Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

(1)

DAFTAR REFERENSI

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Aness. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Ardianto, Elvinaro & Lukiati K. Erdiana. (2004). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Baksin, Askurifai. (2006). Jurnalistik Televisi: Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Baran, Stanley J. (2012). Pengantar Komunikasi Massa Jilid 1 Edisi 5: Melek Media dan Budaya. Jakarta: Erlangga.

Day, Mila. (2004). Buku Pintar Televisi. Jakarta: Trilogos Library.

Effendy, Onong Uchajana. (2004). Televisi Siaran Teori dan Praktek. Bandung: Alumni.

Effendy, Onong Uchjana. (2007). Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS

Eriyanto. (2004). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta: LKiS Eriyanto. (2008). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.

Yogyakarta: LKiS

Fachruddin, Andi. (2012). Dasar-Dasar Produksi Televisi: Produksi Berita, Feature, Laporan Investigasi, Dokumenter, dan Teknik Editing. Jakarta: Kencana.

Fisherkeller, JoEllen. (2002). Growing Up with Television. Philadelphia. Temple University Press.

Fiske, John. (2001). Television Culture. London and New York: Routledge.

Hermawan, Anang. (2011). Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.

Hill, Annette. (2005). Reality TV: Audiences and Popular Factual Television. New York: Routledge.


(2)

Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera. Kuswandi, Wawan. (1996). Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi.

Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana.

Morissan. (2008). Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Jakarta: Kencana.

Morissan, Andy dan Wardhany. (2009). Teori Komunikasi tentang Komunikator, Pesan, Percakapan, dan Hubungan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda

Musthofa, As’ad. Jurnal Ilmiah Komunikasi MAKNA Vol. 3 No. 1, Februari- Juli 2012. Komodifikasi Kemiskinan oleh Media Televisi. Magister Ilmu Komunikasi UNDIP.

Nurudin. (2004). Komunikasi Massa. Malang : CESPUR.

Pawito. (2008). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Purba, Januarius Andi. (2013). Shooting yang Benar. Yogyakarta: Andi.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Bandung: Nuansa.

Setiadi, Elly. M dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.

Sobur, Alex. (2004). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Stokes, Jane (2007). How to do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soetomo. (2008). Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Sugihartono, Ranang Agung. Ornamen Vol. 1, No. 2, Juli 2004. Reality Show, Sebuah Tren Baru Acara Pertelevisian. Jurnal Seni Rupa STSI Surabaya.


(3)

Suprapto, Tommy. (2009). Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Jakarta: MedPress.

Totona, Saiful. (2010). Miskin itu Menjual: Representasi Kemiskinan sebagai Komodifikasi Tontonan. Yogyakarta: Resist Book.

Vardiansyah, Dani. (2008), Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. (2013). Semiotika Komunikasi: Aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Wiryanto. (2000). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo.

Zamroni, Mohammad. (2009). Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistemologis, Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sumber internet

2015 pukul 16.32 WIB.


(4)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode ini dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit dketahui. Demikian pula metode kualitatif dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. (Strauss dan Corbin, 2003: 5).

Penelitian deskriptif menurut Kenneth D. Bailey adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fenomena secara detil (untuk menggambarkan apa yang terjadi). Pene;itian deskriptif bermaksud memberikan gambaran tentang gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam permasalahan penelitian. Penelitain deskriptif menjawab pertanyaan dengan penjelasan yang lebih terperinci mengenai gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam suatu permasalahan penelitian yang bersangkutan. (Wibowo, 2013: 163).

Pendekatan kualitatif yang bersifat deksriptif ciri-cirinya adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. (Wibowo, 2013: 200).

Penelitian ini menggunakan teknik penelitian analisis semiotika. Analisis semiotika mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah teks. Dengan menggunakan analisis semiotika, makna dibalik tanda-tanda dalam tayangan media massa dapat dicari dan dianalisis.


(5)

Penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi, mengemukakan prediksi-prediksi, atau untuk menguji teori apapun. Tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. (Pawito, 2008: 35)

Penelitian ini menggunakan penelitian semiotika dengan model semiologi Roland Barthes. Dalam semiologi Roland Barthes menggunakan signifikasi dua tahap (two order of signification). Tahap pertama adalah denotasi yang merupakan makna paling nyata dari tanda dan tahap kedua adalah konotasi yang merupakan makna yang bersifat subjektif dan kehadirannya tidak disadari.

3.2.Subjek Penelitian

Subjek Penelitian ini adalah program acara Orang Pinggiran. Tayangan ini merupakan salah satu dari beberapa reality show yang tayang di stasiun televisi Indonesia. Program acara ini tayang pertama sekali pada tanggal 28 Desember 2011. Hingga saat ini, program acara Orang Pinggiran tayang setiap hari Rabu – Jumat pukul 15:45 – 16:45 WIB di stasiun televisi Trans 7.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah video tayangan Orang Pinggiran yang disiarkan di stasiun televisi Trans 7. Peneliti mengambil dua episode yang akan dianalisis. Pertama, episode ‘Derai Harap Bocah Penjual Bakso’ durasi 22 menit 8 detik. Kedua, episode ‘Kisah Pilu dari Kali Wungu’ dengan durasi 25 menit 1 detik.

3.4.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Studi Kepustakaan


(6)

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui literatur, buku dan sumber bacaan lainnya yang relevan dan mendukung penelitian serta membantu peneliti untuk memperoleh informasi.

2. Pengamatan Langsung

Peneliti melakukan pengamatan langsung pada objek penelitian. Sehingga peneliti dapat menemukan makna-makna yang terkandung di dalam tayangan tersebut dan menganalisisnya dengan menggunakan semiologi Roland Barthes. Pengamatan langsung dapat didukung melalui data-data sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah print out tayangan reality show Orang Pinggiran yang tayang di staiun televisi Trans 7 episode ‘Derai Harap Bocah Penjual Bakso’ dan ‘Kisah Pilu dari Kali Wungu’.

b. Data Sekunder

Data sekunder didapatkan melalaui sumber-sumber seperti buku, literatur, atau sumber bacaan lainnya yang mendukung data primer.

c. Data Dokumenter

Data dokumenter merupakan kumpulan data berupa tayangan reality show Orang Pinggiran yang tayang di stasiun televisi Trans 7 episode ‘Derai Harap Bocah Penjual Bakso’ dan ‘Kisah Pilu dari Kali Wungu’ dalam format mp4 dan diunduh melalui situs www.youtube.com.

3.5. Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa semiotika. Penelitian ini menganalisis delapan scene yang berkaitan dengan topik penelitian. Scene adalah gabungan dari shot (unit dasar bahasa video) yang menggambarkan


(7)

peristiwa yang berkesinambungan. Tayangan reality show Orang Pinggiran yang diteliti yaitu episode ‘Derai Harap Bocah Penjual Bakso’ yang tayang di statsiun televisi Trans 7. Setelah peneliti menonton program acara tersebut, peneliti lalu menentukan scene yang akan diteliti dengan analisis semiotika Roland Barthes dengan membagi analisis ke dalam lima kode pembacaan Barthes. Setiap gambar/teks dianalisis untuk mengetahui bagaimana tayangan tersebut di konstruksi. Selanjutnya menganalisis apa makna yang tersimpan dari setiap tanda yang terkandung dalam teks, dan mitos apa saja yang dikembangkan dari teks tersebut dalam kaitannya dengan kemiskinan. Episode ini dipilih karena episode ini menggambarkan ciri-ciri kemiskinan pada masyarakat yang hidup di pinggiran kota, sesuai dengan judul program acara tersebut dan juga sesuai dengan topik penelitian yakni mengenai kemiskinan pada tayangan reality show.

3.5.1. Analisis Leksia

Leksia dipilih dan ditentukan berdasarkan pada kebutuhan pemaknaan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, leksia dalam narasi bahasa bisa didasarkan pada kata, frasa, klausa, ataupun kalimat. Sedangkan pada gambar, leksia biasanya didasarkan pada satuan tanda-tanda (gambar) yang dianggap penting dalam pemaknaan.

3.5.2. Kode Pembacaan

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu :

1. Kode hermeneutika, atau sering disebut dengan kode teka teki. Kode ini melihat tanda-tanda dalam suatu teks yang menimbulkan pertanyaan. Berfungsi untuk mengartikulasikan persoalan yang terdapat dalam teks.

2. Kode proairetik, yaitu kode tindakan yang membaca akibat atau dampak dari suatu tindakan dalam teks. Analisis pada kode ini menghasilkan makna denotasi I, yaitu pada level teks


(8)

3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean yang gampang dikenali karena berulang-ulang muncul dalam teks. Kode pembacaan ini menghasilkan makna konotasi I, yaitu makna konotasi dalam level teks..

4. Kode kultural, yaitu kode yang telah dikenali dan bersumber pada pengalaman-pengalaman manusia. Kode ini menghasilkan makna denotasi II. Analisis bekerja pada level konteks.

5. Kode semik, yaitu kode yang berasal dari isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda tertentu. Kode ini menghasilkan makna konotasi II, yaitu pada level konteks.


(9)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Tayangan Reality Show Orang Pinggiran

Reality show merupakan salah satu jenis program acara televisi dimana tayangan yang ditampilkan tanpa skenario dan pemain biasanya berasal dari kalangan umum (bukan orang terkenal). Reality show pada umumnya berupa tayangan mengenai kehidupan sehari-hari seseorang.

Orang Pinggiran memfokuskan tayangannya pada kondisi kehidupan masyarakat miskin, khususnya yang tinggal di pinggiran kota. Sesuai dengan nama program acara ini ‘Orang Pinggiran’ yang berarti masyarakat yang tinggal di pinggiran atau masyarakat yang terpinggirkan. Program acara ini mendokumentasikan kehidupan masyarakat yang terpinggirkan dari sisi sosial ataupun ekonomi, serta kehidupan mereka jauh dari sarana dan prasarana yang memadai.

Penelitian ini menganalisis salah satu episode pada tayangan Orang Pinggiran yang berjudul ‘Bocah Penjual Bakso’. Analisis dilakukan menggunakan semiotika Roland Barthes mengacu pada lima kode analisis Roland Barthes. Tokoh utama seorang anak perempuan bernama Siti, seorang siswi sekolah dasar berusia tujuh tahun. Ia berjuang membantu ibunya untuk menyambung kebutuhan mereka sehari-hari dengan berjualan bakso sepulang sekolah. Amriah, ibu Siti hanyalah seorang kuli tandur dengan upah kecil. Sedangkan ayah Siti, sudah lama tiada sejak usianya baru menginjak dua tahun. Setiap harinya keluarga Siti dan Amriah harus makan dengan lauk seadanya dan tinggal di rumah yang jauh dari kata layak. Latar episode ini diambil di daerah Kampung Cipendeuy, Desa Cibereum, Cilangkahan, Banten.


(10)

4.2.Analisis Data 4.2.1. Analisis Scene 1

Visual Audio

Gambar 1

Gambar 2

Narator: Mata pencaharian utama bagi warga desa Cipendeuy, Malingping, Banten adalah dari hasil pertanian. Tentu saja, hasil yang diperoleh bergantung musim. Bila tak banyak hama dan wabah yang mengganggu hasil panen, warga desa bisa bernafas lega.

Itulah sebabnya tak semua warga bertahan dengan bertani. Sebagian mencoba peruntungan lain dengan bekerja di kebun karet yang ada di sekitar desa ini.

A. Analisis Leksia

Scene ini menampilkan beberapa rumah dimana jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya saling berdekatan. Rumah-rumah tersebut memiliki bentuk yang sederhana dan ukurannya tidak terlalu besar. Di belakang rumah-rumah tersebut terdapat pepohonan dan pegunungan. Jalan penghubung pada perumahan tersebut terlihat sempit dan kecil. Beberapa orang terlihat berkeliaran di jalan dan halaman rumah.


(11)

Teknik pengambilan gambar pada scene ini menggunakan ekstrem long shot. Angle yang digunakan pada scene ini berbeda-beda. Pada gambar 1 menggunakan high angle sedangkan pada gambar 2 menggunakan straight angle. Scene ini menggunakan teknik pergerakan kamera tilt down.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa rumah-rumah tersebut memiliki jarak yang berdekatan? Mengapa jalan di lingkungan tersebut sempit? Mengapa orang-orang berkeliaran di lingkungan tersebut? Mengapa di belakang rumah-rumah tersebut terdapat pepohonan dan pegunungan?

2. Kode Proaretik

Kondisi lingkungan yang ditunjukkan pada scene ini merupakan lingkungan padat penduduk. Oleh sebab itu rumah-rumah pada lingkungan memiliki jarak berdekatan. Rumah-rumah di lingkungan tersebut masih sederhana dengan ukuran yang tidak terlalu besar menunjukkan bahwa penduduk di lingkungan tersebut berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ukuran jalan penghubung yang sempit di lingkungan tersebut juga menunjukkan bahwa lingkungan tersebut hanya mampu dijangkau oleh alat transportasi kecil. Pepohonan rindang serta pegunungan di belakang rumah-rumah tersebut menunjukkan bahwa lingkungan tersebut merupakan daerah agraris (pertanian).

Teknik pengambilan gambar pada scene ini menggunakan extreme long shot yaitu teknik pengambilan gambar dengan menampilkan pandangan yang luas dan jauh. Keseluruhan pemandangan dapat terlihat sehingga objek tampak jauh dan kecil. Teknik pengambilan gambar ini membuat penonton tidak terfokus pada objek, melainkan kondisi yang berada di sekitar objek.


(12)

3. Kode Simbolik

Susunan rumah-rumah yang saling berdekatan menunjukkan bahwa masyarakat di daerah tersebut hidup berkelompok. Masyarakat di sekitar rumah tersebut saling berkumpul menunjukkan bahwa masyarakat di lingkungan tersebut memiliki ikatan sosial yang tinggi. Ini melambangkan kehidupan masyarakat pedesaan.

4. Kode Kultural

Rumah-rumah pada gambar diatas memiliki bentuk dan ukuran yang hampir sama satu sama lainnya. Hal ini merupakan ciri masyarakat pedesaan yaitu masyarakat yang memiliki sifat homogen baik dalam hal mata pencaharian, agama, dan adat istiadat. Homogenitas ini menyebabkan masyarakat desa memiliki rasa persaingan yang rendah sehingga keinginan berkembang dan maju untuk memperbarui kehidupannya sangat rendah.

5. Kode Semik

Kawasan pedesaan merupakan kawasan dengan rasa kekerabatan yang tinggi. Ikatan sosial pada masyarakat desa lebih dekat dibandingkan masyarakat kota. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk di desa lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk di perkotaan yang banyak dan heterogen. Jumlah penduduk rendah pada masyarakat miskin disebabkan oleh kebanyakan penduduk pedesaan berasal dari pertambahan dan pengurangan penduduknya yang hanya tergantung pada tinggi rendahnya angka natalitas dan mortalitas. Sedangkan jumlah pendatang dari desa ataupun kota lain relatif kecil.

Jika dilihat secara fisik, lingkungan desa masih berada di lingkungan yang alamiah sehingga ketergantungan masyarakat desa akan alam masih sangat kuat. Secara sosial, kehidupan masyarakat desa dinilai jauh dari konflik. Standar kehidupan masyarakat desa biasanya


(13)

hanya sebatas pada ketersediaan kebutuhan untuk hari ini saja. Jarang dari masyarakat desa yang mengenal istilah deposito atau tabungan sebagaimana yang biasa diketahui oleh masyarakat kota. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa sekitar 63,5% penduduk miskin hidup di daerah pedesaan Oleh karena itu, tidak sedikit masyarakat pedesaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Tingkat kebutuhan mereka hanya terbatas pada kebutuhan yang penting saja seperti kebutuhan pangan.

4.2.2. Analisis Scene 2

Visual Audio

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 5

Narator: Bagi bocah 7 tahun ini kehidupan sangat sederhana yang dijalani keluarganya bukan suatu beban yang berat.


(14)

A. Analisis Leksia

Scene ini menampilkan sosok seorang anak bernama Siti mengenakan penutup kepala, kemeja putih, rok merah, serta menyandang sebuah tas ransel berwarna merah muda di punggungnya. Siti berdiri di depan sebuah meja kayu yang sudah terkelupas dan usang. Di atas meja tersebut terdapat sebuah penutup makanan berukuran cukup besar. Siti membuka penutup makanan tersebut kemudian ia mendapati sebuah piring berwarna hijau dalam keadaan kosong seperti yang ditampilkan pada gambar 4. Siti memegang piring tersebut dan mengusap-usap bagian dalam piring tersebut dengan tangan kanannya. Ia memandang piring tersebut. matanya menyipit dan bibirnya terlihat melengkung ke bawah.

Teknik pengambilan gambar pada gambar pertama menggunakan teknik medium shot. Gambar 3 menampilkan bagian belakang sosok Siti. Pada gambar 4, teknik pengambilan gambar menggunakan close up. Angle kamera menggunakan high angle. Gambar ini menampilkan sebagian kepala Siti serta piring yang dipegangnya. Teknik pengambilan gambar pada gambar 5 menggunakan teknik medium close up. gambar 5 menampilkan ekspresi wajah Siti.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa Siti mengenakan penutup kepala, kemeja putih dan rok merah? Mengapa Siti memegang piring kosong? Mengapa Siti menatap piring yang kosong?

2. Kode Proaretik

Kemeja putih dan rok merah yang dikenakan Siti merupakan pakaian seragam sekolah dasar. Oleh sebab itu dapat dikatakan Siti merupakan salah satu siswi sekolah dasar. Penutup kepala yang dikenakan Siti dinamakan jilbab. Jilbab merupakan pakaian yang


(15)

dikenakan untuk menutupi bagian kepala hingga dada dan biasa dipakai oleh perempuan/ wanita muslim.

Piring kosong yang dipegang Siti menunjukkan bahwa Siti mengharapkan sesuatu pada piring yang dipegangnya tersebut. ekspresi wajah Siti dimana tatapan matanya menatap sendu piring tersebut dan bibirnya melengkung ke bawah menandakan kekecewaan bahwa yang diinginkannya di piring tersebut tidak ada.

3. Kode Simbolik

Ekspresi wajah Siti dapat diartikan bahwa ia menyimpan kekecewaan, namun juga dapat diartikan sebagai bentuk kepasrahan. Artinya meskipun Siti merasa kecewa, ia sama sekali tidak memberontak namun tetap pasrah akan segala sesuatu yang dialaminya.

Seragam sekolah yang dikenakan Siti merupakan seragam sekolah dasar dimana sekolah dasar merupakan jenjang terendah dalam tingkatan pendidikan formal. Pada gambar 3 memperlihatkan bagian belakang Siti dengan menggunakan teknik pengambilan gambar medium shot. hal ini memberikan fokus pandangan kepada kegiatan yang dilakukan Siti saat itu yaitu membuka penutup makanan yang ada di hadapannya. Pada gambar 4, posisi high angle bertujuan agar penonton memiliki arah pandang yang sama dengan apa yang dilihat oleh Siti sehingga seolah-olah penonton berada di posisi yang sama dengan Siti. Dan pada gambar 5 menggunakan teknik medium close up memperlihatkan wajah Siti sehingga emosi yang tergambar dalam wajahnya dapat dibaca dengan jelas.

4. Kode Kultural

Siti sebagai seorang siswi dengan jenjang pendidikan rendah, belum memiliki kemampuan dalam mengubah hidupnya yang miskin sehingga menerima dengan pasrah sesuatu yang terjadi di depannya.


(16)

Kemiskinan pada masyarakat biasanya dikaitkan dengan budaya kehidupan masyarakat setempat. Misalnya, pada masyarakat Jawa dikenal istilah narima ing pandum (menerima takdir apa adanya dengan sabar) sedikit banyaknya membentuk persepsi masyarakat untuk bersikap pesimis. Ini menyebabkan kehidupan mereka tidak mengalami kemajuan dan nasib mereka cenderung tidak berubah.

5. Kode Semik

Kemiskinan tidak hanya ditandai sebagai suatu kekuarangan materi semata, namun juga dapat ditandai melalui sikap mereka. ini merupakan salah satu bentuk kemiskinan buatan/ struktural dimana budaya suatu suku mempengaruhi cara berpikir masyarakat. pada masyarakat Jawa diidentikkan dengan image pasrah dan malas, sebagaimana yang disebutkan pada istilah narima ing pandum (menerima takdir apa adanya dengan sabar). Nilai-nilai falsafah ini sering dijadikan dasar penyebab kemiskinan pada masyarakat tradisional Jawa, sebab nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah ini menunjukkan bahwa orang miskin dianggap tidak produktif dan tidak memiliki daya juang serta usaha untuk keluar dari garis kemiskinan


(17)

4.2.3. Analisis Scene 3

Visual Audio

Gambar 6

Gambar 7

Gambar 8

Narator: tugas Siti sederhana saja, bocah kelas dua sekolah dasar ini harus melayani setiap permintaan pembeli. Siti piawai menyediakan bakso ke mangkuk kepada pembeli. Menjual makanan dengan kondisi perut kosong sejak pulang sekolah tentu bukan hal yang mudah. Aroma bakso yang menggoda hanya bisa ia bayangkan saja kelezatannya. Mau tak mau Siti harus bisa

mengendalikan dirinya. Menunggu dan melihat sang

pembeli menikmati bakso dagangannya, sungguh menjadi perjuangan berat bagi Siti. Membuat Siti malu dengan keadaannya sendiri.


(18)

A. Analisis Leksia

Scene ini memperlihatkan Siti mengenakan baju berwarna merah muda dan celana berwarna putih kecokelatan. Siti berjalan kaki sambil mengangkat termos di tangan kanannya dan sebuah ember berisi mangkuk-mangkuk di tangan kirinya. Gambar 7 menyorot ekspresi wajah Siti dengan kepala tertunduk dan bibirnya terlihat melengkung ke bawah. Pada gambar 8 Siti terlihat sedang memberikan sebuah mangkuk berisi makanan kepada seorang pria bertopi yang duduk di hadapannya.

Teknik pengambilan gambar pada gambar 6 menggunakan teknik long shot dengan posisi kamera high angle. pada gambar 7 menggunakan teknik pengambilan gambar close up dengan posisi kamera low angle. pada gambar 8 menggunakan teknik pengambilan gambar long shot dengan posisi kamera high angle.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa Siti berjalan sambil mengangkat termos dan ember? Mengapa Siti menundukkan kepalanya? Mengapa Siti memberikan mangkuk berisi makanan kepada seorang pria?

2. Kode Proaretik

Siti adalah seorang penjual bakso. Termos digunakannya sebagai wadah untuk menyimpan bakso agar tetap hangat saat dibeli, sedangkan ember digunakannya sebagai tempat menyimpan mangkuk-mangkuk bakso dagangannya. Ekspresi Siti yang ditunjukkan pada gambar 7 dengan kepala tertunduk menujukkan bahwa ia tidak percaya diri dan malu dengan pekerjaan yang dilakukannya.

Teknik pengambilan gambar long shot pada gambar 6 bertujuan untuk memberikan gambaran sosok Siti dan kegiatan yang dilakukannya secara jelas. Posisi kamera high angle memberi kesan


(19)

bahwa subjek tidak memiliki kekuatan yang menonjol. Posisi kamera ini memberikan kesan bahwa Siti adalah orang yang lemah dan menyedihkan. Pada gambar 7 teknik pengambilan gambar close up pada memperjelas wajah Siti sehingga penonton dapat membaca ekspresinya. Posisi kamera low angle ditujukan untuk menonjolkan ekspresi Siti. pada gambar 8 teknik pengambilan gambar menggunakan long shot untuk memperjelas kegiatan yang dilakukan Siti. High angle pada gambar 8 melemahkan kedudukan pekerjaan yang dilakukan Siti. 3. Kode Simbolik

Termos yang digunakan Siti bertujuan untuk menyimpan bakso dagangannya agar tetap dalam kondisi hangat dan bersih. Ini melambangkan bahwa pekerjaan yang dijalani Siti dianggap penting dan berharga sehingga ia menyimpan bahan dagangannya di tempat yang baik. Tingkat pendidikan Siti yang masih menduduki bangku sekolah dasar serta kesulitan ekonomi keluarga membuat Siti tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini menunjukkan bahwa sedikit lowongan pekerjaan yang menerima pekerja dengan tingkat pendidikan sekolah dasar. Berjualan menjadi salah satu pilihan Siti karena tidak membutuhkan keahlian pendidikan sekolah.

4. Kode Kultural

Pendidikan sekolah dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan formal terendah di Indonesia. Jenjang sekolah dasar ditempuh selama enam tahun mulai dari kelas satu hingga kelas enam. Umumnya pendidikan sekolah dasar diikuti oleh anak-anak usia 6-12 tahun. Setelah itu mereka dapat menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di Indonesia, setiap orang diwajibkan mengikuti jenjang pendidikan SD dan SMP selama enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di tingkat sekolah menengah


(20)

pertama. Kebijakan ini dikenal sebagai program wajib belajar sembilan tahun.

Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikamati pendidikan wajib yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 jut anak usia sekolah menengah pertama (SMP). Data statistik tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu memiliki kemungkinan putus sekolah empat kali lebih besar daripada mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Untuk data statistic geografis, tingkat putus sekolah anak SD di desa 3:1 dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal tersebut terjadi karena dipicu oleh faktor kekurangan tenaga kerja pengajar serta penghasilan yang tergolong rendah.

5. Kode Semik

Gambaran kemiskinan dapat dilihat pada scene ini dimana pekerjaan mencari nafkah tidak hanya menjadi tanggung jawab kepala keluarga, tetapi juga menjadi tanggung jawab anak. Ketidakmampuan kepala keluarga dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya telah mendorong anak untuk mencari cara menambah penghasilan keluarga. Beberapa anggota keluarga pada masyarakat miskin biasanya memiliki jenjang pendidikan rendah karena waktunya digunakan untuk membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.

Pemerintah juga berupaya untuk memperluas dan memajukan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan wajib sembilan tahun, SD dan SMP. Sejak tahun 2005 pemerintah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sejumlah beasiswa. Penyediaan


(21)

bantuan pendidikan ditujukan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa kurang mampu agar mereka tetap mendapatkan pendidikan bermutu sampai penuntasan wajib belajar sembilan tahun. Namun, pada pelaksanaanya penyaluran dana masih belum merata sehingga masih banyak masyarakat miskin yang kesulitan menempuh pendidikan, sehingga anak-anak harus bekerja menutupi pengeluaran mereka sehingga harus bekerja sepulang sekolah bahkan putus sekolah.

4.2.4. Analisis Scene 4

Visual Audio

Gambar 9

Gambar 10

Narator: Hanya dua ribu rupiah uang yang Siti dapat. Siti bersyukur setidaknya masih ada sedikit rupiah untuk membantu sang ibu. Daripada ia hanya bermain tanpa menghasilkan apapun.


(22)

A. Analisis Leksia

Siti memakai pakaian berwarna merah muda sedang berjalan dengan kepala tertunduk dan menatap sesuatu yang dipegangnya. Kedua tangannya memegang dua lembar uang seribu rupiah. Gambar 10 memperihatkan objek yang dipegang Siti yakni dua lembar uang sebesar seribu rupiah yang terlihat kusut dan lusuh.

Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar 9 adalah medium close up. Posisi kamera menggunakan low angle. Sedangkan pada gambar 10, teknik pengambilan gambar yang digunakan yaitu ekstrem close up. Posisi kamera yang digunakan adalah high angle. B. Lima Kode Pembacaan

1. Kode Hermeneutika

Mengapa Siti menundukkan kepalanya? Mengapa Siti menatap dua lembar uang seribu rupiah? Mengapa Siti memegang uang tersebut?

2. Kode Proaretik

Siti menundukkan kepala menandakan ia pasrah dan kecewa. Dua lembar uang seribu rupiah yang diperolehnya merupakan penghasilan yang diperolehnya dari berjualan bakso. Siti memegang uang tersebut menandakan bahwa uang yang diperolehnya dari hasil kerja kerasnya bukanlah hal yang sia-sia karena masih bisa digunakan untuk menambah penghasilan keluarga.

Teknik pengambilan gambar medium close up pada gambar 9 bertujuan untuk memfokuskan penonton pada sosok Siti. posisi kamera low angle memperkuat karakter Siti sehingga sosoknya pada gambar tersebut lebih menonjol dibandingkan objek-objek lainnya. pada gambar 10 menggunakan teknik pengambilan gambar ekstrem close up tujuannya untuk mengetahui detail objek bahwa yang dipegang Siti


(23)

adalah uang sejumlah dua sejumlah ribu rupiah dengan kondisi uang yang sudah lusuh. Posisi kamera high angle membuat subjek tampak tidak memiliki kekuatan menonjol sehingga posisi kamera ini dimaksudkan untuk melemahkan kedudukan uang tersebut di mata penonton.

3. Kode Simbolik

Uang pecahan seribu rupiah merupakan uang kertas dengan nominal uang paling kecil di Indonesia. Ini melambangkan bahwa Siti mendapatkan penghasilan yang sedikit. Uang tersebut berada dalam kondisi sudah lusuh. Uang seribu rupiah biasa dilakukan dalam transaksi kecil. Kebanyakan transaksi kecil dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah karena penghasilan mereka yang kecil. Itu sebabnya uang yang ditampilkan terlihat lusuh. Ini melambangkan bahwa uang dengan nominal terendah itu kebanyakan digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah.

4. Kode Kultural

Masyarakat menukarkan uang mereka dengan sesuatu yang mereka inginkan dan butuhkan. Besar kecilnya jumlah uang yang dimiliki oleh individu akan berpengaruh pada kehidupan sosial dan ekonomi seseorang. Saat ini uang juga dianggap mampu dalam menaikkan derajat hidup seseorang, dimana semakin besar kekayaan yang mereka miliki, maka semakin tinggi pula derajat hidup mereka, bergitu pula sebaliknya. Uang juga menjadi salah satu faktor munculnya kemiskinan, dimana mereka hanya mampu untuk mendapat penghasilan kecil yang hanya bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka per harinya.

5. Kode Semik

Uang merupakan alat pertukaran utama yang digunakan oleh masyarakat di hampir seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia.


(24)

Uang pada umunya diperoleh jika seseorang bekerja, sehingga memperoleh pendapatan. Pendapatan setiap individu berbeda-beda. Sebagian orang memiliki tingkat pendapatan rendah atau kondisi dimana jumlah pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum (pangan, sandang, rumah, kesehatan, pendidikan) disebut dengan kemiskinan absolut. Terdapat suatu standar pengukuran untuk mendefenisikan masyarakat miskin. Bank Dunia mendefenisikan bahwa masyarakat dinyatakan miskin apabila memiliki pendapatan USD $1-$2/ hari atau sekitar 14-28 ribu rupiah setiap harinya.

4.2.5. Analisis Scene 5

Visual Audio

Gambar 11

Gambar 12

Gambar 13

Narator: Hidup sendiri membesarkan siti bukan perkara mudah bagi Amriah.

Cukup tak cukup, uang 20 ribu rupiah hasil kerja kerasnya harus bisa menutup biaya hidup ia dan Siti.


(25)

A. Analisis Leksia

Scene ini memperlihatkan sosok seorang wanita bernama Amriah. Ia memakai jilbab, baju berlengan panjang dan celana panjang. Tangan kirinya memegang sebuah cangkul. Amriah terlihat berjalan kaki di atas tanah tanpa menggunakan alas kaki. Amriah melangkah masuk ke dalam sebuah sawah yang tergenang oleh air. Setelah itu ia mengangkat cangkulnya dan menggerakkan cangkulnya di dalam genangan air tersebut.

Teknik pengambilan gambar pada gambar 11 dan 12 menggunakan verylong shot. Pada gambar 13 menggunakan teknik pengambilan gambar medium shot.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa Amriah membawa cangkul? Mengapa Amriah masuk ke dalam genangan air? Mengapa Amriah mengangkat dan menggerakkan cangkulnya di atas genangan air?

2. Kode Proaretik

Amriah berjalan sambil memegang sebuah cangkul menandakan bahwa Amriah akan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bidang pertanian. Genangan air tersebut merupakan sawah. Genangan air pada sawah tersebut berfungsi untuk melunakkan tekstur tanah sehingga tanaman padi dapat tmbih dengan baik di sawah tersebut. kegiatan Amriah menggerakkan cangkulnya di dalam genangan air disebut sebagai kegiatan mencangkul. Kegiatan ini bertujuan untuk menggemburkan tanah.

Teknik pengambilan gambar pada gambar 11 dan 12 menggunakan teknik very long shot dengan tujuan untuk memberikan penekanan pada suasana di sekitar area persawahan tersebut, tetapi sosok Amriah sebagai objek masih tetap dapat dikenali. Pada gambar 13 menggunakan teknik pengambilan gambar medium shot. tujuannya


(26)

untuk menampilkan sosok Amriah dan kegiatan yang dilakukannya secara jelas.

3. Kode Simbolik

Cangkul merupakan alat tradisional yang biasa digunakan pada kegiatan pertanian dengan fungsi untuk menggali, meratakan atau menggemburkan tanah. Dalam dunia pertanian, proses penggemburan tanah dianggap sebagai kegiatan yang penting karena dapat membantu proses penanaman tanaman, dan membantu tanaman untuk tumbuh dengan subur. Cangkul yang dipegang Amriah serta pekerjaan yang ia lakukan menunjukkan profesi sebagai seorang petani. Lingkungan dengan pepohonan hijau, dan petak-petak genangan air pada sawah menunjukkan bahwa lingkungan tempat Amriah bekerja merupakan lingkungan pertanian.

4. Kode Kultural

Bertani merupakan jenis pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat desa. Lingkungan umum pedesaan secara geografis terletak pada lingkungan alamiah dengan menampakkan keasrian alam seperti pepohonan, pegunungan, sawah, sungai, dan lembah. Oleh karena itu bertani menjadi pekerjaan atau mata pencaharian mayoritas masyarakat karena mereka hidup bergantung pada pola-pola pertanian. 5. Kode Semik

Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia tahun 2004, lokasi desa pada umumnya terletak dan dekat dengan wilayah usaha tani. Pertanian menjadi sumber pendapatan ekonomi yang dominan. Bertani merupakan mata pencaharian primer bagi masyarakat desa, sedangkan pekerjaan non-agraris dianggap pekerjaan sekunder (sambilan). Buruh tani yang tidak memiliki lahan (mengerjakan lahan orang lain) biasanya hanya mendapat penghasilan yang kecil. Kebanyakan dari mereka tidak


(27)

menerima upah dalam bentuk uang tunai, melainkan bagi hasil. Maksud dari istilah ini adalah bahwa para buruh tani tidak dibayar dengan uang tunai, tapi harus menuggu hingga musim panen tiba, kemudian mereka akan memperoleh sedikit dari hasil panen yang dikerjakannya. Oleh sebab itu, kesempatan untuk mengumpulkan penghasilannya sangat kecil karena biasanya mereka dibayar dengan barang bukan uang.

4.2.6. Analisis scene 6

Visual Audio

Gambar 14

Gambar 15

Gambar 16

Narator: karena musim tandur akan tiba tugas Amriah hanya mencangkul lumpur yang ada di sawah milik tetangganya. Amriah pun enggan menyerah dengan keadaan yang ada. walau lahan sawah yang di cangkulnya cukup besar, Amriah tak ingin rasa lelah mengalahkan semangatnya. Ia sadar siti membutuhkan banyak biaya


(28)

Gambar 17

A. Analisis Leksia

Amriah berdiri di atas lumpur. Pada gambar 15 terlihat sebuah ujung cangkul yang digerakkan di atas lumpur. Pada gambar 16 menampilkan wajah Amriah dengan wajah tertunduk dan bibir terlihat melengkung ke bawah. Pada gambar 17 memperlihatkan kegiatan Amriah sedang mencangkul lumpur dengan baju dan celana panjangnya penuh dengan noda berwarna kecoklatan.

Teknik pengambilan gambar pada gambar 14 yaitu menggunakan teknik very long shot. pada gambar 15 menggunakan teknik pengambilan gambar ekstrem close up. Pada gambar ke 16 menggunakan teknik pengambilan gambar close up. Pada gambar 17 menggunakan teknik pengambilan gambar long shot yang menyorot sosok Amriah dari sisi samping.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa Amriah mencangkul lumpur? Mengapa pakaian Amriah penuh noda kecoklatan?

2. Kode Proaretik

Pekerjaan yang dilakukan Amriah yaitu mencangkul lumpur merupakan bagian dari proses pengolahan sawah. Noda yang terlihat di pakaian Amriah dikarenakan lumpur yang menempel pada pakaian Amriah saat bekerja. Ini menunjukkan bahwa Amriah adalah seorang


(29)

pekerja keras karena terus bekerja tanpa memperdulikan penampilannya.

Teknik pengambilan gambar pada gambar 14 bertujuan untuk menampilkan kondisi lingkungan yang berada di sekitar Amriah yang terdiri dari pepohonan dan persawahan. Pada gambar 15 memperlihatkan secara mendetail proses pengolahan sawah yang dilakukan oleh Amriah yaitu menggemburkan tanah dengan menggunakan cangkul. Teknik pengambilan gambar pada gambar 16 menunjukkan ekspresi wajah Amriah yang menunduk tanda bahwa Amriah kelelahan melakukan pekerjaannya. Pada gambar 17 menunjukkan sosok Amriah yang sedang bekerja mencangkul lumpur. 3. Kode Simbolik

Profesi yang dikerjakan oleh Amriah disebut sebagai buruh pacul atau kuli pacul. Seorang kuli pacul bertugas untuk mengurus lahan pertanian. Disebut sebagai kuli pacul adalah karena lahan yang mereka kelola adalah lahan milik orang lain dan mereka hanya dipekerjakan untuk mengurus lahan milik orang lain tersebut. Pada narasi di atas disebutkan bahwa kebanyakan lahan di daerah tersebut dimiliki oleh tetangga Amriah. Ini mengesankan bahwa di daerah pedesaan tempat Amriah tinggal terdapat kesenjangan sosial antara warga desa yang bekerja mengurus lahan orang lain dengan warga desa yang memiliki lahan pertanian.

4. Kode Kultural

Di dalam struktur masyarakat pertanian, terdapat pola-pola pelapisan sosial didasarkan pada kelompok mana yang memilki lahan pertanian yang paling luas, sedang, sempit dan sama sekali tidak memiliki lahan. Biasanya kelompok yang memiliki lahan pertanian yang luas lalu mempekerjakan orang lain sebagai buruh tani disebut


(30)

sebagai ‘pawongan’ (Jawa). Buruh tani merupakan kelompok lapisan masyarakat desa di posisi paling bawah. Beberapa diantaranya dikenal dengan istilah magersari yaitu kelompok yang tidak memiliki lahan pertanian dan pekarangan, namun memiliki rumah sendiri yang dibangun di pekarangan orang lain dengan cara menumpang. Ada pula disebut dengan mandok kempok yaitu kelompok yang sama sekali tidak memiliki apa-apa kecuali tenaganya. ini menandakan bahwa kesenjangan sosial didasarkan pada luas kepemilikan tanah yang dimiliki individu.

5. Kode Semik

Kesenjangan sosial pada masyarakat desa juga terjadi. Hal ini juga diperngaruhi oleh kondisi ekonomi masyarakat. Seseorang yang memiliki lahan yang luas dianggap memiliki kondisi ekonomi yang mapan. Karena selain mampu untuk memiliki lahan pertanian, orang tersebut juga mampu member gaji para buruh yang bekerja di sawahnya. Sedangkan para kuli tandur dianggap sebagai masyarakat dengan ekonomi sulit karena tidak punya pilihan lain selain mengolah lahan milik orang lain dengan upah yang jumlahnya ditentukan oleh pemilik lahan. Secara sosial orang-orang yang memunyai lahan pertanian dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan para kuli tandur.


(31)

4.2.7. Analisis Scene 7

Visual Audio

Gambar 18

Gambar 19

Gambar 20

Gambar 21

Narator: Di rumah inilah Siti dan Amriah tinggal. Rumah kayu yang jauh dari kata layak. Sebagian besar dinding rumah ini sudah jebol diterpa hujan dan kering.


(32)

A. Analisis Leksia

Sebuah rumah terbuat dari kayu yang sudah kusam. Sebelah kanan atap tersebut terdapat bagian yang sudah rusak dan rapuh. Pada gambar 15 dapat dilihat bahwa atap rumah tersebut sudah rusak. Beberapa bagian atap terlihat banyak yang bolong. Gambar 16 memperjelas bagian atap rumah yang rusak tersebut. Gambar 17 menunjukkan kondisi suatu ruangan dalam rumah tersebut. Terdapat sebuah tungku di sudut ruangan tersebut. Di atas terdapat sebuah panci berukuran kecil berwarna hitam serta beberapa tumpukan kayu tersusun di sebelahnya. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dengan kayu sebagai fondasinya. Lantai ruangan tersebut masih beralaskan tanah.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa rumah kayu tersebut terlihat kusam dan lapuk? Mengapa atap rumah tersebut banyak bagian yang bolong? Mengapa di ruangan tersebut terdapat sebuah tungku dengan beberapa batang kayu di sebelahnya? Mengapa lantai ruangan tersebut beralaskan tanah? 2. Kode Proaretik

Rumah dengan dinding kusam dan lapuk serta bagian atap rusak menandakan bahwa rumah tersebut dalam kondisi tidak terawat. Di dalam rumah tersebut disoroti keadaan suatu ruangan yang didalamnya terdapat sebuah tungku dan beberapa batang kayu di sampingnya. Tungku yang terletak dalam ruangan tersebut menandakan bahwa ruangan tersebut adalah sebuah dapur yang merupakan ruangan yang digunakan dalam proses memasak. Kondisi dapur tersebut terlihat tidak terurus, gelap, dan berantakan menandakan bahwa dapur tersebut jarang digunakan oleh Siti dan Amriah.


(33)

3. Kode Simbolik

Dinding rumah terlihat usang dan jebol sementara atap rumah rusak dan banyak bagian yang bolong menunjukkan bahwa pemilik rumah memiliki ketidakmampuan untuk merenovasi rumah mereka sehingga mereka membiarkan rumah mereka dalam kondisi rusak. Pada bagian dapur rumah, terlihat sebuah tungku kayu dan beberapa potong kayu di sebelahnya. Tungku merupakan alat tradisional yang digunakan untuk memasak. Sedangkan kayu di sebelahnya merupakan bahan bakar untuk menyalakan tungku kayu tersebut. kondisi dapur sebagaimana yang ditampilkan pada gambar 17 dapat diartikan bahwa penghuni rumah adalah rumah tersebut jarang memiliki sesuatu yang bisa dimasak, sehingga kondisi dapur terlihat kotor dan tidak terawat. 4. Kode Kultural

Kebutuhan terhadap rumah sebagai tempat tinggal menjadi salah satu kebutuhan pokok yang harus dimiliki setiap individu atau keluarga. Rumah merupakan suatu tempat tinggal yang berfungsi untuk melindungi manusia dari cuaca, sebagai tempat beristirahat dan sebagai sarana untuk melakukan aktivitas sehari-hari sepeti makan, mandi, berkumpul dengan keluarga atau beristirahat. Secara fisik, rumah Siti dan Amriah masih memenuhi kriteria sebuah rumah (ada pintu, jendela, atap, dinding). Namun, fungsi rumah Siti dan Amriah tidak memenuhi fungsi standar rumah pada umumnya. Bagian atap rumah banyak yang bocor, sehingga tidak mampu lagi melindungi mereka dari cuaca panas ataupun hujan. Selain itu, kondisi dapur Siti dan Amriah tidak menampilkan kondisi dapur pada umumnya yang identik dengan kebersihan. Sebuah dapur biasanya terawat dan bersih karena fungsi dapur sebagai tempat memasak dan mengolah makanan, sehingga harus dijaga kebersihannya. Ini menunjukkan bahwa tempat tinggal Siti dan


(34)

Amriah dianggap tidak memenuhi standar umum sebuah rumah yang layak.

5. Kode Semik

Gambaran kemiskinan dapat dilihat dari keadaan rumah yang tidak menunjukkan standar rumah yang layak dihuni. Bagian rumah banyak yang seharusnya dibenahi dan diperbaiki agar fungsi rumah dapat dinikmati oleh pemiliknya. Kondisi rumah Siti dan Amriah inilah yang memberikan suatu kesimpulan bahwa Siti dan Amriah hidup pada garis kemiskinan. Siti dan Amriah belum mampu menjadikan rumah yang merupakan kebutuhan pokok sebagai rumah yang tidak hanya secara fisik disebut sebagai rumah, namun juga dapat memenuhi fungsi rumah yang layak.

4.2.8. Analisis Scene 8

Visual Audio

Gambar 22

Gambar 23

Narator: Sepiring nasi dengan lauk garam dan kangkung adalah anugerah dari perjuangan mereka hari ini.

Siti dan Amriah masih bisa bersyukur setidaknya ada pengganjal perut hari ini.


(35)

A. Analisis Leksia

Siti dan Amriah sedang duduk bersila dengan posisi saling berhadapan. Di depan mereka terdapat sebuah piring, dan dua buah mangkuk. Piring tersebut berisi nasi, sedangkan masing-masing mangkuk berisi sayuran hijau dan garam. Siti dan Amriah mengarahkan tangan kanan mereka yang memegang makanan dari piring ke arah mulut mereka yang terbuka.

Teknik pengambilan gambar pada kedua gambar menggunakan teknik long shot. posisi kamera pada gambar 18 menggunakan high angle sedangkan pada gambar 19 menggunakan eye level.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa di hadapan mereka terdapat sebuah piring berisi nasi, dan mangkuk berisi sayur dan garam? Mengapa mereka duduk saling berhadapan? Mengapa tangan mereka diletakkan di atas piring?

2. Kode Proaretik

Siti dan Amriah terlihat sedang menyantap makanan yang tersedia. Di hadapan mereka terdapat sepiring nasi, lauk berupa sayuran hijau dan garam. Mereka duduk saling berhadapan karena di hadapan mereka hanya terdapat satu porsi makanan sehingga mereka harus berbagi. Ini menunjukkan bahwa Siti dan Amriah tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum (pangan) keluarga mereka. Ekspresi wajah mereka datar karena makanan yang tersedia di hadapan mereka adalah makanan sederhana dengan porsi dan lauk seadanya sehingga tidak bisa mereka nikmati.


(36)

3. Kode Simbolik

Sepiring nasi, sayur dan garam merupakan menu makanan yang disantap oleh Siti dan Amriah dengan berbagi. Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap individu. Namun, Siti dan Amriah masih belum mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Dalam kalimat yang diucapkan narator dikatakan “sepiring nasi dengan lauk garam dan kangkung adalah anugerah dari perjuangan mereka hari ini.”. Kata ‘anugerah’ merujuk kepada sesuatu yang dianggap luar biasa dan jarang terjadi sehingga patut disyukuri. Itu artinya bahwa menu makanan ini bahkan tidak mampu mereka makan. Pada narasi di menit ke 17 dikatakan “Walau hanya kangkung. Menu hari ini sudah istimewa. Sering kali bila Amriah tidak menerima upah, mereka hanya menggunakan nasi dan garam.”. Padahal garam merupakan bagian dari bumbu dapur dan tidak dapat dijadikan sebagai pengganti lauk karena garam tidak mengandung gizi sebagaimana yang terdapat pada lauk seperti ikan, atau daging. Ini menunjukkan suatu kondisi yang memprihatikan disebabkan ketidakmampuan untuk melengkapi kebutuhan pokok sehari-hari.

4. Kode Kultural

Kebutuhan akan makanan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Namun, masih banyak manusia yang belum mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka. Siti dan Amriah merupakan salah satu gambaran keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan makan mereka. Pada scene diatas terdapat narasi yang mengatakan bahwa Siti dan Amriah masih bisa bersyukur karena masih ada pengganjal perut pada hari itu. Padahal, umumnya setiap manusia dianjurkan makan tiga kali dalam sehari. Selain itu, garam yang pada umumnya digunakan sebagai penyedap masakan dihidangkan menjadi


(37)

pengganti lauk. Makan nasi dengan lauk garam sudah menjadi kebiasaan masyarakat miskin karena pada umumnya mereka tidak mempunyai pendapatan yang cukup untuk membeli makanan yang sehat.

5. Kode Semik

Gambaran kemiskinan terlihat dari ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka. Berdasarkan ketentuan BPS dan Depsos, kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Berdasarkan konferensi ILO tahun 1976 menyebutkan bahwa kebutuhan pangan, sandang, dan papan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu keluarga. Artinya, seseorang atau sebuah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan pokok minimum, khususnya kebutuhan pangan/makanan keluarga tersebut dikategorikan sebagai masyarkat miskin.

4.3.Pembahasan

Dari analisis di atas, terdapat hasil temuan bahwa kemiskinan pada tayangan tersebut dicirikan sebagai masyarakat yang hidup dengan lingkungan rumah saling berdekatan Akses kendaraan yang sulit dijangkau, bekerja di daerah persawahan, konsisi rumah tidak terawat, serta makan seadanya. Kemiskinan oleh tayangan Orang Pinggiran digambarkan sebagai masyarakat yang hidup berkelompok dengan kondisi ekonomi serupa, yaitu menengah ke bawah. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi rumah-rumah yang saling berdekatan antar rumah. Biasanya masyarakat tersebut


(38)

menggantungkan hidupnya pada sektor agraris karena pedesaan masih memiliki keadaan alam yang terjaga. Masyarakat yang dikatakan miskin pada umumnya bekerja sebagai buruh tani dimana mereka hanya bekerja di sawah milik orang lain, sementara mereka tidak memiliki sawah untuk di olah. Pada umumnya, pada masyarakat miskin, bekerja mencari nafkah bukan hanya dilakukan oleh kepala keluarga, melainkan seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak. Mereka harus mencari rezeki di usia mereka yang masih sangat muda, sementara upah yang mereka peroleh sangat sedikit. Tidak seperti anak-anak pada umumnya yang bermain atau beristirahat saat pulang sekolah, anak-anak dari keluarga miskin harus mencari penghasilan tambahan. Anak-anak digambarkan sebagai makhluk lemah yang harus mengerjakan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Kondisi seperti ini membuat anak-anak merasa malu dan rendah diri terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu, kebutuhan sehari-hari mereka pun tidak mencukupi. Mereka harus makan seadanya dan secukupnya dengan menu yang sederhana. Begitu pula dengan pakaian yang mereka kenakan terlihat lusuh dan tidak layak pakai. Sementara kondisi rumah yang tidak terawat dengan banyak bagian yang bocor serta dinding kayu yang ditemukan sudah lapuk.

Masyarakat miskin di simbolkan sebagai masyarakat pedesaan yang hidup berkelompok serta memiliki ikatan sosial yang tinggi antar masyarakatnya. Pedesaan dikaitkan homogenitasnya karena masyarakat pedesaan memiliki kesamaan dalam hal kehidupan sosial, psikologis, agama, kepercayaan, suku, ras, dan jenis pekerjaan. Pada umumnya mereka memiliki sifat pasrah. Artinya menerima semuanya sebagai sebuah takdir, sehingga usaha untuk merubah hidup semakin rendah. Pada umumnya masyarakat hidup sebagai buruh pacul yang bertugas mengolah lahan sawah milik orang lain. Upah yang mereka terima pun pada umumnya hanya berupa uang dengan nominal yang kecil yang belum mampu memenuhi kebutuhan pada hari itu.

Ikatan sosial yang tinggi merupakan ciri masyarakat pedesaan. Tidak hanya itu, biasanya masyarakat pedesaan identik dengan kekerabatan yang tinggi serta hidup jauh dari konflik. Kebanyakan dari kehidupan mereka digantungkan pada sektor pertanian. Meskipun masyarakat pedesaan dikatakan sebagai masyarakat homoogen,


(39)

namun kesenjangan sosial masyarakat masih dapat ditemukan melalui kepemilikan lahan. Mereka yang memiliki ekonomi mapan biasanya mempunyai lahan pertanian sedangkan masyarakat dengan ekonomi rendah hanya bisa bekerja di lahan milik orang lain dengan jumlah upah ditentukan ole pemilik lahan. Kepemilikan lahan tidak hanya menyebabkan kesenjangan dalam segi ekonomi, namun juga sosial karena mereka yang mempunyai lahan memiliki kekuasaan lebih tinggi dibandingkan buruh biasa. Hal ini disebabkan kehidupan para buruh bergantung pada lahan pertanian pemilik lahan tersebut. Upah yang tidak mencukupi membuat mereka kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Tayangan Orang Pinggiran tidak hanya menampilkan kehidupan daerah pinggiran kota, namun juga mengangkat mengenai fenomena kemiskinan di Indonesia, khusunya daerah pinggiran kota. Berdasarkan temuan diatas, tayangan Orang Pinggiran memfokuskan kemiskinan pada:

Kehidupan masyarakat pedesaan kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat desa dianggap sebagai masyarakat tradisional dan homogen. Homogenitas dalam sering terlihat pada kehidupan masyarakat desa. Hal ini disebabkan karena penduduk pedesaan berasal dari daerah pedesaan itu sendiri, berbeda dengan masyarakat kota dimana penduduknya kebanyakan merupakan pendatang. Homogenitas ini menyebabkan masyarakat desa tidak memiliki daya saing karena setiap anggota masyarakat memiliki cara hidup yang sama dan sulit menerima perubahan.

Masyarakat miskin juga dianggap memiliki sikap pasrah atau menerima keadaan apa adanya. Sikap pasrah ini dikaitkan dengan budaya tradisional masyarakat. Misalnya pada mitos masyarakat tradisional Jawa dengan image malas dan pasrah tampak pada pepatah-pepatah yang sering diucapkan oleh masyarakatnya diantaranya mangan ora mangan sing ngumpul (makan atau tidak makan yang penting kumpul), tuna satak bathi sanak (rugi materiil tidak apa-apa yang penting dapat persaudaraan), narima sing pandu (menerima takdir apa adanya dengan sabar) menjadi penyebab mengapa masyarakat pinggiran Jawa kebanyakan miskin. Nilai-nilai pepatah yang


(40)

tersebar mengajarkan kesabaran dan kepasrahan. Sehingga daya saing dan keinginan masyarakat untuk maju sangat rendah.

Tugas untuk mencari nafkah pada masyarakat miskin tidak hanya menjadi tanggung jawab kepala keluarga, namun setiap anggota keluarga memiliki rasa tanggung jawab untuk mencari pendapatan. Anak-anak terlihat tidak mempunyai pilihan lain selain membantu keluarga mencari nafkah sepulang sekolah. Rasa malu dan lelah harus dipendam untuk mendapatkan rezeki. Uang merupakan sesuatu hal yang sulit dicari sehingga mereka bekerja di lebih dari satu tempat setiap harinya. Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:3-4).

Buruh tani merupakan pekerjaan yang identik masyarakat miskin yang tinggal di desa. Orang yang bekerja sebagai buruh tani dianggap tidak memiliki penghasilan yang tetap. Walaupun mendapat upah, tidak akan cukup memenuhi kebutuhan mereka. Pekerjaan sebagai seorang buruh tani merupakan pekerjaan yang dominan dilakukan di daerah pinggiran desa.

Kemiskinan dikaitkan dengan ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan/ makanan, sandang/pakaian, dan papan/rumah. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001). Hal ini disebabkan karena pendapatan mereka pas atau


(41)

bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. makan seadanya dengan porsi sedikit, kondisi pakaian yang sudah lusuh dan usang, serta rumah dalam keadaan rusak seperti tidak layak dihuni menjadi sorotan yang jelas untuk menggambarkan kehidupan masyarakat miskin.

Adanya anggapan bahwa masyarakat miskin tinggal di lingkungan yang jauh dari fasilitas umum yang layak. Kualitas pendidikan rendah dengan sarana prasarana pendidikan sehingga anak-anak sering teringgal pelajaran di bandingkan anak-anak yang bersekolah di kota dengan fasilitas memadai, pelayanan kesehatan kurang sehingga banyak masyarakat yang meninggal karena penyakit yang terlambat ditangani. Serta medan jalan yang sulit diakses sehingga pembangunan sulit dilakukan.

Namun, kemiskinan yang ditampilkan dalam tayangan ini tidak semuanya memberikan dampak negatif. Hal positif yang ditampilkan mengenai masyarakat miskin bahwa masyarakat miskin memiliki kemandirian. Mereka berusaha mengerjakan apa saja untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. kebanyakan dari mereka berinisiatif mencari celah-celah untuk dijadikan sumber pendapatan. Selain itu tayangan ini menampilkan sosok anak yang patuh dan berusaha membant orang tua. sosok Ibu digambarkan sebagai seorang pekerja keras karena mau mengerjakan apa saja demi kebutuhan keluarganya.

Analisis diatas menunjukkan ciri-ciri kemiskinan menurut Suharto (2005:132), diantaranya: (1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan). (2) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). (3) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. (4) Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. (5) Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)


(42)

Munculnya tayangan Orang Pinggiran memberikan gambaran bahwa masih banyak daerah yang penduduknya masuk dalam golongan masyarakat miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data terbaru jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada September 2014, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 27,73 juta orang atau mencapai 10,96 persen dari keseluruhan penduduk. Dilihat dari persebarannya, orang miskin di perkotaan mencapai 10,36 juta jiwa atau 8,16 persen. Sedangkan orang miskin di pedesaan mencapai 17,37 juta jiwa atau sebesar 13,76 persen. Kemiskinan dalam pembahasan diatas dapat dikategorikan ke dalam bentuk kemiskinan struktural. Bentuk kemiskinan ini disebabkan karena faktor-faktor yang disebabkan oleh manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Setiadi dan Kolip, 2011: 797).

Tayangan ini memberikan informasi mengenai gambaran kemiskinan. Bahwa kemiskinan diterjemahkan sebagai suatu kondisi kekurangan materi semata. Sedangkan solusi untuk menanggulangi kemiskinan tidak dibahas sama sekali. Orang miskin ditampilkan sebagai orang yang menyedihkan dan tidak mendapat perhatian sama sekali dari lingkungan sekitar maupun pemerintah. Selain itu muncul faktor-faktor dominan yang terkait dengan kemiskinan pada tayangan ini seperti budaya, lingkungan, agama, suku, serta kapitalisme.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pada tayangan program acara Orang Pinggiran yang tayang di stasiun televisi Trans 7, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tayangan Orang Pinggiran menonjolkan kemiskinan sebagai kondisi yang identik dengan kekurangan secara material dan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari.

2. Kemiskinan disebabkan sebagai bentuk kemiskinan struktural (disebabkan oleh ulah manusia) seperti kurangnya fasilitas suatu daerah serta ketimpangan masyarakat daerah dengan masyarakat kota, serta kapitalisme.

1.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang diperoleh peneliti selama proses penelitian, terdapat beberapa saran yang penulis anggap perlu sebagai masukan, diantaranya:

1. Saran penelitian

Kajian semiotika merupakan kajian yang membutuhkan wawasan yang luas dalam penelitiannya. Oleh sebab itu peneliti hendaknya memperbanyak bahan bacaan sehingga mampu mengkaji topik penelitian secara mendalam.

2. Saran akademis

Diadakannya pelajaran mengenai semiotika. Penelitian dengan menggunkan kajian semiotika sudah banyak dikaji oleh mahasiswa, khusunya mahasiswa ilmu komunikasi. Oleh sebab itu, adanya pelajaran mengenai semiotika akan membantu peneliti selanjutnya


(44)

untuk lebih memahami dan mempertajam topik penelitian yang terkait dengan ilmu komunikasi dengan menggunakan analisis semiotika 1. Saran Praktis

Lewat penelitian ini, diharapkan agar tayangan sejenis ini disajikan seobjektif mungkin mengingat bahwa tayangan ini merupakan reality show yang berarti tayangan yang menampilkan realitas. juga diharapkan tidak mengeksploitasi kehidupan masyarakat miskin sebagai suatu keuntungan semata untuk menaikkan rating acara dan mendatangkan keuntungan bagi stasiun televisi semata.

Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan manfaat dan menjadi refrensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti tayangan reality show dan sejenisnya. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan para peneliti lain dapat menutupi kekurangan tersebut demi mencapai suatu penelitian yang lebih baik lagi di masa depan.


(45)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1.Paradigma Kajian

Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27).

Menurut Denzin dan Guba (dalam Wibowo, 2013: 52) paradigma adalah basis kepercayaan atau metaphysics utama dari sistem berpikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi. Paradigma dalam pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi dan kebijakan terhadap pemilihan masalah.

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, Andy dan Wardhany, 2009:107).

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan). Teori ini beranggapan bahwa unsur objek dan subjek sama-sama berperan dan saling berinteraksi dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan. Pengetahuan tersebut dibangun dari proses kognitif dan interaksinya dengan dunia objek material. Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran


(46)

manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 153).

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma yang menyatakan bahwa kebenaran suatu realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial, yang bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).

Konstruktivisme muncul setelah para ilmuan menolak tiga prinsip dasar positivisme: (a) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas yang terstruktur, (b) hubungan subjek peneliti dengan objek penelitian harus terpisahkan secara tegas guna mengejar objektivitas, (c) hasil temuan harus merupakan generalisasi yang universal, berlaku kapan pun dan di mana pun (Vardiansyah, 2008: 59).

Menurut Von Glasersferld dan Kitchener tahun 1987 (dalam Ardianto dan Q-Anees, 2007: 155) secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivisme adalah menemukan konstruksi peristiwa atau realitas dan, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam


(47)

studi komunikasi, paradigma konstruktivisme ini sering disebut paradigma produksi dan pertukaran makna. Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (Eriyanto, 2008: 37).

Dalam pandangan konstruksionis, tidak ada realitas dalam arti riil, sebelum peneliti mendekatinya. Sesungguhnya yang ada konstruksi atau suatu realitas. Realitas sosial bergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia, dan bagaimana menafsirkannya. Penafsiran dan pemahaman itulah yang disebut realitas. Karena itu, peristiwa dan realitas yang sama bisa jadi menghasilkan konstruksi realitas yang berbeda dari orang yang berbeda (Eriyanto, 2008: 45).

2.2. Uraian Teoritis 2.2.1. Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai suatu yang dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain (Wibowo, 2013: 7).

Menurut Eco (1979), secara terminologis semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa, peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest (1996) mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.” (Sobur, 2004: 96).

Barthes menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu dan metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha


(48)

mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. (Sobur, 2004: 15).

Preminger memberi batasan semiotika yang menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan lewat kata-kata dan tanda-tanda lain digunakan dalam konteks sosial. hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada. (Zamroni, 2009: 92)

Pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni; (Sobur, 2004: 94)

1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.

3. Kebudayaan di nmana kode dan lambang itu beroperasi

Charles Morris menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik (Wibowo, 2013: 5).

1. Sintaktik (syntactic) merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengetian sintaktik kurang lebih adalah semacam ‘gramatika’.


(49)

2. Semantik (semantics) merupakan cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

3. Pragmatik (pragmatics) merupaka suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khusunya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

Kajian komunikasi saat ini telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan. Semiotika signifikasi adalah memberi tekanan pada teori tanda dan pemahamannya pada suatu konteks tertentu (Suprapto, 2009: 98).

Menurut Berger (dalam Sobur, 2004: 31), ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang menjadi rujukan para ahli Pertama adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.

Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa. (Kurniawan, 2001: 14). Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:


(50)

Gambar 2.1. Elemen-elemen makna dari Saussure

Sumber: Fiske, John. 2002. Introduction Communication Studies. London and New York: Routledge, hlm. 44

Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf bernama Charles Sanders Peirce (1839- 1914). Peirce menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda. (Sobur, 2004: 34).

Menurut Charles Sanders Peirce, tanda dibentuk dalam tiga sisi yaitu representament atau tanda itu sendiri, objek yang dirujuk oleh tanda dan akan membuahkan interpretant. Interpretant merupakan tanda seperti yang dicerap oleh benak kita. Mengenai makna sendiri menurut Peirce akan timbul ketika ketiga hubungan elemen tiga sisi tadi bekerja. Interpretant yang terbentuk oleh segitiga makna yang dibuat oleh Peirce ini dapat menimbulkan untaian rantai makna karena sifat makna yang berubah-ubah. Maka itu Peirce mengajukan sebuah gejala tanda yang disebut sebagai dinamisme internal dimana interpretant dari setiap tanda bisa menjadi tanda baru lagi. (Wibowo, 2013: 147).


(51)

Sebuah tanda mengacu pada sesuatu (objeknya), untuk seseorang (interpretannya) dan dalam respek atau penghargaan (ground-nya). Relasi dari ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis. Dalam relasi triadik ini terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol. (Kurniawan, 2001: 21).

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif akibat dari suatu kebiasaan ketika kita meyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004: 35).

Ikon merupakan “tanda” juga karena tampak seerti apa yang ditandakan (signified). Jika dalam contoh di atas, “anjing” sebagai objek yang mewakili suatu realitas yang asli, maka salah satu ciri ikon adalah tidak ada hubungan “nyata” antara objek dan ikon, artinya tampilan ikon itu mirip dengan objek asli namun kita harus berpikir untuk melihat-lihatnya lagi. Dengan kata lain, tampilan ikon selalu semakin jauh dari kenyataan atau keaslian suatu objek. Ikon sebenarnya merupakan modis di mana penanda (signifier) dianggap “menyerupai” atau “meniru” apa yang ditandakan (signified) dilihat, dikenal, didengar, dirasakan, dikecap, atau diciumi (berbau mirip). (Liliweri, 2011: 349)

Indeks memiliki hubungan sekuensial dengan material yang ditandai. Indeks secara langsung dapat dipahami sebagai peristiwa yang dapat bertindak sebagai referensi dari kejadian-kejadian yang tidak secara langsung dapat dipahami. Indeks dengan demikian adalah sesuatu yang terlihat dan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari pandangan. Indeks merupakan petunjuk pertama bagi setiap orang untuk melacak tanda-tanda yang mungkin sudah hilang. Sifat utama indeks adalah


(52)

tidak mempunyai hubungan dengan apa yang ditandakan (signified). (Liliweri, 2011: 350)

Simbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh simbol. Cincin merupakan simbol pernikahan, sepasang angsa melambangkan kesetiaan, seragam merupakan lambang korps, bendera sebagai simbol bangsa, dan jubah putih sebagai simbol kesucian. Jika tanda mempunyai satu arti (yang sama bagi semua orang), maka simbol mempunyai banyak arti (tergantung pada siapa yang menafsirkannya). Manusia berkomunikasi dengan bahasa, bahasa tergantung pada kata dan tata bahasa. Semua kata yang digunakan adalah simbol. Karena mempunyai banyak arti. Karena simbol selalu diwakili oleh kata-kata yang dapat saja memiliki pengertian yang berbeda-beda maka kata Verbender (1986), komunikasi verbal lisan maupun tertulis tergantung pada penguasaan kata dan tata bahasa. (Liliweri, 2011: 350)

Hubungan antara ikon, indeks, dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle berikut ini :

Gambar 2.2 : Semiotic Triangle Ogden and Richards

Sumber: Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 159

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi

acuan simbol


(53)

yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satu pengertian tertentu.

Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu dan juga kesalahan-kesalahan tertentu yang lebih luas dan kompleks (Wibowo, 2013: 11).

Semiotika memecah-mecah kandungan dalam teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana dia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi. Ia mengulas cara-cara beragam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna (Stokes, 2007 : 77).

2.2.2. Semiologi Roland Barthes

Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980), ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks (Wibowo, 2013: 21). Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. (Sobur, 2004: 63).

Semiologi Roland Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah


(54)

kesamaan (equality), tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang meyatukan keduanya (Hawkes, 1977: 130 dalam Kurniawan, 2001 : 22)

Barthes mendefenisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content atau signified. Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memilki makna yang berbeda ketimbang semula. Primary sign disebut sebagai denotatif sedangkan secondary sign adalah salah satu dari konotatif. Fiske menyebut model ini sebgai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dengan signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal (Wibowo, 2013: 21).

Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes:

1. signifier (penanda)

2. signified (petanda) 3. denotativesign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2.3 : Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, hlm. 22


(55)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. (Sobur, 2004: 69).

Konotasi merupakan makna yang subjektif dan bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi dimengerti sebagai makna yang harafiah. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi lebih diasosiasikan degan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku di dalam suatu periode tertentu. (Sobur, 2004: 70).

Signifikasi tahap kedua berhubungan dengan isi, yakni ketika tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi (Wibowo, 2013: 22). Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos (Kurniawan, 2001: 23).


(1)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan

hukum yang berlaku.

Nama : Endowidya Marselina

NIM : 110904034

Tanda Tangan: …………..


(2)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Endowidya Marselina NIM : 110904034

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Analisis Semiotika Representasi Kemiskinan pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7) Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


(3)

(Endowidya Marselina) KATA PENGANTAR

Pujian, rasa syukur, serta terima kasih yang tiada henti-hentinya saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan besar kuasa-Nya dalam hidup penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini hingga akhir. Skripsi ini berjudul Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show (Analisis Semiotika pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7) merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih teristimewa dan sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua penulis, Ir. Tumpal Hasugian, SP (Bapak) dan Dra. Serbaria Aritonang (Mama) karena telah mencurahkan melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan yang terbaik untuk penulis. Terima kasih karena telah memberikan doa, waktu, tenaga, dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menyediakan waktu dan tenaga yang secara ikhlas untuk membimbing dan memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

3. Kepada saudara-saudara penulis Maktua Nella, Tulang Joshua, Bang Rio Bang Felix, dan lainnya yang selalu mendengarkan curahan hati penulis dan selalu memberikan dukungan. Khususnya kepada saudara yang selalu


(4)

dirindukan penulis yaitu member Trio Tandoteng, Tania dan Kuteng yang selalu bersama sejak kecil dan sekarang harus terpisah oleh jarak. Semoga kita bisa kumpul sama-sama lagi.

4. Kepada teman-teman seperjuangan Eva Elfira, Risa Riskayanti, Ummul Khaira, Nurhasanah Harahap, Ewitha, Desi Trinanda, dan Apriani yang selalu mengingatkan penulis untuk segera tamat kuliah.

5. Terima kasih buat teman-teman alumni XII IPA 3 SMAN 3 Medan tamatan 2011 yang masih menjalin tali persahabatan dengan penulis meskipun sudah lama tamat dari SMA. Terutama yang kuliah di USU Eny Noveyona, Nur Tri Hardi, dan M. Dian Nugraha, semoga bisa wisuda sama-sama. Kepada teman-teman lainnya Siska di Solo, Esi, Agung, Anggota H2S (Nona Maharani Hasibuan dan Benny Sianipar) semoga kalian juga cepat lulus dan bisa kumpul lagi.

6. Kepada teman-teman yang menuliskan nama saya di skripsi mereka.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, maka dari itu diperlukan saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang membutuhkannya.

Medan, 14 September 2015

Hormat Saya Endowidya Marselina


(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS KATA PENGANTAR... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar BelakangMasalah ... 1

1.2. Fokus Masalah... ... 7

1.3. Pembatasan Masalah... ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Paradigma Kajian ... 9

2.2. Uraian Teoritis... ... 11

2.2.1. Semiotika ... 11

2.2.2. Semiologi Roland Barthes ... 17

2.2.3. Televisi sebagai Representasi Budaya Massa ... 20

2.2.3.1. Reality Show ... 29

2.2.4. Representasi ... 30

2.2.5. Prinsip Dasar Pengambilan Gambar ... 32

2.2.5.1. Ukuran Pengambilan Gambar ... 33

2.2.5.2. Camera Angle ... 34

2.2.6. Kemiskinan ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.MetodePenelitian ... 38


(6)

3.3. Objek Penelitian ... 39

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.5. Teknik Analisis Data... ... 40

3.5.1. Analisis Leksia ... 41

3.5.2. Kode Pembacaan ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Tayangan Reality Show Orang Pinggiran ... 43

4.2. Analisis Data ... 44

4.2.1. Analisis Scene 1 ... 44

4.2.2. Analisis Scene 2 ... 47

4.2.3. Analisis Scene 3 ... 51

4.2.4. Analisis Scene 4 ... 55

4.2.5. Analisis Scene 5 ... 58

4.2.6. Analisis Scene 6 ... 61

4.2.7. Analisis Scene 7 ... 65

4.2.8. Analisis Scene 8 ... 68

4.3. Pembahasan ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 77

5.2. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79


Dokumen yang terkait

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

16 83 94

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PROGRAM REALITY SHOW “ORANG PINGGIRAN” DI TRANS 7 (Studi Deskriptif Opini Masyarakat di Surabaya Tentang Program Reality Show “Orang Pinggiran” di Trans 7).

0 0 109

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PROGRAM REALITY SHOW “ORANG PINGGIRAN” DI TRANS 7 (Studi Deskriptif Opini Masyarakat di Surabaya Tentang Program Reality Show “Orang Pinggiran” di Trans 7).

3 9 109

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP TAYANGAN REALITY SHOW “MASIH DUNIA LAIN” DI TRANS 7(Studi Deskriptif Opini Masyarakat Surabaya Terhadap Tayangan Reality Show “ Masih Dunia Lain: di Trans 7).

0 4 88

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 11

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 2

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 8

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 1 29

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 3

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PROGRAM REALITY SHOW “ORANG PINGGIRAN” DI TRANS 7 (Studi Deskriptif Opini Masyarakat di Surabaya Tentang Program Reality Show “Orang Pinggiran” di Trans 7)

0 0 27