Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra AdityaBakti

Arlina Permanasari, dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committe of The Red Cross

Awaludin, Hamid. 2012. HAM , Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Bernad, Cornellius. 2014. Peran Komite Palang Merah Internasional Dalam Menangani Krisis Kemanusiaan Dalam Perang Di Timur Tengah (Studi Kasus Konflik Suriah).Universitas Mulawarman : Jurnal Ilmu Hubungan Internasional.

Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. West Publishing Company St. Paul Minn.

Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Global dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.

Buyung Nasution, Adnan, A. Patra M. Zen. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. De GaayFortman, Bas. 2006. Human Rights. UK, Edward Elgar Pub. LtD

Dirdjosisworo, Soedjono. 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Geoffrey Robertson QC, 2002. Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo Harry Purwanto, 2001. Persoalan di sekitar Hak Asasi Manusia yang Berat di

Indonesia, (Yogyakarta: Mimbar Hukum No. 38/VI/2001UGM).

Hasan, Muhammad Tholchah. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: Refika.


(2)

Kusumaatmadja, Mochtar, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung.

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT Alumni.

Scott Davidson, 1994. Hak Asasi Manusia. Cetakan Pertama. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Shaw Malcolm N, 2008. International Law. Cetakan Kelima. New York: Cambridge University Press.

Sriwiyanti Eddyono. 2007. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP. Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Sumaryo Suryokusumo, 2008. Yurisdiksi Pengadilan HAM Nasional, Makalah disampaikan dalam Kelas Khusus Pidana Internasional FH-UGM pada tanggal 8 Mei 2008.

Wahyu Wagiman, 2005. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara. Bandung: Alumni.

Wayan Parthiana, I. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung: Yrama Widya. Wayan Parthiana, I. 2003. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung:

Yrama Widya.

Usman Surur, 2008. Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat Jenderal HAM.

Ach. Tachir, 2013. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Supremasi Hukum. Vol. 2, No. 2, Desember 2013.

Internet

M C Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law (1999) http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-humanity.html. Nuremberg Charter, http://www.currentconcerns.ch/index.php?id=148, diakses 4

Ferbuari 2014.


(3)

BAB III

DIMENSI PELANGGARAN HAM BERDASARKAN KONVENSI JENEWA 1949

3.1 Bentuk-Bentuk Pelanggaran Ham Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut:

1. Pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi.

2. Dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan.

3. Memaksa orang untuk berdinas di angkatan bersenjata sebuah negara yang bermusuhan.

4. Dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang. (Pasal 50 Bab Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Konvensi Jenewa Pertama)

Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa:

1. Penyanderaan

2. Penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.


(4)

3. Deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum. (Pasal 3 Bab I Ketentuan Umum Konvensi Jenewa Pertama)

Dan ringkasan Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54 adalah ketentuan-ketentuan terhadap kewajiban-kewajiban Pihak Peserta Agung dalam menerapkan ketentuan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran dalam hal mencari orang yang disangka telah melakukan atau memerintah untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsaannya, dan bagaimana Pihak Peserta Agung dalam mengambil tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Dan dalam hal penyalahgunaan pula pemakaian lambang atau sebutan tiruan oleh Pihak Peserta Agung itu dilarang dan harus dipertanggungjawabkan.

Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat (Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54). Untuk tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk


(5)

oleh pelanggaran yang diduga telah terjadi.

Selama berlangsungnya konflik, hukuman atas pelanggaran Hukum Perang bisa berupa dilakukannya pelanggaran tertentu atas Hukum Perang dengan sengaja dan secara terbatas sebagai pembalasan (reprisal). Prajurit yang melanggar ketentuan tertentu dari Hukum Perang kehilangan perlindungan dan status sebagai tawanan perang tetapi hanya setelah menghadapi “mahkamah yang berkompeten” (Konvensi Jenewa III Pasal 5). Pada saat itu, prajurit yang bersangkutan menjadi kombatan yang tidak sah tetapi dia tetap harus “diperlakukan secara manusiawi dan, bilamana kasusnya adalah kasus pengadilan, haknya atas pengadilan yang adil dan reguler tidak boleh dicabut”, karena prajurit yang bersangkutan masih dicakup oleh Konvensi Jenewa III Pasal 5.

Spion (mata-mata) dan teroris dilindungi oleh Hukum Perang hanya jika negara yang menahan mereka berada dalam keadaan konflik bersenjata atau perang dan sampai mereka didapati sebagai kombatan yang tidak sah. Tergantung pada keadaan yang ada, mereka bisa dihadapkan pada pengadilan sipil atau mahkamah militer atas perbuatan mereka dan, pada praktiknya, mereka telah dikenai penyiksaan dan/atau eksekusi. Hukum Perang tidak menyetujui dan tidak pula mengutuk perbuatan spion atau teroris karena perbuatan semacam itu berada di luar lingkup Hukum Perang. Negara yang telah menandatangani Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UN Convention Against Torture) mempunyai komitmen untuk tidak menggunakan penyiksaan terhadap siapapun dengan alasan apapun. Setelah konflik berakhir, orang yang telah melakukan pelanggaran apapun atas Hukum Perang, terutama kekejaman, boleh dimintai pertanggungjawaban individual atas kejahatan perang melalui proses hukum.


(6)

Ketentuan-ketentuan yang termuat baik dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol I hanya memberikan kerangka hukum yang umum saja, selanjutnya bagi negara penandatangan harus melengkapi ketentuan tersebut di tingkat nasional. Pelanggaran yang dinyatakan berat, terdaftar dalam Konvensi-Konvensi Jenewa akan tetapi daftar dari semua tindakan lainnya yang bertentangan dengan hukum tersebut tidak disusun. Namun demikian belum tentu suatu perbuatan yang melanggar hukum dan yang tidak terdaftar sebagai pelanggaran berat akan dilihat sebagai pelanggaran ringan, dalam hal ini perlu mempertimbangkan pula ketentuan hukum Konvensi lainnya serta peraturan adat internasional.

Perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat berdasarkan Konvensi Jenewa I, II, III dan IV antara lain Pembunuhan yang disengaja, Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, Perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan. Dalam Konvensi Jenewa I, II dan III menyatakan bahwa pengrusakkan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang akan dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dengan sewenang-wenang.

Dalam Konvensi Jenewa III dan IV disebutkan bahwa :

1. Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh.

2. Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam Konvensi.


(7)

Khusus dalam Konvensi Jenewa IV :

1. Deportasi dan pemindahan secara tidak sah. 2. Penahanan yang tidak sah.

3. Penyanderaan.

Dalam Protokol Tambahan I :

1. Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas fisik maupun mental.

2. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :

a. Serangan terhadap masyarakat sipil.

b. Serangan membabi buta yang merugikan masyarakat sipil /obyek sipil. c. Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang

berbahaya.

d. Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak dipertahankan dan daerah di luar operasi militer.

e. Serangan terhadap orang yg tidak lagi ikut dalam pertempuran. f. Penyalahgunaan tanda pelindung.

4. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :

a. Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang menduduki ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki.

b. Keterlambatan dlm repatriasi tawanan perang atau orang sipil.

c. Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi berdasarkan atas perbedaan ras.


(8)

e. Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa untuk menerima pengadilan yang wajar.

5. Pelanggaran juga dapat berupa tidak dipenuhinya kewajiban yang diberikan oleh Hukum Jenewa. Sedangkan pelanggaran yang dikategorikan tidak berat adalah setiap pelanggaran yang tidak dinyatakan sebagai pelanggaran berat namun yang disebabkan karena tidak dipenuhinya kewajiban untuk bertindak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional.

Tanggung jawab pidana. Tanggung jawab pidana merupakan persyaratan yang harus dipenuhi agar pelanggar dapat dihukum sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukan, masalah tanggung jawab pidana ini diatur dalam dua sistem hukum, masing-masing hukum internasional dan hukum nasional. Pasal 49 Konvensi Jenewa I serta pasal yang sama pada Konvensi Jenewa lainnya, menegaskan bahwa : Pihak peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini seperti ditentukan di dalam pasal berikut. Disamping itu pasal 86 ayat 2 Protokol Tambahan I menegaskan bahwa "Pelaksanaan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa atau Protokol Tambahannya oleh seorang bawahan tidak dapat mengecualikan tanggung jawab pidana maupun disipliner atasannya, apabila keadaan itu atasan tersebut mengetahui atau dapat mengetahui bahwa bawahannya akan atau sedang melakukan pelanggaran dan atasan tersebut tidak berusaha untuk mengambil segala tindakan yang mungkin agar mencegah atau menghentikan pelanggaran itu"


(9)

3.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan

Kategori untuk kejahatan kemanusiaan terhadap anak dan perempuan terkait termasuk dalam kejahatan perang sebagai suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.

Pendapat bahwa dimanapun tempat tinggalnya, individu memiliki sejumlah kekuatan dasar yang tidak dapat dicabut kekuatan politik dimanapun, berdampak secara monumental pada dua titik dalam sejarah. Pertama dampak revolusioner pada perempat abad terakhir, yaitu pada abad ke-18 yang mengilhami dan membenarkan perjuangan kemerdekaan Amerika dari Inggris dan penggulingan kerajaan Perancis. Ide kebebasan individu di atas memunculkan dua pemberontakan dengan pemahaman politis yang lebih dari sekedar pembentukan Republik, yang menjadi awal dari tujuannya. Dasarnya adalah dengan meletakkan kemerdekaan individu sebagai prasyarat dari pembatasan kekuasaan Negara. Ini tidak hanya berlaku di Amerika dan Perancis. Dalam masyarakat manapun, terjadi pembatasan melalui tradisi atau kovenan kebudayaan dan hukum. Namun yang monumental adalah mencantumkan hak-hak warga Negara dalam konstitusi, yaitu hak-hak yang dapat dituntut oleh rakyat kepada pemerintahannya melalui pengadilan.


(10)

Titik terbesar ke dua dalam sejarah HAM adalah proses pembentukannya yang dapat berasal dari hukum domestik dan konstitusi beberapa Negara untuk menjadi sistem universal yang menyediakan perlindungan minimum bagi siapa saja dan dimana saja, akan tetapi hal ini tidak bertahan lama yaitu karena adanya perang dingin antara blok-blok Negara yang berseteru. Amnesti Internasional sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya terhadap korban kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan pelanggaran tidak pernah kunjung berhenti melawan hak-hak kemerdekaan sipil di banyak Negara di dunia. Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1998 di Roma, 120 Negara menyatakan mendukung statute yang menciptakan pengadilan Internasional untuk menghukum mereka yang bersalah karena pelanggaran terburuk atas kemerdekaan fundamental dimanapun kekerasan itu terjadi.

Menurut Bassiouni, hukum pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek hukum pidana dari hukum pidana Internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana. Sedangkan Schwarzenberger tidak memberikan definisi melainkan 6 pengertian tentang hukum pidana Internasional sebagai berikut :

1. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional yang memiliki lingkup kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat Internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan


(11)

kepada Yurisdiksi criminal Negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial Negara tersebut.

2. Hukum pidana internasional dalam arti aspek Internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana Nasional menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu Negara yang terikat pada hukum Internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana Nasionalnya.

3. Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan Internasional yang terdapat di dalam hukum Pidana Nasional yaitu : Ketentuan-ketentuan di dalam hukum Internasional yang memberikan kewenangan atas Negara Nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas Yurisdiksi kriminilnya dan memberikan kewenangan pula kepada Negara nasional untuk menerapkan yurisdiksi kriminil di luar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum Internasional.

4. Hukum pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana Nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum pidana Nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat Internasional.

5. Hukum pidana Internasional dalam arti hukum kerjasama Internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana Nasional adalah semua aktifitas atau kegiatan penegakan hukum pidana Nasional yang memerlukan kerja sama antar Negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.


(12)

6. Hukum pidana Internasional dalam arti kata materiil merupakan objek pembahasan dari hukum pidana Internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan Internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti piracy, agresi, kejahatan perang, genocide, dan lalu lintas ilegal perdagangan narkotika.

Mengenai bentuk daripada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hukum pidana internasional dapat dikemukakan sebagai berikut

1. Berbentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum Internasional umum atau universal, baik yang sudah dirumuskan dalam bentuk tertulis seperti dalam konvensi-konvensi Internasional umum, baik yang sudah berlaku secara sah, maupun yang masih belum berlaku yang berbentuk hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan Internasional.

2. Berbentuk konvensi-konvensi Internasional umum yang memang dengan sengaja di buat dan dirancang untuk menetapkan prilaku kriminal tertentu sebagai suatu yang harus dicegah, diberantas dan dihapuskan.

3. Berbentuk peraturan perundang-undangan Nasional dari Negara-negara yang memang sudah mengatur di dalam hukum pidananya masing-masing atas suatu perilaku tertentu.

4. Berbentuk keputusan-keputusan badan-badan peradilan internasional.

Jenis-jenis tindak pidana Internasional menurut Bassiouni (2004:32) adalah sebagai berikut :

1. Aggression.

2. War crimes.


(13)

4. Crime against humanity.

5. Genocide.

6. Racial Discrimination and apartheid.

7. Slivery and related crimes.

8. Torture.

9. Unlawful human Experimentation.

10. Piracy.

11. Aircraft high jacking

12. Threat and use of force against internationally protected person

13. Taking of civilan hostages

14. Drug offences

15. International traffic in obscene publication

16. Destruction and\or theft of national treasures

17. Environmental protection

18. Theft of nuclear materials

19. Unlawful use of the mails

20. Interference of the submarine cables

21. Falsification and counterfeiting

22. Bribery of foreign public officials

Sedangkan Dautricourt (2010) di dalam karya tulisnya menyebutkan beberapa international crime sebagai berikut :

1. Terrorism. 2. Slavery.


(14)

4. Traffic in women and children (perdagangan wanita dan anak). 5. Traffic in narcotic drugs (perdagangan illegal narkotika). 6. Traffic in pornographic (peredaran publikasi pornografi) 7. Piracy ( pembajakan di laut).

8. Areal high jacking (Pembajakan di udara) 9. Counterfeiting ( Pemalsuan mata uang.)

10. The destruction of submarine cables (pengrusakan kabel-kabel di bawah laut).

Dalam Article 6 Charter of The International Military Trybunal Mahkamah Militer Internasional atau yang juga dikenal dengan London Agreement, Pasal 6 tersebut tidak mendefinisikan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, melainkan hanya menjabarkan kejahatan-kejahatan apa saja yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam pergaulan masyarakat internasional, khususnya masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara, seperti trauma terhadap akibat-akibat yang mengerikan dari Perang Dunia II, sehingga hal-hal yang merupakan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan mendapat prioritas dalam pengaturannya pada dalam internasional. Dalam waktu yang tidak begitu lama telah dihasilkan antara lain, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948, konvensi Genocide pada tahun 1949, dan setahun kemudian dihasilkan konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1953 di kawasan Eropa Barat, lahirlah European Convention on Human Rights and fundamental Freedoms (konvensi Eropa tentang Hak-Hak Asasi dan Kebebasan


(15)

konvensi-konvensi regional tentang hak-hak asasi manusia. Pada tahun 1966, Majelis Umum PBB berhasil menyepakati dua instrumen Hak-Hak Asasi Manusia, yakni, Covenant on Civil and Political Rights dan Covenant on Economic and Cultural Rights. Selanjutnya, berbagai instrumen Hak-Hak Asasi Manusia baik dalam ruang lingkup global dan regional, maupun yang bersifat sektoral serta spesifik, mulai bermunculan. Demikian pula kejahatan-kejahatan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik yang terjadinya berhubungan dengan peperangan, maupun kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam keadaan normal (bukan keadaan perang), baik yang bersifat nasional atau domestik maupun internasional atau transnasional, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga semakin banyak bermunculan. Semua ini dengan akibat-akibat yang tidak berbeda dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh Perang, yakni tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal yang tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara, perbedaan ras, warna kulit, suku, etnis, agama, dan kepercayaan. Sedangkan yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 7 dalam Statuta Roma 1998. Jadi mengenai ruang lingkup dari kejahatan terhadap kemanusiaan sudah mengalami perluasan jika dibandingkan dengan ruang lingkupnya pada awal mula kemunculannya, yakni sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Statuta Mahkamah Militer Internasional (Perjanjian London, 1945). Perluasan ini disebabkan karena perkembangan dari berbagai bentuk dan jenis kejahatan-kejahatan itu sendiri. Tentu saja secara hipotesis dapat dikemukakan, bahwa pada masa-masa yang akan datang dengan semakin bertambah atau berkembangnya bentuk dan jenis-jenis


(16)

kejahatan maka ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan juga semakin bertambah luas. Jadi, untuk sementara waktu dapat dikatakan, bahwa apa yang dinamakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) ini hanyalah merupakan himpunan atau kumpulan dari beberapa kejahatan yang dapat saling berkaitan satu sama lainnya, yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.

Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik dan diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil disebut kejahatan kemanusiaan. Sebagai contoh, kekejaman Tentara Serbia Bosnia terhadap penduduk sipil Bosnia di tahun 1990-an dalam per1990-ang Balk1990-an d1990-an kekejam1990-an Polpot saat memerintah sebagai Presiden Kamboja (1975–1979). Serangan kejahatan kemanusiaan tersebut menimbulkan; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik orang lain secara sewenang-wenang sehingga melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional; penyiksaan; pembunuhan; penghilangan orang secara paksa; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; kejahatan apartheid, yaitu sistem politik yang diskriminatif terhadap manusia atas dasar pembedaan ras, agama, dan suku bangsa; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.


(17)

3.3 Perjalanan Konflik Dan Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Pelanggaran Ham Terhadap Anak Dan Perempuan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional Di Suriah

Tidak bisa dipungkiri bahwa perang Suriah terindikasi begitu banyak kepentingan di dalamnya. Suriah telah menjadi konflik sangat kompleks dan multipolar. Bagaikan potongan kue yang diperebutkan oleh banyak tangan. Suriah menjadi sebuah medan perang besar saat ini. Kubu oposisi terdiri dari lebih dari 1.000 kelompok oposisi bersenjata, dari seribu kelompok ini terbagi menjadi tiga kubu. Nasionalis, Sekuleris, dan Islamis. Dari tiga kubu ini pun jika dijabarkan lagi, maka akan ada perbedaan diantara mereka. Diantara mereka ada kelompok-kelompok kecil nasionalis dan kadang-kadang unit sekuler, mereka berjuang hanya untuk membebaskan rakyat Suriah. Kemudian, ada pula kelompok Brotherhood-salah satu jenis kelompok Muslim yang berjihad di Suriah yang belum dapat dipastikan kemana arah tujuannya setelah Bashar tumbang. Kemudian kelompok Salafi yang mengikuti jejak Arab Saudi. Dan yang terakhir adalah afiliasi al-Qaeda serta kelompok yang sealiran dengan Al-Qaeda, tujuan afiliasi ini jelas ingin mendirikan Daulah Islam.

Salah satu pertempuran yang cukup menguras tenaga adalah di wilayah Safira, dimana ada beberapa kelompok terpaksa mundur dari pertempuran tersebut. Wilayah yang sempat direbut oleh pasukan Syiah dari berbagai milisi ini, akhirnya direbut kembali oleh ISIS/JAN/Ahrar Sham. Ada sekitar 50 Mujahidin ISIS dan JAN yang menjadi gugur di Safira, namun jumlah ini belum dikonfirmasi kebenarannya. Satu hal yang menjadi pertimbangan penting bahwa, ada beberapa kelompok Mujahidin yang mundur dalam peperangan di Safira,


(18)

diantaranya adalah Liwa At-Tauhid. Ini menunjukkan bahwa diantara mujahidin masih belum bisa menyatukan kekuatan untuk menghadapi musuh bersama, atau karena ada alasan lain dengan prasangka baik kelompok tersebut mundur akibat serangan angkatan udara Suriah yang bertubi-tubi. Salah satu komandan yang mundur dari pertempuran adalah Kolonel Abdul Jabbar Akaidi, kelompok Jihad sekuler yang dibantu AS dan Arab Saudi, meninggalkan Jabhat Al Nushra (JAN) dan ISIS bertempur sendirian. Ahrar Al Sham maju ke depan saat itu membantu JAN. Hal ini dimanfaatkan oleh milisi syiah Pro-Assad yang saat itu masuk merebut kota Safira, tenggara dari pusat Aleppo. Jatuhnya Safira berakibat terciptanya jalur penting pasokan senjata antara Damaskus dan Aleppo, dan pasukan Syiah Pro Assad bertahan di utara kota untuk pertahanan dari serangan Mujahidin.Beberapa kutipan pemberitaan dari VOA Islam (5/6/2013) menyatakan bahwa Saking bengisnya mereka (orang-orang Syi’ah –red) anak-anak itu banyak yang mereka bunuh. Perempuan-perempuan (kaum Sunni -red) itu banyak yang dinodai kehormatannya (diperkosa-red). Syukur-syukur setelah dinodai kehormatannya mereka itu masih hidup, banyak diantara mereka itu habis dinodai kehormatannya, dibunuh.

Syria (Suriah) merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang mulai diperhitungkan keberadaannya pada era pasca Perang Teluk. Hal ini bukan tidak mungkin karena ada anggapan bahwa perdamaian di Timur Tengah tidak akan pernah tercapai tanpa campur tangan Suriah. Jika dilihat ke belakang Suriah dahulu merupakan negara yang mempunyai banyak wilayah yang mencakup seluruh negara yang berada di Timur Mediterania antara lain: Yordania,


(19)

Lebanon, Israel, dan Propinsi Turki Hatay tetapi akibat imperialis Eropa menyebabkan Suriah kehilangan wilayahnya Yordania dan Israel dipisahkan dengan berada di bawah mandat Inggris. Lebanon diambil untuk melindungi minoritas Kristennya dan Hatay dikembalikan kepada Turki demi pertimbangan politik untuk Perancis. Perancis dengan politik devide et imperanya berhasil membagi Suriah sendiri menjadi empat wilayah antara lain: Damascus, Lebanon Raya, Allepo dan Lantakia. Tahun 1925 Damascus dan Allepo dikembalikan kepada Suriah. Prancis pada tanggal 28 September 1941 memberikan kemerdekaan kepada Suriah, dan diikuti dengan proklamasi kemerdekaan bagi Lebanon pada 26 November 1941.

Konflik Suriah (Konflik Internal) adalah segilintiran definisi yang menafsirkan keadaan sekarang di negara Syiria (Suriah). Dan Juga ada yang mengutarakan Konflik di Suriah adalah konflik Ideologis. Pemberontakan Suriah terjadi 2011-2012 adalah sebuah konflik kekerasan internal yang sedang berlangsung di gelombang pergolakan di seluruh Dunia Arab. Demonstrasi publik dimulai pada tanggal 26 Januari 2011, dan berkembang menjadi pemberontakan nasional. Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan pemerintahannya, dan mengakhiri hampir lima dekade pemerintahan Partai Ba'ath. Pemerintah Suriah dikerahkan Tentara Suriah untuk memadamkan pemberontakan tersebut, dan beberapa kota yang terkepung. Menurut saksi, tentara yang menolak untuk menembaki warga sipil dieksekusi oleh tentara Suriah. Pemerintah Suriah membantah laporan pembelotan, dan menyalahkan "gerombolan bersenjata" untuk menyebabkan masalah pada akhir


(20)

kampanye pemberontakan melawan Tentara Suriah. Para pemberontak bersatu di bawah bendera Tentara Pembebasan Suriah dan berjuang dengan cara yang semakin terorganisir, namun komponen sipil dari oposisi bersenjata tidak memiliki kepemimpinan yang terorganisir. Pemberontakan memiliki nada sektarian, meskipun tidak faksi dalam konflik tersebut telah dijelaskan sektarianisme sebagai memainkan peran utama. Pihak oposisi didominasi oleh Muslim Sunni, sedangkan angka pemerintah terkemuka adala

Dapat diyakini publik internasional terus mensoroti konflik negara Suriah tersebut, dan menjadi opini publik dari beberapa kalangan karena beberapa kali media terus memberitakan keadaan genting di negara Syria. Perang saudara di kawasan Timur Tengah ini, cukup menyita perhatian dunia. Tercermin dari banyaknya pihak yang terlibat di sana. Ada Iran, Rusia, Amerika Serikat dan Israel serta tentu saja PBB.Jika dipetakan secara umum, kekuatan di atas terbagi atas dua kekuatan utama. Rezim yang berkuasa di Suriah, pimpinan Presiden Bashar Al-Assad, didukung oleh Iran dan Rusia. Sementara kekuatan oposisi yang ingin menjatuhkan Assad, didukung Amerika Serikat, Israel, sejumlah negara Eropa Barat, serta beberapa negara Islam di Timur Tengah (Arab Saudi dan Qatar) serta negara Islam dari Persia (Turki).PBB juga terlibat atau melibatkan diri dalam upaya mendamaikan perang saudara di Suriah. Tapi sebagaimana biasa, keberpihakan PBB ke rezim yang berkuasa, justru lebih ke pihak Amerika Serikat atau setidaknya terkesan setengah hati.


(21)

Jatuh tidaknya Presiden Assad, sesungguhnya tidak lagi menjadi isu utama. Sebab kalau Assad dikeroyok oleh berbagai kekuatan, nasibnya dan negaranya kemungkinan besar akan sama dengan Muammar Khadafy (Lybia) dan Ben Ali (Tunisia).Tetapi yang paling dikuatirkan, jika perang saudara Suriah berlarut, konflik itu akan sama dengan persoalan Palestina-Israel. Setengah abad pun tidak selesai. Bahkan bukan mustahil, pecahannya akan lebih dahsyat dan dapat mengganggu keseimbangan perdamaian dunia. Sebab letak geografis Suriah sangat dekat dengan Palestina. Tanpa banyak diulas, sesungguhnya dalam perspektif diplomasi, perang saudara Suriah memiliki kesamaan dengan perang Palestina-Israel.

Satu hal lagi yang penting dianstisipasi, konflik Suriah, jika terus bereskalasi, dalam arti dukungan asing terhadap pihak oposisi terus menguat, hal ini dapat menyebabkan meletusnya perang terbuka antara Israel dan Iran. Penyebabnya, Iran dan Israel sudah dalam posisi "siaga". Kalau yang tidak dikehendaki oleh Iran, diganggu oleh Israel, negara pimpinan Ahmadinejad ini akan langsung bereaksi. Iran sejak awal sudah secara terang-terangan menyatakan, jika ada yang mengganggu Suriah, negara itu tidak akan diam. Peringatan Iran itu, secara implisit maupun eksplisit jelas ditujukan kepada Israel. Sementara, Israel pun secara sengaja sudah menyerang salah satu wilayah Suriah. Sekalipun serangan itu tidak secara terbuka diakui oleh Israel, tetapi para intelijen dari berbagai kalangan mengakui adanya serangan tersebut. Sekalipun serangan itu kabarnya hanya ditujukan kepada sebuah rombongan, tetapi rombongan yang dimaksud adalah kelompok yang didukung Iran. Rombongan itu dikabarkan sedang membawa suplai senjata dari Iran menuju Lebanon Selatan.


(22)

Di Lebanon, Iran mendukung kelompok Hisbullah yang sudah puluhan tahun terlibat perang dengan Israel. Jadi serangan tersebut dapat diartikan sebagai gangguan Israel terhadap Iran. Antara Suriah dan Israel sendiri terdapat konflik wilayah yaitu Dataran Tinggi Golan. Di perbatasan itu, Israel memantau setiap gerak Suriah, khususnya yang menuju ke Lebanon Selatan, tempat dimana kelompok Hisbullah bermarkas. Suriah yang berbatasan langsung dengan Israel, pada 1967 terlibat dalam peperangan sengit. Dalam perang itu Israel berhasil merebut Dataran Tinggi Golan. Kawasan yang merupakan salah satu daerah tersubur di wilayah Timur Tengah itu karena ada pepohonan seperti di daerah tropis serta menjadi pusat pengembangan berbagai produk pertanian, hingga sekarang tetap dikuasai Israel. Israel sekalipun mendapatkannya melalui perang, tetapi belakangan mengklaim Dataran Tinggi Golan sebagai salah satu wilayah yang memiliki status "Tanah Perjanjian" atau tanah yang dijanjikan sang Pencipta kepada Israel. Untuk memperkuat status itu, Israel mengerahkan sejumlah arkeolog, menggali berbagai tanah dan bebatuan sebagai alat bukti bahwa Dataran Tinggi Golan dulunya, ribuan tahun sebelumnya merupakan salah satu pusat pemukiman bangsa Yahudi. Sehingga dalam konteks perdebatan, cara Israel mengklaim kepemilikan Dataran Tinggi Golan, nyaris sama dengan apa yang dilakukannya atas wilayah Palestina.

Negara Suriah modern didirikan usai Perang Dunia Pertama, yaitu setelah mendapatkan kemerdekaannya dari Perancis pada tahun 1946. Pasca meraih kemerdekaannya, Suriah kerap diguncang oleh gejolak serta kudeta militer, yang sebagian besar terjadi antara periode 1949-1971. Kemudian antara


(23)

periode 1958-1961, Suriah bergabung dengan Mesir membentuk perserikatan yang dikenal dengan RPA (Republik Persatuan Arab). Perserikatan itu berakhir karena terjadinya kudeta militer di Suriah. Sejak tahun 1963 hingga 2011, Suriah terus memberlakukan UU Darurat Militer, sehingga dengan demikian sistem pemerintahannya pun dianggap oleh pihak barat tidak demokratis. Presiden Suriah adalah Bashar al-Assad, yang telah mengambil tampuk pemerintahan dari ayahnya Hafez al Assad dengan penunjukan secara aklamasi. Serta telah berkuasa di negara itu mulai tahun 2000. Sejak era perang dingin, Suriah terkenal dengan kekuatan militernya di kawasan, dan identik dengan julukan Rusia Timur Tengah. Hal itu berkat kedekatan hubungan Suriah dengan Rusia, sehingga kerap mendapat suplai senjata modern dari negara digdaya itu. Alasan ini jualah yang membuat Israel sedikit segan untuk melakukan perang frontal menghadapi Suriah dalam persengketaan Dataran Tinggi Golan. Di samping itu, Suriah menjadi tumpuan beberapa negara kawasan dalam menyelesaikan konflik militer yang sering terjadi di Timur Tengah.

Fakta membuktikan, bahwa sebagian besar negara Arab adalah aliansi abadi blok Barat, yang dinakhodai langsung oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan Super Power tunggal dunia. Keberadaan kekuatan militer Suriah di kawasan tentu saja menjadikan mereka jengah, karena dianggap sebagai kekuatan lawan. Tidak jarang, beberapa kasus sebelumnya sudah pernah diangkat untuk merontokkan Suriah terutama presidennya, namun semuanya gagal. Terpaan Badai Arab Spring 2011 (Badai Musim Semi Arab 2011), yang telah merontokkan beberapa kekuatan besar di negeri Arab. Ternyata


(24)

dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal sebelumnya, presiden Suriah Bashar al Assad dengan sangat optimis telah mengungkapkan, bahwa badai Musim Semi Arab tidak akan menerpa Suriah, karena rakyat Suriah secara umum telah memperoleh hak-hak mereka secara adil, jadi tidak ada alasan bagi rakyat Suriah untuk melakukan revolusi di negara tersebut. Namun, kesempatan emas itu nampaknya tidak disia-siakan oleh pihak-pihak tertentu. Terbukti dengan merebaknya amunisi perlawanan rakyat yang dimotori oleh kelompok minoritas di negara tersebut. Yang menurut informasi dari pejabat Suriah, mereka pihak yang berkepentingan sengaja mendukung kelompok minoritas untuk melakukan perlawanan demi suksesnya target jahat dalam menghancurkan Suriah dari dalam.

Sehingga kelompok negara-negara Arab yang selama ini berseberangan dengan Suriah, yang memang telah mendominasi Liga Arab tersebut. Mendorong lembaga tertinggi negara-negara Arab itu untuk membekukan keanggotaan Suriah, serta menyerahkan kasus Suriah kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera diselesaikan secara internasional. Selanjutnya, hal ini pulalah yang membuat Rusia dan Cina sebagai mitra abadi semakin tidak nyaman di kursinya. Karena mereka merasa termasuk kelompok yang paling dirugikan berkaitan dengan masalah Suriah, jika putusan DK PBB itu disahkan. Yang pada akhirnya berujung pada jatuhnya veto dari kedua negara adidaya tersebut.


(25)

BAB IV

UPAYA HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL DI SURIAH

4.1 Upaya-Upaya Yang Telah Dilakukan Dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata Non-Internasional Di Suriah

Jatuhnya ribuan korban jiwa dalam konflik Suriah yang mendorong peranan PBB untuk menghentikan konflik tersebut yang telah meluas tersebut.

Syrian Observatory for Human Rights yang berkantor di London melaporkan, jumlah korban tewas sampai akhir Januari mencapai sedikitnya 136.227 orang. Kepala lembaga tersebut, Rami Abdel Rahman, mengatakan bulan Januari adalah salah satu bulan yang paling berdarah sejak konflik dimulai bulan Maret tahun 2011. Di informasi update lainnya terdapat korban tewas saat ini berada di angka 140.041 orang, menurut Observatorium yang berbasis di Inggris namun memiliki jaringan aktivis di seluruh wilayah Suriah. Di antara yang tewas adalah 7.626 anak-anak dan 5.064 perempuan.

Observatorium mengatakan semua kasus tersebut termasuk dalam hitungan yang mereka bisa dokumentasikan dengan nama dan dokumen identifikasi, atau gambar serta video. Menurut laporan mereka nasib puluhan ribu orang Suriah masih belum diketahui. Observatorium mengatakan jika dihitung lebih dari 30.000 pejuang tewas dan lebih dari 50.000 tewas dari pasukan pro-Assad. Namun direktur Observatorium, Rami Abdelrahman, mengatakan korban di kedua sisi sebenarnya cenderung jauh lebih tinggi.

Kedua belah pihak mencoba untuk menyembunyikan jumlah korban mereka, sehingga sangat sulit untuk mengukur jumlah korban tewas.


(26)

“Observatorium ingin menunjukkan bahwa statistik ini tidak termasuk nasib lebih dari 180.000 orang yang hilang di dalam penjara rezim,” katanya dalam sebuah pernyataan. “Juga tidak termasuk lebih dari 7.000 yang ditahan oleh pasukan rezim dan kelompok bersenjata yang setia kepada Assad atau ratusan orang yang diculik oleh kelompok pejuang karena mereka diyakini loyalis rezim. Berita terakhir yang dilansir total korban jumlah korban tewas sudah menembus angka 162.000 orang. Kelompok yang bermarkas di Inggris itu mengatakan total korban tewas yang bisa mereka catat mencapai 162.402 sejak konflik pecah pada Maret 2011. “Angka ini bisa lebih banyak karena banyak korban yang tidak terdata,” kata direktur lembaga tersebut, Rami Abdel Rahman, seperti dilansir kantor berita Reuters. Rami mengatakan lembaganya mendapatkan data dari aktivis-aktivis Suriah. Jumlah korban dalam data ini terdiri atas 54.000 warga sipil, 42.700 pemberontak, dan 65.702 anggota militer Suriah. Selain itu, terdapat 62.800 korban dari milisi pro-Pesiden Bashar al-Assad dan warga asing yang berperang di pihak pemberontak.

Selain itu, Rami memperkirakan ada 18.000 orang yang tidak jelas keberadaannya karena ditangkap tentara pemerintah. Sedangkan dari kubu pemerintah, 8.000 orang hilang tanpa jejak. “Ada kemungkinan korban tewas 70.000 orang lebih banyak dari data yang ada atau sekitar 23.000 orang,”. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah tak lagi mencatat jumlah korban konflik Suriah. PBB secara resmi berhenti menghitung jumlah korban pada Juli tahun lalu saat angka korban tewas 100.000 orang.


(27)

Peranan PBB untuk menghentikan konflik tersebut yang telah meluas tersebut. Intervention on intrastate conflict menurut Patrick M. Regan adalah tindakan yang bersifat militer dan/ ekonomi pada permasalahan internal suatu negara, yang ditujukan kepada otoritas pemerintahan negara tersebut agar tercipta suatu perimbangan kekuatan (balance of power) antara pemerintah dan pihak oposisi. Menurut Ronald J. Fisher, ada enam tipe intervensi dari pihak-ketiga yang dapat berjalan tidak hanya di sistem internasional tapi juga sistem lainnya, seperti: konsiliasi, konsultasi, pure mediation, power mediation, arbitrasi, dan

peacekeeping. Lebih lanjut peacekeeping adalah suatu keadaan dimana pihak ketiga menyediakan kekuatan militer untuk mengawasi gencatan senjata atau kesepakatan antar kelompok yang bermasalah dan dapat bergerak di bidang kemanusiaan. Peacekeeping sendiri dapat diartikan sebagai usaha bantuan kepada suatu negara atau wilayah yang terpecah akibat mengalami konflik atau perang, untuk menciptakan kembali keadaan yang kondusif bagi tercapainya perdamaian melalui intervensi pihak-ketiga dengan menggunakan kekuatan multinasional yang terdiri dari kaum sipil, polisi, serta militer..

Di dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdapat 2 badan yang berkenaan langsung tugas sebagai perdamaian dan keamanan internasional yaitu, Majelis Umum dan Dewan Keamanan. PBB dan Dewan Keamanannya, sebagai pihak ketiga berupa organisasi internasional, mempunyai tiga cara dalam mengatasi konflik yang sedang terjadi: preventive diplomacy, peacemaking dan

peacekeeping, dan untuk melakukan ketiga cara tersebut PBB harus melakukan intervensi terhadap negara yang mengalami konflik baik secara diplomatik, militer ataupun ekonomi. Intervensi melalui kekuatan militer biasanya berupa:


(28)

pengiriman pasukan dan bantuan intelijen, sedangkan intervensi dari segi ekonomi bisa berupa embargo atau pembatalan dana bantuan.

Berdasarkan piagam pembentukannya, PBB mempunyai empat tujuan utama, yaitu:

1. Memelihara perdamaian dan keamanan dunia;

2. Membangun hubungan damai dan kerja sama antara negara-negara di dunia; 3. Bekerja sama dengan negara-negara anggotanya dalam pemecahan

masalah-masalah internasional, dan

4. Mendorong penghormatan hak asasi manusia

Dalam meredam konflik internasional yang terjadi, setiap tindakan yang dilakukan oleh PBB harus bertujuan:

1. Berusaha mengidentifikasi pada tahap sedini mungkin adanya situasi yang bisa menghasilkan konflik, dan mencoba menggunakan diplomasi sebagai cara untuk menghilangkan potensi konflik sebelum menyebabkan kekerasan. 2. Apabila konflik telah pecah, peacemaking ditujukan untuk memecahkan

masalah-masalah penyebab konflik.

3. Meskipun lemah, tindakan peacekeeping dimaksudkan untuk menghentikan peperangan, menciptakan situasi yang mendukung untuk membantu pelaksanaan kesepakatan perdamaian yang telah dicapai.

4. Siap membantu dalam pembangunan perdamaian dalam konteks: membangun kembali prasarana negara-negara yang sebelumnya terpecaholeh perang dan membangun ikatan damai yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak/negara-negara yang bertikai.


(29)

5. Untuk menangani penyebab konflik terdalam: keputusasaan ekonomi, ketidakadilan sosial dan penindasan politik.

Chapter V dari Piagam PBB menunjuk Dewan Keamanan sebagai badan utama yang bertanggungjawab untuk menjaga dan menstabilkan keamanan dan perdamaian internasional. Department of Peacekeeping Operation (DPKO) PBB terbentuk berdasarkan keinginan Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali untuk memperkuat peranan PBB di dalam preventive diplomacy dan peacekeeping, yang terdapat di laporannya yang dikenal dengan An Agenda for Peace. Pasal 11 ayat 1 Piagam PBB menyebutkan bahwa Majelis Umum dapat merumuskan prinsip-prinsip umum bagi kerjasama guna memelihara perdamaian dan keamanan internasional, termasuk prinsip-prinsip mengenai perlucutan senjata dan pengaturan persenjataan, dan dapat mengemukakan rekomendasi-rekomendasi yang bertalian dengan prinsip-prinsip itu kepada anggota-anggota atau kepada Dewan Keamanan atau kepada kedua-duanya.

Menurut United Nations Peacekeeping Operation: Principles and Guidelines atau yang biasa disebut dengan Capstone Doctrine, landasan normatifPBB dalam membentuk dan menjalankan operasi perdamaian ada empat,meliputi: piagam PBB, HAM, hukum humaniter internasional serta mandat DKPBB.Berbicara tentang PKO tidak dapat terlepas dari masalah HAM dan hukum humaniter internasional sebagai landasan normatif setiap tindakan peacekeeping yang dilakukan oleh DK PBB.

Dalam setiap PKO, pasukan perdamaian yang dikirim oleh DK PBB kedalam suatu konflik diharuskan untuk bertindak sejalan dengan hukum HAM


(30)

internasional dan memahami bahwa setiap langkah yang diambil akan selalu berhubungan dengan HAM, kesemuanya itu juga terdapat di dalam setiap mandat yang diberikan kepada tiap PKO yang dijalankan. Hukum humaniter internasional dikenal dengan sebutan lain yaitu “hukum perang” atau “hukum konflik bersenjata”. Hukum humaniter internasional yang dibuat untuk melindungi pihak-pihak/individu-individu yang tidak atau tidak lagi ikut di dalam peperangan dan menjaga hak-hak dasar dari kaum sipil, korban perang dan pihak-pihak yang tidak termasuk pasukan perang di dalam suatu konflik bersenjata. Hal ini yang menyebabkan hukum humaniter internasional sangat relevan bagi PKO yang seringkali ditempatkan pada masa pasca-konflik yang lebih banyak berhubungan dengan masalah-masalah humaniter. Keterlibatan PBB pada awalnya hanya sebatas mengirimkan tim monitoring konflik karena berkaitan dengan fungsi

humanitarian assistance dan menjaga perdamaian internasional seperti yang tercantum pada Chapter I pasal 1 ayat 1 Piagam PBB: “to maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principal of justice and international law, adjustment or settlement of international dispute or situation which might lead to a breach of the peace;”

Pasal 52 ayat 3 juga menjelaskan tujuan utama PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia: Dewan Keamanan akan memberikan dorongan untuk pengembangan penyelesaian secara damai atas pertikaian setempat atau


(31)

badan-badan regional itu baik atas usaha negara-negara yang bersangkutan maupun atas anjuran Dewan Keamanan. Baru ketika konflik semakin memanas, PBB memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke Suriah dan menjalankan proses perdamaian konflik, seperti yang tercantum pada pasal 24 ayat 1 Piagam PBB: “in order to ensure prompt and effective action by the United Nations, its Members confer on the Security Council primary responsibility for themaintenance of international peace and security, and agree that incarrying out its duties under this responsibility the Security Council actson their behalf.”.

Konflik antar-negara bergeser dan digantikan oleh konflik intrastate

sebagai gangguan yang dominan terhadap keamanan dan perdamaian internasional sekarang ini. Dilatarbelakangi oleh aspek etnis, ekonomi, dan nasionalis yang menginginkan adanya hak otonomi dari sisi internal suatu negara, membuat perang sipil menjadi bentuk perseteruan yang paling umum ditemui dari konflik bersenjata. Biasanya terciri bahwa konflik terjadi antara kelompok oposisi dengan kelompok pro-pemerintah, atau antara kelompok-kelompok yang berseteru karena perebutan kekuasaan. Chapter VI dari Piagam PBB lebih membahas cara-cara konvensional dalam menyelesaikan suatu konflik dan lebih mengandalkan dari kesediaan para pihak yang bersengketa untuk mau bekerjasama dengan DK PBB dalam mencari solusi atau kesepakatan agar konflik dapat diakhiri, dan kemudian mendukung terciptanya situasi yang kondusif supaya kesepakatan yang telah diterima dapat dijalankan. Beberapa pasal dalam


(32)

Chapter VI yang berhubungan dengan langkah-langkah yang diambil oleh DK PBB pada konflik Suriah:

1. Pasal 33: Para pihak pada suatu sengketa, yang jika berkelanjutan memungkinkan untuk membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, harus, pertama-tama mencari jalan keluar melalui negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian hukum, cara-cara alternatif melalui badan regional atau kesepakatan-kesepakatan, atau cara-cara damai sesuai dengan pilihan sendiri.

2. Pasal 34: Dewan Keamanan dapat menyelidiki suatu sengketa atau apapun yang dapat menyebabkan terjadinya permasalahan internasional, untuk menentukan apakah sengketa atau situasi tersebut berkelanjutan dan dapat membahayakan pemeliharaan perdamaian atau keamanan internasional.

3. Pasal 36: Ayat 1; Dewan Keamanan dapat, pada setiap tahapan situasi seperti yang tercantum dalam pasal 33, merekomendasikan prosedur atau metode-metode penyelesaian yang sesuai. Ayat 2; Dewan Keamanan harus mempertimbangkan segala prosedur apapun untuk diterapkan pada penyelesaian sengketa yang telah diterima/dijalankan oleh semua pihak.

Sedangkan Chapter VII dari Piagam PBB lebih membahas mengenai cara-cara lain di luar metode konvensional untuk memaksa pihak yang bersengketa agar mau bekerjasama dalam menyelesaikan konflik, apabila konflik berkelanjutan dan dinilai membahayakan stabilitas regional dan internasional. Seperti yang terdapat pada:


(33)

1. Pasal 41: Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan tanpa penggunaan senjata apapun yang dinilai mampu memberikan pengaruh terhadap keputusannya, seperti gangguan hubungan ekonomi, laut, udara, telekomunikasi, radio hingga pemutusan hubungan diplomatik.

2. Pasal 42: Apabila tindakan-tindakan yang tercantum dalam Pasal 41 telah diambil dan dinilai tidak memadai, Dewan Keamanan mungkin mengambil tindakan melalui laut, udara dan pasukan darat yang diperlukan untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan tersebut dapat mencakup demonstrasi, blokade, atau operasi lainnya melalui udara atau laut, serta pasukan darat anggota PBB.

3. Pasal 51: Tidak tercantum dalam Piagam PBB yang mengganggu hak asasi individu atau kolektif untuk membela diri jika terjadi serangan bersenjata, hingga Dewan Keamanan memutuskan langkah selanjutnya untuk dapat kembali memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Secara normatif, peacekeeping operation yang dijalankan PBB memang hanya terbatas pada mendukung implementasi suatu perjanjian damai atau gencatan senjata namun seringkali PKO tersebut dibutuhkan untuk peranan yang lebih aktif dalam proses peacemaking dan peace building. Namun jika dalam menjalankan misinya para pasukan PKO PBB turut terkena serangan dari pihak yang berkonflik, mereka diperbolehkan untuk menyerang balik dengan tujuan membela diri (self-defense) dan melindungi kaum sipil.


(34)

4.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan Di Suriah Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949

Komite Penyelamatan Internasional (IRC) yang berpusat di Amerika dalam sebuah laporan dengan judul "Suriah Krisis Regional" memberitakan aksi pemerkosaan luas yang dilakukan terhadap perempuan Suriah. Berdasarkan laporan yang menyedihkan itu, perempuan dan gadis Suriah menjadi korban pemerkosaan seorang atau sekelompok teroris bersenjata di Suriah. Kebanyakan perempuan Suriah yang menjadi korban dalam wawancara yang dilakukan oleh komite ini mengatakan, "Dalam banyak kasus aksi pemerkosaan berkelompok atau sendiri dilakukan di jalan dan tempat umum di kota yang terlibat perang, bahkan dalam sebagian kasus para teroris menyerang sebuah rumah dan melakukan aksi pemerkosaan di hadapan anggota keluarganya."

Berdasarkan laporan ini, 240 perempuan yang diwawancarai dan tinggal di kamp-kamp pengungsi Suriah di Lebanon dan Yordania mengakui bahwa orang-orang bersenjata anti pemerintah Bashar Assad menyerang para pengungsi, menangkap dan membawa mereka lalu disiksa dan diperkosa. Komite Penyelamatan Internasional meyakini bahwa aksi pemerkosaan di Suriah telah dijadikan satu strategi perang dari para teroris. Kelompok Salafi ekstrim merupakan anasir yang membuat kondisi Suriah menjadi tidak aman. Mereka berusaha menumbangkan pemerintahan Bashar Assad, melakukan kejahatan dan konflik bersenjata di Suriah dengan dukungan dana Amerika, Arab Saudi dan Qatar. Kelompok Salafi menyampaikan sejumlah alasan yang membuat mereka terlibat perang di Suriah dan membunuh warga sipil negara ini. Mereka menyebut keterlibatan mereka di Suriah untuk membantu rakyat Suriah menghadapi pemerintah, membebaskan rakyat dari kezaliman pemerintah dan menghancurkan


(35)

Allawi. Namun apa yang dilakukan oleh kelompok Salafi selama dua tahun ini menunjukkan bahwa bukan hanya mereka tidak membantu rakyat Suriah, tapi justru melakukan kejahatan tidak berperikemanusiaan. Pembantaian rakyat dan militer Suriah serta pemerkosaan terhadap perempuan merupakan sedikit dari kejahatan yang dilakukan mereka. Yang lebih aneh lagi ketika kelompok Salafi Wahabi ini meyakini bahwa pemerkosaan terhadap seorang perempuan merupakan dosa besar, bahkan siapa yang melakukannya harus dihukum mati.

Perlu diketahui bahwa Muhammad al-Ariqi, Mufti Arab Saudi baru-baru ini mengeluarkan hukum yang membolehkan milisi penentang pemerintah Arab Saudi mengawini perempuan Suriah walaupun hanya beberapa jam saja! Ia mengatakan bahwa anak-anak gadis Suriah yang berusia 14 tahun ke atas termasuk dalam fatwa ini dan mereka harus melakukan akad sementara dengan para teroris Suriah. Tentu saja semua mengetahui bahwa mufti ekstrim Salafi dan anti Suriah ini mengeluarkan fatwa halal yang diharamkan dalam Ahli Sunnah dengan tujuan para teroris dapat melepaskan syahwatnya. Tapi fatwa ini telah memberikan warna agama atas tindakan perkosaan ini guna mengurangi terbukanya kedok siapa sebenarnya para teroris ini.

Beberapa waktu lalu delegasi bantuan kemanusiaan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB memberitakan tindakan pemerkosaan militer Turki terhadap perempuan Suriah yang mengungsi di kamp-kamp pengungsi di perbatasan Turki. Berita pemerkosaan tentara Turki terhadap perempuan Suriah ini bukan laporan pertama yang dirilis. Tahun lalu juga banyak berita yang sama dengan peristiwa ini telah dirilis, bahkan sebagian perempuan Suriah ini dengan menyembunyikan identitasnya membongkar masalah ini di televisi Suriah.


(36)

Dalam laporan delegasi bantuan kemanusiaan HAM PBB disebutkan ada sekitar 29 ribu warga Suriah yang hidup di kamp-kamp pengungsi di dekat perbatasan Turki. Dan selama penyusunan laporan, lebih dari 800 kasus pemerkosaan yang terjadi. Para pengungsi Suriah yang ada di kamp-kamp pengungsi ini berasal dari daerah perbatasan Suriah yang takut akan serangan orang bersenjata dan baku tembak antara militer Suriah dengan para teroris ini.

Pemerintah Barat, Arab dan Turki yang merupakan pendukung asli para teroris di Suriah menyuplai senjata kepada para teroris yang menyebabkan kondisi di negara ini semakin tidak stabil. Namun yang lebih buruk lagi adalah mereka lebih memilih diam atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh para teroris. Pangkalan pelatihan perempuan pembela Suriah untuk pertama kalinya dibentuk di kota Homs dan menerima relawan perempuan dari usia 18 hingga 50 tahun. Untuk menjaga pangkalan pelatihan ini disiagakan sebuah tim perempuan bersenjata, sementara yang lain ditempatkan di pos-pos pemeriksaan kota untuk memeriksa setiap kendaraan. Abir Ramadhan, perempuan berusia 40 tahun yang ikut berlatih di pangkalan pelatihan ini mengatakan, "Sebelum berlatih di sini bagaimana menggunakan senjata, saya tidak punya keberanian tinggal sendirian di rumah. Saya takut mereka menyerang ke rumah. Saya menjadi relawan untuk mempelajari trik-trik militer dan sekarang saya akan membela diri dan negaraku. "Bukti menunjukkan tanggung jawab ada "di tingkat tertinggi pemerintahan, termasuk kepala negara," tambahnya. Komisi penyelidikan PBB itu sebelumnya menyebutkan mereka memiliki bukti bahwa pasukan pemberontak di Suriah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Komisi ditugaskan untuk


(37)

menyelidiki pelanggaran HAM di Suriah tidak lama setelah perang pecah bulan Maret 2011.

PBB berulangkali menuduh rezim Suriah bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Tetapi komisi yang beranggotakan empat orang itu tidak pernah menyebutkan nama atau langsung menuding Presiden Assad. Jaringan organisasi Hak Asasi Internasional kembali mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh tentara Bashar Al Asad di Suriah. Jaringan yang tergabung dari 60 organisasi HAM di seluruh dunia itu mengatakan bahwa perempuan-perempuan Suriah mengalami pelecehan dan penyiksaan oleh tentara rezim. Sebanyak 6 ribu wanita mengalami pemerkosaan sejak meletusnya konflik Suriah. Bahkan, di antara mereka ada yang mengalami pemerkosaan masal oleh tentara rezim. Jaringan HAM yang didanai Uni Eropa tersebut menyandarkan laporannya itu dari wawancara langsung dengan para korban dan petugas medis selama semester pertama tahun ini di Suriah.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa perempuan Suriah sangat rentan dari sasaran peluru sniper. Mereka dan anak-anak mereka dijadikan tameng hidup oleh tentara rezim. Mereka yang menurut undang-undang internasional harus dilindungi tersebut juga menjadi sasaran penangkap hanya karena memiliki hubungan kekerabatan dengan para tahanan yang berada di penjara rezim. Sebagaimana diberitakan sejumlah media internasional, konflik yang telah berlangsung dua tahun lebih di Suriah telah merenggut lebih dari 100 ribu korban jiwa. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 11 ribu korban adalah anak-anak kecil.Anak-anak tersebut juga menjadi sasaran pembantaian dan penyiksaan oleh


(38)

pasukan rezim sebagaimana disebutkan Lembaga Penelitan Oxford, Inggris. Lembaga itu menyebutkan bahwa kebanyakan anak-anak Suriah terbunuh oleh gempuran dan ledakan proyektil yang menghujani tempat tinggal mereka.

Menurut penulis pasal 13 huruf b ICC merupakan landasan yuridis yang kuat dan legal untuk melegitimasi DK PBB dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat dalam konflik Suriah ke ICC. Adapun landasan yuridis lain adalah bahwa Suriah merupakan Negara Pihak (State Party) dari beberapa konvensi HAM internasional berdasarkan asas hukum

Pacta Sun Servanda. Sehingga dengan demikian, maka secara teoritis terjadinya impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat tidak ada lagi. Penulis sepenuhnya percaya dan yakin bahwa inilah cara yang paling baik yang dapat ditempuh untuk mengadili para Penjahat Kemanusiaan dalam konflik Suriah, seperti halnya kebijakan yang diambil pada tanggal 31 Maret 2005 DK PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1593 untuk menyerahkan situasi di kota Darfur, Sudan, kepada jaksa penuntut ICC. Sehingga pada tanggal 6 Juni 2005 jaksa penuntut ICC Luis Moreno Ocampo secara resmi membuka penyelidikan atas kejahatan-kejahatan yang terjadi di Darfur. Setelah melalui serangkaian koordinasi dengan DK PBB akhirnya pada tanggal 27 Februari 2007 jaksa penuntut ICC menyerahkan kepada Kamar Pra Peradilan (Pre Trial Chamber) I yang dipimpin ole majelis hakim: Akua Kuenyehia, Anta Ucaka dan Sylvia Steiner. Surat panggilan terhadap Ahmad Harun (mantan Menteri Dalam Negeri Sudan) dan Ali Muhammad Ali Abdal-Rahman (pemimpin milisi yang juga dikenal dengan nama Ali Kushyab), untuk menghadiri pemeriksaan awal di ICC. Pada tanggal 2 Mei 2007 majelis


(39)

hakim PTC I mengeluarkan surat perintah penangkapan atas Ahmad Harun dan Ali Kushyab. Selanjutnya Jaksa Luis Moreno Ocampo pada tanggal 14 Juli 2008 meminta kepada PTC I untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Omar Hassan Ahmad Al-Bashir. Karenanya, berangkat dari dasar pijakan tersebut pada Konvensi Jenewa 1949 maka para pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap anak dan perempuan pada konflik bersenjata non internasional di Suriah sudah selayaknya mendapatkan proses peradilan demi keadilan kemanusiaan untuk para korban konflik kemanusiaan yang terjadi di Suriah.

4.3 Perbuatan-Perbuatan Dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan Di Suriah Yang Dapat Dibawa Ke Pengadilan HAM Internasional

Perbuatan-perbuatan dalam konflik kejahatan dalam sebuah peperangan, anak berada di baris terdepan sebagai korban. Mereka mengalami berbagai tindak kekejian. Tak banyak yang bisa lolos dan menemukan kehidupan baru. Sebagian besar bertahan dengan beban psikologis yang dipikul sampai mati. Laporan investigasi PBB mencatat, anak-anak korban perang di Suriah mengalami kekerasan seksual di rumah tahanan pemerintah dan dipaksa bertempur. Sebagian dari anak-anak itu juga disiksa dan digunakan sebagai perisai hidup warga sipil.

Sedikitnya 10.000 anak tewas sejak konflik bersenjata pecah pada Maret 2011 di Suriah. Pelanggaran berat terhadap anak itu dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik. Lebih dari 100.000 orang tewas dan jutaan orang lainnya telantar. Laporan menyatakan, anak-anak mulai usia 11 tahun disekap di rumah tahanan pemerintah bersama orang dewasa. Menurut saksi mata, mereka disiksa agar anggota keluarga yang dicurigai punya hubungan dengan pihak


(40)

oposisi mengaku dan menyerah. Mereka mengalami ancaman dan tindakan pemerkosaan dan berbagai bentuk siksaan seksual, baik anak perempuan maupun laki-laki, serta siksaan fisik dan mental, termasuk dipaksa melihat kerabatnya disiksa.

Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dari kelompok oposisi utama merekrut anak sebagai combatant. Tuduhan itu ditolak oleh juru bicara dewan militer tertinggi pihak oposisi, sebagai contoh Omar Abu Leila (nama samaran). Namun, dikatakan, mungkin saja hal itu dilakukan pemberontak lain. Laporan itu membuktikan, kekejian terhadap anak dalam perang tak pernah menjadi masa lalu. Data PBB mencatat, sedikitnya 300.000 anak di dunia saat ini dipaksa menjadi combatant. Menurut para aktivis hak anak, Konvensi Hak Anak ataupun optional protocol-nya tak tegas dalam soal ini, terutama istilah combatant yang harus didefinisikan ulang. Anak-anak yang terlibat di dalamnya harus diperlakukan sebagai korban. Belum lagi beberapa anak yang mengalami kasus cuci otak atas nama ideology ataupun agama untuk dipaksakan menjadi combatant dan diturunkan di barisan depan untuk bertempur melawan musuh.

Pada 9 April 2014 di wilayah Maan puluhan warga sipil telah pula dibunuh secara brutal. Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, mengatakan sedikitnya 25 anggota pemimpin sekte Alawit yang dikenal pro-Presiden Suriah Bashar al-Assad, dibunuh oleh para militan pemberontak di Provinsi Hama. Stasiun televisi Pemerintah Suriah melaporkan, 10 wanita menjadi bagian dari korban pembantaian itu.


(41)

Pada demonstrasi di kota Daraa di Suriah selatan kekerasan dilakukan oleh pemerintah dengan sedikitnya satu orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka, termasuk dua orang dalam keadaan kritis, ketika pasukan keamanan menggunakan rentetan peluru tajam terhadap ribuan demonstran pada hari ketiga langsung demonstrasi di kota tersebut. Sekurangnya enam orang tewas setelah pasukan keamanan menembaki para demonstran di luar sebuah masjid di kota Deraa, Suriah, Rabu. 23 Maret 2011 dikarenakan demonstrasi massa yang berpusat di dalam mesjid yang menentang pemerintahan rezim yang berkuasa. Selama proses represif pemerintahan rezim Suriah setidaknya telah jatuh 8000 korban wanita selama proses konflik berlangsung dimana sebagian dari korban wanita tersebut masih belum dewasa dan bahkan masih dikategorikan anak dan balita.

Untuk kekerasan sipil yang berlangsung selama konflik bersenjata ini, setidaknya pemerintahan Suriah dikenakan pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang dengan sengaja telah dilanggar selama konflik bersenjata di Suriah berlangsung.

Dalam konflik Suriah ada bukti lain yang memberikan informasi bahwa komandan satuan tidak hanya memerintahkan pembunuhan tetapi juga turun tangan langsung membunuh masyarakat sipil. Seperti yang dikatakan oleh Afif, seorang pegawai karir yang melayani Pengawal Presiden dan ikut serta dalam unjuk rasa di Nawa, mengatakan bahwa kekuatan baru kelompok militer diturunkan termasuk Batalyon 171 Brigade 112, ketika protes dimulai kembali di


(42)

kota pada awal Agustus. Afif mengatakan ia melihat, Kolonel Ali Abdulkarim Sami, membakar pengunjuk rasa dari Kalashnikov dan membunuh satu orang berumur 16 tahun Omran Riad Salman. Human Rights Watch terakhir rekaman diposting di YouTube yang dimaksudkan untuk menunjukkan tubuh seorang pemuda yang kemudian diidentifikasi sebagai Omran Riad Salman yang terbunuh pada 3 Agustus di Nawa. Rangkaian tindakan pasukan keamanan dan militer Suriah di atas jelas dan pasti tidak dapat diterima oleh akal sehat dan nurani kemanusiaan.

Penganiayaan sistematis dilakukan tentara Suriah terhadap warga sipil di Homs, termasuk menyiksa dan membunuh. Ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan," tegas HRW dalam pernyataannya. HRW mengatakan, tentara Suriah telah menewaskan sedikitnya 104 orang di Homs sejak 2 November lalu. Padahal, saat itu Pemerintah Suriah yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad seharusnya sudah menghentikan aksi kekerasan itu, sesuai proposal Liga Arab yang telah disepakatinya.

Beberapa fakta yang dipaparkan di atas memberikan kesimpulan bahwa semua tindakan itu adalah tergolong sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dalam hukum internasional Kejahatan terhadap Kemanusiaan merupakan salah satu jenis/bentuk pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).

Menurut Hukum Internasional HAM berlaku baik dalam situasi damai maupun situasi konflik sehingga secara hukum memiliki kekuatan mengikat terhadap negara termasuk Angkatan Militernya. Suriah terikat secara hukum pada


(43)

ketentuan hukum internasional ini, sebab Suriah merupakan negara pihak dari beberapa konvensi HAM Internasional diantaranya Konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT); the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW); the International Convention on the Elimination of Al Forms of Racial Discrimination (ICERD); and the Convention on the Rights of the Child (CRC) and its Optional Protocol on the involvement of children in armed conflict, dan bahwa Suriah sebagai bagian dari masyarakat internasional seharusnya ikut serta dalam pengkampanyean, perlindungan dan penegakan HAM. Hal ini menurut penulis bahwa sudah seharusnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dipaparkan di atas dibawa ke International Criminal Court (ICC) untuk diadili sesuai ketentuan yang berlaku.

Penekanan dari ICC adalah untuk mengadili individu baik sebagai bagian dari sebuah rezim maupun sebagai bagian dari gerakan pemberontakan, sehingga kegagalan masyarakat internasional untuk mengadili pelaku Pelanggaran HAM berat dan tidak ada lagi pelaku yang tidak dihukum tidak terulang kembali. Akan tetapi dalam kasus ini, Suriah belum meratifikasi Statuta Roma sehingga ini menjadi masalah. Akan tetapi tampaknya para perancang Statuta Roma sudah sejak awal menyadari akan timbulnya masalah seperti ini, sehingga secara tegas menurut pasal 13 huruf b Statuta Roma telah diatur bahwa, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa DK PBB berdasarkan kewenangannya menurut Bab VII Piagam PBB, berhak untuk menyerahkan kepada Mahkamah melalui Jaksa


(44)

Penuntut atas kejahatan yang terjadi di wilayah yang belum atau tidak meratifkasi Statuta.

Pasal 13 huruf b ICC merupakan landasan yuridis yang kuat dan legal untuk melegitimasi DK PBB dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat dalam konflik Suriah ke ICC. Adapun landasan yuridis lain adalah bahwa Suriah merupakan Negara Pihak (State Party) dari beberapa konvensi HAM internasional berdasarkan asas hukum Pacta Sun Servanda. Sehingga dengan demikian, maka secara teoritis terjadinya impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat tidak ada lagi.


(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Rumusan Masalah dan Pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka kesimpulan yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut:

1. Bahwa dalam konflik Suriah telah terjadi Pelanggaran HAM berat (Gross Violation of Human Rights) yang dalam hal ini adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ICC.

2. Selain melanggar hal tersebut para pelaku juga dengan sengaja melanggar pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang dengan sengaja telah dilanggar selama konflik bersenjata di Suriah berlangsung.

3. Bahwa para pelaku Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam konflik Suriah, wajib diadili berdasarkan ketentuan hukum internasional yang dalam hal ini adalah ICC.


(46)

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah paparkan sebelumnya penulis merasa perlu untuk memberikan saran untuk ungkapan dan kesempurnaan penulisan skripsi ini. Adapun saran yang penulis berikan adalah sebagai berikut: 1. Oleh karena serangkaian tindakan pasukan keamanan dan intelijen dalam

konflik Suriah yang kemudian dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap kemanusiaan bersifat sistematis dan meluas, baik dari segi korban dan tempatnya maka penulis menyarankan kepada PBB untuk menugaskan beberapa orang pemantau di Suriah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Human Right Watch dan Amnesty Internasional.

2. Bahwa berhubung karena Suriah bukan merupakan Negara Pihak (State Party) dalam ICC maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa

(United Nations Security Council) wajib untuk mengeluarkan satu Resolusi untuk menyerahkan pengajuan para pelaku kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam konflik Suriah ke ICC oleh Jaksa Penuntut (The Prosecutor) ICC. 3. Agar seluruh Negara anggota PBB mendesak DK PBB untuk secepatnya

mengambil keputusan sebagaimana dimaksud oleh poin 2 di atas.

4. Agar PBB dan Liga Arab mengintensifkan komunikasi guna percepatan penyelesaian konflik di Suriah dan percepatan pengajuan para pelaku kejahatan kemanusiaan di konflik Suriah ke ICC.


(47)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

2.1. Pengertian HAM

HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. secara filosofis, pandangan menurut hak asasi manusia adalah, "jika wacana publik masyarakat global di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu adalah hak asasi manusia." Meskipun demikian, klaim yang kuat dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus memunculkan sikap skeptis dan perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia sampai di jaman sekarang ini. Memang, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "hak" itu sendiri kontroversial dan menjadi perdebatan filosofis terus.14

14

Shaw Malcolm N, International Law. Cambridge University Press, New York, 2008. hal. 67.


(48)

Hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Hak-hak tersebut melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Hak asasi manusia adalah unsur yang amat penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengenai pelaksanaannya, baik hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat seseorang atau sekelompok orang sebagai manusia.

Hak asasi manusia memang merupakan unsur yang amat penting yang pelaksanaannya harus dilakukan baik oleh masyarakat sendiri ataupun oleh pemerintah atau Negara, tapi dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung sepanjang kehidupan umat manusia.

Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas Negara. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, tetapi pelanggaran tersebut juga bisa dilakukan oleh Negara maupun melalui aparat Negara atau pemerintahnya, biasanya pelanggaran oleh Negara sering mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

Permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bukanlah suatu hal yang baru. Sejak Peradilan Nuremberg 1946 dan Peradilan Tokyo telah jelas bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor Negara atau pejabat Negara yang terbukti kesalahannya pun dapat ditindak dan diadili melalui pengadilan.


(49)

Pengertian Hak Asasi Manusia di Indonesia secara tertuang pada UU No 39/1999, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Kebebasan yang dimiliki manusia secara kodratnya melekat pada diri manusia dan membuat manusia sadar akan keinginannya untuk hidup bahagia. Akal budi dan nuraninya, mendapat kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang diinginkannya. Yang kemudian diimbangi rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kandungan yang membuat manusia sadar akan jatidirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Setiap manusia dalam kenyataannya lahir dan hidup di masyarakat. Dalam perkembangan sejarah tampak bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh maknanya dan berkembang setelah kehidupan masyarakat makin berkembang khususnya setelah terbentuk Negara.

Kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya kesadaran akan perlunya Hak Asasi Manusia dipertahankan terhadap bahaya-bahaya yng timbul akibat adanya Negara, apabila memang pengembangan diri dan kebahagiaan manusia menjadi tujuan. Berdasarkan penelitian hak manusia itu tumbuh dan berkembang pada waktu Hak Asasi Manusia itu oleh manusia mulai diperhatikan terhadap serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh Negara. Negara Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kewajiban dasar


(50)

manusia. Hak secara kodrati melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena tanpanya manusia kehilangan harkat dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Republik Indonesia termasuk pemerintah Republik Indonesia berkewajiban secara hokum, politik, ekonomi, social dan moral untuk melindungi, memajukan dan mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia.

Hak asasi manusia yang dikenal saat ini dalam berbagai piagam atau konstitusi sesungguhnya telah diperjuangkan sejak abad ke 13 di inggris. Pada masa raja Inggris John Lackland (1199-1216) memerintah secara sewenang- wenang telah timbul protes keras dikalangan para bangsawan. Protes tersebut melahirkan sebuah piagam agung yang dikenal dengan nama Magna Charta. Di dalam piagam ini pengertian hak asasi belum sempurna karena terbatas hanya memuat jaminan perlindungan terhadap hak-hak kaum bangsawan dan gereja. Pada tahun 1628 di Inggris pula terjadi pertentangan antara raja Charles I dengan parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (The House of Commons) yang menghasilkan petition of rights. Petisi ini membuat ketentuan bahwa penetapan pajak dan hak-hak istimewa harus dengan izin parlemen, dan bahwa siapapun tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan-tuduhan yang sah. Perjuangan hak asasi manusia yang lebih nyata terjadi pada tahun 1689 ketika Raja Willem III revolution. Revolusi ini besar mengawali babak baru kehidupan demokrasi di Inggris dengan suatu perpindahan kekuasaan dari tangan raja ke parlemen. Pemikiran John Locke mempengaruhi Montesquieu dan Rousseau, sehingga mereka menentang kekuasaan mutlak raja. Montesquieu menyusun teori trias


(51)

politica, yaitu konsepsi pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan dalam hukum du contract social Rousseau menyatakan bahwa Negara dilahirkan bebas yang tak boleh dibelenggu oleh manusia lain termasuk oleh raja. Pandangan demikian ini menmbulkan semangat bagi rakyat tertindas ,khususnya di prancis ,untuk memperjuangkan hak asasinya.

Pemerintahan raja yang sewenang-wenang dan kaum bangsawan yang feodalistik menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah strukturnya dari feodalistis menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah pemerintah baru.

Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari; droits de L’homme

(Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia, hak asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah ‘hak-hak asasi’ sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris), grond rechten (Belanda), atau bisa juga disebut sebagai hak-hak fundamental (fundamental rights, civil rights)

Menurut Usman Surur,15

15

Usman Surur, Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat Jenderal HAM, 2008, hal. 29.

Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian tiga buah kata, yaitu :


(52)

1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan

2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak ada

3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

Menurut Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976), hak asasi adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri

Berdasarkan pandangan Para tokoh seperti John Locke, Aristoteles, Montequieu dan J.J. Rousseau, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak asasi mencakup :

1. Hak kemerdekaan atas diri sendiri 2. Hak kemerdekaan beragama


(53)

3. Hak kemerdekaan berkumpul

4. Hak menyatakan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenang-wenang (bebas dari rasa takut)

5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers

Menurut Brierly, pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibagi menjadi: 1. hak mempertahankan diri (self preservation)

2. hak kemerdekaan (independence)

3. hak persamaan pendapat (equality)

4. hak untuk dihargai (respect)

5. hak bergaul satu sama lain (intercourse)

Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si., beberapa macam hak asasi dibedakan menjadi sebagai berikut :

1. hak untuk diperlakukan dengan baik, biasanya dikenal dengan tata karma sesuai anutan budaya yang bersangkutan

2. hak untuk mengembangkan diri, biasanya dikenal dengan harkat untuk mewujudkan keberadaan

3. hak untuk memilih dan dipilih serta terpakai tenaganya dalam pemerintahan, biasanya dikenal dengan demokrasi

4. hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam penerapan peratuaran, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam hukum

5. hak untuk memiliki, membeli, menjual dan memanfaatkan sesuatu, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam perlakuan ekonomi

6. hak untuk beribadah dan menjalankan syariah agama, biasanya dikenal dengan kebebasan beragama


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya selama Penulis menuntut ilmu dan menyelesaikan tugas akhir (Skripsi) ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun yang Penulis pilih sebagai judul Skripsi adalah “Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan berbagai keterbatasan Penulis, baik keterbatasan pengetahuan, pengalaman Penulis dalam menulis karya ilmiah, maupun segi ketersediaan literatur. Oleh karena itu, Penulis dengan besar hati mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.

Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak H. Yuspan Siregar. SE dan Mamak Hj. Naimah Panjaitan yang telah memberikan doa, motivasi, saran, dan dukungan baik secara moril maupun materil. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

2. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik Penulis.

4. Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, SH, MH, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Sulaiman, SH selaku Dosen Pembimbing I, terimakasih atas segala dukungan, bimbingan, dan nasihat yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Makdin Munthe, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, terimakasih atas nasihat, motivasi, dan bimbingan penuh suka cita dan kesabaran, serta bantuan yang sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan.

9. Seluruh civitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Kakak, Abang dan adik Penulis, Irma Lestari Siregar AMkeb, SKM, dr. Ady Chandra Satria Putra NST, drh. Indah Kesuma Siregar, M.Si, Hardi Gading


(3)

Pangondian Harahap, SE , Intan Maysuri Siregar, AMAK, Ahmad Syafrizal Sipahutar, SH dan Indra Kurniawan Siregar yang selalu memberikan doa dan semangat bagi Penulis.

11.Debie Qamara, gadis yang selalu setia menemani Penulis dalam suka duka, terimakasih atas segala dukungan, bantuan, semangat, dan doa yang telah diberikan kepada Penulis.

12.Sahabat Penulis, Abangnda Deny Ruslan Pohan, Muhammad Fajrin Saragih, Akbar Raharja Purba, Dani Hardiansyah Siregar, Sayid Ammar Al Habsyi, Sari Maysarah Damanik, terimakasih atas segala dukungan, motivasi, bantuan, doa yang telah diberikan kepada Penulis serta selalu setia menemani Penulis dalam suka maupun duka.

13.Reborn Auto Club, terimakasih atas segala dukungan, motivasi, bantuan, doa yang telah diberikan kepada Penulis

14.Seluruh teman-teman ILSA ‘Kalian Luar Biasa’, terimakasih atas semua memori selama Penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional.

15.Semua pihak yang telah membantu Penulis baik secara moril maupun materil yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Demikian yang dapat Penulis sampaikan, semoga kita semua selalu diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Maret 2014 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Keaslian Penelitian ... 8

1.6 Tinjauan Kepustakaan ... 8

1.7 Metode Penelitian ... 18

1.8 Sistematika Penulisan ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN ... 22

2.1 Pengertian HAM ... 22

2.2 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ... 29

2.3 Sejarah singkat Konvensi Jenewa 1949 dan Hubungannya terhadap Konflik Bersenjata non Internasional ... 41

BAB III DIMENSI PELANGGARAN HAM BERDASARKAN KONVENSI JENEWA 1949 ... 50

3.1 Bentuk-bentuk pelanggaran HAM Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 ... 50

3.2 Kejahatan Kemanusiaan terhadap Anak dan Perempuan .... 56

3.3 Perjalanan Konflik dan Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pelanggaran HAM terhadap Anak dan Perempuan dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah ... 64

BAB IV UPAYA HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI SURIAH ... 72

4.1 Upaya-Upaya yang telah Dilakukan dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata non Internasional di Suriah ... 72

4.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak dan Perempuan di Suriah ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949 ... 81

4.3 Perbuatan-Perbuatan Dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan Di Suriah Yang Dapat Dibawa Ke Pengadilan Ham Internasional ... 86


(5)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

5.1 Kesimpulan ... 92 5.2 Saran ... 93


(6)

ABSTRAK

Ramadhan Syahputra Siregar

Situasi keamanan Suriah yang semakin memburuk akibat konflik bersenjata non internasional telah menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan pada masyarakat sipil yang diduga terjadinya pelanggaran HAM dan Konvensi Jenewa 1949. Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimana tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan? Bagaimana dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Konvensi Jenewa 1949? Bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah?

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah kajian kepustakaan tentang ilmu hukum empiris. Materi penelitian diambil dari data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara yuridis empiris.

Konflik di Suriah telah terjadi Pelanggaran HAM berat (Gross Violation of

Human Rights) yang dalam hal ini adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan

(Crimes Against Humanity) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ICC. Selain

melanggar hal tersebut para pelaku juga dengan sengaja melanggar pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang telah dilanggar selama konflik bersenjata berlangsung. Para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik Suriah, wajib diadili berdasarkan ketentuan hukum internasional oleh ICC.

Serangkaian tindakan pasukan keamanan dan intelijen dalam konflik Suriah dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan bersifat sistematis dan meluas, baik dari segi korban dan tempatnya maka PBB harus melakukan pemantauan secara intensif di Suriah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh

Human Right Watch dan Amnesty Internasional.

Kata Kunci: Konvensi Jenewa 1949, Kejahatan Kemanusiaan, Konflik Bersenjata Non Internasional, Suriah