BAB I Konsep dan Teori

(1)

BAB I

Konsep dan Teori

1. Anak Berbakat

1.1 Pengertian Anak Berbakat

Dalam seminar Nasional mengenai Alternatif Program Pendidikan bagi anak berbakat yang diselenggarakan oleh Badan Peneltian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendeidikan bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Kreativitas pada tanggal 12-14 Nopember 1981 di Jakarta (Utami Munandar, 1982) disepakati bahwa: “Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang professional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi menonjol karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul.”

Menurut definisi yang dikemukakan Joseph Renzulli (1978), anak berbakat memiliki pengertian, “Anak berbakat merupakan satu interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas kemampuan rata- rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas dan kreativitas yang tinggi.

Dalam UUSPN no. 2 Tahun 1989, yang disebut anak berbakat adalah warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa.

Dari defenisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa “anak berbakat adalah seseorang yang tingkat kecerdasannya diatas rata-rata anak normal dan memiliki kemampuan yang unggul dalam segala bidang dan mampu mencapai prestasi dan kreativitas yang menonjol.”

1.2 Karakteristik dan Ciri-Ciri Anak Berbakat 1.2.1 Karakteristik Akademik

Roe, sebagaimana dikutip oleh Zainal Alimin (1996), mengidentifikasikan karakteristik keberbakatan akademik sebagai berikut:

a. Memiliki ketekunan dan rasa ingin tahu yang benar b. Keranjingan membaca

c. Menikmati sekolah dan belajar

Sedangkan Kitano dan Kirby (1986) yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1994) mengemukakan karakteristik keberbakatan bidang akademik sebagai berikut:

a. Memiliki perhatian yang lama terhadap suatu bidang akademik khusus

b. Memiliki pemahaman yang sangat mau tentang konsep, metode, dan terminology dari bidang akademik khusus


(2)

d. Kesediaan mencurahkan sejumlah besar perhatian dan usaha untuk mencapai standar yang lebih tinggi dalam suatu bidang akademik

e. Memiliki sifat kompetitif yang tinggi dalam suatu bidang akademik dan motivasi yang tinggi untuk berbuat yang terbaik

f. Belajar dengan cepat dalam suatu bidang akademik khusus. 1.2.2 Karakteristik Sosial/Emosi

Ada beberapa ciri individu yang memiliki keberbakatan social, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Diterima oleh mayoritas dari teman-teman sebaya dan orang dewasa

b. Keterlibatan mereka dalam berbagia kegiatan social, mereka memberikan sumbangan positif dan konstruktif

c. Kecenderungan dipandang sebagai juru pemisah dalam pertengkaran dan pengambil kebijakan oleh teman sebayanya.

d. Memiliki kepercayaan tentang kesamaan derajat semua orang dan jujur e. Perilakunya tidak defensive dan memiliki tenggang rasa

f. Bebas dari tekanan emosi dan mampu mengontrol ekspresi emosional sehingga relevan dengan situasi

g. Mampu mempertahankan hubungan abadi dengan teman sebaya dan orang dewasa h. Mampu merangsang perilaku produktif bagi orang lain

i. Memiliki kapasitas yang luar biasa untuk menanggulangi situasi social dengan cerdas dan humor

1.2.3 Karakteristik Fisik/Kesehatan

Dalam segi fisik, anak berbakat memiliki penampilan yan menarik dan rapi serta kesehatannya berada lebih baik atau di atas rata-rata (studi longitudinal Terman dalam Samuel A. Kirk, 1986). Renzulli (dalam Sisk, 1987) menyatakan bahwa keberbakatan dikelompokkan menjadi tiga ciri, yaitu kecerdasan jauh dari rata-rata, kreativitas tinggi, dan tanggungjawab terhadap tugas.

1.3 Klasifikasi Anak Berbakat

Anak yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dapat diklasifikasikan menjadi tiga

kelompok, seperti dikemukakan oleh Sutratinah Tirtonegoro (1984; 29) yaitu; Superior, Gifted dan Genius. Ketiga kelompok anak tersebut memiliki peringkat ketinggian intelegensi yang berbeda.

a. Genius

Genius ialah anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga dapat menciptakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Intelligence Quotien-nya (IQ) berkisar antara 140 sampai 200. Anak genius memiliki sifat-sifat positif sebagai berikut; daya abstraksinya baik sekali, mempunyai banyak ide, sangat kritis, sangat kreatif, suka menganalisis, dan sebagainya. Di samping memiliki


(3)

sifat-sifat positif juga memiliki sifat negatif, diantaranya; cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri (egois), temperamennya tinggi sehingga cepat bereaksi (emosional), tidak mudah bergaul, senang menyendiri karena sibuk melakukan penelitian, dan tidak mudah menerima pendapat orang lain.

b. Gifted

Anak ini disebut juga gifted and talented adalah anak yang tingkatkecerdasannya (IQ) antara 125 sampai dengan 140. Di samping memiliki IQ tinggi, juga bakatnya yang sangat menonjol, seperti ; bakat seni musik, drama, dan ahli dalam memimpin masyarakat. Anak gifted diantaranya memiliki karakteristik; mempunyai perhatian terhadap sains, serba ingin tahu, imajinasinya kuat, senang membaca, dan senang akan koleksi.

c. Superior

Anak superior tingkat kecerdasannya berkisar antara 110 sampai dengan 125sehingga prestasi belajarnya cukup tinggi.Anak superior memiliki karakteristik sebagai berikut; dapat berbicara lebih dini, dapat membaca lebih awal, dapat mengerjakan pekerjaan sekolah dengan mudah dan dapat perhatian dari temantemannya.James H. Bryan and Tanis H. Bryan (1979; 302) mengemukakan bahwa karakteristik anak berbakat itu (gifted) meliputi; physical, personal, and social

characteristics. Sedangkan David G. Amstrogn and Tom V. Savage (1983; 327) mengemukakan; “Gifted and talented students are individuals who arecharacteristized by a blaned of (1) high

intelligence, (2) high task comitment, and (3) high creativity. Secara umum hampir semua pendapat itu sama, bahwa anak berbakat memiliki kemampuan yang tinggi jika dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.

1.4 Kerentanan Anak Berbakat

Kerentanan anak berbakat terletak antara ketegangan emosional dan konflik social yang memerlukan tingkat adaptasi yang tinggi agar tidak mengganggu kesehatan mental. Kerentanan ini tampak pada semua anak berbakat, tetapi kebanyakan dari mereka mampu mengunakan kekuatan intelektual unggul mereka untuk penyesuaian diri secara efektif. Namun terkadang kurang berhasil karena konflik yang mereka alami.

Ada enam factor yang menyebabkan anak berbakat dalam keadaan rentan, tiga diantaranya merupakan cirri kepribadian yang dapat menimbulkan kesulitan dan tiga factor lainnya merupakan kondisi lingkungan atau masyarakat yang menyebabkan ketegangan bagi anak berbakat (Whitmore, 1980).

a. Karakteristik kepribadian yang menyebabkan kerentanan anak berbakat, yaitu: - Perfeksionis


(4)

Dorongan dalam untuk mencapai kesempurnaan membuat siswa berbakat tidak puas dengan prestasinya yang tidak dapat memenuhi tujuan-tujuan pribadinya. Hal ini menyebabkan anak berbakat hanya ingin melakukan sesuatu hal yang menurut ia yakin akan berhasil.

- Kepekaan yang berlebihan (supersentivity)

System saraf yang supersensitive dari anak berbakat membuatnya lebih peka terhadap pengamatan dan menanggapi diri dan lingkungannya secara kritis sehingga ia mudah tersinggung dan mempunyai persaan seperti dikucilkan.

- Kurang keterampilan social

Di satu piahk, ada anak berbakat yang sulit dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya, mereka lebih banyak menyendiri sehingga dihinggapi rasa kesendirian dan kesunyian. Tetapi ada juga ada berbakat yang mempunyai sifat kepemimpinan yang mengarah pada kecenderungan untuk mendominasi kelompoknya.

b. Kondisi lingkungan yang dapat menyulitkan anak berbakat, ialah: - Isolasi social

Karena kurang memahami ciri-ciri dan kebutuhan anak berbakat, orang dewasa dalam sikap dan perilaku mereka dapat menunjukkan sentiment atau penolakan terhadap anak berbakat. Demikian pula kelompok sebaya dapat member tekanan terhadap anggota kelompok yang menyimpang dari mayoritas, yang kreatif dan berbakat. Kondisi ini dapat menyebabkan anak berbakat mengalami isolasi social.

- Harapan yang tidak realistis

Harapan atau tuntutan yang tidak realistis terhadap anak berbakat dari pihak orang tua atau orang dewasa lainnya dapat tejadi karena dua hal:

a. kecenderungan untuk menggeneralisasi sehingga anak berbakat diharapkan/dituntut menonjol dalam semua bidang

b. keterlibatan ego orang tua atau guru terhadap keberhasilan anak. Dalam hal ini orang tua dan guru ingin merasa bangga atas prestasi anak.

- Tidak tersedia pelayanan pendidikan yang sesuai

Adanya ketidakpedulian terhadap kebutuhan anak berbakat dan penolakan terhadap hak-hak mereka menyebabkan masyarakat kurang memberikan kesempatan pendidikan yang sesuai bagi anak berbakat. Akibatnya, anak berbakat harus menyelesaikan pendidikan formal dalam sekolah yang sama dengan anak yang mempunyai kemampuan rata-rata, sehingga mereka merasa tidak nyaman dan berdampak negative terhadap kesehatan mentalnya.

2. Anak Berbakat Prestasi Akademis Rendah (Underachievement) 2.1 Pengertian Underachievement

Menurut Davis & Rimm, 1985 (dalam Utami Munandar, 2004; 239 ) menyatakan bahwa underachievement adalah adanya ketidaksesuaian antara prestasi sekolah anak dengan indeks kemampuannya berdasarkan tes intelegensi, prestasi atau kreativitas, atau dari daftar observasi dimana tingkat prestasi sekolah lebih rendah daripada tingkat kemampuan anak.


(5)

Selain itu, Semiawan menyebutkan bahwa underachievement adalah kinerja yang secara signifikan berada dibawah potensinya. Makmun (2001; 274) menambahkan, underachievement adalah mereka yang prestasinya ternyata lebih rendah dari yang diperkirakan berdasarkan hasil tes kemampuan belajarnya.

Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan anak berbakat prestasi akademis rendah (underachievement) adalah anak yang indeks prestasi belajarnya dinyatakan lebih rendah dibandingkan prestasi dari tingkat kemampuannya.

2.2 Penyebab Underachievement

Menurut Edy Gustian, 2002 (dalam Utami Munandar, 2004; 275), undeachiever dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, baik lingkungan luar rumah, maupun dari individu itu sendiri.

Lingkungan sekolah. Jumlah dan target materi-materi yang diberikan, ukuran-ukuran keberhasilan, kemampuan guru dapat menjadi penyebab anak menglami undeachiever.

Faktor guru. Guru juga memegang peranan penting dalam prestasi sekolah anak. Karena gurulah yang mentransfer pengetahuan kepada anak. Cara guru memperlakukan anak didiknya dan menyampaikan materi akan mempengaruhi prestasi yang dicapai anak.

Keluarga dan lingkungan rumah. Cara orang-orang terdekat memperlakuksn anak akan mempengaruhi pencapaian anak dalam berprestasi. Orang tua merupakan tokoh yang sangat berperan dalam menenkan keberhasilan anak. Hasil penelitian terhadap anak-anak yang sukses disekolahnya menunjukkan bahwa peran orang tua sangatlah menentukan keberhasilan mereka. Perhatian, dukungan, dan kesiapan untuk membantu anak merupakan ciri-ciri orang tua yang anaknya berhasil disekolah.

Sementara itu, terdapat faktor lain dalam diri individu yang menyebabkannya menjadi underachiever. Diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Persepsi diri. Anak yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilaian terhadap kemampuan yanng dimilikinya. Anak yang memiliki harga diri yang tinggi akan memiliki keinginan berprestasi yang tinggi pula karena ia menginginkan prestasi sesuai dengan penilaian terhadap kemampuan yang

dimilikinya. Sebaliknya, anak yang memiliki harga diri yang rendah tidak termotivasi untuk berprestasi tinggi.

b. Hasrat berprestasi. Hasrat untuk berprestasi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman anak dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan mengalami frustasi dan tidak mengharapkan hasil yang baik dari tindakan-tindakan yang dilakukannya.


(6)

c. Pola belajar. Pola belajar adalah hasil dari kebiasaan anak. Anak yang pola belajarnya teratur akan memiliki prestasi yang lebih baik dalam pelajaran sekolah jika dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki pola beajar.

2.3 Karakteristik dan Ciri-Ciri Underachievement

Ada beberapa ciri-ciri yang menandakan seorang siswa tergolong siswa underachievement. Whitmore (Sitiatava, 2013; 277) meringkas ciri-ciri yang paling penting dalam suatu daftar yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi mereka. Jika siswa menunjukkan lebih dari sepuluh ciri-ciri dalam daftar tersebut, kemungkinan besar ia termasuk anak berbakat berprestasi kurang.

a. Nilai rendah dalam tes prestasi

b. Mencapai nilai rata-rata atau dibawah rata-rata kelas dalam keterampilan dasar c. Pekerjaan setiap hari tidak lengkap atau buruk

d. Memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat. e. Kesenjangan antara tingkat kualitatif pekerjaan lisan dan tulisan f. Pengetahuannya faktual dan sangat luas

g. Daya imajinasi kuat

h. Selalu tidak puas dengan pekerjaannya juga dalam bidang seni

i. Kecenderungan perfeksionis dan mengkritik diri sendiri, menghindari kegiatan baru seperti menghindari kinerja yang tidak sempurna

j. Menunjukkan prakarsa dalam mengerjakan proyek dirumah yang dipilih sendiri

k. Mempunyai minat luas dan mungkin keahlian khusus dalam suatu bidang penelitian dan riset

l. Rasa harga diri rendah nyata dalam kecenderungan untuk menarik diri atau menjadi agresif didalam kelas

m. Tidak berfungsi konstruktif didalam kelompok. Menunjukkan kepekaan dalam persepsi terhadap diri sendiri, oranglain dan terhadap hidup pada umumnya

n. Menetapkan tujuan yang tidak realistis untuk diri sendiri o. Tidak menyukai pekerjaan praktis atau hafalan

p. Tidak mampu memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas-tugas q. Mempunyai sikap acuh dan negatif terhadap sekolah

r. Menolak upaya guru untuk memotivasi atau mendisiplinkan perilaku dalam kelas

s. Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya, kurang dapat mempertahankan persahabatan.


(7)

Whitemore, 1980:Sulistiana 2009 (dalam Sitiatava 2013:279) mengklasaifikasikan underachiever kedalam beberapa bagian, yaitu :

2.4.1 Klasifikasi berdasarkan Pengkuruan

Berdasarkan hasil pengukuran, dijelaskan bahwa undeachiever yang terjaadi dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok, yakni sebagai berikut :

a. Tidak diketahui, yaitu gejala undeachiever yang tidak ditemukan karena siswa secara konstan menampilkan kemampuannya yang buruk. Sehingga kemampuan yang sebenarnya tidak pernah tampil. Dari hasil pengukuran tes aptitude dan achievement yang diperoleh relatif rendah.

b. Skor tes aptitude tinggi, sedangkan tes achievement dan nilai ulangan rendah

c. Skor tes achievement standard tinggi, namun nilai ulangan rendah. Rendahnya nilai ulangan disebabkan oleh penyelesaian tugas-tugas haian yang buruk.

2.4.2 Klasifikasi berdasarkan Rentang Waktu

Berdasarkan rentang waktu terjadinya, underachiever yang dialami oleh siswa dapat digolongkan menjadi dua, yakni sebagai berikut :

a. Underachiever sesaat/situasional. Yaitu underachiever yang gejalanya muncul hanya seaktu-waktu, dan disebabkan oleh faktor pencetusyang sifatnya gangguan sesaat, seperti

perceraian orang tua, pindah sekolah, mempunyai minat baru, tidak suka dengan guru dan sebagainya.

b. Underachiever kronis. Underachiever jenis ini berlngsung dalam jangka waktu lama, dan faktor pencetusnya tidak jelas.

2.4.3 Klasifikasi berdasarkan Luasnya

Berdasarkan luasnya, underachiever yang terjadi diklasifikasikan menjadi tiga, yakni sebagai berikut :

a. Underachiever pada suatu keterampilan yang spesifik. Dalam kelompok ini siswa menunjukkn gejala underachiever pada satu bidang tertentu saja, misalnya matematika, menulis atau olahraga yang disebabkan oleh kurangnya minat dan motivasi.

b. Undeachiever pada suatu bidang keterampilan yang leih luas. Pada kelompok ini,

underachiever terjadi dalam beberapa keterampilan, yang menyangkut ketrampilan dasar yang sama, seperi ketrampilan membaca, meneulis dan mengarang.

c. Underachiever menyeluruh. Siswa yang tergolong kepada underachiever jenis ini

mnunjukkan keterampilan yang rendah pada semua bidang keterampilan. Tidak ada satupun mata pelajaran yang mendapat nilai lebih baik dari nilai rata-rata kelas, bahkan biasanya dibawah rata-rata.


(8)

BAB II

Kasus 2.1 Kasus Anak Berbakat


(9)

(10)

2.2 Kasus Anak Berbakat Prestasi Rendah (underachievement) Kasus ini dikutip dari Nugraha Danu on Feb 8, 2013

Seorang anak yang pendiam, jarang gaul dan pengalah. Ia mempunyai masa lalu yang pahit. Saat usia sekolah, ia dianggap pemalas dan autis. Ejekan, kekerasan mental baik dari teman maupun guru sekolah sering dirasakannya. Namun, Satrio Wibowo mampu bangkit, di usia 12 tahun ia menulis sebuah novel berbahasa Inggris dengan tebal 450 halaman. Ia juga mempunyai bakat melukis. Dunia sekolah formal baginya adalah sebuah monster.

Melihat raut wajah Satrio Wibowo terlihat seperti seorang yang tidak banyak bicara. Namun, ketika ditanya soal sistem pendidikan, ia begitu tajam mengkritiknya. Padahal usianya masih 17 tahun. Satrio baru menjadi mahasiswa semester pertama di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Perfilman. Bicara tajam soal sistem


(11)

pendidikan, tidak terlepas dari pengalamannya selama mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Ia mengalami pengalaman pahit sejak usia TK sampai SMP. Di sekolahnya, ia sering dibully baik fisik maupun mental. Satrio sering dianggap sebagai anak bodoh, tak bisa mengikuti pelajaran. Ejekan didapatnya hampir setiap hari, baik dari teman maupun gurunya. Tak jarang ini membuat dirinya tidak mau sekolah. Setiap pekerjaan rumah yang diberikan guru juga tidak dikerjakan.

Meski dianggap aneh oleh teman dan gurunya, ada bakat terpendam yang dimiliki Satrio. Ia pintar melukis dan menulis. Sejak berumur dua tahun Satrio sudah bisa menulis huruf dan angka dengan baik. Di usia empat tahun ia sudah mahir menggambar. ”Hasilnya pun sangat ekspresif“, ujar Yeni Sahnaz, ibu Satrio . Namun ketika memasuki usia TK, anak pasangan Subardjo dan Yeni Sahnaz ini tidak mau sekolah. Apalagi dituntut untuk bangun pagi, ia merasa ada sebuah keterpaksaan. Diakui Yeni, ritme hidup Satrio memang berbeda dengan orang pada umumnya. Satrio sering beraktivitas pada malam hari, sementara waktu siang dijadikan untuk istirahat. Meski begitu, Satrio bisa lulus TK.

Sang ibu berharap, Bowo, pangglian akrab Satrio Wibowo bisa berubah ketika masuk sekolah dasar. Namun harapan tersebut tidak pernah dialaminya. Satrio semakin tidak mau sekolah, alasannya tidak mau mengerjakan PR. Atas tingkah Satrio tersebut, saat duduk di bangku kelas dua, ibu Satrio meminta kepada gurunya agar anaknya tersebut tidak usah dinaikkan kelasnya. Atas tindakan ini, Satrio begitu marah. “Orang lain tuh berusaha agar anaknya naik kelas, ini malah meminta untuk tidak naik kelas,” kenang Yeni menirukan ucapan Satrio. Bahkan Satrio selama satu tahun terus marah dan berontak atas tindakan ibunya tersebut. “ Sampai sekarang saya merasa dosa besar terhadap Satrio”, kenang Yeni menyesal.

Selama sekolah di SD, tidak banyak murid seangkatannya mau berteman dengan Satrio. Bahkan ia mengaku sering mendapat kekerasan terutama dari teman-temannya, lagi-lagi mereka menganggap Satrio berbeda dan aneh. Satrio juga jarang sekolah karena sering sakit, namun dengan susah payah akhirnya Satrio bisa lulus SD.

Setelah lulus SD, Satrio didaftarkan ke SMPN 5 Bogor, salah satu sekolah favorit di kota hujan. Di sekolah ini, Satrio juga sering mendapat kekerasan baik mental maupun fisik. Ia juga sering sakit. Memang sejak kecil, Satrio sering sakit-sakitan seperti panas atau demam. Sebagai seorang ibu, Yeni selalu khawatir dengan kesehatan anaknya. Berkali-kali ibu dua anak itu membawa Satrio ke rumah sakit. Bahkan ia juga pernah membawa Satrio ke tempat pengobatan alternatif. Namun, tak satupun bisa mengatasinya secara total. Penyakit Satrio masih sering kambuh. Puncaknya ketika berumur 12 tahun, Satrio kejang-kejang, suhu badannya tinggi. Selaku orang tua, Yeni panik sekaligus kasihan melihat kondisi anaknya. Dalam kondisi cemas, Yeni selalu berdoa yang terbaik buat anaknya. “Ya Allah, kenapa bukan saya saja yang mengalami ini, kalau Satrio mau diambil, ambil saja,” ujar Yeni pasrah. Ia tidak tega melihat anaknya menahan sakit seperti itu.

Akhirnya Yeni pun sadar dan berintrospeksi diri. Dalam hati ia bertanya, mungkinkah anaknya tersebut sering sakit akibat stres karena beban pikiran? Suatu malam, saat Satrio sedikit pulih dari sakitnya, Yeni mengajak berbicara dari hati ke hati. Ia mencoba memahami sang buah hati dengan cara mendengarkan keluhannya. Kepada sang ibu Satrio menyampaikan keinginannya, yaitu menulis. “Mungkin Satrio ingin mencurahkan isi pikiran dan perasaannya”, ujar Yeni Sahnaz.

Tidak berapa lama, Satrio mengetik di komputer milik ibunya. Namun tak dinyana, anak usia 12 tahun itu, dalam kondisi masih sakit menulis sebuah novel dalam bentuk bahasa Inggris. Dalam waktu dua minggu tulisannya selesai sampai tujuh bab. Novel inilah yang menjadi cikal bakal karyanya yang ditulis Satrio. Khawatir sekolahnya terganggu, sang ibu meminta agar proses penulisan yang sedang dikerjakan dihentikan sementara.


(12)

novel fiksi yang persis menggambarkan kehidupan sosok Satrio Wibowo. Dikisahkan dalam novel tersebut, seorang remaja usia SMP bernama Willy Flarkies berpetualang dalam sebuah kehidupan dunia lain yang futuristik dengan teknologi yang sangat pesat namun ramah lingkungan. Rasa sedih, lucu dan penuh misteri mewarnai isi ceritanya. Banyak pesan moral yang disampaikan dalam buku tersebut, mulai dari pelestarian lingkungan, pendidikan, hubungan orang tua dan anak sampai sebuah persahabatan.

Kreativitas Satrio Wibowo dalam menulis dan menerbitkan novel The Chronicles of Willy Flarkies menjadi senjata ampuh untuk memutarbalikkan pandangan negatif orang terhadap dirinya. Ia berhasil membuktikan bakatnya yang luar biasa. “Setelah novel tersebut terbit, guru saya berubah sikap menjadi baik” ujar Satrio.

Tak hanya novel karya Satrio yang mengagumkan. Ia juga seorang pelukis. Puluhan karya lukisannya terpampang di ruang tamu dan kamar rumahnya. Lukisannya begitu ekspresif, futuristik dan karakternya pun begitu kuat. Semua lukisannya mengandung makna. Sosok monster yang menakutkan tak luput dari gambarannya. “Monster manggambarkan sistem pendidikan”, kata Satrio Wibowo ketika ditanya makna dari monster tersebut.

Sosok Ibu di Balik Satrio.

Satrio Wibowo lahir di Serang, Banten 24 November 1994. Sejak mengandung Satrio, Yeni Sahnaz mengaku selalu diliputi rasa cemas dan takut, apalagi sering ditinggal suaminya kerja ke luar kota sampai berbulan-bulan. Sementara anak pertamanya saat itu baru berumur 1,5 tahun. Selama sembilan bulan mengandung, rasa khawatir yang berlebih selalu menyelimutinya. Ketika buah hatinya lahir, sang ibu merasakan seolah ada kecemasan pada diri buah hatinya. Hal tersebut ditandai dengan bayinya yang terus menerus menangis, apalagi jika terlepas dari

pangkuannya.

Seiring dengan bertambahnya usia, Satrio pun semakin besar. Namun sifatnya yang resah masih saja melekat dalam dirinya, bahkan sampai usia sekolah menengah. Memang, mengurus seorang Satrio Wibowo, Yeni Sahnaz harus banyak bersabar. Apalagi banyak anggapan negatif dari orang lain terhadap buah hatinya tersebut. Ia sempat bingung, bagaimana harus mengarahkan Satrio untuk mau bersekolah. Ia sadar, Satrio memang secara akademik tidak pintar, namun memiliki bakat yang luar biasa, yaitu menulis dan melukis. Namun kreativitasnya tidak tersalurkan.

Pendidikan formal bagi Satrio merupakan hal yang menakutkan. Sejak usia TK sampai SMP ia selalu menolak untuk sekolah. Apalagi muncul stigma di kalangan teman dan gurunya kalau Satrio ‘otaknya kurang’ terutama menyangkut ilmu eksakta. Saat kelas 2 SMP, Satrio pernah difitnah oleh teman-temannya membocorkan soal ujian. ” Gurunya percaya saja apa yang dikatakan teman-teman Satrio”, ujar Yeni Sahnaz. Sang Ibu mencoba datang ke sekolah untuk mengkonfirmasi tuduhan tersebut, dengan cara berbicara kepada teman Satrio dan guru sekolahnya. “ Saya hanya ingin memberi pelajaran kepada Satrio, jika terbukti bersalah Satrio harus meminta maaf”, ujar Yeni kepada guru dan Satrio. “Tapi kalau Satrio tidak bersalah, yang menuduh Satrio juga harus meminta maaf”, tambah Yeni. Hasilnya, tuduhan bahwa Satrio membocorkan soal ulangan, memang tidak terbukti.

Secara susah payah, Satrio bisa lulus SMP. Setelah itu, orang tuanya menyekolahkan dengan cara home schooling. Ketika memilih sistem ini, bukan berarti tidak ada hambatan bagi Yeni Sahnaz. Ia begitu awam mengenai mekanisme home schooling. Berbagai informasi mengenai sekolah mandiri tersebut dicari, mulai dari internet sampai mendatangi komunitas home schooling yang ada di Pamulang, Tangerang Selatan.

Dua tahun Satrio menjalani home schooling. Hambatan selanjutnya adalah ketika proses kelulusan Satrio. Pasalnya, tidak ada PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai suatu wadah pendidikan nonformal, yang mau meluluskan Satrio. Usaha Yeni tak berhenti begitu saja, sampai suatu saat ada sebuah PKBM yang mau melakukan tes dan akhirnya Satrio dinyatakan lulus.


(13)

Sebagai anak yang memiliki bakat dan kreativitas luar biasa, beberapa kali Satrio diundang menjadi narasumber di beberapa lembaga pendidikan. Ia sering menjadi pembicara menyangkut pengalaman hidup dan sekolahnya. Ia juga kerap menggunakan bahasa Inggris dalam menyampaikan ceramahnya.

Bercita-Cita Menjadi Sutradara

Salah satu karya lukisan Satrio Wibowo yang dipajang di dinding rumahnya Satrio Wibowo mempunyai banyak kegemaran, terutama menyangkut seni. Ia gemar menulis, membaca novel, melukis, menggambar sketsa dan menonton film fantasi. Ia bercita-cita menjadi sutradara film. Demi mencapai cita-cita tersebut ia mengambil kuliah di IKJ jurusan perfilman. Cita-citanya menjadi sutradara, muncul ketika Satrio sering menonton film di bioskop. “Saya ingin menginspirasi masyarakat dunia lewat film”, ujar Satrio Wibowo ketika ditanya soal pilihannya menjadi sutradara. Di tempat kuliahnya inilah ia merasa bakat dan kreativitasnya tersalurkan.Dalam waktu dekat, Satrio Wibowo akan menerbitkan novel karyanya The Chronicles of Willy Flarkies dalam versi bahasa Inggris. Sebuah penerbit ternama akan menerbitkan novelnya tersebut. Sebelumnya, novel pernah diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia. Rencananya, novelnya akan diterbitkan berbarengan dengan buku yang dibuat oleh ibunya, Yeni Sahnaz berjudul Gifted. Jika novel The Chronicles of Willy Flarkies bercerita tentang petualangan seorang Willy Flarkies dalam dunia yang futuristik, buku Gifted karya Yeni Sahnaz berisi tentang perjuangan seorang ibu dalam mendidik anak gifted. Isi buku tersebut merupakan kisah nyata Yeni Sahnaz dalam mendidik Satrio Wibowo.

Novel The Chronicles of Willy Flarkies, rencananya akan dibuat secara berseri. “Mungkin ada lima seri”, ujar Satrio. Bicara soal rencana, kreativitas Satrio dalam menulis novel terus diasah. Pria asal Bogor, Jawa Barat ini juga berencana menerbitkan novel lainnya, tentunya dengan cerita yang berbeda dari novel The Chronicles of Willy Flarkies. “Saya ingin membuat novel tentang Michael Jackson, tapi dalam bentuk fiksi”, tambah Satrio mantap. Keinginan Satrio membuat novel fiksi tentang Michael Jackson tidak terlepas dari kekagumannya terhadap raja pop tersebut. Namun segudang rencana Satrio nampaknya terpaksa harus tertunda, lantaran kesibukannya sebagai mahasiswa. “Mungkin tahun depan akan diterbitkan”, ujar penyuka film fiksi tersebut.

Keberhasilan Satrio Wibowo keluar dari kungkungan dan bangkit dengan kreativitasnya memang tidak terlepas dari peran orang tua, terutama sang ibu. Tak heran, jika Satrio menganggap ibunya sebagai pahlawan yang setia dan selalu ada saat dibutuhkan.

Menurut Yeni Sahnaz sendiri, Satrio Wibowo merupakan salah satu anak korban sistem pendidikan yang tidak memihak pada kreativitas. Ia yakin masih banyak Satrio Wibowo lain yang mengalami kasus serupa. Karena itu, Yeni sangat senang bertukar pikiran mengenai pengalamannya dalam mengarahkan anak yang memiliki multi talenta.

BAB III Pembahasan

3.1 Kasus Anak Berbakat

Sebagaimana defenisi yang telah dipaparkan oleh pemateri berdasarkan pendapat Joseph Renzulli (1978) “Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang professional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi menonjol karena mempunyai


(14)

karena disekolah dalam pelajaran sehari-hari, ia memiliki prestasi yang sangat tinggi dengan IQ 140. Hal ini juga sudah diakui oleh gurunya yang dilihat dari hasil belajarnya.

Bila dikaitkan kasus diatas, Adi adalah anak yang berbakat yang termasuk dalam kelompok Genius karena ia mempunyai IQ 140. Dipaparkan dalam kasus tersebut bahwa Adi mampu

memecahkan masalah yang ditugaskan gurunya terhadap kelompoknya.

Selain itu ia juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mampu memecahkan masalah dengan cepat serta termasuk anak murid yang bijak dan smart. Ini juga sudah tepat dengan penjabaran ciri-ciri yang sudah dibahas dalam BAB I. Sang guru pun juga mengakui bahwa Adi memiliki keunggulan dibandingkan anak yang lainnya. Kalaulah kembali lagi dengan ciri yang kami ambil dari beberapa sumber, anak berbakat memang mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar, mampu mengambil kebijakan dari diskusi dengan teman sebayanya, serta cerdas dalam pendidikan.

Pemahaman yang sangat mau tentang konsep, metode, dan terminology dari bidang

akademik khusus/tertentu terlihat jelas pada diri Adi yang sangat menekuni dan meminati berbagai berita tentang sejumlah penelitian terhadap hewan dan menguji berbagai masalah kemanusiaan. Tidak hanya itu, kemampuannya dalam mempelajari suatu bidang khusus sangat cepat, sehingga dengan gampang pula ia dapat menyusun berbagai berita yang kemudian ia susun sehingga menjadi sebuah kliping.

3.2 Kasus Anak Berbakat Prestasi Akademis Rendah (Underachievement)

Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya pada teori, bahwa underachiever yang diungkapkan oleh Davis & Rimm, 1985 (dalam Utami Munandar, 2004; 239 ) menyatakan bahwa underachievement adalah adanya ketidaksesuaian antara prestasi sekolah anak dengan indeks kemampuannya berdasarkan tes intelegensi, prestasi atau kreativitas, atau dari daftar observasi dimana tingkat prestasi sekolah lebih rendah daripada tingkat kemampuan anak.


(15)

Anak yang berbakat tidak selalu memiliki nilai akademik yang tinggi. Anak yang tidak memiliki kemampuan akademik yang tinggi belum tentu dia tidak berbakat. Hal ini sangat sesuai dengan contoh kasus II yang telah kami jabarkan sebelumnya.

Satrio Wibowo adalah salah satu anak yang tergolong dalam underachiever. Kemampuan akademik yang ia miliki tergolong rendah. Salah satu ciri-ciri yang sangat terkait pada diri Satrio adalah memiliki sikap acuh dan negatif terhadap sekolah. Satrio sangat membenci sekolah. Baik itu pelajarannya, teman-temannya bahkan guru yang mendidiknya pun sangat dibencinya. Hal ini beralasan sebenarnya. Satrio sangat benci dengan dunia pendidikan dikarenakan kelemahannya yang tidak dihargai oleh pihak sekolah. Anggapan-anggapan negatif yang bermunculan itulah yang akhirnya membuat Satrio menjadi anak yang lebih pemalas dan pendiam sekali.

Satrio juga sering megalami kesulitan-kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya, namun, pengetahuan faktualnya yang sangat luas, serta memiliki daya imajinasi yang kuat.

Imajinasi serta pengetahuannya yang sangat luas mengakibatkan ia juga memiliki keahlian khusus dalam suatu bidang.

Jika diklasifikasikan, Satrio berada dalam Underachiever sesaat/situasional, dimana gejala ini muncul hanya pada situasi tertentu. Walaupun demikian, Satrio sebenarnya memiliki skor tes aptitude yang tinggi, hanya saja nilai akademiknya rendah. Bakat yang tinggi ia tunjukkan melalui kemampuan berbahasa dan kemampuannya dalam menulis. Pada umur 12 tahun ia sudah mampu menulis novel dalam bahasa Inggris setebal 450 halaman dan ia juga sangat menyukai seni. Lukisan-lukisannya sangat menawan hati banyak orang.

BAB IV Penutup 4.1 Kesimpulan


(16)

Pemakalah menyimpulkan bahwa “anak berbakat adalah seseorang yang tingkat

kecerdasannya diatas rata-rata anak normal dan memiliki kemampuan yang unggul dalam segala bidang dan mampu mencapai prestasi dan kreativitas yang menonjol.”

Karakteristik anak berbakat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu karakteristik akademik,

karakteristik sosial/emosi, dan karakteristik fisik/kesehatan. Menurut Sutratinah Tirtonegoro (1984; 29) yaitu; Superior, Gifted dan Genius. Ketiga kelompok anak tersebut memiliki peringkat

ketinggian intelegensi yang berbeda. Akan tetapi, ada enam factor yang menyebabkan anak berbakat dalam keadaan rentan, tiga diantaranya merupakan cirri kepribadian yang dapat

menimbulkan kesulitan dan tiga factor lainnya merupakan kondisi lingkungan atau masyarakat yang menyebabkan ketegangan bagi anak berbakat (Whitmore, 1980). Didalam karakteristik

kepribadiannya, kerentanan anak berbakat disebabkan anak berbakat yang mempunyai sifat perfeksionis, kepekaan yang berlebihan, dan kurang keterampilan sosial. Sedangkan berdasarkan kondisi sosialnya, yang dapat menyulitkan anak berbakat adalah isolasi sosial, harapan yang tidak realistis, dan juga tidak tersedia pelayanan pendidikan yang sesuai.

Disamping itu, ada juga anak berbakat dengan prestasi rendah (underachievement). Yang dimaksud dengan underachievement itu adalah “anak berbakat prestasi akademis rendah (underachievement) adalah anak yang indeks prestasi belajarnya dinyatakan lebih rendah dibandingkan prestasi dari tingkat kemampuannya.”

Hal yang dapat menyebabkan seorang anak mengalami underachievement menurut Edy Gustian, 2002 (dalam Utami Munandar, 2004; 275) antara lain dikarenakan faktor lingkungan baik lingkungan luar rumah maupun individunya. Faktor lingkungan luar yang dapat menyebabkan underachievement antara lain lingkungan sekolah, faktor guru, keluar dan lingkungan rumah. Sementara faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri antara lain adalah persepsi diri, hasrat berprestasi, dan pola belajar.

Karakteristik yang dapat mengidentifikasi seorang anak mengalami underachievement

berdasarkan Whitmore (Sitiatava, 2013; 277) adalah Nilai rendah dalam tes prestasi, Mencapai nilai rata-rata atau dibawah rata-rata kelas dalam keterampilan dasar, Pekerjaan setiap hari tidak lengkap atau buruk, Memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat, Kesenjangan antara tingkat kualitatif pekerjaan lisan dan tulisan, Pengetahuannya faktual dan sangat luas, Daya imajinasi kuat, Selalu tidak puas dengan pekerjaannya juga dalam bidang seni, Kecenderungan perfeksionis dan mengkritik diri sendiri, menghindari kegiatan baru seperti menghindari kinerja yang tidak sempurna, Menunjukkan prakarsa dalam mengerjakan proyek dirumah yang dipilih sendiri, Mempunyai minat luas dan mungkin keahlian khusus dalam suatu bidang penelitian dan riset, Rasa harga diri rendah nyata dalam kecenderungan untuk menarik diri atau menjadi agresif didalam kelas, Tidak berfungsi konstruktif didalam kelompok. Menunjukkan kepekaan dalam


(17)

persepsi terhadap diri sendiri, oranglain dan terhadap hidup pada umumnya, Menetapkan tujuan yang tidak realistis untuk diri sendiri, Tidak menyukai pekerjaan praktis atau hafalan, Tidak mampu memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas-tugas, Mempunyai sikap acuh dan negatif terhadap sekolah, Menolak upaya guru untuk memotivasi atau mendisiplinkan perilaku dalam kelas, Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya, kurang dapat mempertahankan

persahabatan.

Jenis-jenis underachievement diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu klasifikasi

berdasarkan pengkuruan, klasifikasi berdasarkan rentang waktu, klasifikasi berdasarkan luasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rizema, Sitiatava. (2013). panduan pendidikan berbasis bakat siswa. Yogyakarta:Diva Press

Munandar,Utami. (1999). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta:Rineka Cipta.


(1)

novel fiksi yang persis menggambarkan kehidupan sosok Satrio Wibowo. Dikisahkan dalam novel tersebut, seorang remaja usia SMP bernama Willy Flarkies berpetualang dalam sebuah kehidupan dunia lain yang futuristik dengan teknologi yang sangat pesat namun ramah lingkungan. Rasa sedih, lucu dan penuh misteri mewarnai isi ceritanya. Banyak pesan moral yang disampaikan dalam buku tersebut, mulai dari pelestarian lingkungan, pendidikan, hubungan orang tua dan anak sampai sebuah persahabatan.

Kreativitas Satrio Wibowo dalam menulis dan menerbitkan novel The Chronicles of Willy Flarkies menjadi senjata ampuh untuk memutarbalikkan pandangan negatif orang terhadap dirinya. Ia berhasil membuktikan bakatnya yang luar biasa. “Setelah novel tersebut terbit, guru saya berubah sikap menjadi baik” ujar Satrio.

Tak hanya novel karya Satrio yang mengagumkan. Ia juga seorang pelukis. Puluhan karya lukisannya terpampang di ruang tamu dan kamar rumahnya. Lukisannya begitu ekspresif, futuristik dan karakternya pun begitu kuat. Semua lukisannya mengandung makna. Sosok monster yang menakutkan tak luput dari gambarannya. “Monster manggambarkan sistem pendidikan”, kata Satrio Wibowo ketika ditanya makna dari monster tersebut.

Sosok Ibu di Balik Satrio.

Satrio Wibowo lahir di Serang, Banten 24 November 1994. Sejak mengandung Satrio, Yeni Sahnaz mengaku selalu diliputi rasa cemas dan takut, apalagi sering ditinggal suaminya kerja ke luar kota sampai berbulan-bulan. Sementara anak pertamanya saat itu baru berumur 1,5 tahun. Selama sembilan bulan mengandung, rasa khawatir yang berlebih selalu menyelimutinya. Ketika buah hatinya lahir, sang ibu merasakan seolah ada kecemasan pada diri buah hatinya. Hal tersebut ditandai dengan bayinya yang terus menerus menangis, apalagi jika terlepas dari

pangkuannya.

Seiring dengan bertambahnya usia, Satrio pun semakin besar. Namun sifatnya yang resah masih saja melekat dalam dirinya, bahkan sampai usia sekolah menengah. Memang, mengurus seorang Satrio Wibowo, Yeni Sahnaz harus banyak bersabar. Apalagi banyak anggapan negatif dari orang lain terhadap buah hatinya tersebut. Ia sempat bingung, bagaimana harus mengarahkan Satrio untuk mau bersekolah. Ia sadar, Satrio memang secara akademik tidak pintar, namun memiliki bakat yang luar biasa, yaitu menulis dan melukis. Namun kreativitasnya tidak tersalurkan.

Pendidikan formal bagi Satrio merupakan hal yang menakutkan. Sejak usia TK sampai SMP ia selalu menolak untuk sekolah. Apalagi muncul stigma di kalangan teman dan gurunya kalau Satrio ‘otaknya kurang’ terutama menyangkut ilmu eksakta. Saat kelas 2 SMP, Satrio pernah difitnah oleh teman-temannya membocorkan soal ujian. ” Gurunya percaya saja apa yang dikatakan teman-teman Satrio”, ujar Yeni Sahnaz. Sang Ibu mencoba datang ke sekolah untuk mengkonfirmasi tuduhan tersebut, dengan cara berbicara kepada teman Satrio dan guru sekolahnya. “ Saya hanya ingin memberi pelajaran kepada Satrio, jika terbukti bersalah Satrio harus meminta maaf”, ujar Yeni kepada guru dan Satrio. “Tapi kalau Satrio tidak bersalah, yang menuduh Satrio juga harus meminta maaf”, tambah Yeni. Hasilnya, tuduhan bahwa Satrio membocorkan soal ulangan, memang tidak terbukti.

Secara susah payah, Satrio bisa lulus SMP. Setelah itu, orang tuanya menyekolahkan dengan cara home schooling. Ketika memilih sistem ini, bukan berarti tidak ada hambatan bagi Yeni Sahnaz. Ia begitu awam mengenai mekanisme home schooling. Berbagai informasi mengenai sekolah mandiri tersebut dicari, mulai dari internet sampai mendatangi komunitas home schooling yang ada di Pamulang, Tangerang Selatan.

Dua tahun Satrio menjalani home schooling. Hambatan selanjutnya adalah ketika proses kelulusan Satrio. Pasalnya, tidak ada PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai suatu wadah pendidikan nonformal, yang mau meluluskan Satrio. Usaha Yeni tak berhenti begitu saja, sampai suatu saat ada sebuah PKBM yang mau melakukan tes dan akhirnya Satrio dinyatakan lulus.


(2)

Sebagai anak yang memiliki bakat dan kreativitas luar biasa, beberapa kali Satrio diundang menjadi narasumber di beberapa lembaga pendidikan. Ia sering menjadi pembicara menyangkut pengalaman hidup dan sekolahnya. Ia juga kerap menggunakan bahasa Inggris dalam menyampaikan ceramahnya.

Bercita-Cita Menjadi Sutradara

Salah satu karya lukisan Satrio Wibowo yang dipajang di dinding rumahnya Satrio Wibowo mempunyai banyak kegemaran, terutama menyangkut seni. Ia gemar menulis, membaca novel, melukis, menggambar sketsa dan menonton film fantasi. Ia bercita-cita menjadi sutradara film. Demi mencapai cita-cita tersebut ia mengambil kuliah di IKJ jurusan perfilman. Cita-citanya menjadi sutradara, muncul ketika Satrio sering menonton film di bioskop. “Saya ingin menginspirasi masyarakat dunia lewat film”, ujar Satrio Wibowo ketika ditanya soal pilihannya menjadi sutradara. Di tempat kuliahnya inilah ia merasa bakat dan kreativitasnya tersalurkan.Dalam waktu dekat, Satrio Wibowo akan menerbitkan novel karyanya The Chronicles of Willy Flarkies dalam versi bahasa Inggris. Sebuah penerbit ternama akan menerbitkan novelnya tersebut. Sebelumnya, novel pernah diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia. Rencananya, novelnya akan diterbitkan berbarengan dengan buku yang dibuat oleh ibunya, Yeni Sahnaz berjudul Gifted. Jika novel The Chronicles of Willy Flarkies bercerita tentang petualangan seorang Willy Flarkies dalam dunia yang futuristik, buku Gifted karya Yeni Sahnaz berisi tentang perjuangan seorang ibu dalam mendidik anak gifted. Isi buku tersebut merupakan kisah nyata Yeni Sahnaz dalam mendidik Satrio Wibowo.

Novel The Chronicles of Willy Flarkies, rencananya akan dibuat secara berseri. “Mungkin ada lima seri”, ujar Satrio. Bicara soal rencana, kreativitas Satrio dalam menulis novel terus diasah. Pria asal Bogor, Jawa Barat ini juga berencana menerbitkan novel lainnya, tentunya dengan cerita yang berbeda dari novel The Chronicles of Willy Flarkies. “Saya ingin membuat novel tentang Michael Jackson, tapi dalam bentuk fiksi”, tambah Satrio mantap. Keinginan Satrio membuat novel fiksi tentang Michael Jackson tidak terlepas dari kekagumannya terhadap raja pop tersebut. Namun segudang rencana Satrio nampaknya terpaksa harus tertunda, lantaran kesibukannya sebagai mahasiswa. “Mungkin tahun depan akan diterbitkan”, ujar penyuka film fiksi tersebut.

Keberhasilan Satrio Wibowo keluar dari kungkungan dan bangkit dengan kreativitasnya memang tidak terlepas dari peran orang tua, terutama sang ibu. Tak heran, jika Satrio menganggap ibunya sebagai pahlawan yang setia dan selalu ada saat dibutuhkan.

Menurut Yeni Sahnaz sendiri, Satrio Wibowo merupakan salah satu anak korban sistem pendidikan yang tidak memihak pada kreativitas. Ia yakin masih banyak Satrio Wibowo lain yang mengalami kasus serupa. Karena itu, Yeni sangat senang bertukar pikiran mengenai pengalamannya dalam mengarahkan anak yang memiliki multi talenta.

BAB III Pembahasan

3.1 Kasus Anak Berbakat

Sebagaimana defenisi yang telah dipaparkan oleh pemateri berdasarkan pendapat Joseph Renzulli (1978) “Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang professional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi menonjol karena mempunyai


(3)

karena disekolah dalam pelajaran sehari-hari, ia memiliki prestasi yang sangat tinggi dengan IQ 140. Hal ini juga sudah diakui oleh gurunya yang dilihat dari hasil belajarnya.

Bila dikaitkan kasus diatas, Adi adalah anak yang berbakat yang termasuk dalam kelompok Genius karena ia mempunyai IQ 140. Dipaparkan dalam kasus tersebut bahwa Adi mampu

memecahkan masalah yang ditugaskan gurunya terhadap kelompoknya.

Selain itu ia juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mampu memecahkan masalah dengan cepat serta termasuk anak murid yang bijak dan smart. Ini juga sudah tepat dengan penjabaran ciri-ciri yang sudah dibahas dalam BAB I. Sang guru pun juga mengakui bahwa Adi memiliki keunggulan dibandingkan anak yang lainnya. Kalaulah kembali lagi dengan ciri yang kami ambil dari beberapa sumber, anak berbakat memang mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar, mampu mengambil kebijakan dari diskusi dengan teman sebayanya, serta cerdas dalam pendidikan.

Pemahaman yang sangat mau tentang konsep, metode, dan terminology dari bidang

akademik khusus/tertentu terlihat jelas pada diri Adi yang sangat menekuni dan meminati berbagai berita tentang sejumlah penelitian terhadap hewan dan menguji berbagai masalah kemanusiaan. Tidak hanya itu, kemampuannya dalam mempelajari suatu bidang khusus sangat cepat, sehingga dengan gampang pula ia dapat menyusun berbagai berita yang kemudian ia susun sehingga menjadi sebuah kliping.

3.2 Kasus Anak Berbakat Prestasi Akademis Rendah (Underachievement)

Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya pada teori, bahwa underachiever yang diungkapkan oleh Davis & Rimm, 1985 (dalam Utami Munandar, 2004; 239 ) menyatakan bahwa underachievement adalah adanya ketidaksesuaian antara prestasi sekolah anak dengan indeks kemampuannya berdasarkan tes intelegensi, prestasi atau kreativitas, atau dari daftar observasi dimana tingkat prestasi sekolah lebih rendah daripada tingkat kemampuan anak.


(4)

Anak yang berbakat tidak selalu memiliki nilai akademik yang tinggi. Anak yang tidak memiliki kemampuan akademik yang tinggi belum tentu dia tidak berbakat. Hal ini sangat sesuai dengan contoh kasus II yang telah kami jabarkan sebelumnya.

Satrio Wibowo adalah salah satu anak yang tergolong dalam underachiever. Kemampuan akademik yang ia miliki tergolong rendah. Salah satu ciri-ciri yang sangat terkait pada diri Satrio adalah memiliki sikap acuh dan negatif terhadap sekolah. Satrio sangat membenci sekolah. Baik itu pelajarannya, teman-temannya bahkan guru yang mendidiknya pun sangat dibencinya. Hal ini beralasan sebenarnya. Satrio sangat benci dengan dunia pendidikan dikarenakan kelemahannya yang tidak dihargai oleh pihak sekolah. Anggapan-anggapan negatif yang bermunculan itulah yang akhirnya membuat Satrio menjadi anak yang lebih pemalas dan pendiam sekali.

Satrio juga sering megalami kesulitan-kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya, namun, pengetahuan faktualnya yang sangat luas, serta memiliki daya imajinasi yang kuat.

Imajinasi serta pengetahuannya yang sangat luas mengakibatkan ia juga memiliki keahlian khusus dalam suatu bidang.

Jika diklasifikasikan, Satrio berada dalam Underachiever sesaat/situasional, dimana gejala ini muncul hanya pada situasi tertentu. Walaupun demikian, Satrio sebenarnya memiliki skor tes aptitude yang tinggi, hanya saja nilai akademiknya rendah. Bakat yang tinggi ia tunjukkan melalui kemampuan berbahasa dan kemampuannya dalam menulis. Pada umur 12 tahun ia sudah mampu menulis novel dalam bahasa Inggris setebal 450 halaman dan ia juga sangat menyukai seni. Lukisan-lukisannya sangat menawan hati banyak orang.

BAB IV Penutup 4.1 Kesimpulan


(5)

Pemakalah menyimpulkan bahwa “anak berbakat adalah seseorang yang tingkat

kecerdasannya diatas rata-rata anak normal dan memiliki kemampuan yang unggul dalam segala bidang dan mampu mencapai prestasi dan kreativitas yang menonjol.”

Karakteristik anak berbakat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu karakteristik akademik,

karakteristik sosial/emosi, dan karakteristik fisik/kesehatan. Menurut Sutratinah Tirtonegoro (1984; 29) yaitu; Superior, Gifted dan Genius. Ketiga kelompok anak tersebut memiliki peringkat

ketinggian intelegensi yang berbeda. Akan tetapi, ada enam factor yang menyebabkan anak berbakat dalam keadaan rentan, tiga diantaranya merupakan cirri kepribadian yang dapat

menimbulkan kesulitan dan tiga factor lainnya merupakan kondisi lingkungan atau masyarakat yang menyebabkan ketegangan bagi anak berbakat (Whitmore, 1980). Didalam karakteristik

kepribadiannya, kerentanan anak berbakat disebabkan anak berbakat yang mempunyai sifat perfeksionis, kepekaan yang berlebihan, dan kurang keterampilan sosial. Sedangkan berdasarkan kondisi sosialnya, yang dapat menyulitkan anak berbakat adalah isolasi sosial, harapan yang tidak realistis, dan juga tidak tersedia pelayanan pendidikan yang sesuai.

Disamping itu, ada juga anak berbakat dengan prestasi rendah (underachievement). Yang dimaksud dengan underachievement itu adalah “anak berbakat prestasi akademis rendah (underachievement) adalah anak yang indeks prestasi belajarnya dinyatakan lebih rendah dibandingkan prestasi dari tingkat kemampuannya.”

Hal yang dapat menyebabkan seorang anak mengalami underachievement menurut Edy Gustian, 2002 (dalam Utami Munandar, 2004; 275) antara lain dikarenakan faktor lingkungan baik lingkungan luar rumah maupun individunya. Faktor lingkungan luar yang dapat menyebabkan underachievement antara lain lingkungan sekolah, faktor guru, keluar dan lingkungan rumah. Sementara faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri antara lain adalah persepsi diri, hasrat berprestasi, dan pola belajar.

Karakteristik yang dapat mengidentifikasi seorang anak mengalami underachievement

berdasarkan Whitmore (Sitiatava, 2013; 277) adalah Nilai rendah dalam tes prestasi, Mencapai nilai rata-rata atau dibawah rata-rata kelas dalam keterampilan dasar, Pekerjaan setiap hari tidak lengkap atau buruk, Memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat, Kesenjangan antara tingkat kualitatif pekerjaan lisan dan tulisan, Pengetahuannya faktual dan sangat luas, Daya imajinasi kuat, Selalu tidak puas dengan pekerjaannya juga dalam bidang seni, Kecenderungan perfeksionis dan mengkritik diri sendiri, menghindari kegiatan baru seperti menghindari kinerja yang tidak sempurna, Menunjukkan prakarsa dalam mengerjakan proyek dirumah yang dipilih sendiri, Mempunyai minat luas dan mungkin keahlian khusus dalam suatu bidang penelitian dan riset, Rasa harga diri rendah nyata dalam kecenderungan untuk menarik diri atau menjadi agresif didalam kelas, Tidak berfungsi konstruktif didalam kelompok. Menunjukkan kepekaan dalam


(6)

persepsi terhadap diri sendiri, oranglain dan terhadap hidup pada umumnya, Menetapkan tujuan yang tidak realistis untuk diri sendiri, Tidak menyukai pekerjaan praktis atau hafalan, Tidak mampu memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas-tugas, Mempunyai sikap acuh dan negatif terhadap sekolah, Menolak upaya guru untuk memotivasi atau mendisiplinkan perilaku dalam kelas, Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya, kurang dapat mempertahankan

persahabatan.

Jenis-jenis underachievement diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu klasifikasi

berdasarkan pengkuruan, klasifikasi berdasarkan rentang waktu, klasifikasi berdasarkan luasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rizema, Sitiatava. (2013). panduan pendidikan berbasis bakat siswa. Yogyakarta:Diva Press

Munandar,Utami. (1999). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta:Rineka Cipta.