Remaja Sebagai Anggota Keluarga

4. Rebellion: sama halnya dengan retreatism, rebellion atau pemberontakan ini juga menolak nilai dan norma. Tetapi berbeda dari pelarian-diri, pemberontakan justru menerima nilai dan norma yang lain, yang berasal dari luar masyarakat di mana individu yang bersangkutan tinggal. Berbeda dari inovasi, pelaku-pelaku pemberontakan tidak menemukan sendiri nilai dan norma yang dijadikannya alternatif, melainkan mengadopsi dari luar orang lain atau masyarakat lain. Lenin dan Karl Mark, misalnya, yang mencetuskan gagasan masyarakat sosialis di Rusia sebagai alternatif dari sistem monarki di bawah kekuasaan Tsar yang berlaku pada waktu itu, adalah contoh tingkah laku inovasi dalam klasi-fikasi Merton. Akan tetapi gerakan-gerakan mahasiswa di beberapa negara Barat yang menentang pemerintah dengan menamakan diri gerakan New-Left Gerakan Kiri Baru atau Neo- Marxisme lebih dekat kepada jenis rebellion oleh karena mereka sesungguhnya tidak melontarkan gagasan baru selain yang diadopsinya dari pandangan-pandangan yang sudah terlebtfi dahulu ada. Dapatlah kiranya sekarang difahami bahwa tindakan nonkonformis atau tindakan menyimpang yang dilakukan oleh sementara remaja dalam suatu masyarakat transisi bukanlah se-lalu khas remaja, karena apa yang dilakukan remaja sebagai reaksi terhadap keadaan anomie, dilakukan juga oleh anggota masyarakat lain sebagaimana uraian Merton tersebut di atas. Jika pun ada hal-hal yang khas remaja, hal itu lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan dan kepribadian remaja yang tidak sama dengan kondisi orang dewasa, sedangkan jenis-jenis reaksinya pada hakikatnya tidak berbeda.

C. Remaja Sebagai Anggota Keluarga

Kiranya tidak dapat diingkari lagi bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak ia lahir sampai datang masanya ia meninggalkan rumah untuk memben-; tuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar-manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu sebelum ia mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya. Maka kita dapat menyaksikan tindak-tanduk orang suku tertentu yang berbeda dari suku lainnya dan di 1 dalam suku tertentu itupun pola perilaku orang yang berasal dari kelas sosial atas berbeda dari yang kelas sosial bawah. Demikian pula agama dan pendidikan bisa mempengaruhi kelakuan seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka, turun-temurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orang tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya. Bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi atau kalau mengutip Sigmund Freud: proses identifikasi. Tetapi dalam masyarakat yang modem, masalah penerusan nilai-nilai dalam keluarga menjadi lebih rumit. Bermacam-macam norma dan nilai yang ada, tidak terbendung lagi masuk ke dalam masyarakat yang dalam bentuknya yang masih tradisional hanya mengenai sejumlah norma dan nilai yang terbatas. Tekno-logi komunikasi menyebabkan masuknya norma dan nilai baru dari luar dan perkembangan-perkembangan dalam masyarakat sendiri pun menyebabkan Perkembangan Peserta DidikDrs. Jumanta, M.Pd. Pertemuan ke-6,7 STKIP Purnama Kampus Plumpang timbulnya norma dan nilai baru. Pada gilirannya, norma dan nilai baru ini masuk ke dalam lingkungan keluarga sehingga terjadilah berbagai macam konflik dan kesenjangan dalam keluarga. Di fihak lain orang tua pun menghadapi berbagai nilai alternatif. la ingin bertindak otoriter terhadap anaknya, karena ia dididik seperti itu oleh orang tuanya sendiri, tetapi kenyataannya anak tidak bisa dididik secara keras seperti itu. Buku-buku dan tulisan-tulisan di majalah pun menganjurkan pendidikan yang lebih demokratis buat anak remaja. Tetapi orang tua berfikir lagi, kalau ia melonggarkan cara mendidiknya, dikhawatirkan anaknya akan menjadi manja dan tidak disiplin. Satu contoh yang seder-hana saja: orang tua menghadapi permintaan anaknya yang mau nyetir mobil sementara usianya baru 14 tahun atau anak gadisnya minta izin ke pesta dan pulangnya lewat tengah malam. Akan diizinkankah permintaan-permintaan seperti ini? Jawabannya serba salah: diizinkan salah, tidak diizinkan pun salah. Padahal 25 tahun yang lalu permintaan seperti ini muncul pun tidak dari fihak si anak. Tetapi terlepas dari keadaan para orang tua pada umumnya yang memang menghadapi masalah karena adanya berbagai perkembangan dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap kehidupan keluarga, dalam masyarakat manapun ada saja orang tua tertentu yang memang tidak bisa mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik. Kita masih ingat misalnya kasus Arie Hanggara yang tewas di tangan ayah kandungnya sendiri setelah menjalani hnkuman melebihi batas yang dijatuhkan ayahnya karena kesalahan-kesalahan yang memang biasa dilakukan oleh anak-anak seusianya. Sebagian orang tua yang bertipe seperti ayahnya Arie Hanggara ini mungkin memang tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk mendidik anak, sedangkan se- bagian yang lain mungkin memang mempunyai kelainan atau gangguan jiwa atau bahkan hanya sekedar sikap yang kurang baik, 1 sehingga mereka salah mengasuh dan mendidik anak sampai akhirnya terjadilah anak-anak yang bermasalah. Pengasuhan dan pendidikan yang salah ini oleh Kempe Heifer digambarkan sebagai lingkungan yang khas untuk anak-anak yang memberi pengaruh yang khusus pula. Mereka mena-makan lingkungan yang khas ini dengan istilah World of Abnormal Rearing dunia pengasuhan yang ti.dak normal yang dising-kat WAR arti harafiahnya: perang. Arti WAR didefinisikan sebagai: kondisi di mana lingkungan tidak memungkinkan anak untuk mempelajari kemam-puan-kemampuan yang paling dasar dalam hubungan antar-manusia Kempe Heifer, 1980, him. 38. Selanjutnya dikatakan bahwa ciri-ciri WAR adalah sebagai berikut tidak perlu semua ciri terdapat dalam suatu WAR tertentu: 1. Anak dipukuli pada sebagian keluarga WAR 2. Anak disalahgunakan secara seksual misalnya dijadikan korban incest atau dipaksakan kawin pada usia masih kanak-kanak, ini pun hanya pada sebagian keluarga WAR 3. Anak tidak diperdulikan ini lebih banyak terjadi 4. Anak dianggap seperti anak kecil terus atau dianggap tidak berarti paling banyak terjadi. Sebagai akibat dari WAR, maka anak-anak menjadi terkckang sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik di luar rumah sendiri. Dengan perkataan lain keluarga WAR seringkali dianggap sebagai lingkungan keluarga di mana banyak terjadi penelantaran dan penyalahgunaan anak. Secara sosiologis, faktor-faktor yang ada kaitannya dengan penelantaran dan penyalahgunaan anak ini menurut Wolff 1981 adalah sebagai berikut: Perkembangan Peserta DidikDrs. Jumanta, M.Pd. Pertemuan ke-6,7 STKIP Purnama Kampus Plumpang 1. Dalam lingkungan masyarakat modern, keluarga modern terisolasi dari lingkungannya sehingga apa yang terjadi dalam keluarga itu tidak dapat sepenuhnya dipantau oleh tetangga- tetangganya. 2. Kepcntingan bersama antara anak dan orang tua makin lama makin melemah sehingga sekarang makin banyak pasangan suami-istri yang tidak ingin mempunyai anak dan kalau ada anak di rumah mudah timbul sikap negatif pada terhadap anak-anak. 3. Anggota-anggota keluarga makin jarang berada di rumah oleh karena adanya kegiatan- kegiatan lain seperti keharusan untuk bekcrja, sekolah, dan sebagainya, yang sebagian besar dilakukan di luar rumah. Ikatan antaranggota keluarga se-makin mengendor sehingga terjadilah pcrceraian dan perpisahan antaranggota keluarga yang makin tinggi. 4. Dalam pada itu tujuan dan harapan pendidikan makin lama makin tinggi, sehingga sejak awal anak sudah dipaksa untuk meraih prestasi akademik yang tinggi. Anak menjadi objek dari ambisi-ambisi pendidikan. 5. Faktor ekonomi yang tidak memungkinkan pemerataan walaupun ada pertumbuhan perekonomian yang pesat. Akibatnya golongan sosial ekonomi rendah tetap tcrlibat dalam tekanan ekonomi dan mereka tidak dapat keluar dari situ. Di Amerika Serikat ini terjadi khususnya di kalangan masyarakat kulit berwama dan kaum emigran. Sementara itu dalam penyelidikannya P.J. Caplan 1984, him. 343-351 menyatakan bahwa berbagai penelitian telah membuktikan bahwa dalam kasus-kasus penelantaran dan pe- nyalahgunaan termasuk menyakiti anak secara fisik danatau psikis terdapat faktor-faktor tertentu yang seringkali muncul. Pada fihak anak didapat bahwa anak-anak yang menjadi korban penelantaran dan penyalahgunaan anak ini berusia 4-15 tahun, lebih banyak anak laki-laki daripada anak perempuan dan tidak menyandang cacat bawaan. Di Amerika Serikat juga tcrbukti bahwa anak-anak ini berasal dari ibu yang tidak menikah atau pemah mengalami perpisahan dengan keluarga semasa Balita pisah dari ayah, ditinggal ibu, dimasukkan ke panti asuhan, dan sebagainya. Mengcnai dua hal yang terakhir ini kiranya masih perlu pembuktian lebih lanjut untuk kondisi Indonesia. Selanjutnya Caplan mengatakan bahwa pada sisi orang tua, faktor-faktor yang sering muncul dalam kasus penelantaran dan penyalahgunaan anak adalah usia orang tua yang masih terlaUj muda, orang tua mengalami gangguan emosional, keadaan sosis ekonomi orang tua rendah, pendidikan juga rendah dan biasan pekerjaan orang tua hanya sebagai tenaga kasar unskilled job ada riwayat kriminal pada masa lalu orang tua dan ada konflil antar orang tua. Faktor-faktor yang mengawali penelantaran dan pen lahgunaan anak menurut Caplan lebih lanjut adalah penya-| lahgunaan obat dan alkohol alkoholisme oleh orang tua da tingkah laku anak nampak tidak normal menangis tanpa alasa nakal berlebihan, dan sebagainya. Caplan justru tidak men mukan banyak anak seperti itu yang orang tuanya menderita sa atau gangguan jiwa yang berat seperti misalnya Psikosis. Hal ir bertentangan dengan anggapan umum bahwa orang tua ya menelantarkan dan menyalahgunakan anaknya tentulah orang tuS yang menderita gangguan jiwa berat. Anggapan umum ini dapat dimengerti oleh karena bent penelantaran dan penyalahgunaan anak ini bisa berupa tindakarwj tindakan kejam yang melebihi batas perikemanusiaan seper memukuli anak, mengunci anak dalam gudang berjam-j£ membiarkan anak kedinginan di luar rumah dengan tidak mer bukakan pintu jika anak terlambat pulang, menyiram anak denga air Perkembangan Peserta DidikDrs. Jumanta, M.Pd. Pertemuan ke-6,7 STKIP Purnama Kampus Plumpang panas atau menyulut anak dengan api rokok. Pada kasus ya ekstrim perlakuan iiii bisa sampai mengambil nyawa anak seper yang terjadi pada kasus Arie Hanggara. Tetapi anggapan-anggapan umum ini, yang dalam bebe| rapa hal didukung pula oleh hasil penelitian, menurut Capl memang banyak yang tidak benar. Hal-hal lain yang suda menjadi anggapan umum juga terbantah oleh penelitian Capla sendiri yaitu bahwa sebagian besar mereka bukan anak sulun| atau anak pertama hanya 31 yang anak sulung atau ana pertama, hanya sedikit yang lahir prematur, hanya sedikit ya ada masalah waktu bayi sulit tidur, sakit-sakitan, tidak respons dan sebagainya, orang tua anak-anak itu tidak mengalami kete belakangan mental, orangtua bukan orang yang terisolir secasosial berbeda dari penelitian Wolff tersebut di atas dan kedua orang tua sama berperan sebagai pelaku bukan hanya ibu. Keadaan di Indonesia sendiri sudah barang tentu tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan di Amerika Serikat di mana penelitian-penelitian tersebut di atas dilakukan. Akan tetapi beberapa kecenderungan memang terjadi juga di Indonesia. Misalnya faktor sosial-ekonomi dan faktor pendidikan. Baik karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi maupun karena keti-daktahuan orang tua yang bersangkutan, kita bisa menyaksikan banyak anak-anak di bawah umur yang mengalami penelantaran dan penyalahgunaan, misalnya anak yang ditarik dari sekolahnya biasanya masih di tingkat sekolah dasar untuk membantu orang— tuanya mencari nafkah, atau anak-anak dipekerjakan sebagai buruh di industri-industri tertentu atau disuruh bekerja di sektor informal pedagang kecil, penjaja koran, dan lain-lain. Kadang-kadang keadaan kebudayaan setempat tidak memungkinkan pemisahan anak-anak dari tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat yang sama kewajibannya dengan orang-orang de-wasa. Maka seperti sudah diungkapkan dalam bab yang terdahulu, kita selalu akan menjumpai kasus-kasus seperti yang terjadi di kalangan masyarakat.desa Singapura kasus 3, Bab II, atau kasus lyah yang dikawinkan pada umur 13 tahun kasus 3, Bab I atau Bonar yang harus ngenek Metro Mini dalam usia remajanya kasus 2, Bab I. Apakah ini merupakan penelantaran dan penyalahgunaan anak? Dari sudut kepentingan anak, apalagi jika digunakan ukuran masyarakat di negara maju, tentunya tidak dapat disangkal lagi. Tetapi ditinjau dari ukuran masyarakat setempat rasanya tidak bisa begitu saja kita nyatakan demikian. Walaupun demikian, terlepas dari adanya situasi yang khas di Indonesia atau di masyarakat berkembang lainnya, ada hal lain yang memungkinkan terjadinya penelantaran dan penya- lahgunaan anak di masyarakat kita. Hal tersebut adalah sikap orang tua yang cenderung dominan dan hak orang tua atas diri anak adalah mutlak. Hal ini dibenarkan oleh masyarakat, sehingga jika ada orang tua yang bertindak melebihi batas atas diri anaknya, diadakan di dua kota tersebut Jakarta dan Banjarmasin bah| remaja pelajar SLTA kelas II tidak bertanya kepada orang tua manakala .mereka membutuhkan sesuatu informasi seperti salnya masalah seksual. Dari tabel di atas jelas bahwa remaja di Jakarta maupun.J Banjarmasin sedikit sekali bertanya tentang masalah seks kepad ibunya daripada kepada sumber-sumber lain. Mungkin hal if tidak sepenuhnya menggambarkan kesenjangan komunikasi tara anak dan orang tua, akan tetapi bagaimanapun jelas bahv kesenjangan itu ada. Seberapa jauh kadar kesenjangan itu? Penelitian Majala Tempo No 34, Thn. XI, 24 Oktober 1981 atas diri 203 pelaji SLTP dan SLTA mengungkapkan bahwa 11 di antara respor mengaku sering tidak menurut pada orang tua dan 63.8 mer aku hanya kadang-kadang saja patuh. Padahal 65.1 menyata bahwa mereka sering dimintai pendapat oleh orang tua. Artinj ada usaha dari orang tua untuk mendekati anak remajanya. Ha dari usaha ini mungkin bukan Perkembangan Peserta DidikDrs. Jumanta, M.Pd. Pertemuan ke-6,7 STKIP Purnama Kampus Plumpang berupa kepatuhan atau ketaattetapi lebih berupa perasaan hidup dalam keluarga yang bahagia, yang diakui oleh 82.7 dari responden. Dari uraiandi atasjelaslahbahwatidakbegitumudahuntuk memperkirakan keadaan anak remaja dalam keluarga dalam jnasyarakat yang sedang berkembang. Sifat transisi dari masya- rakat iu sendiri sudah menyebabkan segala sesuatu tidak terga-riskan dengan jelas. Karena tidak adanya garis yang jelas ini maka kesamaan pandangan, ketaatan, kepatuhan, kedisiplinan antara anak dengan orang tuanya menjadi hal yang tidak lagi mudah untuk dipertahankan.Walaupun demikian, perasaan aman dan bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam keluarga yang harmonis merupakan hal bagaimanapun akan bisa mempengaruhi daya penyesuaian-sosial pada diri para remaja itu di masa depan. Hal ini kiranya cukup untuk menjadi alasan untuk memper- tahankan lembaga keluarga yang harmonis jika kita menghendaki generasi masa datang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap gelombang-gelombang perubahan norma dan nilai yang akan terus melanda masyarakat kita.

D. Remaja di Sekolah