Seleksi galur mutan sorgum untuk produktivitas biji dan bioetanol tinggi di tanah masam melalui pendekatan participatory plant breeding

(1)

SELEKSI GALUR MUTAN SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench] UNTUK PRODUKTIVITAS BIJI DAN BIOETANOL TINGGI

DI TANAH MASAM MELALUI PENDEKATAN PARTICIPATORY PLANT BREEDING

SUNGKONO A361050021

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2010

Sungkono


(3)

ABSTRACT

SUNGKONO. Selection of Sorghum Mutan Line [Sorghum bicolor (L.) Moench] for High Yield and Bioethanol Production in Acid Soil Strees Condition with Participatory Plant Breeding Approach. Supervised by Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas, Soeranto Hoeman, and Muhammad Arif Yudiarto.

Sorghum is one of high value commodities for food and energy security, because two commodities could be cultivated integratedly in one time and space. Sorghum is drought tolerance plant and suitable to be developed in Indonesia dry lands. The major problem of dry land in Indonesia is predominance of acid soil with Al toxicity. Participatory plant breeding program could be introduced in marginal land to improve adoption of the selected lines. The objective of this research was to develop sorghum variety tolerant to acid soil with high productivity of grain and bioethanol through Participatory Plant Breeding approaches. This research consisted of three stages, i.e: (1) evaluation of sorghum mutant lines in acid soil, (2) participatory varietal selection of sorghum mutant lines in acid soil, and (3) preliminary yield trial of selected lines in acid soil. Evaluation of sorghum mutant lines in acid soil was conducted by screening 61 mutant lines developed through gamma irradiation. The selection was conducted in an augmented design in Central-Lampung. Fiveteen lines selected from the screening in acid soil was used in a participatory varietal selection conducted in four different regions in Lampung in mother and baby trials. The prelimenary yield trial was conducted in a randomized complete block design experiment with 24 sorghum lines in three replications in East-Lampung. The results from the screening in acid soil showed that sorghum mutant lines ZH30-29-07, ZH30-30-07, and ZH30-35-07 were tolerant in acid soil with high grain productivity and mutant lines PSj-60-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07, and PSj-96-05 showed high ethanol productivity. The result of the participatory varietal selection showed that there were differences in preference among farmers in one location or between locations to mutant line selection traits, which led to differences in selected lines. Farmers preferred traits were resistance to loging, short maturity, good performance and high panicle weight. Famers selected ZH30-29-07, ZH30-30-07, and ZH30-35-07 which have resistance to loging and good performance and high panicle weight, and selected B-76 and B-92 mutant line for ideal plant height and short maturity. There were similarity in selected lines between reseachers and farmers in PVS. The similar selection were 29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07. This result showed that farmers have indigenous knowledge could to used for plant beeding program. Sorghum mutant lines i.e GH-ZB43-07, PSj-95-05, ZH30-29-07, and ZH30-30-07 showed highest grain yield, and ZH30-35-07, BR-ZH30-06-07, and PSj-95-05 showed highest ethanol production in the yield trial compared to national varieties. Mutant line PSj-95-05 was both highest in grain and ethanol production.


(4)

RINGKASAN

SUNGKONO. Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding. (Di bawah bimbingan Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas, Soeranto Hoeman, dan Muhammad Arif Yudiarto).

Sorgum adalah salah satu tanaman unggul yang dapat dikembangkan sebagai bahan pangan maupun energi, karena kedua komoditi tersebut dapat diintegrasikan proses produksinya dalam satu dimensi waktu dan ruang. Sorgum sangat toleran terhadap kekeringan, dan sangat sesuai dikembangkan di lahan kering Indonesia. Masalahnya adalah lahan kering tersebut banyak didominasi tanah masam dengan toksisitas Al yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Program pemuliaan tanaman partisipatif dapat digunakan untuk mendapatkan tanaman yang adaptif di lahan marjinal dan dikehendaki oleh petani. Tujuan utama penelitian ini adalah mengembangkan varietas sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi. Tujuan khususnya adalah (1) memperoleh informasi tentang adaptasi tanaman sorgum di tanah masam dan mendapatkan galur mutan toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi, (2) mendapatkan karakter seleksi galur mutan sorgum yang sesuai dengan preferensi petani, dan kesesuaian pilihan galur mutan sorgum antara petani dan peneliti, dan (3) mengidentifikasi galur mutan yang memiliki potensi hasil baik biji maupun bioetanol yang lebih tinggi dari varietas yang sudah dikembangkan.

Seleksi galur mutan sorgum dengan keragaman genetik tinggi di tanah masam melalui pendekatan Participatory Plant Breeding adalah cara untuk menjawab tujuan tersebut. Keragaman genetik diperoleh melalui teknik mutasi fisika dengan radiasi sinar Gamma yang telah dilakukan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional. Program seleksi pada penelitian ini disusun dalam tiga percobaan, yaitu (1) evaluasi galur mutan sorgum di tanah masam, (2) participatory varietal selection, dan (3) uji daya hasil pendahuluan di tanah masam.

Evaluasi galur mutan sorgum di tanah masam dilakukan dengan penapisan (screening) terhadap 61 genotipe sorgum yang dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap dan rancangan perlakuan Augmented Design di Lampung Tengah. Dalam percobaan ini dilakukan pendugaan komponen ragam dan nilai heritabilitas dalam arti luas untuk mengetahui pola pewarisan karakter agronomi galur mutan sorgum di tanah masam, mendeteksi hubungan kausal karakter agronomi terhadap hasil, dan seleksi berdasarkan karakter terpilih secara tunggal dan majemuk untuk mendapatkan galur mutan sorgum toleran tanah masam.

Participatory varietal selection menggunakan 15 galur mutan (10 toleran dan 5 moderat hasil percobaan pertama) dengan rancangan mother and baby trial. Mother trial dikelola oleh peneliti dikerjakan di Bandarlampung, sedangkan baby trial dikelola oleh petani dikerjakan di Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Tanggamus. Terdapat dua data dalam percobaan ini, yaitu data kualitatif sebagai hasil evaluasi petani terhadap karakter seleksi genotipe sorgum untuk mengetahui preferensi petani terhadap karakter tersebut, dan data kuantitatif sebagai hasil pengukuran langsung karakter agronomi oleh peneliti. Data kualitatif yang


(5)

bersifat non-parametrik dianalisis dengan Kruskal Wallis, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan sidik ragam dan Uji t-Dunnett.

Uji daya hasil pendahuluan di tanah masam menguji 20 galur mutan dan empat varietas hasil percobaan pertama dan kedua menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Lengkap dengan tiga ulangan. Varietas Kawali digunakan sebagai pembanding hasil biji, dan Numbu untuk pembanding hasil bioetanol. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji t-Dunnett.

Hasil penelitian menunjukkan evaluasi galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi harus memperhatikan karakter bobot biomassa dan bobot biji/malai, karena kedua karakter ini menunjukkan ragam genetik yang luas, nilai heritabilitas dalam arti luas tinggi, dan mempunyai pengaruh langsung yang tinggi terhadap hasil sehingga merupakan karakter seleksi yang sangat baik untuk program pemuliaan tanaman sorgum di tanah masam. Galur mutan terseleksi toleran tanah masam dengan produktivitas biji tinggi adalah ZH30-29-07, ZH30-30-ZH30-29-07, dan ZH30-35-07; sedangkan untuk produktivitas bioetanol tinggi adalah PSj-60-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07 dan PSj-96-05.

Hasil participatory varietal selection menunjukkan adanya perbedaan preferensi antara petani dalam satu lokasi maupun antar lokasi terhadap karakter seleksi galur-galur yang dievaluasi. Perbedaan ini menghasilkan perbedaan pilihan galur mutan sorgum sehingga menciptakan biodiversitas tanaman sorgum di lapang.Petani sangat menyukai karakter tanaman sorgum yang tahan terhadap kerebahan dan berumur genjah. Galur mutan yang dipilih oleh petani yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 mempunyai karakter tahan terhadap kerebahan, serta mempunyai bentuk dan bobot malai yang baik, sedangkan pilihan terhadap galur mutan B-76 dan B-92 didasarkan pada karakter tinggi tanaman yang ideal dan mempunyai umur yang genjah.Terdapat kesamaan pilihan galur mutan sorgum antara peneliti dan petani, yaitu sama-sama memilih galur mutan ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07. Hasil ini membuktikan bahwa kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki oleh petani dapat digunakan untuk program pemuliaan tanaman.

Hasil uji daya hasil pendahuluan di tanah masam menunjukkan bahwa galur mutan yang teridentifikasi menunjukkan hasil biji lebih tinggi dari varietas Kawali (3,22 ton/ha) adalah GH-ZB43-07 (3,87 ton/ha), PSj-95-05 (4,61 ton/ha), ZH30-29-07 (4,10 ton/ha), dan ZH30-30-07 (4,01 ton/ha); sedangkan galur yang teridentifikasi mempunyai hasil bioetanol lebih tinggi dari varietas Numbu (685 l/ha) adalah ZH30-35-07 (950 l/ha), BR-ZH30-06-07 (912 l/ha), dan PSj-95-05 (1.255 l/ha). Galur mutan PSj-95-05 merupakan salah satu galur yang mampu menghasilkan biji dan bioetanol dengan produktivitas tinggi.


(6)

SELEKSI GALUR MUTAN SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench] UNTUK PRODUKTIVITAS BIJI DAN BIOETANOL TINGGI

DI TANAH MASAM MELALUI PENDEKATAN PARTICIPATORY PLANT BREEDING

(Selection of Sorghum Mutan Lines [Sorghum bicolor (L.) Moench] for High Yield and Bioethanol Product on Acid Soil Stress Condition

with Participatory Plant Breeding Approach)

Oleh SUNGKONO A361050021/AGR

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar doktor Pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(8)

Judul Disertasi : Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding

Nama Mahasiswa : Sungkono

NRP : A361050021

Program Studi : Agronomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.

Ketua Anggota

Prof.(R) Dr. Ir. Soeranto Hoeman, M.Sc. Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng.

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam Melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding”.

Disertasi ini disusun berdasarkan tiga topik penelitian, yaitu (1) Evaluasi Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam, (2) Participatory Varietal Selection Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam, dan (3) Uji Daya Hasil Pendahuluan Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam. Ketiga topik penelitian tersebut merupakan satu kesatuan dengan tujuan untuk mendapatkan varietas sorgum unggul toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi yang dikehendaki oleh petani.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Prof.Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr., Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc., Prof. (R) Dr. Ir. Soeranto Hoeman, M.Sc., dan Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis mulai dari idea penelitian, perencanaan, pelaksanaan sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc., dan Dr. Ir. Buang Abdullah, M.Sc., selaku penguji luar komisi pada waktu ujian tertutup, serta Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc., dan Prof. (R) Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, M.Sc., selaku penguji luar komisi pada waktu ujian terbuka, atas kritik, koreksi, dan perbaikan terhadap disertasi ini.

Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dirjen DIKTI atas beasiswa BPPS yang diberikan, Koordinator Kopertis Wilayah II di Palembang dan Ketua Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Surya Dharma Bandarlampung yang telah memberikan izin dan rekomendasi sehingga penulis dapat melanjutkan studi Pascasarjana Program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan rasa terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Ketua Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Institut


(10)

Pertanian Bogor. Rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IPB atas bantuan dana penelitian melalui Hibah Tim Pascasarjana dan Hibah Program Doktor, serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi melalui Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional atas bantuan biaya penelitian untuk Percobaan 1.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ketua, Para Pembantu Ketua, Para Dosen, Staf, Karyawan dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Surya Dharma Bandarlampung atas dukungan, bantuan, dan kerjasama yang baik sehingga penulis dapat melaksanakan studi, penelitian dan penulisan disertasi dengan baik. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan dan karyawan pada Balai Besar Teknologi Pati, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (B2TP-BPPT) di Lampung Tengah, dan Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat (BALITANAK) di Lampung Timur yang telah memberi izin penelitian dan penggunaan fasilitas lainnya. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Desta Wirnas, SP., MSi., Ir. Karlin Agustina, MSi., Isnaini, SP., dan seluruh staf laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI) IPB atas bantuan, dukungan dan kerjasama yang baik.

Terimakasih yang tulus dan tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda Mistam (Alm.) dan Ibunda Sawinah yang telah membesarkan dan mendidik penulis, juga kepada seluruh kakak dan adik kandung. Terimakasih yang tulus khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta Dra. Yuli Nurhidayati dan anak-anakku Desy Rachmawati dan Pujono Halim Rachmawan atas dukungan dan kesabarannya. Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Bapak (Alm.) dan Ibu mertua serta kakak dan adik ipar atas segala dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemaslahatan hidup umat manusia pada umumnya, dan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi di bidang pertanian pada khususnya. Amin.

Bogor, Juni 2010


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Adipuro, Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung pada tanggal 15 Oktober 1965 dan merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari ayah Mistam (Alm.) dan ibu Sawinah. Penulis telah menikah dengan Dra. Yuli Nurhidayati pada tahun 1991 dan telah dikaruniai dua orang anak bernama Desy Rachmawati (17 tahun) dan Pujono Halim Rachmawan (13 tahun).

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri II Simbarwaringin, Lampung Tengah pada tahun 1978, sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Tridhaya-Trimurjo, Lampung Tengah pada tahun 1981, sekolah menengah atas di SMA Negeri I Metro, Lampung Tengah pada tahun 1985. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Jurusan Budidaya Pertanian.

Tahun 1990-1991 penulis bekerja di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Metro Lampung Tengah. Pada tahun 1994 penulis diangkat menjadi Dosen Pegawai Negeri Sipil Dipekerjakan (PNSD) Kopertis Wilayah II di Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Surya Dharma Bandarlampung sampai sekarang. Pada tahun 1996-2000, penulis menjadi Pembantu Ketua I Bidang Akademik di STIPER Surya Dharma Bandarlampung. Penulis menyelesaikan Program Magister (S-2) pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung tahun 2004, dan pada tahun 2005 melanjutkan studi ke Program Doktor (S-3) di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

i PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Karakteristik Tanaman Sorgum ... 8

Sorgum sebagai Sumber Pangan dan Bahan Baku Bioetanol …….. 12

Industri dan Pasar Bioetanol ... 14

Tanah Masam: Potensi, Masalah dan Peluang ………. 16

Toleransi Sorgum terhadap Cekaman Abiotik ………. 19

Pemuliaan Tanaman melalui Teknik Mutasi ……… 19

Participatory Plant Breeding ………... 22

Model Pengembangan Sorgum ……… 26

EVALUASI GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM ….. 29

ABSTRAK ... 29

ABSTRACT ... 29

PENDAHULUAN ... 29

Latar Belakang ... 29

Tujuan Penelitian ... 30

BAHAN DAN METODE ... 31

Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

Bahan Genetik ... 31

Metode Penelitian ... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

Kondisi Umum ... 39

Keragaan Karakter Agronomi dan Hasil Bioetanol Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam ... 41

Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam ... 51

Hubungan Kausal Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum terhadap Hasil di Tanah Masam ... 53

Seleksi Galur Mutan Sorgum Toleran Tanah Masam dan Berdaya Hasil Tinggi ... 59


(13)

PARTICIPATORY VARIETAL SELECTION DAN KARAKTERISASI

GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM ... 68

ABSTRAK ... 68

ABSTRACT ... 68

PENDAHULUAN ... 69

Latar Belakang ... 69

Tujuan Penelitian ... 70

BAHAN DAN METODE ... 71

Tempat dan Waktu Penelitian ... 71

Bahan Genetik ... 71

Metode Penelitian ... 71

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 75

Pengantar ke Participatory Plant Breeding ……… 75

Kondisi Umum ……….. 78

Participatory Varietal Selection ………. 89

SIMPULAN …………... 114

UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM... 115

ABSTRAK ... 115

ABSTRACT ... 115

PENDAHULUAN ... 115

Latar Belakang ... 115

Tujuan Penelitian ... 117

BAHAN DAN METODE ... 117

Tempat dan Waktu Penelitian ... 117

Bahan Genetik ... 118

Metode Penelitian ... 118

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 120

Kondisi Umum ... 120

Keragaan Komponen Pertumbuhan ... 121

Keragaan Komponen Hasil dan Hasil ... 127

Keragaan Hasil Bioetanol ... 131

Kadar Pati Biji ... 134

SIMPULAN ………... 136

PEMBAHASAN UMUM ... 137

Participatory Plant Breeding dan Manfaatnya ………. 137

Peningkatan Produktivitas Sorgum ……… 141

Studi Sifat Ketenggangan Sorgum di Tanah Masam ………. 142

Analisis Kelayakan Pengembangan Sorgum ………. 143

Kendala pada Tanaman Sorgum dan Cara Mengatasinya …………. 145

SIMPULAN DAN SARAN ... 146

Simpulan ... 146

Saran ... 147

DAFTAR PUSTAKA ... 148


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Sifat kimia tanah terukur di lokasi percobaan dan kriterianya ….. 39 2. Pengaruh genotipe sorgum terhadap komponen pertumbuhan

tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam …………. 42 3. Keragaan jumah daun, tinggi tanaman dan bobot biomasa genotipe

sorgum di tanah asam ……… 43 4. Pengaruh genotipe sorgum terhadap komponen hasil dan hasil

tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam ………… 45 5. Keragaan panjang malai, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai

genotipe sorgum di tanah asam ……….. 47 6. Pengaruh genotipe sorgum terhadap produktivitas bioetanol dari

nira batang (stem juice) ….……….. 48 7. Nilai total sugar, hasil nira dan hasil bioetanol dari genotipe sorgum

yang dibudidayakan di tanah masam ……… 49 8. Pendugaan komponen ragam, koefisien ragam genetik, dan

pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter

agronomi tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam 52 9. Hubungan antar karakter agronomi genotipe sorgum yang

dibudidayakan di tanah masam ……….. 54 10. Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi terhadap

hasil (bobot biji/malai) dari genotipe sorgum di tanah masam …… 57 11. Klasifikasi ketenggangan galur mutan sorgum di tanah masam

berdasarkan analisis diskriminan bobot biomasa tanaman ... 61 12. Klasifikasi ketenggangan galur mutan sorgum di tanah masam

berdasarkan analisis diskriminan bobot biji/malai ... 63 13. Galur mutan sorgum toleran tanah masam berdasarkan seleksi

indeks ……… 65

14. Galur mutan sorgum terseleksi berdasarkan produktivitas bioetanol 66 15. Nama, jenis kelamin, umur, dan pendidikan petani yang terlibat

dalam kegiatan PVS di tiga kabupaten berbeda di Lampung ……… 81 16. Lama bertani, luas kepemilikan lahan, dan komoditas yang

diusahakan oleh petani peserta PVS di tiga kabupaten berbeda di

Lampung ……….. 82

17. Preferensi petani Lampung Selatan terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ……….. 91 18. Nilai skor karakter seleksi tanaman sorgum hasil evaluasi petani di


(15)

19. Genotipe sorgum terpilih berdasarkan preferensi petani Lampung

Selatan ………. 93

20. Preferensi petani Lampung Timur terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ……….. 94 21. Nilai skor karakter seleksi tanaman sorgum hasil evaluasi petani di

Lampung Timur ……….. 95

22. Genotipe sorgum pilihan berdasarkan preferensi petani Lampung

Timur ………. 96

23. Preferensi petani Tanggamus terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ……… 97 24. Hasil evaluasi petani terhadap karakter seleksi tanaman sorgum di

Tanggamus ………. 97

25. Genotipe sorgum pilihan berdasarkan preferensi petani Tanggamus 98 26. Preferensi petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap

karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ……….. 99 27. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap genotipe

sorgum berdasarkan preferensi seluruh karakter seleksi ………….. 101 28. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur

mutan sorgum berdasarkan seluruh karakter seleksi ……….. 102 29. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur

mutan sorgum berdasarkan karakter ketahanan tanaman terhadap

rebah ……….. 103

30. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter bentuk malai ……… 104 31. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur

mutan sorgum berdasarkan karakter bobot malai ……… 104 32. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur

mutan sorgum berdasarkan karakter penampilan tanaman secara

umum ……… 105

33. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter tinggi tanaman ……….. 106 34. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur

mutan sorgum berdasarkan karakter umur panen ……… 106 35. Perbandingan produktivitas bioetanol dari nira batang sorgum

manis di tiga lokasi percobaan baby trial ……… 108 36. Analisis ragam karakter agronomi genotipe sorgum di Baby Trial 109 37. Pengaruh galur mutan terhadap karakter seleksi tanaman sorgum di

baby trial ……….. 110 38. Pengaruh genotipe sorgum terhadap karakter seleksi di mother trial 111


(16)

39. Keragaan karakter seleksi tinggi tanaman, bobot biomasa, dan bobot biji/malai galur mutan sorgum di mother trial ……… 112 40. Keragaan hasil bioetanol dari nira batang sorgum manis di mother

trial ………. 113

41. Pengaruh genotipe terhadap keragaan pertumbuhan tanaman sorgum di tanah masam ……… 121 42. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah daun 23 genotipe sorgum

pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung

Timur……… 122

43. Keragaan lingkar batang dan bobot biomasa 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung

Timur………... 125

44. Pengaruh genotipe terhadap keragaan komponen hasil dan hasil tanaman sorgum di tanah masam ……….. 127 45. Keragaan panjang malai dan bobot 1000 butir biji 23 genotipe

sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam

Lampung Timur ……… 128

46. Keragaan bobot biji/malai dan hasil 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur ……. 130 47. Perbandingan keragaan komponen pertumbuhan, komponen hasil

dan hasil galur mutan terpilih terhadap varietas Kawali …………. 131 48. Pengaruh genotipe terhadap keragaan total sugar, hasil nira, dan

bioetanol galur mutan sorgum di UDHP tanah masam Lampung

Timur ………. 132

49. Keragaan total sugar, hasil nira, dan hasil bioetanol galur mutan sorgum di UDHP tanah masam Lampung Timur……… 132 50. Nilai rata-rata kadar pati genotipe sorgum di UDHP tanah masam

Lampung Timur ………. 135


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bagan alir penelitian ... 6 2. Kondisi umum tanaman sorgum umur 2 minggu (a), 6 minggu (b),

10 minggu (c), dan 12 minggu (d) ... 40 3. Keragaan bentuk malai genotipe sorgum yang diuji. Bentuk malai

dengan komposisi biji kompak (a dan b), malai dengan komposisi

biji renggang (c dan d) ... 46 4. Diagram lintasan pengaruh langsung tinggi tanaman (X1), jumlah

daun (X2), panjang malai (X3), jumlah biji/malai (X4), indeks panen (X5), bobot biomassa (X6) terhadap bobot biji/malai (Y);

serta nilai korelasi antar karakter agronomi ... 58 5. Sebaran sebalur nilai Z dan frekuensi bobot biomasa galur mutan

sorgum di tanah masam ... 60 6. Sebaran sebalur nilai Z dan frekuensi bobot biji/malai galur mutan

sorgum di tanah masam ... 62 7. Peta lokasi percobaan Participatory Plant Breeding di Lampung.

Mother trial: Bandarlampung (1), Baby trial: Lampung Selatan (2), Lampung Timur (3), dan Tanggamus (4) ………. 78 8. Diskusi terfokus dengan petani peserta PVS melalui kegiatan PRA

di Lampung Selatan (a) dan Lampung Timur (b) ……… 84 9. Kondisi umum tanaman sorgum di Lampung Selatan (baby trial) 86 10. Kondisi umum tanaman sorgum di Lampung Timur (baby trial) …... 87 11. Kondisi umum tanaman sorgum di Tangamus (baby trial) ……….. 88 12. Kondisi umum tanaman sorgum di Bandarlampung (mother trial) … 89 13. Seleksi oleh petani berdasarkan preferensi karekter seleksi genotipe


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil analisis contoh tanah ... 164 2. Deskripsi sorgum varietas Kawali dan Numbu ... 165


(19)

Penguji Luar Komisi Pembimbing:

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup (10 Mei 2010): 1. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc.

2. Dr. Ir. Buang Abdullah, M.Sc.

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka (14 Juni 2010): 1. Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc.


(20)

Latar Belakang

Kebutuhan beras sebagai pangan utama sumber karbohidrat di Indonesia terus meningkat seiring laju pertambahan jumlah penduduk yang mencapai 1,4% pertahun (BPS, 2006). Diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 316 juta jiwa (Badan Litbang Deptan, 2005); dengan konsumsi beras rata-rata 125 kg/kapita/tahun (SUSENAS, 2006), maka kebutuhan beras saat itu mencapai 39,5 juta ton, sedangkan produksi saat ini hanya 33 juta ton (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2008). Kekhawatiran akan terjadi defisit beras sangat beralasan, karena 95% produksi beras nasional dipenuhi oleh padi sawah (Suwarno et al., 2004) yang telah mengalami leveling off (Sopandie, 2006), dan lahannya terus mengalami penyusutan akibat alih fungsi ke penggunaan selain pertanian dengan laju sekitar 90.000 hektar per tahun (Mattjik, 2007).

Selain pangan, Indonesia juga akan dihadapkan pada krisis energi dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi yang ada. Puncak produksi minyak bumi Indonesia telah terjadi pada tahun 1977 dengan kapasitas produksi 1,69 juta barrel/hari, dan setelah itu produksinya terus menurun sedangkan permintaan terus meningkat. Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa produksi minyak bumi Indonesia hanya 1,12 juta barrel/hari, sedangkan kebutuhannya mencapai 1,15 juta barrel/hari (Iman dan Nurcahyo, 2005). Peningkatan produksi minyak berbasis fosil sangat sulit dilakukan karena bersifat takterbarukan.

Salah satu solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi adalah menyatukan proses produksi kedua komoditi tersebut dalam satu dimensi waktu dan ruang. Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] adalah tanaman serealia yang dapat memenuhi tuntutan tersebut, karena dapat dijadikan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat yang berasal dari biji, dan dapat dikonversi menjadi sumber energi dalam bentuk bioetanol dari hasil fermentasi terhadap nira batang (stem juice) maupun karbohidrat pada bijinya (Grassi, 2005; Yudiarto, 2006; Reddy dan Dar 2007). Selain itu, sorgum juga dikenal sebagai tanaman yang mempunyai daya adaptasi luas terhadap lahan marjinal terutama pada lahan kering (Toure et al., 2004; Borrel et al., 2005).


(21)

2 Sebagai bahan pangan, kandungan gizi pada sorgum sangat bersaing dengan beras dan jagung, bahkan untuk protein dan kalsium lebih tinggi. Kandungan protein dan kalsium pada sorgum mencapai 11,0 g dan 28,0 mg, pada beras 6,8 g dan 6,0 mg, sedangkan pada jagung 8,7 g dan 9,0 mg per100 gram bagian dapat dimakan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1992). Selain itu, sorgum sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi pangan premium dengan keunggulan kandungan glutinnya sangat rendah (glutenous free food) dan indeks glikemiknya juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk konsumen dengan kebutuhan gizi khusus.

Sebagai bahan baku bioetanol, sorgum memenuhi tiga syarat utama yang diperlukan untuk diproduksi menjadi bahan bakar non-fosil secara masal, yaitu tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitasnya tinggi, dan biaya produksinya rendah (Medco Energi, 2007). Produktivitas bioetanol dari sorgum lebih tinggi daripada tebu dan ubi kayu yang umum digunakan di Indonesia. Bioetanol yang dihasilkan oleh sorgum dengan mengolah biji dan nira batangnya sebanyak tiga kali panen dalam setahun adalah 8.419 l/ha, tebu dengan mengolah nira batangnya menghasilkan 6.192 l/ha, dan ubi kayu dengan mengolah umbinya menghasilkan 3.835 l/ha (Global Petroleum Club, 2007).

Sebagai tanaman yang toleran terhadap kekeringan, sorgum mempunyai keunggulan untuk dikembangkan di lahan kering Indonesia yang sangat luas. Namun lahan kering tersebut banyak didominasi tanah masam yang mencapai 99,5 juta hektar dari 144 juta hektar lahan kering yang ada dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua (Hidayat dan Mulyani, 2002). Kondisi ini menyebabkan budidaya sorgum akan dihadapkan pada kendala tanah masam yang dapat menjadi faktor pembatas utama produktivitas karena adanya toksisitas Al (Kochian, 1995; Ryan et al., 1997; Anas dan Yoshida, 2000). Cekaman Al menyebabkan gangguan pada pertumbuhan akar sehingga penyerapan hara dan air menjadi terhambat (Marschner, 1995), dan tanaman dapat mengalami defisiensi unsur hara terutama fosfor (George et al., 2001). Penurunan produktivitas tanaman serealia akibat toksisitas Al di tanah masam dapat mencapai 28-63% tergantung tingkat toksisitasnya (Sierra et al., 2005)


(22)

Usaha untuk mengatasi dampak negatif tanah masam melalui ameliorasi seperti pengapuran dan pemupukan selain memerlukan biaya yang besar juga tidak sustainable. Selain itu efektifitas pengapuran menjadi rendah akibat adanya erosi dan respon tanaman yang berbeda terhadap jenis kapur (Santoso, 2004). Pendekatan biologis melalui program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul toleran tanah masam dan defisiensi hara dapat menjadi pilihan strategis (Sopandie, 2006; Akhter et al., 2009). Seleksi terhadap plasma nutfah galur mutan sorgum yang ragam genetiknya diperoleh melalui teknik mutasi fisika oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada kondisi tanah masam merupakan langkah awal untuk mendapatkan varietas sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi.

Seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target dengan alasan dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi (Ceccareli et al., 2007). Selain itu, diperoleh juga informasi mengenai kondisi agroekologi dan kriteria seleksi yang lebih baik dan sesuai untuk kebutuhan setempat (Eling et al., 2001). Program pemuliaan tanaman yang dapat memenuhi syarat tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti peneliti, petani dan stakeholders lain yang dikenal sebagai Participatory Plant Breeding (Sperling et al., 2001).

Keunggulan metode Participatory Plant Breeding yang berbasis partisipasi dibandingkan metode konvensional atau Formal Plant Breeding yang bersifat terpusat adalah sangat baik untuk memuliakan tanaman pada lahan marjinal seperti toleransi terhadap cekaman lingkungan (Almekinders dan Eling, 2001). Selain itu, adanya umpan balik dari petani dan pilihan langsung oleh petani akan menghasilkan kesesuaian genotipe pada tingkatan usahatani petani (Zuraida dan Sumarno, 2003), dan meningkatkan biodiversitas tanaman (Rana et al., 2007; Nkongolo et al., 2008). Pemuliaan partisipatif juga mampu mengekploitasi interaksi antara genotipe dan lingkungannya (Sobir, 2005).

Berdasarkan deskripsi di atas, penelitian untuk mengembangkan tanaman sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas biji dan bioetanol tinggi dengan pendekatan Participatory Plant Breeding menjadi penting. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Tim Pascasarjana Institut Pertanian


(23)

4 Bogor Tahun Anggaran 2007-2010 dengan judul utama Pengembangan Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika, dan Pemuliaan (Trikoesoemaningtyas et al., 2007).

Tujuan Penelitian Tujuan Utama

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan varietas sorgum toleran tanah masam dengan indikator utama produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi melalui pendekatan Participatory Plant Breeding.

Tujuan Khusus

1. Memperoleh informasi tentang daya adaptasi galur mutan sorgum di tanah masam dan mendapatkan galur mutan toleran tanah masam dengan produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi.

2. Memperoleh informasi tentang karakter seleksi yang sesuai pada galur mutan berdasarkan preferensi petani dan kesesuaian pilihan galur mutan sorgum antara peneliti dan petani.

3. Mengidentifikasi galur mutan sorgum yang mempunyai potensi hasil lebih tinggi daripada varietas yang telah dikembangkan, baik produktivitas biji maupun bioetanol di tanah masam.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Adanya keragaman genetik pada galur mutan sorgum yang diuji menyebabkan terjadinya perbedaan daya adaptasi di tanah masam, dan terdapat beberapa galur mutan yang toleran di tanah masam dengan produktivitas tinggi.

2. Terdapat perbedaan preferensi antar petani terhadap karakter seleksi galur mutan sorgum yang dievaluasi, dan terdapat kesesuaian pilihan terhadap galur mutan sorgum yang dievaluasi antara petani dan peneliti.

3. Terdapat beberapa galur mutan sorgum mempunyai produktivitas biji dan atau bioetanol lebih tinggi daripada produktivitas varietas unggul nasional yang dijadikan pembanding.


(24)

Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian adalah:

1. Sebagai salah satu alternatif untuk memecahkan masalah krisis pangan dan energi di Indonesia, dan sejalan dengan INPRES Nomor 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain. 2. Sebagai salah satu bentuk teknologi yang tepat untuk mengatasi lahan marjinal

terutama lahan kering bertanah masam.

3. Meningkatkan pemberdayaan petani melalui keterlibatannya pada program pemuliaan tanaman partisipatif.

4. Memperkaya khasanah ilmiah tentang seluk beluk ketenggangan tanaman sorgum dan program pemuliaannya pada lahan kering bertanah masam.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dikerjakan secara berseri melalui tiga percobaan lapangan yang merupakan satu kesatuan dengan ruang lingkup penelitian tertuang pada Gambar 1. Percobaan 1 merupakan proses penapisan (screening) terhadap galur mutan sorgum untuk mendapatkan informasi tentang daya adaptasi (toleran, moderat, atau peka) dan produktivitasnya di tanah masam. Materi genetik yang digunakan adalah galur mutan yang ragam genetiknya diperoleh melalui teknik mutasi dengan radiasi sinar gamma yang dilakukan oleh PATIR-BATAN.

Evaluasi keragaman genetik bertujuan untuk melihat luas atau sempitnya ragam genetik yang dimiliki oleh suatu karakter, sedangkan korelasi dan sidik lintas bertujuan untuk melihat hubungan kausal antar karakter serta pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap hasil. Evaluasi ini akan menghasilkan karakter penentu hasil dan karakter seleksi yang baik. Seleksi tunggal dilakukan berdasarkan karakter seleksi yang terpilih dengan menggunakan analisis diskriminan, dan seleksi majemuk yang memasukkan semua karakter yang dievaluasi dilakukan dengan indeks seleksi.

Percobaan 2 merupakan pelaksanaan Participatory Plant Breeding dengan metode Participatory Varietal Selection (PVS). Metode ini mensyaratkan materi genetik merupakan hasil program pemuliaan lanjut agar seleksi oleh petani


(25)

6 berlangsung efektif dan efisien sehingga tingkat keberhasilannya tinggi. Oleh sebab itu, materi genetik yang digunakan pada percobaan ini adalah hasil Percoaan 1 yang kemudian dievaluasi oleh petani. Hasil evaluasi petani adalah karakter seleksi yang sesuai untuk galur mutan sorgum di tanah masam, dan galur mutan yang dikehendaki sesuai dengan karakter yang diinginkan.

Keragaman genetik

Seleksi majemuk Seleksi tunggal

Gambar 1. Bagan alir penelitian

Percobaan 1: Evaluasi genotipe sorgum di tanah masam

Karakter penentu hasil Karakter Seleksi

Seleksi

Percobaan 2: Participatory varietal selection

Percobaan 3: Uji Daya Hasil Pendahuluan

Kandidat galur harapan untuk pembentukan varietas unggul toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi Korelasi & Sidik lintas

Galur mutan toleran tanah masam

Karakter seleksi dan galur mutan dipilih petani

  Keragaan karakter agronomi, hasil, dan 


(26)

Percobaan 3 yaitu Uji Daya Hasil Pendahuluan (UDHP) bertujuan untuk mendapatkan kandidat galur mutan harapan untuk pembentukan varietas sorgum unggul toleran tanah masam. Daya hasil galur mutan tersebut dibandingkan dengan varietas unggul nasional, yaitu Kawali dan Numbu. Varietas Kawali sebagai pembanding untuk hasil biji, sedangkan varietas Numbu untuk hasil bioetanol. UDHP merupakan bagian dari serangkaian kegiatan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul baru sebelum Uji Daya Hasil Lanjutan dan Uji Multi Lokasi.


(27)

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Sorgum Taksonomi Sorgum

Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO, 2007), dan cantel di Jawa (Hoeman, 2007). Dalam sistem taksonomi tumbuhan, sorgum termasuk Divisi Angiospermae yaitu jenis tumbuhan dengan biji tertutup; Kelas Monocotyledoneae yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai biji berkeping satu dengan Sub-kelas Liliopsida; Ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk tanaman terna dengan siklus hidup bersifat annual atau semusim; Famili Poaceae atau Gramineae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan karakteristik batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas; dan Genus Sorghum (Tjitrosoepomo, 2000).

Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al., 1970 dalam House, 1985). Dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah S. bicolor (L.) Moench. Penyebaran spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985).

Berdasarkan pada tipe spikelet (bentuk bulir), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras dasar, yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Karakteristik ras bicolor yaitu bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea bentuk bulirnya bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum bentuk bulir tidak simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan durra bentuk bulirnya bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit. Selain lima ras dasar tersebut terdapat 10 ras hibrida hasil persilangan antara dua ras dasar (Harland dan De Wet, 1972 dalam House, 1985). Ras hibrida yang dikembangkan di Amerika Serikat telah menjadikan negara ini sebagai produsen dan eksportir sorgum terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 17,50 juta ton/tahun, sedangkan total produksi sorgum dunia berkisar 63,90 juta ton/ tahun (FAO-ICRISAT, 1996).


(28)

Morfologi Sorgum

Sebagai tanaman yang termasuk kelas monokotiledone, sorgum mempunyai sistem perakaran serabut. Akar primer tumbuh pada saat proses perkecambahan berlangsung dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman muncul akar sekunder pada ruas pertama. Akar sekunder kemudian berkembang secara ekstensif yang diikuti matinya akar primer. Pada tahap selanjutnya, akar sekunder inilah yang kemudian berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara serta memperkokoh tegaknya batang. Keunggulan sistem perakaran pada tanaman sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun (ratoon) hingga dua atau tiga kali lebih dengan akar yang sama (House, 1985).

Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnya silinder dengan ukuran diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5-5,0 cm. Tinggi batang tanaman sorgum bervariasi yaitu antara 0,5-4,0 m tergantung pada varietas (House, 1985). Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 m, dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak dan penghasil gula (FAO, 2002). Pada beberapa varietas sorgum batangnya dapat menghasilkan tunas baru membentuk percabangan atau anakan dan dapat tumbuh menjadi individu baru selain batang utama (Steenis, 1975 dalam House, 1985).

Sorgum mempunyai daun berbentuk seperti pita sebagaimana jagung atau padi dengan struktur daun terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel pada nodes. Daun sorgum rata-rata panjangnya satu meter dengan penyimpangan lebih kuran 10-15 cm (House, 1985). Jumlah daun bervariasi antara 13-40 helai tergantung varietas (Martin, 1970), namun Gardner et al. (1991) menyebutkan bahwa jumlah daun sorgum berkisar antara 7-14 helai.

Daun sangat penting sebagai organ fotosintesis yang merupakan produsen utama fotosintat sehingga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan terutama untuk menjelaskan proses pembentukan biomassa (Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil penelitian Bullard dan York (1985) menunjukkan bahwa banyaknya daun tanaman sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu sekitar 3-4


(29)

10 hari. Freeman (1970) menyebutkan bahwa tanaman sorgum juga mempunyai daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir, yaitu bersamaan dengan inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak dan sangat penting artinya sebagai pintu transportasi fotosintat.

Sorgum termasuk tanaman menyerbuk sendiri (self pollination), dimana pada setiap malai terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Proses penyerbukan dan fertilisasi terjadi apabila glume atau sekam dari masing-masing bunga membuka. Karena proses membukanya glume antara bunga jantan dan bunga betina tidak selalu bersamaan, maka pollen dapat viable untuk jangka waktu 10-15 hari (House, 1985).

Malai tanaman sorgum beragam tergantung varietas dan dapat dibedakan berdasarkan posisi, kerapatan, dan bentuk. Berdasarkan posisi, malai sorgum ada yang tegak, miring dan melengkung; berdasarkan kerapatan, malai sorgum ada yang kompak, longgar, dan intermediate; dan berdasarkan pada bentuk malai ada yang oval, silinder, elip, seperti seruling, dan kerucut (Martin, 1970).

Fisiologi Sorgum

Sorgum sebagaimana tebu dan jagung digolongkan sebagai tanaman C-4, yaitu spesies tanaman yang menghasilkan asam empat karbon (asam malat dan aspartat) sebagai produk utama awal penambatan CO2. Tanaman jenis ini dikenal

sangat efisien dalam fotosintesis karena mempunyai sel mesofil dan sel seludang berkas yang keduanya dimanfaatkan untuk menambat CO2. Produk metabolisme

hasil penambatan CO2 pada sel mesofil adalah asam malat dan asam aspartat,

sedangkan pada sel seludang berkas adalah 3-phosphoglycerate acid (3-PGA), sukrosa, dan pati (Salisbury dan Ross, 1995).

Tingginya produktivitas tanaman C-4 dibandingkan tanaman C-3 karena pada tanaman C-4 kedua sistem penambatan CO2 yaitu melalui mekanisme sel

mesofil dan sel seludang berkas saling bahu membahu untuk menghasilkan produk akhir fotosintesis. Produk berupa asam malat dan asam aspartat yang dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas, dan pada sel ini asam empat karbon tersebut mengalami dekarboksilasi dengan melepaskan CO2 yang kemudian ditambat oleh Rubisco untuk dirubah menjadi


(30)

anatomi lebih tebal dibandingkan sel seludang berkas tanaman C-3 sehingga lebih banyak mengandung kloroplas, mitokondria, dan organel lain yang berperan sangat penting dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross, 1995; Orsenigo et al., 1997; Taiz dan Zeiger, 2002).

Karakteristik tanaman C-4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C-3 (Salisbury dan Ross, 1995). Selain sebagai tanaman C-4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin yang dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House, 1985), sehingga produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan jagung atau tebu yang sama-sama tanaman C-4 (Hoeman, 2007).

Keunggulan proses fisiologi tanaman sorgum lainnya adalah memiliki gen pengendali untuk berada dalam kondisi stay-green sejak fase pengisisan biji. Fenomena stay-green ini berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik (specific leaf nitrogen) yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi (Borrel et al., 2005). Fisiologi stay-green pada akhirnya mampu memperlambat proses senescen pada daun (Mahalakshmi dan Bidinger, 2002) sehingga tanaman sorgum mampu mengelola batang dan daunnya tetap hijau walaupun pasokan air sangat terbatas (Borrel et al., 2006).

Kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi kekeringan tidak terlepas dari karakter morfologi dan fisiologi di atas, sehingga sorgum dikenal sebagai tanaman yang toleran terhadap kekeringan. Beberapa karakter penting yang terdapat pada tanaman sorgum menurut SFSA (2003) adalah: (1) menghasilkan akar yang lebih banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya, (2) daun mempunyai lapisan lilin dan kemampuan menggulung sehingga meningkatkan efisiensi transpirasi, (3) dapat dorman selama kekeringan dan tumbuh kembali ketika kondisi favorable, (4) tanaman bagian atas (tajuk) akan tumbuh hanya setelah sistem perakaran berkembang dengan baik, (5) mampu berkompetisi dengan bermacam-macam jenis gulma, dan (6) mempunyai laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan tanaman serealia lainnya.


(31)

12 Sorgum sebagai Sumber Pangan dan Bahan Baku Bioetanol

Sumber Pangan

Sorgum termasuk tanaman serealia penting di dunia yang ditunjukkan oleh luas areal tanam, produksi dan kegunaannya yang menduduki peringkat kelima setelah gandum, padi, jagung, dan barley (Martin, 1970; Doherty et al., 1981; House, 1985; Tribe 2007). Di negara yang beriklim panas, seperti beberapa negara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah, sorgum dijadikan sebagai bahan pangan utama (House, 1985; Green Car Congress, 2009). Sebagai sumber pangan di wilayah Afrika, sorgum dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Mogusu, 2005; Gudu et al., 2009) dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan tepung atau pasta (Obilana, 1981). Produk olahan tepung lebih menguntungkan karena praktis serta mudah diolah menjadi berbagai produk makanan (Suarni, 2004). Produk olahan sorgum diantaranya adalah roti, bubur, bahan minuman termasuk sirup dan bir, serta gula atau jaggery (Rajvanshi dan Nimbkar, 2005).

Banyaknya ragam makanan yang dapat dihasilkan oleh sorgum menjadikan tanaman ini sebagai serealia penting dan sangat potensial untuk program diversifikasi pangan, terutama di negara yang mengalami penurunan produksi bahan pangan utama seperti Indonesia. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dikutip oleh Khomsan (2006), konsumsi beras orang Indonesia rata-rata 120-130 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras ini dapat diturunkan menjadi 100 kg/kapita/tahun melalui program diversifikasi pangan, maka akan menurunkan permintaan beras nasional setara dengan 4,3 juta ton/tahun.

Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, sorgum merupakan serealia yang paling potensial digunakan sebagai substitusi beras karena kandungan gizinya setara (Sirappa, 2003; Suarni, 2004), produktivitas bijinya tinggi (Dirjen Tanaman Pangan, 2007), dan secara genetik tanaman sorgum mampu tumbuh pada agroekologi yang panas dan kering dimana tanaman serealia lain sulit tumbuh (FAO-ICRISAT, 1996). Sorgum sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi pangan premium karena keunggulannya, seperti kandungan glutennya yang sangat rendah (glutenous free food) dan indek


(32)

glikemiknya yang juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk konsumen dengan kebutuhan gizi khusus (Sungkono et al., 2009).

Keunggulan sorgum sebagai sumber pangan telah menarik minat Bill and Melinda Gates Foundation yang dipimpin oleh Bill Gates memberikan hibah sebesar US$ 16.9 juta kepada Africa Harvest Biotech Foundation di Kenya pada tahun 2005. Program ini bertujuan mengembangkan varietas sorgum yang mempunyai level vitamin, mineral, dan protein tinggi dalam rangka perbaikan gizi masyarakat di negara miskin (Mogusu, 2005). Saat ini di seluruh dunia terdapat lebih dari 170 juta anak usia prasekolah berada pada status gizi buruk yang sebarannya terbanyak di negara-negara miskin dan berkembang yang mempunyai masalah dengan pangannya (Wattimena, 2005). Sorgum dapat menjadi solusi masalah pangan bagi masyarakat miskin yang kesulitan modal usaha karena dalam budidayanya hanya membutuhkan sedikit input produksi (Hoeman, 2007). Bahan Baku Bioetanol

Dunia saat ini sangat tergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi, padahal minyak bumi berbahan baku fosil suatu ketika cadangannya akan habis dan tidak dapat diperbaharui. Berbagai sumber energi alternatif dicari untuk menggantikan atau sebagai campuran terhadap energi fosil, dan yang paling potensial adalah energi yang dihasilkan oleh tanaman yang dapat dikonversi menjadi bahan bakar nabati (biofuel). Alasan penggunaan bahan bakar nabati sebagai pengganti atau campuran bahan bakar fosil adalah sumber bahan bakunya mudah diperoleh, dapat diproduksi secara massal, dan renewable (Grassi-EUBIA, 2005; Widodo, 2006).

Sorgum manis (sweet sorghum) memenuhi persyaratan sebagai bahan baku bioetanol karena dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan terhadap hama dan penyakit, dan memerlukan input produksi yang relatif lebih sedikit dibandingkan tanaman penghasil bioetanol lain (Hoeman, 2007). Sorgum manis produksi biomassanya tinggi karena mempunyai efisiensi fotosintesis yang tinggi yaitu 2,5% sama dengan tebu, namun pada beberapa jam tertentu dalam siklus harian, sorgum manis mempunyai efisiensi fotosintesis maksimum yang mencapai 27% (Grassi-EUBIA, 2005). Efisiensi fotosintesis yang tinggi menjadikan


(33)

14 produktivitas bioetanol dari sorgum manis lebih tinggi dibandingkan gula bit, tebu, ubi kayu dan jagung yang selama ini dijadikan sebagai bahan baku utama bioetanol (Global Petroleum Club, 2007).

Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis setidaknya didukung oleh dua faktor utama, yaitu 1) produktivitas tanaman (biomassa) di lapang tinggi. Produktivitas sorgum manis hibrida varietas NTJ-2 yang dibudidayakan di India mampu menghasilkan batang 53 ton/ha dan nira (juice) sebanyak 28.000 liter/ha; dan 2) kandungan gula dan efisiensi fermentasi tinggi. Kandungan gula dari nira batang sorgum manis antara 16-23% Brix (≈ total sugar 14-21%), dengan efisiensi fermentasi berkisar antara 90-92% (Reddy dan Dar, 2007). Hasil kajian B2TP, BPPT Lampung yang dikemukakan oleh Abdurrahman (2007, konsultasi pribadi) menunjukkan bahwa produksi bioetanol dari sorgum manis berbanding lurus dengan total sugar, sedangkan produksi bioetanol dari ubi kayu berbanding lurus dengan reducing sugar.

Sebagai bahan baku bioetanol, sorgum manis tidak berkompetisi dengan tanaman pangan maupun pakan ternak. Beberapa alasan yang mendukung hal ini diantaranya adalah secara botani sebagian besar bioetanol dihasilkan oleh batang, sedangkan bijinya dapat diproses menjadi bioetanol atau untuk bahan pangan dan pakan ternak. Manfaat ganda seperti ini menjadikan sorgum manis sebagai tanaman yang mampu memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, dan energi dalam satu dimensi ruang dan waktu (Rajvanshi, 1989; Yudiarto, 2006).

Keunggulan sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol telah menjadikan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Brazil, Afrika, dan Cina memberikan perhatian yang tinggi dan telah mengembangkannya dalam skala industri (Grassi, 2001). Di Amerika Serikat sorgum manis sebagai penghasil bioetanol, diantaranya diteliti dan dikembangkan oleh Universitas Oklahoma melalui Food and Agriculture Products Center Oklahoma State University. Selain itu India dan Philipina juga sedang mengembangkan industri bioetanol berbasis sorgum manis (Reddy dan Dar, 2007).

Industri dan Pasar Bioetanol

Pemanfaatan bioetanol sebagai sumber energi memberikan manfaat yang besar dari aspek lingkungan. Emisi gas buang dari anhydrous ethanol lebih bersih


(34)

dibandingkan emisi gas buang energi fosil sehingga bahan bakar ini bersifat ramah lingkungan (Reddy dan Dar, 2007). Hal ini disebabkan anhydrous ethanol mempunyai nilai oktan yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil yaitu sekitar 116-120 sehingga mampu menghasilkan pembakaran yang sempurna dan mengurangi polusi (Abatiell et al., 2003; ICSC, 2007; American Coalition for Ethanol, 2007; Biomass Conversion Committe of CAREI, 2006). Penggunaan bioetanol terbukti mengurangi polusi terhadap lingkungan melalui berkurangnya emisi gas rumah kaca hingga 12% (Reddy dan Dar, 2007) sehingga permintaan dunia terhadap sumber energi ini terus meningkat.

Konsumsi bioenergi dunia yang terus meningkat menyebabkan industri bioetanol berkembang pesat. Uni Eropa pada tahun 2001 mengkonsumsi energi fosil sebesar 1.486 MTOE (Million of Tonnes Oil Equivalent) dan energi biomass sebesar 57 MTOE. Konsumsi energi biomass Uni Eropa terus meningkat, yaitu 135 MTOE pada tahun 2010, 200 MTOE pada tahun 2020, dan 500-600 MTOE pada tahun 2050 (Grassi-EUBIA, 2005). Dimulai tahun 2006/2007, dunia akan memproduksi bioetanol sebanyak 17 milyar liter (≈ 17 juta ton) yang akan digunakan untuk bahan bakar kendaraan (http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanol-fuel, 2007). Hal ini membuka peluang untuk berkembangnya industri bioetanol dalam skala luas yang berarti membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang sangat banyak. Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis menjadikan tanaman ini secara teknis mempunyai peluang paling besar untuk dikembangkan.

Pada skala industri, efisiensi sorgum manis dibandingkan tanaman lain sebagai bahan baku bioetanol dibuktikan pada biaya produksi dan harga bioetanol di pasaran dunia. Menurut Grassi-EUBIA (2005), biaya produksi bioetanol di Eropa dengan bahan baku konvensional seperti gandum, jagung, dan gula bit mencapai 400-500 €/ton (€=pounsterling), sedangkan jika menggunakan sorgum manis biaya produksinya hanya berkisar 250 €/ton. Prospek pasar bioetanol sangat menjanjikan karena harga bioetanol di pasaran dunia pada tahun 2005 mencapai 500 €/ton di Amerika Serikat, dan 590 €/ton di Eropa. Reddy dan Dar (2007) mengungkapkan bahwa industri bioetanol berbasis sorgum manis sangat efisien karena perbandingan input energi dan energi yang dihasilkan 1:8 sehingga sangat visible untuk dikembangkan dalam skala industri.


(35)

16 Produksi bioetanol dunia sampai saat ini didominasi oleh Amerika Serikat dengan produksi sekitar 12 MTOE, kemudian disusul Brazil dengan produksi sekitar 10 MTOE. Negara ketiga yang potensial sebagai produsen bioetanol dunia berdasarkan kondisi sumber daya alam adalah Indonesia (Henry, 2009). Indonesia merupakan negara tropis sehingga tidak terdapat hambatan berarti dari sisi iklim dan keanekaragaman hayati, serta mempunyai lahan yang luas. Hal ini disebabkan industri bioetanol sangat tergantung pada efisiensi tanaman mengkonversi energi sinar matahari menjadi energi biomassa. Selain faktor sumber daya alam, yang diperlukan Indonesia agar menjadi produsen bioetanol dunia adalah: 1) adanya dorongan, insentif, dan regulasi dari pemerintah terhadap swasta untuk mengelola industri bioetanol; 2) riset yang intensif dari hulu sampai hilir; dan 3) penerapan tataniaga bioetanol yang kreatif, seperti tax insentive untuk konsumen atau mandatory obligation untuk penjual bahan bakar.

Tanah Masam: Potensi, Masalah dan Peluang

Salah satu bentuk lahan marjinal yang sebarannya paling luas di dunia dan juga di Indonesia adalah tanah masam. Sanchez dan Salinas (1981) dalam Ma (2005) mendeskripsikan luas tanah masam di dunia mencapai 1,6 milyar hektar dan tersebar di berbagai benua, meliputi 55% luas tanah tropis Amerika, 39% luas tanah tropis Afrika, dan 37% luas tanah tropis Asia. Luas tanah masam di Indonesia berupa lahan kering mencapai 99,5 juta hektar dan tersebar di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah masam menjadi faktor pembatas produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang komplek, seperti toksisitas aluminium, besi dan mangan, serta defisiensi fosfor, kalsium, dan magnesium (Kochian, 1995; Maschner, 1995; Akhter et al., 2009).

Aluminium, terutama dalam bentuk ion Al+3 dapat menjadi racun bagi tanaman karena aktivitasnya menyebabkan proses pembelahan dan pemanjangan sel-sel akar terganggu sehingga pertumbuhan akar menjadi terhambat (Marschner, 1995; Ma, 2000; Kochian et al., 2004). Terhambatnya pertumbuhan akar tersebut menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak berkembang yang menyebabkan tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap unsur hara dan air


(36)

(Kochian et al., 2004; Ma et al., 2005). Kondisi ini menyebabkan tanaman tumbuh kerdil dan produktivitasnya menurun.

Konsentrasi ion Al yang tinggi pada daerah rizosfir juga menyebabkan tanaman mengalami defisiensi unsur hara terutama P karena diikat oleh ion Al+3 membentuk senyawa khelat Al-fosfat yang tidak larut dalam air (Ae dan Shen, 2002). Selain itu, mobilitas ion Al yang tinggi pada apoplas sel akar juga menjadi kompetitor utama bagi beberapa kation polivalen seperti Mg+2, Ca+2, Zn+2, dan Mn+2 sehingga kandungannya di dalam tanaman menjadi berkurang yang mengakibatkan tanaman mengalami defisiensi unsur tersebut (Marschner, 1995).

Kemasaman tanah yang berpotensi meningkatkan konsentrasi Al dapat terjadi secara alamiah maupun akibat praktek budidaya tanaman. Secara alamiah curah hujan yang tinggi menyebabkan tercucinya kation-kation basa yaitu Ca+2, Mg+2, K+, dan Na+ dari komplek jerapan tanah. Selanjutnya komplek jerapan tersebut diisi oleh kation-kation asam yaitu H+ dan Al+3 yang menyebabkan tanah menjadi bereaksi masam. Proses pemasaman tanah seperti ini banyak terjadi di daerah tropis yang mempunyai curah hujan dan suhu tinggi. Suhu tinggi dalam proses ini mempercepat laju pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1985).

Proses pemasaman tanah akibat praktek budidaya tanaman terjadi karena pemupukan yang berlangsung secara intensif seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju sehingga terjadi deposit nitrogen (NO2-) yang kronik (Kelly et al.,

2005) atau akibat pemupukan dengan asam sulfur seperti yang terjadi di China (Bi, 2003). Tanah yang bereaksi masam banyak didominasi oleh ion-ion Al dan Fe sehingga berpeluang meracuni tanaman dan menjadi faktor pembatas utama produktivitas tanaman di daerah tersebut (Kochian, 1995; Ma, 2000).

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi toksisitas Al sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman di tanah masam. Salah satu upaya yang sering dilakukan adalah memasukkan bahan pembenah tanah (ameliorasi) berupa teknik pengapuran dan aplikasi pupuk P dosis tinggi. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan bermasukan tinggi (high input aproach), dan kelemahannya adalah hanya berlangsung untuk jangka waktu singkat serta memerlukan biaya yang tinggi sehingga sistem usahatani tidak sustainable (Marschner, 1995; Sierra et al., 2005).


(37)

18 Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari toksisitas Al dan berlangsung untuk jangka waktu yang lama serta tidak memerlukan biaya tinggi adalah penggunaan tanaman toleran Al (Goni et al., 1985; Sierra et al., 2005) yang dikenal sebagai pendekatan bermasukan rendah atau low input aproach (Marschner, 1995). Penggunaan tanaman toleran Al sangat menguntungkan baik secara ekologis maupun ekonomis sehingga sistem usahatani dapat sustainable (Zheng et al., 1998). Namun upaya mendapatkan tanaman toleran Al tidak mudah karena titik kritis konsentrasi Al yang dapat meracuni tanaman mempunyai rentang yang sangat lebar yaitu antara 1,8 µM sampai 150 µM tergantung jenis tanaman dan varietas (Marschner, 1995).

Dalam menghadapi toksisitas Al, tanaman toleran Al dapat menempuh mekanisme regulated separately yaitu toleransi yang bersifat terpisah dan berdiri sendiri yang ditunjukkan oleh karakter tanaman yang hanya toleran terhadap Al saja; atau menempuh mekanisme interrelated, yaitu saling terkait dengan karakter efisien dalam memanfaatkan unsur P (Marschner, 1995). Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman toleran Al biasanya selalu diikuti dengan efisiensi yang tinggi dalam memanfaatkan unsur P (Prasetiyono dan Tasliah, 2003) sehingga mampu tumbuh dan berproduksi lebih baik dibandingkan tanaman yang kurang efisien dalam memanfaatkan unsur P. Beberapa tanaman pangan yang telah dilaporkan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P melalui mekanisme interrelated adalah jagung, sorgum, ubi jalar (Tanaka, 1980), padi sawah IR-55178 (Hu et al., 2001), Lupinus albus (Yan et al., 2002; Uhde-Stone et al., 2003), dan beberapa varietas padi gogo seperti Gadih Anih, Cempo, Sibatung, Siputiah, dan Lembulut (Sopandie, 2006).

Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan oleh tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman gandum, triticale, dan rye yang toleran Al mempunyai sistem perakaran yang lebih baik daripada tanaman yang peka terhadap Al. Hasil penelitian Ma et al. (2002) menunjukkan bahwa tanaman padi toleran Al mempunyai perakaran yang lebih panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah dibandingan tanaman padi yang peka terhadap Al.


(38)

Toleransi Sorgum terhadap Cekaman Abiotik

Sorgum dikenal sebagai tanaman yang mempunyai daya adaptasi luas terhadap berbagai kondisi agroekologi dan lahan marjinal. Daya adaptasi sorgum terhadap kondisi agroekologi ditunjukkan oleh kemampuannya tumbuh baik pada iklim kering sampai basah dengan rentang curah hujan dari 200-2.000 mm per tahun, tahan pada altitude dataran rendah sampai 3.000 m di atas permukaan laut (Mann et al., 1983), dan mampu tumbuh pada rentang wilayah dari posisi 40o LU sampai 40o LS (SFSA, 2003). Sorgum mendapat julukan sebagai “tanaman onta” karena daya adaptasinya yang tinggi terhadap iklim kering (FAO, 2002). Daya adaptasi tanaman sorgum terhadap lahan marjinal dibuktikan oleh kemampuannya tumbuh baik pada tanah dengan salinitas tinggi, tahan pada tanah alkalis dan toleran terhadap genangan (FAO, 2002). Sorgum dari ras guinea merupakan tanaman yang adaptif pada tanah yang miskin hara di Afrika Barat (Toure et al., 2004). Di China tanaman sorgum dikembangkan di wilayah Huang Huai Hai yang tanahnya banyak didominasi oleh tanah salin dan China Baratlaut dengan kondisi tanah alkalin (FAO, 2002).

Tanaman sorgum pada umumnya sensitif terhadap tanah masam dengan cekaman Al tinggi (Duncan et al., 1995; Anas dan Yoshida, 2000). Penelitian untuk mendapatkan tanaman sorgum toleran tanah masam banyak dilakukan oleh para peneliti di berbagai negara melalui program pemuliaan tanaman baik konvensional maupun bioteknologi (Duncan et al., 1983; Miller et al., 1992; Kalla, 2007). Magalhaes et al. (2004) melaporkan bahwa toleransi tanaman sorgum terhadap Al dikendalikan oleh gen mayor tunggal yang diidentifikasi sebagai gen Alt-SB. Pada konsentrasi 27 µM Al+3 (≈148 µM Al) akar tanaman sorgum toleran Al mempunyai laju pertumbuhan akar relatif 40-70% sedangkan tanaman sensitif Al 5-15%. Hasil persilangan antara tanaman sorgum toleran Al SC283 (PAR 52,6%) dengan tanaman peka BR007 (PAR 8,7%) menghasilkan tanaman dengan PAR 30,6%.

Pemuliaan Tanaman melalui Teknik Mutasi

Seleksi adalah salah satu tahapan yang sangat penting dalam program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman yang lebih baik sesuai dengan yang dikehendaki. Seleksi akan efektif apabila dilakukan pada populasi yang


(39)

20 mempunyai keragaman genetik tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman adalah melalui teknik mutasi (Till, 2009). Mutasi adalah terjadinya perubahan genetik pada gen tunggal, sejumlah gen, atau susunan kromosom (Poespodarsono, 1988). Pemuliaan mutasi adalah penggunaan induksi mutasi dalam program pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas yang lebih baik (Chahal dan Gosal, 2003). Bagian tanaman yang sering menjadi target mutasi adalah bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan, seperti tunas dan biji (Poespodarsono, 1988).

Pada tanaman tingkat tinggi, penyebab terjadinya mutasi atau mutagen dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu transposon, kimia, dan radiasi. Transposon adalah jenis mutasi yang disebabkan oleh adanya lompatan gen (jumping genes), yaitu suatu sequen DNA yang bergerak secara acak melalui genom tanaman. Transposon dapat dimasukkan ke dalam dan mempengaruhi fungsi gen dan pengaruhnya hanya dapat diukur pada fenotipe. Transposon hanya dapat terjadi pada jenis tanaman tertentu (Till, 2009). Contoh mutagenis dengan teknik transposon adalah disisipkannya gen kanamisin resisten dalam Escherichia coli (donor) ke dalam genom Pseudomonas sp. (resipien) secara diparental mating untuk memacu produksi auksin (Panjaitan et al., 2007).

Tidak seperti transposons, mutasi yang disebabkan oleh mutagen kimia atau fisika dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman. Efek mutasi dapat dideteksi pada level gen atau genotipe melalui analisis kandidat gen. Mutagen kimia yang sering digunakan pada pemuliaan tanaman mutasi adalah ethyl methanesulphonat (EMS) dan sodium azide (Till, 2009), walaupun terdapat mutagen kimia lain seperti diethyl sulphate (DES), methyl nitroso urea (MNH), ethyl nitroso urea (ENH), dan ethyleneimine (Chahal dan Gosal, 2003). Laju mutasi sodium azide lebih tinggi daripada EMS dan produk mutasi akibat sodium azide mempunyai tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi (IAEA, 2009).

Mutagen terakhir yang sering digunakan dalam program pemuliaan tanaman mutasi adalah mutagen fisika melalui radiasi. Sesuai dengan sifatnya bahwa secara alamiah cahaya terdiri dari gelombang elektromagnetik dan partikel, sehingga penyebab mutasi pada tanaman juga dapat disebabkan oleh gelombang elektromagnetik maupun partikel. Mutagen yang tergolong radiasi gelombang


(40)

elektromagnetik adalah sinar ultraviolet (UV), sinar gamma dan sinar-X yang dibedakan berdasarkan panjang gelombang. Sinar gamma mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek daripada sinar-X maupun UV sehingga energinya lebih besar. Radiasi oleh partikel cahaya disebabkan oleh pergerakan partikel sub-atom yaitu elektron (β-particles), proton (α-particles) dan neutron. Pada prakteknya, radiasi gelombang elektromagnetik maupun radiasi oleh partikel cahaya berinteraksi mempengaruhi materi mutasi (IAEA, 2009).

Mutasi yang disebabkan oleh partikel cahaya, baik β-particles, α-particles, maupun neutron penggunaannya sangat terbatas karena kemampuan penetrasi lemah sehingga sering terjadi kontaminasi oleh gelombang elektromagnetik seperti sinar gamma. Penggunaan UV sebagai mutagen fisika pada tanaman juga sangat terbatas, karena energi yang ditimbulkan sangat rendah sehingga terjadi kesulitan penetrasi pada jaringan tanaman. Pada program pemuliaan tanaman melalui teknik mutasi, sinar gamma menjadi pilihan yang terbaik karena mempunyai panjang gelombang yang sangat pendek sehingga energinya tinggi. Sumber sinar gamma antara lain adalah Cobalt-60 (60Co) dan Ceasium-137 (137Cs). Ceasium-137 mempunyai waktu paruh (half life) yang lebih panjang yaitu 33 tahun dibandingkan Cobalt-60 yang hanya 5,3 tahun (IAEA, 2009).

Galur mutan sorgum yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar adalah hasil mutasi fisika melalui radiasi sinar gamma yang telah dilakukan oleh PATIR-BATAN, dan beberapa galur merupakan hasil persilangan sesama mutan. Benih sorgum varietas Durra dari ICRISAT (tanaman induk) dengan kadar air 12% diiradiasi dengan sinar gamma pada rentang dosis optimum 300-500 Gray (Hoeman, 2007). Secara teknis, radiasi sinar gamma yang menghasilkan foton tinggi dapat menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang dilaluinya. Jika suatu molekul menyerap energi ionisasi maka molekul tersebut menjadi reaktif serta membentuk ion dan radikal bebas yang bereaksi membentuk produk radiolitik yang stabil (Sardjono dan Sumampaouw, 2006).

Benih sorgum yang diiradiasi dengan sinar gamma mengalami perubahan susunan DNA dan menjadi produk radiolitik yang telah mengalami perubahan genotipe dan bersifat stabil. Perubahan genotipe akan menyebabkan terjadinya perubahan fenotipe, dan sifat ini dapat diturunkan pada generasi berikutnya.


(41)

22 Olson (1998) menyatakan bahwa radiasi pada dosis 1 kGy akan memecah kurang dari 10 ikatan kimia untuk setiap 10 juta ikatan kimia yang ada. Walaupun persentasi ikatan kimia yang dipecah kecil, namun efek yang dihasilkan sangat dramatis. Pecahnya ikatan DNA menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi gen yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan pada fenotipe tanaman.

Salah satu hal yang sangat penting dalam teknik mutasi fisika dengan iradiasi dan sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan mutasi adalah dosis radiasi. Satuan dosis radiasi yang diaplikasikan pada bahan mutan disebut rad (radiation absorbed dose), yaitu besarnya energi yang diserap per satuan massa. Dalam pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi satuan tersebut lebih populer dengan istilah Gray (Gy). Nilai 1 Gray = 100 rad, 1 kR = 10 Gy dan besarnya energi yang dihasilkan 1 rad = 10-2 joule/kg (Chahal dan Gosal, 2003). Pada tanaman sorgum, dosis radiasi optimum yang digunakan untuk membuat produk mutan dari benih sorgum berkisar antara 300-500 Gray (Hoeman, 2007).

Participatory Plant Breeding Pengertian dan Tujuan

Participatory Plant Breeding (PPB) adalah suatu metode pemuliaan tanaman sebagai alternatif dari Formal Plant Breeding (FPB). Menjadi alternatif karena terdapat beberapa prinsip yang tidak terdapat pada FPB yang dilaksanakan secara terpusat pada kondisi lingkungan yang terkontrol dan hanya melibatkan pemulia. Hasil dari FPB umumnya untuk sistem budidaya dengan adaptasi luas dan bersifat massal (PRGA, 2007) pada suatu hamparan wilayah yang relatif homogen dan tanpa kendala cekaman yang berarti. Pada kondisi lingkungan yang bercekaman, misalnya cekaman abiotik berupa tanah masam yang mempunyai faktor pembatas berupa toksisitas Al, Fe, dan defisiensi hara, maka produk FPB tidak akan mampu memberikan hasil yang maksimal. Untuk kondisi lingkungan bercekaman, hanya produk hasil pemuliaan pada lingkungan target yang dapat memberikan hasil lebih baik. Sistem pemuliaan seperti ini dikenal sebagai Participatory Plant Breeding yaitu sistem pemuliaan tanaman yang melibatkan peneliti, petani, dan stakeholders lain seperti konsumen, penyuluh, industri, dan kelompok tani (Sperling et al., 2001).


(42)

Praktek PPB di Indonesia menjadi sangat penting karena lahan pertaniannya banyak didominasi oleh tanah marjinal dengan kepemilikan lahan yang sempit. Pendekatan ini akan menghasilkan genotipe tanaman dengan karakteristik yang sesuai dengan preferensi partisipan (PRGA, 2007) dan adaptif pada kondisi lingkungan terget sehingga produktivitas tanaman dapat ditingkatkan. Menurut Sperling et al. (2001), keunggulan lain dari program PPB adalah adanya umpan balik dari petani yang sangat memahami kondisi lingkungannya dan seleksi genotipe terpilih langsung oleh petani sesuai dengan preferensinya, sehingga diperoleh galur tanaman yang sesuai di tingkat usaha tani mereka.

Pengembangan tanaman sorgum dengan metode PPB di Indonesia sangat tepat bukan hanya karena dikembangkan pada lahan marjinal, namun sorgum di Indonesia belum populer dan tidak komersial. Untuk meningkatkan popularitas dan menjadikan sorgum mempunyai nilai ekonomi, alternatif yang sangat baik adalah melalui program PPB. Hal ini selaras dengan tujuan PPB yaitu untuk merespon kebutuhan tanaman yang tidak komersial atau tidak diperhitungkan dan mengembangkan tanaman pada lingkungan bercekaman (Sperling et al., 2001). Setelah adanya keberhasilan dari program PPB, maka tujuan pemuliaan ini berkembang lebih lanjut yaitu untuk meningkatkan biodiversitas, konservasi plasmanutfah, pengembangan plasmanutfah adaptif untuk kelompok pengguna marjinal seperti petani perempuan dan petani miskin, mengembangkan program pemuliaan yang lebih efisien, dan program pemuliaan terdesentralisasi untuk tujuan khusus (Sperling et al., 2001).

Derajad Partisipasi

Keterlibatan stakeholders seperti petani, penyuluh, pedagang, dan sebagainya dalam program pemuliaan partisipatif ada tingkatannya. Banyak faktor yang menentukan derajad partisipasi yang diadopsi pada suatu program pemuliaan partisipatif, misalnya kemampuan petani, kemajuan genotipe yang akan diseleksi, dan lingkungan target. Dalam sistem pemuliaan ini, peneliti tetap menjadi pengendali utama terutama untuk kegiatan perencanaan dan manajemen kegiatan, namun sasaran utama untuk meningkatkan pengetahuan stakholders terutama pengetahuan petani menjadi sangat penting (PRGA, 2007).


(43)

24 Pada prakteknya terdapat tiga tingkatan partisipasi yang umum ditemukan pada kegiatan program PPB, yaitu konsultatif, kolaboratif, dan kolegial (Sperling et al., 2001; Weltzien et al., 2003). Pada derajad konsultatif, petani atau stakeholders lain yang terlibat hanya sebatas memberikan informasi tentang kondisi atau karakter lingkungan, genotipe tanaman, dan aspek lain yang diperlukan bagi program pemuliaan. Peneliti atau pemulia pada derajad ini masih memegang peranan yang sangat dominan dan menentukan.

Pada program PPB yang di dalamnya telah terdapat pembagian tugas yang jelas antara peneliti dengan petani atau stakholders lain telah memasuki tingkat partisipasi kolaboratif. Bentuk pembagian tugas diantaranya petani melaksanakan pekerjaan budidaya tanaman dan seleksi atas petunjuk dan arahan dari peneliti.

Pada derajad kolegial, peneliti hanya mendukung suatu program pemuliaan tanaman yang diinisiasi dan dikelola oleh petani. Pada tahap ini, petani telah mempunyai ketrampilan khusus tentang kegiatan pada program pemuliaan dan umumnya mereka memanfaatkan plasmnutfah yang ada di lingkungannya. Pada tahap ini peran petani jauh lebih besar daripada derajad yang lain.

Studi Kasus Participatory Plant Breeding

Program pemuliaan tanaman secara konvensional telah dilaksanakan secara terpusat di lembaga-lembaga penelitian baik milik pemerintah maupun swasta. Program pemuliaan ini menghasilkan berbagai varietas nasional yang dianggap dapat beradaptasi baik di semua jenis agroekosistem yang ada. Pendekatan pemuliaan terpusat ini telah mulai ditinggalkan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan keragaman agroekosistem yang menuntut adanya varietas-varietas tanaman yang mempunyai adaptasi spesifik (Trikoesoemaningtyas et al., 2008). Program pemuliaan tanaman alternatif yang dapat menghasilkan varietas unggul spesifik lokasi adalah Program Pemuliaan Tanaman Partisipatif yang memiliki kelebihan mendasar, seperti kriteria seleksi yang sesuai untuk kebutuhan lokal dan kesesuaian dengan lingkungan target yang lebih baik (Elings et al., 2001), atau dengan kata lain kearifan lokal sangat diperhatikan pada pemulian model ini.

Selain bisa mendapatkan varietas unggul spesifik lokasi, pemuliaan tanaman partisipatif juga dapat digunakan sebagai tindakan konservasi plasmanutfah atau


(44)

peningkatan keanekaragaman hayati (Sperling et al., 2001). Menurunnnya keanekaragaman hayati disebabkan oleh sistem budidaya monokultur dan homogen ysang terjadi sejak Revolusi Hijau dicanangkan. Sehubungan dengan kekhawatiran tersebut, beberapa lembaga internasional yang mengurusi masalah pangan dan pertanian telah melakukan tindakan pemuliaan partisipatif dengan tujuan utama menghimpun koleksi plasmanutfah. Lembaga tersebut antara lain IBPGR (International Board on Plant Genetic Resource), IRRI (International Rice Research Institute), ICRISAT (International Crops Research Institut for the Semi-Arid Tropics), CIAT (Centro International de Agriculture Tropical), CIMMYT (Centro Internacional de Mejoramiento de Maizy and Trigo), AVRDC (Asian Vegetable Research and Development Center), CIP (Center International Potato), IITA (International Institute of Tropical Agriculture) (NPGRB, 1979 dalam Zuraida dan Sumarno, 2003).

Keberhasilan penerapan metode PPB telah dilakukan di beberapa negara, seperti Siria, Maroko, dan Tunisia dengan tanaman barley (Ceccarelli, 2001), kacang tanah di Colombia dan Tanzania, kentang resisten penyakit hawar daun di Bolivia, padi adaptif cekaman suhu dingin di Nepal, peningkatan keragaman genetik ubi kayu di Colombia, manajemen benih pearl millet di Rajasthan dan Namibia (Weltzien et al., 2003). Para peneliti pada program pemuliaan tanaman partisipatif umumnya menyimpulkan bahwa seleksi yang dilakukan oleh petani bisa efektif walaupun secara individu berbeda-beda.

Walaupun beberapa negara dan lembaga penelitian internasional seperti tersebut di atas telah melaksanakan program pemuliaan tanaman partisipatif dan menunjukkan keberhasilan, namun di Indonesia program pemuliaan model ini masih belum diadopsi dengan baik. Padahal karakteristik pertanian di Indonesia seperti kepemilikan lahan yang sempit, lahan banyak didominasi oleh tanah marjinal, dan aspek permodalan usahatani yang kecil sangat mendukung diterapkannya sistem pemuliaan tanaman model ini. Beberapa alasan belum diterapkannya pemuliaan tanaman partisipatif di Indonesia menurut Zuraida dan Sumarno (2003) diantaranya adalah: (1) belum ada kepercayaan atas kemampuan petani dalam program pemuliaan tanaman, (2) peneliti bersifat tertutup atas materi genetik yang dimiliki karena khawatir otoritasnya terhadap materi genetik tersebut


(1)

160 Till, B.J. 2009. Tilling and Ecotilling. Dalam: Regional Training Course

Mutation Breeding Approaches to Improving Protein and Starch Quality. Southern Cross University, Lismore-Australia, 23-27 March 2009.

Tisdale, SL., Nelson WI., and Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Mcmillan Publishing, New York.

Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonmi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 477 hal.

Toure, A., F.W. Rattunde, and E. Weltzien. 2004. Guinea sorghum hybrids: Bringing the benefits of hybrid technology to a staple crop of sub-Saharan Africa. IER-ICRISAT.

Tribe, D. 2007. Aluminium resistance gene found in sorghum genome-allows growth in acid soil. Source URL:http//cornellsun.com/node/23945. [7 September 2007].

Trikoesoemaningtyas. 2008. Pemuliaan untuk Lingkungan Bercekaman Abiotik. Bahan Kuliah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan).

Trikoesoemaningtyas, D. Sopandie, dan D. Wirnas. 2007. Pengembangan Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench.] untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika, dan Pemuliaan. Laporan Hibah Tim Pascasarjana-HPTP Bidang Penelitian Sumberdaya Hayati, Bioproduksi dan Bioproses. Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan).

Uhde-Stone, C., K.E. Zinn, M.R. Yanez, A. Li, C.P. Vance and D.L. Allan. 2003. Nylon filter arrays reveal differential gene expresion in proteoid roots of white lupin in response to phosphorus deficiency. Plant Physiol. 131: 1064-1079.

Undersander, D.J., W.E. Lueschen, L.H. Smith, A.R. Kaminski, J.D. Doll, K.A. Kelling, and E.S. Oplinger. 1990. Sorghum for Syrup.

Unlu, Mustafa and P. Steduto. 1999. Comparison of photosynthetic water use efficiency of sweet sorghum at canopy and leaf scales. Turk J Agric For. 24: 519-525.

Upadhyay, M.P., P.K. Shrestha, B.R. Sthapit. 2006. On farm management of agricultural biodiversity in Nepal. LI-BIRD, IPGRI, IDRC.

Vanderlip, R.L. 1979. How a sorghum plant develops. Cooperative Extension Service, Kansas State University, Manhattan, Kansas. 19p.

Vazquez, M.D., C. Poschenrieder, I. Corrales, and J. Barcelo. 1999. Change in apoplastic aluminum during the initial growth response to aluminum by roots of a tolerant maize variety. Plant Physiol. 119: 435-444.

Villagarcia, M.R., T.E. Carter, T.W. Rufty, A.S. Niewoehner, M.W. Jennette, and C. Arrellano. 2001. Genotypic rankings for aluminum tolerance of soybean roots grown in hydroponics and sand culture. Crop Sci. 41: 1499-1507.


(2)

Vitorello, V.A. and Haung, A. 1996. Role of organic acids in Al detoxification. Plant Physiol. 97: 536-544.

Wagatsuma, T., M. Kaneko and Y. Hayasaki. 1987. Destruction process of plant root cells by aluminum. Soil Sci. Plant Nutr. 33: 161-175.

Wahid, A., E. Rasul, A.R. Rao, and R.M. Iqbal. 1997. Photosynthesis in Leaf, Stem, Plower, and Fruit. In Handbook of Photosynthesis (Ed.) Mohammad Pessarakli. New York: Marcel Dekker.

Wahyuni, S., U.R. Sinniah, M.K. Yusop. 2005. Effect of pacclobutrazol and prohexadione-calcium on stem anatomy of rice. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (24):02.

Wambeke, A.V. 1976. Formation, distribution and consequences of acid soil in agriculture development. Dalam Plant Adaptation to Mineral Stress in Problem Soil. Madison J. Wright dan Sheila A. Ferrari (eds.). Proceeding of a Whorkshop held at the National Agricultural Library, Beltsville, Maryland, November 22-23, 1976.

WANG Jun-ping, RAMAN Harsh, ZHANG Guo-ping, MENDHAM Neville, ZHOU Mei-xue. 2006. Aluminum tolerance in barley (Hordeum vulgare L.): physiological mechanisms, genetics and screening methodes. Journal of Zhejiang University SCIENCE B. 7(10): 769-787.

Welsh, J.R. 1991. Dasar-dasar genetika dan pemuliaan tanaman. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Widodo. 2006. Perspektif Pengembangan Biofuel di Indonesia. Indonesia Energy Information Center. http://www.indeni.org/content/view/113/76. Williamson LC., Ribrioux SPCP., Fitter AH., and Leyser HMO. 2001. Phosphate

availability regulates root system architectur in Arabidopsis. Plant Physiol. 126: 875-882.

Wilzein, E., M.E. Smith, L.S. Meitzer, and L. Sperling. 2003. Technical and Institutional Issues an Participatory Plant Breeding—From the Perspective of Formal Plant Breeding. A Global Analysis of Issues, Result, and Current Experience. PPB Monograph No. 1. PRGA-CGIAR. 208p.

Wright, R.J. 1989. Soil aluminium toxicity and plant growth. Commun. In Soil Sci. Plant Anal. 20(15&16):1479-1497.

Yamin, M.S., M.D. Moentono. 2005. Seleksi beberapa varietas padi untuk kuat batang dan ketahanan rebah tinggi. Jurnal Ilmu Pertanian 12(2):94-102. Yan, F., Y. Zhu, C. Muller, C. Zorb, dan S. Schubert. Adaptation of H+-pumping

and plasma membrane H+ ATPase activity in proteoid roots of white lupin under phosphate deficiency. Plant Physiol. 129: 50-63.

Yudiarto, M.A. 2006. Pemanfaatan Sorgum sebagai Bahan Baku Bioetanol. Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lampung.


(3)

162 Zhang, Wen-Hao, Peter R. Ryan and Stephen D. Tyerman. 2001. Malate-permeable channels and cation channels activated by aluminum in the apical cells of wheat roots. Plant Physiol. 125: 1459-1472.

Zheng, Shao Jian, Jian Feng Ma and Hideaki Matsumoto. 1998. High aluminum resistance in buckwheat. Plant Physiol. 117: 745-751.

Zuraida, N. dan Sumarno. 2003. Partisipasi Petani dalam Pemuliaan Tanaman dan Konservasi Plasma Nutfah Secara ‘On Farm’. Zuriat 14(2): 67-76.


(4)

(5)

164


(6)

Lampiran 2. Deskripsi sorgum varietas Kawali dan Numbu

No Deskripsi Satuan Varietas

Kawali Numbu

1. Umur hari 100-110 100-105

2. Tinggi tanaman cm 135 187

3. Panjang malai cm 28-29 22-23

4. Warna biji - Krem Krem

5. Hasil biji ton/ha 2,96 3,11

6. Bobot 1000 biji gram 30 36-37

7. Kadar protein % 8,81 9,12

8. Kadar lemak % 1,97 3,94

9. Kadar karbohidrat % 87,87 84,58

10. Ketahanan terhadap hama dan penyakit

- Tahan penyakit

karat, bercak daun, dan agak tahan hama aphis

Tahan penyakit karat, bercak daun, dan hama aphis

11. Budidaya - Dapat ditanam di

lahan sawah dan tegalan

Dapat ditanam di lahan sawah dan tegalan

Sumber: Rahmi, et al., 2009. Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Sulawesi Selatan