Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian Studi Kasus Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat

ANALISIS EKONOMI DAN KELEMBAGAAN ALIH FUNGSI
LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN
STUDI KASUS DI KABUPATEN BEKASI,
JAWA BARAT

APIATNO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi dan
Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian Studi
Kasus Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

APIATNO
NRP H 351100014

ABTRACT
APIATNO. Economic and institutional analysis conversion land from fram to non
farm case study in Bekasi, WestJava. Regency. Supervised byEKA INTAN
KUMALA PUTRI dan SAHAT SIMANJUNTAK.
Bekasi rapid development resulted conversion of agricultural land is high.
The impact of agricultural sector GDP to decline in 1997-2002. This study aims
toanalyze : (1) rate of land conversion (2) relationship of land prices at a rate of
farmland conversion. (3) external factors and internal conversion, (4) impact of
conversion of land to rice production, farmers‟ income and food security, (5) role
of institutions at national, provincialand district in preventing conversion of
agricultural land. The analysis methods used includeanalysis : rate of land

conversion, land price linkage on conversion of agricultural land, the factors that
influence land conversion. Results showed the rate of shrinkage of wetland in
Bekasi year 2001-2011 is -4.27 % or 3,674 ha with an average of -0.43% per year
and began in 2003, most occurred in Sub-district of Cikarang Utara -4.20 per year,
Serang Baru of -1.99% per year and TambunSelatan of -1.92% per year.
Increasing the value of agricultural land caused farmers are tempted to sell his
farm. Internalfactorsisincome and education, externalfactors are GDP and
population growth rates. Land conversion decrease the production of new paddy
fields of rice and not be a solution. Reduced farmers' income of Rp. 2.78 million
per month.Bekasi will be a shortage of rice production amounted to 1,440 tonnes
by 2018 if there is a decrease in rice consumption by 1.5 percent. There is no
synergy institutional level Macro, Meso and Micro.

RINGKASAN
APIATNO. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah Ke
Penggunaan Non Pertanian studi
Barat.Dibimbing

oleh


EKA

Kasus

INTAN

Di Kabupaten

KUMALA

PUTRI

Bekasi,
dan

Jawa

SAHAT

SIMANJUNTAK.

Pembangunan Kabupaten Bekasi yang pesat mengakibatkan terjadinya
konversi lahan pertanian yang tinggi .Dampaknya PDRB sektor pertanian
cenderung menurun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1997-2002). Penelitian
ini bertujuan : (1) Menganalisis laju konversi lahan (2) Menganalisis keterkaitan
harga lahan dengan laju konversi lahan pertanian. (3) Menganalisis faktor-faktor
eksternal dan internal konversi lahan, (4) Analisis dampak konversi lahan
terhadap produksi padi, pendapatan petani, dan ketahanan pangan. (5)
Menganalisis peran kelembagaan tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten dalam
mencegah laju konversi lahan pertanian.
Metode Analisis yang digunakan meliputi : analisis laju konversi lahan,
analisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian, analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan. Hasil penelitian menunjukkan
laju penyusutan lahan sawah di Kabupaten Bekasi tahun2001-2011yaitu -4,27
persen atau sebesar 3.674 hektar dengan rata-rata -0,43% per tahun dan alih fungsi
lahan dimulai tahun 2003, terbesar terjadi di Kecamatan Cikarang Utara sebesar 4,20 per tahun,

Kecamatan Serang Baru sebesar -1,99% per tahun, dan

Kecamatan Tambun selatan sebesar -1,92% per tahun. Semakin meningkat nilai
lahan pertanian menyebabkan petani tergiur untuk menjual lahan sawahnya.

Faktor internal yang menyebabkan laju konversi lahan adalah pendapatan dan
pendidikan, sedangkan Faktor eksternal adalah PDRB dan laju pertumbuhan
penduduk. Konversi lahan berdampak pada menurunnya produksi padi dan
pencetakan sawah baru tidak menjadi solusi. Pendapatan petani berkurang Rp.
2.780.000 per bulan. Kabupaten Bekasi akan kekurangan produksi beras sebesar
1.440 ton tahun 2018 jika terja dipenurunan konsumsi beras sebesar 1,5 persen.
Kelembagaan yang ada tidak sinergi dari tingkat Makro, Meso dan Mikro.

Kata Kunci: laju konversi lahan, produksi padi, kelembagaan

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


ANALISIS EKONOMI DAN KELEMBAGAAN ALIH FUNGSI
LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN
STUDI KASUS DI KABUPATEN BEKASI,
JAWA BARAT

APIATNO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT


Judul Tesis

Nama
NRP

: Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan
Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian Studi Kasus Di
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat
: Apiatno
: H351100014

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri , M.Si
Ketua

Ir. Sahat Simanjuntak , M.Sc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal ujian : 23Desember2014

Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis

ini, dengan judul Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan
Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian Studi Kasus Di Bekasi, Jawa Barat
Penyelesaian penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
semua pihak. Sehubungan dengan hal tersebut maka perkenankan penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si selaku ketua komisi
pembimbing dan Ir. Sahat Simanjuntak, M.Sc selaku anggota komisi
pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran.
2. Bapak Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan
segenap dosen pengajar serta asisten pada program studi Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, atas bimbingan dan dukungannya.
3. Bapak Dr. (HC) H. Ahmad Heryawan, Lc selaku Gubernur Jawa Barat
2008-2013 dan 2013-2018 yang telah memfasilitasi dan memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program studi ini.
4. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bekasi atas dukungan,
bantuan dan ijin yang telah diberikan untuk pelaksanaan kegiatan studi ini.
5. Segenap staf Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang
telah membantu kelancaran penulis selama studi.
6. Rekan-rekan Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana IPB, kelas khusus tahun 2011 atas bantuan,

kerjasama dan dukungannya.
7. Kedua orangtua, mertua, istri dan anak-anakku serta kakak-kakak & adikadik, yang tiada henti berdoa, motivasi dan dukungannya.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu penulis baik secara moril maupun materiil dalam penyelesaian
tulisan ini.
Tentunya tesis ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, namun
penulis berharap tulisan ini mampu memberikan setetes manfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2015

Apiatno

RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Kampung Pekuning Desa Sukarahayu Kecamatan
Tambelang Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat. Penulis merupakan putra
kedua dari empat bersaudara dari pasangan bapak Sudiro (alm) dan ibu syadiah
(alm).
Pada tahun 1994 penulis lulus SMA Negeri Sukatani dan pada tahun yang
sama penulis melanjutkan kuliah di Institut Manajemen Koperasi Indonesia

(IKOPIN) Jatinangor Sumedang. Masuk Fakultas Manajemen Keuangan jurusan
Perbankan, dan menyelesaikan studi S1 pada tahun 2000. Kesempatan untuk
melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana IPB pada program Studi Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan diperoleh pada tahun 2011atas bantuan fasilitas dan
dukungan dari bapak Dr. (HC) H. Ahmad Heryawan , Lc selaku Gubernur Jawa
Barat 2008-2013 dan 2013-1018.
Sebelum melanjutkan program pasca sarjana, penulis bekerja di
perusahaan di perusahaan dalam negeri. Tahun 2010-2013 PT Sam Bina Mandiri.
Saat ini penulis sebagai anggota DPRD Kabupaten Sumedang periode 2014-2019.
Kemudian penulis juga menjadi bendahara umum Perhimpunan Petani dan
Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Provinsi Jawa Barat periode 2010-2015.

ix

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Tanah, Tanah Pertanian, dan Lahan
Konversi Lahan
Fungsi Lahan Utama
Harga Lahan
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Dampak Konversi Lahan
Laju Konversi Lahan
Kelembagaan Lahan

1
1
6
7
9
9
10
10
11
13
14
15
16
17
17

3 KERANGKA PEMIKIRAN

21

4 METODE PENELITIAN

24

Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
1. Laju Konversi
2. Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi
Lahan Pertanian
3. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
4. Analisis Dampak Konversi Lahan Terhadap Produksi Padi,
Pendapatan Petani dan Ketahanan Pangan
5. Analisis Kelembagaan Konversi Lahan
5 GAMBARAN UMUM
Lokasi Penelitian
Peningkatan Penduduk dan Jumlah Industri
Laju Penyusutan Per Kecamatan di Kabupaten Bekasi
Karakteristik Responden
Tingkat Usia
Tingkat Pendidikan
Jumlah Tanggungan
Tingkat Pendapatan

24
24
25
25
26
28
32
32
33
33
37
38
39
40
40
41
42

6 PEMBAHASAN
Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian
Analisis Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan
Pertanian
Analisis FAktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Alih Fungsi
Lahan
Analisis Faktor-faktor Internal yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi, Pendapatan
Petani , dan Ketahanan Pangan
Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi
Dampak Alih Fungsi Lahan terhadap Pendapatan Petani
Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bekasi
Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Bekasi
Implikasi Kebijakan

7 SIMPULAN DAN SARAN

43
43
44
46
48
51
51
53
55
56
64

65

Simpulan
Saran

65
66

DAFTAR PUSTAKA

67

LAMPIRAN

69

ix

DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7

Data yang diperlukan dalam penelitian
25
Indikator pengukuran model regresi faktor-faktor internal
29
Indikator pengukuran model regresi faktor-faktor eksternal
30
Kebijakan Kelembagaan Lahan
32
Peningkatan Penduduk Di Kabupaten Bekasi
37
Peningkatan Jumlah Industri dan Tenaga Kerja Di Kabupaten bekasi 38
Rata-rata Penyusutan Lahan Sawah Dari Tahun 2001-201
Per Kecamatan Di Kabupaten Bekasi
39
Tabel 8 Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi
43
Tabel 9 Nilai dan Pengaruh Harga Terhadap Laju Konversi Lahan Di 3
Kecamatan Dengan Laju Konversi Tertinggi
44
Tabel 10 Time Series Nilai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Pertanian
46
Tabel 11 Hasil Estimasi Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi
Perubahan Luas Lahan Sawah Kabupaten Bekasi
47
Tabel 12 Hasil Estimasi Faktor-faktor Internal yang Mempengaruhi Petani
Dalam Mengkonversi Lahan Pertanian
49
Tabel 13 Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat
Alih Fungsi Lahan Sawah
52
Tabel 14 Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat
Pembukaan Lahan Sawah Baru
52
Tabel 15 Rata-rata Perubahan Pendapatan per Bulan Akibat Alih Fungsi
Lahan Sawah ke Non Petanian
52
Tabel 16 Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan Pangan di
Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi Beras Tetap
53
Tabel 17 Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap
Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi
Beras Perkapita Menurun
55
Tabel 18 Analisis Konflik Kelembagaan dalam Pengurangan Laju
Konversi Lahan di Kabupaten Bekasi
56

1

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Dampak Konversi Lahan Terhadap Kesejahteraan Petani
Gambar 2 Kerangka Penelitian
Gambar 3 Perbandingan Tingkat Usia Responden
Gambar 4 Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden
Gambar 5 Perbandingan Jumlah Tanggungan Responden
Gambar 6 Perbandingan Pendapatan Responden
Gambar 7 Keterkaitan Harga Lahan dengan Laju Konversi Lahan

22
23
40
41
41
42
45

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Jumlah Penduduk di Kabupaten Bekasi
Lampiran 3 Jumlah Industri di Kabupaten Bekasi
Lampiran 4 Hasil Analisis Reggresi linier
Lampiran 5 Luas dan Penggunaan Lahan
Lampiran 6 Produksi Gabah Di Kabupaten Bekasi
Lampiran 7 Harga Gabah Kering Di Kabupaten Bekasi
Lampiran 8 Luas Lahan Pertanian Di Kabupaten Bekasi
Lampiran 9 Laju Penyusutan Lahan Sawah Per Kecamatan Di Bekasi
Lampiran 10 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi
Lampiran 11 Tata Guna Lahan Eksisting Kabupaten Bekasi Tahun 2011
Lampiran 12 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi 2011-2013

2

69
73
74
75
80
82
83
84
85
86
87
88

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertambahan penduduk yang terus meningkat di Indonesia berdampak
terhadap kebutuhan lahan terutama untuk permukiman dan infrastruktur. Desakan
kebutuhan tersebut berakibat terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan non
pertanian. Suswono dalam Bustanul (2012) menyatakan, Saat ini laju konversi
lahan pertanian mencapai 100 ribu hektar per tahun, sementara itu pencetakan
sawah baru hanya mencapai 40 ribu hektar per tahun.
Tingkat kebutuhan lahan untuk perumahan dan industri yang sangat cepat
karena pertumbuhan penduduk yang meningkat kembali dalam lima tahun terakhir
telah berkontribusi pada konversi lahan sawah sebesar 141 ribu hektar dalam 3
tahun pada periode 1999-2002 (Data Departemen Pertanian, 2005). Bahkan,
estimasi lain tentang alih fungsi lahan selama sepuluh tahun terakhir telah
mencapai 602,4 ribu hektar atau 60 ribu hektar per tahun (Data Badan Pertanahan
Nasional, 2005). Walaupun konsistensi data dari berbagai sumber yang berbeda
masih perlu diverifikasi kebenarannya, akan tetapi bukti kasat mata di lapangan
telah banyak menujukkan laju konversi lahan sawah produktif menjadi kegunaan
lain yang cukup pesat, mulai dari perumahan dan pemukiman, industri dan
kebutuhan perkotaan lain, sampai lapangan golf, terutama di daerah penyangga
kota-kota besar (Bustanul, 2012).
Ancaman nyata dari laju konversi lahan sawah produktif menjadi
kegunaan lain adalah penurunan produksi pangan, terutama pangan pokok seperti
beras. Produksi padi yang mencapai 65 juta ton gabah kering giling (GKG) pada
tahun 2011 (menurun 1,64 persen dibandingkan produksi tahun 2010) seharusnya
menjadi bukti kuat bahwa penurunan produksi pangan ini telah berada pada lampu
merah. Suka atau tidak suka, kinerja produksi beras sampai saat ini masih
menjadi

indikator

ekonomi

(dan

politik)

dalam

mengevaluasi

kinerja

pemerintahan. Di tingkat akademik, para ahli sebenarnya telah sepakat bahwa
kinerja ketahanan pangan jauh lebih bermakna dan lebih straregis dibandingkan
hanya indikator produksi fisik semata (Bustanul, 2012).
Laju konversi lahan juga terjadi di provinsi Jawa Barat, Berdasarkan
analisis dari Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Tingkat pertumbuhan penduduk

3

di Jawa Barat pada saat ini sebesar 1,6% per tahun,dan jumlah penduduk Jawa
Barat Tahun 2025 diperkirakan akan mencapai sebesar 52 jutajiwa. Konversi
lahan pertanian ke non-pertanian cukup tinggi yaitu rata-rata 2% per
tahunsehingga pada tahun 2025 luas lahan baku pertanian diperkirakan menjadi
seluas725.000.1 Salah satu penyumbang laju konversi di Provinsi Jawa Barat adalah
Kabupaten Bekasi.

Pesatnya

pembangunan

kota

metropolitan

seperti

Jakarta

sering

berdampak terhadap perluasan wilayah terutama untuk hunian di kota sekitarnya.
Kabupaten Bekasi yang merupakan salah satu kota yang ada di pinggiran
metropolitan Jakarta mendapatkan imbas dari kemajuan Ibu Kota Jakarta tersebut.
Peningkatan ekonomi yang sangat pesat membawa kesejahteraan tersendiri bagi
masyarakat Kabupaten Bekasi yang hampir sebagian bekerja di Jakarta atau di
industri-industri besar yang ada di Kabupaten Bekasi.
Perkembangan Kabupaten Bekasi yang cukup pesat membawa implikasi
terjadinya konversi lahan pertanian yang cukup tinggi. Dalam kurunwaktu 10
tahun (1997-2002), lahan pertanian di Kabupaten Bekasi 127.388 hektare tahun
1997, saat ini tinggal sekitar 54.000 hektare (diolah dari laporan Dinas
PertanianKabupaten Bekasi dalam Susilowati et al., 2000). Turunnya luas
lahanpertanian tersebut diikuti oleh penurunan produksi padi yang cukup
besar194.196 ton (24%), dari produksi 804.659 ton tahun 1992 menjadi 610.499
tontahun 2002 (diolah dari Kabupaten Bekasi dan Karawang dalam angka tahun
1992 dan tahun2002). Selain itu, dalam kurun waktu yang sama, pangsa sektor
pertanianterhadap PDRB di Kabupaten cenderung terus menurun. Hal ini
diperkirakanada kaitannya dengan konversi lahan pertanian.
Di

sisi

lain,

penduduk

yang

bermatapencaharian

pada

sektor

pertanianmasih cukup besar dan cenderung meningkat yaitu 12,99 persen tahun
1997dan 26,48 persen tahun 2003 (BPS Kabupaten Bekasi, 2004). Kondisi
inicukup menghawatirkan masa depan petani dan mengancam ketersediaan
pangan dan swasembadaberas. Melakukan konversi lahan harusnya lebih banyak
memperhatikan kepada (1) kesesuaian dengan tataruang, (2) dampak dan manfaat
ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang,dan (3) alternatif lain yang dapat
http://www.diperta.jabarprov.go.id/assets/data/arsip/RENSTRA_FINAL.pdf “Rencana Strategis
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2008-2013
1

4

ditempuh agar manfaatnya lebih besar daripada dampaknya (Pakpahan et al.,
1993). Bahkan, menurut Pakpahan danAnwar (1989), masalah konversi lahan
tidak hanya mencakup masalah teknisdan ekonomis, tetapi bersifat lebih luas
seperti hukum, politik,dan lingkungan. Kurangnya penegakan hukum dan
penerapan aturan yang lemah semakin mendorong terjadinya konversi lahan.
Politik yang lebih berpihak kepada faktor ekonomi, mengakibatkan perlindungan
lahan khususnya pertanian secara politik menjadi lemah.
Kabupaten Bekasi yangmerupakan sentra produksi pertanian potensial di
Provinsi Jawa Barat akanmengalami konversi lahan pertanian yang cukup besar,
diperkirakan akanberdampak terhadap perubahan kesejahteraan petani. Dengan
demikian,penelitian dampak konversi lahan pertanian terhadap perubahan
kesejahteraanpetani menjadi penting untuk dilakukan untuk memperkaya
informasi yangberkaitan dengan konversi lahan pertanian.
Selama ini proses alih fungsi lahan telah menimbulkan berbagai konflik di
masyarakat. Proses alih fungsi lahan, telah yang terjadi asimetris informasi harga
tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan
untuk mendasari suatu keputusan transaksi, atau harga tersebut tidak memenuhi
syarat sebagai Sufficient Statistik dalam alokasi sumberdaya tanah, artinya harga
yang ada saat ini belum mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan tersebut.
Sehingga harga yang di tetapkan dalam proses ini cenderung under valution.
Menurut Winoto (1995), dalam menilai harga lahan atau sumber daya alam,
harga yang ditetapkan seharusnya tidak hanya harga lahan dalam arti fisik saja
tapi juga dikaitkan dengan fungsi tanah tersebut dalam arti luas, biologi,
lingkungan dan lainnya, sehingga harga lahan tersebut seharusnya jauh lebih
tinggi dari harga pasar.
Dari aspek lingkungan, terutama konversi tanah dan air, lahan sawah
merupakan media konservasi tanah dan air yang terbaik (Pakpahan dan Anwar,
1989), karena sawah dapat menahan air permukaan dengan baik, sehingga erosai
tanah menjadi minimal. Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi
penduduk dan terbatasnya sumber air, maka ketersedian wilayah konservasi air
mutlak diperlukan. Hal semacam ini biasanya kurang di perhitungkan dalam

5

proses alih fungsi lahan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan besarnya investasi
yang telah dikeluarkan untuk menjadikan sawah seperti sekarang ini.
Proses alih fungsi lahan sawah, selain menghilangkan kesempatan
memperoduksi padi dan aktifitas pertanian lainnya, juga makin mengurangi
kesempatan usaha, yang pada gilirannya mengancam pendapatan rumah tangga
petani. Menurut Schultink (2005) areal sawah di pantai utara Jawa menghidupi
sekitar 60 persen penduduk wilayah ini. Pakpahan dan Anwar (1989) menyatakan
bahwa permasalahan tersebut tidak hanya mencakup teknik dan produksi
pertanian tetapi bersifat jauh lebih luas merambah ke permasalahan politik, hukum
dan lingkungan, apalagi bila dikaitkan hubungan manusia dengan tanah yang
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat “Relio-Magis” atau sesuatu yang bersifat
sakral. Sehingga permasalahan yang terkait dengan alih fungsi lahan, harus dilihat
dalam konteks yang lebih luas. Berkaitan dengan pengembangan wilayah, akibat
proses alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, harus dilihat dalam konsep
rakyat, waktu, ruang, biaya manfaat sosial serta distribusinya antar waktu, ruang
dan kelompok masyarakat (Winoto, 1995).
Selain itu karena eratnya sifat hubungan manusia dengan lahan, Winoto
(1995) melihat lahan sebagai sesuatu yang memberikan kesempatan kerja bagi
semua warga. Disamping itu setiap komunitas memperoleh peluang untuk turut
menikmati, bagaimanapun sedikitnya hasil lahan itu (Geertz, 1976). Lahan
mempunyai fungsi sosial yang besar dalam kebudayaan masyarakat desa, hal itu
tercermin dengan adanya kelembagaan sakap, sewa dan sejenisnya. Secara lebih
gamblang Pakpahan dan Anwar (1989) mengungkapkan :
..... kehidupan dipedesaan selaras dengan suasana lingkungan
sawah dimana kebersamaan dalam bertani padi terkait dengan
kebrsamaan dalam menggunakan air irigasi, mengendalikan
hama, sambat sinambat dan seterusnya, yang merupakan
pengalama sehar-hari. Suasana kebersamaan dalam sistem
sawah inilah yangmembuat penduduk pedesaan terbiasa dengan
learning by doing dalam memproduksi apa yang ekonom sebut
public goods. Tatanan sosial seperti ini akan hilang bersama
hilangnya sawah, dan ini akan mendatangkan masalah besar di
masa datang.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa alih fungsi lahan sawah
membawa dampak yang sangat besar terhadap lingkungan fisik dan sosial. Namun

6

karena berbagai pertimbangan alih fungsi lahan sawah sulit dihindari, maka dari
itu kegiatan ini perlu dikendalikan sehingga kerugian yang diakibatkannya bisa
diminimisasi. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan seserapa kebijakan antara
lain :
-

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 53 Tahun 1989
tentang Kawasan Industri.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 33 Tahun 1990
tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah
Untuk Perusahaan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993,
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 410-2261 Tanggal 22 Juli 1994 perihal Pencegahan
Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan
Non Pertanian
Walaupun sudah ada beberapa kebijakan di atas, kegiatan alih fungsi lahan pada
kawasan yang dilindungi, terutama sawah irigasi, tetap terjadi. Hasil penelitian
Sumaryanto, dkk (1995) menunjukan bahwa proses alihfungsi lahan cenderung
dilakukan tanpa suatu sistem perencanaan yang baik, dan terkesan akal-akalan, hal
itu terlihat dari praktek penelantaran sarana irigasi yang dilakukan pemilik lahan
agar dapat dilakukan alih fungsi. Selain itu penelantaran yang dilakukan investor
pengembang pemukiman dan mempermainkan masyarakat merupakan salah satu
upaya mendongkrak harga lahan. Biasanya investor membebaskan lahan dengan
harga yang murah dan membiarkannya dalam waktu yang lama, sampai harga
lahan meningkat baru dibangun perumahan atau uasaha lain dengan harga jual
yang mahal.
Di tingkat petani karena pola pewarisan dalam masyarakat, fragmentasi
lahan sawah terus berlangsung dari waktu ke waktu, sehingga penguasaan lahan
oleh petani semakin sempit dan tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Pada sisi lain, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, belum terlihat
adanya terobosan baru dalam hal teknologi pertanian, terutama yang terkait
dengan padi. Di tengah kepakuman pengembangan teknologi dan kelembagaan
pertanian tanaman pangan, menurut Nasution dan Winoto (1996), upaya

7

mempertahankan Jawa sebagai wilayah pertanian, khususnya penghasil beras,
harus diimbangi dengan kebijaksanaan pengaturan alih fungsi lahan pertanian
yang kondusif dengan tujuan pembanguanan nasional, tanpa harus mengorbankan
perkembangan sektor industri dan jasa. Untuk itu kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah perlu didukung oleh perangkat-perangkat kebijaksanaan yang
menjamin kesejahteraan petani yang tetap mengusahakan lahannya untuk tujuan
pertanian (Winoto dan Schultink, 1996). Oleh karena itu penelitian ini nantinya
akan mengkaji secara ekonomi dan kelembagaan tentang alih fungsi lahan yang
terjadi di Kabupaten Bekasi.
Perumusan Masalah
Keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang sangat luas secara
ekonomi, sosial, dan lingkungan.Oleh karena itu, hilangnya lahan sawah akibat
dikonversi ke penggunaan non pertanian akan mengurangi manfaat lahan tersebut.
Dalam kelompok besar, manfaat lahan sawah dapat dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, nilai penggunaan yang biasa pula disebut sebagai use values atau
personaluse values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan usaha tani yang
dilakukan dilahan sawah. Kedua, manfaat bawaan atau intrinsic values, yaitu
berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan
tujuan dari kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh pemilik lahan. Salah satu
dampak konversi lahan sawah yang sering menjadi sorotan masyarakat luas
adalah terganggunya ketahanan pangan. Dalam kaitan ini dampak konversi lahan
sawah terhadap masalah pangan lebih merugikan dibanding dampak faktor
lainnya seperti kekeringan, banjir,dan serangan hama/penyakit. Berbagai hasil
penelitian Badan Litbang Pertanian menunjukkan bahwa seluruh manfaat lahan
sawah tersebut di atas bernilai sekitar Rp,37,5 juta – Rp, 39,6 juta per hektar per
tahun. Dengan luas konversi sawah sekitar 188.000 hektar per tahun maka nilai
manfaat yang hilang akibat konversi lahan sawah mencapai Rp 8,67 triliun per
tahun atau setara dengan 3,05% APBN tahun 2000-2002. Lebih dari 60% nilai
manfaat tersebut bukan merupakan priced benefit, artinya, sebagian besar manfaat

8

yang hilanga kibat konversi lahan sawah merupakan manfaat yang dapat
dinikmati oleh masyarakat luas.2
Alih fungsi lahan sawah, secara ekonomi merupakan proses rasional yang
dilakukan petani, di tengah makin menyempitnya penguasaan lahan dan tidak
memadainya hasil dari kegiatan usaha tani yang dilaksanakan di atasnya serta
desakan sektor industri dan jasa di sekelilingnya. Karenanya luasan lahan sawah
yang mengalami alih fungsi setiap tahunnya terus bertambah walaupun
pemerintah melalui beberapa kebijakannya telah berupaya menekan laju alih
fungsi lahan ini. Saat ini laju konversi salah untuk Kabupaten Bekasi mutlak harus
diketahui, hal ini dimaksudkan agar pembangunan yang dilakukan tetap
memperhatikan lahan pertanian yang ada untuk dapat terus mensupply sumber
pangan.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum sepenuhnya terkait dengan
penyebab dari alih fungsi lahan tersebut, dalam hal ini faktor internal petani dan
keadaan di sekitarnya. Bagi petani, peraturan yang dikeluarkan pemerintah belum
memberikan insentif kepada mereka untuk tetap mempertahankan lahan
sawahnya, atau kebijakan yang ada belum memberikan rasa “aman” pada petani
untuk tetap berusaha di atas tanah sawah yang dimilikinya, karena luas lahan yang
dikuasainya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Besarnya pengaruh
harga lahan terhadap laju konversi ini juga perlu diketahui, karena semakin tinggi
harga lahan akan berdampak semakin mudahnya petani melepas lahan pertanian
yang dimilikinya.
Sementara itu pada sisi lain dari peraturan ini, belum terlihat dengan jelas
“disinsentif” bagi pihak-pihak yang akan melakukan alih fungsi lahan sawah.
Kegiatan alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain dengan mudah dapat
dilaksanakan, asalkan sudah dilaksanakan proses jual beli sesuai aturan yang
berlaku. Dalam kenyataannya ganti rugi yang diterima petani belum
mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan, karena hal itu baru memperhitungkan
aspek kesuburan dan aksesibilitas, aspek lain dari keberadaan lahan sawah, perlu
dilakukan untuk dijadikan dasar dalam menentukan nilai sebenarnya dari lahan.
Oleh karena itu pengkajian faktor-faktor yang mempengaruhi laju konversi perlu
2

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr276054.pdfRencana Strategis Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2008-2013

9

dilakukan, adanya kajian faktor-faktor tersebut diharapkan penyebab terjadinya
konversi lahan pertanian dapat ditekan.
Selain itu tidak adanya kejelasan batas-batas lahan sawah yang tidak boleh
dialih fungsikan, serta belum efektifnya mekanisme kontrol yang melibatkan
semua pihak yang terkait dengan penggunaan lahan menyebabkan alih fungsi
lahan mudah terjadi. Menyerahkan sepenuhnya kontrol dari proses ini kepada
Badan Pertanahan Nasional (BPN), akan menimbulkan berbagai permasalahan
dilapangan, terutama karena berbagai keterbatasan BPN. Untuk itu melibatkan
secara aktif mayarakat dalam proses ini akan banyak membantu, terutama untuk
alih fungsi lahan sawah yang bersifat sporadis atau dilakukan oleh masyarakat
secara sendiri-sendiri. Adanya kelembagaan yang baik ditingkat lokal, provinsi,
dan nasional sangat membantu pencegahan terjadinya konversi lahan. Penelitian
ini juga mengkaji keterkaitan kelembagaan dengan laju konversi lahan, dengan
cara mengkaji kelemahan yang ada sehingga konversi lahan pertanian terus
terjadi.
Berdasarkan permasalahan diatas maka dapat diambil pertanyaan
penelitian yang terkait alih fungsi lahan yang terjadi, yaitu:
1.

Bagaimana laju konversi lahan di Kabupaten Bekasi?

2.

Bagaimana keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian?

3.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi petani secara eksternal dan
internal yang mendorong terjadinya konversi lahan yang dimiliki?

4.

Bagaimana dampak konversi lahan terhadap produksi padi, pendapatan
petani, dan ketahanan pangan?

5.

Bagaimana kelembagaan yang ada baik dalam tingkatan nasional, provinsi,
maupun daerah dalam mencegah laju konversi lahan pertanian?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis secara ekonomi
alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian, serta menganalisis peran
kelembagaan dilihat dari sisi kelemahan dan kekuatan dari kelembagaan yang
sudah ada. Berdasarkan permasalahan yang ada, maka disusunlah tujuan

10

penelitian yang spesifik yang diharapkan dapat menjawab permasalahan yang ada
nantinya. Adapun tujuan penelitian adalah:
1.

Menganalisis Laju konversi lahan di Kabupaten Bekasi

2.

Menganalisis keterkaitan harga lahan dengan laju konversi lahan pertanian.

3.

Menganalisis faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi petani
untuk mengkonversi lahan yang dimiliki.

4.

Menganalisis dampak perubahan lahan terhadap produksi gabah, pendapatan
petani, dan ketahanan pangan.

5.

Menganalisis peran kelembagaan yang ada baik tingkatan nasional, provinsi,
maupun kabupaten dalam mencegah laju konversi lahan pertanian.

Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1.

Bagi Peneliti, penelitian ini memberikan informasi mengenai kondisi laju
konversi lahan yang terjadi Kabupaten Bekasi dan melengkapi khasanah
keilmuan yang telah ada.

2.

Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar
dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.

3.

Bagi pemerintah, penelitian ini menjadi informasi sebagai acuan dalam
penyusunan program dan kebijakan dalam penanganan laju konversi lahan
pertanian.

4.

Bagi Masyarakat, dan kalangan industri penelitian ini dapat sebagai informasi
bahwa laju konversi lahan akan memberikan dampak negative terutama
menyangkut kebutuhan pangan.

Ruang Lingkup Penelitian
Demi fokusnya penelitian terhadap hal-hal yang ingin diketahui, maka
disusulah ruang lingkup penelitian. Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah:
1.

Penelitian ini akan mengambil sampel di tiga kecamatan yang memiliki laju
konversi lahan tertinggi di Kabupaten Bekasi.

2.

Responden yang diambil adalah petani dan bekas petani, bukan para pembeli
tanah.

11

3.

Lahan yang menjadi objek penelitian adalah lahan pertanian aktif, sehingga
dapat diketahui trade off yang terjadi antara lahan pertanian dengan
pemanfaatan non pertanian pada saat adanya konversi lahan.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Tanah, Tanah Pertanian, dan Lahan
Istilah tanah memiliki arti yang sangat luas, untuk itu diperlukan batasanbatasannya. Menurut Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang PokokAgraria Nomor 5
Tahun 1960, batasan resmi mengenai tanah adalahsebagai berikut :
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum”.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) di atas, maka yang dimaksud dengan tanah
adalah permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang
dan lebar(Harsono. B, 2005)
Dalam Pasal 4 ayat 1 di atas istilah “menguasai” bukan berarti memiliki,
namun mempunyai arti sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, dimana
Negara

diberikan

berkenaandengan

wewenang
tanah.

untuk

Pemerintah

mengatur
sebagai

segala

sesuatu

yang

wakil

negara

dapat

mengaturperuntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa termasuk di dalamnya juga mengenai tanah(Sudargo, et all 1997).
Pengertian tanah selain dijumpai di dalam UUPA dapat dilihat juga dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), yang dimaksud dengan tanah adalah :
1.

Permukaan bumi atau lapisan bumi yang ada di atas;

2.

Keadaan bumi di suatu tempat;

3.

Permukaan bumi yang diberi batas;

4.

Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan
sebagainya).

12

Sedangkan menurut Jayadinata (1999) bahwa tanah berarti bumi, sedangkan lahan
merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan umunya ada pemiliknya.
Sedangkan luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu.
Dalam Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian tidak diberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan tanah
pertanian. Berhubung dengan itu dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/
1/ 12 tentang Pengertian Tanah Pertanian , diberikan penjelasan sebagai berikut :
“tanah pertanian” merupakan juga semua tanah perkebunan,
tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak,
tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata
pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian
adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selain tanah untuk
perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah berdiri
rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah
yang menentukan, berapa luas bagian yang dianggap halaman
rumah dan berapa yang merupakan tanah pertanian”.
(Harsono. B, 2005)

Konversi Lahan
Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi
lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi
lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian
penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik
(Utomo et al, 1992). Dalam ekonomi lahan, perubahan penggunaan lahan terkait
erat dengan surplus lahan (land rent) yang dapat diartikan nilai keuntungan bersih
(surplus) dari aktifitas pemanfaatan lahan persatuan luas dalam waktu tertentu
(Suparmoko 1989). Penggunaan lahan merupakan gambaran ekspresi keinginan
masyarakat setempat terhadap lahannya. Penggunaan lahan (land use) suatu
wilayah merupakan gambaran kondisi permintaan lahan di wilayah tersebut.
Maraknya fenomena alih fungsi harus menjadi perhatian semua pihak,
sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air,

13

Departemen Pertanian (Dirjen PLA 2005) menunjukan, bahwa sekitar 187.720
hektar lahan sawah beralih fungsi kepenggunaan lain setiap tahunnya.
Perubahan penggunaan lahan merupakan gambaran perubahan tata ruang
suatu wilayah, oleh karena itu penataan penggunaan lahan merupakan bagian dari
penataan

ruang,

yang

sekaligus

merupakan

bagian

dari

perencanaan

pengembangan wilayah. Perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh
terhadapap perubahan kondisi social ekonomi. Demikian juga sebaliknya
perubahan struktur social ekonomi penduduk, akan berpengaruh terhadap
perubahan penggunaan lahan.
Semakin besar lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan non
pertanian serta akibat bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi
per kapita yang didorong oleh kenaikan pendapatan rumah tangga petani maka
kebutuhan akan beras semakin meningkat. Untuk mengimbangani peningkatan
kebutuhan beras tersebut, maka produksi beras nasional harus meningkat secara
signifikan dalam ranggka memenuhi kecukupan pangan.
Namun berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan
produksi beras akhir-akhir ini justru mengalami penurunan (irawan et al.2003).
perlambatan laju pertumbuhan produksi beras terutama disebabkan banyak
konversi lahan sawah dan perlambatan produktifitas padi akibat belum adanya
terobosan teknologi yang mampu meningkatkan produktifitas padi secara
signifikan. Hal ini tentunya mengakibatkan semakin berat usaha dalam memenuhi
kebutuhan, selanjutnya mengancam ketahanan pangan.
Secara empiris lahan sawah merupakan lahan yang paling rentan terhadap
alih fungsi. Hal ini disebabkan oleh; pertama pembangunan kegiatan non
pertanian lebih mudah dilakukan pada lahan sawah yang relative datar disbanding
lahan kering, kedua infrastruktur ekonomi lebih memadai, dan ketiga lahan
persawahan lebih dekat kedaerah konsumen atau daerah kota yang lebih padat
penduduknya (Nasoetion 2003)
Selanjutnya Irawan (2005) menyatakan alih fungsi lahan disebabkan oleh
dua factor. Pertama , sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau
industry disuatu lokasi, maka aksesibilitas dilokasi tersebut menjadi semakin
kondusif untuk pengembangan industry dan pemukiman yang akhirnya

14

mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan
tanah, sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga
lahan, yang selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual
lahan sawah yang dimilikinya.
Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan
pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa konversi
lahan dipengaruhi dua faktor utama yaitu:
1.

Faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industry, pertumbuhan
pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan
ekonomi.

2.

Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur
ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi
rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.

Fungsi Utama Lahan
Menurut Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal
alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan, memiliki dua fungsi dasar,
yaitu:
1.

Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan,
perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.

2.

Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan
fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada,
yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan
budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Aturan-aturan dalam penggunaan lahan dijalankan berdasarkan pada

beberapa kategori antara lain kepuasan, kecenderungan dalam tata guna lahan,
kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi dan pemanfaatan atau
pengaturan estetika (Munir, 2008). Menurut Jayadinata (1999) lahan digolongkan
dalam tiga kategori yaitu:

15

1.

Nilai keuntungan, dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat
dicapai dengan jual beli lahan di pasar bebas.

2.

Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk
masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.

3.

Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan yang dinyatakan
oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi,
kepercayaan, dan sebagainya.
Pernyataan pada paragrap sebelumnya memberikan kesimpulan bahwa

alasan setiap individu menggunakan lahan dipengaruhi oleh tujuan yang berbedabeda. Penggunaan lahan yang demikian akan memicu adanya alih fungsi lahan.

Harga Lahan
Nilai lahan secara definisi diartikan sebagai kekuatan nilai dari lahan
untuk dipertukarkan dengan barang lain yang dapat didefisinikan sebagai harga
(diukur dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli. Nilai
lahan merupakan harga yang diukur dalam satuan uang per meternya (Michalski
et al. 2010).
Pesatnya perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah
penduduk, secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi tinggi.
Ketersediaan lahan yang semakin terbatas dan jumlahnya relatif tetap membuat
nilai lahan juga akan meningkat pula. Nilai lahan juga menentukan penggunaan
lahan, karena penggunaan lahan ditentukan oleh kemampuan untuk membayar
lahan yang bersangkutan.
Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang Jawa Barat, harga jual
lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan
dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut,
jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau
pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan perubahan lain
tidak berpengaruh signifikan.
Faktor-faktor penentu harga lahan antara lain adalah kondisi dan lokasi
lahan. Kondisi lahan dapat menentukan tingkat harga lahan, semakin baik kondisi
lahan yang ada, semakin mahal harga lahan tersebut. Lokasi juga menentukan

16

harga lahan yang ditentukan oleh jarak lokasi lahan terhadap akses umum seperti
pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat wisata, dan lain-lain.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi lahan
Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan
oleh dua faktor, yaitu : sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat
dan pemerintah, dan sistem non kelembagaan yang berkembang secara alamiah
dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan
pemerintah antara lain dipersentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan
mengenai konversi lahan.
Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Rusli (2005) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah
penduduk, rasio antaramanusia dan lahan menjadi semakin besar, sekali pun
pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan
kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan persediaan
lahan semakin kecil.
Persediaan lahan akan semakin kecil seiring dengan adanya alih fungsi
lahan yang tarus terjadi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismail
(2010) mengenai konversi lahan di Kota Medan, diketahui bahwa konversi lahan
mengakibatkan : (1) penurunan luas lahan pertanian di Kota Medan dari tahun
2001 sampai 2008 sebesar 4088 ha atau berkurang sebasar 36,5 % dari luas lahan
pertanian tahun 200, (2) hasil analisis menunjukan bahwa faktor-faktor yang
secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahan mereka
adalah produktivitas dan proporsi pendapatan dengan derajat kepercayaan 5 %,
sedangkan untuk variabel yang tidak signifikan adalah harga jual lahan dan luas
lahan, sedangkan untuk faktor kebijakan dan pajak tidak langsung mempengaruhi
keputusan petani dalam mengkonversi lahannya.
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan lahan yang
semakin meningkat. Hal ini mendorong penjualan lahan yang dilakukan oleh
penduduk dan petani. Faktor utama yang mendorong penduduk dan petani
menjual lahan yang dimiliki karena produktivitas hasil pertanian yang dihasilkan
terlalu kecil sehingga pendapatan yang diperoleh petani menjadi rendah dan tidak

17

dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga petani tertarik untuk mengubah
fungsi dan menjual lahan yang dimiliki.

Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan
penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi
bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi
indikator kesejahteraan masyaraka desa. Antara (2002) menyatakan bahwa
konversi lahan sawah untuk kepentingan non pertanian (pariwisata, pemukiman,
industri kecil, dan prasarana bisnis) saat ini berada pada titik sangat
mengkhawatirkan. Tahun 1977 luas lahan di Bali ±98000 ha dan tahun 1998
tinggal 87 850 ha. Ini berarti dalam kurun waktu ±20 tahun terjadi penyusutan
lahan seluas 10 150 ha, atau 11.5%. Bahkan selama lima tahun terakhir,
penyusutan seluas 727 ha ∕ tahun.
Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula
akses masyarakat atas menfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian
sehingga menjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor pertanian (sektor
Informal). Hal ini menjadi ancaman bagi keberadaan budaya pertanian.
Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan,
antara lain :
1.

Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan turunnya produksi
padi, yang menggangu tercapainya swasembada pangan.

2.

Berkurangnnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan
kerja dari sektor pertanian ke non pertanian dimana tenaga kerja lokal
nantinya akan bersaing dengan pendatang. Dampak sosial ini akan
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat
setempat terhadap pendatang yang nantinya akan berpotensi meningkatkan
konflik sosial.

3.

Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal. Hal ini dikarenakan irigasi yang telah dibangun
menjadi sia-sia karena sawah yang ada dialihfungsikan.

18

4.

Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan
ataupun industri karena kesalahan perhitungan mengakibatkan lahan yang
telah dialihfungsikan menjadi tidak termanfaatkan, karena tidak mungkin
dikembalikan menjadi sawah kembali. Sehingga luas lahan tidur akan
meningkat dan nantinya akan menimbulkan konflik sosial seperti
penjarahan tanah.

5.

Berkurangnya ekosistem sawah di Pulau Jawa dimana telah terbentuk
selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan pencetakan sawah baru di luar
Pulau Jawa tidak memuaskan hasilnya.

Laju Konversi Lahan
Konversi lahan memiliki tingkat pertumbuhan yang berbeda setiap tahun.
Hal ini dinyatakan dengan laju konversi lahan. Laju konversi lahan merupakan
perbandingan tingkat perubahan luas penggunaan lahan tertentu terhadap
penggunaan lahan sebelumnya, dimana pertambahan tersebut berbanding lurus
dengan pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan luas wilayah dapat
diwakilkan dengan pertambahan jumlah penduduk . laju konversi lahan dapat
ditentukan dengan cara menghitung laju konversi secara parsial dan kontinu.
Adapun laju konversi secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut (Astuti,
2011):

Dimana :

�=

(Lt −Lt −1 ))
Lt _1

V

= Laju Konversi Lahan (%)

Lt

= Luas lahan saat ini/tahun ke-t (ha)

Lt-1

= Luas lahan tahun sebelumnya (ha)

* 100%

Kelembagaan Lahan
Dasar kebijakan pertanahan pertanahan adalah Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (UUD 45) pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari dasar kebijakan
tersebut dibentuk suatu landasan hukum berupa Undang-Undang Pokok Agraria

19

(UUPA). Dalam penjelasan umumnya, dinyatakan bahwa tujuan diberlakukannya
UUPA adalah:
1.

Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagi negara dan raktat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.

2.

Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.

3.

Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Landasan hukum dari kebijakan konversi lahan pertanian selain UUPA
antara lain:
1.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa
segala bentuk perizinan yang mengakibatbatkan ali