Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

NIM : 110200219

HENDRO HEZKIEL SIBORO

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN

TERHADAP APARAT KEPOLISIAN YANG

MENYEBABKAN KEMATIAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR : 370/Pid.B/2013/PN.SIM)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara

OLEH

NIM : 110200219

HENDRO HEZKIEL SIBORO

Disetujui Oleh:

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr.H. M. Hamdan, SH, M.Hum DOSEN PEMBIMBING I

NIP: 196209071988112001

DOSEN PEMBIMBING II

D NIP : 196012221986031003


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia dari penyertaanNya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini. Penulisan Skripsi ini merupakan kewajiban setiap mahasiswa Universitas Sumatera Utara khususnya Fakultas Hukum untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis dalam skripsi ini mengangkat permasalahan dengan judul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang menyebabkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun nomor : 371/Pid.B/2013/PN.SIM)”. Skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis bukan semata-mata merupkan hasil jerih payah sendiri, tetapi juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Kesempatan berbahagia ini saya ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Selaku Pudek I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Dr.H. M. Hamdan, SH, M.Hum, Selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana

4. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku sekretaris Jurusan Hukum Pidana

5. Dr. Edi Yunara,SH,M.Hum, selaku pembimbing I yang telah

memeberikan bimbingan dan masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

6. Ibu Nurmalawaty,SH,M.Hum, selaku pembimbing II yang telah memeberikan bimbingan dan masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak

akademik yang telah banyak memebrikan masukan dan motivasi selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama

Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu seluruh staff bagian pendidikan Fakultas Hukum

Universtas Sumatera Uatara yang telah memberikan bimbingan dan informasi yang begitu berguna bagi penulisan skripsi ini.

10.Teman-teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU Khususnya Joy,

Maruli, Ardi, Yosua, Raymond, Apresya, Marisa, Selly, dan Vera yang telah melewati masa-masa perkuliahan bersama selama menjadi mahasiswa dan juga banyak memberikan motivasi, dorongan serta masukan-masukan yang membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

11.Seluruh keluarga Besar serta rekan-rekan Gerakan Mahasiwa Kristen

Indonesia (GMKI) FH USU dan semua anggota yang senantiasa menyemangati dan membantu penulis. UT OMNES UNUM SINT.

Penulis secara khusus ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua dan saudara-saudara penulis:


(5)

Ayahanda A. Siboro, SH, MH, dan Ibunda R. Nilawati Sihotang, SH, beserta Kakanda Swanti N. Siboro, SH.

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan Penulis mohon maaf yang sebsar-besarnya dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, April 2015

Hendro Hezkiel Siboro


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Tinjauan Pustaka ... 11

1 Pengertian Tindak Pidana ... 11

2 Pengertian Kekerasan ... 14

3 Bentuk-bentuk Kekerasan dan akibat Kekerasan ... 17

4 Pengertian Aparat Kepolisian ... 20

5 Pengertian Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian ... 24

G. Metode Penulisan ... 26

H. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARAT KEPOLISIAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap Aparat Kepolisian ... 30

B. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap Aparat Kepolisian . 32


(7)

C. Perlindungan hukum bagi Aparat Kepolisian dalam hukum pidana

di Indonesia ... 36

1. Perlindungan bagi Aparat Kepolisian dalam KUHP ... 36

2. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Undang-undang no. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 39

3. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia .. 47

BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP APARAT KEPOLISIAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN A. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisisan yang mengakibatkan kematian ... 50

1. Penal ... 50

2. Non penal ... 52

B. Putusan pengadilan negeri simalungun Nomor: 370 /Pid.B/2013/PN.SIM. ... 56

1. Kronologi kasus ... 56

2. Dakwaan penuntut umum ... 61

3. Fakta hukum ... 62

4. Tuntutan ... 68

5. Pertimbangan hakim... 71

6. Putusan ... 78

C. Analisis putusan ... 81


(8)

BAB IV: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAKSI Hendro Hezkiel Siboro* Dr. Edi Yunara, SH, M.Hum**

Nurmalawaty, SH, M.Hum ***

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap aparat kepolisian khususnya dari tindak kekerasan dalam hukum pidana dikaji dari KUHP, UU No. 2 tahun 2002 tetang Kepolisian Republik Indonesia, serta Perkap nomor 14 tahun 2011 tentang kode etik profesi kepolisian Negara republik Indonesia. Namun, peraturan-peraturan yang ada kurang mengakomodir HAM anggota kepolisian secara terperinci dan lebih menitikberatkan pada penegakan HAM bagi masyarakat pada umumnya.

Polisi merupakan aparatur negara yang bertugas mewakili negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Ironisnya, keamanan dari aparat kepolisian itu sendiri kerap terabaikan oleh masyarakat. Kasus-kasus kekerasan baik secara verbal maupun non verbal bahkan sampai mengakibatkan kematian menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian mulai memudar. Perlindungan yang seharusnya didapatkan aparat kepolisian tidak diakomodir oleh peraturan hukum yang ada. Penulis dalam skripsi ini mengangkat masalah tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisian yang menyebabkan kematian dalam kasus pengadilan negeri simalungun nomor: 370/pid.b/2013/PN.Sim serta penerapan sanksi dan perlindungan terhadap aparat kepolisian dalam menjalankan tugas.

Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normative. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pengumpulan data Library Research dan Field Research, data diperoleh dari sumber ilmiah tertulis dan dibantu dengan hasil wawancara dengan majelis hakim dalam putusan pengadilan negeri simalungun nomor 370/Pid.B/2013/PN.SIM.

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana **

Dosen Pembimbing I/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Dosen Pembimbing II/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tindakan “kekerasan” baik yang dilakukan perseorangan maupun yang

dilakukan bersama-sama atau berkelompok, sangat mengganggu ketertiban masyarakat bahkan dapat meresahkan masyarakat. Tampaknya kesadaran akan menghargai hak asasi seseorang dan rasa mencintai sesama manusia semakin menipis atau pertumbuhannya tidak sebagaimana yang diharapkan sehingga perilaku “berbuat baik untuk sesama atau terhadap orang lain” sudah semakin tidak kelihatan.

Masyarakat pada dasarnya merupakan suatu organisasi sosial yang selalu

bergerak dan berubah. Dalam pandangan Ibnu Khaldun,1

1

Abd Ar Rahman Bin Muhammed Ibn Mukadimah, terjemahan Franz Rosenthal, ditelusuri melalui http:/ /www.muslimphilosopy.com/ik/ Muqaddimah/ Chapter1/Ch_1_01.htm diakses pada tanggal 15 Januari 2015, pukul 10.00

konflik adalah bagian dari fitrah manusia sebagai elemen masyarakat yang selalu menuntut perubahan menyebabkan masyarakat tidak dalam kondisi yang stabil, terintegrasi, harmonis dan saling memenuhi. Namun dilain pihak manusia dilahirkan dengan otonominya sendiri atas pikiran yang dimilikinya dituntut untuk bisa meneyelaraskannya dengan pihak lain. Berdasarkan fitrah tersebut maka masyarakat akan selalu memeperlihatkan konflik dan perubahan. Dalam pandangan ini konflik dalam masyarakat pada dasarnya merupakan suatu mekanisme yang mendorong masyarakat untuk berubah dan bergerak. Konflik dianggap sebagai suatu perubahan dalam sistem sosial. Konflik dan perubahan merupakan suatu siklus kehidupan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus.


(11)

Resolusi dalam konflik dipandang merupakan redistribusi atas kekuasaan atau kewenangan yang menjadikan konflik sebagai sumber perubahan sebagaimana dikemukakan diatas. Redistribusi peranan untuk mengatur merupakan bagian yang akan memicu bentuk konflik baru dalam perubahan tersebut. Dalam hal demikian maka redistribusi kekuasaan yang tergambar dalam kontrak sosial dalam pandangan ilmu hukum merupakan bentuk kongkrit dari kontrak sosial yang menempatkan Negara sebagai pemegang hak menetapkan

sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak

memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang

terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini negara diinterpretasikan dalam diri aparat negara maupun aparat penegak hukum.

Aparat penegakan hukum pada penerapan hukum agar benar-benar memikirkan dengan cermat penjatuhan hukuman sehingga dirasakan masyarakat hukuman tersebut telah setimpal dengan kesalahan pelaku. Penyelesaian perkara dengan cepat dan tepat sangat membantu penegakan ketertiban/ketentraman masyarakat serta terciptanya kepastian hukum. Aparat Penegak hukum terdiri atas Anggota kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Polisi merupakan aparatur negara yang bertugas mewakili negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum seperti yang tercantum dalam Pasal 2 undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

“ Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”


(12)

Polisi dan masyarakat adalah dua subjek sekaligus objek yang tak mungkin terpisahkan. Polisi lahir karena adanya masyarakat, masyarakat membutuhkan kehadiran polisi, guna menjaga ketertiban, keamanan, dan keteraturan masyarakat itu sendiri. Demikianlah teori lahirnya polisi (politea, yunani kuno) sampai pada lahirnya teori kepolisian modern dewasa ini.

Kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan. Eksistensi kepolisian adalah lakon yang harus dijalankan sehubugnan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh POLRI didasarkan atas asas Legalitas undang-undang yang karenanya merupakan kewewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar, pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh.2

Pemaknaan akan pelindung, Pengayom, dan pelayan masyarakat3

Pengayom: adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, dorongan, ajakan, pesan, dan nasehat bisa beragam dari berbagai tinjauaan, namun untuk kesamaan persepsi dan langkah bagi kita, pemaknaan itu dapat dirumuskan:

Pelindung: adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memeberikan perlindungan bagi warga masyarakat, sehingga terbebas dari rasa takut, bebas dari ancaman atau bahaya, serta merasa tentram dan damai.

2

Johan Andreas S, Skripsi, Peranan Kepolisian dalm pemberantasan minuman keras (miras)

di wilayah hukum Polsek Medan Kota. (Medan : Fakultas Hukum USU, 2006), hal. 49

3

Barda Namawi Arief. Beberapa aspek kebijaksanaan penegakan dan pengembangan


(13)

yang dirasakan bermanfaat bagi warga masyarakat guna terciptanya rasa aman dan tentram.

Pelayan: adalah anggota POLRI yang setiap langkah pengabdinya dilakukan

secara bermoral, sopan, ramah dan porprosional.

Pemaknaan dari peran pelindung, pengayom, dan pelayan seyogyanya tidak hanya tampil setiap langkah kegiatan apapun yang dilakukan oleh personil POLRI berkaitan dengan tugasnya melainkan juga dalam perilaku kehidupannya sehari-hari.

Tampilan perilaku dimaksud akan sangat tergantung pula kepada integritas pribadi masing-masing anggota POLRI, untuk bisa dilaksanakan secara sadar baik dan tulus. Pada intinya perilaku yang ditampilkan dapat berwujud :

Sebagai pelindung : Berikan bantuan kepada masyarakat yang merasa terancam dari gangguan fisik dan psikis tanpa perbedaan perlakuan. Sebagai pengayom : Dalam setiap kiprahnya, mengutamakan tindakan yang

bersifat persuasif dan edukatif.

Sebagai pelayan : Layani masyarakat dengna kemudahan cepat, simpatik,

ramah, sopan, serta pembebasan biaya yang tidak semestinya.

Sebagai pengayom, Polri selalu simpatik dan ramah tamah. Disini ada tiga konsep policy Polri yang relevan, yatiu etis, open (tanggap) dan ojo dumeh. Sedangkan sebagai pengawas masyarakat, Polri harus tegas, berwibawa dan kalau


(14)

perlu keras. Satu lagi konsep policy Polri adalah relevan kuat, yaitu Polri harus sadar bahwa dirinya adalah sebagai “Crime Hunter”.4

Polri memang harus bertindak keras tetapi tidak bengis harus melakukan pelayanan yang efisien tetapi tidak mengharap apapun, tidak memihak pada kesatuan apapun (khusunya bidang politik) demi tegaknya azas kepolisian. Bagi kepolisian hal-hal ini merupakan falsafah pelaksanaan tugas yang bersifat universal sebagai standar minimum perilaku organisasi Polri.5

1. Aspek ketertiban dan keamanan umum

Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut :

2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan

atau perbuatan melanggar hukum/kejahatan, dari penyakit-penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan pertolongan)

3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan/kepatuhan hukum warga

masyarakat.

4. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang

penyelidikan dan penyidikan.

Mengamati tugas yuridis kepolisian yang demikian luas tetapi luhur dan mulia itu jelas merupakan beban yang sangat berat. Kejahatan dalam era modernisasi di Indonesia membawa implikasi bagi kerja polisi. Yakni, polisi akan

4

Anton Tabah, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1991), hal 97

5


(15)

lebih besar lagi tanggung jawabnya mengamankan masyarakat dari berbagai kejahatan. Bentuk pengamanan ini bukan hanya dituntut dengan cepatnya penyelesaian perkara, tapi tuntutan hak-hak asasi manusia.

Namun berbicara mengenai hak asasi manusia memberikan dapat suatu persepsi beragam bergantung pada siapa hak asasi manusia itu ditujukan.

Dalam sebuah forum, seorang personel POLRI mempertanyakan, mengapa hak asasi manusia hanya dikemukakan ketika tindakan polisi mengakibatkan jatuhnya korban di pihak masyarakat. Sebaliknya, ketika anggota polisi cedera bahkan tewas dalam tugas akibat dianiaya masyarakat, siapa yang akan katakan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap si polisi? Implisit, personel Polri tersebut mengutarakan betapa tidak adilnya perlakuan publik terhdapa anggota Polri. Seolah, karena polisi mengenakan seragam, maka ia tidak lagi manusia. Karena telah kehilangan kemanusiaan, maka hak asasi manusia pun menjadi sesuatu yang tidak relevan bagi polisi.6

Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Kastorius Sinaga,

Kasus kekerasan yang menimpa anggota polisi semakin marak dan beragam. Ironis, kekerasan tersebut menimpa aparat yang justru bertanggung jawab menjaga ketertiban umum masyarakat.

7

6

Reza Indragiri Amriel, Polisi Manusia, Membentuk Polisi Santun dan Berempati,

(Tanggerang Selatan:Serat Alam Media, 2014), hal. 43

7

Zul, “Kekerasan Pada Aparat Merusak Sistem Hukum”,

http://rmol.co/read/2013/04/01/104643/Kekerasan-Pada-Aparat-Merusak-Sistem-Hukum, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, pukul 20.34

melihat banyaknya aksi kekerasan kelompok masyarakat yang mengakibatkan polisi tewas tidak boleh dibiarkan, karena dapat menggangu instabilitas politik dan ketertiban nasional. Terlebih bisa menimbulkan preseden buruk bagi prose penegakan hukum di masyarakat.


(16)

Tindak kekerasan terhadap aparat penegak hukum sebagai kejahatan serius sebab, efeknya bisa menciptakan kerusakan pada sistem penegakan hukum nasional.

Fakta di lapangan dapat dilihat dari beberapa kasus yang ada. Aparat kepolisian mendapatkan perlakuan kekerasan dari masyarakat mulai dari kekerasan yang mengakibatkan luka ringan sampai mengakibatkan kematian.

Indonesia Police Watch (IPW) 8

1. Kasus Briptu Ade Suharto Sindu, anggota Polsek Kapetakan, Kabupaten

Cirebon, Jawa Barat, yang tewas saat berupaya mengamankan pencuri sepeda motor di Desa Grogol, Petakan Cirebon.

merilis jumlah polisi yang tewas di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2014. Ada 41 orang tewas dan 42 anggota Polri terluka dari berbagai kesatuan. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 lalu, yaitu 27 polisi tewas dan 72 polisi terluka. Beberapa contoh kasus diantaranya:

2. Anarkisme juga menimpa anggota satuan intel Poltabes Banjarmasin,

Kalimantan Selatan, Brigadir Rusdiansyah tahun 2011.

3. 19 November 2014, Briptu Jony Burnawin luka dibacok Raswin Piking (36)

dan Rinto Samsi saat melintas di SDN Karanganyar, Empat Lawang, Sumsel. Anggota Polsek Ulu Musi itu dibacok kedua pelaku karena mengetahui dirinya tengah diintai korban untuk ditangkap dalam kasus pencurian.

8

Fransisco Rosarians, “Sudah 4 Polisi Ditembak di Jalan”,

http://www.tempo.co/read/news/2014/08/17/064505029/Sebulan-Terakhir-Sudah-4-Polisi-Ditembak-di-Jalan, diakses pada tanggal 1 Maret 2015, pukul 10.00


(17)

4. Pada 2 Juli 2014, Briptu Afriadi tewas seketika dan Brigadir Syamsul luka parah akibat dikeroyok massa saat hendak menggerebek judi dadu di Terminal Pasar Youtefa, Jayapura, Papua. Selain dikeroyok keduanya ditikam berkali-kali.

5. Kasus kekerasan juga menimpa Brigadir Ricardo Sitorus dan Brigadir Chris-tian Marko. Dua orang anggota Kepolisian Daerah Sumatera Utara itu tewas akhir Februari 2012 dianiaya dan dibakar massa di Desa Lau Bekri, Kutalimbaru, Deli Serdang, Sumatera Utara.

6. Kasus kekerasan turut menimpa AKP. Andar Siahaan bersama

rekan-rekannya pada tanggal 27 Maret 2013. AKP. Andar Siahaan tewas dianiaya oleh warga Dolok Saribu, Kecamatan Dolok Paredamean, Kabupaten Simalungun, saat bertugas menangkap seorang tersangka yang tidak lain merupakan rekan dari para warga yang menganiaya tersebut.

Selain daripada itu, masih banyak kasus serupa yang menimpa Aparat kepolisian yang menyebabkan cedera bahkan kematian yang justru dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak yang seyogyanya dilindungi oleh aparat kepolisian. Beberapa kasus diatas menjadi cerminan bagaimana keadaan masyarakat dewasa ini yang mulai memberikan perlawanan kepada Aparat penegak hukum.

Perlindungan hukum yang ada masih belum dapat memayungi Aparat kepolisian dengan baik dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menjamin perlindungan seluruh masyarakat termasuk Aparat Kepolisian dalam perundang-undangan. Pemerintah Indonesia saat ini memiliki sederet instrument hukum. Dalam Kitab


(18)

Undang-undang Hukum pidana diatur mengenai Kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen bet lijf) dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atasa tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

Selain itu ada juga beberapa ketentuan Standar operasional bagi Aparat Kepolisian dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu ada juga code of conduct atau kode etik profesi dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang menjadi koridor hukum bagi aparat kepolisian melakukan tugasnya di tengah masyarakat.

Ada pula Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun peraturan ini hanya bersifat internal dan menitikberatkan pada perlindungan HAM bagi masyarakat tanpa mengatur secara lugas mengenai perlindungan bagi HAM Aparat Kepolisian itu sendiri.

Dari beberapa instrumen hukum tersebut dapat dikatakan belum memberikan perlindungan hukum maksimal bagi Aparat kepolisian. Para personel polisi rentan rentan mengalami viktimisasi akibat benturan dengan masa maupun pelaku kejahatan.

Sinergi antara aparat kepolisian sebagai penegak hukum dan masyarakat sebagai bagian dari penegakan hukum sangat diperlukan agar tercipta harmonisasi


(19)

sehingga kedua belah pihak dapat menciptakan keamanan dan ketertiban yang masyarakat hakiki seperti yang dicita-citakan UU.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap aparat kepolisian sebagai korban

kekerasan dalam Hukum Pidana di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

kekerasan terhadap aparat kepolisisan yang mengakibatkan kematian pada anak (Putusan Pengadilan Simalungun Nomor: 370/Pid.B/2013/PN.SIM.)? C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan terhadap aparat

kepolisian dalam menjalan tugas dalam hukum pidana Indonesia

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

kekerasan terhadap aparat kepolisian yang mengakibatkan kematian dalam putusan Nomor : 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu

pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu, memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai peraturan perundang-undangan yang ada yang dimaksudkan untuk melindungi


(20)

Aparat Kepolisian sebagai objek kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat.

2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap masyarakat, bangsa dan negara pada umumnya, khususnya terhadap Anggota POLRI agar terhindar dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap mereka saat menjalankan tugas sesuai ketentuan UU.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor : 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.” adalah hasil pemikiran penulisan sendiri. Skripsi ini sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha penulisan sendiri dengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing Penulis, tanpa adanya penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lainnya yang dapat merugikan para pihak tertentu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian untuk skripsi ini adalah asli. Dan untuk itu, Penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-undangan menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit


(21)

tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak pidana” tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak pidana” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.9

Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan

pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.10

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “perisitiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.11

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa :12

“Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)

9

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:PT Citra Aditya

Bakti, 1997), hal. 181

10

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur:Sinar Grafika, 2011), hal. 97

11

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:Refika Aditama,

2003, hal. 33

12

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 49


(22)

dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).”

Menurut Pompe, perkataan “tindak pidana”secara teoretis dapat dirumuskan sebagai berikut13

Jonkers merumuskan bahwa : :

“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”

14

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi sebagaimana dikutip dari oleh Amir Ilyas bahwa tindak pidana mempunyai 5 (lima) unsur-unsur, yaitu

“Tindak pidana sebagaiperisitiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatanyang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

15

1. Subjek;

:

2. Kesalahan;

3. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan

terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana; 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

13

P.A.F. Lamintang, op.cit, hal. 182.

14

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001)

hal. 75

15


(23)

Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi, sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatanmengenai perbuatannya sendiriberdasarkan asas legalitas (Principle of Legality) yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Nullum

Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali). 2. Pengertian Kekerasan

Kekerasan dalam bahasa Inggris violence berasal dari bahasa Latin violentus

yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip dasar hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan.16

16

Wignyosoebroto. S, Makalah, Gejala Sosial Masyarakat Kini yang Tengah Terus Berubah.

(Surabaya:Simposium Ansietas, 1981), hal. 18

Pengguna atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukkan dalam rumusan kekerasan ini.


(24)

“Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa karakter, Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan, Politik tanpa prinsip.”17

Hampir tiap menit terjadi kekerasan di dunia ini, baik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, kekerasan dalam lingkungan, kekerasan dalam politik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Menurut Wignyosoebroto18

Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan amarah yang sudah tak tertahankan olehnya. Menurut Santoso

:

“Kekerasan adalah suatu tindakan, yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang beposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadan lemah) berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesengajaan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu”

19

17

http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan diakses tanggal 12 Januari 2015. Pada pukul 08:00 am.

18

Wignyosoebroto, loc.cit.

19

Ibid

:

“Kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and

battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal

yang melibatkan ancaman dan aplikasi actual kekuatan fisik pada orang lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif”


(25)

Kekerasan menurut Pasal 89 KUHP adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Penjelasannya sebagai berikut20

Secara filosofis, fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antar pribadi, di mana orang tidak bisa lagi duduk bersama memecahkan suatu masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan ketertutupan, kecurigaan dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan seperti ini, tidak

:

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.

Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya umpanya memberi minuman racun. Kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangya tidak ingat lagi, orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya.

Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun,

misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.

20

Soesilo, KUHP serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor:Politeia, 190), hal. 98


(26)

ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar dari semangat melindungi.

Secara teologis, kekerasan di antara sesama manusia merupakan akibat dari dosa. Kita tinggal dalam suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi lebih menakutkan, dunia yang berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi sesamanya. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok yang diaanggapnya lemah, di mana dapat dilakukan dengan cara memukul, membacok, dan menyiksa. 3. Bentuk-bentuk Kekerasan dan akibat Kekerasan

Kekerasan merupakan suatu istilah yang biasa diterjemahkan dari kata asing violence. Violence merupakan gabungan kata latin ‘vis’ yang berarti daya atau kekuatan dan kata ‘latus’ yang berasal dari kata ferre, yang berarti membawa kekuatan atau daya.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan, paksaan atau tekanan, desakan yang keras, sehingga kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan atau tekanan. Secara teoritis kerusuhan yang dilakukan secara massal merupakan bentuk tindak kekerasan (la violencia di Columbia) yang dapat menjurus pada tindakan criminal atau kejahatan. “kekerasan” yang dilakukan sedemikian rupa sehingga


(27)

mengakibatkan terjadinya kerusuhan fisik maupun psikis adalah kekerrasan yang bertentangan dengan hukum, oleh karena itu merupakan kejahatan.21

Selanjutnya Kadish

Untuk dapat digolongkan sebgai suatu kekerasan haruslah memuat atau menunjuk unsur-unsur tertentu, seperti tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, adanya ancaman atau tindakan nyata dan memiliki akibat kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian.

22

1. Emotional and instrument violence

mengklarifikasi kekerasan ini ke dalam 3 (tiga) bentuk kekerasan, yaitu:

2. Random and individual violence 3. Collective violence

John Galtung23

Dalam konteks ini, menarik sekali apa yang ditulis oleh Dorn Helder Camara

memberikan pengertian kekerasan dalam arti yang sangat luas meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya (self-realization) dan mengembangkan pribadinya (personal growth).

24

21

Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta. Krominologi, (Bandung:Eresco, 1992), hal. 55

22

Kadish, Sanford H, Encyclopedia Of Crime and Justica, volume 4, (New York:Macmilian

and Free Press, 1983), hal. 1619

23

I Marsana Windhu, Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 64-65

24

Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, Sebuah Terjemahan dari Judul asli “Spiral of

Violence”, (Yogyakarta:Insist Press, 2000), hal. 19-21

, yang mengenalkan Teori Teori kekerasan Spiral (spiral of violence) yang menggambarkan proses dari bekerjanyan 3 (tiga) bentuk kekerasan bersifat personal, instutisional, dan structural yaitu ketidakadilan, kekrsan pemberontakan


(28)

sipil dan represi negara. Ketiganya saling terkait satu sama lain, artinya, kemunculan kekrasan satu menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya.

Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan, yaitu kekerasan nomor 1 (satu) sebgai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi internasional. Ketidakadilan ini terjaddi sebgai akibat dari upaya kelompok elit nasional memepertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara sebuah struktur yang mendorong terbentuknya kondisi “sub-human”, yaitu kondisi hidup di bawah standar layak untuk hidup sebgai manusia normal.

Menurut teori ini, kondisi “sub-human” ini selajutnya menciptakan ketegangan terus menerus di masyarakat, sehingga mendorong munculnya kekerasan nomor 2 (dua), yaitu pemberontakan di kalangan sipil. Dalam kondisi ini, manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, kemudian mendorong mereka, naik yang langsung menderita tekanan structural itu maupun anak-anak muda yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi sumpek “sub-human” itu, melakukan pemberontakan dan protes di jalan-jalan untuk melawan ketidkaadilan. Ketika konflik, protes dan pemeberontakan itu menyembul di jalan-jalan, ketika kekerasan nomor 2 mencoba melawan kekersan nomor 1, penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus dengan menggunakan cara-cara kekersan, sehingga muncul kekersan nomor 3. Yaitu represi penguasa.25

25


(29)

Bekerjanya tiga jenis kekersan itu menyerupai spiral, karenanya Dom H. Camara meneyebutkannya dengan Spiral kekerasan. Kekersan nomor 1 atau ketidakadilan mendorong pemebrontakan sipil atau kekersan nomor 2. Selanjutnya hal itu mengundang hadirnya represi negara atau kekerasan nomor 3. Ketika represi itu diberlakukan, hal itu selanjutnya memperparah kondisi ketidakadilan, kekersan nomor 1 sehingga terbentuklah Spiral Kekerasan (kekerasan menimbulkan kekersan lainnya).26

4. Pengertian Aparat Kepolisian

Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo27

Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum pidana pada Sistem Peradilan Pidana di Sub Penyidikan. Dengan hal itulah antara tugas serta kewaijiban yang diemban oleh seorang Polisi sangatlah berat, karena antara satu dengan yang lainnya bertentangan dan kontradiktif, akan tetapi ikhwal manusia sebagai aparat penegak hukum yang melindungi serta mengayomi masyarakat harus lebih mengedepankan sikap profesionalisme dan humanisme yang tinggi dalam melayani masyarakat ke arah pelayanan yang prima dan optimal.

:

“Kepolisian adalah profesi unik, sehingga untuk merumuskan secara tuntas adalah pekerjaan yang tidak mudah. Ia merupakan perpaduan antara kekuatan dan pelayanan, padahal keduanya merupakan kategori yang berdiri sendiri dan sering bersebrangan. Ia juga perpaduan antara kekerasan dan kelembutan.”

26

Ibid, hal. 14

27


(30)

Polisi adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Penyelenggaraan fungsi Kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian dibidang teknis Kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan Kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi Kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi Polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good governance.

Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang No. 2 Tahun 2002 pada Pasal 34 dan 35 kemudian di wujudkan melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode etik ini adalah merupakan perilaku dan moral bagi anggota Polri sebagai upaya pemulihan terhadap profesi Kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, pelayanan, pembinaan, perlindungan, pengayoman serta pencegahan dan


(31)

penindakan terhadap suatu tindak pidana dan penyalahgunaan wewenang dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Profesionalisme Polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila Polisi tidak profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya Polisi dalam menjalankan tugas. Tugas Polisi disamping sebagai

agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah

ujung tombak dalam integrated criminal justice system. Di tangan Polisilah

terlebih dahulu mampu mengurai gelapnya kasus kejahatan.

Integritas professional Polisi yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas Kepolisian. Sebab tanpa integritas profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan Polisi hanya dilandasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas Polisi sebagaimana berlaku universal. Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat dan menemukan pelakunya. Polisi harus melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu kejahatan dan menemukan pelakunya.

Tiap-tiap komponen dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai wewenang untuk melakukan penyaringan atau diskresi tersebut, wewenang tersebut yang


(32)

telah termaktub dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 sebagai acuan penyidik dalam mengambil langkah kebijakan untuk menangani perkara pidana. Diskresi diberikan baik karena berdasar peraturan perundang-undangan atau aspek yuridis maupun atas dasar aspek sosiologisnya.

Penyaringan perkara mulai pada tingkat penyidikan berupa tindakan - tindakan Kepolisian yang dalam praktek disebut diskresi penyidik. Pada tingkat penuntutan, adanya wewenang Jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang biasa disebut dengan asas oportunitas. Sedangkan pada tingkat peradilan berupa keputusan hakim untuk bebas, hukuman bersyarat, ataupun lepas dan hukuman denda. Pada tingkat pemasyarakatan berupa pengurangan hukuman atau remisi.

Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk kedalam proses peradilan pidana tersebut merupakan perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis Sistem Peradilan Pidana, baik karena tujuan dan asas maupun karena semakin beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung atau tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada masyarakat dewasa ini. Tentunya diskresi oleh Polisi itu sendiri terdapat hal-hal yang mendorong ataupun menghambat didalam penerapannya di lapangan.

Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 bahwa:


(33)

Pasal 1 butir (1)

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 2

“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum dibidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan oleh Polisi.

5. Pengertian Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian

Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya tanggal 22-12-1953 menyatakan bahwa pegawai negeri ialah “adanya suatu pengangkatan oleh pemerintah, untuk melaksanakan jabatan umum yang merupakan sebgaian tugas peerintahan sendiri atau dari alat perlengkapannya”.


(34)

Pengertian pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 356 adalah pengertian pegawai negeri menurut yurisprudensi tersebut diatas, yang diperluas menurut Pasal 92 KUHP, dan tidak menurut perluasan arti oleh UU No. 31 Tahun 1999. Perluasan arti mengenai pegawai negeri menurut UU No. 31 Tahun 1999 ini hanyalah berlaku bagi penerapan ketentuan-ketentuan dalam UU tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja, dan tidak terhadap ketentuan hukum pidana selainnya. Ketentuan hukum pidana perihal penganiayaaan (Bab XX Buku II KUHP) dan Kekerasan bukan termasuk tindak pidana korupsi. Dengan demikian dapat anggota Polri merupakan pegawai negeri yang dimaksud tersebut.28

a. Perbuatan: melawan;

Macam penganiayaan terhadap pegawai negeri yang ketika menjalan tugasnya ini ada persamaan dan perbedaan dengan kejahatan melawan pejabat yang diatur dalam Pasal 212, yang rumusannya adalah:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan pejabat yang sedang mejalakna tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau permintaan pejabat itu memebrikan bantuan padanya, dipidana karena melwan pejabat, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.”

Bila rumusan itu dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari:

b. Cara: 1) dengan kekerasan;

2) dengan ancaman kekersan;

28

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 42


(35)

c. Objeknya: 1) pejabat/pegawai negeri;

2) orang yang arena berkewwajiban UU membantu pejabat itu;

3)orang yang karena permintaan pejabat itu membantu padanya;

d. Yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.

Melawan adalah suatu perbuatan yang sifatnya menantang, memaksa dan menekan pada seorang (Aparat Kepolisian) yang bertentangan dengan kemauaan dan kehendak orang itu. Perbuatan ini bersifat abstrak, yang wujudnya akan lebih nyata bila dihubungkan dengan cara melakukannya, yakni dengan kekerasan dan ancaman kekerasan.

Kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut baik dilakukan oleh individu atau dilakukan dua orang bersama-sama atau lebih terhadap seorang Aparat Kepolisian tetapi tidak perlu orang tersebut mengetahui tentang Aparat kepolisian tersebut sedang bekerja dalam melakukan pekerjaan jabatannya yang sah.

G. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normative atau penelitian hukum doctrinal dan dibantu dengan hasil wawancara dengan Majelis Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan dalam perkara tersebut. Dalam hal penelitian hukum


(36)

normatif, penulis melakukan penelitian terhadap perundang-undangnan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi ini yaitu “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Mengakibatkan Kematian (studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.)

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat

dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang hukum Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang pidana kekerasan terhadap Aparat Kepolisian meliputi kasus dari pengadilan Negeri Simalungun (putusan Pengadilan Simalungun No. 370/Pid.B/2013/PN.SIM), buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang berisi

konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.


(37)

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhdap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di pengadilan negeri Simalungun. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain studi kepustakaan, penelitian juga melakukan studi lapangan dengan mewawancarai hakim pengadilan negeri Simalungun.

4. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat dijawab permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat


(38)

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan

terhadap Aparat Kepolisian. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan secara mendalam mengenai bentuk dan klasifikasi kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian serta menguraikan tentang faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya kekerasan terhadap aparat kepolisian.

Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang realitas

perlindungan hukum tentang aparat kepolisian dalam ketetuan hukum pidana di Indonesia dan ketentuan pidana terhadap pelaku kekerasan terhadap Aparat Kepolisian yang mengakibatkan kematian serta analisis kasus putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 370/Pid.B/2013/PN.SIM

Bab IV : Dalam bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup

berisikan kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.


(39)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARAT KEPOLISIAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap Aparat Kepolisian

Aparat Kepolisian sebagai aparatur negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam tugasnya menghadapi resiko maut saat berkenaan dengan masyarakat. Ketika manusia secara instrinktif akan menjauh dari sumber bahaya, polisi justru dituntut untuk melawan dorongan naluriah itu. Bukan berarti polisi tidak bisa takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka. Tapi, tanggung jawab profesi, polisi justru harus mengedepankan rasionalitas guna menjinakkan ancaman tersebut.29

Secara garis besar terdapat dua bentuk kekerasan masa yang ditujukan terhadap aparat Kepolisian yakni:30

a. Secara non fisik/verbal (dalam bentuk ungkapan kata-kata yang bernada

tuntutan, ancaman, cacian dan provokasi); dan

b. Secara fisik/non verbal (dengan menggunakan benda-benda keras seperti

pentongan, batu, kayu dan sejenisnya serta bom molotov dan bahan bakar sejenisnya).

Kekerasan secara verbal kerap dijumpai hampir ditiap kesempatan yang yang terdapat gesekan antara masyarakat dan Aparat. Kekerasan secara verbal terdiri dari beberapa bentuk yakni :

1. Menghina dengan lisan atau tulisan

29

Reza Indragiri Amriel, Op.Cit, Hal. 105.

30

diakses pada


(40)

Menghina dengan lisan atau tulisan yaitu berupa penyerangan terhadap nama baik dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Penghinaan dilakukan dengan sengaja dimuka umum atau khalayak ramai dan penghinaan tersebut baik yang ditujukan kepada kekuasaannya(lembaga) maupun kepada pribadi aparat kepolisian yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.

2. Penghasutan Untuk melakukan kekerasan terhadap aparat

Rumusan tindak pidana menghasut terdapat pada Pasal 160 menurut R. Sugandhi yang berbunyi sebagai berikut31

3. Ancaman kekerasan

:

“Barangsiapa dimuka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan mau menurut peraturan perundang-undangan atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum dengan penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.00.”

Ancaman kekerasan yaitu melakukan tekanan kepada Aparat kepolisian sehingga Aparat tersebut berbuat sesuatu yang tidak akan diperbuatnya, atau tidak melakukan sesuatu (mengalpakan) perbuatan yang merupakan tugasnya yang sah. Tekanan tersebut dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

31

R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya,


(41)

Sedangkan kekerasan secara fisik berupa kekerasan yang sejalan dengan Pasal 89 KHUP.

“yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).”

Kekerasan secara fisik terhadap aparat kepolisian dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara bersama-sama seperti terdapat dalam Pasal 211 samapi dengan Pasal 215 KUHP.

Kekerasan fisik berupa paksaan atau tekanan terhadap aparat kepolisian supaya menjalankan perbuatan jabatan atau mengalpakan perbuatan jabatan yang sah. Kekerasan juga dapat berupa perlawanan terhadap aparat yang sedang menjalankan tugas seperti melepaskan orang yang ditangkap oleh polisi dari tangan polisi.

Kekerasan secara fisik menebabkan suatu luka baik itu luka ringan maupun luka berat. Termasuk perbuatan kekerasan yang mengakibatkan matinya aparat.

B. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap Aparat Kepolisian

Budaya kekerasan disebut demikian karena belakangan ini penyelesaian masalah cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, tampaknya semakin menguat dan menjadi budaya. Kekerasan dalam bentuk anarkis atau premanisme di berbagai wilayah Indonesia telah menjadi warta setiap hari. Dengan memperhatikan kekerasan demi kekerasan yang terjadi, terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan, langsung maupun secara tidak


(42)

langsung, secara sendiri-sendiri, maupun secara bersama-sama. Faktor-faktor tersebut diantaranya32

1. Masalah penegakan hukum (law enforcement) yang masih lemah. :

Tanpa penegakan yang tegas dan adil, maka kekecewaan akan tumbuh dalam masyarakat. Penegakan yang diinginkan adalah yang adil, dalam arti tidak pandang bulu, apakah ia berduit atau tidak, apakah orang kaya atau orang miskin, apakah berkuasa atau tidak, di depan hukum harus diberlakukan secara adil. Jika tidak, kekecewaan demi kekecewaan masyarakat lambat laun akan terakumulasi dan hanya menunggu momentum untuk meledak. Sedikit saja ada permasalahan, masyarakat akan marah.

2. Masalah kesenjangan ekonomi.

Masalah kesenjangan ekonomi terjadi dimana-mana di belahan dunia. Hanya yang berbeda adalah tingkat kesenjangannya. Semakin besar gap pendapatan anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, semakin potensial untuk mengoyak kestabilan dan keamanan wilayah atau daerah setempat. Kesenjangan ekonomi dapat dengan pasti menimbulkan kecemburuan sosial. Apabila mereka terbilang kaya tidak peduli dengan mereka yang miskin yang ada disekitarnya. Kecemburuan sosial inipun secara potensial membahayakan, karena sewaktu-waktu bisa tersulut membara menjadi tindakan anarkis, hanya karena percikan api permasalahan yang kecil saja.

3. Tidak adanya keteladanan dari sang pemimpin.

32

http://economist-suweca.blogspot.com/2010/09/budaya-kekerasan-yang-menguat-apa.html diakses pada tanggal 14 Maret 2015, pukul 19:00


(43)

Artinya, pemimpin mulai tidak satya wacana: apa yang dilakukan berbeda jauh dengan apa yang dikatakan. Pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, mementingkan diri sendiri, dan keluar dari rel kewenangannya. Masyarakat yang kehilangan figur yang layak diteladani bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Walaupun secara fisik sang induk ada, tapi tidak pantas lagi menjadi panutan. Ketika terjadi permasalahan, maka masyarakat yang kehilangan figur keteladanan, menjadi bingung ke mana dan di mana tempat bertanya dan mengadu. Karena tidak ada yang pantas diteladani, maka mereka melakukan tindakan yang semaunya, yang sering kali tanpa pertimbangan.

4. Adanya provokasi dari pihak-pihak berkepentingan.

Karena ada provokasi dari pihak-pihak yang berkepentingan menjadikan bibit-bibit permasalahan yang ada agar menjadi besar. Di balik upaya-upaya mereka itu tentu ada maksud yang tersembunyi, mungkin dalam kaitannya dengan politik, seperti dalam rangka merebut kekuasaan dengan cara merusak image orang yang sedang berkuasa atau lawan politiknya, dan sebagainya. Bagi sebagian masyarakat yang kondisinya sudah „labil‟ karena dihimpit oleh berbagai persoalan hidup, bukanlah tidak mungkin mereka dengan mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang diperalat.


(44)

Apabila lebih spesifik, faktor penyebab kekerasan yang ditujukan terhadap Aparat Kepolisian dapat dibagi ke dalam enam lima faktor yakni:33

1. Faktor structural condusiveness (terdapatnya kondisi struktural yang

kondusif yang berupa ketidakharmonisan antara masyarakat dengan polisi sebelum kekerasan massa berlangsung);

2. Faktor structural strain (terdapatnya ketegangan struktural yang terjadi antara masyarakat dengan polisi, di mana adanya ketidakadilan yang dipersepsikan/dipahami masyarakat terhadap polisi sebagai sesuatu yang menindas sebelum kekerasan massa berlangsung)

3. Faktor pola budaya masyarakat (terdapatnya kebiasaan sehari-hari yang

mencerminkan budaya kekerasan di dalam masyarakat seperti kebiasaan membawa senjata tajam dan suka berkelahi fisik dalam menyelesaikan persoalan);

4. Faktor pemicu (faktor penyulut/penyebab utama berupa arogansi dari

beberapa oknum polisi);

5. Faktor katalis (faktor yang mempercepat terjadinya kekerasan massa

berupa isu bahwa polisi menutup-nutupi fakta sebenarnya dan adanya provokasi dan mobilisasi);

6. Lemahnya manajemen konflik (faktor penahan dan peredam yang kurang

memadai berupa kurangnya antisipasi pihak kepolisian dengan baik, kurang berhasilnya pihak pemda dan tokoh-tokoh masyarakat dalam menahan aksi massa).

33

Apandi, Tesis, “Kekerasan massa (studi kasus di Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir-Riau)”, (Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004), hal. 2


(45)

Memang tugas polisi penuh resiko sebagaimana yang diakui Staff khusus Kapolri, Kastorius Sinaga. Menurut dirinya, ada beberapa penyebab yang memicu aksi kekerasan warga terhadap polisi. Pertama, kekecewaan melihat kinerja polisi. Kedua, akibat provokasi pelaku pelanggaran hukum yang menjadikan warga sebagai tameng. Ketiga, rasa frustrasi rakyat karena himpitan ekonomi. Faktor-faktor ini yang kemudian menjadikan mereka lebih gampang diprovokasi pihak-pihak tertentu.34

Pengamat Kepolisian Alfons Leumau menilai, maraknya aksi kekerasan terhadap aparat keamanan terjadi karena masyarakat sudah tidak percaya kepada penegak hukum. Banyak masyarakat yang tidak percaya lagi sistem penegakan hukum di negeri ini bisa memenuhi rasa keadilan. Akibatnya mereka mencari cara

sendiri untuk menegakan hukum. Caranya dengan kekerasan.35

C. Perlindungan hukum bagi Aparat Kepolisian dalam hukum pidana di

Indonesia

1. Perlindungan bagi Aparat Kepolisian sebagai korban kekerasan dalam KUHP

Ancaman hukuman terhadap seseorang yang melakukan perlawanan pada petugas polisi secara tegas telah tersurat dalam KUHP. Tentang hal ini terdapat 5 Pasal yaitu Pasal 211 sampai dengan Pasal 215.36

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak Pasal 211 dirumuskan sebagai berikut:

34

Zul, loc.cit.

35

Ibid

36

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:Eresco,


(46)

melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Tindak pidana ini merupakan suatu pengkhususan (species) dari tindak

pidana yang semacam, tetapi bertindak lebih luas (algemeen) dari Pasal 335 ayat 1 berupa: secara melanggar hukum memaksa sembarang orang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu.37

1. Mempunyai objek yang sama, yakni pegawai negeri yang sedang

menjalankan tugasnya yang sah. Tetapi dalam al objek ini, bagi kekjhatan Pasal 212 lebih luas, termasuk orang bukan pegawai negeri yang membantu pegawai negeri itu, baik karena UU maupun atas permintaan sendiri.

Dalam Pasal 212 dinyatakan bagi seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan pegawai negeri (dalam hal ini termasuk Aparat Kepolisian) yang sedang menjalankan tugasnya atau mengancam seseorang yang membantu pada petugas diancam penjara 1 tahun 4 bulan dan denda tiga ratus rupiah.

Adapun persamaan dan perbedaan antara penganiayaan terhadap pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (356) dengan kejahatan melawan pejabat (212) ialah:

2. Walaupun perbuatan menurut Pasal 212 lebih konkret oleh Karen

adicantumkan cara/upaya melakukannya daripada perbuatan pada penganiayaan (356). Tetapi ada sifat yang sama, sifat yang sama itu ialah:

37


(47)

a. Kedua perbuatan itu merupakan perbuatan aktif, yang pada umumnya menggunakan kekerasan;

b. Kedua perbuatan itu ditujukan pada tubuh, namun khusus pada

perbuatan ancaman kekerasan menimbulkan akibat perasaan, seperti takut akan dilukai, akan dibunuh dan sebagainya.

Sedang, Pasal 213 dan 214 lebih jelas lagi. Menurut Pasal 213 maksimum hukuman pada 211 dan 212 dinaikkan menjadi:

Ke 1 lima tahun penjara, apabila berakibat orang mendapat luka-luka. Ke 2 delapan tahun enam bulan penjara, apabila berakibat luka berat. Ke 3 dua belas tahun penjara, apabila berakibat matinya orang. Menurut Pasal 214 :

“(1) Paksaan dan perlawanan berdasarkan 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling Lama tujuh tahun.

(2) Yang bersalah dikenakan:

1. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka;

2. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat;

3. pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika mengakibatkan

orang mati.

Secara yuridis ancaman hukum bagi seseorang yang melawan petugas sebenarnya telah cukup memadai. Hanya di sini terpulang pada itikad baik para


(48)

hakim agar keadilan bisa lebih tegak karena kepastian hukum tidak hanya timbul dari apa yang tersurat dalam buku undang-undang tetapi juga praktek hukum itu di lapangan.

2. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Undang-undang no. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Sudah lebih dari tiga dasawarsa UU tentang Kepolisian, yaitu Undang-undang Pokok Kepolisian Nomor 2 tahun 2002.

UU Kopolisian hendaknya memuat lebih rinci tentang tugas dan wewenang kepolisian. Prof. Dr. Harsya Bachtiar mengatakan38

Salah satu nya mengenai diskresi. Menurut Kepala Bagian Operasional (KBO) Sat Reskrim Polres Jepara, Iptu Rismanto, S.H dasar yang membolehkan pelaksanaan diskresi dalam menyaring suatu perkara pidana oleh polisi menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini terdapat di dalam Pasal 16 dan Pasal 18.

, bahwa polisi sering hanya memfokuskan perhatian pada masalah administrasi ketimbang masalah-masalah hukumnya sendiri.

Dalam UU kepolisian secara keseluruhan mencakup perlindungan hukum bagi aparat kepolisian untuk menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan undang-undang. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian diatur ketentuan pelaksanaannya dalam UU ini.

39

38

Ahmad Yakub Sukro, Skripsi, “Diskresi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

Terhadap Tindak Pidana Yang Diselesaikan Di Luar Pengadilan (Studi Pada Polres Jepara)” , (Semarang:Fakultas Hukum Universitas Negeri semarang, 2013), hal. 67

39


(49)

Dalam bunyi Pasal 16 secara spesifik masuk dalam ayat (1) huruf h yang berbunyi dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan penghentian penyidikan. Akan tetapi hal tersebut juga tidak boleh asal-asalan karena dalam huruf I juga menjelaskan dalam rangka menyelenggarakan tugas, petugas Polri di bidang proses pidana mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Maka dari itu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri tidak boleh asal-asalan dan lebih mengedepankan rasa bertanggung jawab dan alasan serta pertimbangan-pertimbangan yang kuat.

Hal tersebut sama dengan persepsi Misbahul Munir40

Membicarakan wewenang diskresi tidak dapat dilepaskan dengan fungsi Kepolisian dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, karena fungsi tersebut

, dia menjelaskan tentang dasar diskresi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 16 ayat (1) yaitu dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (1) yang masih berkaitan dengan kewenangan diskresi menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

40


(50)

merupakan landasan adanya tugas Kepolisian. Tugas Kepolisian yang sangat luas tersebut sehingga memerlukan kewenangan-kewenangan yang dapat dimiliki oleh Polisi mengemban tugas selaku aparatur negara. Apabila diamati secara teliti, ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.41

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

Dari penjelasan tersebut merupakan suatu bentuk perwujudan dari tugas yang diemban Kepolisian. Dari luasnya tugas yang diemban Kepolisian tersebut tentunya lahir kewenangan-kewenangan tertentu yang berupa suatu bentuk tindakan-tindakan tertentu, suatu kebijakan-kebijakan tertentu yang dirangkum dalam suatu kata wewenang Kepolisian.

Berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khusus di bidang proses penegakan hukum pidana, Polri mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 yang berbunyi :

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

41


(51)

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang yang didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pada penjelasan Pasal 16 ayat (1) tersebut merupakan bentuk-bentuk kewenangan yang diberikan oleh Polisi selaku aparat penegak hukum pidana. Dari dasar yuridis formal tersebut tersirat kewenangan utama untuk menghentikan suatu proses penyidikan perkara pidana serta diadakannya tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab berupa penyaringan suatu perkara pidana diberikan kepada penyidik ada pada huruf h dan l Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(52)

Akan tetapi dalam menyaring suatu perkara pidana serta melakukan tindakan lain oleh penyidik tersebut terdapat syarat-syarat tertentu yang dijadikan suatu dasar diperbolehkannya tindakan penyidik, ketentuan tersebut diatur dalam ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni :

1) Tindakan lain sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) huruf I adalah

tindakan melakukan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut;

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

e. Menghormati hak asasi manusia (HAM).

Bunyi dari Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut merupakan suatu syarat yang bersifat batasan di dalam suatu ketentuan hukum secara yuridis formal. Dari syarat tersebut, seorang aparat penyidik dilarang melakukan suatu tindakan diskresi ataupun tindakan lain yang bertentangan dengan aturan hukum, melanggar suatu asas kepatutan dan menciderai nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) di dalam kewenangan jabatannya atau penyalahgunaan kekuasaan selaku penyidik pada proses penegakan hukum pidana.


(53)

Dalam rangka pemeriksaan perkara pidana disamping kewenangan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) Polri juga mempunyai suatu kewenangan tindakan lain menurut penilaiannya sendiri dapat melakukan suatu tindakan lain demi kepentingan umum, kepentingan umum disini merupakan suatu bentuk penerapan dari asas diskresi oleh penyidik selaku pejabat publik dalam menegakkan hukum pidana di wilayah yurisdiksinya. Penjelasan dari Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut;

1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat Kepolisian untuk bertindak ataupun tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya guna memelihara ketertiban, menjaga dan menjamin keamanan umum. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa yang dimaksud bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan


(54)

yang dilakukan oleh anggota Polri, juga dalam hal ini adalah penyidik Kepolisian dalam hal bertindak serta mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan benar-benar untuk kepentingan umum.

Seyogyanya seorang aparat penyidik dapat menggunakan kewenangan diskresi pada suatu perkara pidana tertentu yang bersifat ringan dan berupa delik aduhan.

Terdapat kekhawatiran bahwa si petugas atau penyidik tersebut akan bertindak sewenang-wenang dan sangat tergantung pada kemampuan subyektif. Untuk itu, dalam hukum Kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas atau penyidik akan melakukan diskresi, yaitu42

a. Tindakan harus “benar-benar diperlukan atau asas keperluan; :

b. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas Kepolisian; c. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu

gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan;

d. Asas keseimbangan dalam mengambil tindakan, yakni harus senantiasa

dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya atau berat ringannya suatu perkara pidana yang harus ditindak.

Dari penjelasan tersebut telah jelas disebutkan apabila seorang pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan dalam proses peradilan yang dimana harus berdasarkan atas kepentingan umum dan rasa bertanggung jawab menurut

42

Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian:Profesionalisme dan Reformasi Polri, (Jakarta:Laksbang Mediatama, 2007), hal. 99


(55)

penilaiannya sendiri dalam keadaan yang sangat perlu memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disamping itu lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia didasarkan pada paradigma baru, yaitu semangat demokrasi dan reformasi di Indonesia pada saat itu, sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Polri sebagai bagian integral dari agenda reformasi secara menyeluruh yang meliputi segenap tatanan kehidupan bangsa dan Negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang madani, yang adil dan makmur serta beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.43

Dalam konsep civil police,

Selain itu tentu memberikan batasan-batasan hukum bagi Aparat Kepolisian Republik Indonesia agar sesuai dengan koridor-koridor hukum yang telah dibentuk agar tidak terjadi benturan dengan masyarakat pada saat proses pelaksanaannya.

44

43

Ibid, hal. 37

44

Reza Indragiri Amriel, op.cit. hal. 167

hubungan yang ditandai sikap percaya itu merupakan amunisi terbaik baik Polri dalam bekerja dan menerapkan UU Kepolisian sesuai dengan tujuan nya sebagai perlindungan bagi aparat kepolisian khususnya terhadap ancaman kekerasan dari masyarakat saat menjalankan tugas yang diperintahkan UU tersebut.


(56)

3. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia

Dalam upaya meningkatkan penegakan hukum disiplin anggota Polri, Kapolri menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan tersebut merupakan pembaharuan terhadap : Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan peraturan lain yang mengatur tentang Kode Etik Profesi di lingkungan Polri.

Peraturan Kapolri tersebut, diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2011 dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 608. Berarti sudah bersesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah duganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dasar pertimbangan diterbitkannya Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, adalah sebagai berikut :

1. Bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara profesional, proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang


(57)

terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya dijabarkan dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut;

2. bahwa penegakan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

harus dilaksanakan secara obyektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), serta hak asasi manusia dengan memperhatikan jasa pengabdian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diduga melanggar kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Karena itu perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kemudian sesuai ketentuan Pasal 31 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan peraturan lain yang mengatur tentang Kode Etik Profesi di lingkungan Polri, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Peraturan Kapolri ini menjadi perlindungan hukum dalam hal ini berupa batasan etik yang dituntut dari seorang aparat kepolisian dalam menjalankan tugas. Hal ini penting melihat realitas dilapangan marak terjadi benturan akibat penyalahgunaan wewenang serta anggapan masyarakat terhadap aparat tentang kode etik kepolisian yang mulai memudar dalam perjalanan implemetasinya.


(58)

Kekerasan terhadap Aparat Kepolisian kerap timbul karena masyarakat merasa penegakan kode etik profesi tidak berjalan dengan semestinya. Edi Hasibuan Saputra, Anggota Komisioner Komisi Pengawas Kepolisian Nasional (Kompolnas), menilai terkikisnya wibawa akibat pelanggaran kode etik yang kerap ditampilkan sebagai penyebab munculnya tindakan anarkis masyarakat terhadap oknum polisi.45

45


(59)

BAB III

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP APARAT KEPOLISIAN YANG

MENGAKIBATKAN KEMATIAN

A. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap aparat

kepolisisan yang mengakibatkan kematian

Tindak pidana kekerasan terhadap Aparat Kepolisian menjadi masalah mengemuka dewasa ini. Sanksi yang diberikan kepada para pelaku terdiri dari sanksi/kebijakan pidana menggunakan penal dan sanksi atau kebijakan pidana non penal.

1. Sanksi atau Kebijakan pidana menggunakan penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana atau penal, merupakan cara paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutkan sebagai “order philosophy of crime control”. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang memepermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah, atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana.

Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan “peniggalan dari kebiadaban kita masa lalu” yang seharusnya dihidari. Pendapat ini nampaknya didasari atas pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam.

Dasar pemikiran lain adalah adanya paham determinaisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian, kejahatan


(1)

dengan tuntutan jaksa yang menuntut para terdakwa dengan penjara selama 10 (sepuluh) tahun.

Alasannya adalah karena para pelaku melakukan kekerasan tersebut secara bersama-sama dan membabi buta tanpa ada niat untuk menghentikan aksi mereka padahal korban telah berulang kali meminta tolong serta telah terpaksa melepaskan kawan mereka yang hendak mereka lepaskan tersebut. Aksi mereka juga diikuti oleh tindak pidana lain yaitu tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat disitu yang justru diamini dan dibantu oleh para pelaku.

Dalam KUHP sendiri diperberatnya pidana pada tindak pidana kekerasan terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan tugas yang sah, didasarkan pada pandangan, bahwa tugas-tugas pegawai negeri adalah di bidang-bidang pekerjaan untuk dan yang berhubungan dengan kepentingan umum (masyarakat dan negara). Terhadap pelaksanaan tugas yang demikian diperlukan suatu perlindungan hukum yang lebih besar dan pada tugas-tugas lain yang bersifat demikian. Suatu bentuk perlidungan yang lebih besar itu, ialah dengan memebrikan ancaman pidana yang lebih berat pada perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kelancaran tugas pekerjaan pegawai negeri tersebut.

Dalam persidangan juga terbukti bahwa para terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya seperti juga tertulis dalam pertimbangan hakim “hal-hal yang memberatkan” yang turut andil dalam pengungkapan fakta hukum oleh hakim yang menjadi lebih rumit. Apabila dilihat dari hal-hal tersebut, tentu


(2)

dapat menjadi alasan pemberat yang cukup untuk membuat mereka dihukum dengan ancaman hukuman maksimal.


(3)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis dapat berkesimpulan sebagai berikut :

1. Instrumen hukum sebagai perlindungan bagi Anggota kepolisian terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum pidana, UU nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang kode etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia, serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun peraturan tersebut belum dapat memenuhi rasa aman bagi Aparat kepolisian.

2. Penerapan Hukum Pidana Materiil terhadap tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisian dalam putusan pengadilan negeri simalungun Nomor:370/Pid.B/2013/PN.SIM yakni Pasal 214 ayat (2) ke-3 KUHPidana Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana telah sesuai dan tepat. Hal ini terlihat atas terpenuhinya semua unsur-unsur sesuai dengan Pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku dalam perkara putusan pengadilan negeri simalungun Nomor:370/Pid.B/2013/PN.SIM telah sesuai dengan berdasarkan pada analisis yuridis, fakta-fakta persidangan,


(4)

alat bukti baik berupa keterangan saksi-saksi, barang bukti, keterangan terdakwa, petunjuk serta diperkuat dengan keyakinan hakim sendiri. Namum hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa masih cukup ringan serta masih jauh dari ancaman maksimal pidananya yaitu 15 (lima belas) tahun penjara, dimana dalam hal ini penjatuhan pidana oleh hakim terhadap terdakwa tidak akan menimbulkan efek jera pada terdakwa itu sendiri dan tidak akan menimbulkan rasa takut oleh orang lain untuk tidak melakukan kejahatan yang sama.

B. Saran

Sebagai pelengkap dalam penulisan hukum (skripsi) ini maka penulis akan menyumbangkan beberapa pemikiran-pemikiran yang kemudian penulis tuangkan dalam bentuk saran yaitu :

1. Penulis mengharapkan kepada segenap penegak hukum agar setiap pelaku kejahatan (khususnya tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisian) sekiranya ditindak dengan tegas dan dijatuhi sanksi yang mampu membuat para pelaku kejahatan jera.

2. Perlu adanya peraturan khusus yang mengatur tentang perlindungan bagi Aparat kepolisian yang menjadi korban kekerasan dari masyarakat sehingga kejadian-kejadian kekerasan terhadap aparat dewasa ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amriel, Reza Indragiri. 2014. Polisi Bukan Manusia (membentuk Polisi Santun

dan Berempati), Tanggerang Selatan: Serat Alam Media.

Chazawi, Adami. 2001, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Departemen Pendidikan Nasional. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kunarto. 2001. perilaku organisasi POLRI, Jakarta: Penerbit Cipta Manunggal. Lamintang, P.A.F. 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT

Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Barda Namawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung.

Poerwadarminta, W.J.S. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT.Refika Aditama.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta. Saleh, Roeslan. 1971. Mencari Asas-asas Umum yang Sesuai untuk Hukum

Pidana Nasional, Kumpulan Bahan Upgrading Hukum Pidana, jilid 2.

Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentarnya

Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia.


(6)

Sukro, Ahmad Yakub. 2013. Diskresi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Tindak Pidana Yang Diselesaikan Di Luar Pengadilan

(Studi Pada Polres Jepara). Skripsi Ilmu Hukum Universitas Negeri

Semarang.

Tabah, Anton. 1991. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

DAFTAR PERATURAN

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia

INTERNET

Abd Ar Rahman Bin Muhammed Ibn Mukadimah, terjemahan Franz Rosenthal, ditelusuri melalui http://www.muslimphilosopy.com/ik/Muqaddimah/ Chapter1/Ch_1_01.htm pada 15 Januari 2015.

“Kekerasan Pada Aparat Merusak Sistem Hukum”,


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

1 112 102

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

2 67 120

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Event Organizer Terhadap Tindak Pidana Kelalaian Yang Menyebabkan Meninggalnya Orang Dalam Konser Musik (Studi Putusan NO.713/Pid.B/2008/PN.Bdg)

2 78 95

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

0 0 29

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARAT KEPOLISIAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap Aparat Kepolisian - Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nom

0 0 20

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 2 11