Pangguni Uttiram (Suatu Ritual Hindu-Tamil di Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam, Sumatera Utara)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik

2002 Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, Jakarta, Buku Antar Bangsa.

Agus, Bustanuddin

2006 Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar

Antropologi Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Endraswara, Suwardi

2006 Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi, Yogyakarta, Pustaka Widyatama.

Harahap, Syahrin

1994 Sejarah Agama-Agama: Sejarah, Ajaran, dan

Pengembangan, Medan, Pustaka Widyasarana. Haviland, W.A.

1988 Antropologi Jillid 2, Jakarta, Penerbit Erlangga. Ihromi, T.O.

1996 Pokok-pokok Antropologi Budaya/editor T.O. Ihromi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Kobalen, A.S

2001 Tata Cara Sembahyang dan Pengertiannya, Surabaya, Paramita.

Koentjaraningrat

1987 Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta, Penerbit UI-Press. 1990 Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Sianipar, Oberhausen

1997 Kehidupan Sosial Ekonomi Lima Keluarga Suku Bangsa Tamil Pengemudi Pick Up (Studi tentang Sektor Informal di Kotamasya Medan), Medan, Skripsi Jurusan Antropologi FISIP-USU.

Suparlan, Parsudi

1982 Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian Antropologi. Makalah yang


(2)

14 September 1981, Jakarta Ikatan Kekerabatan Antropologi FS-UI.

Sumber-sumber lain:

Http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_India_Indonesia Http://www.kompas.com/kompas_cetak/0503/28/Bingkai Http://www.murugar.com

Http://ms.wikipedia.org/wiki/Keling


(3)

LAMPIRAN

Daftar Informan

1. Nama : Thegu

Umur : 70 Tahun

Alamat : Jl. Dr. Cipto, Lubuk Pakam

Pekerjaan : Pedagang

2. Nama : Nadhin

Umur : 40 Tahun

Alamat : Jl. S.T. Hasanuddin, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang, Pendeta

3. Nama : Welayutham

Umur : 45 Tahun

Alamat : Jl. Dusun VII Pule Rejo 59 Sei Semayang, Deli Serdang Pekerjaan : Pegawai Parisadha, Pendeta

4. Nama : Ramish Umur : 25 Tahun

Alamat : Jl. S.T Hasanuddin, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang

5. Nama : Venggedassalam

Umur : 65 Tahun

Alamat : Jl. Sriwijaya No.10 Medan Pekerjaan : Pendeta

6. Nama : Kalifa

Umur : 45 Tahun

Alamat : Jl. Cik Di Tiro, Lubuk Pakam

Pekerjaan : Pedagang

7. Nama : Gunde

Umur : 40 Tahun

Alamat : Jl. Dr. Sutomo, Lubuk Pakam

Pekerjaan : Pedagang

8. Nama : Gunde

Umur : 50 Tahun

Alamat : Kampung Banten, Kelurahan Helvetia, P. Brayan Pekerjaan : Pedagang, Pendeta


(4)

9. Nama : Achien

Umur : 45 Tahun

Alamat : Pakam

Pekerjaan : Pedagang

10. Nama : Sathi

Umur : 40 Tahun

Alamat : Kampung Anggerung, Medan

Pekerjaan : Pedagang

11. Nama : Vijay Kumar

Umur : 65 Tahun

Alamat : Jl. S.T Hasanuddin, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pendeta

12. Nama : Ambalagen

Umur : 50 Tahun

Alamat : Jl. S.T Hasanuddin, Lubuk Pakam


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Ayu Sri Mahasti

NIM : 020905046

Departemen : Antropologi

Judul : PANGGUNI UTTIRAM ( Suatu Ritual Hindu-Tamil di

Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam Sumatera Utara)

Pembimbing Skripsi

(Drs. Agustrisno, MSP) NIP. 131659306

Medan,

Ketua Departemen

(Drs. Zulkifli Lubis, MA) NIP. 131882278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP. 131757010


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia penguji Departemen Antropologi pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul : Tempat :

Tim Penguji :

Ketua :

Anggota I :


(7)

BAB III

RANGKAIAN RITUAL PANGGUNI UTTIRAM

3.1 Aspek-aspek Upacara 3.1.1 Tempat Pelaksanaan

Upacara Pangguni Uttiram dilakukan di beberapa tempat yaitu di kuil, sungai, dan jalan. Masing-masing tempat mempunyai tujuan dan makna tertentu.

a. Kuil

Kuil adalah tempat suci umat Hindu Tamil. Kuil juga disebut dengan Aalayam yaitu Aa yang merupakan singkatan Atma berarti jiwa, dan Layam berarti bersamadhi. Jadi Aalayam berarti tempat dimana jiwa bersamadhi. Dalam konsep Hindu, Tuhan berada di semua tempat. Tuhan mengambil wujud agar jiwa dapat menyembah. Agar dapat mencapai tujuan diwujudkan dalam bentuk arca atau patung Dewa di kuil untuk mempermudah umatnya mengingat serta menyembahnya. Karena itu, di kuil banyak terdapat arca sehingga bangunan ini disebut sebagai rumah Tuhan.

Pada bangunan kuil terdapat beberapa bagian seperti: Raaja Koburam, Thoobi, Vimaanam, Arthamandaban, Maha Mandabam Nirutha Mandabam, dan lain sebagainya. Setiap bagian kuil ini memiliki makna masing-masing.

- Raaja Koburam, adalah bagian yang paling tinggi yang didirikan di atas pintu utama. Raaja Koburam juga disebut Thoola Linggam. Bagian ini dianalogikan dengan bagian tubuh manusia yaitu kepala.


(8)

- Vimaanam, adalah tempat arca utama yang terdapat di kuil atau disebut juga karppa kiragam.

- Thoobi, adalah puncak atau bumbung di atas vimaanam.

- Arthamandaban, adalah ruang yang terdapat di hadapan vimaanam. Di sinilah

para pendeta berdiri untuk melakukan upacara.

- Mahamandaban, adalah ruang yang terdapat dihadapan aartamandaban yang

digunakan umat yang datang untuk bersembahyang.

- Vahanam, adalah wahana Dewa yang terletak dihadapan karpakiraham. Setiap

arca suci utama mempunyai vahanam masing-masing. Burung Merak merupakan vahanam bagi Dewa Murugar.

Seperti yang terlihat pada gambar di bawah, bangunan kuil dianalogikan dengan tubuh manusia.

Gambar 3.4. “Sebuah tubuh manusia diambil sebagai bentuk dasar, dan kuil yang merupakan sebuah tempat pemujaan dikonstruksikan dengan bentuk itu sebagai dasarnya.”


(9)

Setiap kuil akan diberi nama dengan mengacu pada arca suci utama yang berada di dalam kuil tersebut. Karena Kuil Shri Thendayudabani memiliki arca utama Murugar maka kuil ini dinamakan kuil Murugar.

Beberapa ritual dilakukan di bagian dalam bangunan utama dan bagian luar atau di halaman kuil. Seperti yang digambarkan dalam denah Kuil Shri Thendayudabani, Lubuk Pakam berikut ini:

Keterangan:

Halaman Depan: (No. 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 adalah arca suci) No. 1 = Permal

2 = Amen (Dewi Parwati atau Shri Mariaman) 3 = Siwen

4 = Sanisparem 5 = Muniandi 6 = Idemben

I

halaman depan


(10)

Bangunan utama:

No. 7 = arca suci utama (Murugar) No. 16,17 = arca Ganisher 8 = arca Murugar 18 = Mulestanem 9 = arca Ganesha (Ganisher) 14 = tiang bendera 10,11 = arca Dewane & Walli (istri Murugar) 15 = arca Ganisher 12 = Mail Waganem (wahana Merak) 20 = kereta kencana 13 = Pilipidem (radoo) 21 = tempat untuk umat bersembahyang

Bangunan utama kuil terdiri dari beberapa ruangan yang memiliki fungsi masing-masing. Seperti keterangan pada gambar (tanda: I) adalah ruangan yang tepat berada di bawah thoobi (bumbungan kuil), dimana dalam ruangan ini diletakkan arca suci utama. Arca suci utama ini menghadap ke arah Timur atau matahari terbit. Sejajar di hadapan arca suci utama terdapat wahana Burung Merak sebagai kendaraan dan mulastanem (tombak yang ujungnya berbentuk w atau tri sula) sebagai senjata kebesaran Murugar.

Arca suci tidak hanya di dalam bangunan utama kuil. Tepatnya di halaman depan kuil ada beberapa arca yang juga turut dipuja. Diantaranya arca Dewa Shri Mariaman (Amen), Siwen, Permal, Sanisparem, Ganisher, Muniandi dan

Idemben. Muniandi adalah penjaga kuil. Di setiap kuil akan dijumpai arca

Muniandi. Ganisher yang diletakkan di depan tiang bendera, hanya arca biasa, namun juga dihormati.

Paling belakang bangunan kuil adalah aula. Ruangan berukuran panjang ini adalah tempat yang digunakan untuk acara makan bersama. Setiap perayaan yang diadakan di kuil akan dilakukan ritual makan bersama yang makanannya disediakan oleh pengurus kuil. Dalam bangunan aula ini ada pula dapur dan


(11)

Ada beberapa ketentuan dalam memasuki kuil. Jika seseorang dalam keadaan kotor, dilarang memasuki bangunan utama kuil. Ia hanya boleh berada di luar bangunan utama atau di aula saja. Begitu juga seseorang yang sedang berduka. Jika anggota keluarganya meninggal dunia, selama 3 bulan ia tidak boleh memasuki kuil.

Kuil Shri Thendayudabani yang terletak di Kota Pakam adalah kuil Murugar yang dibangun pada tahun 1880 Masehi. Kuil ini didirikan oleh Orang-orang Cetti. Pada umumnya setiap bangunan kuil memiliki bagian yang sama. Namun, ada beberapa bagian yang ternyata tidak terdapat di Kuil Shri Thendayudabani ini.

Bagi masyarakat Hindu Tamil, semua kuil memiliki fungsi yang sama. Selain sebagai tempat ibadah, kuil juga menjadi tempat pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara-upacara perkawinan.

b. Sungai

Sungai menjadi salah satu tempat pelaksanaan upacara. Ritual yang dilakukan di sungai adalah Alagu atau alu yang berarti jarum yakni ritual menusuk bagian tubuh dengan besi-besi yang bentuknya beragam. Saat para peserta akan melakukan Alagu, terlebih dahulu mereka melakukan mandi suci. Mandi suci ini dilakukan di Sungai Tangsi, Lubuk pakam.

Dalam mitologi Hindu, ada sungai yang dianggap suci oleh umat Hindu. Sungai Gangga dianggap memberi kesucian dan kemakmuran bagi masyarakat India. Sehingga dalam ajaran Hindu, mandi suci menjadi ritual penting sebelum melaksanakan upacara keagamaan. Hal serupa juga dilakukan masyarakat Hindu


(12)

Tamil di Lubuk Pakam dengan menjadikan Sungai Tangsi sebagai tempat untuk mensucikan diri. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pendeta Nadhin (40 tahun):

“Setiap peserta wajib mengikuti ritual mandi suci ini. Ini dimaksudkan agar mereka diberi kekuatan dan kelancaran selama tubuhnya ditusuk. Mandi suci ini dilakukan di dalam air yang mengalir. Sesudah mandi, peserta wirtho (yang menjalani puasa) akan menjalani ritual cucuk (Alagu). Untuk memanggil kekuatan dari Dewa, maka ritual ini harus dilakukan di tempat terbuka. Jika kekuatan telah merasuk ke dalam tubuh peserta, maka tidak ada hambatan saat menusukan besi ke tubuh peserta.”

Saat satu persatu peserta mencelupkan diri ke dalam sungai, selanjutnya mereka melakukan persiapan di pinggir sungai. Semua bahan dan peralatan yang digunakan diletakkan di area yang dijaga secara ketat. Area ini akan dijaga agar tidak tersentuh pengaruh yang jahat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ingin menggagalkan acara. Untuk itu, pendeta akan membaca mantra di sekitar area di pinggir sungai.

Setelah peserta dibacakan mantra-mantra khusus, satu persatu akan ditusuk lidah atau bagian tubuh lainnya dengan besi-besi yang bentuknya beragam. Sementara yang lainnya berdoa mengharapkan keselamatan dari Dewa.

Dalam ritual mandi suci ini, air menjadi sarana penting yang diberi makna suci agar seseorang yang melakukannya merasa bersih dari hal-hal yang kotor. Mandi suci ini dilakukan sebelum melakukan Alagu. Peserta wajib bersih atau dalam keadaan bersih.

c. Jalan

Jalan raya yang biasa dilalui kendaraan umum juga menjadi tempat pelaksanaan upacara. Jalur yang dilalui sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia penyelenggara. Pemilihan route (jalur) mengambil lokasi yang banyak terdapat rumah orang Hindu Tamil. Route ini mengambil jalan kota Lubuk Pakam, antara


(13)

Sutomo - Jl. Tuanku Imam Bonjol - Jl. Sultan Hasanuddin - Jl. Tengku Fachruddin - Jl. Teuku Cik Di Tiro - Jl. Sultan Hasanuddin - Kuil. Seperti yang terlihat pada peta jalan berikut (Gambar 4).

Jalur jalan yang dilalui setiap tahun atau setiap pelaksanaannya bisa berubah. Pada route jalan ini, diperhitungkan sekitar 2 Kilometer jauhnya jarak yang ditempuh pada arak-arakan Kavadigal dan Ratham dilakukan. Sebenarnya tidak ada ketentuan khusus seberapa jauh jalan yang harus dilalui. Namun, pihak panitia harus memberi kesempatan waktu kepada masyarakat yang ingin memberikan persembahan kepada Dewa, dengan mendatangi rumah-rumah masyarakat.

Arak-arakan Kavadigal adalah ritual dimana setelah seorang wirtho yang sebelumnya telah berniat untuk menusuk bagian tubuhnya dengan besi, kemudian

Gambar 3.5. Peta Kelurahan dimana tertera route (jalur) yang digunakan untuk arak-arakan.

Kuil Shri Thendayudabani


(14)

diarak keliling kota dari sungai menuju kuil. Pada arak-arakan ini, peserta lainnya ada yang membawa susu, rangkaian bunga, dan buah-buahan. Pada saat arak-arakan, ada pula pertunjukkan kesenian tradisional seperti Barongsai dan Jaran Kepang. Jalannya arak-arakan ini diatur atau dikendalikan oleh pendeta-pendeta yang memiliki ilmu magis. Ini dikarenakan sebagian peserta dalam kondisi trance (tidak sadarkan diri).

3.1.2 Saat-saat (Waktu) Upacara

Pangguni adalah bulan ke-12 dari 12 bulan yang terdapat dalam kalender Hindu di India. Uttiram adalah bintang ke-12 dari 27 bintang dalam astrologi Hindu. Uttiram juga berarti purnama atau bulan terang. Sehingga saat-saat seperti ini umat Hindu melakukan sembahyang kepada Dewa. Seperti yang dituturkan oleh Bapak Salam (60 tahun), seorang tokoh masyarakat Tamil:

“Pada bulan ke-12 tepatnya full-Moon Day (malam purnama) di Kuil Murugar, diadakan sebuah upacara sembahyang yang ditujukan kepada Shri Murugar yang mencerminkan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi cahaya. Dalam upacara tersebut, umat Hindu memohon agar terhindar dari kegelapan dalam kehidupannya.”

Untuk menyambut perayaan ini, masyarakat Tamil melakukan persiapan. Bagi setiap orang yang berniat melakukan Alagu diwajibkan melakukan ritual berpuasa. Berpuasa adalah menahan haus dan lapar, serta menghindarkan diri dari segala yang kotor baik sesuatu yang bersifat amis atau sesuatu yang mengandung darah maupun perbuatan tidak baik yang dapat mengotori niat mereka. Ritual puasa ini dilakukan selama 48 hari. Puasa dilakukan selama 24 jam. Jika dimulai siang hari atau jam 12 siang maka akan diakhiri jam 12 siang keesokan harinya. Karena beratnya persyaratan ini, ritual ini hanya dijalankan oleh orang-orang tua saja. Sedangkan peserta yang masih berusia muda hanya menjalankan sesuai


(15)

Perayaan Pangguni Uttiram berlangsung selama 5 (lima) hari. Dimana pada hari pertama dilakukan ritual sebagai berikut: penaikan bendera kuil dan puja khusus di kuil. Pada hari ketiga dilakukan ritual seperti, Abhisegam, Archanai, arakan Kavadigal, dan arakan Ratham. Memasuki hari kelima dilakukan ritual puja Idumban dan penurunan bendera kuil. Namun setelah penurunan bendera kuil masih terdapat ritual yang juga penting yaitu makan bersama. Pada selang waktu yakni hari kedua dan hari keempat, umat Hindu hanya melakukan kebaktian atau puja-puja di kuil. Puja-puja yang dilakukan adalah sembahyang yang biasa dilakukan sehari-hari.

Seluruh umat Hindu Tamil yang telah menjalani puasa dari hari-hari menjelang masuknya hari Pangguni Uttiram masih terus menjalani puasa hingga penurunan bendera kuil. Setelah penurunan bendera kuil selesai dilakukan, barulah mereka boleh memakan apa saja tanpa ada pantangan seperti pada saat berpuasa. Pada saat penurunan bendera kuil selesai maka itu pertanda perayaan Pangguni Uttiram telah berakhir.

Makan bersama menjadi ritual yang tidak bisa dilepaskan dalam sebuah upacara keagamaan. Pada saat perayaan Pangguni Uttiram, mulai dari hari pertama hingga hari kelima atau hari terakhir, panitia akan menyediakan waktu dan tempat untuk semua yang hadir dalam perayaan untuk makan bersama. Pada saat-saat di atas, makanan yang dimakan tetap tidak boleh mengandung amis. Namun, pada saat upacara berakhir, ada sebuah ritual dimana orang Tamil akan mempersembahkan kambing atau lembu untuk Muniandi (yang menjadi penjaga kuil). Daging hewan tersebut akan dimasak dan dimakan bersama-sama.


(16)

Ritual yang tampak dilakukan secara berulang-ulang adalah puja-puja atau sembahyang para Dewa. Seperti pada hari pertama yang ditandai dengan penaikan bendera kuil. Sebelum dan sesudah menaikkan bendera, peserta melakukan puja-puja Dewa dipimpin oleh pendeta. Begitu juga pada saat akan melakukan ritual alagu, akan dilakukan puja-puja di kuil.

3.1.3 Pelaku Upacara

Pelaku upacara adalah orang-orang yang melakukan ritual serta upacara baik yang bertindak sebagai pemimpin, peserta upacara, maupun umat yang datang hanya untuk bersembahyang.

a. Pemimpin upacara.

Pemimpin upacara adalah orang yang bertugas memimpin jalannya upacara. Pemimpin upacara antara lain gurukkal dan pendeta atau pandarem. Namun tidak semua pendeta dapat memimpin suatu upacara. Biasanya, seperti pendeta kuil hanya bertugas memimpin sembahyang atau puja-puja dewa. Sedangkan jika untuk upacara besar, akan dipimpin oleh gurukkal yang telah berpengalaman dan memiliki pengetahuan agama yang dalam.

Dalam setiap upacara pada umumnya dipimpin oleh satu pendeta. Jika tampak ada beberapa yang ikut memimpin upacara, mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh pemimpin upacara untuk membantu tugasnya. Sebelum upacara dimulai akan ada ritual sembahyang dimana orang-orang tersebut akan dibekali kekuatan dengan membacakan mantra-mantra khusus.

Beberapa ritual terutama yang bersifat magis seperti pada ritual Alagu akan tampak ada beberapa orang yang turut mengendalikan jalannya upacara. Mereka bertugas memanggil roh-roh atau kekuatan gaib. Seperti pada arak-arakan


(17)

Gambar 3.6. Achien, salah seorang peserta dari etnis thionghoa

beragama Budha saat ikut ritual Pangguni Uttiram. (dok. Sardi)

Kavadigal, pemipimpin upacara akan dibantu oleh beberapa orang yang ikut menjaga jalannya prosesi agar terhindar dari ilmu-ilmu jahat yang ingin menggagalkan upacara.

b. Peserta

Peserta adalah orang yang ikut di dalam upacara. Peserta harus mematuhi segala persyaratan dan ketentuan menurut ajaran agama Hindu. Dalam sistem upacara Pangguni Uttiram ini tidak pernah membatasi jenis kelamin, suku, agama, dan usia. Setiap orang diperbolehkan menjadi peserta.

Dalam pelaksanaannya ternyata ada pula peserta yang berasal dari luar Hindu-Tamil. Achien (45 tahun), seorang Budha yang selalu mengikuti perayaan Pangguni Uttiram beberapa tahun ini. Baginya, kepercayaan Hindu dengan Budha hampir sama. Seperti yang diungkapkannya:

“Saya sudah beberapa tahun ini mengikuti upacara Pangguni Uttiram. Karena saya pernah berniat jika keinginan saya terpenuhi maka saya akan membayarnya pada saat hari raya Pangguni Uttiram. Bagi saya, ketika menjalani ritual ini bersama-sama, saya melakukan cara yang sama dengan umat Hindu-Tamil lainnya, tapi pikiran dan jiwa saya tetap tertuju pada Tuhan saya (Sang Budha).”


(18)

Dalam ritual Alagu, peserta lebih banyak dari kaum laki-laki. Ini disebabkan persyaratan untuk mengikuti ritual Alagu yang berat untuk dijalankan oleh kaum perempuan. Persyaratannya antara lain, menjalani puasa (selama 48 hari, 21 hari, atau 7 hari tanpa putus), memisahkan diri dari hal-hal yang bersifat kotor seperti barang-barang yang pernah terkena darah atau amis. Diharapkan peserta harus menjaga dirinya agar bersih selalu.

Jika ada dari kaum perempuan yang pernah memiliki keinginan dan terwujud, biasanya hanya membayarnya dengan memberi sesaji berupa susu sapi, buah-buahan, bunga, kelapa, dan bentuk sesaji lainnya sesuai yang telah diniatkan. Mereka akan membawa susu atau sesaji yang sebelumnya telah dibacakan mantra oleh pendeta, kemudian dibawa di atas kepala dan berkeliling mengikuti arak-arakan Kavadigal. Namun, jika ada dari kaum perempuan yang memenuhi persayaratan tersebut di atas, ia boleh saja mengikuti ritual Alagu. Meskipun itu sudah jarang sekali ditemukan.

Gambar 3.7. Salah seorang peserta Alagu


(19)

3.1.4 Bahan dan Alat Upacara

Pelaksanaan upacara tidak terlepas dari bahan dan peralatannya. Berbagai macam bahan dan peralatan harus disediakan oleh peserta. Bahan-bahan dan peralatan ini berbeda-beda sesuai dengan makna dan tujuan yang ingin dicapai.

a. Penaikan Bendera Kuil

Untuk penaikan bendera kuil, peserta baik panitia maupun peserta yang tinggal di kuil harus menyiapkan bahan-bahan sebagai berikut: daun Mint, daun Mangga, daun Kunyit, dan tali. Semua ini akan diikat ke tiang bendera. Jumlahnya bisa 3 (tiga) atau 5 (lima) buah.

Peralatan yang digunakan antara lain: 2 (dua) buah bendera kuil dan sebuah Idemban serta lonceng. Bendera kuil adalah kain berwarna kuning dan bergambar Ayam Jago. Warna kuning melambangkan kesucian dan Ayam Jago sebagai lambang kemenangan Murugar. Selain bendera kuil, ada pula Idemban yaitu sebuah besi panjang atau tombak yang salah satu ujungnya berbentuk simbol AUM7 yang melambangkan kekuatan Murugar. Lonceng akan digunakan pada saat pendeta membacakan mantra. Bunyi lonceng berfungsi sebagai seruan untuk memanggil umat mendatangi kuil. Selain itu bunyi lonceng akan membuat konsentrasi pada pusat acara.

b. Puja Khusus

Puja khusus adalah sembahyang yang berupa pemujaan kepada Murugar. Pada saat ini digunakan bahan-bahan antara lain: kelapa, bunga, nasi manis,

7

AUM (Ang-Ung-Mang) atau yang dibaca “Om”. Ang menunjukkan dunia yang bangun, Ung


(20)

kacang hijau yang ditumis, pisang, sirih, pinang, kapur barus (sudem), kemenyan, minyak makan, serta buah-buahan yang beraneka macam.

Setelah semua bahan-bahan di atas dipersembahkan kepada Dewa, dilanjutkan dengan memberi persembahan atau yang disebut dengan Akiom. Pada saat Akiom digunakan bahan -bahan dan peralatan antara lain:

1. Kayu (dengan formasi: 21 macam, 128 macam, 100 macam); 2. Minyak sapi;

3. Sudem (kapur barus);

4. Buah-buahan (jumlahnya harus ganjil); 5. Kepala Muda (6 buah);

6. Gula Merah dan Gula Batu; 7. Batu Bata (60 biji).

Pada saat akiom ini bermacam sesaji dimasukkan ke dalam api pembakaran. Ini diwujudkan sebagai persembahan kepada Dewa Murugar.

c. Abhisegam

Abhisegam adalah ritual memandikan arca Dewa-dewa di kuil. Abhisegam pada perayaan Pangguni Uttiram tidak seperti biasanya yang dilakukan setiap


(21)

hari. Bahan-bahan yang digunakan khusus diberikan untuk menghormati para Dewa di kuil. Bahan-bahan tersebut masing-masing memiliki makna antara lain (seperti yang terlihat pada tabel):

Bahan Makna

1. Susu Sapi Memberikan kesucian, kesehatan, dan umur panjang.

2. Madu Memberikan kebahagiaan, kekayaan

pengetahuan, seni, dan kebebasan. 3. Air Kelapa Muda Memberikan kesucian.

4. Tepung Kunyit Memberikan segala kebaikan (membuat daya tarik) bagi yang belum menikah. 5. Persembahan Bunga Memberikan kesucian trikaya Parisuddha

(perbuatan, perkataan, dan pikiran). 6. Minyak wangi Menghilangkan segala ketakutan. 7. Persembahan Dhupa

(kemenyan) Menghilangkan avidya (kebodohan). 8. Persembahan Dhipa (cahaya) Memberikan penerangan berupa

pengetahuan.

9. Air Memberikan kebersihan, kesejukan, dan kepuasan.

10. Tayir/Susu Asam Memberikan karunia anak. 11. Air Tebu Menghilangkan penyakit.

12. Gula Memberikan kasih sayang.

13. Buah Mangga Memberikan karunia anak. 14. Aranggampul (rumput halus) Memberikan kebenaran.

15. Jeruk Nipis Menghancurkan segala kesusahan dan penyakit

16. Wibuthi (tinnuru) Memberikan kebijaksanaan.

17. Santhanam (tepung cendana) Memberikan berkat kesucian.

18. Kungkuman Memberikan berkat Tri Sakti (kekuatan,

kekayaan, dan pengetahuan).

19. Neiwetyaman (makanan) Menghilangkan kelaparan, memberikan

kepuasan, dan memberikan kebahagiaan. 20.

Panzamertham (pisang, gula merah, masu, nagka, dan mangga)

Memberikan kesehatan, kesucian, kemanisan, kebahagiaan, dan kekuatan. 21. Minyak Nallane Memberikan kesehatan (bagi yang sakit

kulit).

22. Tepung Beras Mengatasi masalah keuangan. 23. Rempah Ratus Menghilangkan penyakit.


(22)

asam, susu, dan minyak sapi)

25. Jeruk Manis Memberikan kebenaran. 26. Buah Delima Menghilangkan sifat pemarah.

d. Archanai

Archanai adalah persembahan kepada Dewa Ganesha (Ganisher). Ada dua macam Archanai, yaitu Tengga Archanai dan Pal Archanai. Tengga Archanai berupa kelapa, pisang, sirih, pinang, kapus barus (sudem), batti (hiu), sambrani (kemenyan). Sesaji ini akan dipersembahkan kepada Dewa melalui pendeta. Sehingga peserta harus memberikan uang atau mahar kepada pendeta dengan jumlah seikhlas hati. Sedangkan Pal Archanai berupa bunga-bungaan. Sesaji ini dapat diberikan jika peserta tidak mampu menyediakan sesaji berupa tengga archanai.

d. Alagu (Ritual Cucuk)

Ritual cucuk yang dilakukan di sekitar pinggiran sungai menggunakan alat dan bahan seperti api, kapur barus (sudem), dan lonceng. Semuanya berguna untuk memanggil roh atau kekuatan dari Dewa agar ritual ini dapat terlaksana tanpa hambatan. Sebagian peserta mengenakan pakaian khusus dengan dominasi warna putih dan kuning. Pada leher mereka melingkar kalung semacam biji-bijian, dan di kakinya dikenakan gelang. Sehingga pada saat peserta trance dan melakukan gerakan tari-tarian, bunyi-bunyian dari gelang dan musik penuntun (nadagem) yang dimainkan oleh sekelompok pemain musik akan memberi semangat kepada peserta.

e. Arakan Kavadigal

Arakan Kavadigal adalah ritual membawa atau mengarak kavedi yang terdiri dari bermacam-macam bentuk. Kavedi adalah benda-benda yang digunakan


(23)

untuk persembahan. Kavedi yang ditusukkan ke tubuh berbentuk seperti kail pancing, berbentuk panjang dan runcing, dan lain-lain. Kavedi lainnya adalah Mail Kavedi yang terdiri dari bulu merak, Puspa Kavedi yang dipenuhi warna-warni bunga, dan 2 Weple Kavedi yang terdiri dari 2 buah keranjang daun weple yang telah dirangkai. Kavedi-kavedi ini akan dipanggul di atas kepala oleh peserta.

Bahan dan peralatan lainnya yang digunakan adalah kapur barus (sudem), air kunyit, serta cambuk. Sudem akan digunakan untuk membuat api atau penerangan dan untuk memanggil roh atau kekuatan gaib. Air kunyit akan disediakan oleh orang-orang Tamil yang rumahnya dilalui arakan Kavadigal. Mereka akan menyiramkan air kunyit ini ke kaki para peserta sebagai penyejuk. Cambuk digunakan untuk menghalau pengaruh jahat yang ingin mengganggu jalannya ritual.

f. Arakan Ratham

Pada saat arak-arakan Ratham, kereta kencana akan dikeluarkan. Arca Dewa Murugar dalam wujudnya yang berbeda akan dinaikkan ke dalam kereta kencana (radoo). Selanjutnya kereta kencana ini akan ditarik oleh Lembu keliling kota dimana banyak terdapat masyarakat Tamil.

Pada saat ritual ini berlangsung masyarakat Tamil akan diberi kesempatan untuk meminta berkah kepada Dewa Murugar dengan memberikan sesaji. Sesaji ini bisa berupa: pisang, kelapa, dan dupa. Pendeta akan membacakan mantra-mantra pada sesaji yang dipersembahkan kepada Dewa, dan kemudian sesaji itu dikembalikan kepada pemiliknya.


(24)

g. Ritual Penutup

Penurunan bendera kuil menjadi pertanda sebuah hajatan telah selesai. Ini berarti semua sudah terbebas dari larangan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat. Para peserta sudah dapat menjalani kehidupannya seperti semula. Sebelum penurunan bendera kuil, dilakukan terlebih dahulu puja Idumban. Puja

Idumban dilakukan untuk menghormati Muniandi sebagai rasa terima kasih

karena telah menjaga kuil dan umat saat menjalani upacara.

Setelah bendera diturunkan, kegiatan belum berakhir. Ada lagi ritual lain yang menjadi ritual penutup, yakni memotong seekor kambing atau lebih. Panitia akan menyiapkan hewan kambing untuk dipersembahkan kepada Muniandi (penjaga kuil). Muniandi terwujud pada arca yang pada setiap kuil diletakkan di dekat pintu gerbang masuk. Dari semua wujud Dewa yang ada di kuil, hanya

Muniandi yang tidak memiliki pantangan dengan darah. Sehingga, pada saat

dilakukan pemotongan hewan, semua arca akan ditutup kain.

3.2 Persiapan Upacara

Pangguni Uttiram memiliki serangkaian ritual yang harus dilakukan umatnya sebelum hari pelaksanaan upacara. Ritual pertama dilakukan sebulan sebelumnya. Peserta upacara atau pelaku yang akan terlibat dalam upacara harus melakukan persiapan-persiapan seperti menjalani puasa, membentuk panitia, serta ritual lainnya seperti melakukan puja-puja khusus dan menaikkan bendera kuil.

3.2.1 Menjalani Puasa

Sekitar sebulan menjelang pelaksanaan upacara, peserta harus menjalani puasa. Peserta yang berpuasa ini disebut Wirtho. Puasa yang dimaksud adalah


(25)

menahan haus dan lapar serta meninggalkan segala yang bersifat kotor, baik makanan yang amis atau mengandung darah seperti daging maupun perbuatan yang tidak baik.

Khusus bagi peserta yang akan melakukan ritual cucuk (Alagu), disarankan untuk tinggal di kuil selama menjalani puasa. Hal ini dilakukan agar lebih khusyuk menjalaninya. Seperti yang diungkapkan Ramish (25 tahun), salah seorang peserta:

“Kami yang punya niat menusuk lidah wajib berpuasa selama 48 hari atau sesuai dengan kemampuan masing-masing. Supaya tidak terganggu puasanya, makanya kami tinggal di kuil. Karena kalau di rumah, puasa kami bisa batal karena barang-barang yang kami gunakan tidak boleh bercampur dengan barang-barang-barang-barang orang yang tidak berpuasa.”

Puasa juga dimaksudkan untuk menjaga tubuh agar kuat pada saat membawa kavedi. Peserta yang membawa kavedi harus lebih kuat dengan melakukan ritual puasa selama 48 hari atau lebih lama dari yang lainnya. Peserta tidak boleh tidur di lantai, tidak boleh melakukan hubungan seks, menjauhkan diri

Gambar 3.9. Peserta Wirtho yang sedang bersiap-siap mengikuti upacara. (dok. Ayu)


(26)

dari anak-anak kecil, tidak terlibat dalam acara kematian, dan meninggalkan segala kemewahan dunia.

Puasa akan memberikan kekuatan lebih kepada yang menjalankan. Pada saat mereka mengurangi keterlibatan dalam kehidupan duniawi, mereka telah mendapatkan manfaat dari puasa. Mereka akan merasakan pengalaman spiritual antara dirinya dengan Tuhan (Dewa).

Namun, ada beberapa peserta yang tidak menjalankan puasa hingga 48 hari penuh. Saat ini jarang sekali peserta dari kalangan usia muda dapat menjalaninya. Mereka hanya menjalankan puasa sesuai dengan kemampuan atau kurang dari 48 hari. Ini dikarenakan aktivitas mereka yang lebih banyak di luar dan berhubungan dengan hal-hal yang menjadi pantangan saat berpuasa. Sehingga hanya orang-orang dari kalangan usia tua saja yang masih sanggup menjalani puasa penuh 48 hari.

3.1.2 Membentuk Panitia Penyelenggara

Pembentukan panitia menjadi bagian dari persiapan sebelum upacara. Pengurus kuil akan mengadakan rapat atau musayawarah untuk membentuk panitia yang akan menyiapkan acaranya. Panitia ini akan dibentuk sekitar satu atau dua bulan sebelum hari pelaksanaan tiba. Panitia penyelenggara biasanya dari kalangan pemuda-pemudi Tamil. Mereka akan membagi tugas mulai dari menyiapkan tempat, menyediakan bahan dan peralatan upacara, mengurus surat perizinan kegiatan, hingga mencari dana.

Menyiapkan tempat seperti membersihkan kuil dan peralatan-peralatan yang akan digunakan untuk upacara dilakukan oleh panitia dibantu dengan peserta wirtho yang tinggal di kuil. Bagi orang-orang seperti Ramish, tugas-tugas itu


(27)

dilakukan tanpa beban meskipun sedang berpuasa. Semuanya bergantung pada niat yang tulus. Kalau semua dikerjakan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, maka pada saat hari Pangguni nanti semua akan berjalan lancar. Namun sebaliknya, jika tidak sungguh-sungguh menjalaninya, maka akan terlihat pasa saat acara penusukan. Biasanya dibekas tusukan akan mengeluarkan darah. Mereka juga terasa berat atau menderita saat membayar niatya itu.

Pencarian dana dipusatkan pada perorangan atau instansi yang bersedia menjadi penyumbang dana. Dalam perolehan dana, panitia tidak begitu sulit. Ini dikarenakan para penyumbang dana menganggap bahwa sumbangan mereka adalah bagian dari ibadah dan mereka ikhlas melakukannya.

Selain tugas-tugas tersebut, panitia juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelancaran upacara. Pembagian tugas harus jelas diberikan kepada orang-orang tertentu. Sehingga pada hari pelaksanaannya, upacara dapat berjalan lancar.

3.2.3 Puja-puja Dewa

Pada hari pertama yang termasuk dalam susunan acara, umat Hindu-Tamil bersama-sama melakukan sembahyang atau puja-puja di kuil. Sembahyang ini dipimpin oleh seorang pandarem (pendeta). Pada saat inilah mereka memohon kepada Dewa untuk memberi kelancaran dan keselamatan. Pendeta akan membacakan mantra dan memberi sesaji yang dipersembahkan kepada Dewa-dewanya.

Ritual sembahyang atau puja-puja Dewa ini dilakukan pada pagi hari. Selesai sembahyang, pendeta akan memimpin ritual selanjutnya yaitu penaikan


(28)

bendera pada siang harinya. Setelah bendera kuil dinaikkan, seluruh umat akan masuk ke kuil dan melakukan puja-puja kembali.

3.2.4 Penaikan Bendera Kuil

Pada pukul 12 siang atau ketika matahari berada sepenggala, pemimpin upacara dibantu dengan beberapa orang wakilnya melakukan ritual berikutnya, yaitu penaikan bendera kuil. Penaikan bendera kuil sebagai tanda sedang ada sebuah perayaan di kuil. Bendera ini akan tetap dikibarkan hingga acara selesai. Selain itu, dalam melakukan ritual menaikkan bendera kuil ini juga mengandung makna sebagai tolak balak, agar acara semuanya berjalan lancar.

Beberapa bahan yang akan digunakan pada saat penaikan bendera sebelumnya telah dibacakan mantra atau telah disucikan. Sehingga semuanya siap untuk dibawa ke tempat dimana bendera akan ditancapkan. Pada saat ini, pendeta diikuti umatnya mengelilingi bangunan utama kuil. Sambil meletakkan sesaji pada

Gambar 3.10. Umat yang sedang melakukan puja-puja dengan membaca doa-doa dan nyanyian. (dok. Sardi)


(29)

beberapa titik di bagian luar bagunan tersebut. Seperti yang dijelaskan seorang pendeta bernama Nadhin (40 tahun) berikut ini:

“Mengelilingi kuil sambil meletakkan sesaji di beberapa titik dan membaca doa-doa atau mantra khusus bertujuan menghormati Dewa-dewa yang akan turun ke kuil. Dan ini juga bermaksud untuk menjaga kuil sebagai tempat yang akan digunakan untuk upacara selama beberapa hari ini.”

Diikuti denga doa-doa yang terus dibacakan oleh pendeta, seluruh umat yang hadir kemudian berkumpul mendekati tiang bendera yang terletak di halaman depan kuil. Bendera kuil pun siap ditarik naik ke atas. Setelah bendera berkibar, beberapa macam daun seperti daun kunyit, daun mangga, dan daun mint disatukan dan diikat pada tiang bendera.

Bendera kuil juga akan dipasang di atas kubah kuil (thoobi). Namun untuk pemasangan bendera kuil di puncak tertinggi kuil ini tidak menggunakan daun-daunan atau sesaji-sesaji lainnya melainkan bersama Idemban (tombak yang ujungnya berbentuk simbol AUM). Sambil membacakan mantra-mantra khusus, peserta nazar kemudian menaikkan bendera dan memasang Idemban di bagian pucuk thoobi.

Kedua bendera kuil berwarna dasar kuning dengan lambang ayam jago telah berkibar di Kuil Shri Thendayudabani. Ini berarti upacara Pangguni Uttiram telah dimulai. Setelah penaikan bendera kuil, salah seorang peserta akan membunyikan lonceng besar. Ini sebagai seruan kepada umat Hindu untuk mendatangi kuil dan segera melakukan sembahyang. Sementara itu pendeta dan beberapa orang yang membantunya, menyiapkan sesaji yang akan dipersembahkan kepada para Dewa. Dalam pemujaan ini, semua arca suci Dewa yang terletak di bangunan turut dipuja.


(30)

Arca Dewa adalah patung berwujud manusia dengan bermacam-macam rupa. Arca suci ini dibuat untuk mempermudah umatnya berkomunikasi dengan Tuhannya. Beragam bentuk rupa dan nama Dewa hanya perwujudan untuk mengingat kisah atau legenda para Dewa.

Penaikan bendera kuil juga sebagai bentuk sambutan kepada Dewa Murugar yang akan turun ke bumi. Sehingga suasana kuil yang tergambar adalah gembira menyambut kedatangan Dewa Murugar.

3.3 Pelaksanaan Upacara

Upacara dilaksanakan pada hari ketiga yang dimulai dari pagi hari hingga malam hari. Dimulai dengan puja-puja khusus, Abhisegam, Archanai, mandi suci, Alagu, arakan Kavadigal, dan arakan Ratham. Serangkaian ritual ini dilakukan secara berurutan.

3.3.1 Abhisegam

Sehari sebelumnya, tepatnya hari kedua Pangguni Uttiram, suasana di kuil tidak begitu ramai. Hanya ada sembahyang biasa di kuil yang diikuti oleh umat yang berasal dari sekitar kuil. Hari kedua ini memang dimaksudkan sebagai waktu istirahat atau jedah sebelum acara puncak upacara di hari ketiga.

Memasuki hari ketiga perayaan Pangguni Uttiram. Hari ketiga merupakan saat puncak upacara. Pada saat inilah umat Hindu Tamil beramai-ramai mendatangi kuil. Mereka menggunakan pakaian lengkap khas India (Sari) dan membawa beraneka macam sesaji. Kuil Shri Thendayudabani pagi hari itu dipadati umat yang siap mengikuti sembahyang bersama atau puja khusus.


(31)

Puja khusus adalah sembahyang kepada para Dewa. Namun, pada upacara Pangguni Uttiram puja-puja khusus ditujukan kepada Dewa Murugar. Sembari membacakan mantra-mantra khusus yang berisi do’a, pendeta memasukkan satu persatu sesaji berupa makanan, buah, bunga, dan biji-bijian. Bahan sesaji ini ada yang dipersiapkan oleh pihak kuil dan ada pula sumbangan dari umat yang datang. Pada tata cara sembahyang pada ajaran Hindu adalah melakukan pemujaan yang pertama untuk Dewa Ganesha. Dewa Ganesha diyakini sebagai lambang ilmu pengetahuan, yang akan memberi wawasan dan kepintaran. Meskipun momennya adalah untuk Dewa Murugar, akan tetapi Dewa-dewa lainnya juga tetap mendapat penghormatan khusus. Seluruh umat Hindu yang datang ke kuil bebas melakukan pemujaan Dewa manapun sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing.

Seusai puja khusus, ritual selanjutnya adalah Abhisegam. Abhisegam adalah ritual memandikan Dewa. Semua arca Dewa yang ada di kuil akan

Gambar 3.11. Seorang pendeta sedang melakukan abhisegam, memandikan arca Dewa dengan susu dan aneka bunga. (dok. Ayu)


(32)

dimandikan secara khusus. Abhisegam biasanya dilakukan pada waktu tertentu, yakni setiap hari, seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali atau pada saat perayaan.

Pada upacara Pangguni Uttiram, ritual Abhisegam dilakukan pada hari ketiga atau hari puncaknya. Setelah melakukan sembahyang (puja khusus), pendeta akan memandikan arca-arca utama. Dibantu dengan beberapa orang, arca dimandikan satu persatu dengan bahan yang telah disiapkan. Susu, beragam jenis bunga, air kunyit, dan air bersih digunakan sebagai media untuk tujuan tertentu sesuai dengan makna masing-masing bahan. Setelah arca-arca Dewa dimandikan hingga bersih, kemudian arca tersebut dikenakan baju atau semacam kain berwarna kuning dan dikalungi rangkaian bunga. Warna kuning bagi kepercayaan Hindu Tamil berarti suci. Sehingga pemakaian warna kuning lebih mendominasi.

Abhisegam dilakukan sebagai wujud rasa syukur umat kepada Dewa Murugar. Pada hari ulang tahunnya ini Dewa Murugar akan ditampilkan dalam wujud yang berbeda dari wujudnya di hari biasa.

3.3.2 Archanai

Ritual Archanai yang dilakukan pada saat upacara Pangguni Uttiram dimaksudkan sebagai rasa bakti dan terima kasih mereka atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan. Permohonan pun juga dipanjatkan dalam setiap do’a dalam puja-pujanya. Ritual ini dipimpin oleh seorang pendeta yang berada di tengah ruangan yang biasa digunakan untuk bersembahyang yang disebut mahamandaban.

Archanai dipusatkan pada sebuah perapian yang dibuat di tengah ruangan. Segala bentuk sesaji yang akan dipersembahkan kepada Dewa lewat medium api.


(33)

Bagi umat Hindu Tamil, sesaji yang dibakar di dalam perapian akan menjadi asap yang terbang ke atas. Mereka percaya semuanya akan sampai ke pada Dewa yang dianalogikan berada di atas.

Bahan-bahan dan sesaji yang telah dipersiapkan dan kemudian dimasukkan ke perapian merupakan bentuk penghormatan umat kepada Dewa Murugar yang pada saat itu diperlakukan istimewa.

Gambar 3.12. Seorang pendeta sedang melakukan archanai, dibantu oleh beberapa orang. (dok. Ayu)


(34)

3.3.3 Alagu

Setibanya di sungai, dimana akan dilaksanakannya ritual cucuk (Alagu), para peserta wajib menjalani ritual mandi suci. Sungai Tangsi yang digunakan sebagai tempat mandi suci ini berjarak 1 (satu) Kilometer dari Kuil Shri Thendayudabani. Setiap peserta akan mencelupkan seluruh tubuhnya ke dalam air dipandu oleh seorang pendeta. Mandi suci bermaksud memberi penyegaran bagi peserta yang akan membayarkan nazarnya setelah itu.

Setelah semua peserta selesai mandi suci, mereka akan dikumpulkan di sebuah area di pinggir sungai. Area ini telah dibatasi, dengan maksud orang-orang yang tidak berkepentingan tidak mengganggu jalannya ritual Alagu. Pendeta yang memimpin ritual ini segera membacakan mantra-mantra khusus kepada semua kavedi dan sesaji yang nantinya akan dibawa arak-arakan.

Alagu adalah ritual menusukkan besi-besi dengan bermacam bentuk pada bagian tubuh tertentu. Besi-besi tersebut ada yang berbentuk seperti kail pancing, anak panah, dan lain-lain. Biasanya ditusukkan di bagian tubuh seperti lidah, punggung, dada dan pipi. Besi-besi tersebut disebut kavedi.


(35)

Saat peserta akan ditusuk tubuhnya, seluruh umat yang hadir di sana tampak khusuk memanjat doa keselamatan. Seruan-seruan juga terdengar dari para peserta yang menunggu giliran dengan maksud memberi semangat kepada peserta yang sedang menjalani Alagu. Yang tampak pada raut wajah para peserta saat itu adalah kepasrahan dan keikhlasan.

Ritual alagu ini adalah puncak dimana akan terlihat ketulusan mereka selama menjalani persiapan sebelumnya. Bagi peserta yang melanggar syarat yang telah ditentukan, dipercaya akan mengalami hambatan saat menjalani ritual alagu. Seperti yang dituturkan oleh Ramish (25 tahun) berikut:

“Jika kami melakukan semuanya dengan niat yang tulus dan nggak melanggar pantangan, mudah-mudahan Dewa akan membantu meringankan rasa sakit saat ditusuk. Tapi jika ada pantangan yang dilanggar, pada waktu ditusuk akan terjadi hal-hal yang nggak diinginkan seperti berdarah atau terasa berat saat diarak keliling kota.”

Para peserta Alagu melakukannya dalam keadaan trance atau tak sadarkan diri. Namun, beberapa orang merasa dalam keadaan sadarkan diri. Semuanya bergantung pada pemimpin upacara yang mengendalikan kekuatan magis.

Gambar 3.15. Prosesi Alagu seorang peserta yang dilakukan seorang pendeta. (dok. Ayu)


(36)

Biasanya setiap peserta akan dirasuki atau dimasuki roh-roh Dewa. Mereka dapat mengenalinya dengan suara-suara yang dikeluarkan peserta saat trance.

Masing-masing peserta akan ditusuk pada bagian bagian-bagian tertentu tubuhnya. Ada yang di bagian pipi, lidah, punggung, atau dada. Masing-masing sebagai bentuk penebusan dosa atas kejahatan yang pernah dilakukan.

3.3.4 Arakan Kavadigal

Ritual selanjutnya yaitu Kavadigal. Kavadigal dilaksanakan di hari kedua yaitu pada hari puncak. Setelah dilakukan puja khusus, Abhisegam, Archanai, dan Alagu sebelumnya, barulah seluruh umat yang hadir bersiap-siap melakukan arak-arakan keliling kota menuju kuil.

Arak-arakan keliling kota dengan membawa empat kavedi Dewa dalam wujud yang berbeda-beda. Selain itu, ada pula kavedi yang berbentuk rangkaian bunga, daun dan buah. Beberapa orang perempuan juga tampak menjunjung kendi berisi susu sapi. Semua peserta arak-arakan Kavadigal ini harus berjalan beriringan sejauh kurang lebih 2 Kilometer menuju kuil tanpa menggunakan alas kaki.


(37)

Pada arak-arakan Kavadigal suasana jalan yang dilalui menjadi ramai. Bukan saja umat Hindu Tamil tetapi masyarakat umum juga ikut menyaksikan. Peserta wirtho yang telah mengenakan kavedi akan berjalan dengan dipandu oleh pendeta dan beberapa orang pembantunya. Diiringi alunan musik khas India, para peserta upacara menarikan tari-tarian dan menyanyi lagu-lagu yang dapat memberi semangat untuk peserta.

Gambar 3.17. Arakan Kavadigal. (dok. Ayu)

Gambar 3.18. Pada arakan Kavadigal diisi dengan tari-tarian dan nyanyian. (dok. Ayu)


(38)

Selama diarak, peserta berjuang menahan diri. Mereka sebenarnya sedang menjalani ujian untuk melawan kejahatan dalam diri mereka sendiri. Sehingga bagi mereka yang benar-benar menjaga niat tetap bersih, akan sanggup melewatinya.

Dalam arak-arakan Kavadigal juga ada pertunjukkan Barongsai dan Jaran Kepang. Keduanya adalah bentuk kesenian tradisional di luar budaya Tamil. Kehadiran kelompok kesenian ini sengaja dipanggil oleh panitia penyelenggara untuk mengaburkan kesan religius dalam acara ini. Mereka menganggap jika memasukkan unsur budaya lain akan lebih mudah dalam pelaksanaan ritual.

Gambar 3.19. Peserta dalam keadaan trance (tidak sadarkan diri) saat diarak menuju kuil. (dok. Sardi)


(39)

Sekilas perayaan ini seperti sebuah pertunjukkan atau akrobat. Namun, bagi orang Tamil ritual yang sedang mereka jalankan adalah suatu kewajiban agama. Seperti yang dituturkan oleh pendeta Nadhin (40 tahun):

“Ritual cucuk adalah acara yang sangat ditunggu-tunggu. Saat ritual cucuk dan arak-arakan ke kuil, masyarakat umum boleh saja menyaksikannya. Tanpa ada batasan usia, suku, agama dan jenis kelamin. Sehingga saat prosesi acaranya, suasana menjadi ramai dan sulit dikendalikan. Makanya panitia telah menyiapkan orang-orang yang siap membantu pendeta dalam menjaga peserta agar tak tersentuh orang-orang. Bagimanapun acara ini adalah acara agama, dan masyarakatpun diharapkan dapat memberi kebebasan kepada kami untuk menjalani ibadah ini.”

Saat peserta diarak keliling kota, masyarakat khususnya orang-orang Tamil yang tidak ikut dalam arak-arakan akan menunggu di depan rumah mereka atau di pinggir jalan yang dilalui peserta. Mereka menyiapkan air dan makanan yang akan diberikan kepada peserta arak-arakan. Sebagian ada yang menyediakan air kunyit untuk disiramkan ke kaki para peserta Alagu.

Setelah tiba di kuil, semua peserta masuk ke dalam kuil. Pendeta kemudian membaca mantra khusus untuk melepaskan besi-besi yang melekat di tubuh peserta. Secara perlahan besi pun dilepaskan tanpa meninggalkan bekas luka atau lubang pada kulit. Pada saat itu, seruan doa dan bunyi lonceng meramaikan suasana kuil. Semua umat yang hadir memanjatkan doa dan rasa syukur kepada Dewa atas keselamatan dan kelancaran acara tadi.

3.3.5 Arakan Ratham

Pada malam harinya dilanjutkan dengan ritual arak-arakan Ratham. Ratham adalah mengarak arca suci Murugar di atas kereta kencana (radoo). Radoo akan ditarik oleh hewan sapi atau lembu keliling kota. Arak-arakan ini akan berkeliling dengan route yang hampir sama dengan arakan Kavadigal.


(40)

Radoo adalah kereta kencana Murugar yang menandakan kebesarannya. Sehingga malam itu menjadi malam yang dinantikan umat Tamil. Pada saat itu, Dewa Murugar yang diarak di dalam radoo akan mendatangi umatnya dan memberkati mereka. Orang-orang Tamil akan menyiapkan sesaji yang terdiri dari beraneka macam buah dan diberi dupa. Pendeta dan beberapa orang peserta

wirtho berada di atas kereta akan memberkati sesaji di hadapan arca Dewa

Murugar.

Pada arak-arakan ini, semua umat Hindu-Tamil yang hadir dan menyaksikan acara tersebut menyambut dengan gembira. Mereka merasakan kemenangan karena telah berhasil memerangi kejahatan dalam bentuk penebusan dosa atau Alagu tadi.

3.4 Ritual Penutup

Setelah pelaksanaan upacara selesai di hari ketiga, hari keempat hanya ada sembahyang atau puja-puja Dewa. Hari keempat menjadi waktu istirahat karena telah menjalani serangkaian ritual. Namun perayaan Pangguni Uttiram belum selesai. Masih ada serangkaian ritual lagi di hari kelima yang menjadi ritual penutup.

Hari kelima adalah hari terakhir perayaan Pangguni Uttiram. Pada pagi hari umat Hindu Tamil akan datang ke kuil untuk melakukan sembahyang. Sembahyang pada hari kelima ini sama dengan hari pertama. Setelah dilakukan puja-puja kepada Dewa, mereka akan mengelilingi kuil dan menunurunkan bendera kuil. Lalu dilanjutkan dengan Puja Idumban, dimana puja-puja ditujukan kepada Muniandi. Muniandi adalah penjaga kuil yang dalam wujudnya berupa


(41)

Macan. Dalam mitologi Dewa Murugar, Macan adalah musuh Murugar. Ketika mereka terlibat dalam sebuah perang, ada suatu perjanjian. Jika yang kalah dia akan menjadi pelayan bagi yang menang. Pada waktu itu Murugar menang, dan Muniandi akhirnya menjadi pengawal Murugar.

Sebagai ritual penutup, biasanya akan diadakan pemotongan hewan kambing. Ini dimaksudkan untuk dipersembahkan kepada arca Muniandi. Dalam kepercayaan Hindu-Tamil, hal-hal yang bersifat amis sangat dilarang. Namun, pada pelaksanaannya ada sebagian yang menganggap bahwa ritual potong kambing ini sebagai penghormatan mereka kepada Muniandi yang telah menjaga umat di kuil.

Saat proses pemotongan, semua arca suci yang ada di dalam kuil maupun di luar kuil akan ditutup dengan kain dengan maksud agar tidak melihat darah yang mengucur dari hewan kambing itu. Setelah kambing dipotong, akan dimasak dan dihidangkan dalam acara makan bersama. Pengadaan kambing ini adalah hasil sumbangan dari masyarakat Tamil yang dengan sukarela menyumbang.


(42)

BAB IV

FUNGSI RITUAL PANGGUNI UTTIRAM

4.1 Fungsi Agama

Ritual Pangguni Uttiram adalah sarana yang menghubungkan manusia dengan Tuhan (Dewa). Inilah yang dimaksud dengan agama dalam praktik (religion in action). Agama diwujudkan pada aktivitas dan tindakan dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan (Dewa) dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Pada Bulan Pangguni umat Hindu-Tamil menjalani serangkaian ritual keagamaan. Ritual ini terdiri dari beberapa tindakan, seperti berdoa (puja-puja), bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, dan berpuasa. Ritual ini bisa dilakukan berulang-ulang seperti berdoa, dan bisa berupa rangkaian satu-dua rangkaian beberapa tindakan seperti berdoa sekaligus bersaji.

Dalam pelaksanaan upacara juga terdapat simbol-simbol. Simbol-simbol agama ini digolongkan sebagai simbol suci yang memiliki muatan-muatan yang penuh dengan sistem nilai yang baik. Simbol-simbol ini dipakai dalam upacara sebagai alat komunikasi, juga menyuarakan pesan-pesan ajaran agama dan kebudayaan sesuai tujuan yang ingin dicapai oleh adanya upacara tersebut (Suparlan, 1982: 21).

Bagi sebagian umat Hindu-Tamil, menganggap bahwa Pangguni Uttiram adalah suatu kewajiban agama atau ibadah. Pada saat momen ini, mereka harus melakukan pemujaan untuk para Dewa terutama Dewa Murugar. Meskipun


(43)

demikian adapula sebagian umat yang menganggap bahwa itu bukanlah kewajiban.

Melakukan pengorbanan dalam bentuk tindakan seperti menusuk bagian tubuh dengan besi maupun hanya memberikan sesaji saja, adalah bagian dari kebaktian manusia dengan Tuhan. Semua tindakan ini harus diikuti dengan rasa keikhlasan dan ketulusan dalam menjalaninya. Pada akhirnya pengorbanan ini akan menghasilkan kekuatan spiritual dan ketenangan batin. Seperti yang diungkapkan Ramish (25 tahun) sebagai berikut:

“Setelah membayar niat dengan alagu, dosa-dosa kita mudah-mudahan akan terhapus. Semakin sering melakukannya semakin bagus. Kita juga lebih dekat dengan Tuhan. Tapi semua harus dilakukan dengan niat yang ikhlas dan tulus menjalaninya. Karena pengorbanan ini adalah bentuk kebaktian kita dengan Tuhan sekaligus mensucikan diri kita, sehingga menjadi manusia yang bersih kembali.”

Setiap peserta upacara mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi setelah melakukan upacara. Dengan tujuan yang berbeda-beda, peserta melakukan upacara secara bersama-sama. Namun masing-masing telah menjalin hubungan yang pribadi antara dirinya dengan Tuhan.

4.2 Fungsi Sosial

Umat Hindu-Tamil memang ada yang menjalankan kewajiban mereka setengah-setangah saja. Motivasi mereka tidak hanya untuk melakukan kewajiban agama saja, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial.

Setiap perayaan Pangguni Uttiram selalu diikuti ratusan orang dari berbagai daerah. Mereka tidak hanya berasal dari daerah di sekitar kuil, namun ada pula yang secara khusus datang dari luar daerah untuk mengikuti upacara ini.


(44)

Bagi mereka, Pangguni Uttiram adalah hari raya bagi umat Hindu-Tamil. Sehingga bila ada anggota keluarga yang tinggal di luar kota akan datang berkumpul dengan keluarganya untuk merayakannya.

Saat hari puncak atau saat pelaksanaan upacara, semua umat berkumpul untuk melakukan ritual sembahyang di kuil. Momen ini dimanfaatkan untuk saling mengenal dan mempererat persaudaraan diantara sesama suku bangsa Tamil. Bagi mereka dalam upaya menjaga tradisi leluhurnya, maka diperlukan rasa solidaritas untuk mewujudkannya. Sebagaimana yang dituturkan oleh seorang Hindu-Tamil, Sathi (40 Tahun) warga Kampung Anggerung, Medan:

“Saya sudah sering ikut perayaan Pangguni, hampir setiap tahun. Sebisa mungkin saya mengajak keluarga untuk datang ke sini (Pakam). Karena bagi saya, datang ke sini tidak hanya untuk beribadah tapi juga bisa bertemu saudara-saudara sesama agama Hindu (Tamil) lainnya. Kita bisa lebih mengenal dan memperluas persaudaraan. Kapan lagi kalau tidak pada saat perayaan upacara seperti ini.”

Selain menimbulkan rasa solidaritas sesama Tamil, pelaksanaan Pangguni

Uttiram juga sebagai upaya menjaga nilai-nilai kebudayaan Tamil. Menurut

Bapak Khalifa (47 Tahun), dengan adanya tradisi ini masyarakat akan melihat keberadaan suku bangsa keturunan Tamil di Indonesia. Dalam beberapa upaya untuk mengadakan kembali tradisi yang pernah dilarang selama 16 tahun ini, masyarakat Tamil berharap masyarakat umum dapat menerima keberadaan mereka. Sehingga, perayaan Pangguni Uttiram juga dapat berfungsi untuk memperkuat identitas kesukuannya.

4.3 Fungsi Seni dan Politik

Upacara keagamaan Hindu-Tamil tidak bisa lepas dari unsur seni. Dalam beberapa ritual seperti puja-puja Dewa, biasanya juga diiringi dengan alunan


(45)

musik dan tarian. Namun, musik dan tarian yang dimaksud memiliki makna suci. Sehingga dilakukan dengan penuh kehidmatan dan juga kegembiraan.

Beberapa hal yang tampak pada pelaksanaan upacara, saat ritual arak-arakan Kavadigal adalah keunikan memasukkan unsur-unsur di luar budaya Tamil. Adanya seni pertunjukkan Barongsai dan Jaran Kepang ikut meramaikan suasana upacara. Sehingga perayaan ini tampak sangat menjunjung toleransi antar etnis lainnya.

Barongsai adalah seni pertunjukkan dari Cina. Sarung boneka berbentuk menyerupai Singa yang digerak-gerakkan oleh dua atau empat orang di dalamnya ini dikenal sebagai kesenian khas etnis Tionghoa. Namun, pada perayaan ini

Barongsai ditampilkan untuk ikut meramaikan upacara. Begitu juga Jaran

Kepang yang dikenal sebagai kesenian tradisional Jawa. Orang-orang yang memainkan seni pertunjukkan berupa tarian kuda lumping ini tetap berasal dari suku Jawa. Kedua seni pertunjukkan ini sengaja dihadirkan oleh panitia untuk memeriahkan suasana.

Dalam pelaksanaannya, ritual Pangguni Uttiram tidak terlepas dari unsur politik di dalamnya. Beberapa alasan yang memperkuat adanya unsur buadaya lain yang terdapat pada upacara seperti yang dipaparkan Bapak Khalifah (47 Tahun):

“Pada zaman pemerintahan Orde Baru tradisi ini pernah dilarang selama 16 tahun. Kami sendiri tidak begitu paham alasannya, tapi kami tahu ada unsur politik sehingga tradisi ini dilarang. Mungkin karena kami dari suku yang minoritas sehingga tidak bisa melawan. Pada tahun 1999, masyarakat tamil berusaha mengadakan kembali ritual ini. Dengan memasukkan kesenian dari etnis Jawa dan China sebagai cara agar diizinkan oleh pemerintah. Kami berharap pemerintah bisa melihat bahwa tradisi ini dapat dijalankan dengan kerukunan antar suku dan agama.”


(46)

4.4 Fungsi Pariwisata

Perayaan Pangguni Uttiram diadakan sekali dalam setahun. Menurut kalender Hindu dari India, perayaan ini jatuh pada Bulan Pangguni dan diadakanlah upacara pada saat bulan terang atau purnama. Sehingga ritual ini dinamakan Pangguni Uttiram. Bagi masyarakat Tamil khususnya yang beragama Hindu ini saatnya merayakan untuk kebesaran Tuhan (Dewa Murugar). Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambutnya.

Bagi masyarakat di luar Tamil, perayaan ini memang merupakan upacara keagamaan yang dimiliki masyarakat Hindu-Tamil. Namun, pada saat hari puncak atau pelaksanaan upacara, masyarakat umum juga ikut meramaikan suasana upacara. Meskipun hanya melihat beberapa ritual yang telihat eksotis dan magis. Seperti saat upacara tusuk lidah (alagu), yang menjadi ritual yang ditunggu-tunggu. Biasanya mereka memenuhi area di sekitar sungai dimana akan dilakukan ritual ini.

Masyarakat Hindu-Tamil tidak menganggap ini sebagai sebuah pertunjukkan. Karena mereka menjalani ritual itu sebagai suatu kewajiban agama. Namun yang tampak, bahwa masyarakat juga memiliki antusias melihat dari dekat setiap prosesi upacara. Meskipun apa yang dirasakan oleh umat Hindu-Tamil dan masyarakat di luar Tamil jelas berbeda.

Semua orang yang hadir pada perayaan Pangguni Uttiram ini tidak hanya untuk beribadah. Sebagian ada pula yang datang untuk melihat prosesi upacara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Sathi (40 Tahun) berikut:

“Sayang kali kalau tidak bisa ikut upacara ini. Menghadiri Pangguni Uttiram ini perlu juga. Dengan mengajak anak-anak melihat setiap acaranya dapat juga mengenalkan mereka pada tradisi nenek moyangnya. Supaya mereka tidak lupa pada budayanya. Karena banyak anak-anak sekarang mulai meninggalkan hal-hal


(47)

yang tradisional. Jadi dengan membawa anak-anak untuk melihat, nantinya akan menumbuhkan kecintaannya pada budayanya sendiri.”

Dengan besarnya antusias masyarakat ini, membuat masyarakat Tamil memiliki semangat baru untuk tetap menjaga tradisi ini agar tetap ada pada generasi selanjutnya. Bagi masyarakat Tamil, bagian di luar unsur keagamaan atau kebudayaan Tamil dalam upacara bisa saja berubah atau berkembang. Jika masyarakat umum melihat ini sebagai tujuan wisata budaya, maka toleransi beragama juga diharapkan untuk memberi kebebasan kepada umat yang sedang menjalani upacara tersebut.


(48)

BAB V

KESIMPULAN

1. Berdasarkan empat aspek yang terkandung di dalam sistem upacara, dapat digambarkan mengenai konsep kepercayaan Hindu-Tamil di dalam ritual Pangguni Uttiram sebagai berikut:

a) Kuil, sungai, dan jalan adalah aspek tempat yang digunakan dalam upacara. Kuil merupakan rumah Tuhan (Dewa), sehingga dianggap suci dan sakral sebagai tempat beribadah. Sungai merupakan media pensucian diri sebelum melakukan upacara. Jalan merupakan sarana yang digunakan untuk memperoleh berkah Tuhan (Dewa).

b) Waktu juga menjadi aspek yang tidak dapat dilepaskan dalam pelaksanaan

Pangguni Uttiram. Dengan adanya perhitungan waktu berdasarkan kalender

Hindu di India yang disebut panchagem. Serangkaian ritual dijalani secara sistematis (berurutan).

c) Aspek ketiga adalah pelaku atau orang-orang yang melakukan upacara. Pemimpin upacara adalah seorang pendeta yang dibantu beberapa orang yang sebelumnya telah diberi izin oleh pendeta. Selain pendeta, ada peserta yang tidak dibatasi usia, jenis kelamin, suku, maupun agamanya.

d) Aspek keempat adalah bahan dan alat upacara. Setiap bahan dan alat upacara memiliki makna tertentu. Beraneka macamnya bahan dan alat yang digunakan saat upacara menggambarkan bahwa ajaran Hindu sangat meyakini bentuk sesaji atau persembahan. Sesaji dipercaya sebagai alat atau media untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada Tuhan (Dewa).


(49)

Penelitian ini telah menjawab bahwa dilihat dari serangkaian upacara yang dilakukan oleh umat Hindu-Tamil adalah pengulangan peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat dalam mitologi Dewa Murugar. Umat Hindu-Tamil memaknai setiap ritual yang dijalani dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Hindu sebagaimana yang terdapat dalam mitologi Dewa murugar. Pemahaman mereka tentang konsep kepercayaannya yang terwujud dalam upacara lebih cenderung berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh leluhurnya.

2. Ritual Pangguni Uttiram ternyata memiliki beberapa fungsi yakni: fungsi agama, fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi seni dan politik, pariwisata. a) Sebagai fungsi agama, ritual ini sebagai suatu kebaktian manusia dengan Tuhan (Dewa). Melalui upacara persembahan ini, umat merasa lebih

mendekatkan diri dan mensucikan dirinya kembali.

b) Sebagai fungsi sosial, ritual ini dapat menimbulkan solidaritas sesama suku bangsa Tamil.

c) Sebagai fungsi seni dan politik, ritual ini dapat memperkuat identitas kesukuan etnis Tamil, dan mewujudkan toleransi umat beragama melalui ragam keseniannya.

d) Sebagai fungsi pariwisata, selain untuk mengenalkan generasi muda Tamil pada budayanya ritual ini mampu menarik perhatian masyarakat di luar Tamil dengan pelaksanaan upacara yang terkesan unik.

Ritual Pangguni Uttiram bagi masyarakat Hindu-Tamil adalah wujud ketaatan mereka pada agamanya. Masuknya unsur-unsur di luar kebudayaan Tamil disebabkan ajaran Hindu merupakan ajaran yang universal atau terbuka


(50)

terhadap perkembangan masyarakat pemeluknya. Adanya unsur politik telah mempengaruhi masyarakat Hindu-Tamil dalam pelaksanaan upacara keagamaannya, yang secara perlahan akan merubah pemahaman mereka mengenai ritual Pangguni Uttiram.


(51)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TAMIL

DI SUMATERA UTARA

Sebagai sekelompok orang yang membatasi identitas budayanya, suku bangsa Tamil pasti memiliki cara hidup yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Orang Tamil masih sangat menghormati adat-istiadat. Meskipun tidak selalu terlihat mengenakan identitas budayanya. Ini disebabkan agar mereka dapat dengan mudah melebur dengan masyarakat setempat.

Untuk hal-hal yang bersifat sistem pengetahuan mengenai agama yang mereka miliki relatif rendah. Hanya sedikit orang, seperti tokoh tetua adat dan pendeta saja yang mengerti. Kebanyakan mereka hanya menjalankannya karena telah menjadi tradisi leluhurnya. Namun untuk hal-hal yang relijius, mereka sangat percaya dan taat menjalaninya. Seperti yang dipaparkan dalam gambaran umum masyarakat Tamil di Sumatera Utara khususnya masyarakat Tamil di Lubuk Pakam berikut ini.

2.1 Suku Bangsa Tamil

Suku bangsa Tamil termasuk dalam bangsa Dravida dari India bagian selatan. Masyarakat umum ada yang menyebutnya dengan sebutan “Orang Keling”. Kata “Keling” sendiri berasal dari bahasa Sanskrit yaitu Kalingga, yang mengarah pada sebuah daerah di India bagian selatan. Dari segi sejarah, kata “Keling” merujuk kepada Benua Keling yang kini bernama India. Sebagaimana


(52)

pelayaran ke Benua Keling, Kampung Keling, dan lain-lain. Sebutan “Keling” ini kemudian menjadi lazim di seluruh tanah Melayu.5

Penggunaan sebutan “Keling” ini pernah ditujukan kepada semua orang-orang India. Namun penggunaan sebutan ini perlahan berubah. Di beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia, istilah ini sering dianggap suatu kata makian yang digunakan dengan hati-hati.

Kemungkinan perubahan itu disebabkan oleh orang India sendiri yang memandang rendah mereka yang berasal dari India bagian selatan. Mereka tidak mau dikaitkan dengan panggilan “Keling”. Kemungkinan lain adalah dari segi sejarah, bahwa kebanyakan pendatang dari India yang awalnya bekerja di ladang yang kemudian dikenal sebagai “Orang Keling”. Oleh karena itu, apabila mereka mencapai tahap ekonomi yang lebih tinggi, mereka akan menjauhkan diri dari sebutan yang memiliki stigma atau anggapan negatif yang berarti kelas bawahan.

Versi lain bahwa sebutan “Orang Keling” dimulai ketika seorang buruh perkebunan dari suku bangsa Tamil membunuh seorang Belanda. Kemudian orang-orang Belanda selalu memberi julukan killing man (pembunuh) yang akhirnya berubah menjadi “Orang Keling”.

Beragam versi muncul dari masyarakat yang memberi sebutan bagi orang-orang dari suku bangsa Tamil tersebut. Namun bagi masyarakat Tamil sendiri, sebutan “Orang Tamil” dianggap lebih tepat. Alasannya karena sebutan itu langsung mengarah pada identitas budaya mereka sebagai suku bangsa Tamil.

Suku bangsa Tamil yaitu orang-orang yang berlatar belakang suku bangsa dan pendukung kebudayaan Tamil yang berasal atau mempunyai daerah


(53)

kebudayaan dari India. Mereka mudah dikenal dari ciri-ciri fisiknya, seperti: kulit berwarna hitam atau gelap, dengan jambang atau bulu dada, di samping gigi yang putih bersih.

Bagi perempuan Tamil masih ada ciri-ciri lain yaitu adanya potte (tanda bulat yang diletakkan di dahinya dengan warna seperti hijau, merah, hitam, kuning, biru, dan lain-lain), pemakaian walille (gelang-gelang plastik berwarna merah, hijau, biru, atau kuning bercampur warna emas dan pemakaian tali manggasutra manjakauri (tanda kawin) bagi yang telah menikah. Tanda kawin ini biasanya digantungkan di leher.

Namun saat ini, ciri-ciri tersebut tidak begitu tampak. Seiring berjalannya waktu, terjadi pula perubahan pada diri orang Tamil. Penyebabnya antara lain karena terjadinya perkawinan campur dengan suku bangsa lain, proses adaptasi sosial agar bisa berbaur dengan masyarakat di luar Tamil, dan lain sebagainya.

2.2 Lokasi

Suku bangsa Tamil sudah ada di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Tidak ada tahun yang pasti mengenai kedatangannya ke Indonesia untuk yang pertama kalinya. Namun berdasarkan penemuan arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) membuktikan pada abad ke-9 sampai abad ke-12 di Lobu Tua, Barus, telah terdapat perkampungan multietnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, dan sebagainya.

Dalam situs Lobu Tua juga ditemukan prasasti dengan tulisan Tamil oleh pejabat Belanda, G.J.J Deutz tahun 1872. Setelah diterjemahkan oleh Prof. Dr. K.A Nilakanta dari Universitas Madras, India, menurutnya batu bertulis itu


(54)

bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan dan ketentuan lainnya. Ini semakin memperkuat bahwa suku tamil telah lama masuk ke Sumatera Utara.

Sejak kedatangannya sekitar akhir abad ke 18 dan awal abad ke-19, suku bangsa Tamil mulai menyebar ke beberapa daerah di Sumatera Utara, antara lain: Langkat, Binjai, Medan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar. Daerah-daerah tersebut yang dikenal memiliki potensi besar di sektor perkebunan.

Awalnya orang Tamil bekerja sebagai buruh dan kuli angkut atau supir di perkebunan. Namun perlahan telah terjadi peralihan mata pencaharian. Dari yang awalnya bekerja sebagai kuli di perkebunan beralih menjadi pedagang, supir pengangkutan barang dagangan, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan sebagian besar orang Tamil mulai berpindah ke kota-kota yang dekat dengan sentra perdagangan.


(55)

Pada umumnya orang-orang Tamil hidup secara berkelompok. Biasanya, mereka membuat perkampungan sendiri. Daerah pemukiman orang Tamil yang sangat dikenal adalah Kampung Keling atau sebagian orang mengenalnya dengan “Kampung Madras”. Kawasan Kampung Keling terletak di Kota Medan, tepatnya di sekitar Kecamatan Medan Petisah dan Kecamatan Medan Baru. Selain di Kampung Keling, komunitas Tamil juga terdapat di Kampung Anggerung. Kawasan ini terletak di Kelurahan Anggerung, Kecamatan Medan Polonia.

daerah penyebarannya

Gambar 2.1. Peta daerah penyebaran suku bangsa Tamil di Sumatera Utara.


(56)

Namun di kawasan ini komunitas Tamil tidak banyak jika dibandingkan dengan kawasan Kampung Keling.

Kawasan Kampung Keling terbentang seluas 10 Hektar. Di sekitar kawasan Kampung Keling ini terdapat Kuil Shri Mariaman dan Kuil Shri Subramaniam. Tidak begitu jauh dari kawasan Kampung Keling berdiri Sekolah Raksana dan Sekolah Dharma Putra milik orang Tamil. Kawasan ini pernah mempunyai komunitas India yang besar. Namun karena keadaan ekonomi yang sulit sehingga banyak dari mereka yang berpindah ke kawasan atau ke daerah

Daerah Komunitas Suku Tamil di Medan

Gambar 2.2. Peta kawasan dengan komunitas Tamil yang mulai menyebar di Kota Medan, diantaranya di Kelurahan Petisah (Kecamatan Medan Petisah), Kelurahan Anggerung (Kecamatan Medan Polonia), dan Kelurahan Darat (Kecamatan Medan Baru).


(57)

lainnya agar perekonomiannya lebih baik. Sehingga saat ini, kawasan Kampung Keling banyak dihuni oleh orang-orang etnis Cina.

Kampung Keling diperkirakan telah ada sejak tahun 1884 Masehi. Ini dibuktikan dengan dibangunnya Kuil Shri Mariaman sebagai tempat ibadah suku bangsa Tamil yang beragama Hindu pada tahun 1884 Masehi tersebut. Kampung Keling ini memang bukan perkampungan Tamil tertua di Sumatera Utara. Ada sekitar lebih dari 13 daerah yang didiami suku bangsa keturunan Tamil, diantaranya yaitu di Tanjung Keling (Kuala), Tanjung Jati, Binjai, Buluh Cina, Sei Semayang, Glugur Rimbun, Medan Tuntungan, Helvetia (Kampung Banten), Saentis, Sampali, Batang Kuis, Lubuk Pakam, dan di daerah perkebunan Bekala.

Lubuk Pakam termasuk salah satu daerah sebaran terbesar komunitas Tamil di Sumatera Utara selain Medan dan Tebing Tinggi. Mereka bermukim di lahan seluas 2 Hektar yang disediakan pada zaman kolonial Belanda. Kini ada sekitar 300 jiwa atau 79 kk (kepala keluarga) bersuku bangsa Tamil.

2.3 Asal-mula dan Sejarah Kedatangan Tamil

Sekitar tahun 1836 Masehi seorang petani tembakau asal Belanda bernama J. Nienhius berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Deli untuk menanam tembakau. Usaha menanam tembakau-nya boleh dikatakan berhasil, sehingga Tembakau Deli cukup dikenal di pasaran dunia. Hal tersebut mengundang para penanam modal asing untuk menanam modalnya pada pengusaha perkebunan swasta seperti Medan Estate, Kesawan dan Marindal. Namun, akibat perkembangan dan pertumbuhan perkebunan yang begitu pesat, akhirnya berpengaruh terhadap tenaga kerja, karena di daerah tersebut tidak mampu


(58)

menyediakan tenaga buruh yang cukup untuk penanam tembakau tersebut. Untuk mengisi kekurangan tenaga kerja tersebut pihak perkebunan terpaksa mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatera, antara lain dari daratan Cina, orang-orang Tamil dari India, Penang, dan Singapura.

Para tenaga kerja tersebut didatangkan melalui Sistem Indenture yaitu sistem yang didasarkan atas dasar kontrak, dimana majikannya mengambil tenaga kerja dengan membayar ongkos pelayaran mereka, lalu mereka diharuskan bekerja selama beberapa tahun kepada majikan tersebut dengan syarat mematuhi peraturan yang berlaku. Cara lainnya adalah Sistem Kangani, dimana para Kangani atau mandor dari sebuah perkebunan akan bertindak sebagai perantara dalam usaha mendapatkan tenaga kerja dengan membayar uang persekot kepada mereka, lalu membawa mereka ke perkebunan yang dibutuhkan. Namun, pada tahun 1880 Inggris mengeluarkan sebuah peraturan yang disebut sebagai British Protector of India Labour yaitu menyangkut tentang pengawasan atau semacam proteksi bagi buruh-buruh Tamil yang masuk ke Sumatera. Akibat hal ini orang-orang Tamil mulai berpindah secara bebas atas usaha mereka sendiri. Demikianlah antara lain saluran yang dilalui orang Tamil yang datang ke Sumatera (Sianipar, 1997: 55-57).

2.4 Bahasa

Bahasa Tamil merupakan bahasa klasik dan bahasa utama dalam keluarga bahasa Dravida. Bahasa dravida adalah salah satu bahasa-bahasa kuno di dunia. Asal-usul bahasa Tamil tidak begitu jelas. Namun, bahasa ini berkembang di India sebagai bahasa yang kaya dengan sasteranya. Lebih dari 55 % catatan epigrafik di


(59)

India ditemukan dalam bahasa Tamil. Bahasa Tamil mempunyai sastera yang tertua di kalangan bahasa Dravida. Karya sastera ini di India dipelihara dalam manuskrip daun Palma (http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Tamil).

Orang Tamil di Indonesia, sudah menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam berinteraksi dengan sesama orang Tamil maupun dengan etnis di luar Tamil. Interaksi sosial ini membuat mereka berbaur dengan masyarakat yang berbeda etnis. Ini yang mengakibatkan mereka generasi mudanya lebih fasih berbahasa Indonesia.

Saat ini hanya kalangan orang-orang tua saja yang masih menggunakan bahasa Tamil dalam berkomunikasi sesama kelompok orang Tamil. Jika di dalam keluarga para orang tua masih membiasakan menggunakan bahasa Tamil dengan anak-anaknya, namun para anak-anak lebih suka menjawab dengan bahasa Indonesia.

Untuk menjaga agar bahasa Tamil tidak hilang, maka dibukalah sekolah minggu yang diadakan di sekolah Raksana milik orang Tamil. Setiap hari Minggu anak-anak diberi pelajaran mengenai agama Hindu dan pelajaran tentang kebudayaan Tamil. Ini dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya karena muncul kekhawatiran bahwa anak-anak muda sekarang enggan menggunakan bahasa Tamil sebagai bahasa ibu.

2.5 Pimpinan Masyarakat

Pimpinan masyarakat menurut orang tamil adalah orang-orang yang biasa memimpin acara-acara keagamaan dan adat. Pemimpin agama yakni gurukkal atau aire (pendeta agung). Aire mempunyai kewajiban-kewajiban seperti belajar


(60)

dan mengajarkan Weda, baik untuk kepentingan sendiri atau untuk kepentingan orang lain.

Pemimpin agama yang lain adalah tawelen yaitu pemimpin kuil atau mereka sering menyebutnya dengan manajer kuil. Selain Tawelen ada pula pusari yaitu orang-orang yang duduk di Parisadha. Orang-orang ini harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah adat istiadat, sosial, dan lain-lain.

Selain pemimpin agama tersebut ada pula guru atau yang disebut theetchai atau walaka. Walaka juga dianggap pemimpin karena guru adalah orang pertama yang mengajarkan agama kepada pendeta atau pemimpin upacara dan yang memberi restu kepada pemimpin upacara sebelum upacara dimulai.

2.6 Sistem Mata Pencaharian

Pada awalnya suku bangsa Tamil bermata pencaharian sebagai buruh kebun dan berjualan rempah-rempah atau bumbu-bumbu masakan di pasar tradisional. Namun seiring perubahan perekonomian di Indonesia, mereka mulai beralih ke sektor lainnya. Sebagian ada yang menjadi supir pengangkutan barang, berjualan emas perhiasan, kain, makanan, dan lain-lain.

Seiring dengan kemajuan pendidikan yang diperoleh orang-orang Tamil, kemudian orang-orang Tamil mulai dikenal sebagai pengacara, dokter, ahli ekonomi, pengacara, guru agama, maupun pekerja seni. Secara khusus, Masyarakat Tamil di Lubuk Pakam sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang. Dahulu mereka bekerja sebagai kuli angkut atau supir di perkebunan. Sekarang mereka banyak yang berjualan kebutuhan pokok di pasar tradisional dan ada yang berjualan dengan membuka toko kelontong (toko serba ada) di


(61)

rumahnya. Aktivitas sehari-hari mereka adalah bekerja, dimulai dari pagi hingga sore hari. Sedangkan anak-anaknya, bersekolah di sekolah terdekat. Pada waktu sore hari, aktivitas di luar berhenti. Karena pada saat sore hari mereka harus melakukan ibadah sembahyang baik di kuil ataupun di rumah masing-masing.

2.7 Sistem Kekerabatan

Sesuai dengan anggapan adat lama, maka perkawinan pada suku bangsa Tamil dipengaruhi oleh Sistem Klen dan Sistem Kasta. Perkawinan mereka bersifat endogami klen. Misalnya, seseorang yang berasal dari Muntheliyer (pemilik modal) harus mencari jodoh dari klen yang sama. Namun golongan muda mengatakan adat seperti itu sudah tidak dipegang teguh lagi. Dalam penentuan jodoh, orang tua masih sangat berperan, dan sebagian para anak menyatakan kurang senang.

Perkawainan yang ideal adalah perkawinan taimamen yaitu perkawinan dengan anak laki-laki dari mamma (saudara laki-laki ibu). Mereka juga mengenal kawin lari dan onna sendekom atau perkawinan mengikut yang telah dijelaskan pada nomor perkawinan di atas.

Perkawinan incest atau perkawinan pantang yang dikenal disesuaikan dengan ajaran Hindu yaitu antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

2. Berhubungan dengan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.


(62)

3. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri.

4. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari satu orang.

5. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan anak susuan, suadara susuan, bibi dan paman susuan.

6. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lainnya dilarang kawin.

Adat menetap setelah menikah adalah secara virilokal yaitu di rumah orang tua suami. Namun tidak sedikit juga yang menetap secara neolokal ataumencari rumah baru. Yang umum dilakukan ialah tinggal untuk sementara secara virilokal dan bila kehidupan sudah mapan akan membangun rumah sendiri.

Setiap keluarga biasanya terdiri dari keluarga batih yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak-anak yang belum kawin serta anak laki-laki yang sudah kawin. Garis keturunan dihitung secara patrilineal.


(63)

Diantara kerabat atau kelompok kerabat ada pula panggilan atau tutur sapa yang khas satu sama lain. Seperti yang dijelaskan pada bagan berikut:

B A A B

C D E F G H

I (Ego) J K

L M

N O

Keterangan dari bagan:

Laki-Laki Perempuan Perkawinan Keturunan A = Paddi (Nenek)

B = Tatta (Kakek)

C = Perriateh (Kakak Perempuan Ayah) / Senateh (Adik Perempuan Ayah) D = Perripa (Kakak Laki-laki Ayah) / Seteppa (Adik Laki-laki Ayah) E = Appa (Ayah)

F = Amma (Ibu)

G = Mamma (Kakak/Adik Laki-laki Ibu)

H = Perrimma(Kakak Perempuan Ibu) / Senemma (Adik Perempuan Ibu) I = Tambi (Adik Laki-laki Ego) / Ane (Kakak Laki-laki Ego)

J = Ego

K = Tanggice (Adik Perempuan Ego) / Aka (Kakak Perempuan Ego) L = Tambi (Anak Laki-laki ego) diikuti nama

M = Tangeben(Anak Perempuan Ego) diikuti nama N = Perpulle (Cucu Laki-laki Ego) diikuti nama


(64)

Dalam pembagian warisan, yang berhak mendapatkan warisan ialah anak laki-laki. Namun, karena perkembangan adat Tamil itu sendiri, maka anak perempuan pun sudah berhak mendapatkan harta warisan. Mengenai banyak dan apa saja yang diberikan tergantung kepada yang membagi warisan (biasanya orang tua) tetapi anak laki-laki umumnya mendapat bagian yang lebih besar.

2.8 Sistem Pengetahuan

Pengetahuan orang Tamil sangat dipengaruhi oleh tradisi leluhur mereka. Sebagian besar kehidupan orang Tamil adalah hasil kebudayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga banyak dari mereka menjalankan apa yang telah diwariskan para leluhurnya tanpa mengetahui dengan jelas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, orang Tamil juga mempunyai buku petunjuk yang disebut panchagem. Dimana di dalamnya berisi cara menghitung hari atau saat yang baik untuk mengadakan hajatan atau keinginan. Buku ini juga memuat pertanggalan upacara-upacara keagamaan mereka.

Menurut keterangan dari Himpunan Parisadha Hindu Dharma Indonesia di Medan, orang-orang dari suku bangsa Tamil di Sumatera Utara telah banyak yang bergelar sarjana kedokteran dan sarjana hukum. Ini menunjukkan bahwa orang Tamil juga tertarik untuk mempelajari ilmu kedokteran dan hukum selain bidang ekonomi yang sebelumnya lebih banyak diminati.

Perubahan pola berfikir orang-orang Tamil terbukti dalam sistem mata pencaharian. Sebelumnya orang-orang Tamil hanya menjadi buruh kebun hingga


(65)

kemudian menjadi pedagang atau pekerjaan lain yang lebih baik lagi. Menurut mereka, bekerja dan tinggal di daerah perkebunan membuat mereka lambat atau ketinggalan perkembangan jaman.

Pada umumnya, orang Tamil berfikir secara praktis dalam hal pendidikan untuk anak-anaknya. Bagi mereka yang berekonomi menengah ke bawah, akan menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau SMA (Sekolah Menengah Atas). Jika mereka sudah bisa bekerja, biasanya si anak akan berhenti sekolah. Namun bagi orang Tamil yang berekonomi menengah ke atas, akan menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Dengan harapan nantinya akan menjadi pengusaha atau lebih sukses dari orang tuanya.

Pendidikan bagi masyarakat Tamil di Lubuk Pakam masih kurang penting. Sebagian besar anak-anak mereka mengalami putus sekolah. Kebanyakan mereka lebih memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah. Sehingga, diantaranya hanya tamat sekolah menengah pertama (SMP). Walaupun ada juga yang tamat sekolah menengah atas (SMA) tapi itu jumlahnya sangat sedikit.

2.9 Kesenian

Kebudayaan India dikenal dengan keseniannya yang kaya. Kesenian memiliki peran penting dalam kehidupan orang-orang Tamil. Kesenian menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Bagi orang Tamil kesenian dapat menjadi media untuk kepentingan tertentu. Misalnya, mereka menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anaknya melalui seni tari, seni drama, seni musik, dan seni rupa.


(1)

KOMPAS-USU untuk semangat, doa, dan cerita yang ikut mewarnai proses pendewasaan penulis: Halima dan Bang Edrol, juga khususnya teman-teman Rabi Lapas. Terimaksih buat Sardi Asmet atas sumbangan fotonya. Terima kasih juga untuk teman-teman STIK-P: Dedy, Neti dan Wana yang ikut meliput. Untuk orang-orang yang pernah menjadi tempat keluh kesahku selama ini..terima kasih sudah menjadi teman yang baik.

Akhirnya penulis harus jujur, bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan penulis. Dengan kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang dapat membangun. Semoga apa yang tertulis dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, akhir Mei 2008


(2)

ABSTRAK

Agama Hindu banyak menjalani kepercayaannya melalui praktik upacara. Berbagai upacara pemujaan dilakukan sebagai bakti mereka kepada Dewa-dewanya. Meskipun pada hakekatnya ajaran Hindu di berbagai daerah semua sama, namun dalam praktik keagamaan yang tampak pada upacara-upacaranya mungkin berbeda. Perbedaan ini tidak terlepas dari faktor kebudayaan. Agama Hindu menjadi agama yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pemeluknya, seperti Hindu-Bali, Hindu Tamil, ataupun Hindu dalam kebudayaan yang berbeda lainnya. Atas dasar hal tersebutlah maka penelitian ini dilakukan.

Tujuan penelitian adalah mendapatkan gambaran mengenai konsep kepercayaan Hindu-Tamil dalam ritual keagamaan yang diberi nama Pangguni Uttiram. Penelitian ini dilakukan di Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Fokus penelitian adalah beberapa aspek upacara yang bisa memberikan pemahaman tentang kepercayaan Hindu-Tamil. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam terhadap informan dilakukan untuk memperoleh penjelasan makna setiap aspek upacara yang meliputi tempat, waktu, pelaku, bahan dan alat yang digunakan dalam upacara, serta fungsi dari ritual tersebut.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa masyarakat Hindu-Tamil memiliki upacara keagamaan yang detail dan tersusun dalam keempat aspek yang meliputi tempat, waktu, pelaku, bahan dan alat upacaranya. Melalui keempat aspek tersebut, dapat dilihat pemahaman masyarakat Hindu-Tamil mengenai konsep kepercayaannya. Ritual ini adalah pengulangan peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat di dalam mitologi Dewa Murugar. Umat Hindu-Tamil memaknai setiap ritual dengan nilai-nilai ajaran Hindu sebagaimana yang terkandung dalam mitologi Dewa Murugar. Selain itu ritual Pangguni Uttiram ternyata memiliki fungsi lain selain fungsi agama seperti fungsi sosial, seni, politik, dan pariwisata. Adanya unsur politik juga telah mempengaruhi masyarakat Hindu-Tamil dalam pelaksanaan upacaranya, yang secara perlahan akan merubah pemahaman mereka tentang ritual Pangguni Uttiram.


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Lokasi Penelitian ... 6

1.5 Kajian Pustaka ... 7

1.6 Metode Penelitian ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TAMIL DI SUMATERA UTARA ... 17

2.1 Suku Bangsa Tamil ... 17

2.2 Lokasi ... 19

2.3 Asal-mula dan Sejarah Kedatangan Tamil ... 23

2.4 Bahasa ... 24

2.5 Pimpinan Masyarakat ... 25

2.6 Sistem Mata Pencaharian ... 26

2.7 Sistem Kekerabatan ... 27

2.8 Sistem Pengetahuan ... 30


(4)

3.1.3 Pelaku Upacara ... 48

3.1.4 Bahan dan Alat Upacara ... 51

3.2 Persiapan Ritual ... 56

3.2.1 Menjalani Puasa ... 56

3.2.2 Membentuk Panitia Penyelenggara ... 58

3.2.3 Puja-Puja Dewa ... 59

3.2.4 Penaikan Bendera Kuil ... 60

3.3 Pelaksanaan Upacara ... 62

3.3.1 Abhisegam ... 62

3.3.2 Archanai ... 64

3.3.3 Alagu ... 66

3.3.4 Arakan Kavadigal ... 68

3.3.5 Arakan Ratham ... 71

3.4 Ritual Penutup ... 72

BAB IV FUNGSI RITUAL PANGGUNI UTTIRAM ... 74

4.1 Fungsi Agama ... 74

4.2 Fungsi Sosial ... 75

4.3 Fungsi Seni dan Politik ... 76

4.4 Fungsi Pariwisata ... 78

BAB V KESIMPULAN ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN ... 85  Daftar Informan


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Daerah Penyebaran Suku Bangsa Tamil di

Sumatera Utara ... 21 Gambar 2.2. Peta Kawasan dengan Komunitas Tamil yang Mulai Menyebar

di Kota Medan ... 22 Gambar 2.3. Nagasarem dan tabila, alat musik yang dimainkan saat

upacara ... 32 Gambar 2.4. “Sebuah Tubuh Manusia Diambil sebagai Bentuk Dasar, dan

Kuil Yang Merupakan Sebuah Tempat Pemujaan Dikonstruksi- kan dengan Bentuk Itu sebagai Dasarnya ... 44 Gambar 2.5. Peta Kelurahan Dimana Tertera Route (Jalur) Yang digunakan

untuk arak-arakan ... 45 Gambar 3.6. Achien, salah seorang peserta dari etnis thionghoa beragama

Budha saat ikut ritual Pangguni Uttiram ... 49 Gambar 3.7. Salah seorang peserta Alagu dari kalangan perempuan ... 50 Gambar 3.8. Aneka macam sesaji yang disiapkan untuk puja-puja khusus .. 52 Gambar 3.9. Peserta Wirtho yang sedang bersiap-siap mengikuti upacara ... 57 Gambar 3.10. Umat yang sedang melakukan puja-puja dengan membaca

doa-doa dan nyanyian ... 60 Gambar 3.11. Seorang pendeta sedang melakukan abhisegam, memandikan

arca Dewa dengan susu dan aneka bunga ... 63 Gambar 3.12. Seorang pendeta sedang melakukan archanai dibantu oleh


(6)

Gambar 3.18. Pada arakan Kavadigal diisi dengan tari-tarian dan nyanyian .. 69 Gambar 3.19. Peserta dalam keadaan trance (tidak sadarkan diri) saat

diarak menuju kuil ... 70 Gambar 3.20. Kesenian tradisional Thionghoa (Barongsai) dan Jaran