senyawa brazilin dalam produk jamu.
Penentuan Kadar Brazilin menggunakan
Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT)
Penentuan
kadar
brazilin
dengan
menggunakan metode KCKT sebagai metode
referensi dilakukan sebagai pembanding
terhadap metode SDUV yang dikembangkan
dalam penelitian ini. Metode KCKT yang
dilakukan mengacu pada metode yang
dilakukan Batubara et al. (2010b). Pada
penentuan brazilin dengan metode KCKT
hanya digunakan satu konsentrasi standar
brazilin,
sehingga
untuk
menentukan
konsentrasi brazilin, luas puncak yang diduga
brazilin pada sampel dibagi dengan luas
puncak standar kemudian dikalikan dengan
konsentrasi standar. Hasil penentuan kadar
brazilin dengan metode KCKT pada sampel
kayu secang yaitu sebanyak 2.2889 mg/gram,

sedangkan untuk produk jamu sebesar 0.7575
mg/gram, hasil tesebut merupakan rerata dari
pengukuran yang dilakukan dengan dua kali
pengulangan.
Perbandingan Hasil Metode SDUV dan
Metode KCKT
Secara teknis pengerjaan analisis dengan
metode SDUV yang dilakukan lebih cepat dan
lebih murah dibandingkan metode KCKT
yang menggunakan banyak pelarut dan
membutuhkan waktu lama untuk analisisnya.
Selain itu juga alat yang digunakan pada
metode SDUV lebih sederhana dan tidak
rumit dibandingkan dengan metode KCKT.
Namun demikian hasil kadar brazilin dalam
sampel yang diperoleh dari kedua metode
sangat berbeda. Hasil penentuan kadar
brazilin dengan metode SDUV dan metode
KCKT dalam sampel kayu secang dan produk
jamu dapat dibedakan sesuai dengan Tabel 5.
Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
metode SDUV memiliki keterulangan yang
lebih baik dibandingkan metode KCKT, hal
ini buktikan oleh nilai persen standar deviasi
relatif (%SDR) metode SDUV yang lebih
kecil dibandingkan %RSD metode KCKT
pada setiap pengukuran sampel. Perbedaan
hasil antara metode SDUV dan metode KCKT
selanjutnya
dibandingkan
dengan
menggunakan uji statistika agar perbedaan
yang ada dapat lebih dijelaskan secara teoritis
dan lebih dipercaya. Uji analisis yang
dilakukan antara lain uji-F dan uji-t. Uji-F
merupakan uji statistika yang digunakan
dalam membandingkan dua varians agar dapat
diketahui apakah perbedaan antara kedua
varians tersebut terlalu besar untuk dijelaskan
oleh galat yang tidak dapat ditentukan,
sedangkan uji-t merupakan uji statistik yang
dilakukan dalam membandingkan dua nilai
rerata hasil percobaan (Harvey 2000). Uji-t
yang dilakukan ialah uji-t untuk data yang
tidak berpasangan (Unpaired t-test).
Perhitungan untuk uji-F dan uji-t pada
selang kepercayaan 95% terdapat pada
Lampiran 3. Uji-F yang dilakukan pada
metode SDUV dan metode KCKT untuk
analisis brazilin pada sampel simplisia kayu
secang dan produk jamu menghasilkan nilai
Fhitung yang lebih rendah dari Ftabel, yang
berarti varians pengukuran brazilin dengan
metode SDUV dan KCKT tidak berbeda
secara nyata pada selang kepercayaan 95%.

10

Tabel 5 Hasil penentuan kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamu dengan menggunakan
metode SDUV dan KCKT
Parameter
Sampel
Metode
Rerata [Brazilin]
Standar
%SDR
(mg/gram)
Deviasi
Kayu Secang
Produk Jamu

SDUV
KCKT
SDUV
KCKT

Hasil uji-t terhadap analisis brazilin baik
pada sampel kayu secang maupun sampel
produk jamu, menghasilkan nilai thitung yang
lebih besar dibandingkan nilai ttabel-nya,
sehingga dapat disimpulkan bahwa metode
SDUV dan metode KCKT menunjukkan
rerata hasil analisis kadar brazilin yang
berbeda secara nyata baik di dalam kayu
secang maupun produk jamu pada selang
kepercayaan 95%. Menurut Rachmanti (2006)
perbedaan secara nyata tersebut, menunjukkan
bahwa efek matriks belum dapat diatasi oleh
metode SDUV.
Pengaruh matriks pada analisis brazilin
dalam sampel kayu secang dengan metode
SDUV menyebabkan kadar brazilin yang
terbaca lebih besar dibandingkan metode
KCKT, sedangkan pada sampel produk jamu
efek matriks menyebabkan tidak terukurnya
brazilin dalam produk jamu dengan
menggunakan metode SDUV. Selain itu
perbedaan yang nyata antara kedua metode
menunjukkan bahwa metode SDUV belum
bisa dijadikan sebagai metode alternatif untuk
pengukuran kadar brazilin karena keakuratan
dan hasil dari metode ini masih belum dapat
dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu perlu dilakukan suatu cara
untuk menanggulangi efek matriks pada
metode SDUV, agar dapat menghasilkan hasil
yang tidak berbeda nyata dengan KCKT.
Hasil SDUV pada kayu secang memang
memberikan hasil yang berbeda nyata dengan
metode KCKT, namun jika dapat ditemukan
korelasi kadar brazilin berdasarkan hasil
analisisnya menggunakan metode SDUV
dengan bioaktivtasnya, metode ini masih
dapat digunakan untuk analisis brazilin dalam
kayu secang.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Metode SDUV telah dikembangkan dan
dapat digunakan untuk menentukan kadar
brazilin di dalam sampel kayu secang, namun

5.4091
2.2889
-5.9585
0.7575

0.2910
0.1366
0.9579
0.1244

5.38
5.97
16.08
16.42

metode ini belum dapat diterapkan untuk
sampel produk jamu. Metode SDUV yang
dikembangkan lebih murah, dan mudah
dibandingkan metode KCKT. Namun
demikian, metode ini memberikan hasil yang
berbeda nyata secara statistika dengan metode
KCKT berdasarkan uji-t pada selang
kepercayaan 95%, sehingga kebenaran dan
keakuratan metode ini masih diragukan.
Saran
Perlu ditemukannya suatu cara untuk
memperbaiki hasil metode SDUV agar hasil
yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan
metode
KCKT
yaitu
dengan
cara
memodifikasi cara ekstraksi senyawa brazilin
pada sampelnya untuk mengurangi efek
matriks yang masih menggangu. Selain itu,
perlu dilakukan validasi terhadap metode ini
sebelum metode ini digunakan dalam analasis
kuantitatif brazilin untuk menguji apakah
metode ini memenui syarat untuk dapat
dijadikan suatu metode analisis kuantitatif
yang layak digunakan.

DAFTAR PUSTAKA
Alpdogan G, Karabina K, Sungur S. 2002.
Derivative spectrophotometric determination of caffeine in some beverages. Turk
J Chem 26:295-302.
Altinoz S, Toptan S. 2002. Determination of
tartrazine and ponceau-4R in various food
samples by Vierordt’s method and ratio
spectra
first-order
derivative
UV
spectrophometry. J Food Composition &
Analysis 15:667-683.
Aydogmus Z, Cetin SM, Ozgur MU. 2002.
Determination of ascorbic acid in
vegetables by derivative spectrophotometry. Turk J Chem 26:697-704.
Badami S, Moorkoth S, Suresh B. 2004.
Caesalpinia sappan, a medicinal and dye

11

yielding plant.
3(2):75-82.

Natl

Prod

Radiance

Batubara I, Mitsunaga T, Ohashi H. 2010a.
Brazilin from Caesalpinia sappan wood as
an antiacne. J Wood Sci 56:77-81.
Batubara I, Mitsunaga T, Rafi M, Sa’diah S,
Zaim MA, Indariani S. 2010b. Brazilin
content, antioxidative and lipase inhibition
effects of sappanwood (Caesalpinia
sappan) from Indonesia. J Chem & Chem
Eng 4(10):50-55.
Batubara I, Rafi M, Darusman LK. 2005.
Estimasi kandungan kurkumin pada
sediaan
herbal
komersial
secara
spektrofotometri derivatif. J Sains Kim
9(1):28-34.
Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data
Analysis for The Laboratory and Chemical
Plant. West Sussex: John Wiley & Sons
Ltd.
Gattelier P, Kondjoyan A, Portanguen S,
Greve E, Yoon K, Sante-Lhoutellier v.
2009. Determination of aromatic amino
acid content in cooked meat by derivative
spectrophotometry:
implication
for
nutritional quality of meat. Food Chem
114:1074-1078.
Gore MG. 2000. Spectrophotometry and
Spectrofluorimetry. New York: Oxford
University Press.
Hangoluan BYM. 2011. Pengembangan
metode isolasi brazilin dari kayu secang
(Caesalpinia sappan) [skripsi]. Bogor:
Fakultas
Matematika
dan
Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Harvey D. 2000. Modern Analytical
Chemistry. New York: McGraw Hill.
Herdiana M. 2010. Analisis sidik jari kayu
secang (Caesalpinia sappan L.) dengan
kromatografi lapis tipis [skripsi]. Bogor:
Fakultas
Matematika
dan
Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

Kumar PR, Krishna MM, Prakash PB, Kumar
BA, Madhusudhan P. 2006. Derivative
spectrophotometric
estimation
of
ondansetron and paracetamol. e-J Chem
3(12):134-136.
Kuo TL, Lin DL, Liu RH, Moriya F,
Hashimoto Y. 2001. Spectra interference
between diquat and paraquat by second
derivative spectrophotometry. Forensic Sci
Int 121:134-139.
Ojeda CB, Rojas FS. 2004. Recent
developments in derivative ultraviolet/
visible absorption spectrophotometry [ulas
balik]. Anal Chim Acta 518:1-24.
Pawar CR, Langde AD, Surana SJ. 2008.
Phytochemical and pharmacological aspect
of Caesalpinia sappan. J Pharm Res 1:131138.
Rachmanti WD. 2006. Metode cepat untuk
kuantifikasi reserpin dalam obat dan
ekstrak Rauwolfia serpentina secara
spektrofotometri
derivatif
ultraviolet
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Ren L, Yang X, Wang G, Zhang H, Zhao L,
Mi Z. 2011. Inhibition effect of brazilin to
human bladder cancer cell line T24. World
Academy of Science, Eng and Technol
60:215-219.
Rizk M, Ibrahim F, Hefnawy M, Nasr JJ.
2006.
Fourth
order
derivative
spectrophotometric determination of benzyl
alcohol in piroxicam injections. J Chinese
Chem Soc 53:767-772.
Sriphong L, Chaidedgumjorn A, Chaisuroj K.
2009.
Derivative
spectrophotometry
applied to determination of triprolidine
hydrochloride
and
pseudoephedrine
hydrochloride in tablets and dissolution
testing. World Academy of Science, Eng &
Technology 55:573-577.
Talsky G. 1994. Derivative Spectrophotometry-Low and Higher Order. Weinheim:
Verlagsgesellschaft mbH.

LAMPIRAN

13

Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Standar Brazilin, Kayu Secang
(Caesalpinia sappan L.), dan Produk Jamu

Analisis
Kuantitatif

Metode Spektrofotometri
Derivatif UV-Vis (SDUV)

Metode Rujukan,
Menggunakan KCKT

Tahap-tahap
Analisis
Preparasi Standard dan Sampel

Penentuan Kondisi Optimum
Pengukuran (Kecepatan
Penyapuan. Orde Turunan,
Penghalusan, Jumlah Jendela,
dan Penentuan Kurva standar
dari DZ, DL, dan DS)

Tahap-tahap
Analisis

Preparasi Standard dan
Sampel

Penentuan Kurva Standar
Penentuan Kondisi Optimum
Preparasi Sampel

Penentuan Kadar Brazilin dalam
sampel pada kondisi optmum
menggunakan SDUV

Penentuan Kadar Brazilin
dalam sampel
menggunakan instrument
KCKT

Perbandingan Hasil dengan
Uji Statistika

14

Lampiran 2 Data hasil ekstraksi
Tahap Isolasi Brazilin

Kayu Secang
Fraksi 1
Hasil KLTP

Bobot Sampel
(g)
200.3727
2.9742
0.2124

Bobot Ekstrak
(g)
12.2261
0.9777
0.0249

%Ekstrak
6.10
32.87
11.72

Tahap Analisis Kandungan Brazilin (Preparasi Sampel)
Bobot Sampel (g)

Bobot Ekstrak (g)

%Rendemen

Kayu Secang

20.1383

1.6068

7.98

Produk Jamu

25.0047

3.1214

12.48

Contoh perhitungan :

15

Lampiran 3 Penentuan uji-F dan uji-t
Parameter

Sampel
Kayu Secang
Produk Jamu
Kayu Secang
Produk Jamu
Kayu Secang
Produk Jamu

Standar Deviasi
Rerata Kandungan
Brazilin (mg/gram)
Ulangan

Metode
KCKT
0.1366
0.1244
2.2889
0.7575
2x
2x

SDUV
0.2910
0.9579
5.4091
-5.9585
3x
3x

Uji-F
Kayu Secang
S

. 1
.53
.13
S
Nilai F-tabel pada selang kepercayaan 95% (F(0.05,2,1)) adalah 799.5,
maka
F-hitung < F-tabel
Sehingga dapat disimpulkan varians kedua metode tidak berbeda secara
nyata pada selang kepercayaan 95%

Produk Jamu
S

. 57
5 .
5
.1
S
Nilai F-tabel pada selang kepercayaan 95% (F(0.05,2,1)) adalah 799.5,
maka
F-hitung < F-tabel
Sehingga dapat disimpulkan varians kedua metode tidak berbeda secara
nyata pada selang kepercayaan 95%

Uji-t
Kayu Secang
Karena uji-F menunjukkan kedua metode tidak berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95% maka:
|̅ ̅ |
|5.
|
1 .
13. 531
1
1
1
1
Spool √
. 5 3 √
n
n
3
dimana,

Spool √

n 1 S
n

n 1 S
n

16

Spool √

(3-1) .

1

derajat bebas n

( -1) .13

3

. 5 3

-

n

3

3

Derajat bebas yang diperoleh adalah 3, sehingga nilai t-tabel yang
digunakan pada selang kepercayaan 95% ialah 3.18, maka
t-hitung > t-tabel
sehingga dapat disimpulkan kedua metode berbeda secara nyata pada
selang kepercayaan 95%
Produk Jamu
Karena uji-F menunjukkan kedua metode tidak berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95% maka:
|̅ ̅ |
| 5. 5 5 .7575|
.3 71
1
1
1
1
Spool √
.7 5 √
n
n
3
dimana,

Spool √



n 1 S
n
( - )

derajat bebas n

n 1 S
n
( - )
-

n

3

3

Derajat bebas yang diperoleh adalah 3, sehingga nilai t-tabel yang
digunakan pada selang kepercayaan 95% ialah 3.18, maka
t-hitung > t-tabel
sehingga dapat disimpulkan kedua metode berbeda secara nyata pada
selang kepercayaan 95%