Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara).

(1)

ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN

BEKASI JAWA BARAT

(Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)

MUHAMAD DIKA YUDHISTIRA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya manyatakan bahwa skripsi Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat: Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2013

M.Dika Yudhistira H44080073


(3)

RINGKASAN

M. DIKA YUDHISTIRA. Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.

Kabupaten Bekasi pada saat ini mempunyai tata guna lahan dengan mayoritas lahan pertanian. Seiring dengan meningkatnya aktifitas pembangunan dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan juga meningkat pesat. Sementara itu ketersediaan atau luas lahan pada dasarnya tidak berubah, sehingga peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan kepentingan dan pada akhirnya terjadi alih fungsi lahan petanian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak yang terjadi akibat alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Bekasi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis pola dan karakteristik alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (2) menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (3) menganalisis kelembagaan lahan di Kabupaten Bekasi, (4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (5) menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi.

Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan selama bulan Februari - Maret 2013. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui dinas-dinas terkait dan penulusuran melalui internet. Pola dan karakteristik dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Laju alih fungsi lahan dianalisis dengan persamaan laju alih fungsi lahan parsial. Kelembagaan lahan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif,. Penduga faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dianalisis secara makro dan mikro menggunakan model regresi linier berganda dan model regresi logistik. Dampak yang terjadi dianalisis dengan menggunakan estimasi dampak produksi dan rata-rata selisih perbedaan pendapatan. Dampak terhadap produksi juga di simulasikan dan dibandingkan dengan kebutuhan pangan masyarakat Kabupaten Bekasi sebagai peramalan terhadap ketahanan pangan di wilayah tersebut.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pola alih fungsi lahan pertanian yang terjadi adalah pola yang diawali dengan alih kekuasaan lahan dari petani kepada pihak lain. Petani menjual lahan pertanian kepada pemborong. Pihak pemborong nantinya menjual lahan tersebut kepada investor untuk dialihfungsikan menjadi pemukiman atau industri pengolahan. Laju alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Bekasi tahun 2001-2011 berfluktuasi dengan rata-rata sebesar -0,43 persen. Laju alih fungsi lahan yang tertinggi adalah -1,55 persen pada tahun 2010. Kelembagaan lahan yang dianalisis dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara vertikal menyatakan bahwa Kabupaten Bekasi dijadikan wilayah penyangga dari Jabodetabek, sehingga pembangunan di Kabupaten Bekasi harus mendukung perkembangan di daerah Jabodetabek. Selain itu permasalahan kepemilikan lahan menjadi penyebab petani mengambil keputusan untuk menjual lahannya. Hal ini menyebabkan banyaknya pembangunan pemukiman dan industri


(4)

pengolahan di wilayah tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara makro yaitu PDRB dan laju pertumbuhan penduduk, sedangkan faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara mikro adalah jumlah tanggungan petani dan proporsi pendapatan usaha tani dari pendapatan total. Dampak yang terjadi terhadap produksi adalah hilangnya produksi gabah pada sepuluh tahun terakhir sebesar 28.091,25 ton atau bernilai sekitar Rp 73.733.652.728. Rata-rata pendapatan petani berkurang setelah alih fungsi lahan sebesar Rp 3.331.548. Berdasarkan perkiraan luas lahan dan dampaknya terhadap ketahanan pangan diketahui bahwa pada tahun 2015 produksi beras di Kabupaten Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan beras penduduk dengan kekurangan sebesar 12.052 ton. Jika terdapat penurunan konsumsi beras perkapita sebesar 1,5 persen setiap tahunnya maka Kabupaten Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2018 dengan kekurangan sebesar 1.440 ton.


(5)

ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN

BEKASI JAWA BARAT

(Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)

MUHAMAD DIKA YUDHISTIRA H44080073

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

Judul Penelitian : Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara).

Nama : Muhamad Dika Yudhistira

NIM : H44080073

Disetujui, Pembimbing

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si NIP 19800603 200912 1 006

Diketahui,

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T NIP 19660717 199203 1 003


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)”. Penulis mengucapkan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dedi Umar Farouq dan Ibu Ika Atika Pujiati, orang tua yang selalu memberikan kekuatan, dukungan, baik moril dan materi serta limpahan doa yang tidak pernah terputus kepada penulis.

2. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, solusi dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Nindyantoro, M.SP dan Nuva, S.P, M.Sc selaku dosen penguji utama dan dosen penguji perwakilan departemen.

4. Bapak Sarmili dan Asep yang telah meluangkan waktunya menemani dan mengantar penulis dalam pengumpulan data.

5. Teman-teman satu bimbingan skripsi: Andini, Erna, Anis, Nanda, Nia, dan Budi atas segala dukungan, saran, dan motivasi kepada penulis.

6. Teman-teman seperjuangan ESL 45 yang telah banyak mengajari dan memberikan tutor kepada penulis selama masa kuliah.

7. Semua pihak yang membantu dalam proses persiapan hingga penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2013


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat penyelesaian tugas akhir studi Program Sarjana (S1) Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah mengkaji pola dan laju alih fungsi lahan pertanian, menidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk kebijakan pengendalian alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi. Penulis mengucapakan terima kasih kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi sehingga skripsi ini bisa selesai. Semoga skripsi ini dapat berberguna bagi ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, September 2013


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Lahan Pertanian ... 10

2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 11

2.3. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan ... 13

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 14

2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 16

2.6. Kelembagaan Lahan ... 18

2.7. Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan ... 20

2.8. Ketahanan Pangan ... 23

2.9. Penelitian Terdahulu ... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27

3.1. Kerangka Teoritis ... 27

3.2. Kerangka Operasional ... 28

IV. METODE PENELITIAN ... 31

4.1. Lokasi dan Waktu ... 31

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 31

4.3. Metode Pengambilan Contoh ... 32

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 33

4.4.1.Analisis Deskriptif ... 33

4.4.2.Analisis Laju Alih Fungsi Lahan ... 34

4.4.3.Analisis Regresi Linier Berganda ... 35

4.4.4.Analisis Regresi Logistik ... 41

4.4.5.Analisis Estimasi Dampak Produksi ... 45

4.4.6.Analisis Terhadap Dampak Pendapatan Petani... 47

V. GAMBARAN UMUM ... 48

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48

5.1.1. Kabupaten Bekasi ... 48

5.1.2. Kecamatan Tambun Utara ... 49


(10)

vi

5.2. Karakteristik Responden ... 51

5.2.1. Tingkat Usia ... 51

5.2.2. Tingkat Pendidikan ... 52

5.2.3. Jumlah Tanggungan ... 52

5.2.4. Tingkat Pendapatan ... 53

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

6.1.Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bekasi ... 54

6.2.Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi ... 56

6.3.Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Bekasi ... 57

6.4.Faktor Makro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bekasi ... 63

6.5.Faktor Mikro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kecamatan Tambun Utara ... 67

6.6.Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Kabupaten Bekasi ... 71

6.7.Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan Tambun Utara ... 73

6.8.Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi ... 76

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 79

7.1.Simpulan ... 79

7.2.Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku ... 2 2. Jumlah Industri dan Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi tahun

2000-2011 dengan Laju Pertumbuhannya ... 5 3. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi Tahun

2002-2011 ... 56 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Perubahan

Luas Lahan Sawah Kabupaten Bekasi ... 64 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Mikro yang Mempengaruhi Petani untuk

Menjual Lahan Pertanian ... 68 6. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Alih

Fungsi Lahan Sawah ... 72 7. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat

Pembukaan Lahan Sawah Baru ... 73 8. Rata-Rata Perubahan Pendapatan per Bulan Petani Akibat Alih Fungsi

Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 75 9. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan

Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi Beras Perkapita Tetap . 77 10. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan

Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi Beras Perkapita Menurun ... 78


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perbandingan Jumlah Penduduk di Indonesia dan Pulau Jawa ... 4

2. Ilustrasi Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya Produksi Dikeluarkan ... 27

3. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional ... 30

4. Perbandingan Tingkat Usia Responden ... 50

5. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden... 51

6. Perbandingan Jumlah Tanggungan Responden ... 53

7. Perbandingan Tingkat Pendapatan Responden ... 53


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 84

2. Tata Guna Lahan Eksisting Kabupaten Bekasi tahun 2011 ... 87

3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2011-2013 ... 88

4. Hasil Regresi Linear Berganda ... 89

5. Hasil Regresi Logistik ... 92

6. Harga Gabah Kering Giling Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2011 ... 94

7. Perhitungan Pendapatan Petani Sebelum dan Setelah Alih Fungsi Lahan ... 96


(14)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Dari sisi ekonomi, lahan merupakan input tetap yang utama dari kegiatan produksi suatu komoditas. Banyaknya lahan yang digunakan untuk kegiatan produksi tersebut secara umum merupakan permintaan turunan dari permintaan komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu, perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap kegiatan produksi akan dipengaruhi oleh perkembangan permintaan dari setiap komoditasnya.

Sejalan dengan meningkatnya aktifitas pembangunan dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan juga meningkat pesat. Sementara itu ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Meskipun kualitas sumberdaya lahan dapat ditingkatkan, kuantitasnya di setiap daerah relatif tetap. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan produksi lainnya. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan.

Pembangunan di Indonesia lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi sehingga sektor yang memegang pengaruh paling besar akan maju dengan pesat. Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya bagi Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga sektor tersebut berkembang pesat. PDB merupakan salah satu indikator yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Pesatnya perkembangan industri berdampak pada peningkatan permintaan lahan


(15)

2 untuk sektor tersebut. Kondisi tersebut berdampak negatif bagi sektor lain yang sangat membutuhkan lahan sebagai input utamanya, seperti sektor pertanian. Sektor pertanian secara luas merupakan sektor kedua setelah industri pengolahan yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dimana pertanian secara luas, yaitu pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan pada tahun 2010 dan 2011 menyumbang masing-masing sebesar Rp 985,4 triliyun dan Rp 1.039,5 triliyun. Sumbangan sektor pertanian ini naik sebesar Rp 54,1 triliyun. Namun sektor industri pengolahan menyumbang nilai yang lebih besar, yaitu Rp 1.595,8 triliyun dan 1.803,5 triliyun. Subangan sektor industri pengolahan ini naik sebesar Rp 207,7 triliyun.

Tabel 1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku

Lapangan Usaha 2010 2011

Pertanian, peternakan, kehutanan, dan

perikanan 985,4 1.093,5

Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3

Industri pengolahan 1.595,8 1.803,5

Listrik, gas, dan air bersih 49,1 55,7

Bangunan 660,9 756,5

Perdagangan, hotel, dan restoran 882,5 1.022,1

Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2

Keuangan, persewaan, dan jasa

perusahaan 466,6 535,0

Jasa-jasa 654,7 783,3

Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1

PDB Tanpa Migas 5.936,2 6.794,4

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012

Pesatnya pembangunan sektor industri pengolahan ini tentunya akan menarik perhatian bagi para investor yang akan menanamkan modal, terutama di Pulau Jawa karena infrastruktur yang sudah mencukupi. Mereka akan cenderung memilih berinvestasi ke arah sektor industri daripada sektor pertanian. Pemerintah daerah tentu saja akan menanggapi positif para investor tadi karena jika daerah


(16)

3 mereka banyak memiliki industri pengolahan maka pemasukan untuk daerah pun akan meningkat. Walaupun kriteria lahan yang diperlukan untuk industri pengolahan dan pertanian tersebut berbeda, pada kenyataannya masih terjadi benturan kepentingan dan terjadilah konversi lahan dari pertanian untuk dijadikan industri pengolahan.

Kependudukan di Indonesia juga tidak merata dan terus bertambah bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Dapat dilihat pada Gambar 1. Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menyebabkan keperluan bangunan juga ikut bertambah. Tidak hanya bangunan rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga infrastruktur lain yang mendukung masyarakat, seperti sekolah, perkantoran, rumah sakit, jalan raya, dsb. Selain itu penduduk di Indonesia juga tidak tersebar merata. Mayoritas penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Dapat dilihat pada Gambar 1. bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Hal ini menjadi dilema dimana Pulau Jawa merupakan pulau yang subur dan cocok untuk pertanian pangan berhadapan dengan penduduknya yang terus bertambah dan membutuhkan bangunan untuk mereka tinggal, sehingga terjadilah alih fungsi dari lahan pertanian.


(17)

4 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penduduk di Indonesia dan Pulau Jawa

Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan hal baru. Sejalan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Pertumbuhan tersebut membutuhkan lahan yang lebih luas untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan yang relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan adalah lahan-lahan pertanian karena land

rent (sewa lahan) pertanian umumnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan non

pertanian. menurut Barlowe (1978) land rent merupakan nilai ekonomi yang

diperoleh oleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai sewa lahan tersebut adalah lokasi lahan, karena mempengaruhi jarak dari lahan dengan pusat pasar. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan fenomena alih fungsi lahan pertanian ini merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri atau demografi dari pedesaan ke perkotaan, yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non pertanian.

0 50000000 100000000 150000000 200000000 250000000

1971 1980 1990 2000 2010

Ju m lah Pen d u d u k Tahun Sensus Jumlah Penduduk Indonesia Jumlah Penduduk Pulau Jawa


(18)

5 Kabupaten Bekasi merupakan salah satu daerah yang memiliki wilayah pertanian yang cukup luas. Kabupaten Bekasi sendiri ikut menyokong pangan dalam skala nasional. Namun perkembangan ekonomi di Kabupaten Bekasi telah mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan. Lokasi Kabupaten Bekasi yang dekat dengan Ibu Kota Jakarta menyebabkan wilayah ini mempunyai nilai sewa lahan atau land rent untuk sektor non pertanian yang besar. Kepadatan

penduduk di Jakarta juga telah meluas dan menyebabkan struktur demografi Kabupaten Bekasi bertransformasi dari pedesaan menjadi perkotaan. Hal ini menyebakan permintaan akan lahan industri dan pemukiman meningkat karena lokasi tersebut dekat dengan pusat kota.

Tabel 2. Jumlah Industri dan Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi Tahun 2000-2011 dengan Laju Pertumbuhannya

Tahun Jumlah

Penduduk

Jumlah Industri

Laju Pertumbuhan Penduduk

Laju Pertumbuhan Industri

2000 1.642.952 568 - -

2001 1.696.425 595 3,25% 4,75%

2002 1.727.066 638 1,81% 7,23%

2003 1.877.414 703 8,71% 10,19%

2004 1.950.209 761 3,88% 8,25%

2005 2.027.902 749 3,98% -1,58%

2006 2.054.795 744 1,33% -0,67%

2007 2.125.960 842 3,46% 13,17%

2008 2.193.776 752 3,19% -10,69%

2009 2.274.842 788 3,70% 4,79%

2010 2.630.401 813 15,63% 3,17%

2011 2.753.961 844 4,70% 3,81%

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, Berbagai Terbitan

Dapat dilihat pada Tabel 2 jumlah penduduk dan jumlah industri relatif meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 jumlah penduduk bahkan sepat mengalami peningkatan yang cukup drastis, yaitu dengan laju sebesar 15,63 persen. Hal ini terjadi juga pada jumlah industri yang meningkat drastis pada


(19)

6 tahun 2007 yang menandakan ketertarikan investor di daerah ini cukup besar. Pada tahun 2005, 2006, dan 2008 jumlah industri sempat mengalami penurunan (deindustrialisasi), namun hal tersebut disebabkan oleh faktor alam yaitu banjir besar yang melanda wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi. Faktor tersebut namun tidak terlalu mejadi kendala dalam pengembangan industri, karena pada tahun-tahun berikutnya jumlah industri relatif meningkat kembali. Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah industri tersebut tentunya menyebabkan permintaan lahan untuk pemukiman dan industri meningkat. Hal ini berbenturan dengan persediaan lahan yang ada, sehingga pengalihfungsian lahan pertanian tidak dapat dihindari.

Persoalan ini harus segera dipecahkan mengingat dampak yang ditimbulkan dapat merugikan masyarakat. Adanya alih fungsi lahan pertanian, khususnya pada lahan sawah, akan mempengaruhi produksi beras yang merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus akan berpengaruh pada ketahanan pangan, dimana masyarakat nantinya harus mengimport beras karena produksi dari sawah yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian.

1.2. Perumusan Masalah

Menurut Maulana (2004), lahan sebagai faktor produksi mempunyai karakteristik yang khas, yaitu : (1) penyediaaannya bersifat permanen, tetap, dan terbatas, (2) lokasi yang pasti dan tidak dapat dipindahkan, (3) bersifat unik, yaitu satu bidang tanah tidak mempunyai nilai yang sama dengan yang lain dan tidak terpengaruh oleh waktu. Sementara itu permintaan terhadap lahan yang semakin


(20)

7 bertambah berbenturan dengan karakteristik tersebut. Sehingga secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktifitas.

Alih fungsi lahan pada dasarnya tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan, namun perlu dikendalikan. Peningkatan kebutuhan lahan akibat semakin tingginya aktifitas perekonomian secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian untuk dijadikan industri pengolahan dan pemukiman. Secara umum, masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi karena kriteria kawasan yang belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang yang belum ada, dan penegakan hukum yang masih lemah. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi selama ini di Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Adanya alih fungsi lahan tersebut dapat menurunkan hasil produksi pertanian. Namun, potensi dampak yang terjadi kurang diperhatikan oleh petani dan pemerintah daerah. Upaya untuk pengendalian terhadap alih fungsi lahan tersebut pun sepertinya terabaikan.

Berdasarkan berbagai informasi di atas, maka permasalahan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi? 2. Berapakah laju alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi?

3. Bagaimana kelembagaan mengenai penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan tersebut? 5. Bagaimana dampak alih fungsi lahan tersebut terhadap ketahanan pangan


(21)

8

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi.

2. Menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi. 3. Menganalisis kelembagaan lahan yang ada di Kabupaten Bekasi.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara makro dan mikro.

5. Menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan pangan dan perekonomian petani.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat yang dapat diambil oleh berbagai pihak, yaitu:

1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu bidang ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang telah dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.

2. Bagi civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi petani pada umumnya, informasi ini dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk mengalih fungsikan lahan pertanian mereka.


(22)

9 4. Bagi pemerintah, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pembangunan sektoral dan kebijakan tata ruang yang sejalan dengan infrastruktur pembangunan pertanian.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini diperlukan batasan-batasan yang jelas agar penelitian lebih terarah dan peneliti dapat lebih fokus dalam melakukan penelitian. Adapun ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah:

1. Alih fungsi yang dianalisis berupa perubahan lahan pertanian menjadi fungsi lain yang tidak bisa diubah menjadi lahan pertanian kembali.

2. Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil produksinya berupa padi atau gabah.

3. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor makro di tingkat wilayah dan faktor mikro yang mempengaruhi keputusan petani. 4. Studi kasus yang dilakukan untuk mengetahui pola, faktor, dan dampak

alih fungsi lahan terhadap petani dilakukan di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara.

5. Dampak terhadap ketahanan pangan dilihat dari perbandingan produksi padi sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan, juga simulasi perbandingan kebutuhan beras dan produksi beras pada tahun mendatang. 6. Dampak terhadap pendapatan petani dihitung dari rata-rata selisih

pendapatan sebelum dan sesudah konversi dilakukan.

7. Kelembagaan yang di analisis berupa Rencana Tata Ruang Wilayah yang dianalisis secara vertikal dan analisis mengenai kepemilikan lahan.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Pertanian

Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia, seperti sebagai tempat tinggal, tempat mencari nafkah, tempat berwisata, dan tempat bercocok tanam.

Lahan mempunyai arti penting bagi masing-masing orang yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi investor swasta, lahan merupakan aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar masyarakat, petani, investor swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan lahan.

Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian, seperti sawah, kebun sayuran, dll. Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan pertanian yang untuk pengelolaannya menggunakan genangan air. Oleh karena itu sawah selalu merupakan permukaan datar atau yang didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan genangan air. Berdasarkan jenis irigasinya sawah dibagi dalam tiga jenis, yaitu : (1) sawah irigasi teknis, yaitu bentuk sawah yang pengairannya berasal dari waduk dan dialirkan melalui saluran primer dan selanjutnya dibagi-bagi kedalam saluran sekunder dan tersier


(24)

11 melalui bangunan pintu pembagi. (2) sawah irigasi semi teknis, yaitu bentuk sawah yang pengairannya berasal dari waduk, akan tetapi pemerintah hanya menguasai bangunan penyadap untuk mengatur pemasukan air. (3) sawah irigasi sederhana, yaitu pengairan sawan dari mata air dan pembuatan salurannya dibuat tanpa bangunan permanen oleh masyarakat setempat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2003). Adapun pada kenyataannya di Indonesia masih terdapat sawah tadah hujan, yaitu sawah yang pengairannya tidak menggunakan irigasi. Pengairan pada sawah ini hanya berbasis pada air hujan.

Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori, use value dan non use value. Use value atau manfaat

penggunaan didapat dari hasil eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada lahan pertanian. Sedangkan non use value atau manfaat bawaan merupakan

manfaat yang tercipta sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian. Yoshida dan Kenkyu (1996) dalam

Sumaryanto (2005) mengutarakan pendapat lain tentang manfaat dari lahan pertanian. Menurut mereka lahan pertanian dapat berperan dari aspek lingkungan, seperti pencegah banjir, pengendali keseimbangan air, pencegah erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan.

2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul banyak terkait dengan kebijakan tata guna lahan (Ruswandi, 2005). Alih fungsi lahan ini secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu


(25)

12 penggunaan ke penggunaan lainnya. Hal ini umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa. Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia. Isu yang berkaitan dengan alih fungsi lahan pertanian marak diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil sensus pertanian yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1983 hingga 1993 telah terjadi penyusutan lahan sawah sebesar 1,28 juta hektar. Kondisi seperti ini sulit dihindari karena pemanfaatan lahan untuk kegiatan non pertanian lebih memberikan keuntungan finansial dibandingkan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini tercermin pada nilai land rent untuk kegiatan pertanian yang cenderung lebih kecil dibandingkan

untuk kegiatan non pertanian.

Alih fungsi lahan pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian, terutama pangan. Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan, dimana penawaran atau persediaan lahan sangat terbatas sedangkan permintaan lahan yang tidak terbatas. Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan terhadap pendapatan bersifat kurang elastis, sedangkan permintaan komoditas non pertanian pangan bersifat elastis. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi


(26)

13 untuk meningkatkan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.

2.3. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan

Sumaryo dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwan pola konversi lahan dapat di tinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari pemilik lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain, karena pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan peningkatan pendapatan melalui alih usaha. Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan sedikit karena kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas pertanian yang kurang bijak dibandingkan dengan harga input pertanian yang tinggi. Sehingga mereka cenderung membuat tempat tinggal untuk keturunannya atau membuat usaha lain dengan mengalihfungsikan lahan pertanian milik mereka sendiri. Dampak dari alih fungsi ini akan baru terasa dalam jangka waktu yang lama. Kedua, alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Para petani yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena tergiur akan harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan pertanian dengan pola ini berlangsung cepat dan nyata.

Menurut Utomo (1992) alih fungsi lahan pertanian dapat bersifat sementara dan bersifat permanen. Jika lahan sawah berubah menjadi perkebunan


(27)

14 maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Sedangkan jika lahan sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka alih fungsi lahan tersebut bersifa permanen. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan alih fungsi lahan yang bersifat sementara.

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian

Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut Pakpahan et al (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan

pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor langsung dan tak langsung. Faktor langsung atau mikro yaitu faktor konversi di tingkat petani dimana faktor tersebut mempengaruhi langsung keputusan petani. Faktor tersebut antara lain kondisi sosial ekonomi petani, seperti pendidikan, pendapatan, kemampuan secara ekonomi, pajak tanah, harga tanah, dan lokasi tanah. Sedangkan faktor tak langsung atau makro yaitu faktor konversi di tingkat wilayah dimana faktor tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani. Faktor ini mempengaruhi faktor-faktor lain yang nantinya berpengaruh terhadap keputusan petani. Faktor tersebut antara lain seperti pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan pemukiman dan perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan sarana transportasi dan lahan untuk industri.

Witjaksono (1996) turut mendukung pendapat tersebut, dimana beliau memaparkan lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu


(28)

15 perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan asumsi bahwa pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.

Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah dan sistem non kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Menurut penelitiannya, alih fungsi lahan sawah 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada. Sedangkan faktor industrialisasi dan perkotaan mempengaruhi 32,17 persen dan faktor demografis hanya mempengaruhi 8,75 persen. Sedangkan Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan yang masih sektoral, delineasi antar kawasan yang belum jelas, kriteria kawasan

yang belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang yang masih lemah, dan penegakan hukum seperti UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang masih lemah.

Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain :

1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.


(29)

16 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor

non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi lahan.

3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang

memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian.

5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan yang ada.

2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Penyebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa. Di satu sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa konstruksi dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat


(30)

17 1. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan turunnya produksi

padi, yang menggangu tercapainya swasembada pangan.

2. Berkurangnnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non pertanian dimana tenaga kerja lokal nantinya akan bersaing dengan pendatang. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang nantinya akan berpotensi meningkatkan konflik sosial.

3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal. Hal ini dikarenakan irigasi yang telah dibangun menjadi sia-sia karena sawah yang ada dialihfungsikan.

4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan ataupun industri karena kesalahan perhitungan mengakibatkan lahan yang telah dialihfungsikan menjadi tidak termanfaatkan, karena tidak mungkin dikembalikan menjadi sawah kembali. Sehingga luas lahan tidur akan meningkat dan nantinya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

5. Berkurangnya ekosistem sawah di Pulau Jawa dimana telah terbentuk selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa tidak memuaskan hasilnya.

Dampak alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang sebenarnya akan langsung dirasakan oleh masyarakat umum adalah terancamnya ketahanan pangan. Hal ini dikarenakan produk pertanian yang tadinya dapat dihasilkan sendiri oleh pertanian lokal menjadi berkurang akibat berkurangnya lahan


(31)

18 pertanian. Pertumbuhan penduduk yang terus bertambah tentu saja akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pangan. Hal ini bertolak belakang dengan produksi pangan yang akan menurun jika alih fungsi terhadap lahan pertanian terus dilakukan. Jika hal ini tidak segera dikendalikan maka pemerintah harus mengimport pangan dari luar sehingga masyarakat akan semakin bergantung pada produk import.

Konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya lahan sawah yang diperuntukan memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke bangunan permanen akan berimplikasi pada kerugian akibat sudah diinfestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk, dan sistem irigasi.

Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Secara faktual alih fungsi lahan ini menyebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau, mengganggu tata air tanah, serta ekosistem budidaya pertanian semakin sempit.

2.6. Kelembagaan Lahan

New Institutional Economics (NIE) dalam Fauzi (2010) mengartikan

kelembagan sebagai rules of the game dalam masyarakat atau secara formal

diartikan sebagai kendali yang dirancang manusia yang membentuk interaksi manusia. Dalam konteks yang lebih konkrit, kelembagaan terdiri dari hukum formal, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, dan informal, atau nilai-nilai (values) yang ada dan diakui dalam masyarakat serta bentuk-bentuk


(32)

19 pengorganisasiannya. Dengan demikian norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dalam hal pemilikan dan pengelolaan lahan menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Namun faktor kelembagaan merupakan pedang bermata dua dalam konteks pengelolaan sumber daya lahan. faktor kelembagaan yang lemah merupakan salah satu faktor yang menjadi driving force dari

degradasi lahan. Buruknya institusi yang dalam bentuk kebijakan formal yang tidak kondusif, iklim kebijakan yang tidak baik (korupsi dan manajemen yang buruk) serta masalah property right yang kompleks yang tidak ditangani dengan

baik adalah beberapa faktor yang sangat krusial dalam memicu degradasi lahan dan buruknya pengelolaan yang berkelanjutan. Di sisi lain, kelembagaan yang baik akan membantu menjadi leverage dalam pengelolaan yang berkelanjutan.

Menurut Fauzi (2010), salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial atau adat. Relefansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights

terbukti menjadi handicap dalam mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan. Bagian lain yang juga penting dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah pertimbangan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi antara aktor yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Dalam konteks inilah sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan biaya transaksi. Biaya transaksi bukanlah biaya pertukaran (cost of exchange) atau salah


(33)

20 transaksi lebih diartikan sebagai the cost of establishing and maintaining right.

Biaya transaksi dalam hal ini mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas terbatas), masalah informasi,

biaya negosisasi kontrak, dan opportunism. Kedua aspek di atas yakni property rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaaman yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.

2.7. Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan

Dasar kebijakan pertanahan pertanahan adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 45) pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari dasar kebijakan tersebut dibentuk suatu landasan hukum berupa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam penjelasan umumnya, dinyatakan bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:

1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan raktat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.


(34)

21 Landasan hukum dari kebijakan konversi lahan pertanian selain UUPA antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa segala bentuk perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum.

2. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama pada pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah terutama pasal 13, yang menjelaskan penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tanun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, dimana pada pasal 11 dijelaskan tanah yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi, maka kepala kantor pertanahan mengusulkan kepada kepala kantor wilayah aar pemegang hak diberi peringatan agar dalam


(35)

22 waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaan atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya.

5. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 tentang izin lokasi penguasaan dan teknis tata guna tanah dimana pada pasal 6 disebutkan izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.

Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga kebijakan nasional yang

berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian adalah:

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. 2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan

pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya. 3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai

Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan industri, pemukiman, maupun wisata.


(36)

23

2.8. Ketahanan Pangan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tanggar yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dari definisi pada undang-undang tersebut, ketahanan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yaitu pangan dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas atau gizi yang memadai dalam setiap rumah tangga di Indonesia. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi jumlah satuan kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan sebagai bebas dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu atau merusak kesehatan manusia. Hal tersebut juga termasuk aman dari kaidah agama atau kepercayaan masing-masing.

3. Terpenuhinya pangan secara merata, diartikan dengan pangan yang aman dan berkualitas tadi harus tersebar merata untuk mencukupi kebutuhan jumlah kalori setiap rumah tangga di Indonesia.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yaitu pangan yang aman dan berkualitas tadi harus dapat dibeli dengan harga yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat Indonesia.


(37)

24

2.9. Penelitian Terdahulu

Utama (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa telah terjadi penurunan luasan lahan sawah sebesar 5.872 hektar di Kabupaten Cirebon selama rentang waktu antara tahu 1990-2004. Produktifitas padi pun menurun setiap tahunnya sekitar 2.813,94 ton per tahun. Pada tahun tersebut diasumsikan harga satu ton Gabah Kering Giling (GKG) adalah Rp 1.850.000, maka rata-rata nilai produksi yang hilang pertahunnya Rp 5.205.786.533 atau sekitar Rp 5,2 milyar. Berdasarkan penelitian ini juga petani kehilangan peluang memperoleh pendapatan usaha tani padi sawah sebesar Rp 7.153.000 per tahun. Kesempatan kerja pun turut menurun, menurut pengamatan dari penelitian ini kesempatan kerja hilang sebesar 182.032 Hari Orang Kerja (HOK) dan terjadi kehilangan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 4.550.800.000. Beliau juga mengestimasi model regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk

menganalisis alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Cirebon. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan di Kabupaten Cirebon menurut penelitian ini adalah kepadatan penduduk, produktifitas lahan sawah, kontribusi PDRB sektor non pertanian, dan pertumbuhan panjang jalan aspal. Variabel-variabel tersebut secara keseluruhan berpengaruh positif terhadap laju anih fungsi lahan di Kabupaten Cirebon.

Sandi (2009) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Kabupaten Karawang dari tahun 1999-2008 menggunakan metode estimasi OLS. Faktor-faktor yang diestimasi oleh beliau adalah luas lahan perumahan, laju pertambahan penduduk, dan PDRB sektor industri. Hasil dari estimasi menunjukan bahwa lusa lahan perumahan dan laju pertambahan


(38)

25 penduduk berkorelasi positif dengan laju konversi lahan di Kabupaten Karawang, sedangkan PDRB sektor industri tidak berpengaruh secara nyata. Dampak dari konversi lahan tersebut dinilai dari produksi padi yang hilang, yaitu sebesar 6.028,22 ton atau setara dengan Rp 8.524.375.050. Atas hasil penelitian yang telah dilakukan, beliau merekomendasikan kebijakan berupa pemberlakuan kuota lahan sawah yang bisa dikorbankan untuk sektor non pertanian. Sehingga, pembangunan ekonomi yang berimplikasi terhadap konversi lahan sawah telah sesuai dengan rencana. Kebijakan lainnya yang disarankan adalah pemberian insentif atau kompensasi bagi para petani sebagai langkah antisipasif untuk menekan laju konversi lahan sawah. Adapun instrumen kebijakan yang disarankan adalah penetapan harga komoditas yang lebih melindungi petani serta pengurangan bahkan pembebasan pajak lahan pertanian.

Sitorus (2011) dalam penelitiannya mengestimasi model regresi linear berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor. Beliau menganalisis model tersebut dengan menggunakan OLS dengan variabel yang digunakan adalah PDRB sektor bangunan, jumlah penduduk, harga Gabah Kering Giling (GKG), dan produktifitas padi sawah. Hasil dari estimasi menunjukan jumlah penduduk berpengaruh secara positif terhadap alih fungsi lahan dan produksi padi sawah berpengaruh negatif. Sedangkan PDRB sektor bangunan dan GKG tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan. Dampak dari alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor ini telah menghilangkan nilai produksi padi sebesar 27.395,42 ton dimana setara dengan Rp 47.939,33 juta. Pada penelitian tersebut juga didapat nilai elastisitas dari jumlah penduduk dan produksi padi sawah terhadap konversi lahan sawah, yaitu sebesar 2,52 dan -2,47.


(39)

26 Karena nilai elastisitas jumlah penduduk lebih besar maka beliau menyarankan pemerintah dapat menanggulangi masalah konversi lahan sawah dengan cara menggalakan program keluarga berencana dan transmigrasi penduduk untuk menanggulangi jumlah penduduk yang terus meningkat.

Puspasari (2012) menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur pada tahun 2006-2011. Tren laju alih fungsi lahan pertanian pada tahun tersebut mengalami fluktiasi dengan rata-rata sebesar 0,47 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tersebut dilihat dari tingkat wilayah dan tingkat petani. Pada tingkat wilayah, beliau menggunakan model regresi linear berganda dan didapatkan hasil yaitu jumlah industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap wilayah merupakan faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian. Pada tingkat petani, beliau menggunakan model regresi logistik dan didapatkan hasil yaitu tingkat usia, luas lahan, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Rata-rata pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Beliau juga melihat dampak yang terjadi akibat alih fungsi lahan pertanian terhadap kondisi lingkungan, Namun dampak yang terjadi tidak terlalu dirasakan oleh responden pada saat penelitian dilakukan.


(40)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis

Persaingan akan kebutuhan untuk berbagai jenis penggunaan lahan ditentukan oleh besarnya nilai sewa ekonomi lahan (land rent). Land rent yang

dihasilkan oleh lahan pada suatu wilayah akan berbeda-beda tergantung pada penggunaan lahan tersebut. Barlowe (1978) mengemukanan bahwa land rent

mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan produksi. Nilai land rent didapat dari

selisih antara total produksi dengan biaya produksi di suatu petakan lahan.

Sumber : Barlowe, 1978

Gambar 2. Ilustrasi Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya Produksi Dikeluarkan

Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2. bahwa nilai land rent didapat

dari � ABEC - � ABFD = � CEFD, dimana � ABEC adalah total produksi, � ABFD adalah biaya produksi. Dalam pelaksanaannya, ada dua gejala yang muncul jika hal tersebut diterapkan pada mekanisme pasar, yaitu (1) semakin

F E C

D

A B Jumlah

Output Biaya Produksi

AC MC


(41)

28 besar land rent maka daya saing penggunaan lahan untuk menduduki lokasi yang

strategis semakin besar, (2) Penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang

lebih besar akan menggeser penggunaan lahan dengan land rent yang lebih kecil.

Pada dasarnya land rent sangat dipengaruhi oleh lokasi dari lahan tersebut.

Semakin dekat dengan pusat kota maka nilai land rent dari pemukiman akan

semakin besar. Begitu pula semakin dekat dengan tempat pemasaran eksport-import maka nilai land rent dari sektor industri akan semakin besar.

3.2. Kerangka Operasional

Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Hal ini mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian diubah menjadi bentuk lain berupa industri yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup juga ikut meningkat. Keberadaan lahan yang relatif tetap memaksa lahan pertanian untuk dialihfungsikan menjadi bentuk lain berupa pemukiman dan infrastruktur kependudukan.

Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di sektor non pertanian seperti industri, perumahan, dan jasa. Adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun di tingkat petani. Faktor di tingkat petani merupakan faktor mikro yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani untuk mengalihfungsikan atau menjual lahan, sedangkan faktor


(42)

29 di tingkat wilayah merupakan faktor makro berupa data yang secara tidak langsung mempengaruhi kepetusan pemerintah setempat untuk mengambil kebijakan pengalihfungsian lahan. Selain itu kelembagaan yang ada juga ikut mempengaruhi, karena kelembagaan tersebut dapat mendukung atau mencegah alih fungsi lahan yang terjadi. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan pertanian. Penyempitan pada lahan pertanian ini akan berdampak langsung pada volume produksi padi yang mempengaruhi ketahanan pangan, dan pada kondisi ekonomi petani karena skala produksinya tidak mencukupi untuk sampai menguntungkan. Analisis dari faktor-faktor yang mempengaruhi dan dampak yang ditimbulkan oleh alih fungsi lahan dapat dijadikan patokan kebijakan untuk mengontrol alih fungsi lahan tersebut. Skema operasional di atas ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 3.


(43)

30 Keterangan :

Ruang Lingkup Penelitian Sumber: Peneliti, 2013

Gambar 3. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional

Pertumbuhan Penduduk

Peningkatan Kebutuhan Lahan Pemukiman

Alih Fungsi Lahan Pertanian

Pola dan Laju Alih Fungsi Lahan

Faktor yang Mempengaruhi Dampak yang Terjadi

Faktor Mikro Faktor Makro Terhadap Ketahanan Pangan Terhadap Ekonomi Petani Pembangunan Ekonomi Peningkatan Kebutuhan Lahan Industri

Kebijakan Pengelolaan Lahan Faktor Kelembagaan Analisis Logistik Analisis Regresi Analisis Deskriptif Rata-rata Selisih Pendapatan Estimasi Dampak Produksi


(44)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu

Lokasi pengambilan data untuk keperluan penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Bekasi. Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut banyak dibangunan pemukiman dan industri, padahal tata guna lahan di daerah tersebut pada saat ini mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu wilayah ini juga merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan perkembangan ekonomi yang paling cepat, sehingga memberikan implikasi adanya perubahan tata guna lahan. Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara. Desa tersebut dipilih karena pada daerah tersebut banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian. Proses pengumpulan data primer dan sekunder di wilayah tersebut dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga Maret 2013.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor mikro yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani dan dampak terhadap pendapatan petani. Data tersebut didapat dari hasil penyebaran kuesioner dan wawancara langsung dengan petani penggarap sekaligus pemilik lahan. Petani tersebut dipilih karena dianggap tahu seluk-beluk produksi sawahnya dan mempunyai kekuasaan untuk mengalihfungsikan lahan miliknya Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan yang terjadi, faktor-faktor makro yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah, dan dampak


(45)

32 terhadap produksi padi yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pertanian, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Kantor Kecamatan, dan Kantor Desa.

4.3. Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh atau sample yang dilakukan kepada petani dilakukan

secara snowball sampling. Teknik snowball sampling merupakan bentuk dari non

probability sampling method. Metode ini dipilih karena jumlah populasi yang

akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Cara ini dilakukan dengan mencari

sample pertama dan mewawancarainya. Setelah itu peneliti meminta sample

pertama tadi untuk menunjukan orang lain yang sekiranya dapat diwawancarai sesuai dengan kriteria yang diinginkan, dan begitu pula seterusnya. Dalam hal ini populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sample.

Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dengan bantuan kuesioner kepada responden. Responden merupakan pihak yang dapat memberikan informasi dan dapat mewakili dalam menjawab permasalahan penelitian. Responden dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, yaitu petani dengan lahan usaha taninya pernah dialihfungsikan dan petani yang tidak pernah mengalihfungsikan lahannya. Penelitian yang dilaksanakan mengambil responden mengambil responden sebanyak 30 orang. Penetapan sample ini

didasarkan pada pendapat Juanda (2009) yang menyatakan, bahwa jika tidak ada informasi mengenai ragam dari populasi maka ukuran sample minimum yang


(46)

33 menggunakan analisis data statistik adalah 30 responden dimana populasi dianggap menyebar normal.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data, yaitu metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi data dan informasi pada tabulasi data. Metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan, faktor yang mempengaruhinya, dan dampak dari alih fungsi lahan tersebut. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah persamaan laju alih fungsi lahan, analisis regresi berganda, dan analisis uji beda rata-rata. Pengolahan data dan informasi yang didapat dilakukan secara manual dan menggunakan komputerisasi dengan program microsoft office excel 2007, EViews

7, dan Statistical Program Service Solution20.0.

4.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan.


(47)

34 2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data.

3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.

Analisis deskriptif akan memperoleh gambaran mengenai pola atau karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian, serta dampaknya terhadap petani. Analisis secara deskripif juga dilakukan untuk menganalisis kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam mengatur kebijakan pengelolaan lahan di Kabupaten Bekasi.

4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

Menurut Sutani (2009) dalam Astuti (2011), dalam perhitungan laju alih

fungsi lahan pertanian digunakan persamaan penyusutan lahan. Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju penyusutan lahan secara parsial. Laju penyusutan lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut:

� = � − �−1

�−1

× 100%

dimana:

V = Laju penyusutan lahan (%) Lt = Luas lahan tahun ke-t (ha) Lt-1 = Luas lahan tahun sebelum t (ha)

Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelum t (t-1). Kemudian dibagi dengan luas


(48)

35 tahun sebelum t tersebut dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun. Nilai V < 0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan.

4.4.3. Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis regresi linier berganda adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan antara dua variabel atau lebih. Tujuan dari analisis regresi ini adalah menggambarkan hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas atau variabel yang mempengaruhinya. Variabel terikat atau dependen (Y) adalah variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh

variabel bebas. Sedangkan variabel bebas atau independen (X) adalah variabel

yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel terikat. Metode ini dipilih peneliti untuk menduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian secara makro, dimana luas lahan sawah tersebut merupakan variabel terikat (Y).

Faktor-faktor makro yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat wilayah adalah:

1. PDRB (X1)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat mempercepat terjadinya perubahan struktur ekonomi ke arah sektor manufaktur, jasa, dan sektor non pertanian lainnya. Hal ini akan menggeser peruntukan lahan dari pertanian menjadi non pertanian. Hipotesis pada penelitian ini bahwa semakin besar PDRB maka semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi.


(49)

36 2. Laju Pertumbuhan penduduk (X2)

Laju pertumbuhan penduduk adalah kecepatan bertambahnya penduduk. Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan menambah permintaan akan tempat tinggal atau pemukiman. Hal ini mendorong peningkatan pembangunan pemukiman, sehingga menurunkan luasan lahan pertanian. Hipotesis pada penelitian ini adalah semakin besar laju pertumbuhan penduduk maka semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi.

3. Jumlah Industri (X3)

Industri merupakan salah satu hal yang menyebabkan alih lahan pertanian. Permintaan terhadap lahan dari masing-masing sektor saling bersaingan. Jika jumlah industri bertambah maka lahan yang dibutuhkan oleh industri tersebut juga bertambah. Ada indikasi luas pertanian akan dialihfungsikan menjadi industri jika jumlah industri tersebut semakin bertambah. Hipotesis pada penelitian ini adalah semakin banyak jumlah industri yang ada maka semakin besar pula alih fungsi lahan yang terjadi.

Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :

� = + �( 1 1) + �( 2 2) + �( 3 3) +�

dimana:

Y = Penurunan lahan pertanian

α = Intersep

βi = koefisien regresi

Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penurunan lahan ε = Error Term/Residual


(50)

37 Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode OLS

adalah menduga koefisien regresi (βi) dengan meminimumkan residual. OLS dapat menduga koefisien regresi dengan baik, karena: (1) memiliki sifat tidak bias dengan varian yang minimum, (2) variabelnya konsisten dimana dengan meningkatnya ukuran sample maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi

yang sebenarnya, dan (3) koefisien regresinya terdistribusi secara normal (Gujarati 2002).

Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh faktor-faktor yang telah ditentukan dalam persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan, dilakukan pengujian ketelitian dan pengujian kemampuan model regresi. Pengujian model regresi ini terdiri dari uji koefisien determinasi, Uji koefisien regresi menyeluruh, dan Uji koefisien regresi parsial.

1. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Nilai R2 mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel terikat yang dapat diterangkan oleh variabel bebasnya. Nilai R2 memiliki besaran yang positif dan kurang dari satu (0 ≤ R2 ≤ 1). Jika nilai R2

bernilai nol maka keragaman dari variabel terikat tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Sebaliknya, jika nilai R2 bernilai satu maka keragaman dari variabel terikat secara keseluruhan dapat dijelaskan oleh variabel bebas secara sempurna. R2 dapat dirumuskan sebagai berikut :

2 =


(51)

38 ESS = Explained of Sum Square

TSS = Total of Sum Square

2. Uji Koefisien Determinasi yang Disesuaikan (Adj-R2)

Penambahan variabel bebas akan menyebabkan bertambahnya nilai R2. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan menghitung Adj-R2. Adj-R2 adalah koefisien determinasi yang telah disesuaikan, sehingga penambahan nilainya menjadi terbebas dari pengaruh penambahan jumlah variabel bebas. Arti dari nilai Adj-R2 secara harfiah sama dengan nilai R2, hanya saja Adj-R2 lebih tepat karena telah menghilangkan pengaruh dari jumlah variabel. Adj-R2 dapat dirumuskan sebagai berikut:

� - 2 = 1− (� − −1)

(� −1)

Dimana:

RSS = Residual of Sum Square

TSS = Total of Sum Square

n = jumlah observasi K = jumlah koefisien

3. Uji Koefisien Regresi Menyeluruh (F)

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Adapun prosedur yang digunakan :

H0 : β1= β2= β3= ... = βi = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0

ℎ � = ((� −−1))


(52)

39 JKR = Jumlah Kuadrat Regresi

JKG = Jumlah Kuadrat Galat/Residual k = Jumlah variabel terhadap intersep n = Jumlah pengamatan (sample)

Apabila Fhit < Ftab maka H0 diterima yang berarti bahwa variabel bebas secara keseluruhan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Sedangkan apabila Fhit > Ftab maka H0 ditolak yang berarti bahwa variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

4. Uji Koefisien Regresi Parsial (t)

Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel bebas sehingga dapat diketahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Menurut Gujarati (2002), adapun prosedur pengujiannya:

H0 : β1 = 0 H1 : β1 ≠ 0

�ℎ � = � − � Dimana:

b = parameter pendugaan βt = parameter hipotesis Seβ = standar errorparameter β

Jika thit < ttabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Namun, jika thit > ttabel α/2, maka H0


(53)

40 ditolak, artinya variabel bebas yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

Model yang dihasilkan dari regresi linear haruslah baik. Jika tidak maka akan mempengaruhi interpretasinya. Interpretasi ini benar jika model regresi linear memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat

dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan dilakukan uji penyimpangan asumsi, yaitu:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah pada model tersebut residual terdistribusi normal atau tidak. Model yang baik harus mempunyai residual yang terdistribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah dengan membuat histrogram normalitas. Nilai probality yang lebih besar

dari taraf nyata α menandakan residual terdistribusi secara normal. 2. Uji Heterokedastisitas

Suatu model dapat dikatakan mempunyai sifat heterokedastisitas jika ragam residual dalam model tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i dari variabel-variabel bebas dalam model regresi. Akibat dari sifat ini adalah penduga OLS-nya tidak efisien lagi karena standar residualnya bias ke bawah. Salah satu cara mendeteksi heterokedasitisitas adalah dengan melakukan uji Glejser. Uji ini

dilakukan dengan meregresikan nilai absolut dari residual terhadap variabel bebas yang diperkirakan memiliki hubungan erat dengan ragam model, dimana setelah pergresian tersebut didapatkan nilai unsur kesalahan (Prob. Chi-Square). Jika nilai


(54)

41 tersebut lebih besar dari taraf nyata α yang digunakan maka tidak ada permasalahan heterokedastisitas.

3. Uji Autokolerasi

Autokorelasi terjadi jika ada korelasi serial antara residual. Korelasi tersebut terjadi karena residual saling mempengaruhi satu sama lain sehingga residual tersebut tidak bebas. Korelasi tersebut menyebabkan penduga OLS menjadi tidak efisien lagi. Cara mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey. Uji ini dilakukan dengan meregresikan

residual dengan lag residual dan semua regresor. Hasil regresi tersebut akan diperoleh koefisien determinasi (Prob. Chi-Square) untuk mengetahui autokorelasi. Jika nilai tersebut lebih besar dari taraf α yang digunakan maka tidak ada permasalahan autokorelasi.

4. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear sempurna antar variabel bebas dalam suatu model. Hal ini terjadi jika nilai R2 tinggi namun banyak variabel yang tidak signifikan dari uji t. Suatu model yang mempunyai sifat ini maka interpretasi dari model tersebut akan menjadi sulit. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas yaitu dengan melihat nilai VIF (Variance

Inflation Factor) dari masing-masing variabel. Jika nilai VIF > 10 maka terjadi

masalah multikolinearitas yang serius.

4.4.4. Analisis Regresi Logistik

Untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara mikro, digunakan analisis regresi logistik (logit). Alat analisis ini merupakan model non linear, baik dalam parameter maupun variabel. Menurut


(55)

42 Juanda (2009), model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang sebagai berikut:

� = = + = 1

1 + −� =

1 1 + − +

Kemudian persamaan tadi dapat dibalik dengan menggunakan aljabar biasa menjadi:

=

1− �

Variabel dalam persamaan di atas disebut sebagai odds, yang sering

diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood. Parameter e

dalam persamaan tadi mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (ln).

Jika persamaan tersebut ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:

= ln �

1−� dimana = +

Maka persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani adalah sebagai berikut:

1− �� = = + 1 1+ 2 2+ 3 3+ 4 4+ 5 5+�

Dimana:

Z = Peluang terjadi alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)

α = Intersep

βi = Koefisien regresi

Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan ε = Error term/Residual


(1)

94

Classification Tablea

Observed

Predicted

Konversi Percentage Correct tidak jual jual

Step 1 Konversi tidak jual 10 1 90.9

jual 1 18 94.7

Overall Percentage 93.3

Correlation Matrix

Constant pengalaman tanggungan luas biaya persentase

Step 1 Constant 1.000 .131 .026 .336 -.770 -.115

pengalaman .131 1.000 .614 -.727 -.481 .541

tanggungan .026 .614 1.000 -.706 -.481 .688

luas .336 -.727 -.706 1.000 .071 -.569

biaya -.770 -.481 -.481 .071 1.000 -.540


(2)

95 Lampiran 6. Harga Gabah Kering Giling Kabupaten Bekasi Tahun

2002-2011

Bulan / Month 2002

(Rp/Kg) 2003 (Rp/Kg) 2004 (Rp/Kg) 2005 (Rp/Kg) 2006 (Rp/Kg)

Januari / January

1,500.0 1,480.0 1,566.7 1,620.0 2,283.3 Pebruari / February

1,700.0 1,490.0 1,566.7 1,608.0 1,930.7 Maret / March

1,500.0 1,460.0 1,533.3 1,683.0 1,731.5 April / April

1,200.0 1,490.0 1,400.0 1,347.0 1,857.5 Mei / May

1,500.0 1,380.0 1,433.3 1,330.0 2,470.0 Juni / June

1,500.0 1,430.0 1,316.7 1,518.0 2,545.0 Juli / July

1,200.0 1,440.0 1,300.0 1,558.0 2,187.5 Agustus / August

1,200.0 1,520.0 1,333.3 1,577.0 2,258.8 September / September

1,500.0 1,510.0 1,333.3 1,690.0 2,200.0 Oktober / October

1,500.0 1,530.0 1,333.3 1,705.0 2,325.0 November / November

1,500.0 1,560.0 1,383.3 1,823.0 2,350.0 Desember / December

1,500.0 1,480.0 1,650.0 2,213.0 2,840.0

Rata-rata / Average

1,441.7 1,480.8 1,429.2 1,639.3 2,248.3 Sumber: Badan Pusat Statistika Kabupaten Bekasi, Berbagai Terbitan


(3)

96

Bulan / Month 2007

(Rp/Kg) 2008 (Rp/Kg) 2009 (Rp/Kg) 2010 (Rp/Kg) 2011 (Rp/Kg)

Januari / January

3,054.0 2,550.0 2,800.0 3,200.0 3,655.6 Pebruari / February

2,855.0 2,400.0 3,100.0 3,950.0 3,410.0 Maret / March

2,736.0 2,013.0 3,100.0 3,300.0 2,950.0 April / April

2,508.0 2,175.0 3,000.0 2,950.0 2,887.5 Mei / May

2,342.0 2,620.0 2,925.0 3,000.0 2,975.0 Juni / June

2,401.0 2,660.0 2,800.0 2,950.0 3,100.0 Juli / July

2,376.0 2,590.0 2,800.0 3,850.0 3,437.5 Agustus / August

2,510.0 2,490.0 2,800.0 4,000.0 3,431.3 September / September

2,528.0 2,550.0 3,000.0 3,850.0 3,450.0 Oktober / October

2,469.0 2,580.0 3,000.0 4,000.0 3,543.8 November / November

2,451.0 2,620.0 2,900.0 2,900.0 3,625.0 Desember / December

2,450.0 2,725.0 3,200.0 3,200.0 3,775.0

Rata-rata / Average

2,549.0 2,497.8 2,952.1 3,429.2 3,353.4 Sumber: Badan Pusat Statistika Kabupaten Bekasi, Berbagai Terbitan


(4)

97 Lampiran 7. Perhitungan Pendapatan Petani Sebelum dan Setelah Alih

Fungsi Lahan

Perhitungan Pendapatan Petani Sebelum Alih Fungsi Lahan

No.

Pendapatan Usaha Tani

(Rp)

Pekerjaan Sampingan

Pendapatan Sampingan

(Rp)

Pendapatan Sebelum Alih

Fungsi (Rp)

1 2.887.500 Pedagang 2.000.000 4.887.500

2 2.755.000 Tidak Ada 0 2.755.000

3 6.587.500 Tidak Ada 0 6.587.500

4 3.625.000 Pedagang 3.000.000 6.625.000

5 4.250.000 Pedagang 3.000.000 7.250.000

6 2.843.750 Pegawai Percetakan 1.000.000 3.843.750

7 8.125.000 Tidak Ada 0 8.125.000

8 3.382.667 Pemilik Warung 3.000.000 6.382.667

9 787.500 Peternak Jangkrik 1.500.000 2.287.500

10 2.137.281 Pegawai Desa 800.000 2.937.281

11 4.486.042 Tidak Ada 0 4.486.042

12 2.062.500 Pegawai Percetakan 1.500.000 3.562.500

13 6.892.208 Tidak Ada 0 6.892.208

14 4.243.750 Pemilik Warung 1.500.000 5.743.750

15 4.333.333 Tidak Ada 0 4.333.333

16 5.712.500 Tidak Ada 0 5.712.500

17 5.281.250 Peternak Ayam 4.500.000 9.781.250

18 3.606.625 Tidak Ada 0 3.606.625


(5)

98 Perhitungan Pendapatan Petani Setelah Alih Fungsi Lahan

No.

Pendapatan Sampingan

(Rp)

Rencana Pekerjaan

Perkiraan Pendapatan

(Rp)

Perkiraan Pendapatan Setalah Alih Fungsi (Rp)

1 2.000.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 2.000.000

2 0 Tidak Bekerja 0 0

3 0 Dagang 3.000.000 3.000.000

4 3.000.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 3.000.000

5 3.000.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 3.000.000

6 1.000.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 1.000.000

7 0 Tidak Bekerja 0 0

8 3.000.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 3.000.000

9 1.500.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 1.500.000

10 800.000 Buruh Tani 200.000 1.000.000

11 0 Tidak Bekerja 0 0

12 1.500.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 1.500.000

13 0 Tidak Bekerja 0 0

14 1.500.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 1.500.000

15 0 Tidak Bekerja 0 0

16 0 Ternak Ayam 4.500.000 4.500.000

17 4.500.000 Meneruskan Pekerjaan

Sampingan 0 4.500.000

18 0 Tidak Bekerja 0 0


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Muhamad Dika Yudhistira, lahir pada tanggal 23 Agustus 1990 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak Dedi Umar Farouq dan Ibu Ika Atikah Pujiati. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Polisi 4 pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan ke SMP Islam Terpadu Ummul Quro Bogor, lulus pada tahun 2005. Penulis selanjutnya diterima di SMA Negeri 5 Bogor dan lulus di tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dengan minor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan dan kepanitiaan. Penulis merupakan anggota Resources and Environtmental Economics Association (REESA) sebagai staff divisi E-Ship periode 2010-2011. Setelah itu penulis diberi amanah untuk menjadi kepala divisi E-Ship periode 2011-2012.


Dokumen yang terkait

Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Langkat

21 114 113

Analisis Dampak Pengalihan Lahan Konservasi Hutan Bakau Menjadi Lahan Pertambakan Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara (Studi Kasus Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura)

0 22 101

Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor.

1 45 109

Analisis dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan pangan di kabupaten cianjur (studi kasus : desa sukasirna, kecamatan sukaluyu)

4 38 101

Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat)

3 34 92

Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian Studi Kasus Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat

0 6 111

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN Analisis Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Desa Ajibarang Wetan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas.

0 3 16

PERUBAHAN ORIENTASI PEKERJAAN SEBAGAI DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN: Studi Kasus Di Desa Padaasih Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat.

0 3 85

Perubahan Orientasi Pekerjaan Sebagai Dampak Alih Fungsi Lahan (Studi Kasus Di Desa Padaasih Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat).

4 11 37

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi

0 0 8