TINJAUAN PUSTAKA

2. Tinjauan tentang Pengelolaan Wakaf

a. Pengertian Pengelolaan Wakaf Definisi pengelolaan wakaf tidak tercantum secara jelas dan tersurat baik dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf maupun dalam literatur lain. Namun, dari berbagai referensi, dapat diambil kesimpulan mengenai pengelolaan wakaf.

Kamus besar bahasa Indonesia memberikan definisi pengelolaan sebagai berikut :

1) proses, cara, perbuatan mengelola.

2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga

orang lain.

3) proses membantu merumuskan kebijakan dan tujuan organisasi.

4) proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Berdasar definisi atas, dapat disimpulkan bahwa definisi pengelolaan wakaf adalah proses mengelola wakaf, proses mengawasi semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan wakaf dan pencapaian tujuan wakaf.

Dalam pemahaman yang lain, kata manajemen sering disebutkan bersama dengan kata pengelolaan. Menurut James Stoner seperti yang dikutip oleh Eri Sudewo dalam bukunya Manajemen Zakat (2004: 63), manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha para anggota organisasi dengan menggunakan sumber daya yang ada agar mencapai tujuan organisasi yang sudah ditetapkan. Dalam bahasa arab, kata manajemen disebut dengan kata idarah dan tadbir. Kata idarah tidak ditemukan dalam Al-Quran, karena kata tadbir

commit to user

di antaranya pada Quran Surat 10 ayat 3 dan31, di mana dalam ayat itu dijelaskan bahwa Allahlah yang memanage semua urusan di langit dan bumi seperti kehidupan, kematian, rizki, pendengaran, dan penglihatan (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007:174).

b. Ruang Lingkup Pengelolaan Wakaf

1) Prinsip Pengelolaan Wakaf

a) Asas Keabadian manfaat

Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh nabi yang telah dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh beberapa sahabat nabi lainnya yang sangat menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedahkahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan kebijakan umum.

b) Asas Pertanggungjawaban

Bentuk dari pertanggung jawaban tersebut adalah pengelolaan secara sungguh-sungguh dan semangat yang didasari oleh : (1) Tanggung jawab kepada Allah SWT, yaitu atas perilaku

perbuatannya, apakah sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturanNya.

(2) Tanggung jawab Kelembagaan, yaitu tanggung jawab kepada pihak yang memberikan wewenang (lembaga yang lebih tinggi).

(3) Tanggung jawab Hukum, yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

commit to user

dengan moral masyarakat.

c) Asas Profesional Manajemen

Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Pengelola wakaf itu sendiri harus memiliki sifat Nabi yang 4 yaitu Amanah (dapat dipercaya), Shiddiq (jujur), Fathanah (cerdas/brilian), Tabligh (menyampaikan informasi yang tepat dan benar)

d) Asas Keadilan Sosial

Penegakan keadilan sosial dalam Islam merupakan kemurnian dan legalitas agama. Orang yang menolak prinsip keadilan sosial ini dianggap sebagai pendusta agama (QS. 147/Al- Ma’un). Substansi yang terkandung dalam ajaran wakaf ini sangat tampak adanya semangat menegakkan keadilan sosial melalui pendermaan harta utuk kebajikan umum (Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Departemen Agama, 2007, hal 65-85).

2) Lembaga Pengelola Wakaf

Keberadaan lembaga pengelola wakaf mutlak diperlukan mengingat begitu besarnya aset wakaf yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia. Kesadaran ini terwujud dengan lahirnya beberapa lembaga pengelola wakaf baik dalam skala lokal maupun nasional.

a) Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPU DT) Jakarta Dompet Peduli Ummat adalah Sebuah Lembaga Amil Zakat yang merupakan Lembaga Nirlaba yang bergerak dibidang penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat, infaq dan shodaqah. Didirikan oleh KH. Abdullah Gymnastiar pada tanggal

16 juni 1999, DPU-DT menjadi LAZNAZ (Lembaga Amil Zakat Nasional) sesuai SK Menteri Agama RI No. 410 tahun 2004.

commit to user

pengelolaan wakaf juga baru ada setelah ada demand wakaf dari jamaah (http://hendrakholid.net).

b) Tabung Wakaf Indonesia

Tabung Wakaf Indonesia merupakan badan unit atau badan otonom dari dan dengan landasan badan hukum Dompet Dhuafa REPUBLIKA, sebagai sebuah badan hukum yayasan yang telah kredibel dan memenuhi persyaratan sebagai Nazhir Wakaf sebagaimana dimaksud Undang-undang Wakaf. Badan hukum ini adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan / atau keagamaan Islam (http://www.tabungwakaf.net).

c) Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional yang berada di pusat sebagai produk langsung dari Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (http://www.bwi.or.id).

3) Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Beberapa Negara Muslim Dalam catatan sejarah Islam, wakaf sudah dipraktikkan baik dalam bentuknya yang masih tradisional/konvensional, dalam arti bentuk wakaf berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf uang atau wakaf tunai (cash waqf) bahkan, wakaf tunai (cash waqf) ternyata sudah diperaktikan sejak awal abad kedua Hijriyah. M Syafii Antonio mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menjelaskan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kondifikasi hadist (tadwnin-al hadist) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran melakukan wakaf dinar dan dirham untuk membangun sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian

commit to user

Thobieb Al-Asyhar, 2007: 27-44).

a) Turki

Di Turki terdapat pusat administrasi wakaf sebagai lembaga pengelola wakaf yang berkembang dengan baik, dan untuk memobilisasi sumber-sumber wakaf dan membiayai bermacam- macam jenis proyek joint venture telah didirikan Waqf Bank & Finance Coorporation.

b) Malaysia

Perkembangan wakaf di Malaysia masih cenderung stagnan, karena wakaf memilik dua model yaitu ‘Am dan Khas. Cenderung lebih banyak wakaf Khas sehingga tidak berkembang.

c) Mesir

Ada badan wakaf yang didirikan oleh negara dan sepenuhnya bertugas membuat suatu perencanaan, mengelola, mendistribusikan hasil wakaf dan menyampaikan laporan kepada masyarakat.

d) Arab Saudi

Pemerintah kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi majelis tinggi wakaf dengan ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan surat keputusan kerajaan No. M/35, Tanggal 18b Rajab 1386. Majelis tinggi wakaf diketahui oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni menteri yang menguasai wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahan perwakafan sebelum dibentuk majelis tinggi wakaf. Majelis tinggi wakaf mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf bedasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif dan menajemen wakaf. Tanah wakaf di sekitar Madinah dan Makkah dikelola secara khusus, yaitu dengan didirikan hotel dan hasilnya untuk merawat aset-aset penting dan disalurkan kepada yang memerlukan.

commit to user

Secara administratif, pelaksanaan pengelolaan wakaf di kerajaan Yordania didasarkan pada Undang-Undang wakaf Islam No. 25/1947. Dalam Undang-Undang tersebut bahwa yang termasuk dalam urusan kementrian wakaf dan kementerian agama Islam adalah wakaf masjid, madrasa lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat pendidikan, lembaga-lembaga syariah, kuburan-kuburan Islam, urusan-urusan haji dan urusan fatwa.

f) Bangladesh

Di Bangladesh wakaf telah dikelolah oleh Social Investement Ltd (SIBL). Bank ini telah mengembangkan pasar modal sosial (The Voluntary Capital Market). Instrumen- instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan,antara lain: surat obligasi pembangunan perangkat wakaf, sertifikat wakaf tunai, sertifikat wakaf keluarga, obligasi pembangunan perangkat masjid, saham komunitas masjid, sertifikat pembayaran zakat, sertifikat

simpangan

haji,

dan lain-lain

(http://www.hendrakholid.net).

commit to user

a. Struktur Organisasi

Sumber dari data di atas adalah Badan Wakaf Indonesia (http://www.bwi.or.id)

b. Kedudukan Badan Wakaf Indonesia Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga yang independen dalam rangka melaksanakan tugasnya, yaitu memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan, kedudukan Badan Wakaf Indonesia diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

STRUKTUR ORGANISASI BADAN WAKAF INDONESIA

Periode 2007-2010

Dewan Pertimbangan

Ketua : Dr. H.M. Anwar Ibrahim (Ketua) Wakit Ketua : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA : Drs. H. Ahmad Djunaidi Anggota

: Dr. Mulya E. Siregar

H. Muhammad Abbas Aula, Lc. MHI

Badan Pelaksana

Ketua : Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan Wakit Ketua I : H. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D Wakil Ketua II : Drs. KH. A. Hafizh Utsman Sekretaris : Dr.Sumuran Harahap, M.Ag.MM.MH Wakil Sekretaris : H.M. Cholil Nafis, Lc. MA Bendahara : Drs. H. Siradjul Munir Wakil Bendahara : Prof. Dr. Suparman, MSc

Divisi-divisi Pembinaan Nazhir

: Dr. KH. Maghfur Usman

Dr. H. Jafril Khalil, MCL. Drs. FIIS Pengelolaan Wakaf

: Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA

Ir. Suhaji Lestiadi Hubungan Masyarakat

: Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS Kelembagaan

: Dr. Wahiduddin Adams, SH. MA

Bey Sapta Utama, MSc Penelitian dan Pengembangan

commit to user

49 ayat (1), Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :

1) Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf.

2) Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf

berskala nasional dan internasional.

3) Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan

status harta benda wakaf.

4) Memberhentikan dan mengganti nazhir.

5) Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.

6) Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam

menyusun kebijakan di bidang perwakafan.

Mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah baik Sedangkan mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Badan Wakaf Indonesia memperhatikan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.

commit to user

Penjelasan : Wakaf adalah lembaga amal khas Islam yang bersumber dari hukum Islam, di mana Al Quran dan Hadist sebagai pedoman hukum Islam yang utama. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus, harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar, atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum, selain itu juga dipengaruhi oleh kelalaian dan ketidakmampuan nazhir dalam mengelola wakaf serta sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf.

Berdasar pertimbangan di atas, untuk memenuhi kebutuhan hukum perlu dibentuk Undang-Undang tentang Wakaf. Berbagai aturan wakaf kemudian lahir di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pada tanggal 17 Mei 1977. Selain peraturan tersebut, pemerintah juga menerbitkan beberapa peraturan menteri dan instruksi menteri serta Kompilasi

Al Quran dan Hadist

Undang-Undang No 41 tahun 2004

Tentang Wakaf

Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No 41 Tahun 2004

Badan Wakaf Indonesia

Pengelolaan Produktif benda wakaf tak bergerak

Pengelolaan Produktif wakaf tunai

Kesejahteraan Umat

commit to user

kekurangan dan kelebihan berbagai peraturan tersebut, melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang KHI Jo. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991 merupakan usaha awal pembaruan hukum nasional di bidang perwakafan, dan berwal dari peraturan tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf beserta Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

Undang-Undang Wakaf tidak hanya mengatur masalah harta benda wakaf dan pengelolaan/pengembangannya saja, namun juga pembaruan ruang lingkup harta benda wakaf, tertib hukum dan administrasi wakaf, masalah nazhir serta pembentukan lembaga yang berkompeten di bidang perwakafan.

Pasca lahir fatwa MUI tentang wakaf uang, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf kemudian mengusulkan pembentukan Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia mengelola dan mengembangkan wakaf di Indonesia secara produktif yaitu penggunaan harta benda wakaf untuk kepentingan produksi dan manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan pada pihak yang berhak sesuai tujuan wakaf.

commit to user

A. Pengelolaan Wakaf di Indonesia

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

Secara umum, tujuan diusulkannya Undang-Undang Wakaf adalah terciptanya tertib hukum dan aturan wakaf dalam wadah negara Republik Indonesia, terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan benda wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah, tersedianya landasan peraturan bagi pembentukan dan pelaksanaan peran, tugas dan fungsi Badan Wakaf Indonesia serta terwujudnya akumulasi aset wakaf sebagi alternatif sumber dana bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Meski Indonesia dikenal di forum dunia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, tetapi pengalaman Indonesia dalam pengelolaan wakaf secara produktif yang merupakan bagian amat penting dalam sistem ekonomi Islam masih terbilang baru. Tetapi dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, kendala yang bersifat politis telah terkuak. Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang- undang bahwa pemerintah secara operasional tidak mengelola wakaf, tetapi pemerintah berfungsi sebagai regulator, motivator dan fasilitator bagi pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh badan yang dibentuk pemerintah atau lembaga yang didirikan oleh masyarakat dan diberi kewibawaan formal melalui pengukuhan pemerintah. Sampai saat ini pemerintah belum dapat mengalokasi anggaran sesuai jumlah yang dibutuhkan untuk memfasilitasi program pemberdayaan wakaf. Maka salah satu terobosan yang dapat dilakukan oleh Departemen Agama terutama untuk membiayai program-program yang mesti dilaksanakan sebagai fasilitator dalam pemberdayaan wakaf adalah mengupayakan

commit to user

penyediaan anggaran yang memadai dari APBN.

Setelah adanya Undang-Undang Wakaf, maka pengelolaan wakaf telah memiliki landasan legal formal sehingga dapat dioptimalkan agar memberikan manfaat lebih besar bagi kesejahteraan umat dan bangsa kita. Ada beberapa langkah yang akan mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah dalam rangka pengembangan wakaf pada masa yang akan datang:

1. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia.

2. Pengembangan obyek wakaf yang tidak hanya terbatas pada benda tak bergerak tapi juga benda bergerak seperti uang, saham, investasi dan lain-lain.

3. Peningkatan kualitas nazhir wakaf.

4. Menjalin kemitraan usaha dengan pihak-pihak lain yang peduli dengan wakaf, baik dalam maupun luar negeri.

5. Mengadakan proyek-proyek percontohan di setiap wilayah dengan memprioritaskan lokasi-lokasi wakaf yang strategis.

6. Memberdayakan Peraturan Daerah (PERDA) agar lebih mengoptimalkan pemberdayaan wakaf.

7. Mendorong tumbuhnya semangat berwakaf uang dan harta benda berharga lainnya dari masyarakat melalui berbagai pendekatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi serta sesuai dengan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, kondisi dan situasi perwakafan di Indonesia kini memasuki era baru yaitu era pengelolaan wakaf produktif. Pemerintah memiliki peranan yang begitu besar untuk melakukan penataan administrasi wakaf yang memberi kepastian hukum bagi pewakaf (wakif), nazhir (pengelola wakaf) dan obyek wakaf serta mendorong pemanfaatan aset-aset wakaf yang tidak produktif menjadi produktif. Wakaf diharapkan dapat berperan sebagai sektor penggerak perbaikan ekonomi umat dan bangsa dalam rangka membangun

commit to user

masyarakat pada waktunya akan merasakan peran sosial wakaf yang selama ini kurang terwacanakan di masyarakat.

Pada periode ini, isu yang dijadikan rujukan dalam pengelolaan wakaf secara profesional adalah gagasan wakaf tunai yang digulirkan oleh tokoh ekonomi asal Bangladesh Prof. M. A. Mannan. Kemudian muncul pula gagasan wakaf investasi, yang di Indonesia sudah dimulai oleh Tazkia Consulting, dan Dompet Dhuafa Republika bekerja sama dengan BTS Capital beberapa waktu yang lalu (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 61-65).

Wacana wakaf tunai ini kemudian membuahkan inisiatif dari Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI untuk kemudian mengirim surat bernomor Dt. III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26 April 2002 kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai permohonan fatwa tentang wakaf uang yang ditandatangani oleh ketua komisi fatwa KH. Ma`ruf Amin dan sekretaris komisi Drs. Hasanudin, M. Ag, dengan isi fatwa bahwa wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf mengajukan sebuah usulan pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang oleh Menteri Agama diusulkan secara langsung kepada Presiden RI pada tanggal 5 September 2002, hal ini berbuah dari usulan Sekretariat Negara agar Depag RI memprakarsai untuk menyusun draft Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Wakaf dan tepat pada tanggal 27 Oktober 2004, RUU Wakaf diundangkan menjadi Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan dicatat dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 159. Proses ini berada dalam masa transisi kepemimpinan presiden RI, yaitu dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan tentang wakaf selama ini, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 memuat beberapa

commit to user

Beberapa di antaranya adalah mengenai masalah nazhir, harta benda yang diwakafkan (mauquf bih), peruntukan harta wakaf (mauquf `alaih ) dan pembentukan BWI.

Dalam undang-undang ini, berkenaan dengan masalah nazhir, yang dikelola bukan hanya benda tidak bergerak, tetapi juga mengelola benda wakaf bergerak seperti: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan lain- lain. Maka keidealan seorang nazhir dituntut untuk untuk dapat mengelola benda-benda tersebut. Perwakafan benda tak bergerak lebih banyak digunakan untuk kepentingan yang tidak produktif. Hadirnya undang-undang ini merupakan suatu keharusan sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif dan profesional. Undang- Undang ini meupakan terobosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan, karena wakaf uang, saham, atau surat berharga, merupakan variabel penting dalam pengembangan ekonomi. Wakaf uang, saham dan surat berharga lainnya sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Wakaf bukan untuk dibelanjakan secara konsumtif seperti kekhawatiran sebagian orang.

Esensi lain dari perubahan pada Undang-Undang Wakaf mengenai harta benda yang diwakafkan adalah mengenai pentingnya pendaftaran benda wakaf oleh PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf), urgensinya adalah agar seluruh perwakafan dapat dikontrol dengan baik, sehingga bisa dihindari penyelewengan yang tidak perlu, baik oleh nazhir ataupun pihak ketiga.

Perubahan dari Undang-Undang Wakaf juga dapat dilihat pada pembaruan mengenai persyaratan nazhir, yaitu (Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, 2005: 91-92):

1. Selain nazhir perseorangan ditekankan pula nazhir badan hukum dan organisasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan peran kenazhiran secara lebih baik.

commit to user

manajemen kenazhiran secara profesional, seperti kriteria kenazhiran yang amanah, memiliki pengetahuan mengenai wakaf, pengalaman di bidang manajemen keuangan, kemampuan dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugas nazhir. Penambahan persyaratan ini diharapkan dapat memaksimalkan potensi pengembangan wakaf yang ada.

3. Adanya pembatasan masa jabatan nazhir agar nazhir bisa dipantau kinerjanya melalui tahapan-tahapan periodik untuk menghindari penyelewengan dan atau pengabaian tugas-tugas kenazhiran.

4. Nazhir dapat menerima hak pengelolaan sebesar maksimal 10% dari hasil bersih pengelolaan dan pengembangan benda wakaf, agar pekerjaan sebagai nazhir tidak dijadikan sebagai pekerjaan sambilan yang hanya dijalani sekedarnya, tapi benar-benar mau dan mampu menjalankan tugas sehingga patut diberikan hak-hak yang pantas sebagaimana mereka bekerja di dunia profesional.

Pembaruan Undang-Undang Wakaf juga dapat dilihat dari adanya penekanan pentingnya pembentukan sebuah lembaga wakaf nasional yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia. Badan wakaf ini bersifat independen yang bertujuan untuk membina nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara nasional maupun internasional. Sehingga BWI kelak akan menduduki peran kunci, selain sebagai nazhir juga berfungsi sebagai pembina nazhir sehingga harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif.

Undang-undang ini juga menekankan pentingnya pemberdayaan benda-benda wakaf, aspek tersebut selama ini memang terlihat belum optimal.

Catatan penting dalam undang-undang ini adalah adanya ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap para pihak yang melakukan pelanggaran hukum dalam masalah perwakafan.

commit to user

Wajdy dan Mursyid, 2007: 58):

1. Mengunifikasikan berbagai peraturan tentang wakaf.

2. Menjamin kepastian hukum dalam bidang wakaf.

3. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nazhir.

4. Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagipara pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf.

5. Sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian perkara dan sengketa wakaf.

6. Mendorong optimalisasi pengelolaan dan pengembangan wakaf.

Pengelolaan wakaf sesungguhnya sudah dimulai pada masa Rasulullah SAW, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan oleh Nabi SAW. Ada 2 pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha (ahli yurisprudensi Islam) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf, pendapat pertama pelaksana wakaf pertama adalah Nabi SAW, yaitu tanah milik Nabi yang diwakafkan untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasar hadist yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa`ad bin Mu`ad yang berkata, “Kami bertanya mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW”. Pada masa dinasti-dinasti Islam, praktek wakaf menjadi lebih luas terutama pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun melaksanakan wakaf, wakaf tidak hanya untuk orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf

commit to user

masyarakat (Fiqih Wakaf, 2003: 6). Wakaf pada mulanya adalah keinginan individu untuk berbuat baik, tanpa ada pengelolaan dan aturan yang pasti, namun setelah dirasakan manfaatnya, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik, kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum atau individu.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim di Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadhramiy pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Khalifah sangat tertarik dan perhatian dengan pengembangan wakaf sehingga membentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga pemerintahan lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf disebut dengan “Shadr al-Wuquuf” yang mengurus dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf di Mesir cukup menggembirakan, di mana hamper semua tanah-tanah pertanian di Mesir menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (Baitul Mal). Ketika Shalahuddin Al- Ayyuby memerintah di Mesir, ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyyah sebelumnya.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan,yang paling banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan seperti gedung perkantoran,

commit to user

hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama. Hal ini pertama kali dilakukan oleh penguasa dinasti Utsmani ketika menaklukan Mesia, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.

Manfaat wakaf pada masa Dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, yang lebih membawa syiar Islam adalah wakaf untuk sarana di Haramain, adalah Mekkah dan Madinah, seperti kain penutup Ka`bah (Kiswatul Ka`bah), sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka`bah setiap tahun dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap 5 tahun sekali.

Perkembangan berikutnya pada masa Dinasti Mamluk adalah awal mula disahkan Undang-Undang Wakaf walau tidak diketahui secara pasti waktu kapan disahkannya.Menurut berkas dan berita yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada masa dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandakh (1260-1277 M /658-676 H) di mana pada undang-undang tersebut Raja memilih hakim dari masing-masing 4 mazhab Sunni. Pada periode ini, perwakafan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa.

2. Wakaf untuk membantu Haramain.

3. Wakaf untuk kepentingan masyarakat umum.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada masa dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dileluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir Tahun 1280 Hijriah, yang isinya mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan

commit to user

perundang-undangan. Pada tahun 1287 dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah pertanian yang berstatus wakaf (Fiqih Wakaf, 2003: 7).

Pada masa sekarang ini, di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga beberapa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif, dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

Di Turki, pengelolaan wakaf tidak hanya dikelola oleh mutawalli, tapi juga lembaga direktorat jenderal wakaf, direktorat ini tidak hanya mengelola tetapi juga memberikan supervisi dan kontrol (auditing) terhadap wakaf yang dikelola oleh mutawalli. Pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Wakaf Turki yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial.

Selain Turki, Mesir juga menempuh langkah penertiban tanah wakaf dan harta wakaf lainnya, dengan menjaga dan mengawasi, dan mengarahkan harta wakaf untuk tujuan-tujuan kebaikan sesuai undang- undang. Sesuai Qanun Nomor 80/971, dibentuk badan akaf yang bertugas untuk mengurus dan melaksanakan semua kegiatan perwakafan dan memiliki kewenangan membelanjakan wakaf dengan sebaik-baiknya. Agar harta wakaf produktif dan bermanfaat bagi masyarakat luas, Badan Wakaf menetapkan beberapa kebijakan:

1. Menitipkan hasil harta wakaf di Bank Islam agar dapat berkembang.

2. Melalui Wizaratu Auqaf, Badan Wakaf berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam dan mengadakan kerja sama dengan beberapa perusahaan.

commit to user

dengan cara mendirikan lembaga-lembaga perekonomian dan bekerja sama dengan berbagai perusahaan.

4. Membeli saham dan obligasi perusahaan-perusahaan penting (Fiqih Wakaf, 2003: 88).

Kondisi perwakafan di Bangladesh sesungguhnya memiliki kesamaan dengan Indonesia. Penghasilan dari harta wakaf yang kecil- kecil dan tersebar amat tidak mencukupi untuk memelihara harta wakaf itu sendiri. Kondisi inilah yang melatarbelakangi dilakukannya reformasi dalam manajemen dan administrasi harta wakaf di negeri tersebut. Menurut survei M.A. Manan, fleksibilitas dan scope pengembangan manajemen dan administrasi dilakukan dengan mengintrodusir wakaf tunai. Alasannya, dengan wakaf tunai mayoritas penduduk bisa ikut berpartisipasi. Bangladesh memiliki lembaga non pemerintah yang menjadi solusi dalam menangani kemiskinan, yaitu Social Investment Bank Limited (SIBL), bank ini menjadi alternatif peningkatan pendapatan dengan cara SIBL mengintrodusir Sertifikat Wakaf Tunai, sebuah produk baru dalam sejarah perbankan sektor voluntary dengan membuka peluang untuk membuka rekening deposito wakaf tunai dengan tujuan berbagai sasaran penting jangka panjang (Fiqih Wakaf, 2003: 89-90).

Di Indonesia, pelaksanaan hukum wakaf semula masih sangat sederhana, tidak disertai administrasi, cukup dengan ikrar lisan saja, lantas pengurusan dan pemeliharaan harta wakaf yang pada waktu itu berupa tanah diserahkan kepada nazhir. Perkembangan regulasi wakaf terlihat pada tahun 1905, yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Tanah wakaf mulai diatur dengan Sirculair Van De Gonvernement Secretaris (surat edaran yang dikeluarkan oleh sekretaris gobernemen) tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 (Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht Opden Bouw Van

commit to user

para Bupati agar membuat daftar rumah ibadat Islam yang dibangun di atas tanah wakaf, agar tidak bertentangan dengan kepentingan umum seperti pembuatan jalan dan pembuatan pasar.

Pada tahun 1931 dikeluarkan surat edaran sekretaris gobernemen tertanggal 4 Juni 1931 Nomor 1961 (Bijblad 1931 Nomor 12573) tentang perlunya meminta izin secara resmi kepada Bupati terhadap orang-orang yang ingin berwakaf serta penilaian Bupati terhadap permintaan izin wakaf, maksud perwakafan, dan tempat harta yang diwakafkan.

Bijblad ini menumbuhkan polemik baru dan menimbulkan reaksi yang sangat keras dari umat Islam bahkan menimbulkan persengketaan, apalagi bijblad tersebut lahirnya dari orang-orang nonmuslim yang tidak memiliki ikatan emosional dengan umat Islam. Padahal disunnahkannya wakaf bukan untuk kepentingan kepentingan administrasi semata, melainkan bagaimana instrumen wakaf dapat mengangkat harkat dan martabat umat Islam.

Pelaksanaan wakaf di Indonesia mengadopsi sistem hukum dalam ajaran Islam, namun pada pelaksanaannya seolah-olah wakaf adalah kesepakatan ahli hukum dan budaya adat Indonesia. Pada masa kemerdekaan, wakaf mulai mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Nasional, antara lain melalui Departemen Agama. Walaupun sebenarnya undang-undang tentang perwakafan (pada waktu itu baru perwakafan tanah) lahir 15 tahun setelah Indonesia merdeka, namun sebelum lahirnya undang-undang tentang perwakafan tanah, pemerintah melalui Departemen Agama melahirkan beberapa petunjuk tentang pelaksanaan wakaf.

Petunjuk dan surat edaran tentang wakaf baik produk pemerintah kolonial ataupun pemerintah Indonesia masih banyak terdapat kelemahan terutama belum adanya kepastian hukum bagi tanah wakaf, untuk menertibkan tanah-tanah wakaf, diperlukan pembaruan agraria.

commit to user

tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Lembaran Negara Nomor 104 tahun 1960 yang kemudian dikenal dengan nama UUPA (Undang- Undang Pokok Agraria).

Dalam UUPA, masalah wakaf dapat ditemui pada Pasal 5, Pasal

14, dan Pasal 49 yang membuat rumusan sebagai berikut:

1. Pasal 5 mengatakan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat sepanjang tidak bertentngan dengan kepentingan nasional dan negara dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

2. Pasal 14 ayat (1) mengandung amar bahwa pemerintah pusat dan daerah membuat skala prioritas termasuk pengaturan untuk penggunaan tanah guna keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya.

3. Pasal 49 berisi tentang hak milik tanah badan agama dan sosial sepanjang digunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan kepentingan sosial, maka diakui dan dilindungi pemerintah.

Sebagai realisasi dari pasal-pasal tersebut, maka dibuatlah peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 mengenai Perwakafan Tanah Milik. Selain PP Nomor 28 Tahun 1977, pemerintah juga mengeluarkan beberapa Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan pada tanggal 10 Juni 1991 dikeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Meskipun KHI merupakan elaborasi terhadap PP No 28 Tahun 1977, namun terdapat perbedaan di antara keduanya.

commit to user

PP No. 28 Tahun 1977

KHI

Objek wakaf = tanah milik berdasarkan UUPA

Objek wakaf = tidak hanya tanah milik, tapi juga benda milik

Sifat objek wakaf = terbatas

Sifat objek wakaf = sudah berkembang, tidak terlalu dibatasi, boleh benda bergerak dan tidak bergerak

Belum ada ketentuan peraturan yang lengkap mengenai Nazhir dan MUI

Sudah

ada

pengaturan ketentuan pembatasan jumlah Nazhir, pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab Nazhir, serta kedudukan dan peranan yang lebih luas kepada MUI Kecamatan

Terlepas dari adanya kelebihan dan kekurangan peraturan- peraturan di atas yang merupakan rujukan pengaturan dan pengelolaan wakaf, peraturan tersebut meupakan usaha awal pembaruan hukum nasional di bidang perwakafan, dan berawal dari peraturan tersebutlah lahirnya Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Undang-Undang Wakaf lahir pada awalnya berdasarkan bergulirnya wacana wakaf tunai yang digagas oleh Prof. M.A. Mannan (seorang ahli ekonomi yang berkebangsaan Bangladesh).

Menurut Azhar Basyir pada masa pra kemerdekaan RI lembaga perwakafan sering dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan sebagaisuatu kebiasaan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, praktik wakaf dan perkembangannya di Indonesia merupakan kenyataan sejarah yang tidak terlepas dari tuntutan masyarakat muslim (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 60).

commit to user

beberapa perkembangan dalam 3 periode besar:

1. Periode tradisional, dalam periode ini wakaf ditempatkan sebagai ajaran yang murni dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah (pokok); yaitu kebanyakan benda-benda wakaf diperuntukkan untuk pembangunan fisik, seperti mushola, pesantren, kuburan, yayasan, dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.

2. Peride semi – profesional, adalah masa di mana pengelolaan wakaf secara umum sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal, contohnya pembangunan masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar, dan acara lainnya seperi masjid Sunda Kelapa, masjid Pondok Indah, dan lain-lain. Pola pemberdayaan seperti ini juga diterapkan oleh Pondok Pesantren Modern As-Salam Gontor Ponorogo. Adapun secara khusus pengembangan wakaf untuk kesehatan dan pendididkan dilakukan oleh Yayasan Wakaf Sultan Agung Semarang. Ada lagi pemberdayaan wakaf dengan pola pengkajian dan penelitian secara intensif terhadap pengembangan wacana pemikiran Islam modern seperti yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina.

3. Periode profesional, proses pengelolaan wakaf ini ditandai dengan pemberdayaan potensi masyarakat secara produktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi aspek: manajemen, SDM kenazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf bergerak seperti uang, saham, surat berharga lainnya,

commit to user

satunya lahirnya Undang-Undang Wakaf.

Pengelolaan dan pemberdayaan wakaf di tanah air memerlukan pengembangan paradigma wakaf di masyarakat, sebagai lembaga keuangan Islam, wakaf diharapkan menjadi suatu produk ekonomi Islam yang mampu memberikan andil besar dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan umat dengan pengelolaan yang amanah dan manajemen profesional. Hal inilah yang menggerakkan pemerintah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan dalam pengelolaan wakaf agar tujuan pengelolaan wakaf tercapai. Dalam makalah Kebijakan Teknis tentang Pengelolaan Wakaf yang disusun oleh Muhammad Djam`an Haq dan Zaenuri, tujuan pengelolaan wakaf antara lain:

1. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

2. Memacu daya guna dan profesionalitas kinerja badan/lembaga pengelola wakaf yang bertanggungjawab dan amanah.

3. Meningkatkan fungsi nazhir sebagai pemangku amanah untuk pengembangan dan pengelolaan wakaf.

4. Meningkatkan peran PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) untuk mempercepat sertifikasi tanah wakaf.

Wakaf merupakan masalah yang kurang dibahas secara intensif, hal ini disebabkan karena umat Islam hampir melupakan kegiatan- kegiatan yang berasal dari lembaga perwakafan. Tulisan yang berkaitan dengan perwakafan sangatlah jarang, baru pada akhir-akhir ini muncul kembali minat umat Islam untuk menggiatkan kembali kehidupan lembaga perwakafan. Munculnya minat tersebut seiring dengan kesadaran untuk mewujudkan Sistem Ekonomi Syariah sebagai alternatif dari sistem ekonomi kapitalis di mana pelaksanaan sistem yang terakhir ini telah terbukti tidak memberikan manfaat

commit to user

ekonomi selalu menyertai perjalanan sistem ekonomi kapitalis, sedangkan solusi dari krisis pada sistem ini selalu menimbulkan korban pihak yang lemah.

Tumbuhnya minat masyarakat untuk menggali potensi sistem ekonomi syariah disebabkan oleh kelemahan dari sistem ekonomi kapitalis yaitu adanya ketidakstabilan sistem, pembagian pendapatan yang tentu saja lebih banyak keuntungan untuk negara maju dan berbagai kemiskinan yang timbul sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terutama disebabkan sistem kapitalis. Kesadaran akan bebagai alasan tersebut merupakan peluang untuk memberdayakan wakaf produktif.

Wakaf produktif yaitu wakaf yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dengan tujuan wakaf.

Selain memunculkan gagasan mengenai wakaf produktif, Muhammad Djam`an Haq dan Zaenuri juga memberikan gagasan manajemen pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif, di mana dalam pengelolaan wakaf ini sekali lagi ditekankan perlunya pengelola/pengurus yang memiliki integritas tinggi, kemampuan, dan pengetahuan agar tujuan dari pengelolaan wakaf tercapai. Tujuan kepengurusan dari wakaf produktif adalah:

1. Meningkatkan kelayakan produksi harta wakaf hingga mencapai target ideal untuk memberi manfaat sebesar mungkin bagi tujuan wakaf.

2. Melindungi pokok-pokok harta wakaf dengan mengadakan pemeliharaan dan penjagaan yang baik dalam menginvestasikan harta wakaf dan mengurangi sekecil mungkin resiko investasi.

commit to user

wakaf yang telah ditentukan.

4. Memberikan penjelasan kepada para dermawan dan mendorong mereka untuk melakukan wakaf baru, dan secara umum memberikan penyuluhan dan menyarankan pembentukan wakaf baru baik secara lisan maupun dengan cara memberi keteladanan.

Muhammad Djam`an Haq dan Zaenuri dalam makalahnya menyatakan wakaf produktif sebagai intisari dari undang-undang tentang wakaf itu sendiri. Menurut mereka, wakaf produktif bisa mengacu pada 2 hal benda tetap (tidak bergerak) seperti tanah, rumah, toko dan harta tidak tetap seperti hewan, buku dan benda lain, kata kuncinya adalah bagaimana harta wakaf itu bisa produktif, bendanya tetap kekal tetapi pemanfaatannya berkembang secara ekonomis. Harta wakaf bisa produktif dalam hal ini diartikan sebagai harta wakaf yang menjadi berkembang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari contoh pengembangan aset wakaf produktif berikut ini:

1. Kategori tanah di perkotaan. Tanah yang terletak di pinggir jalan raya dapat dijadikan perkantoran, apartemen, penginapan, gedung pertemuan, pertokoan, ruko dan pusat perbelanjaan. Sedangkan untuk tanah yang terletak di dekat perumahan (pemukiman) atau keramaian dapat dijadikan pusat perbelanjaan, rumah sakit, sarana pendidikan, SPBU, bengkel dan apotek.

2. Kategori tanah di pedesaan. Tanah yang berada di pedesaan misalnya tanah persawahan, perkebunan, ladang atu padang rumput, rawa dan perbukitan dapat dijadikan area pertanian, perkebunan, home industry, tempat wisata dan penyulingan air mineral.

3. Kategori tanah di tepi pantai. Tanah yang berada di lokasi ini sangat cocok dijadikan lokasi kerajinan, tambak ikan, perkebunan dan taman wisata.

commit to user

sama dengan BUMN, Badan Swasta, maupun investor luar negeri. Substansi wakaf tunai telah lama muncul, bahkan dalam fiqh klasik sekalipun persoalan ini telah diperbincangkan yaitu seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqh muamalah dalam perspektif maqashid as syariah (filosofi dan tujuan syariat) yang bermuara pada kemaslahatan umum, termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Kebijakan pemerintah yang dibuat untuk pengembangan wakaf selain wakaf produktif yang merupakan esensi pembaruan peraturan wakaf adalah mengenai wakaf uang. Langkah yang ditempuh Depag dengan mengajukan permohonan fatwa kepada MUI tentang wakaf uang sangat tepat. Munculnya pemikiran tentang wakaf tunai yang dipelopori oleh tokoh Bangladesh ini kemudian membuahkan Fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002 tentang Wakaf Uang.

Perbincangan dan fatwa MUI ini disikapi beragam oleh masyarakat, di antaranya adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang meluncurkan produk Sertifikat Wakaf Uang.

Keberadaan wakaf tunai dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat mengisi kekurangan-kekurangan pengelolaan wakaf yang ada selama ini, terutama pemahaman masyarakat kita, sementara kebutuhan masyarakat saat ini sangat besar sehingga mereka membutuhkan dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Menurut Uswatun Hasanah dalam sebuah jurnal berjudul Berdayakan

Wakaf

Uang

(http://www.scribd.inilah.com), kesejahteraan adalah suatu kondisi di mana orang tentram dan aman serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk membangun kesejahteraan umat, Al Quran telah meletakkan dasar terutama agar harta yang dimiliki individu-individu tidak beredar di antara orang- orang kaya saja. Pernyataan ini tertulis pada surat Al Hasyr yang

commit to user

individu-individu tertentu. Wakaf termasuk salah satu instrumen untuk membangun kesejahteraan umat, di antaranya dengan wakaf uang atau wakaf tunai. Alasan didukungnya wakaf tunai adalah manfaat utama, atau kelebihan dari wakaf tunai dibanding wakaf lain yaitu (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 79-80):

1. Wakaf tunai jumlahnya bisa bervariasi, sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas, sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu.

2. Melalui wakaf uang, asset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa dimulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.

3. Dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga pendidikan-pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang kempis dan menggaji civitas akademika alakadarnya.

4. Pada gilirannya, insya Allah umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus tergantung pada anggaran dari negara (APBN) yang memang semakin lama semakin terbatas).

Dalil atau hadits wakaf tunai ditinjau dari perspektif hukum Islam dalam kehidupan dan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap wakaf masih dipengaruhi oleh beberapa pendapat Imam Mazhab:

1. Imam Syafii, sangat menekankan wakaf pada fixed asset (harta tetap) yang merupakan syarat sah wakaf. Sayyid Sabiq juga sama dengan Imam Syafii tidak memperbolehkan wakaf tunai/uang. Alasannya uang tidak kekal bendanya ketika dimanfaatkan, selain itu jika berdasar `Urf (kebiasaan yang berlaku) maka wakaf uang hanya berlaku di wilayah tertentu dari bekas Kekaisaran Bizantium (Romawi) saja, di tempat lain tidak berlaku.

commit to user

Imam Maliki juga memperlebar lahan wakaf dan mencakup barang bergerak lainnya, seperti wakaf susu sapi atau atau wakaf buah tertentu, substansinya adalah sapi dan pohon, yang diambil manfaatnya adalah susu dan buah. Dengan adanya pemikiran seperti ini, Maliki telah membuka pemikiran luas mengenai wakaf.

3. Imam Hanafi, memperbolehkan wakaf tunai dengan syarat selama nilai pokok wakaf dijamin kelestariannya.

Kebolehan wakaf tunai juga didukung oleh fatwa dari Muhammad bin Abdullah Al-Anshari (murid dari Zufar sahabat dari Abu Hanifah), bahkan fatwa Al-Anshari bukan berkutat hanya wakaf uang saja akan tetapi diperbolehkan wakaf berupa barang-barabg komoditi yang ditimbang atau ditakar (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 90).

Majelis Ulama Indonesia ketika menfatwakan tentang wakaf tunai juga memperhatikan beberapa pendapat dari ulama-ulama besar. Seperti (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 90-91):

1. Imam Al-Zuhri (wafat 124 H), membolehkan wakaf uang dengan cara menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada mauquf `alaih. Dasarnya mewakafkan dinar, dan menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha dan keuntungannya disalurkan kepada mauquf `alaih.

2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi, membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian atas dasar istihsan bi al-`urfi yang berdasar pada atsar Abdullah bin Mas`ud r.a. yaitu ”Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah pun buruk.”

3. Abu Tsur meriwayatkan dari Imam Syafii tentang kebolehan wakaf uang.

commit to user

belum optimal, terutama disebabkan masalah dana likuid, pemerintah memandang perlunya instrumen baik berupa peraturan maupun lembaga yang mendukung dapat tersosialisasinya wakaf tunai di masyarakat. Di antara instrumen tersebut, adalah landasan hukum dari wakaf tunai yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, khususnya Pasal 16 ayat (3).

2. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag tanggal 26 April 2002.

3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang tanggal 11 Mei 2002.

Dalam undang-undang dan peraturan ini telah dijelaskan dengan sangat baik dan relatif lengkap mengenai pola dan sistem pengembangan perwakafan di Indonesia termasuk wakaf uang. Pengelolaan sistem wakaf uang ini akan sangat tepat sasaran jika dilaksanakan dengan memakai manajemen investasi professional dengan menggunakan alternatif pola-pola investasi yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Unsur kepercayaan (luas) menjadi kunci utama kesediaan masyarakat luas berpartisipasi aktif di samping unsur profesionalitas nazhir wakaf yang perlu dibuat standarisasinya secara nasional dan internasional.

Substansi dari fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai wakaf uang adalah:

1. Definisi wakaf uang (cash waqf atau waqf al- Nuqud) yaitu wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

2. Benda yang termasuk dalam pengertian wakaf uang adalah surat- surat berharga.

3. Hukum wakaf uang, yaitu jawaz (diperbolehkan).

commit to user

disalurkan dan dipergunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar`iy .

5. Kekekalan wakaf tunai, yaitu nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

Pengelolaan wakaf di Indonesia sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat melalui Badan Wakaf Indonesia yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Pemerintah menerapkan berbagai strategi berupa beberapa bentuk program kerja yang masing-masing memiliki target tertentu dan bentuk program tersebut disesuaikan dengan harapan pencapaian target berikut ini (Muhammad Djam`an Haq dan Zaenuri, 2007: makalah):

1. Program motivasi dan sosialisasi wakaf, program ini memiliki target untuk membangkitkan motivasi dan kesadaran kolektif umat Islam untuk melaksanakan wakaf demi mengangkat harkat dan martabat hidup seluruh anggota masyarakat khususnya umat Islam, serta meluruskan persepsi umat Islam mengenai konsep wakaf yang tidak hanya sekedar memenuhi kewajiban ritual belaka, melainkan menjadi instrumen syariah untuk mengatasi kepincangan sosial ekonomi di dalam masyarakat sehingga terwujud kesejahteraan sosial umat Islam. Bentuk programnya berupa pendistribusian bahan panduan mengenai wakaf, penyelenggaraan seminar, lokakarya dan penyuluhan mengenai wakaf di Indonesia, penerbitan brosur, leaflet dan sebagainya.

2. Program pemberdayaan pengelola wakaf, program ini memiliki target meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan wawasan para nazhir wakaf mengenai soal-soal kontemporer seputar wakaf, meningkatkan kemampuan para nazhir wakaf dalam kegiatan

commit to user

Bentuk programnya berupa pendistribusian bahan panduan mengenai wakaf, termasuk fiqh zakat dan wakaf. Ada pula penyelenggaraan seminar, lokakarya dan penyuluhan mengenai penghimpunan, pengelolaan keuangan, pendayagunaan wakaf serta melaksanakan advokasi terhadap pengelola wakaf.

3. Program pemberdayaan masyarakat dan peningkatan SDM, target program ini antara lain pembuatan database benda wakaf, wakif dan nazhir pada setiap kabupaten/kota serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pengelola wakaf. Bentuk programnya berupa pendataan jumlah jenis benda wakaf, wakif dan nazhir pada setip kabupaten/kota serta melaksanakan pelatihan-pelatihan bagi pengelola wakaf.

Manajemen pengelolaan menempati posisi teratas dan paling urgen dalam mengelola harta wakaf, karena bermanfaat tidaknya harta wakaf tergantung pada pola pengelolaan. Manajemen pengelolaan harus menjadikan profesionalitas manajemen sebagai suatu asas yang mendasari pengelolaan wakaf agar manfaat wakaf lebih luas dan nyata untuk kepentingan masyarakat banyak. Semakin baik manajemen, akan mendorong pendayagunaan sumber daya secara maksimal, artinya, sistem manajemen telah menjalankan perannya dengan efisien dan efektif (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 174).

Berdasarkan pandangan di atas, ada 4 tahapan manajemen yang harus dilakukan, yaitu:

1. Perencanaan atau planning.

Planning adalah proses menyangkut upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kecenderungan di masa yang akan datang dan penentuan strategi dan taktik yang tepat untuk mewujudkan target dan tujuan organisasi. Dalam Islam, planning dikenal dengan istilah musyawarah.

commit to user

Perencanaan mengandung perbuatan melihat ke muka, memikirkan jauh sebelumnya dan menggambarkan terlebih dahulu sebagai dasar untuk proses penyelenggaraan mencapai tujuan yang dikejar. Perencanaan merupakan rumusan tujuan yang terdiri dari prosedur, metode dan jadwal pelaksanaan, di dalam perencanaan termasuk perkiraan kondisi di masa yang akan datang dan akibat dari rencana terhadap kondisi tersebut (Muhammad Djam`an Haq dan Zaenuri, 2007: makalah).

Pengelolaan wakaf produktif memerlukan perencanaan yang baik karena perencanaan merupakan pedoman dan arah kegiatan pengelolaan wakaf, sebagai perkiraan terhadap potensi wakaf bila dikelola secara produktif, prospek wakaf itu sendiri dan resiko pengelolaan wakaf secara produktif, selain itu, dengan adanya perencanaan dapat dimungkinkan adanya kesempatan untuk memilih model-model pengelolaan wakaf produktif tentunya dengan mengurutkan prioritas keuntungan dan meminimalisir resiko dalam model pengelolaan tersebut nantinya. Alasan lain dari perlunya perencanaan ini adalah lebih mudah dalam mengevaluasi program-program kerja dari pengelolaan wakaf ini.

Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Djam`an Haq dan Zaenuri dalam makalahnya serta Farid Wadjdy dan Mursyid dalam Wakaf dan Kesejahteraan Umat, tahapan perencanaan memiliki 4 hal, sebagai berikut:

a. Main objectives (perumusan tujuan utama), secara kualitatif, yaitu apa tujuan utama dari manajemen wakaf.

b. Specific objectives (perumusan tujuan khusus), secara kuantitatif dan khusus, apa yang ingin dicapai lembaga pengelola wakaf, misalnya pengembangan harta benda wakaf.

commit to user

penjabaran dari apa yang diinginkan dalam beberapa tahun ke depan.

d. Tactical short range planning (taktik tujuan jangka pendek) penjabaran program khusus dalam bentuk angka.

Muhammad Syafii Antonio dalam buku Menuju Era Wakaf Produktif, mengemukakan bahwa pengelolaan wakaf secara profesional memerlukan filosofi dasar yang harus ditekankan agar pemberdayaan wakaf menjadi produktif, antara lain:

a. Proyek yang terintegrasi, yaitu pola manajemen wakaf merupakan suatu kesatuan proyek di mana dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya bukan bagian-bagian biaya yang terpisah-pisah.

b. Asas kesejahteraan nazhir, yaitu saat kita menjadikan nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada umat yang membawa kesejahteraan bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia. Adanya asas ini, diharapkan nazhir lebih profesional dalam mengelola wakaf karena sudah ada penghasilan sebagai hak nazhir yaitu 10% dari penghasilan bersih pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.

c. Asas transparansi dan accountability, yaitu suatu asas, di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.

2. Pengorganisasian atau organizing

Pengorganisasian yaitu struktur dari wewenang atau kekuasaan nazhir atau bisa pula diartikan dengan suatu kerangka tingkah laku untuk analisis proses pengambilan keputusan organisasi. Pengorganisasian mengharapkan perumusan kebijakan

commit to user

mengelola harta wakaf tunai diputus oleh ketua para nazhir tersebut melalui musyawarah, maka nazhir anggota tinggal melaksanakan pengelolaan harta wakaf sesuai model pengelolaan yang diputus oleh ketuanya.

3. Directing

Directing yaitu proses implementasi program agar dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi (nazhir) serta adanya proses motivasi agar pengelolaan berjalan penuh tanggung jawab dan kesadaran dengan produktivitas tinggi. Bentuknya dapat berupa mengadakan kerja sama dengan lembaga lain, maka kesepakatan dalam kerja sama tersebut tinggal diterapkan oleh kelompok nazhir tersebut bersama lembaga pengelola lain. Misalnya kemitraan antar pengelola, yaitu antara nazhir wakaf dengan lembaga keuangan syariah.

4. Pengawasan

Kata pengawasan dipakai sebagai arti harfiah dari kata controlling , yaitu proses yang dilakukan untuk memastikan seluruh rangkaian kegiatan yang telah direncanakan, diorganisasikan dan diimplementasikan berjalan sesuai dengan target yang diharapkan sekalipun berbagai perubahan terjadi. Pengawasan meliputi segala kegiatan, pengamatan dan pengukuran terhadap jalannya pengelolaan wakaf berdasarkan rencana yang telah ditetapkan, penafsiran dan perbandingan hasil pengelolaan wakaf yang dicapai dengan standar yang diminta, mengoreksi penyimpangan dan perbandingan antara output dan input.

Tata cara pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW), dan pendaftarannya diatur pada Bab III Pasal 32-39 Undang-Undang Wakaf, adalah sebagai berikut:

commit to user

Pemilik tanah melengkapi persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf, yaitu:

a. Sertifikat Hak Atas Tanah.

b. Surat keterangan Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa.

c. Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari Kantor Pertahanan Kabupaten/Kotamadya setempat.

d. Harus ada calon wakif yang berkeinginan mewakafkan tanah miliknya.

e. Harus ada nazhir perorangan Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau Badan Hukum Indonesia.

Proses pembuatan Akta Ikrar Wakaf meliputi:

a. Calon wakif harus datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar wakaf (PPAIW) dengan membawa Sertifikat Hak Atas tanah serta surat-surat lainnya sebagaimana disebutkan di atas.

b. Proses yang dilakukan PPAIW adalah:

1) Meneliti kehendak calon wakif dan tanah yang hendak

diwakafkan.

2) Meneliti para nazhir dengan menggunakan W.5 (bagi nazhir perorangan) atau W.5a (nazhir Badan Hukum).

3) Meneliti para saksi Ikrar Wakaf.

4) Menyaksikan pelaksanaan Ikrar Wakaf.

c. Calon wakif mengikrarkan wakaf dengan lisan, jelas dan tegas kepada nazhir di hadapan PPAIW dengan para saksi, kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis menurut formulir W.1.

d. Meneliti identitas calon wakif (kartu penduduk, kartu keluarga, surat nikah, paspor dan lain-lain).

commit to user

(Anggaran Dasar-nya).

f. Calon wakif yang tidak datang di hadapan PPAIW dapat memberikan kuasa tertulis secara matreatik di hadapan notaris dan/

Kantor Departemen Kabupaten/Kotamadya dan dibacakan kepada nazhir di hadapan PPAIW dan para saksi.

g. PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW) rangkap 3 menurut bentuk formulir W.2a. dengan ketentuan:

1) Lembar pertama disimpan.

2) Lembar kedua untuk keperluan pendaftaran di kantor Pertahan di Kabupaten/Kotamadya setempat.

3) Lembar ketiga dikirimkan kepada Pengafilan Agama setempat.

4) Salinan lembaran pertama diserahkan kepada wakif.

5) Salinan lembar kedua diserahkan kepada nazhir.

6) Salinan lembar ketiga dikirim kepada Kandeoag.

7) Salinan lembar keempat dikirim kepada Kepada desa/Lurah setempat.

Pendaftaran dan pencatatan Akta Ikrar Wakaf meliputi:

a. PPAIW atas nama nazhir dan/nazhir berkewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat dengan menyerahkan:

1) Sertifikat tanah yang bersangkutan.

2) Akta Ikrar Tanah.

3) Surat pengesahan dari KUA kecamatan setempat mngenai nazhir yang bersangkutan.

Nazhir juga berkewajiban mengurus pendaftaran/sertifikat tanah hibah, karena beberapa hal, antara lain:

1) Nazhir adalah pengelola/pengurus tanah wakaf tersebut.

commit to user

Kantor agama dengan banyak urusan administrasi kepegawaian yang lain, sehingga tidak akan mempercepat pengurusan sertifikat, jika dibandingkan dengan pengurusan sendiri tanah wakaf oleh nazhir selaku pemilik hak kepengurusan tanah wakaf.

3) Biaya kepengurusan tanah wakaf juga tidak ditanggung seluruhnya oleh PPAIW.

b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya melakukan tahapan:

1) Mencantumkan kata-kata “wakaf” dengan huruf besar di belakang nomor hak milik tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.

2) Mencantumkan kata-kata : “diwakafkan untuk....berdasarkan Akta Ikrar Wakaf PPAIW kecamatan..No....” pada halaman 3 (tiga) kolom sebab perubahan dalam buku tanah dan sertifikatnya.

3) Mencantumkan kata nazhir disertai kedudukannya pada buku tanah dan sertifikatnya.

2. Tanah milik yang bersertifikat yang berstatus hukum Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

a. Calon wakif melengkapi persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf.

b. Persyaratan tersebut disertai surat keterangan dari Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Kabupaten/Kotamadya, bahwa tanah tersebut sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan dapat ditingkatkan status hak kepemilikan menjadi Hak Milik. Sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan tentang pertanahan yang berlaku sekarang ini, maka atas tanah Negara yang diberikan dengan Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan

commit to user

sehingga peluang untuk pemberian wakaf atas tanah Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan yang sudah bersertifikat dapat juga diwakafkan dan merupakan penyesuaian PP Nomor 28 Tahun 1977 dengan peraturan yang dibuat setelah PP tersebut.

3. Tanah hak milik yang belum bersertifikat (bekas tanah hak milik adat).

a. Calon Wakif melengkapi persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf:

1) Surat-surat pemilik tanah (termasuk surat pemindahan hak, surat keterangan warisan, girik, dan lain-lain).

2) Surat Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat yang memberitahukan bahwa tanah yang akan diwakafkan tersebut tidak dalam sengketa.

3) Syarat keterangan Kepala kantor Kabupaten/Kotamadya setempat yang menyatakan Hak Atas tanah itu belum mempunyai sertifikat (Pasal 25 ayat 4 PP Nomor 10/1961).

4) Harus ada nazhir perorangan WNI atau Badan Hukum Indonesia.

5) Harus ada Calon Wakif yang berkeinginan mewakafkan tanah miliknya.

b. Proses pembuatan Akta Ikrar Wakaf sama dengan proses pada tanah yang sudah bersertifikat.

c. Pendaftaran pencatatan Ikrar Wakaf melalui beberapa tahapan, antara lain:

1) PPAIW atas nama nazhir dan atau/nazhir berkewajiban untuk mengajukan permohonan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat dengan menyerahkan surat pemilikan tanah sama dengan persyaratan pada pembuatan Akta Ikrar Wakaf yaitu surat pemilikan tanah

commit to user

girik dan keterangan lain bila ada, Akta Ikrar Wakaf dan surat pengesahan nazhir.

2) Apabila memenuhi persyaratan untuk dikonversi, maka

dapat

dikonversi langsung atas nama wakif (PMPA.2/1962 jo SK 26/DDA/1970).

3) Apabila persyaratan untuk dikonversi tidak dipenuhi, dapat diproses melalui proses pengakuan hak atas nama wakif.

4) Berdasarkan Akta Ikrar Wakaf nama atas nama nazhir.

5) Bagi konversi yang dilaksanakan melalui prosedur pengakuan hak penerbitan sertifikatnya setelah diperoleh SK Pengakuan Hak Atas Nama Wakif. Selanjutnya dilaksanakan pencatatan-pencatatan seperti halnya yang disebut angka 1 c 2 (Pasal 8 Permendagri nomor 6/1977).

4. Tanah yang belum ada haknya (yang dikuasai/tanah negara)

a. Tanah yang sudah berstatus tanah wakaf (tanah yang sudah berfungsi sebagai tanah wakaf, masyarakat dan Pemerintah Desa setempat telah mengakui sebagai tanah wakaf, sedang status tanahnya bukan milik adat/tanah negara.

b. Tanah yang belum berstatus sebagai tanah wakaf namun hendak diwakafkan. Untuk tanah-tanah ini diperlukan syarat wakif atau ahli warisnya masih ada dan mempunyai surat bukti penguasaan/penggarapan, kartu kavling, surat penunjukan:

1) Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat di samping menjelaskan tentang penggunaan tanah yang telah diwakafkan.

2) Bukti pemilikan tanah lamanya berupa kartu kavling, akta- akta jual-beli/pengoper dan hak di bawah tangan atau otentik (akte notaris).

commit to user

ditingkatkan menjadi Hak Milik.

4) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang menerangkan bahwa status tanah negara tersebut apabila sudah pernah terdaftar atau menerangkan belum bersertifikat apabila tanah negara itu belum pernah terdaftar.

5) Calon wakif atau ahli waris datang menghadap PPAIW untuk melaksanakan Akta Ikrar Wakaf (seperti halnya angka 1 huruf b).

6) PPAIW dan atau nazhir berkewajiban mengajukan permohonan atas nama nazhir kepada Kakanwil Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, dengan menyerahkan surat-surat bukti penguasaan/penggarapan atas nama wakif serta surat-surat di atas dan surat pengesahan nazhir.

7) Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat memproses dan meneruskan permohonan tersebut ke Kepala Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.

8) Setelah diterbitkan Surat Keputusan pemberian Hak Atas Tanah atas nama nazhir kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya tersebut menerbitkan sertifikat tanah wakaf.

Tata cara perwakafan selain tanah sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf selain tanah sangat dimungkinkan sekali, terutama dengan menyikapi perekonomian yang semakin hari semakin terlihat perkembangannya. Agar benda wakaf selain tanah terjaga dengan baik dan dikelola secara optimal, maka disusunlah cara pendaftaran benda selain tanah sebagai berikut:

commit to user

isian).

Proses pendaftaran benda wakaf selain tanah memerlukan aparat Departemen Agama di daerah untuk melakukan tugasnya yaitu menangani tempat pengajuan permohonan pendaftaran benda wakaf selain tanah. Calon wakif mengisi blanko Akta Ikrar Wakaf, kemudian petugas meneliti blanko dan membuat Akta Ikrar Wakaf tersebut. Selanjutnya dalam putusan diharuskan mengisi blanko tersebut untuk ditandatangani pihak yang bersangkutan.

2. Macam-macam data kepemilikan benda selain tanah, tersiri dari blanko permohonan pendaftaran Akta Ikrar Wakaf selain tanah dengan jenis-jenisnya, yang dilengkapi dengan surat asli pemilikan benda wakaf selain tanah, tanda bukti pemilikan/hak atas benda wakaf selain tanah dan akta Ikrar Wakaf selain tanah.

3. Akta Ikrar Wakaf selain tanah diisi dan diketahui saksi-saksi yang sah, selanjutnya dengan nota ini diserahterimakan kepada nazhir yang diketahui oleh KUA.

Tata cara pendaftaran harta benda wakaf juga memuat mengenai pengumuman harta benda wakaf, hal ini diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Wakaf yang dalam penjelasannya menerangkan bahwa pengumuman harta benda wakaf adalah dengan cara memasukkan data harta benda wakaf tersebut ke dalam register umum, dengan dimasukkannya data tersebut ke dalam register umum, berarti telah terpenuhinya publisitas dari wakaf sehingga masyarakat dapat mengakses data tersebut.

Pemberdayaan wakaf tunai di Indonesia menggunakan model mobilisasi wakaf tunai. Pemberdayaan wakaf tunai merupakan salah satu usaha yang tengah dikembangkan dalam rangka meningkatkan peran wakaf dalam bidang ekonomi, karena wakaf tunai memiliki kekuatan yang bersifat umum di mana setiap orang bisa menyumbangkan harta tanpa batas-batas tertentu. Demikian juga

commit to user

seluruh potensi ekonomi untuk dikembangkan.

Untuk itu, agar potensi ekonomi wakaf tunai dapat dikembangkan lebih lanjut, terlebih dahulu adalah bagaimana kita menggunakan aspek atau kekuatan yang ada untuk memobilisasi wakaf likuid ini. Model di bawah ini dapat menjadi pokok pikiran guna memobilisasi wakaf tunai, antara lain:

1. Model Mustafa Edwin Nasution

Model mobilisasi yang ditawarkan berupa menarik secara langsung ataupun tidak langsung setiap gaji para pegawai, baik yang bekerja pada pemerintah, bidang swasta, ataupun bidang- bidang ekonomi lainnya. Adapun langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam bidang ini adalah dengan cara pendekatan lewat pengurus organisasi “kerohanian Islam”. Kerja sama bisa dilakukan dengan cara menyediakan tenaga ceramah agama, lalu penawaran kerja sama wakaf dengan menawarkan program sosial seperti pemberian beasiswa dan pengembangan pertanian.

Penawaran kerja sama dan program sosial ini sangat penting mengingat sektor pendidikan, keagamaan dan pelayanan sosial adalah bidang yang paling disukai calon wakif di Indonesia ketika mereka memberikan sumbangan.

Persoalannya adalah bagaimana nazhir wakaf dapat meyakinkan pihak calon wakif, yaitu perusahaan, instansi pemerintah dan lain-lain tentang pentingnya melakukan tanggung jawab sosial dengan berwakaf.

Contoh modelnya, perusahaan adalah bagian dari lingkungan sosial masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat di lingkungannya, sehingga masyarakat merasakan kehadiran perusahaan dan memiliki citra positif terhadap perusahaan.

commit to user

Model ini dipopulerkan oleh M.A. Mannan, gagasan ini mengemas instrumen Cash Waqf Certificate dan merupakan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis kesejahteraan yang ditawarkan oleh M. Umar Chapra yang merupakan seorang ekonom juga, dengan harapan SIBL menjadi alternatif peningkatan pendapatan.

Operasional kerja dari Cash Waqf Certificate adalah menerbitkan sertifikat dengan nilai nominal yang berbeda-beda untuk kelompok sasaran yang berbeda-beda pula. Aspek inilah yang sebenarnya menjadi keunggulan wakaf tunai disbanding dengan keunggulan wakaf berupa harta tetap lain, karena besarnya harta wakaf dapat disesuaikan dengan kemampuan calon wakif.

Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam wakaf tunai, upaya yang dapat dilakukan adalah sosialisasi intensif tentang arti penting wakaf sebagai sarana transfer pemerataan pendapatan dari wakif kepada al mauquf alaih (pihak yang menerima wakaf).

Instrumen wakaf tunai sangat relevan dalam memberikan dana melalui mobilisasi dana abadi yang digarap tangan-tangan profesional yang amanah, transparan, terjamin akuntabilitasnya di tengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik.

Kehadiran wakaf tunai patut mendapat perhatian lebih dari pemerintah guna membiayai berbagai proyek sosial melalui pemberdayaan wakaf benda tak bergerak yang selama ini menjadi beban nazhir, bahkan wakaf tunai dapat membiayai investasi produktif pada sektor riil seperti kontrak investasi kolektif atau KIK.

commit to user

tidak hanya sekedar mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga menciptakan pemerataan pendapatan.

3. Model-model mobilisasi lain

Pertama, cara yang digunakan untuk mobilisasi wakaf tunai adalah menggalang animo masyarakat melalui partipasi aktif. Penggalangan ini dapat dilakukan melalui media massa baik media massa elektronik maupun cetak. Contohnya pada lembaga Dompet Dhuafa Republika.

dilakukan adalah menyelenggarakan kegiatan khusus, misalnya konser musik, pameran, seminar dan acara lain yang sekaligus bisa dijadikan ajang promosi, pencitraan atau kampanye. Untuk menarik perhatian peminat wakaf, pihak nazhir dapat menghadirkan tokoh masyarakat misal dai kondang, pejabat ataupun artis yang sedang populer.

Ketiga, dengan menggunakan tangan pemerintah terutama untuk pemberlakuan pajak (tax deduction) kepada wakif perorangan dan perusahaan, dengan adanya pemberlakuan pajak yang cukup tinggi dan macam-macam dari pemerintah, calon wakif yang berasal dari kalangan perusahaan dan pegawai cenderung menyumbang penghasilannya dengan jumlah sedikit (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 174).

Ketiga hal di atas dipengaruhi gagasan wakaf tunai sebagai mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi finansial umat akan kemaslahatan perekonomian akan dapat melengkapi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan di mana Pajak Penghasilan di mana zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak.

commit to user

harus didukung oleh pihak-pihak manajemen dan distribusi. Untuk itu, nazhir wakaf harus meningkatkan kreativitas program pengembangan dana wakaf secara profesional dan juga meningkatkan keterbukaan pengelolaan keuangannya. Di samping itu, manajemen pemasaran atau rekruitmen dana wakaf juga mesti dijadikan divisi penggalangan secara terpisah, pemberian insentif dari petugas dan struktur organisasi nazhir yang ramping. Tugas dari divisi ini adalah untuk melakukan pendekatan kepada calon wakif yang prospektif, yaitu wakif yang mempunyai pendapatan besar dan memiliki kelebihan likuiditas, dengan adanya penataan ini, diharapkan kepercayaan masyarakat meningkat sehingga rekruitmen dana wakaf bisa dilakukan dengan sukses.

Setelah usaha mobilisasi dana wakaf tunai dilakukan, maka diperoleh dana wakaf yang harus segera diberdayakan dengan produktif dan efektif agar tercapai tujuan wakaf. Seperti halnya mobilisasi dana, dalam pengelolaan atau pemanfaatan dana wakaf pun juga memiliki berbagai model pemanfaatan.

Sepanjang sejarah perwakafan Indonesia, instrumen wakaf belum banyak dieksplorasi secara maksimal. Bagi wakaf tunai, strategi pengelolaan yang baik perlu diciptakan untuk mencapai tujuan wakaf. Terlebih bagi wakaf tunai, penting sekali untuk secepatnya memikirkan strategi pemanfaatan secara maksimal untuk pemberdayaan ekonomi umat.

Model alternatif pemanfaatan dana wakaf tunai yang ditawarkan oleh Farid Wadjdy dan Mursyid dalam Wakaf untuk Kesejahteraan Umat adalah model investasi produktif, model dompet dhuafa Republika dan model lain antara lain pembiayaan produktif, meneruskan program di masa lalu dan direct investmen.

Pada Model Investasi Produktif ini, wakaf merupakan sumber dana abadi potensial untuk mengatasi masalah-masalah

commit to user

pemerintah tanpa bergantung pada kredit dari luar negeri. Pengembangan pemanfaatan wakaf tunai dengan sistem Dana Abadi adalah dana yang berhasil dihimpun dari berbagi sumber yang sah dan halal dalam volume besar diinvestasikan dengan tingkat keamanan terjamin.

Tentu saja investasi produktif ini dapat dilakukan apabila mencakup dua unsur yaitu pertama, keamanan dana pokok harus terjamin sehingga tidak terjadi penyusutan dan yang kedua adalah investasi tersebut harus produktif. Produktif di sini mengandung maksud mampu mendatangkan hasil atau pendapatan (incoming generating allocation ) karena dari pendapatan inilah pembiayaan utama kegiatan organisasi akan dilakukan.

Model ini semakin menarik karena dari investasi yang dilakukan, bentuk keuntungan dari investasi ini dapat dinikmati oleh masyarakat di mana saja. Hal ini dimungkinkan karena benefit berupa cash yang dapat ditransfer ke beneficiary maupun seluruh dunia. Demikian juga dengan investasinya dapat dilakukan di mana saja sesuai dengan sifat cash waqf yang likuid mampu menjembatani masyarakat kaya dan miskin, proses ini dapat menjadi efek bola salju manakala benefit dana wakaf diinvestasikan kembali dan seterusnya.

Tujuan utama investasi ini adalah untuk mengoptimalkan fungsi wakaf sebagai prasarana peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sumber daya insani.

Menurut Munzir Kahf, seorang pakar ekonomi Islam, kekurangan wakaf tunai adalah karena belum dibahas dalam fiqh klasik, sehingga dapat menimbulkan keraguan bagi pihak yang tertarik untuk berwakaf.

Tetapi di sisi lain, Karnaen A. Perwataatmaja berpendapat bahwa fiqh terus berkembang, karena itu model transaksi

commit to user

Lembaga Keuangan Islam.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa menjadikan wakaf tunai sebagi modal usaha mudharabah dan mubadhaah, sedangkan keuntungannya disedekahkan untuk wakaf. Pemanfaatan wakaf tunai yang dapat dilakukan oleh nazhir antara lain berdasar prinsip mudharabah, musyarakah, murabahah dan ijarah (Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam, Depag RI, 2005: 112-114).

Berdasar prinsip mudharabah, fungsi Bank Islam sebagai mitra bagi nasabahnya. Fungsi antara bank dengan penabung/pengusaha, bank bertindak sebagai mudharib (pengelola), sedangkan penabung sebagai shahibul maal (penyandang dana).

Investasi musyarakah, dijalankan berdasarkan partisipasi antara shahibul maal dengan mudharib dalam bentuk proyek usaha dan berdasarkan untung rugi. Investasi ini memberikan peluang bagi pengelola wakaf untuk menyertakan modalnya pada sektor usaha kecil menengah (UKM) yang dianggap memiliki kelayakan usaha, namun kurang modal, sedang mudharib mengelola dana wakaf agar dapat berkambang baik sampai kepada sistem manajemennya tanpa diintervensi oleh shahibul maal .

Investasi murabahah, dalam investasi ini mengharuskan nazhir sebagai entrepreneur (pengusaha) yang membeli peralatan dana material yang diperlukan melalui kontrak murabahah.

Pada perbankan Islam secara umum, investasi murabahah ditentukan terlebih dulu harga membeli dan biaya terkait, serta kesepakatan margin/mark up (keuntungan) bagi shahibul maal, dengan demikian, diketahui harga pokok barang (modal atau biaya yang diperlukan) serta perkiraan keuntungan.

commit to user

layak dijadikan instrumen pengembangan wakaf tunai, alasannya adalah model tersebut dapat membantu keutuhan aset, dapat menjadi sumber pendanaan aset lain dan cakupan target menjadi semakin luas (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 112).

Model Dompet Dhuafa Republika, perintis pengembangan model ini adalah Lembaga Amil Zakat yang berkantor di Ciputat Jakarta Selatan, dana wakaf yang terhimpun dari masyarakat digunakan untuk mendirikan berbagai usaha dari peternakan domba sampai membeli saham perusahaan pakan ikan.

Menurut nazhir wakaf lembaga tersebut, penyaluran dana tersebut tidak menghilangkan makna wakaf, tetapi justru berkembang karena dimanfaatkan pada sektor usaha produktif.

Hasil dari peternakan domba khusus diberikan kepada fakir miskin untuk mengembangkan usaha peternakan, bantuan yang diberikan tidak hanya gratis bibit domba, tetapi juga bantuan teknologi budidaya ternak, pengawasan kesehatan, bibit pakan dan pemasarannya sampai pada manajemen pengelolaan peternakan.

Hasil dari penyertaan modal pakan ikan digunakan untuk berbagai kepentingan sosial. Misalnya membiayai Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa Republika di Ciputat yang setiap bulannya melayani pengobatan gratis kepada sekitar 100 orang dhuafa dengan memakan biaya antara Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 300.000.000 per bulan.

Selain model-model di atas, wakaf tunai juga memiliki nilai strategis dalam menciptakan pekerjaan dan mengurangi pengangguran dalam kegiatan produksi yang tentunya sesuai dengan syariah dan kemaslahatan umat.

Salah satu bentuk penyaluran dana dengan pembiayaan produktif kepada usaha kecil menengah yaitu dengan memberikan

commit to user

reksadana syariah.

Bentuk lain adalah dengan meneruskan program-program wakaf masa lalu yang masih diteruskan hingga sekarang. Misalnya PROKESRA yang didanai sumbangan perusahaan besar yang memperoleh laba minimal 100 juta per tahun. Melalui mekanisme simpan pinjam, PROKESRA dapat mendanai proyek- proyek monumental seperti pertanian pada sawah atau palawija, sehingga menghasilkan cadangan pakan dan lumbung bibit, perikanan, peternakan dan perkebunan.

Pemberian Skim Kredit Mikro mempunyai nilai tresendiri dalam pola lending pembiayaan yaitu menciptakan harapan kemandirian bagi pengusaha kecil.

Direct investmen adalah model pemanfaatan wakaf secara langsung, yaitu menyalurkan dana wakaf tunai langsung kepada masyarakat melalui nazhir untuk dimanfaatkan, tanpa melalui lembaga pengelola wakaf setelah nazhir.

Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar dalam Menuju Era Wakaf Produktif mengemukakan bahwa untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana wakaf tunai dengan kemitraan usaha, perlu diarahkan model pemanfaatan dana tersebut kepada sektor usaha yang produktif dengan lembaga usaha yang baik. Salah satu caranya adalah membentuk dan menjalin kerja sama (networking) yang baik dengan perusahaan modal ventura. Beberapa pertimbangan atas pemilihan tersebut antara lain:

1. Bentuk dan mekanisme kerja modal ventura sangat sesuai dengan model pembiayaan dalam Sistem Keuangan Islami (untuk mengimplementasikan pembiayaan mudharabah ataupun musyarakah). Hal ini untuk melengkapi metode

commit to user

lebih menekankan pada model pembiayaan murabahah.

2. Dana yang berasal dari wakaf tunai (melalui penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai) dapat digunakan untuk jangka waktu yang relatif panjang dalam bentuk penyertaan.

3. Membangun

hubungan

yang lebih

intensif dan berkesinambungan antara lembaga wakaf dan perusahaan modal ventura sehingga memungkinkan terjaminnya perkembangan usaha bagi kedua belah pihak. Utamanya bagi lembaga wakaf hal ini sangat positif karena aspek income generating dari pemanfaatan dana wakaf tunai menjadi terjamin.

4. Aspek pengawasan penyertaan dana pada perusahaan modal ventura menjadi lebih mudah.

Selain bekerja sama dengan perusahaan modal ventura dalam mengelola dan mengembangkan dana wakaf, juga bisa menempuh kerja sama dengan:

1. Lembaga perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya sebagai pihak yang memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada nazhir wakaf berupa kredit dengan sistem bagi hasil setelah melalui studi kelayakan oleh pihak bank.

2. Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan. Lembaga ini bisa berasal dari lembaga lain di luar lembaga wakaf, atau lembaga wakaf lainnya yang tertarik terhadap pengembangan benda wakaf yang dianggap strategis.

3. Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup, modal yang akan ditanamkan berbentuk saham kepemilikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan ini bisa

commit to user

penyahaman sesuai dengan kadar yang ditanamkan.

4. Lembaga perbankan internasional yang cukup peduli dengan pengembangan tanah wakaf di Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB).

5. Lembaga keuangan lainnya dengan sistem pembangunan BOT (Built, Operate and Transfer).

6. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam atau luar negeri.

Lembaga Keuangan Syariah sebagai pengelola wakaf adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan syariah, misalnya Lembaga Perbankan Syariah, hal ini sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004.

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Bab II Pasal 28 menyebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.

Peraturan tersebut memberi arahan pada kita bahwa kelak pengelolaan wakaf tunai lebih banyak diserahkan pada LKS, meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk lembaga selain LKS dipercaya oleh wakif untuk mengelola wakaf tunai.

Arahan aturan ini sangat tepat mengingat struktur LKS sudah well established dan mempunyai sofistikasi dalam pengelolaan asset keuangan. Misalnya perbankan syariah sebagai manager investasi lembaga keuangan dalam operasionalnya selalu disupervisi bukan hanya oleh otoritas moneter tetapi juga oleh Dewan Pengawas Syariah untuk memastikan bahwa lembaga ini patuh dengan prinsip kehati-hatian dan compliance dengan prinsip syariah.

commit to user

Wadjdy dan Mursyid, 2007:174), sesuai syariah, struktur dasar yang dapat dipakai untuk mengelola wakaf tunai sesuai dengan kedudukan LKS dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah mudharabah, musyarakah, bay`al-istisna dan bay`al-salam.

Pada struktur pengelolaan dana wakaf tunai menurut prinsip mudharabah, nazhir setelah memobilisir dana wakaf tunai dari wakif kemudian pengelolaannya diserahkan kepada bank syariah dengan akad bagi hasil untuk membiayai pembangunan proyek infrastruktur misalnya rumah sakit, shoping centre, atau universitas. Bank mendapat profit dari hasil penyaluran dana kemudian berbagi keuntungan dengan nazhir sebagai shahibal maal sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.

Bentuk lain pengelolaan dana wakaf tunai adalah, wakif secara langsung mempercayakan sejumlah uang kepada bank syariah dengan akad mudharabah untuk dikelola dan diinvestasikan.

Return dari dua bentuk mudharabah di atas oleh nazhir lantas digunakan untuk membiayai keperluan sosial misalnya rumah sakit gratis untuk warga tak mampu, beasiswa dan santunan yatim piatu.

Bank syariah sebagai salah satu lembaga keuangan syariah merupakan lembaga yang dapat menjadi pengelola dan penerbit wakaf tunai, meskipun tidak menutup kemungkinan lembaga lain untuk mengelola wakaf tunai. Dengan demikian, Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai diprioritaskan untuk berada dalam kompetensi bank syariah.

Penjabaran operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai sebagai berikut:

commit to user

sebagai sumbangan syariah dan atas nama wakif.

2. Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan wakif.

3. Wakif mempunyai kebebasan untuk memilih tujuan-tujuan sebagaimana tercantum pada daftar yang sesuai identifikasi yang telah dibuat atau tujuan lain yang diperkenankan syariah.

4. Wakaf tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat tertinggi yang ditawarkan bank dari waktu ke waktu.

5. Kuantitas wakaf harus tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang dibelanjakan untuk tujuan yang telah ditentukan wakif. Bagian dari keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus.

6. Wakif dapat meminta bank agar mempergunakan keseluruhan profit yang telah diguunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan.

7. Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya sebesar ... (ditentukan kemudian). Deposit berikutnya dapat dilakukan sesuai kesepakatan.

8. Wakif dapat meminta bank untuk merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk dipindahkan dari rekening wakif pada rekening pengelola wakaf.

9. Atas setoran wakaf tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan sertifikat.

10. Prinsip dan dasar aturan syariah wakaf tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah.

commit to user

yang diterbitkan oleh Proyek Pengembangan dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, dikemukakan bahwa seseorang dapat membeli Sertifikat Wakaf Tunai untuk diri sendiri, orang tua, ahli waris, suami/istri, tetangga, saudara kandung, peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang cacat, peningkatan standar hidup penduduk hunian kumuh, membantu pendidikan anak yatim piatu, beasiswa, pengembangan pendidikan modern, pengembangan sekolah, madrasah, kursus, akademi dan universitas, mendanai riset, membantu pendidikan keperawatan, riset penyakit tertentu dan membangun pusat riset, mendirikan rumah sakit dan bank darah, membantu program riset, pengembangan dan pendidikan untuk menghormati jasa para pendahulu, menyelesaikan masalah-masalah sosial non-muslim, membantu proyek-proyek penciptaan kerja penting dalam rangka menghapus kemiskinan dan hal-hal lain yang diperbolehkan syariah.

Bentuk pengelolaan dana wakaf yang sudah terkumpul melalui Sertifikat Wakaf Tunai dikelola dengan kerja sama lembaga nazhir, perbankan syariah, dan lembaga pengelola lain yang memungkinkan.

SIBL (Social Investmen Bank Limited), merupakan perbankan tiga sektor yang unik di luar sistem perbankan konvensional, beroperasi bersama-sama untuk menghapuskan kemiskinan. Kegiatan bank ini dilakukan melalui 3 sektor yaitu formal, non formal dan voluntary atau sektor pemerintah, swasta dan voluntary.

Disebut demikian karena pengembangan harta melalui wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal semata, baik pemerintah maupun swasta, tetapi lebih didasarkan pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan kerja

commit to user

selama aset masih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Proses operasi Pasar Modal Sosial sektor voluntary, pengenalan sertifikat wakaf tunai merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah perbankan. Sertifikat Wakaf Tunai ini dimaksudkan sebagai instrumen pemberdayaan keluarga kaya dalam memupuk investasi sosial sekaligus kesejahteraan sosial.

Selain memberikan porsi yang cukup kepada perbankan syariah untuk mengelola dana wakaf melalui jalan investasi, lembaga swasta lain yang memiliki kredibilitas baik dalam pengelolaan investasi sesuai konsep syariat Islam harus juga diberi kesempatan mengelola wakaf tunai.

Penanganan harta wakaf tidak bergerak di tanah air masih sangat tradisional sehingga lebih dapat dikatakan konsumtif. Pada waktu yang lampau, perubahan dan pengurusan tanah wakaf dapat dilakukan secara sepihak oleh nazhirnya. Hal ini disebabkan adanya berbagai bentuk perwakafan (misalnya wakaf keluarga) dan tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan harta diwakafkan sebagai badan hukum.

Nilai dan penggunaan tanah semakin meningkat di kondisi sekarang ini, maka tanah wakaf yang tidak memiliki surat-surat dan tidak jelas secara hukum, sering mengundang kerawanan dan peluang terjadinya penyimpangan dan hakikat dari tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran agama.

Sebagai upaya melengkapi sarana hukum, maka pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dalam Pasal 9 disebutkan bahwa wakaf harus dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja.

commit to user

misalnya untuk kelengkapan dokumen pendaftaran tanah wakaf pada Kantor Agraria maupun sebagai bukti hukum apabila timbul sengketa di kemudian hari tentang benda yang diwakafkan.

Upaya sertifikasi tanah wakaf sampai saat ini masih terus dilakukan oleh Departemen Agama agar memiliki status hukum yang jelas dan apabila ada penyimpangan dapat dituntut sesuai dengan status hukum yang berlaku.

Secara teknis, proses sertifikasi tanah wakaf memerlukan keteguhan nazhir dan biaya tidak sedikit sehingga diperlukan peran semua pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi tanah-tanah wakaf, khususnya peran Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah dalam pengurusannya.

Peran BPN sangat signifikan dalam usaha memudahkan proses pembuatan sertifikat tanah, sedangkan peran Pemda sangat dibutuhkan dalam menanggulangi pembiayaan sertifikasi, pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan tanah-tanah wakaf yang ada.

Sebelum pemberdayaan tanah wakaf dilakukan, ada beberapa hal penting yang harus terlebih dahulu diperhatikan yaitu pendataan, planning, potensi, prinsip manajemen dan penelitian.

Pendataan atau inventarisasi tanah wakaf berisi informasi Tentang luas tanah, lokasi tanah, peruntukan tanah, nazhir tanah wakaf dan hal lain yang relevan.

Penyusunan planning atau perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang. Perencanaan terkait dengan sejumlah program kerja bidang sosial dalam arti luas, sehingga dapat diperoleh gambaran berapa dana yang mungkin diperlukan dan dihasilkan melalui pendayagunaan atau pemanfaatan tanah wakaf secara produktif.

commit to user

sehingga dapat ditentukan prioritas penggunaannya. Apabila diketahui manfaatnya yang tepat, tanah tersebut akan memberikan nilai tambah bagi lembaga pengelola wakaf itu sendiri.

Mengenai prinsip manajemen, maka sebaiknya yang dijadikan pedoman adalah prinsip manajemen kontemporer yang sesuai dengan ajaran Islam, artinya tanah wakaf itu harus dikelola secara profesional dan amanah oleh manajer yang profesional pula.

Penelitian yang dimaksud di sini adalah kita perlu melakukan penelitian atau survei terhadap segi-segi yang relevan dengan wakaf, pengalaman mengenai wakaf dan perbandingan tentang wakaf di negara-negara lain.

Setelah unsur-unsur di atas dapat dipenuhi, maka langkah selanjutnya adalah kajian yang matang tentang persiapan pemberdayaan wakaf.

Contoh pemberdayaan wakaf produktif, yaitu, di sekitar kita banyak tanah wakaf yang di atasnya dibangun masjid, mushola atau madrasah dengan menyisakan beberapa meter tanah kosong. Nazhir tidak mempertimbangkan kondisi strategi di sekitarnya, sehingga justru menimbulkan beban biaya bagi nazhir misalnya untuk biaya listrik, air, perbaikan dan perawatan sarana dan prasarananya.

Akibatnya nazhir mencari pembiayaan dari sumber lain dengan cara mengedarkan kotak amal di jalan, toko-toko, SPBU dan lain-lain yang dapat mengganggu banyak orang dan bahkan merusak citra Islam secara umum. Oleh karena itu, sudah saatnya nazhir wakaf memberdayakan tanah wakaf bernilai ekonomis tinggi.

Ada beberapa nazhir yang memiliki visi prospektif lantas memugar bangunan wakaf lama tersebut, lantas membangunnya kembali dengan menjadikan gedung bertingkat misalnya 3 lantai,

commit to user

pertemuan, sedangkan lantai ketiga digunakan untuk kantor. Farid Wadjdy dan Mursyid dalam buku Wakaf dan Kesejahteraan

Umat

memberikan

gambaran mengenai pemberdayaan tanah wakaf secara produktif yang berhasil dilaksanakan dengan baik oleh 2 lembaga di Indonesia yaitu Badan Wakaf Pondok Modern Gontor Ponorogo dan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia.

1. Badan Wakaf Pondok Modern Gontor Ponorogo Sebagian besar tanah pertanian Pondok Modern Gontor Ponorogo dikelola secara produktif dengan usaha pertanian, perkebunan, percetakan, retail, apotek, wartel, penggilingan padi, toserba dan usaha lainnya. Hasilnya untuk pengelolaan pendidikan, kaderisasi, penyediaan sumber dana mandiri sehingga pondok tersebut tidak hanya berkembang kualitasnya namun juga kualitasnya.

2. Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia Tanah wakaf ini dulunya terletak di Jakarta, lantas dipindah ke Yogyakarta. BWUII sebelumnya mengelola sebuah universitas yaitu UII dan sampai sekarang ini berhasil berkembang menjadi 1 buah SMU, 1 universitas dengan 7 fakultas strata 1 ditambah program D3, program internasional, 4 Magister dan 2 program Doktor.

Menurut Mundzir Kahf sebagaimana dikutip oleh Karnaen Perwataatmaja, gagasan untuk menyisihkan sebagian pendapatan wakaf untuk mengembangkan harta wakaf atau meningkatkan modal harta wakaf dibedakan secara tradisional dan institusional. Model pembiayaan Islami wakaf secara tradisional antara lain:

1. Pembiayaan wakaf dengan menciptakan wakaf baru. Contohnya: perluasan Masjid Nabawi di Madinah.

commit to user

wakaf. Syarat yang harus dipenuhi adalah adanya ijin dari pengawas.

3. Penukaran pengganti (subtitusi) harta wakaf. Maksudnya adalah pertukaran harta wakaf satu dengan yang lain tanpa perubahan peruntukanyang ditetapkan wakif. Secara subsitusi, ini tidak meningkatkan harta wakaf dalam kondisi pasar normal, minimal pendapatan atau pelayanan yang diperoleh adalah peningkatan pelayanan. Contoh: penukaran bangunan gedung sekolah di wilayah jarang penduduk dengan gedung sekolah yang berada di wilayah padat penduduk.

4. Model pembiayaan Hukr, yaitu sewa berjangka panjang dengan lump sum pembayaran di muka yang besar. Model pembiayaan ini diciptakan oleh fuqaha untuk menyiasati larangan menjual harta wakaf. Contoh: nazhir dapat menjual hak sewa suatu bangunan untuk jangka tertentu dalam waktu tertentu daripada menjual bangunan dan tanah wakafnya.

5. Model pembiyaan ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran. Model ini menghasilkan dua pembayaran yaitu uang muka yang besar untuk merekonstruksikan harta wakaf dan sewa tahunan periodik selama masa sewa.

Model pembiayaan semakin berkembang, tetapi pembiayaan yang dipakai umat muslim hendaknya tetap berdasar prinsip islami yaitu prinsip bagi hasil/resiko, jual beli dan sewa. Model pembiayaan baru wakaf produktif secara institusional tersebut terdiri dari:

1. Model pembiayaan murabahah adalah nazhir mengambil sebagai pengusaha yang mengadakan pembelian material melalui surat kontrak murabahah dan pembiayaannya datang dari suatu Bank Syariah.

commit to user

pengembangan harta wakaf melalui lembaga syariah. Kemudian lembaga syariah tersebut mengadakan kerja sama dengan pihak lain guna mencapai target pengelolaan wakaf yang sudah ditentukan.

3. Model ijarah adalah nazhir tetap memegang kendali penuh atas manajemen proyek, penyedia dana hanya diperkenankan mengolah mauquf (harta yang diwakafkan), kemudian nazhir mengelola manajemennya secara penuh dan membayar modal serta keuntungan kepada penyedia dana. Setelah itu, penyedia dana tidak diperbolehkan lagi intervensi terhadap mauquf.

4. Model mudharabah adalah nazhir sebagai mudharib (pengusaha) dan menerima dana likuid dari lembaga pembiayaan, manajemen berda di tangan nazhir, tingkat bagi hasi ditutup sedemikian rupa sesuai kesepakatan sehingga menutup biaya manajemen dan biaya penggunaan tanah. Contoh: nazhir menerima dana dari Bank Syariah untuk mendirikan bangunan gedung di atas tanah wakaf.

5. Model pembiayaan berbagai kepemilikan adalah apabila dua pihak (nazhir dan pemilik dana) secara bebas saling memiliki dua benda yang terkait, misalnya masing-masing pihak memiliki separuh dari tanah yang digunakan untuk perkebunan. Operasionalisasi formalnya adalah: nazhir mengijinkan lembaga pembiayaan untuk mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Penentuan bagi hasil jelas dan ada tambahan prosentase bagi pengelola usaha tersebut.

6. Model bagi hasil adalah nazhir menyediakan tanah wakaf dan gedungnya sedangkan lembaga pembiayaan yang menyediakan biaya operasional dan manajemen.

7. Model sewa berjangka panjang dan Hukr adalah manajemen berada di tangan lembaga pembiayaan dan lembaga tersebut

commit to user

sewa periodik kepada nazhir, menanggung manajemen dan tanggung jawab konstruksi. Sub model Hukr menambah suatu ketentuan di mana lembaga pembiayaan membayar lump sum tunai sebagai tambahan dan sewa periodik.

Memanfaatkan benda wakaf berarti menggunakan benda wakaf tersebut, sedang benda pokoknya tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. Ini sesuai dengan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Ketika benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya, atau kurang memberi manfaat banyak, atau demi kepentingan umum harus dilakukan perubahan dan pengalihan atas benda wakaf tersebut, seperti menjual, mengubah sifat, memindahkan ke tempat lain atau menukar dengan benda lain, maka hal tersebut terpaksa harus dilakukan agar pengelolaan wakaf dapat optimal dan memberi manfaat.

Ulama Syafii dan Maliki berpendapat bahwa benda wakaf tersebut tetap tidak dapat diubah dengan cara dijual atau ditukar. Di lain pihak, Imam Hambal, Abu Tsaur dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa benda wakaf yang sudah tidak berfungsi atau kurang berfungsi sehingga tidak sesuai lagi dengan peruntukan wakaf tentu tidak lagi menjadi mauquf (benda yang diwakafkan) sehingga boleh dijual, diubah, diganti atau dipindahkan agar tetap bisa berfungsi dan mendatangkan maslahat bagi umat sehingga tidak mubazir.

Dalil atau argumentasi yang digunakan Imam Ahmad adalah ketika Umar bin Khatab ra memindahkan Masjid Kufah yang lama dan dijadikan pasar bagi penjual-penjual kurma. Kemudian masjid tersebut diganti dengan bangunan masjid yang

commit to user

perubahan, dahulu hanya terbuat dari batu, tanah dan pelepah kurma, sekarang sudah menjadi masjid yang sangat megah dan dikunjungi serta digunakan orang dari seluruh dunia (Tanya Jawab Wakaf, Diektorat Jenderal Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2008).

Ibnu Taimiyah membolehkan atau mengalihkan wakaf dengan dua syarat yaitu karena kebutuhan mendesak dan penggantian karena kepentingan atau maslahat yang lebih kuat. Pertama, karena kebutuhan mendesak, misalnya kuda yang diwakafkan untuk perang. Bila kuda tersebut tidak mungkin dimanfaatkan untuk perang bisa dijual dan harganya bisa digunakan untuk membeli apa-apa yang dapat menggantikannya. Hal ini diperbolehkan karena tetap memenuhi pokok/tujuan wakaf. Kedua, penggantian karena kepentingan atau maslahat yang lebih kuat. Apabila masjid sudah rusak dan tak dapat digunakan oleh kaum muslimin setempat, maka dapat dirobohkan dan bahannya dijual untuk membangun masjid yang baru sehingga kaumnya dapat mempergunakan dan memakmurkan masjid dengan maksimal. Ibnu Qudamah juga menashkan demikian.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga mengatur tentang perubahan harta benda wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri yaitu pada Bab IV Pasal 40 dan 41. Pasal 40 yang mengemukakan bahwa harta benda yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, ditukar ataupun dialihkan dalam bentuk pengalihan jaminan hak lainnya.

Namun penyimpangan dari ketentuan Pasal 40 huruf f dimungkinkan oleh Pasal 41 manakala harta benda wakaf yang telah digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana

commit to user

yang berlaku dan sesuai dengan syariah, memperoleh ijin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

Berdasar alasan tersebut, perubahan dan atau pengalihan benda wakaf pada prinsipnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat di atas dan dengan mengajukan alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang yang berlaku. Ketatnya prosedur perubahan dan pengalihan harta benda wakaf bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang merugikan eksistensi wakaf itu sendiri. Sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Penyelesaian sengketa dalam bidang perwakafan tidak jauh berbeda dengan sengketa bidang lain. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perwakafan diatur dalam Bab VII Pasal 62 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Wakaf. Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.

Penjelasan pasal tersebut memuat penyelesaian sengketa melalui bantuan mediator yang disepakati para pihak, apabila tidak terselesaikan dengan mediasi, maka sengketa terebut dapat dibawa ke badan arbitrase syariah, apabila tetap tidak berhasil maka dibawa ke pengadilan agama dan atau mahkamah syar`iyah.

B. Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI)

sebagai Lembaga yang Berkompeten dalam Pengelolaan Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Salah satu yang menarik dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah berdirinya kelembagaan Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI

commit to user

diharapkan perwakafan di Indonesia mampu berkembang lebih baik, terutama dalam melakukan pembinaan, pengawasan nadzir serta pengelolaan wakaf itu sendiri.

Untuk mengelola wakaf produktif di Indonesia, yang pertama- tama harus dilakukan adalah pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pengelola wakaf dan bersifat nasional. Lembaga ini lantas disebut Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Keberadaan BWI tidak lagi hanya merupakan cita-cita belaka, tetapi telah menjadi tuntutan untuk ada sebagaimana dituangkan dalam ketetutuan berikut senagai landasan hukum bagi pembentukan BWI:

1. Undang–Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab VI mengenai kedudukan dan tugas BWI pada Pasal 47.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

3. Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor: 08/BWI/XII/2007 tentang Tata Kerja Badan Wakaf Indonesia.

Sebuah lembaga yang didukung dengan landasan hukum yang kuat dalam pendiriannya akan memberikan arah yang jelas dalam menjalankan fungsi dan peranannya.

Badan Wakaf Indonesia diberi tugas untuk mengembangkan wakaf secara produktif sehingga wakaf dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Badan Wakaf Indonesia secara organisatoris harus bersifat independen. Pemerintah dalam hal ini bersikap sebagai fasilisator.

Tugas utama BWI adalah memberdayakan wakaf secara produktif yang pada prinsipnya yaitu mengelola seluruh harta wakaf yang ada. Namun selama ini harta wakaf di Indonesia berupa tanah milik yang masing-masing sudah ada nazhirnya dan pembinaannya juga telah dilakukan oleh Departemen Agama setempat sehingga BWI cukup hanya

commit to user

kebijakan-kebijakan yang mengarah pada peningkatan kemampuan nazhir wakaf sehingga dapat mengelola wakaf yang menjadi tanggungjawabnya.

Untuk itu, tugas BWI hanya mengelola benda wakaf bergerak dan wakaf tunai yang dikembangkan melalui lembaga terkait dan wakaf tunai dikembangkan melalui Lembaga Keuangan Syariah.

Selain hal tersebut, BWI juga bertugas:

1. Merumuskan kembali fikih wakaf baru di Indonesia, khususnya merumuskan barang-barang yang dapat diwakafkan (mauquf) dan nazhir wakaf.

2. Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya benda bergerak dan sertifikat tunai pada masyarakat.

3. Membantu sosialisasi dan pelaksanaan Undang-undang Wakaf.

4. BWI mengelola wakaf dengan menjalin kerja sama dengan lembaga lain terutama lembaga syariah perbankan.

Adanya BWI yang berkedudukan di Jakarta sebagai pusat komando, maka pengelolaan wakaf telah memiliki garis struktural yang jelas. Dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Ayat (2) menyebut bahwa Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya. Mengenai kedudukan Badan Wakaf Indonesia diatur dalam Pasal 48 yang menyebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Adapun mengenai tugas Badan Wakaf Indonesia diatur dalam Pasal 49 ayat (1) bahwa Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :

1. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

commit to user

berskala nasional dan internasional.

3. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.

4. Memberhentikan dan mengganti Nazhir.

5. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.

6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam menyusun kebijakan di bidang perwakafan.

Ayat (2) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. Kemudian lebih lanjut dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa: Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan pula bahwa Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana tugas Badan Wakaf Indonesia. Sedangkan ayat (3) menyebutkan bahwa Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia.

Menurut Pasal 52 ayat (1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Sedangkan pada Pasal 52 ayat (2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para anggota. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat (Pasal 53).

commit to user

lebih rinci dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor: 08/BWI/XII/2007 Tentang Tata Kerja Badan Wakaf Indonesia. Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 8 Dewan Pertimbangan memiliki tugas dan fungsi:

1. Memberi pendapat, pertimbangan dan nasihat, serta bimbingan kepada Badan.

2. Pelaksana untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara konsultatif baik lisan maupun tertulis.

3. Dewan Pertimbangan memiliki peran aktif dan fungsional dalam menyusun kebijakan nasional dan kebijaksanaan umum pengembangan wakaf di Indonesia.

4. Dewan Pertimbangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bersifat kolektif kolegial.

Kemudian tentang Badan Pelaksana sendiri diterangkan dalam Pasal 10, Ketua Badan Pelaksana memiliki tugas dan fungsi:

1. Memimpin BWI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

2. Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum yang

berhubungan dengan pengembangan wakaf di Indonesia.

3. Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas yang menjadi

tanggung jawabnya.

4. Membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi

lain.

5. Menandatangani setiap nota kesepakatan, surat keputusan dan surat- surat penting lainnya bersama-sama sekretaris dan/atau bendahara.

6. Merealisasikan program-program organisasi untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan peraturan perundangan lainnya , serta program kerja BWI.

7. Menentukan dan memegang kebijakan umum keuangan organisasi

bersama sekretaris dan bendahara.

commit to user

yang dianggap perlu melalui keputusan rapat lengkap.

9. Ketua dapat mendelegasikan tugasnya kepada wakil ketua yang sesuai

dengan bidangnya, apabila berhalangan.

Lebih lanjut dalam Pasal 11 Wakil Ketua I memiliki tugas dan fungsi:

1. Membantu Ketua menjalankan tugas dan fungsinya.

2. Mewakili tugas dan kedudukan Ketua jika Ketua berhalangan.

3. Mengkoordinir Divisi Kelembagaan, Divisi Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf dan Divisi Penelitian.

4. Merumuskan kebijakan organisasi menyangkut divisi yang berada di bawah koordinasinya.

Sedangkan Pasal 12 mengatur tentang tugas dan fungsi Wakil Ketua II, yaitu:

1. Membantu Ketua menjalankan tugas dan fungsinya.

2. Mewakili tugas dan kedudukan Ketua jika Ketua berhalangan.

3. Mengkoordinir Divisi Hubungan Masyarakat dan Divisi Pembinaan Nazhir.

4. Merumuskan kebijakan organisasi menyangkut divisi yang berada di

bawah koordinasinya.

Dalam tataran aplikatifnya, Badan Pelaksana keberadaan terepresentasikan dalam divisi-divisi dengan tugas dan peranannya sendiri. Divisi ini terbagi dalam 5 divisi, yaitu:

1. Divisi Pembinaan Nazhir, memiliki tugas dan fungsi:

a. Membantu tugas-tugas Badan Pelaksana;

b. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c. Melakukan pembinaan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;

commit to user

e. Memberi kajian untuk meberhentikan dan mengganti Nazhir setelah mendapat persetujuan Badan Pelaksana.

2. Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf, memiliki tugas dan

fungsi:

a. Membantu tugas-tugas Badan Pelaksana

b. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c. Menyusun Pedoman Pengelolaan harta Benda Wakaf;

d. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional sesuai peraturan perundangan yang berlaku;

3. Divisi Hubungan Masyarakat, memiliki tugas dan fungsi:

a. Membantu tugas-tugas Badan Pelaksana

b. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c. Melaksanakan sosialisasi program perwakafan dan komunikasi program.

4. Divisi Kelembagaan, memiliki tugas dan fungsi:

a. Membantu tugas-tugas Badan Pelaksana

b. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c. Memberi masukan untuk rekomendasi perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf kepada Badan Pelaksana;

d. Membuat kajian aspek kelembagaan dalam masalah perwakafan sesuai peraturan perundangan yang berlaku;

e. Menyusun pedoman tata hubungan kelembagaan BWI dengan lembaga eksternal.

5. Divisi Penelitian dan Pengembangan, memiliki tugas dan fungsi:

a. Membantu tugas-tugas Badan Pelaksana

b. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c. Menyusun database perwakafan di Indonesia;

Melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka menyusun dan memberi saran serta pertimbangan dalam

commit to user

sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Bab VIII Undang-Undang Republik Indonesia tentang Wakaf

Pasal 63 menyatakan bahwa dalam pengelolaan wakaf terdapat unsur pembinaan dan pengawasan. Lembaga yang berhak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf adalah Menteri. Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan untuk tujuan dan fungsi wakaf. Pasal 64 menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi pembinaannya, Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia dan memperhatikan saran dan pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia serta bekerjasama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional dan pihak lain yang dipandang perlu.

Untuk menjalankan fungsi pengawasannya, Menteri dapat menggunakan jasa dari akuntan publik sesuai dengan Pasal 65. Akuntansi bukanlah ilmu baru dalam kehidupan umat manusia karena sudah ada dan digunakan sejak 8000 tahun sebelum Masehi. Bahkan akuntansi juga ditegaskan dalam Al Quran Surat Al Baqarah: 282.

Buku Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf menyatakan masyarakat yang mengalami kemajuan di bidang kehidupan sosialnya juga cenderung memiliki kemajuan secara relatif di bidang akuntansinya. Pada awalnya, akuntansi lebih diwarnai dan relatif terbatas pada

Namun dalam perkembangannya, akuntansi mengalami tranformasi sebagai salah satu sumber informasi dalam pengambilan keputusan bisnis.

Berdasarkan tujuan dasar dan pola operasi sebuah entitas, akuntansi dapat dipilah menjadi 2, yakni akuntansi untuk organisasi yang bermotifkan mencari laba (profit oriented organization) dan akuntansi untuk organisasi nirlaba (non profit oriented organization).

Bentuk yang pertama diwakili oleh perusahaan komersial, baik yang bersifat menjual jasa, perdagangan, manufaktur dan masih banyak lagi. Sedangkan bentuk kedua diwakili oleh organisasi pemerintahan di

commit to user

pendidikan pada umumnya, organisasi massa, organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yayasan yang mengelola kekayaan wakaf. Ada sejumlah perbedaan mendasar antara akuntansi entitas golongan pertama dan golongan kedua, kendati secara teknis ada beberapa kesamaan.

Selain akuntansi, aspek auditing juga diperlukan dalam fungsi pengawasan wakaf. Hal ini tercantum dalam Bab VI bagian ketujuh mengenai pertanggungjawaban yang terdapat pada Pasal 61 yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan BWI dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada Menteri. Hasil laporan audit tersebut juga harus dimumkan kepada masyarakat.

Auditing dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai pemeriksaan, padahal secara harfiah sebenarnya yang dimaksud auditing adalah ketika pihak tertentu melaporkan secara terbuka tugas atau amanah yang diberikan padanya dan pihak yang diberikan amanah mendengarkan.

Sebagaimana halnya akuntansi, auditing juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini meliputi tujuan, ruang lingkup serta teknik dan prosedurnya.

Dalam konteks lembaga wakaf, peran dan fungsi akuntansi dan auditing merupakan alat yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan wakaf. Secara umum, lembaga wakaf dibentuk atau didirikan untuk mengelola sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimal dapat dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Melihat konteksnya, bentuk entitas ini disebut akuntansi dana, sesuai akuntansi konvensional yang relatif sederhana untuk dipelajari dan diterapkan. Namun bila pemikiran pemberdayaan wakaf lebih mengarah pada bentuk entitas-entitas yang bersifat komersial, maka sekali lagi dengan merujuk pola akuntansi konvensional, maka dapat dipakai bentuk akuntansi komersial dengan tetap merujuk pada segi syariah. Hal ini juga harus diterapkan pada proses auditingnya.

commit to user

berbagai lembaga keuangan dan ekonomi Islam termasuk lembaga wakaf, sudah saatnya disegerakan lahirnya sebuah standar akuntansi yang lebih Islami, seperti apa yang sudah dilakukan lembaga perbankan syariah (Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimibingan Masyarakat Islam dan Haji, Departemen Agama, 2003 hal 93-96).

Secara kelembagaan, BWI mempunyai peran yang sangat luas, tidak hanya sebagai pengawas tetapi juga sebagai pembina sekaligus pengelola. Pada wilayah dimana BWI berada yaitu Jakarta, BWI dimungkinan untuk bisa menjalankan ketiga peran tersebut. Tetapi jika kita berada dalam wilayah nasional akan susah untuk membayangkan BWI bisa menjalankan ketiga peran tersebut, kemungkinannya adalah hanya pengawasan dan pembinaan terhadap pengelola wakaf dan melakukan hal yang bersifat regulatif. Karena itu, untuk membantu kelancaran, efisiensi dan optimalisasi pelaksanaan tugas, BWI perlu membentuk perwakilan di daerah, yaitu di tingkat Provinsi dan Kabupaten atau Kota.

Pengurus wakaf dalam literatur fiqh disebut dengan nazhir atau mutawalli . Sesuai dengan Pasal 49 ayat (1), dikemukakan bahwa BWI melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, hal ini berarti bahwa Undang- undang telah mengatur peranan nazhir yaitu sebagai sumber daya insani pengelola wakaf.

Dalam Pasal 1 Bab 1 poin 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, nazhir adalah pihak yang menerima harta wakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukannya. Pasal 9 bahkan telah mengakomodir nazhir tidak hanya berupa nazhir perseorangan, tapi juga nazhir organisasi dan nazhir badan hukum. Pada peraturan

commit to user

tidak dikenal. Beberapa literatur fiqh klasik maupun kontemporer, pada umumnya menyebutkan rukun wakaf hanya ada 4, yaitu wakif, barang yang diwakafkan (mauquf), tujuan wakaf, dan sighat wakaf.

Berdasar pendapat ulama-ulama di atas, nazhir tidak harus orang lain atau kelompok orang lain tertentu, melainkan wakif sendiri boleh jadi nazhir. Mencermati pengertian nazhir, baik secara terminologi maupun etimologi, maka profesi nazhir haruslah profesional. Berikut karakteristik pekerja yang dapat dikatakan profesional sebagaimana yang dikemukakan oleh Farid Wadjdy dan Mursyid dalam buku Wakaf untuk Kesejahteraan Umat:

1. Adanya keahlian atau ketrampilan khusus untuk dapat menjalankan sebuah pekerjaan dengan baik.

2. Adanya komitmen moral yang tinggi untuk bekerja sesuai kode etik profesi. Sasaran kode etik yaitu untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik disengaja atau tidak oleh kaum yang mengaku profesional serta melindungi profesi tertentu dari perilaku bobrok orang yang mengaku dirinya profesional.

3. Biasanya orang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya dan dibayar dengan gaji sebagai konsekuensi mengerahkan seluruh tenaga, pikiran, kemampuan dan keahlian.

4. Profesional lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadinya.

5. Profesional biasanya memiliki memiliki ijin khusus untuk menjalankan profesinya.

6. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi. Misalnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk dokter.

Nazhir juga diisyaratkan sebagai profesi yang menjanjikan hidup, sehingga layak kalau skill, tenaga, keahlian dan pemikiran dihargai dengan angka-angka tertentu sehingga pekerjaan nazhir merupakan

commit to user

Dengan adanya nazhir diharapkan tidak ada lagi tanah-tanah wakaf yang tidak terurus bahkan hilang dan dikuasai oleh orang-orang yang mengambil keuntungan dari harta-harta wakaf.

Kehadiran nazhir sebagai pihak pengelola yang diberikan kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangatlah penting. Walaupun dalam fiqh wakaf klasik tidak ditemukan adanya nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, para ulama sepakat bahwa nazhir dapat menunjuk nazhir, baik perseorangan maupun kelembagaan agar benda wakaf tetap terurus.

Mengingat nazhir memiliki peran sentral bagi pengelolaan harta benda wakaf, maka nazhir dituntun untuk:

1. Memiliki persyaratan moral, meliputi:

a. Paham tentang wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syariah maupun perundang-undangan.

b. Jujur, amanah, adil dan ikhsan sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharuffan kepada sasaran wakaf.

c. Tahan godaan terutama menyangkut perkembangan usaha.

d. Merupakan insan pilihan yang sungguh-sungguh dan suka tantangan.

e. Memiliki kecerdasan emosional dan intelektual.

2. Memiliki persyaratan manajemen, meliputi:.

a. Memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.

b. Memiliki visi misi yang baik dan jelas.

c. Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdayaan.

d. Profesional dalam bidang pengelolaan harta.

3. Memiliki persyaratan bisnis, meliputi:

a. mempunyai keinginan memajukan wakaf.

b. Mempinyai pengalaman atau siap untuk dimagangkan.

c. Mempunyai ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur.

commit to user

oleh instumrn wakaf, nazhir juga harus memiliki kualifikasi seperti yang diisyaratkan oleh fiqh, seperti:

1. Islam.

2. Mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum).

3. Baligh (sudah dewasa).

4. Aqil (berakal sehat).

5. Memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf dan mempunyai sifat amanah jujur serta adil.

Literatur fiqh sekali lagi memang tidak memuat rujukan mengenai mengenai ketegasan pengelola wakaf harus disertakan dalam berwakaf. Artinya kendati nazhir tidak ditentukan dalam wakaf, tidak berdampak yuridis sebagai wakaf yang tidak sah.

Padahal, praktik pengelolaan wakaf tanpa menyertakan nazhir sangat sulit untuk menjamin bahwa harta benda wakaf dapat berkembang, berdayaguna dan berhasilguna sesuai apa yang dikehendaki oleh instrumen wakaf, dengan demikian, tujuan wakaf sulit untuk tercapai.

Demi tercapainya tujuan wakaf, keberadaan nazhir sangat penting sehingga dalam kategori fiqh, sesuatu yang tidak harus ada, tetapi penting, menjadi sesuatu yang harus ada.

Pada Pasal 11 Undang-Undang Wakaf menyebutkan tugas nazhir yaitu:

1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.

2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.

3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Pasal 12 mengatur mengenai hak nazhir, yaitu imbalan nazhir karena nazhir dianggap sebagai profesi, prosentase imbalan nazhir adalah tidak melebihi 10% dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, sedangkan dalam pelaksanaan tugasnya, nazhir mendapat

commit to user

pembinaan dari Menteri dan BWI, nazhir harus terdaftar pada Menteri dan BWI sesuai Pasal 14, untuk memudahkan regulasi, pendataan dan pembinaan terhadap nazhir.

Nazhir wakaf, baik perseorangan, organisasi maupun badan hukum, merupakan pihak yang diberi amanah oleh wakif untuk memelihara, mengurus, menyelenggarakan dan mengelola harta wakaf sesuai dengan ikrar wakaf.

Sebagai pemegang amanah, nazhir memiliki berbagai hak dan kewajiban tertentu. Sebagai pemegang amanah, nazhir tidak dibebani dengan beban resiko apapun atas kerusakan yang terjadi atau menimpa terhadap harta wakaf selama kerusakan tersebut bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya.

Berikut ini kewajiban nazhir secara rinci yang tercantum dalam Peraturan Menteri Agama:

1. Nazhir berkewajiban melaporkan, mengurus, mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi:

a. Menyimpan lembaran salinan Akta Ikrar Wakaf.

b. Memelihara tanah wakaf.

c. Memanfaatkan tanah wakaf.

d. Memelihara dan berusaha meningkatkan hasil wakaf.

e. Menyelenggarakan pembukuan/administrasi wakaf yang meliputi buku catatan keadaan tana, buku catatan pengelolaan tanah wakaf dan buku catatan penggunaan hasil tanah wakaf.

2. Nazhir berkewajiban melaporkan:

a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya.

b. Perubahan tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya.

c. Melaporkan kepada Kepala KUA tiap satu tahun sekali yaitu tiap akhir bulan Desember.

commit to user

berhenti dari jabatannya sebagai nazhir.

4. Anggota nazhir lain wajib mengusulkan penggantinya untuk disahkan oleh pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf.

Peraturan Menteri Agama tersebut, kemudian disederhanakan menjadi Pasal 11 Undang-Undang Wakaf yang tercantum di atas.

Pada Bab IX Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf memuat Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif. Bagian pertama memuat Ketentuan Pidana, ssedangkan bagian kedua memuat sanksi administratif.

Pasal 67 ayat (1) memuat ketentuan pidana bagi orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lain harta benda yang telah diwakafkan akan dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00.

Pasal 67 ayat (2) memuat ketentuan pidana bagi pihak yang sengaja mengubah peruntukan benda wakaf dengan pidana penjara maksimal 4 tahun atau denda Rp. 400.000.000,00.

Pasal 67 ayat (3) memuat ketentuan pidana bagi pihak yang sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah dari yang ditentukan Pasal 12 akan dipidana dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp. 300.000.000,00.

Pasal 68 ayat (1) menyatakan bahwa yang berwenang menjatuhkan sanksi adalah Menteri Agama apabila harta benda wakaf tidak didaftarkan oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW.

Sanksi administratif yang terdapat pada Pasal 68 ayat (2) berupa sanksi peringatan tertulis, penghentian sementara atau pencabutan ijin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah dan penghentian sementara bagi jabatan PPAIW, sedangkan ketentuan lebih lanjut bagi pelaksanaan sanksi-sanksi tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

commit to user

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap masalah yang diangkat dalam penelitian hukum ini, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengelolaan wakaf di Indonesia sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat melalui Badan Wakaf Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, memuat ketentuan peraturan pelaksanaan dan pengelolaan wakaf, merupakan apresiasi pemerintah terhadap filantropi Islam sebagai paradigma baru yang dapat meningkatkan peran sosial wakaf. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 lebih memperhatikan penataan administrasi wakaf dan memberikan kepastian hukum bagi wakif, nazhir dan obyek wakaf serta mendorong pemanfaatan aset-aset wakaf agar lebih berdayaguna dan berhasil guna yaitu pengelolaan wakaf yang sesuai syariah secara produktif, diperbolehkannya wakaf tunai dan pembentukan BWI sebagai induk dari lembaga pengelola wakaf dan juga peran nazhir sebagai pengelola wakaf yang dibina oleh BWI. Pengelolaan ini bertujuan utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga memerlukan komitmen kerja sama yang baik antara pemerintah, ulama dan masyarakat.

2. Bab VIII Undang-Undang Wakaf Pasal 63 menyatakan bahwa lembaga yang berhak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf adalah Menteri, Pasal 64 menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi pembinaannya, Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia yang diberi tugas untuk mengembangkan wakaf secara produktif sehingga wakaf dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Badan Wakaf Indonesia secara organisatoris harus bersifat independen, sedangkan pemerintah dalam hal ini bersikap sebagai fasilisator.

commit to user

pada prinsipnya yaitu mengelola seluruh harta wakaf yang ada, namun harta wakaf berupa tanah milik biasanya sudah ada nazhirnya dan pembinaannya juga telah dilakukan oleh Departemen Agama setempat sehingga BWI cukup hanya membantu memberdayakan tanah tersebut dengan cara membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada peningkatan kemampuan nazhir wakaf sehingga dapat mengelola wakaf yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk itu, tugas BWI hanya mengelola benda wakaf bergerak dan wakaf tunai yang dikembangkan melalui lembaga terkait dan wakaf tunai dikembangkan melalui Lembaga Keuangan Syariah.

Selain hal tersebut, BWI juga bertugas:

a. Merumuskan kembali fikih wakaf baru di Indonesia, khususnya merumuskan barang-barang yang dapat diwakafkan (mauquf) dan nazhir wakaf.

b. Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya benda bergerak dan sertifikat tunai pada masyarakat.

c. Membantu sosialisasi dan pelaksanaan Undang-Undang Wakaf.

d. BWI mengelola wakaf dengan menjalin kerja sama dengan lembaga lain terutama lembaga syariah perbankan.

B. Saran

Berdasar hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis memberikan saran yang terkait dengan masalah ini:

1. Masyarakat Indonesia hendaknya lebih serius dalam mengelola potensi wakaf yang sangat banyak terutama benda tidak bergerak. Tentu saja pemerintah dan ulama harus berperan lebih aktif dalam sosialisasi pengelolaan ini. Potensi wakaf tunai juga perlu dikembangkan, sebaiknya dana wakaf tunai tersebut lebih diprioritaskan untuk membantu pengembangan usaha kecil dan menengah yang kebanyakan dilakukan

commit to user

sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh lembaga keuangan syariah sebagai pengelola dana wakaf agar wakaf dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pemerintah sebaiknya lebih memberikan kemudahan prosedur, persyaratan dan keringanan biaya bagi calon wakif agar pihak yang ingin berwakaf meningkat

2. Lembaga keuangan syariah dalam melaksanakan pengelolaan dana hendaknya lebih transparan dan memberikan akses yang mudah didapat masyarakat (asas publisitas), agar masyarakat lebih mengenal wakaf dan mau menggunakan fasilitas/sarana kehidupan masyarakat yang bersumber dari harta wakaf sehingga dapat meningkatkan hasil pengelolaan wakaf tersebut. Pengelolaan aset wakaf perlu dikelola secara profesional dengan manajemen wakaf yang baik sehingga membutuhkan sumber daya insani nazhir sebagai pengelola wakaf produktif, agar nazhir layak mengelola wakaf secara profesional, maka nazhir perlu mendapat pembinaan dari Menteri dan BWI serta kepastian hukum dengan adanya pendaftaran nazhir sebagai lembaga pengelola wakaf kepada Menteri Agama dan BWI sesuai dengan peranan BWI.