B angsa Indonesia berbangga dengan

B angsa Indonesia berbangga dengan

diluluskannya Kaldera Batur sebagai bagian dari Jejaring Taman Bumi Dunia (Global Geopark Network/GGN, UNESCO) dan secara

resmi dikukuhkan pada Sabtu, 17 November 2012, di Kintamani, Bali. Namun, kita mengilas balik dan menengok kembali ke negara jiran Malaysia yang telah mendapatkannya terlebih dahulu, lima tahun yang lalu, melalui Pulau Langkawi. Para ahli geologi Indonesia pun terlecut untuk segera berupaya mengegolkan satu kawasan dengan pusaka geologi (geological heritage) yang banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk menjadi Taman Bumi Dunia.

Upaya itu di antaranya mulai dirintis dengan pengajuan Gunung Rinjani melalui pemaparan makalah dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli

rimba, dan secara metafor tersembunyi karena kita memang kurang memahaminya.” Kekurangpahaman kita tentang keunikan dan kemenarikan batuan, dan geologi secara umum, memang menjadi permasalahan utama tidak adanya apresiasi masyarakat terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai komoditas ekonomi secara ekstraktif saja. Padahal ada nilai-nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi dari sekadar usaha ekstraktif yang dapat musnah dan tidak berkelanjutan, yaitu melalui usaha-usaha konservasi. Buku Komoo ini memberi pemahaman dan arahan bagaimana melindungi pusaka-pusaka alam itu, khususnya dalam aspek geologi.

Buku setebal 51 halaman ini dimulai dengan prinsip- prinsip dan nilai-nilai yang dianut secara universal dalam perlindungan alam dan geologi, khususnya untuk fenomena yang telah dikenal luas seperti keindahan bentang alam, atau nilai-nilai pusaka alam yang luar biasa. Untuk geokonservasi sendiri, Komoo membandingkan aturan-aturan di berbagai negara dan mengutip beberapa pendapat. Ia misalnya mengutip Legge dan King (1992) yang memfokuskan perhatian pada perlindungan gejala geologi dan bentuk muka bumi yang penting karena nilai- nilanya untuk kemanusiaan menyangkut keilmuan, pendidikan, riset, estetika, dan inspirasional. Pendapat Legge dan King mungkin merupakan pendapat yang paling mengena sebagai alasan kita melindungi pusaka-pusaka geologi.

Komoo sendiri kemudian melontarkan Geologi Konservasi (Conservation Geology), istilah yang tidak hanya mencakup upaya konservasi atas warisan atau pusaka geologi, tetapi juga sebagai bidang baru dalam Ilmu Kebumian yang dapat menyediakan kerangka teoritis dan sistematis untuk konservasi sumber daya dan pusaka geologi. Hal itu dapat menjadi instrumen untuk melakukan pergeseran paradigma pada masyarakat geologiawan ke arah pemanfaatan sumber daya geologi dan bentang alam secara ramah lingkungan. Kerangka dan konsep konservasi geologinya dimulai dengan konsep keragaman geologi (geodiversity) yang mengacu pada keragaman proses, sistem, kumpulan, dan bentuk aspek-aspek geologi, geomorfologi, bahkan tanah. Dari keragaman geologi kemudian dinilai untuk menjadi warisan atau pusaka geologi (geoheritage) yang mempunyai nilai spesifik yang penting dalam keilmuan dan pendidikan.

Buku ini mengenalkan pemeringkatan dalam menilai pusaka geologi. Misalnya keragaman geologi dengan nilai rendah dapat digolongkan sebagai situs geologi, nilai sedang sebagai situs geologi penting, nilai tinggi sebagi geosite, hingga nilai yang luar biasa sebagai geotope. Namun, Komoo memperkenalkan banyak

istilah baru yang terasa asing, tak terkecuali untuk kalangan Geologi sendiri. Pada perkembangannya, tidak semua ahli geologi mengikuti konsepnya, misalnya untuk istilah geotope. Meskipun demikian, prinsip dasar yang dikemukakannya patut dihargai sebagai upaya untuk memperjelas kedudukan dan kepentingan gejala geologi, dan menjawab pertanyaan awam seperti “apa bagusnya batu atau bentang alam itu?”

Pada bagian akhir dikenalkan pula geowisata (geotourism) dan geopark. Ketika buku ini terbit pada 2003 kedua istilah tersebut, khususnya geopark, mungkin belum begitu dikenal luas. Bagaimanapun, untuk menjawab permasalahan di awal buku ini mengenai dikotomi pemanfaatan sumber daya geologi, antara ekstraktif versus konservasi, manfaat ekonomi dari geokonservasi harus muncul, dan geowisata-geopark menjadi alternatifnya.

Secara hukum, Indonesia sebenarnya telah mempunyai instrumen yang cukup tajam untuk melindungi sumber daya geologi yang penting dan unik, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. PP ini menjamin perlindungan terhadap gejala- gejala geologi yang unik dan langka dan mempunyai nilai-nilai keilmuan, pendidikan, atau berhubungan dengan kemanusiaan lainnya. Melalui PP ini misalnya muncul permasalahan yang cukup pelik tentang pemanfaatan secara ekstraktif kawasan kars yang bertabrakan dengan pasal yang menyatakan bahwa wilayah yang mempunyai geologi unik, salah satunya mempunyai bentang alam kars, menjadi kawasan lindung nasional. Akibatnya, perseteruan runcing timbul di antara penguasa (pemerintah daerah) yang biasanya bergandeng tangan dengan pengusaha dan masyarakat yang biasanya didukung oleh LSM.

Buku ini menjadi sisi netral dari pertentangan yang bernuansa hukum. Ketika kalimat-kalimat dalam hukum dapat dijungkirbalikkan untuk kepentingan- kepentingan tertentu, buku Komoo yang akademis menjadi pegangan yang lebih universal, tanpa keberpihakan kepentingan, sekalipun tetap terbuka untuk diperdebatkan sesuai dengan kebiasaan ilmiah. Kita memang masih sangat bergantung pada sumber daya Bumi yang didapat dengan cara ekstraktif. Namun, di sisi lain, kita harus mempertahankan secara keras gejala-gejala geologi yang mempunyai nilai-nilai universal bagi kemanusiaan, terutama untuk generasi-generasi penerus kita. Jangan sampai kita dicerca habis anak-cucu kita karena mewariskan sesuatu yang karut-marut dan centang-perentang. n

Peresensi adalah Penulis, anggota tim redaksi Geomagz; dosen di Prodi Teknik Geologi, FITB, ITB; koordinator KRCB.

Geotravel

Simfoni Lava