Analisis Yuridis Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Lingkup Rumah Tangga (Studi Putusan Nomor : 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Anwar, M.A.K.Moch, 1980, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung.

Chazawi, Adam, 2005, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan

& Berlakunya Hukum Pidana, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Huraerah, Abu, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bandung.

Gosita, Arief, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta. Gultom, Maidin, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan,

Refika Aditama, Bandung.

Hamzah, Andi, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hamzah, Andi, 1996, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Kansil, C.S.T, 1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Kuffal, H.M.A, 2004, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Umm Press,

Malang.

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT.Citra Adya Bakti, Bandung.

Mortokusomo, Sudikno, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogyakarta.

Mulyadi, Mahmud, 2007, Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana

Kesusilaan terhadap RUU KUHP, Departemen Hukum dan HAM,

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Medan.

Nashriana, 2014, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.


(2)

Poemomo, Bambang, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta.

Prinis Darwan, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Soesilo, R, 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.

Wadang, Maulana Hassan, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta.

Wahab, Abdul dan M. Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual

(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan),Refika Aditama, Bandung.

Waludi, 2003, Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

C.

https://id.wikipedia.org/wiki/Anak


(3)

BAB III

ANALISIS YURIDIS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM LINGKUP RUMAH

TANGGASTUDI PUTUSAN NOMOR 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl

A. Kasus Posisi 1. Kronologi

Adapun identitas terdakwa secara lengkap, yaitu terdakwa bernama Herman alias Sangkut bin Madari (Alm), tempat lahir di Teluk Betung, umur 44 tahun, tanggal lahir 03 Juni 1970, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, agama islam, alamat Jalan Jendral Sudirman Gang Sangga Buana Kelurahan Parit Padang Kecamatan Sungailiat, pekerjaan terdakwa adalah buruh.

Pada hari Jumat tanggal 03 April 2015 sekitar pukul 22.00 WIB terdakwa yang sedang berada di dalam rumahnya bersama dengan korban Rodian als Yana Binti Herman yang merupakan anak kandung terdakwa dan berada dalam satu rumah dengan terdakwa berdasarkan kartu keluarga no. 1901011408140013. Terdakwa mengajak korban Rosian als Yana Binti Herman pergi ketempat Wawak. Korban Rodian als Yana Binti Herman minta izin kepada Rosiah als I’ah Binti (alm) Masuri yang merupakan ibu kandung korban Rodiah als Yana Binti Herman dan juga istri terdakwa.

Selanjutnya, terdakwa pergi bersama korban Rodian als Yana Binti Herman dengan menggunakan sepeda motor milik saksi Valentinus als Valen menuju ketempat tujuan yaitu tempat Wawak, namun di dalam perjalanan terdakwa tidak membawa ketempat tujuan tetapi menuju arah Pantai Rambak Lingkungan Jelitik Kecamatan Sungailiat. Sesampainya di pantai Rambak


(4)

Lingkungan Jelitik Kecamatan Sungailiat ditempat yang sepi, terdakwa langsung memberhentikan sepeda motornya lalu terdakwa menarik tangan sebelah kanan korban Rodian als Yana Binti Herman memaksa turun dari sepeda motor sambil dengan suara keras memaksa korban turun dan menyuruh korban untuk membuka celananya.

Korban ketakutan dan menolak permintaan terdakwa karena takut nanti kelamaan pulang dan takut nanti hamil. Terdakwa tetap memaksa dan langsung membuka baju, celana korban dan menurunkannya secara paksa hingga lepas dan membuat korban ketakutan. Kemudian terdakwa langsung membuka dan melepaskan celananya, selanjutnya terdakwa membaringkan badan korban diatas tanah dengan beralaskan jaket milik terdakwa, lalu terdakwa menindih badan korban yang dalam ketakutan, sambil menghisap kanan dan kiri payudara korban. Selanjutnya terdakwa memasukkan kemaluannya kedalam kemaluan korban sambil menggoyang-goyangkan lebih kurang 5 menit hingga terdakwa mengeluarkan sperma di dalam vagina korban.

Setiap kali menyetubuhi korban yang merupakan anak kandung terdakwa, terdakwa selalu mengancam korban agar tidak memberitahu siapapun termaksud kepada ibu atau saudara korban. Terdakwa juga mengancam akan membunuh korban jika memberitahu kepada orang lain perbuatannya.

Terdakwa sudah, berulang kali menyetubuhi korban hingga korban hamil dengan usia kehamilan tiga belas minggu satu hari, berdasarkan Visum Et

Repertum nomor: 331/03/Vis/RSUD/2015 yang ditanda tangani dr. H. Suandi, Sp.


(5)

58

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan dakwaan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan. Hal-hal yang diuraikan dalam dakwaan dapat dilihat dari pasal 143 KUHAP.52

3. Fakta-Fakta Hukum

Jaksa penuntut Umum mengajukan dakwaan tunggal sebagai berikut : Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

1. Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka siding pengadilan. Dengan perkataan lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah ( pasal 185 (1) KUHAP). 53

Keterangan saksi-saksi tersebut saling berhubungan satu sama lain atau mempunyai keterangan yang sama. Berdasarkan keterangan beberapa saksi yang

52Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Ghalia Indonesia,

2010), hlm. 170

53 H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang, Umm Press, 2004,


(6)

diperoleh bahwa benar terdakwa melakukan pengapusan kekerasan dalam rumah tangga.

1. Rosiah alias I’ah binti Masuri (alm)

a. Rosiah alias I’ah binti Masuri (alm) adalah istri dari terdakwa dan sudah menikah selama 21 tahun.

b. Rosiah alias I’ah binti Masuri (alm) dan terdakwa telah dikaruniai 7 (tujuh) orang anak yaitu 3 (tiga) anak laki-laki dan 4 (empat) anak perempuan.

c. Rodiana merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara dan telah hamil 3 bulan.

d. Rosiah mengetahui kejadian tersebut setelah diberitahu Rodiana dan melapor kepolisi.

e. Terdakwa memperlakukan anak-anak mereka dengan baik dan terdakwa jarang keluar malam.

f. Semenjak pindah ke Bangka, terdakwa sering minum minuman keras.

g. Terdakwa bekerja sebagai nelayan dan pada pagi hari selalu berada di rumah. h. Korban pada pagi hari biasa membersihkan rumah sedangkan adik-adiknya

pergi ke sekolah hingga jam 12.00 WIB.

i. Saksi pernah melihat terdakwa dan korban pergi keluar pada hari Sabtu, tanggal 5 April 2015 dari jam 22.00 WIB hingga 24.00 WIB ke rumah “wak”nya atau pamannya yang sedang berulang tahun di Kerinci I.

j. Saksi mencium bau arak ketika terdakwa hendak pergi dari rumah namun karena jauh jaraknya, saksi tidak yakin tapi ketika terdakwa pulang, tercium bau arak.


(7)

60

l. Saksi melihat terdakwa dan korban pergi ke rumah paman korban dengan menggunakan sepeda motor yang dipinjamnya dari Valentinus saat mengunjungi Rahayu (anak korban).

m. Hubungan antara terdakwa dengan saksi tidak ada masalah tetapi saksi sempat sakit setahun yang lalu sehingga mereka sempat berhenti melakukan hubungan suami istri selama kurang lebih 6 bulan.

n. Sepengetahuan saksi, korban telah menikah dengan Edi.

o. Saksi pernah mendengar pengakuan terdakwa perihal telah melakukan hubungan tersebut sebanyak satu kali di Pantai Rambak sekitar sebulan sebelum ditahan di Lapas Bukit Semut.

2. Rahayu als Ayu binti Herman

a. Saksi adalah anak ke 3 (tiga) terdakwa dengan saksi Rosiah alias I’ah Masuri (alm) dan kakak kandung korban yang merupakan anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara.

b. Saksi tidak mengetahui kejadian antara korban dan terdakwa namun ia mengetahui ada 2 (dua) orang petugas kepolisian membawa terdakwa pada hari Senin tanggal 06 April 2015 ketika hendak sarapan.

c. Saksi dan korban memiliki hubungan yang dekt karena saksi sering bercerita tentang teman dan pacarnya namun korban tidak pernah menceritakan kepada saksi tentang hubungan korban dengan terdakwa yang biasa dipanggilnya “Abah”.

d. Terdakwa dalam kesehariannya baik, dan terkesan pendiam karena tidak terlalu banyak bicara.


(8)

e. Saksi pernah melihat terdakwa dalam keadaan mabuk dan sering kumpul dengan teman-temannya mabuk disamping rumah.

3. Valentinus Als Valen

a. Terdakwa pernah meminjam motornya pada hari Sabtu, tanggal 5 April 2015 sebanyak dua kali dan pergi keluar rumah bersama korban.

b. Pada pukul 20.00 WIB terdakwa pergi sendiri, namun pukul 22.00 WIB terdakwa pergi bersama korban.

c. Saksi sedang bertamu di rumah terdakwa untuk menemui Rahayu yaitu anak terdakwa.

d. Saksi mencium aroma alkohol pada diri terdakwa malam itu.

e. Saksi mengetahui terdakwa melakukan perbuatan asusila terhadap anaknya sendiri Rodiana dan saksi mengetahuinya ketika ia bertemu korban di jalan bersama Edi saat korban akan melaporkan hal tersbeut pada polisi.

f. Korban mengatakan pada saksi perihal korban telah hamil 3 bulan dan yang menghamilinya adalah terdakwa.

g. Saat korban hamil 3 bulan, korban dan Edi belum menikah.

h. Saksi melihat koran langsung masuk ke kamar setelah pulang bersama terdakwa dari rumah paman korban.

4. Rodiana alias Yana binti Herman

a. Terdakwa/bapak kandung korban telah menyetubuhi korban sejak korban berusia 14 tahun dan terakhir masih dipaksa terdakwa pada hari Sabtu tanggal 03 April 2015 pukul 22.00 WIB di Pantai Rambak Desa Jelitik Kec. Sungailiat.


(9)

62

b. Saat di Bangka apabila terdakwa hendak melakukan persetubuhan, korban diajak keluar rumah menuju lokasi Pantai Rambak Desa Jelitik, namun korban juga pernah diajak berhubungan di rumanya berlokasi di Jl. Jenderal Sudirman Gang Sangga Buana Kelurahan Parit Padang Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka saat kondisi rumah dalam keadaan sepi.

c. Apabila korban tidak melayaninya maka terdakwa akan memaksa korban dengan mengeluarkan kata-kata ancaman yaitu korban akan dibunuh.

d. Korban pernah menerima kata-kata berupa rayuan yaitu korban akan mendapat sejumlah uang dari terdakwa untuk membeli baju dan perlengkapan bedak.

e. Korban terlambat menstruasi hampir 3 (tiga) bulan dan pada tanggal 24 maret 2015 korban membeli tespek seharga Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah), dan pada tanggal 05 April 2015 korban membeli lagi tespek seharga Rp. 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah), kemudain korban memberitahukan kepada terdakwa bahwa korban telah hamil 3 bulan.

f. Terdakwa pernah memberikan korban minuman berupa Jamu “Cap Wayang” setiap pagi dan sebanyak 4 (empat) sachet selama 4 (empat) kali berturut-turut, selain itu juga terdakwa mmberi saksi minuman tuak, arak serta rokok. g. Saat pertama kali melakukan hubungan dengan terdakwa, korban merasakan

sakit dan perih pada kemaluannya dan sempat mengeluarkan darah. 5. Iswandi als Edi bin Samsuri

a. Saksi baru mengetahui koran sekitar 12 (dua belas) hari sebelumnya dan hanya berkenalan, tiga hari selanjutnya saksi langsung melamar korban kepada oarang tuanya.


(10)

b. Saksi mengetahui korban dalam keadaan hamil tiga bulan pada hari Minggu tanggal 05 April 2015 sekitar pukul 14.30 WIB dengan cara awalnya sakis merasa curiga melihat korban karena sehari sebelumnya sekitar pukul 23.30 WIB, saksi melihat korban dibonceng terdakwa dengan menggunakan sepeda motor Honda Vario warna putih dari rumah hanya berdua saja.

c. Saksi merasa curiga terhadap korban dan sakis memaksa korban untuk menceritakan kejadian sebenarnya, hingga akhirnya korban menceritakan padanya korban telah hamil 3 (tiga) bulan dan kehamilan tersebut disebabkan ayah kandungnya sendiri.

d. Korban sudah disetubuhi saat masih berusia 14 tahun hingga korban berusia 20 (dua puluh) tahun dan korban menceritakan hal yang menimpa dirinya merupakan paksaan dari terdakwa yang apabila tidak dituruti maka terdakwa memarahinya dan mengancam akan dibunuh.

2. Keterangan Terdakwa54, dibawah sumpah didepan persidangan menerangkan sebagai berikut:55

a. Terdakwa memiliki seorang istri yakni saksi Rosiah.

b. Terdakwa menyetubuhi korban pertama kali pada tahun 2008 pada malam hari ketika terdakwa mengajak korban untuk menjaring ikan di laut Lampung, Propinsi Lampung.

c. Setelah menjaring ikan, terdakwa menghampiri korban yang saat itu berada di tengah kapal dan terdakwa mengatakan kalau terdakwa ingin barang korban.

54Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan

yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri (pasal 189 KUHAP). Keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang pengadilan, sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang harus dapat dipergunakan untuk menemukan bukti di sidang saja.

55

Darwan Prints, “Hukum Acara Pidana Dalam Praktik”, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hlm. 145.


(11)

64

Lalu terdakwa memegang tangan korban kemudian terdakwa membaringkan korban lalu terdakwa setubuhi sebanyak 1 (satu) kali hingga keluar sperma didalam kemaluan korban.

d. Terdakwa tetap menyetubuhi korban di atas kapal sewaktu di Lampung. Namun sewaktu di Bangka terdakwa kembali menyetubuhi korban di rumah terdakwa di lingkungan Jelitik Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka pada siang hari saat Rosiah sedang mencuci dan anak terdakwa yang lain sedang bermain.

e. Terdakwa mengakui telah menyetubuhi korban sebanyak 10 (sepuluh) kali antara lain di rumah terdakwa di belakang dapur pada waktu siang hari sebanyak 2 (dua) kali, di samping rumah terdakwa sebanyak 2 (dua) kali, di dalam kamar sebnayak 1 (satu) kali, di belakang rumah sebanyak 3 (tiga) kali, dan di pantai Rambak pada malam hari sebanyak 2 (dua) kali.

f. Terdakwa mengakui jikakalau korban menolak untuk berhubungan maka terdakwa akan memarahi korban. Dan diakui terdakwa bahwa terdakwa mengancam korban jika memberitahu pada orang lain.

g. Setelah menyetubuhi korban di malam hari, keesokannya pada tanggal 04 April 2015 terdakwa membeli jamu yang dijual oleh penjual jamu keliling. Jamu yang terdakwa beli adalah merk “Cap Wayang” dengan tujuan menggugurkan kandungan.

c. Barang Bukti56

56

Barang bukti tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita, barang bukti berupa objek materiil ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (dan terdakwa), misalnya saksi mengatakan, peluru ini saya rampas dari tangan terdakwa, barulah bernilai untuk

memperkuat keyakinan hakim yang timbul dari alat bukti yang ada. Baca: Andi Hamzah, Hukum


(12)

Adapun barang bukti yang diajukan jaksa penuntut umum adalah : 1. 1 (satu) helai celana jeans merk Jun Fen warna biru. 2. 1 (satu) helai baju kaos tulisan Araija warna biru. 3. 1 (satu) helai celana dalam warna biru langit. 4. 1 (satu) lembar BH warna hitam

4. Tuntutan Pidana

Penuntutan adalah tindakan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.57

a. Menyatakan terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm) terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Kekerasan Seksual terhadap Orang dalam Lingkup Rumah Tangga” sebagaimana dalam Dakwaan tunggal.

Jaksa Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Surakarta dengan memperhatikan hasil pemeriksaan sidang dalam perkara atas Nama Terdakwa yang telah diuraikan diatas. Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan secara berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti sebagai berikut :

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm) dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) Tahun.

c. Menyatakan barang bukti berupa :

1 (satu) helai celana jeans merk Jun Fen warna biru, 1 (satu) helai baju kaos tulisan Araija warna biru, 1 (satu) helai celana dalam warna biru langit dan 1


(13)

66

(satu) lembar BH warna hitam dan menyatakan terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

5. Pertimbangan Hakim

Adanya alasan-alasan yang kuat dalam pertimbangan sebagai Dasar putusan membuat putusan sang Hakim menjadi objektif dan berwibawa.58 Sebelum putusan sampai pada uraian pertimbangan yang menyimpulkan pendapatnya tentang kesalahan terdakwa, fakta, dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mantap, yang mendukung kesimpulan pertimbangan Hakim.59

1. Menyatakan terdakwa Herman alias Madari (Alm). Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “ Kekerasan Seksual terhadap Orang dalam Lingkup Rumah Tangga” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 46 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam surat Dakwaan tunggal;

Menimbang bahwa Penuntut umum dalam Tuntutan pidana terhadap terdakwa pada pokoknya sebagai berikut :

2. Menjatuhkan terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm) dengan pidana penjara selama 10 tahun dikurangin masa tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan.

58 Sudikno Mertokusomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yoyakarta : Liberty,

1999,hal. 27


(14)

3. Menyatakan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) helai celana jeans merk Jun Fen warna biru. b. 1 (satu) helai baju kaos tulisan Araija warna biru. c. 1 (satu) helai celana dalam warna biru langit. d. 1 (satu) lembar BH warna hitam

Dirampas untuk dimusnakan

4. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).

Berdasarkan Pengajuan dakwaan tersebut, penuntut umum telah mengajukan saksi-saksi, saksi-saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sama dengan keterangan Berita Acara yang dibuat oleh penyidik.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut, maka pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara ini dipandang telah cukup adil dan setimpal dengan kesalahan Terdakwa ;

Selama pemeriksaan perkara berlangsung ternyata tidak ditemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar dalam diri maupun perbuatan terdakwa, sehingga terdakwa harus dinyatakan sebagai subjek hukum yang mampu mempertanggungjawabkan menurut hukum Pidana di Indonesia, dan atas kesalahan yang telah dilakukannya haruslah dijatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatannya:

Terdakwa berada dalam tahanan, maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan memrintahkan pula agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;


(15)

68

Mengenai barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum di persidangan akan ditetapkan dalam amar putusan dibawah ini;

Sebelum terdakwa dijatuhi pidana perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Adapun hal-hal yang memberatkan terhadap terdakwa adalah bahwa perbuatan terdakwa merusak masa depan korban, perbuatan terdakwa meresakan masyarakat seta merusak tatanan nilai, moral, norma dan hukum dalam kehidupan beragama, berkeluarga, dan bermasyarakat. Dan adapun yang meringankan terhadap terdakwa adalah bahwa Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa dalam keadaan sakit.

6. Putusan Hakim

Putusan Hakim adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan Terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara diatur dalam undang-undang ini.60 Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan dilampirkan pada berkas perkara atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu atau alasan Non bis in idem. 61

60 UU No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, Ketentuan Umum Pasal 1 butir 11 61

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Op.cit, hal 262-263.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut, maka pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara ini dipandang telah cukup adil dan setimpal dengan kesalahan Terdakwa;


(16)

Sesuai dengan pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan pasal-pasal dari Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana, serta pasal-pasal dari Undang-undang dari peraturan lain yang bersangkutan ;

Maka Pengadilan Negeri Sungailiat, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Herman alias Madari (Alm). Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “ Kekerasan Seksual terhadap Orang dalam Lingkup Rumah Tangga” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 46 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam surat Dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm) dengan pidana penjara selama 10 tahun dikurangi masa tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) helai celana jeans merk Jun Fen warna biru. b. 1 (satu) helai baju kaos tulisan Araija warna biru. c. 1 (satu) helai celana dalam warna biru langit. d. 1 (satu) lembar BH warna hitam

Dirampas untuk dimusnakan

e. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).


(17)

70

B. Analisis Yuridis terhadap Putusan no.416/Pid.Sus/2015/PN. Sgl

Setelah penuntut umum menerima berkas perkara dan hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, maka penuntut umum menyusun surat dakwaan tunggal untuk mendakwa Terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm). sebagai berikut: Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pertimbangan Hakim terhadap tuntutan pidana Penuntut Umum dalam Putusan Hakim pada pokoknya sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Herman alias Madari (Alm). Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “ Kekerasan Seksual terhadap Orang dalam Lingkup Rumah Tangga” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 46 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam surat Dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm) dengan pidana penjara selama 10 tahun dikurangi masa tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) helai celana jeans merk Jun Fen warna biru. b. 1 (satu) helai baju kaos tulisan Araija warna biru. c. 1 (satu) helai celana dalam warna biru langit.

d. 1 (satu) lembar BH warna hitam Dirampas untuk dimusnakan

e. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).


(18)

Berdasarkan fakta hukum bahwa unsur subjektif dan unsur objektif sudah terpenuhi, yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 46 UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum menyatakan terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana melakukan perbuatan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dan menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) Tahun dikurangi masa tahanan.

Hakim dalam amar putusannya sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Herman alias Madari (Alm). Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Kekerasan Seksual terhadap Orang dalam Lingkup Rumah Tangga” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 46 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam surat Dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm) dengan pidana penjara selama 10 tahun dikurangin masa tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) helai celana jeans merk Jun Fen warna biru. b. 1 (satu) helai baju kaos tulisan Araija warna biru. c. 1 (satu) helai celana dalam warna biru langit. d. 1 (satu) lembar BH warna hitam


(19)

72

4. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).

Berdasarkan fakta-fakta hukum di dalam persidangan sesuai yang terdapat dalam putusan nomor 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgt, putusan yang diambil hakim telah memenuhi unsur-unsur subjektif dan objektifnya yang terdapat di dalam pasal pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,, yaitu:

1. Unsur Subjektif

Unsur subjektif yaitu unsur setiap orang. Setiap orang yang dimaksud disini adalah setiap orang yang melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Setiap orang yang dimaksud dalam kasus ini adalah terdakwa Herman alias Sangkut bin Madari (Alm).

2. Unsur Objektif

Unsur objektif dalam kasus ini yaitu unsur melakukan perbuatan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tanga. Kekerasan seksual menurut pasal 8 Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dalam kasus ini unsur kekerasan seksual telah terpenuhi dikarenakan pemaksaan hubungan seksual dilakukan dengan ancaman dari terdakwa kepada anaknya.

Adapun ruang lingkup rumah tangga yang dimaksud yang dilakukan oleh terdakwa adalah terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah


(20)

tangganya, yaitu anak. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, salah satunya adalah anak. Dalam kasus ini telah sesuai dengan keterangan para saksi-saksi bahwa terdakwa melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya yaitu melakukan pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap pada lingkungan rumah tangganya (Pasal 8 huruf a) yang merupakan bagian dari kekerasan seksual.

Berdasarkan uraian kasus diatas, setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta hukum dalam persidangan serta berdasarkan pertimbangan hakim sebagaimana diuraikan diatas, maka majelis hakim memutus terdakwa dengan vonis 10 tahun penjara. Putusan majelis hakim ini telah mencerminkan rasa keadilan. Pemidanaan yang dilakukan untuk upaya yang mendidik dan pembinaan terhadap diri terdakwa sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sehingga vonis penjara sudah sesuai dengan tindakan yang di perbuat.

Dengan demikian saya setuju dengan putusan hakim yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa melalui pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan vonis 10 tahun penjara.


(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan dalam skripsi ini, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan sanksi pidana terhadap pengaturan tindak pidana kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga adalah:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu: Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 299 KUHP.

b. Undang-Undang Republik Indonesia 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu: Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 50.

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yaitu: Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 88.

2. Analisis hukum pidana terhadap tindak pidana Tindak kekerasan seksual terhadap anak oleh orang tua yaitu: Dalam putusan 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl yaitu terdakwa yang merupakan ayah kandung dari anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut, dan dapat dikenakan dengan pidana penjara karena telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukannya dan perbuatan dari terdakwa tersebut dapat dipertanggungjawabkannya. Dapat dipertanggungjawabkan karena terdakwa memiliki kemampuan bertanggungjawab, memiliki suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf buat tindakan yang dilakukan oleh terdakwa.


(22)

B. Saran

Saran penulis untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual terhadap anak adalah:

1. Pemerintah, orang tua, masyarakat, lembaga dan instansi swasta harus dapat melakukan upaya yang lebih banyak lagi dalam rangka meminimalisir terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dan meningkatkan kesejahteraan anak dengan cara memberikan hak-hak anak.

2. Agar perlindungan terhadap anak ditingkatkan dengan memberikan hak dan kewajiban nak, mengasuhnya secara baik melalui orang tua, pemerintah/masyarakat atau komisi perlindungan anak, sehingga terhindar dari perlakuan kekerasan bahkan penelantaran terhadap anak.


(23)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA

A. Ditinjau Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.32

1. Memaksa wanita untuk bersetubuh dengan dia di luar pernikahan. Kata setiap orang yang disebutkan dalam pasal 28A mengartikan semua orang tanpa terkecuali, seorang anak juga memiliki hak yang sama seperti hal nya orang dewasa.

Menjamin hak anak untuk menjalani kehidupannya maka diaturlah mengenai pengaturan tentang kekerasan seksual di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam BAB XIV BUKU II KUHP, yaitu yang berhubungan erat dengan kejahatan terhadap badan, sebab kejahatan ini dapat menimbulkan bahaya terhadap badan maupun jiwa orang lain.

Jadi perbuatan tindak pidana kekerasan seksual dalam KUHP, yaitu;

2. Memperkosa wanita, padahal diketahui wanita tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

3. Bersetubuh dengan perempuan yang masih dibawah umur (belum 15 tahun atau belum masanya buat kawin).

4. Bersetubuh dengan istri yang masih dibawah umur dan mengakibatkan luka, luka berat atau meninggal dunia.


(24)

5. Memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul. 6. Melakukan perbuatan cabul, padahal diketahui wanita tersebut dalam

keadaan pingsan atau tidak berdaya.

7. Melakukan perbuatan cabul dengan seorang, yang masih dibawah umur (belum 15 tahun atau belum masanya buat kawin).

8. Melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang berjenis kelaminnya sama.

9. Memberi atau menjanjikan uang atau barang untuk melakukan perbuatan cabul dengan yang masih di bawah umur.

10.Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur. 11.Menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul. 12.Menjadikan mata pencaharian dengan menghubungkan atau

memudahkan dilakukannya perbuatan cabul.

Adapun Pengaturan hukum tindak pidana kekerasan seksual dalam KUHP:

1. Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, di hukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. a. Yang di ancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia. Pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukankah semata-mata oleh karenapaksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu di pandang tidak mungkin,


(25)

24

akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki di pandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Bukankah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak, oleh karena itu seorang perempuan yang dipaksademikian rupa, sehingga tak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal ini “persetubuhan” harus benar-benar dilakukan (persetubuhan, adalah panduan antara anggota kemaluan laki-laki dengan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan mani sesuai dengan Arrest Hoge Raad 5 Pebuari 1912 (w.9292)). Apabila tidak, mungkin dapat dikenakan pasal 289 yang mengatakan tentang “perbuatan cabul”.33

b. Melakukan kekerasan artinya : mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak syah, misalnya memukul dengan tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dsb.34

2. Pasal 286 KUHP

Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun.

a. Pingsan, artinya “tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya”, umpamanya member minum racun kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangnya

33 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 210


(26)

tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya.35

b. Tidak berdaya, artinya tidak mempunyai kekuatan atautenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Perlu dicatat disini bahwa mengancam orang dengan akan membuat orang itu pingsan atau tidak berdaya itu tidak boleh disamakan dengan “mengancam dengan kekerasan”, sebab dalam pasal ini hanya mengatakan tentang “melakukan kekerasan”, bukan membicarakan tentang “kekerasan”, atau “ancaman kekerasan”.36

c. Perempuan yang sedang tidur nyenyak tidak masuk dalam pasal ini

d. Pingsan dan tidak berdayanya perempuan itu bukan perbuatan sipelanggar sendiri, maka ia dapat dikenakan pasal 285 KUHP

e. Perempuan itu harus bukan isterinya, jika terhadap isterinya sendiri tidak dikenakan pasal ini.

3. Pasal 287 KUHP

(1) Barangsiapa besetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya,

sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

35Ibid.


(27)

26

(2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduian, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang pada pasal 291 dan 294 (K.U.H.P 37, 72, 288, 291, 294, 298).

a. Perempuan itu harus bukan isterinya, jika terhadap isterinya sendiri mungkin dapat dikenakan pasal 288, akan tetapipersetunuhan itu harus

berakibat luka pada tubuh perempuan tersebut.

b. “Persetubuhan” harus benar-benar dilakukan, apabila belum sampai demikian mungkin perbuatan itu dapat dikenakan pasal 290 sub.2

c. Sipelanggar harus mengetahui atau patut dapat menyangka, bahwa perempuan itu belum cukup berumur 15 tahun, atau bila umur ini tidak nyata, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin.

d. Peristiwa ini adalah delik aduan, kecuali apabila umur perempuan itu belum cukup 12 tahun, atau peristiwa ini berakibat luka berat atau mati. Dalam hal ini tidak dinyatakan siapakah yang berhak mengajukan pengaduan itu, dianggap bahwa yang berhak itu adalah perempuan yang menderita itu.37

4. Pasal 289 KUHP

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan deg=ngan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.

37Ibid., hlm. 211


(28)

a. Yang dimaksudkan dengan perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, memeraba-raba-meraba-raba buah dada, dsb. persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul, akan tetapi dalam undang-undang disebutkan sendiri.38

b. Yang dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukannya para dirinya perbuatan cabul.

c. Tentang kekerasan lihat pasal 89

5. Pasal 290 KUHP

Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum :

1e. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2e. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat kawin.

3e. Barangsiapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukannya pada dirinya

38Ibid., hlm. 212


(29)

28

perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.

Pasal ini mengatakan tentang “berbuat cabul”. Isinya hampir sama dengan pasal 286 dan 287 hanya kedua pasal ini menghendaki nyata-nyata persetubuhan. Menurut pasal ini dapat dihukum juga :

a. Orang yang membujuk atau menggoda (verleiden) seseorang yang umurnya belumcukup 15 tahun atau belum masanya dikawin untuk melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbutan cabul. b. Orang yang membujuk atau menggoda (verleiden) seseorang (laki-laki

atau perempuan) yang belum cukup umur 15 tahun atau belum masanya untuj dikawin untuk bersetubuh dengan orang lain di luar nikah.

Persetubuhan dilakukan oleh seseorang perempuan berumur 35 tahun dengan seorang pemuda berumur 13 tahun dapat dipandang melakukan perbuatan cabul pada pemuda itu dan dapat dikenakan pasal ini.

6. Pasal 291 KUHP

(1) Kalau salah satu kejahatan yang di terangkan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289, dan 290 itu menyebabkan orang mati, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.


(30)

Luka berat atau luka parah ialah antara lain39

a. Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukanlah luka berat.

:

b. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat.

c. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indra. Panca indra = pengelihatan, pencium, pendengaran, rasa lidah, rasa kulit. Orang yang menjadi buta satu mata atau tuli satu telinga, belum masuk kedalam pengertian ini, karena dengan mata dan telingayang lain ia masih dapat melihat dan mendengar.

d. Kudung (rompong) dalam teks bahasa belanda nya “verminking”, cacad sehingga jelek rupanya, karena ada suatu anggota badan yang putus, misalnya hidungnya rompong, daun telinganya teriris putus, jari tangan atau kakinya putus, dsb.

e. Lumpuh (verlamming) artinya tidak bisa menggerakan anggota badannya. f. Berobah pikiran lebih dari empat minggu. Pikirannya terganggu, kacau,

tidak dapat memikir lagi dengan normal, semua itu lamanya harus lebih

39Ibid., hlm. 99


(31)

30

dari empat minggu, jika kurang, tidak masuk kedalam pengertian luka berat.

g. Menggugurkan atau membunuh anak kandungan ibu.

7. Pasal 292 KUHP

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

a. Yang dimaksud dewasa seseorang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah kawin.

b. Jenis kelamin yang sama = laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.

8. Pasal 293 KUHP

(1) Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau menjanjikan akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasanya, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara sealama-lamanya lima tahun.

(2) penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang di kenal kejahatan itu.


(32)

(3) Tempo yang tersebut dalam pasal 74, ditentukan buat satu-satu pengaduan ini ialah 9 dan 12 bulan.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah40

a. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya.

:

b. Membujuknya itu dengan mempergunakan :

b 1. Hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang,

b 2. Pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada,

b 3. Tipu.

c. Orang yang dibujuk itu harus belum dewasa dan tidak bercacat kelakuannya, ini harus diketahui atau patut dapat disangka oleh yang membujuk.

Membujuk adalah usaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk, bukan memaksa.

Tidak bercacat kelakuannya = hanya mengenai kelakuan dalam hal seksuil, membujuk seorang pelacur, meskipun belum dewasa, tidak masuk disini, karena pelacur sudah bercacat kelakuannya dalam lapangan seksuil.

9. Pasal 294 KUHP

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan orang

40Ibid., hlm. 215


(33)

32

yang belum dewasadipercajakan, atau orang seebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(2) Dengan hukuman yang serupa dihukum :

Ke-1.Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakannya, atau diserahkan padanya untuk dijaga.

Ke-2.Pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor (opzichter) atau bujang dalam penjara, rumah tempat melakukan pekerjaan untuk negeri (landswerkinrichting), rumah pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau balai derma, yang melakukan pencabulan dengan orang yang ditempatkan disitu.

Dalam ayat (1) dapat dikenakan pula misalnya, mamak (paman dari garis ibu), ditanah minangkabauyang menurut adatmenjabat sebagai kepala rumah keluarga, dan menjalankan kekuasaan orang tua, segala macam guru, misalnya guru ngaji, guru olah raga, instruktur, dsb. Tidak perlu perbuatan itu dilakukan selama jam mengajar.

Ayat (1) menyebutkan semua terhadap orang yang belum dewasa, sedang ayat (2) dapat pula mengenai orang dewasa.41

10.Pasal 295 KUHP

(1) Dihukum :

41Ibid., hlm. 216


(34)

Ke-1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya, atau anak angkatnya yag belum dewasa, oleh anak dibawah pengawasannya, orang yang belum dewasa yang diserahkan padanya supaya dipeliharanya, dididiknya atau dijaganya atau bujangnya yang dibawah umur atau orang yang dibawahnya dengan orang lain.

Ke-2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barangsiapa yang dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada Ke-1, menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa.

(2) Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijalankan sebagai pencahariannya atau kebiasaannya, maka hukuman itu dapat ditambah dengan sepertiganya.

Semua dalam pasal ini disebutkan perbuatan cabul (termasuk pula bersetubuh) oleh orang-orang yang belum dewasa. Jika dilakukan oleh orang dewasa, mungkin dikenakan pasal 296. Jika kejahatan itu dijadikan pencahariannya atau kebiasaannya, maka ancaman hukumannya di tambah. (pencahariannya = jika dalam hal itu ada pembayarannya), (kebiasaannya = jika melakukan sedikitnya lebih dari satu kali).


(35)

34

11.Pasal 296 KUHP

Barangsiapa yang pencahariannya atau kebiasannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15.000.

a. Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordil-bordil atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota besar.

b. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan,bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya (dengan pembayaran) atau kebiasaannya (lebih dari satu kali).

c. Yang didapat dikenakan pasal ini misalnya orang menyediakan rumah atau kamarnya (dengan pembayaran atau lebih dari satu kali) kepada perempuan dan laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau melepaskan nafsu kelaminnya dengan jalan lain) disitu biasanya untuk itu disediakan pula tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada seorang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan tidak berhubungan dengan dia, melakukan pelacuran dirumah itu, tidak dikenakan pasal ini, oleh karena orang itu tidak ada maksud sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, niatnya hanya menyewakan rumah.42

42Ibid., hlm. 217


(36)

12.Pasal 297 KUHP

Memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.

a. Yang dimaksud dengan memperniagakan atau perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula disini mereka yang biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirim keluar negeri yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran.43

b. Menurut pasal ini maka pasal 253, 256, 257, dan 260 berlaku juga, jika perdagangan orang laki-laki tetapi laki-laki yang belum dewasa.

13.Pasal 298 KUHP

(1) Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasl 281, 284-290, dan 292-297, maka dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1-5.

(2) kalau sitersalah melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 292-297 dalam pekerjaannya, dapat ia dipecat dari pekerjaannya itu.

14.Pasal 299 KUHP

(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau mengerjakan sesuatu perbuatan terhadap seorang perempuan atau mengerjakan

43Ibid.


(37)

36

sesuatu perbuatan terhadap seorang perempuan dengan memberitahukan atau menimbulkan pengharapan, bahwa oleh karena itu dapat gugur kandungannya, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 45.000,-

(2) Kalau sitersalah mengerjakan itu karena mengharapkan keuntungan, dari pekerjaannya atau kebiasaannya dalam melakukan kejahatan itu, atau kalau ia seorang tabib, dukun beranak (bidan), atau tukang membuat obat, hukuman itu, dapat ditambah dengan sepertiganya.

(3) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dapat ia dipecat dari pekerjaannya itu

Dalam pasal ini kiranya perlu pula dibuktikan bahwa perempuan itu betul-betul mengandung, akan tetapi tidak diminta, bahwa kandungan itu betul-betul-betul-betul gugur atau mati karena pengobatan. (sengaja menggugurkan kandungan kandungan diancam hukuman pasal 48). Sudah cukupapabila orang itu sengaja mengobati atau mengerjakan perbuatan pada perempuan dengan memberitahukan atau menimbulkan pengharapan, bahwa dengan itu dapat terganggu (gugur, mati, hilang) kandungannya. Jadi yang perlu dibuktikan adalah tentang pemberitahuan atau penimbulan harapan tersebut.44

Jika dalam hal itu salah dikira, bahwa perempuan itu hamil, maka orang yang mengerjakannya itu tidak dapat dihukum, oleh karena tidak ada kandungan yang di ganggu. Kejahatan dalam pasal ini menjadi selesai, Segera sesudah

44Ibid., hlm. 219


(38)

dimulai dengan obat itu telah diberikan, pemijatan telah dilakukan, jika hal itu telah diberitahukan atau telah menimbulkan harapan, bahwa kandungan itu dapat digugurkan.

Seorang wanita merasa mengandung karena tidak mempunyai suami merasa malu dan ingin menghilangkan kandungan itu. Ia pergi kepada dokter dan menceritakan maksudnya itu. Sudah barang tentu dokter itu tidak akan melaksanakan maksudnya itu, karena ini suatu perbuatan yang dicela dan dapat dihukum, akan tetapi untuk mengajar wanita itu ia pura-pura sanggup dan memberitahukan pil-pil kepadanya. Main lama kandungan wanita itu tidak tidak menjadi hilang, akan tetapi perutnya tetap menjadi besar, karena dengan tidak diketahui oleh wanita itu, pil-pil yang diberikan oleh dokter tadi memang sengaja hanya pil vitamin saja. Dapatkah dokter itu dihukum menurut pasal ini ? memang betull semua elemen-elemen dari pasal ini telah dipenuhi, ialah sengaja mengobati wanita dengan menimbulkan pengharapan, bahwa kandungannya dapat gugur, akan tetapi tidak dapat dihukum, oleh karena sifat melawan hukum yang diperlukan bagi tiap-tiap peristiwa pidana disini tidak ada. Bukankah tindakan dokter disini tidak sekali-kali dimaksud untuk melanggar hukum, bahkan ia bermaksud untuk melindungi kandungan itu.

Menurut ayat (2) maka ancaman hukumnya diperberat, apabila perbuatan itu dilakukan :

a. Karena mencari untung ; atau

b. Sebagai pekerjaannya sehari-hari atau sebagai kebiasaan ; dan c. Oleh dokter, bidan, atau tukang membuat obat.


(39)

38

Seorang dokter yang menggugurkan kandungan atau mengobati agar kandungan menjadi gugur, berdasarkan atas ilmu pengobatan untuk memelihara kesehatan atau menolong jiwa perempuan itu tidak dihukum.

A. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

1. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Yang di maksud dengan “kekerasan dalam rumah tangga” dalam Pasal 1 Poin 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Adapun ruang lingkup rumah tangga berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi :

1) Suami, isteri, dan anak;

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud pada angka (1) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau 3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut (dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan).


(40)

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ini yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah termasuk juga anak angkat dan anak tiri, sedangkan yang dimaksud dengan hubungan perkawinan dalam ketentuan ini, misalnya mertua, mantu, ipar, dan besan.

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap lingkup rumah tangganya sebagaimana diatur dalam Pasal 5, dengan cara :

1) Kekerasan fisik, merupakan perbuatan yang mengakibatkan, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6).

kekerasan fisik itu dapat berupa dorongan, cubitan, tendangan, pukulan, cekikan, luka bakar, pemukulan dengan alat pukul, siraman zat kimia atau air panas, kekerasan dengan benda tajam, dan lain-lainnya. Pada pemeriksaan terhadap korban akibat kekerasan fisik maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan adalah bila didapati perlukaan yang bukan karena kecelakaan pada korban. Bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu kejadian kekerasan yang tunggal atau berulang, dari yang ringan hingga fatal.45

2) Kekerasan psikis/psikologi, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal7).

45 Aroma Elmina Martha, Kekerasan Perempuan dan Hukum, UII Press, Yogyakarta,


(41)

40

Pada kekerasan psikis/psikologi, sebenarnya dampak yang dirasakan lebih menyakitkan dari pada kekerasan fisik, bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Indentifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis sulit untuk diukur.

3) Kekerasan seksual, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8).

Yang dimaksud dengan kekerasan seksual (Dalam penjelasan Pasal 8) adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4) Penelantaran rumah tangga, dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap orang tersebut, penelantaran ini juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.


(42)

2. Ketentuan Sanksi Pidana dan Pemberatannya Dalam Tindak Pidana Perkosaan Dalam Rumah Tangga

Undang-undang no 24 tahun 2004 tidak mengenal tindak pidana yang berupa persetubuhan secara paksa atau perbuatan cabul secara paksa. Pembuat undang-undang menetapkan perbuatan perkosaan atau perbuatan cabul sebagai kekerasan seksual sehingga pengertiannya lebih luas dari pada keduanya tersebut.

Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian.46

46 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 32

Di dalam pasal 46 menyebutkan bahwa “setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf (a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enak juta rupiah)”.

Pasal 47 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.


(43)

42

Adapun berdasarkan Pasal 48 menyebutkan bahwa Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Selain sanksi pidana pokok, dalam hal kekerasan dalam rumah tangga baik kekerasan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah tangga, hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana tambahan berdasarkan pasal 50 yang menyebutkan Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :

1) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

2) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.


(44)

3. Perlindungan Hukum Dalam Hal Mengenai Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Ayah Terhadap Anaknya.

Dalam hal korban korban (orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga) maka berdasarkan pasal 26 menyebutkan bahwa korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara, hal pelaporan atas kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara dapat dilakukan oleh keluarga atau orang lain, dengan ketentuan bahwa korban memberikan kuasa (baik lisan atau tulisan).

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. mengenai perihal alat pembuktian dalam perkara dlam perkara kekerasan dalam rumah tangga ini berdasarkan Pasal 55 menyebutkan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya, dimana alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami-isteri adalah pengakuan terdakwa.

Tindak pidana perkosaan (kekerasan seksual) yang dilakukan ayah terhadap anaknya sendiri tidak membedakan usia anak, karena pengertian anak disini tidak diatur secara tegas apakah dilihat dari segi usia atau tidak, namun jika dilihat dalam penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa yang dimaksud anak dalam ketentuan ini adalah anak kandung, termasuk anak angkat dan anak tiri. Jadi tidak


(45)

44

mempersalahkan usia anak tersebut seperti pengertian anak dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang membatasi usia anak, dalam undang-undang ini yang terpenting adalah anak tersebut masih dalam ruang lingkup rumah tangga.

Ada yang membedakan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap isterinya atau sebaliknya merupakan delik aduan (berdasarkan Pasal 53), sedangkan tindak pidana perkosaan yang dilakukan diluar suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik biasa.

B. undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014Tentang Perlindungan Anak.

1. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Bentuk-bentuk kekerasan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Undang-undang tidak memberikan secara tegas definisi tentang kekerasan dan bentuk-bentuk kekerasan itu sendiri. Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan yang salah.

Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Article from Encarta mengartikan Child Abuse sebagai berikut :

“International acts resukt in physical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior from actual


(46)

physical assault by parents or other adult caretakers to neglect at a child’s basic needs”

(kekerasan terhadap anak adalah perbuatan yang disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah-laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya, sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar dasar anak).47

1) Kekerasan anak secara fisik (physical abuse), adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpamenggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. bentuk luka-luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubita, ikat pingganng, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola seperti sunutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan di daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada , perut, punggung, atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah-laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal, sering Suharto mengelompokan child abuse menjadi : physical abuse (kekerasan fisik), psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial).

Keempat bentuk child abuse ini dijelaskan sebagai berikut ;

47 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Kritisdi Indonesia, Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 36


(47)

46

menangis, minta jajan, buang air, atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga;

2) Kekerasan anak secara psikis (psychological abuse), meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar atau kotor, memperlihatkan buku, gambar, film pornografi pada anak. anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukan gejala perilaku seperti menarik diri, pemalu, takut keluar rumah, dan takut bertemu orang lain;

3) Kekerasan anak secara seksual (sexual abuse), dapat berupa perlakuan kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual);

4) Kekerasan secara social, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak dasingkan dari keluarga, dikucilkan, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anakuntuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya anak bekerja


(48)

di pabrik dengan upah yang rendah atau tanpa alat yang memadai, dipaksa melakukan pekerjaan berat yang melebihi batas kemampuannya.

Menurut Resna dan Darmawan, tindakan kekerasan seksual terhadap anak dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu :48

1) Perkosaan. Pelaku perkosaan yang biasanya dilakukan oleh pria, biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku lebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus perkosaan dengan kekerasan terhadap anak akan merupakan suatu resiko terbesar karena pengeniayaan sering berdampak pada emosi yang tidak stabil.

2) Incest. Didefinisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual

lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yaitu perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun adat. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

3) Eksploitasi. Eksploitasi secara seksual meliputiprostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi, hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau

48Ibid., hlm. 61


(49)

48

di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah, dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah, hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anak dan mempergunakan anak-anak-anak-anaknya untuk prostitusi atau untuk pornografi.

2. Ketentuan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak

Pada Pasal 76 D, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, menyebutkan bahwa “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 49

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, menyebutkan tentang sanksi pidana 76 D :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

49 Penjelasan Pasal 76D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014


(50)

kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini, antara lain :

1) Setiap orang.

Dalam undang-undang ini ‘setiap orang’ yang dimaksud adalah orang perseorangan atau korporasi;

2) Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Dalam melakukan persetubuhan, terdakwa melakukan kekerasan atau ancaman demi memuluskan perbuatannya, bentuk konkret kekerasan itu misalnya dengan memukul, menendang, menusuk dengan pisau, dan lain sebagainya, sedangkan ancaman kekerasan itu merupakan ancaman kekerasan fisik yang didapat berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang berupa kekerasan yang ditujukan pada korban guna memudahkan melakukan suatu perbuatan;

3) Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya. Pengertian memaksa dsisini merupakan suatu perbuatan untuk menekan kehendak orang lain agar orang tersebut menerima kehendak terdakwa dalam melakukan persetubhan, sedangkan yang dimaksud “anak” dalam


(51)

50

undang-undang ini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.

Pada Pasal 76E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, menyebutkan bahwa “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Pada Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, menyebutkan tentang sanksi pidana 76 E :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Ada kesamaan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 76 D dan Pasal 76 E Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 dengan Pasal 285 dan Pasal 289 KUHP, dimana unsur-unsur tersebut adalah adanya unsur “ancaman kekerasan atau kekerasan” dan unsur “memaksa”. Namun yang membedakannya adalah terdapatnya unsur “kesengajaan” dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014


(52)

ini, mengingat dalam pasal 285 dan Pasal 289 KUHP tidak terdapat unsur kesengajaan dalam pasal tersebut.

Pasal 76 I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, menyebutkan bahwa, “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.”

Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, menyebutkan tentang sanksi pidana Pasal 76 I, “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ataupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tidak memberikan definisi apa itu kesengajaan, namun dalam doktrin hukum pidana dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :

1) Kesengajaan sebagai maksud/tujuan, dimana bentuk kesengajaan ini sama artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat atau melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif), dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil);

2) Kesengajaan sebagai kemungkinan, merupakan kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang


(53)

52

mungkin dapat timbul yang tidak ia inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan tersebut, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan tersebut;

3) Kesengajaan sebagai kepastian, adalah kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.

Dalam Pasal 1 point (1) Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan kata lain anak disini tidak membedakan jenis kelaminnya, apakah anak tersebut merupakan anak angkat, anak kandung, anak tiri, ataupun anak yang berada dibawah kepengawasannya.

Dengan demikian pembuat Undang-Undang telah menetapkan ketentuan sanksi yang sama terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan ayah terhadap anak kandungnya, dengan perkosaan yang dilakukan dengan “setiap orang” yang tidak mempunyai hubungan darah atau keluarga dengan korban. Karena pembuat Undang-Undang menganggap perbuatan tersebut sama dan bukanlah sebagai pemberatan dalam ketentuan sanksi pidananya yang telah ditetapkan.

3. Perlindungan Khusus Terhadap Anak

Perlindungan anak dalam undang-undang nomor 35 tahun 2014 jo. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah segala


(54)

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimasi.

Pada Pasal 13 undang-undang nomor 35 tahun 2014 jo. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak beserta penjelasannya menyebutkan, bahwa setiap anak yang selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:50

1) Diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental; 2) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, misalnya tindakan atau

perbuatan memperaklat, memanfaatkan, memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan;

3) Penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya;

4) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaris belas kasihan kepada anak. perlakuan kekerasan dan

50 Penjelasan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan


(55)

54

penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau menciderai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial;

5) Keadilan. Perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan memihak antara anak yang satu dengan anak yang lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak; dan

6) Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.

Adapun perlindungan yang diberikan bagi korban perkosaan (kekerasan seksual) berupa perlindungan khusus, dimana dalam Pasal 59 undang-undang nomor 35 tahun 2014 jo. undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan Khusus kepada anak sebagaimana dimaksud di berikan kepada: 51

a) Anak dalam situasi darurat

b) Anak yang berhadapan dengan hukum; c) Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d) Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e) Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f) Anak yang menjadi korban pornografi; g) Anak dengan HIV/AIDS;

h) Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i) Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;

j) Anak korban kejahatan seksual; k) Anak korban jaringan terorisme; l) Anak Penyandang Disabilitas;

m) Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n) Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

51 Penjelasan Pasal 59 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014


(56)

o) Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.

Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 diatas, meliputi kekerasan fisik, mental, dan seksual, dilakukan melalui upaya :

1) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan ; dan

2) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

Perlindungan khusus ini juga berlaku bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan, sebagaimana yang dimaksud diatas.


(57)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia, yang harus di junjung tinggi. Hak asasi anak merupakan, bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945, dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.1

Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melidungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.2

1 Penjelasan Umum Undang-Undang Republlik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak.

2Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo, 1989, hlm. 52.

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha, dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial.


(58)

Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Anak berhak atas pemeliharaan dan pelindungan baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas perlindungan–perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambatpertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.3

3Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press,

Jakarta, 2014, hlm. 2.

Masa anak-anak merupakan masa yang menentukan bagi perkembangan manusia, karena dalam tahap ini pembentukan karakter seseorang sangatlah ditentukan. Kesejahteraan anak adalah salah satu tonggak tatanan kehidupanyang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Didalam perkembangan anak maka sangatlah dibutuhkan berbagai macam sumber dukungan mental, fisik, dan sosial dari orang tua, anggota masyarakat dan negara.

Anak didalam segala ketidak mandiriannya sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa yang ada di sekitarnya, terlebih kasih sayang dari orang tuanya. Peran keluarga sangatlah penting di dalam perkembangan anak, banyak sekali anak yang mengidolakan sosok orang tuanya dan mencontoh segala sesuatu apa yang menurut sang anak adalah sesuatu yang patut untuk ditiru, tidak banyak orang tua yang menyadari bahwa merekalah yang sesungguhnya menjadi kunci utama agar anak bertumbuh dengan kepribadian yang baik agar ia menjadi tumbuh berkembang menjadi anak yang mampu menjadi generasi penerus bangsa.


(59)

3

Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau di cegah, penegakan hukum harus dilakukan dengan benar. Hukum harus ditegakan dan di berlakukan kepada siapa saja. Perlindungan terhadap anak, merupakan hak asasi yang harus di peroleh oleh anak. Karena setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.4

Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak, menyebutkan5

a. Diskriminasi;

:

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

Anak yang seharusnya mendapat perlindungan dari orang tua, wali, atau pihak yang bertanggung jawab atas pengasuhan kerap kali di jumpai mendapatkan berbagai bentuk kekerasan, baik berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, ataupun kekerasan seksual.Tidak dapat di pungkiri, meskipun masyarakat abad 21 ini sudah memasuki era globalisasi dan wacana penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) sudah sedemikian berkembang, namun menyangkut stimatisasi terhadap seksualitas perempuan, tampaknya masih kuat berakar dalam budaya masyarakat. Pandangan yang dikotomis tersebut membuat perepuan tidak mudah untuk

4Penjelasan pasal 27 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

5Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang


(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM

LINGKUP RUMAH TANGGA

(Studi Putusan Nomor : 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

DWIKY DANIEL MANURUNG 120200371

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan sembah hanya bagi Allah pencipta kehidupan, karena kasih dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan rendah hati, saya mempersembahkan skripsi yang berjudul, “Analisis Yuridis Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Lingkup Rumah Tangga (Studi Putusan Nomor; 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl)” kepada dunia pendidikan untuk memperluas pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Pada kesempatan ini juga saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; Universitas Sumatera Utara


(3)

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Dr. Utari Maharani, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat

Akademik selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak

Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II atas kesedian waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan terhadap pengerjaan skripsi ini;

9. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum. selaku dosen favorit di Fakultas

Hukum USU yang turut berkontribusi membimbing saya selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum USU ini;

10. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

11. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Kedua orangtua terkasih dan seluruh keluarga yang bersama-sama

berjuang untuk melengkapi segala kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini;

13. Kepada Lae-lae Futsal Hore-hore stambuk 2012 yang ikut membantu dan

selalu memberikan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

14. Kepada teman-teman yang suka duduk-duduk di Rumbel Stambuk 2012

terkhusus Willfrid Tobing, Tri Bosco Manurung, Arya Mulatua Manurung, Febrian Manurung, Samuel Juliandy S.H., Lamda


(4)

Sipangkar, Rawady P. Bert, Rizal Banjarnahor, Rumondang, Samuel Marpaung, Dora Virgiolin dan Indah T.Saragih yang selalu memberikan dukungan terbaiknya bagi pengerjaan skripsi ini;

15. Kepada Wilson Wijaya, Reinhard Saragih, Dikson Panjaitan dan Jimmi

Widjaya yang turut menjadi teman seperjuangan sejak semester 1;

16. Kepada teman-teman seperjuangan Panitia Natal tahun 2015 di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

17. Kepada teman-teman seperjuangan Grup A stambuk 2012 Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

18. Kepada Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana terutama Badan

Pengurus Harian yang saling membantu dan mendukung dalam pengerjaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kekurangan dan kelemahan untuk itu kritik dan saran membangun akan selalu diterima. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi orang tua yang harus menyadari bahwa anak adalah harta yang paling berharga dan patut untuk selalu dijaga, bukan menjadi pelampiasan hawa nafsu semata.

Medan, April 2016 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... .. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana ... 8

2. Pengertian Anak ... 13

3. Pengertian Kekerasan Seksual ... 16

G. Metode Penelitian ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 23

B. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 40


(6)

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak ... 46

BAB III ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK OLEH ORANG TUA. STUDI PUTUSAN NOMOR 416/Pid. Sus/2015/PN.Sgl A. Kasus Posisi 1. Kronologi ... 58

2. Dakwaan ... 60

3. Fakta-Fakta Hukum ... 60

4. Tuntutan ... 67

5. Pertimbangan Hakim ... 68

6. Putusan ... 70

B. Analisis Hukum ... 72

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

1 116 103

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

1 112 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Analisis Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif Indonesia Sebagai Wujud Hukum Berkeadilan Gender

5 100 136

Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga

1 44 101

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Yuridis Tindak Pidana Penelantaran Orang dalam Lingkup Rumah Tangga Oleh Perwira TNI (Putusan Mahkamah Agung Nomor 201/K/MIL/ 2012)

0 10 11

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9