Kandungan Unsur Hara Makro C org, Natrium, Phosfat, Kalium, Mg

3.1. Kandungan Unsur Hara Makro C org, Natrium, Phosfat, Kalium, Mg

Tabel 4 Unsur Hara Makro setelah 15 Hari Perlakuan Media Pertumbuhan C org N total P me100g K me100g Mg me100g Kontrol 1,57 0,10 2,5 0,26 0,75 Topsoil 2,31 0,18 3,2 0,26 1,48 Sludge 4,06 0,21 8,6 0,82 1,92 Hasil analisis kandungan hara pada tanah bekas tambang batubara yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa penambahan bahan organik pada tanah bekas tambang batubara baik pada perlakuan sludge maupun topsoil dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara makro pada tanah bekas tambang batubara dibandingkan kontrol. unsur C org, N, P dan K pada media pertumbuhan sludge secara umum memiliki nilai yang tertinggi masing – masing 4,06, 0,20 , 8,6 ppm, 0,82 ppm, diikuti pada perlakuan topsoil dan kontrol memiliki nilai yang terendah.

4. Kadar Logam dalam Tanah

Hasil analisis ketersediaan logam pada media pertumbuhan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kadar Logam Pada Media Pertumbuhan setelah 15 Hari Perlakuan Jenis Logam ppm Kontrol Topsoil Sludge Fe 198,24 133,12 125,36 Cu 5,96 4,72 4,48 Zn 16,08 7,10 14,88 Mn 72,52 95,92 66,08 Tabel 5 terlihat bahwa pada media pertumbuhan sludge memiliki kandungan logam yang paling rendah dibandingkan pada media topsoil, dan kandungan logam yang tertinggi terdapat pada media kontrol. Unsur mikro yang termasuk jenis kation seperti Fe, Cu, Zn, Mn diambil tanaman melalui pertukaran kation atau sebagai kation-kation terlarut seperti Fe ++ , Mn ++ , Zn ++ dan Cu ++ Arsyad, 2000. Kandungan unsur logam pada sludge yaitu Fe, Cu, Mn memiliki kadar yang terendah masing-masing sebesar 125,36 ppm, 4,48 ppm, 66,08 ppm dibandingkan pada top soil dan kontrol. Selanjutnya diikuti topsoil dengan kandungan Fe, Cu, Zn, Mn masing-masing sebesar 133,12 ppm, 4,72 ppm, 7,10 ppm, 95,92 ppm. Kandungan unsur logam yang tertinggi terdapat pada media pertumbuhan kontrol yaitu Fe 198,24 ppm, Cu 5,96 ppm, Zn 16,08 ppm dan Mn 72,52 ppm.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengukuran pertumbuhan menunjukkan bahwa bibit yang ditanam pada tanah yang diberi perlakuan sludge memberikan hasil yang paling baik dalam meningkatkan pertumbuhan bibit A. crassicarpa setelah 90 hari tanam, baik pada variable tinggi, diameter, biomassa, nisbah pucuk akar, maupun persen hidup. Menurut Lakitan 1995, bahwa pertumbuhan tanaman sering didefinisikan sebagai pertambahan ukuran, berat, dan atau jumlah sel. Lakitan 1995, juga menyatakan bahwa ukuran tanaman sebagai indikator pertumbuhan dapat dilihat secara satu dimensi misalnya dengan mengukur tinggi tanaman, dua dimensi misalnya dengan mengukur total luas permukaan daun, atau tiga dimensi misalnya dengan mengukur volume akar. Tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah untuk diukur sebagai parameter pengaruh lingkungan. Pertambahan tinggi tanaman dalam hal ini dapat mencirikan kualitas media pertumbuhan. Pertumbuhan diameter merupakan pertumbuhan sekunder yang jauh lebih lambat dari pertumbuhan tinggi pertumbuhan primer. Pada Gambar 2 terlihat bahwa pertumbuhan tinggi semai A. crassicarpa selama 3 bulan pengamatan yaitu pada media sludge menduduki peringkat tertinggi dengan rata-rata pertambahan tinggi 16,27 cm, selanjutnya diikuti pertumbuhan tinggi pada topsoil dengan rata-rata pertambahan tinggi 10,07 cm, dan pertambahan tinggi rata-rata yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 7,55 cm. Selanjutnya Pada Gambar 3 histogram pertumbuhan rata-rata diameter semai A. crassicarpa umur 6 bulan terlihat bahwa jenis perlakuan sludge memiliki rata-rata pertambahan rata-rata diameter yang tertinggi yaitu sebesar 0,16 cm, selanjutnya dikuti dengan kontrol sebesar 0,15 cm dan pertambahan rata- rata diameter yang terendah terdapat pada topsoil yaitu 0,13 cm. Berat tanaman sebagai indikator pertumbuhan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu berdasarkan berat basah atau berat kering. Berat basah merupakan berat tanaman pada saat tanaman masih hidup dan ditimbang secara langsung sesaat setelah dipanen, sebelum tanaman menjadi layu akibat kehilangan air. Kelemahan penggunaan berat basah sebagai indikator pertumbuhan adalah karena data berat segar akan dipengaruhi oleh kadar air pada jaringan tanaman. Untuk mengurangi bias akibat perubahan kadar air pada jaringan tanaman maka