Penerapan Model Fungsi Transfer pada Pera- malan Data Riil
3.4 Penerapan Model Fungsi Transfer pada Pera- malan Data Riil
Dalam tulisan ini penulis ingin mengaplikasikan model fungsi transfer multivariat pada data curah hujan di kota Palembang periode 2008-2012. Vari- abel output-nya adalah data curah hujan, sementara variabel input yang digu- nakan adalah faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu; tekanan udara, kelem- baban udara, kecepatan angin, suhu udara, dan intensitas matahari. Data yang digunakan bersumber dari BPS Pusat. Berikut tahap-tahap pembentukan model fungsi transfer multivariat terhadap data curah hujan.
3.4.1 Tahap Pertama: Identifikasi Bentuk Model Input Tunggal
Mempersiapkan deret input dan output Pertama-tama akan diidentifkasi terlebih dahulu deret output curah hu-
jan. Berikut adalah plot data serta plot ACF dan PACF-nya.
Gambar 3.3: Plot Runtun Waktu Data Curah Hujan
Gambar 3.4: Plot ACF dan PACF Data Curah Gambar 3.3 merupakan plot runtun waktu dari curah hujan yang berfluk-
tuasi tajam. Walaupun tidak terlalu jelas namun dapat diduga bahwa terdapat pola musiman dalam data serta adanya kecenderungan variasi musim yang menye- tuasi tajam. Walaupun tidak terlalu jelas namun dapat diduga bahwa terdapat pola musiman dalam data serta adanya kecenderungan variasi musim yang menye-
Hal ini didukung oleh plot data runtun waktu dengan terlihat adanya pe- rubahan nilai pada rataan dan variansi yang tajam sehingga menunjukkan bahwa data curah hujan belum stasioner. Selain itu, pada plot ACF terlihat bahwa pada lag 1, 6 dan 12 berbeda nyata dengan nol yang menunjukkan adanya pola musi- man. Untuk menstasionerkan datanya, maka dilakukan transformasi Box Cox.
Gambar 3.5: Plot Transformasi Box Cox Data Curah Hujan
Berdasarkan plot hasil transformasi Box Cox pada gambar 3.5, batas bawah untuk λ adalah 0,26 dan batas atasnya adalah 0,74 dengan nilai pendekatan λ terbaik adalah 0,46. Namun nilai λ yang sebaiknya diambil adalah nilai yang memiliki makna, sehingga nilai λ yang terbaik untuk transformasi data adalah 0,5. Selain data belum stasioner dalam variansi, data curah hujan juga belum stasioner dalam rataan. Maka dari itu, perlu dilakukan pembeda terhadap data tersebut dimana pembeda yang dipakai adalah pembeda 12 karena data merupakan pola musiman.
Berdasarkan plot ACF dan PACF pada gambar 3.6 setelah dilakukan pembeda 12, data curah hujan sudah cenderung stasioner yang ditunjukkan pada
Gambar 3.6: Plot ACF dan PACF Data Curah Hujan Setelah Dilakukan Pembeda
12 plot ACF dan ACF yang menurun serta adanya pola musiman yang ditunjukkan
pada lag 12 yang keluar dari garis signifikan. Bila diidentifikasikan orde model ARIMA untuk curah hujan maka pada plot PACF menunjukkan AR(1) untuk pola musimannya, sementara plot ACF memperlihatkan model M A(2) untuk pola nonmusimannya.
Selanjutnya akan dilakukan identifikasi terhadap tiap deret input, dimana deret-deret input-nya adalah tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan angin, suhu udara dan intensitas matahari. Pertama akan dilakukan identifikasi terhadap data tekanan udara. Berikut adalah plot data runtun waktu beserta plot ACF dan PACF dari tekanan udara
Gambar 3.7: Plot Runtun Waktu Data Tekanan Udara
Gambar 3.8: Plot ACF dan PACF Data Tekanan Udara Dari plot data serta plot ACF dan PACF terlihat data belum stasioner,
karena masih terjadi perubahan dalam nilai rataan. Oleh karena data tekanan udara berpola musiman maka akan dilakukan pembeda 12 untuk menstasioner- kannya. Berikut adalah plot ACF dan PACF setelah dilakukan pembeda 12.
Gambar 3.9: Plot ACF dan PACF Data Tekanan Udara Setelah Dilakukan Pem- beda 12
Setelah dilakukan pembeda 12, terlihat data sudah lebih baik dari se- belumnya dan dapat dikatakan stasioner. Untuk pola musiman, terlihat kalau pada lag 12 di plot PACF melewati garis signifikan dan bernilai negatif semen- tara lag 13 bernilai positif, sehingga model untuk ARIMA musiman adalah AR(1). Untuk pola nonmusimannya adalah M A(2) karena pada plot ACF, lag 2 melewati garis signifikan dan mulai menurun setelah lag kedua. Dengan demikian model Setelah dilakukan pembeda 12, terlihat data sudah lebih baik dari se- belumnya dan dapat dikatakan stasioner. Untuk pola musiman, terlihat kalau pada lag 12 di plot PACF melewati garis signifikan dan bernilai negatif semen- tara lag 13 bernilai positif, sehingga model untuk ARIMA musiman adalah AR(1). Untuk pola nonmusimannya adalah M A(2) karena pada plot ACF, lag 2 melewati garis signifikan dan mulai menurun setelah lag kedua. Dengan demikian model
Gambar 3.10: Plot Runtun Waktu Data Kelembaban Udara
Gambar 3.11: Plot ACF dan PACF Data Kelembaban Udara Berdasarkan plot data pada gambar 3.10 terlihat bahwa data belum sta-
sioner dalam rataan karena masih terjadi fluktuasi yang cukup tajam di sekitar daerah rataan. Selain itu nilai pada plot ACF menurun secara melambat yang menandakan data belum stasioner. Berdasarkan plot ACF terlihat bahwa lag 1,
6, 12, dan 18 berbeda signifikan dari nol, sehingga jelas ini adalah data berpola musiman. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembeda 12 untuk menstasionerkan- nya. Berikut hasil plot ACF dan PACF setelah dilakukan pembeda 12 yang dityampilkan pada gambar 3.12.
Gambar 3.12: Plot ACF dan PACF Data Kelembaban Udara Setelah Dilakukan Pembeda 12
Setelah dilakukan pembeda 12 terhadap data kelembaban udara, terlihat data sudah lebih baik dari sebelumnya dan cenderung staioner terhadap rataannya walaupun masih ada beberapa lag yang keluar dari garis signifikan. Berdasarkan plot ACF dan PACF pada gambar 3.12 dapat diidentifikasikan model ARIMA nonmusimannya adalah AR(1). Hal ini dikarenakan plot ACF yang menurun se- cara eksponensial sementara plot PACF signifikan pada lag pertama. Selanjutnya untuk model ARIMA musimannya bila dilihat dari plot ACF dan PACF tidak ada lag signifikan sehingga model penduga awal untuk data kelembaban udara
adalah (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 . Selanjutnya deret input yang akan diidentifikasi adalah kecepatan angin. Berikut adalah plot data beserta plot ACF dan PACF dari data kecepatan angin.
Gambar 3.13: Plot Runtun Waktu Data Kecepatan Angin
Gambar 3.14: Plot ACF dan PACF Data Kecepatan Angin Berdasarkan plot data dan plot ACF kecepatan angin dapat dikatakan
sudah stasioner dalam rataan dan variansi sehingga sudah dapat diidentifikasikan model ARIMA-nya. Namun karena dalam pemodelan fungsi transfer agar meng- hasilkan nilai estimasi yang sesuai dengan model dan memenuhi syarat white noise, maka perlu disamakan model yaitu sama-sama distasionerkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembeda 12 agar data deret kecepatan angin dapat masuk dalam model. Berikut plot ACF dan PACF setelah dilakukan pembeda 12.
Gambar 3.15: Plot ACF dan PACF Data Kecepatan Angin Setelah Dilakukan Pembeda 12
Setelah dilakukan pembeda 12, data kecepatan angin yang sudah stasion- er menjadi lebih baik plotnya, baik dari rataan atau variansinya. Berdasarkan plot ACF dan PACF pada gambar 3.15 dapat diduga model untuk pola nonmusiman- Setelah dilakukan pembeda 12, data kecepatan angin yang sudah stasion- er menjadi lebih baik plotnya, baik dari rataan atau variansinya. Berdasarkan plot ACF dan PACF pada gambar 3.15 dapat diduga model untuk pola nonmusiman-
12 adalah (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 atau (0, 0, 1)(0, 1, 0) . Selanjutnya akan dilakukan identifikasi terhadap data suhu udara. Berikut
adalah plot data dari deret suhu udara beserta plot ACF dan PACF-nya.
Gambar 3.16: Plot Runtun Waktu Data Suhu Udara
Gambar 3.17: Plot ACF dan PACF Data Suhu Udara Berdasarkan plot data serta plot ACF terlihat data belum stasioner kare-
na masih adanya fluktuasi data dan perubahan nilai rataan dari waktu ke waktu. Oleh karena suhu udara merupakan data berpola musiman (dilihat dari plot ACF) maka akan dilakukan pembeda 12 untuk menstasionerkan data suhu udara.
Gambar 3.18: Plot ACF dan PACF Data Suhu Udara Setelah Dilakukan Pembeda
12 Setelah dilakukan pembeda 12, terlihat pada gambar 3.18 data sudah
stasioner dalam rataan walaupun masih ada beberapa lag yang keluar dari garis signifikan. Selanjutnya akan diidentifikasikan model penduga untuk suhu udara.
Dari plot PACF terlihat signifikan di lag pertama dan lag-lag di plot ACF menurun mendekati nol sehingga model untuk nonmusimannya adalah AR(1). Sementara untuk pola musiman, modelnya adalah M A(1) atau AR(1) karena pada plot ACF dan PACF masing-masing signifikan di lag 12. Dengan demikian model
12 penduga uhtuk data suhu udara adalah (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 atau (1, 0, 0)(1, 1, 0) . Terakhir, akan dilakukan identifikasi terhadap data intensitas matahari. Berikut
adalah plot data beserta plot ACF dan PACF dari data intensitas matahari.
Gambar 3.19: Plot Runtun Waktu Data Intensitas Matahari
Gambar 3.20: Plot ACF dan PACF Data intensitas Matahari Berdasarkan gambar 3.19 data intensitas matahari belum stasioner kare-
na masih terjadi fluktuasi data. Terlihat pula bahwa data intensitas matahari memiliki pola musiman berdasarkan plot ACF-nya, sehingga perlu dilakukan pem- beda 12 untuk menstasionerkan data.
Gambar 3.21: Plot ACF dan PACF Data Intensitas Matahari Setelah Dilakukan Pembeda 12
Setelah dilakukan pembeda 12, terlihat plot ACF pada gambar 3.21 su- dah stasioner karena sudah tidak terlihat lagi adanya fluktuasi data. Untuk orde model musimannya dapat diduga dengan M A(1). Hal ini dikarenakan plot ACF signifikan pada lag 12. Sementara untuk nonmusimannya dapat diduga modelnya adalah AR(1), karena plot PACF signifikan pada pertama sedangkan plot ACF menurun secara eksponensial mendekati nol. Dengan demikian model penduga
ARIMA untuk data intensitas matahari adalah (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 . Setelah proses identifikasi deret output dan input selesai maka tahap selanjutnya adalah pemutihan. Namun sebelum melakukan pemutihan, perlu dilakukan penetapan model ARIMA yang sesuai terlebih dahulu. Pada tahap identifikasi telah dilakukan pendugaan orde model ARIMA untuk masing-masing deret input, maka tahap selanjutnya perlu dipilih model mana yang terbaik den- gan melihat nilai p-value untuk mengetahui signifikansi parameter serta memilih nilai AIC yang terkecil apabila terdapat model dugaan lain yang sesuai. Berikut hasil estimasi parameter ARIMA untuk masing-masing deret input dengan ban- tuan program SAS 9.1. Pertama adalah estimasi parameter untuk deret tekanan udara.
Model ARIMA Estimasi Parameter t − value p − value (0, 0, 2)(1, 1, 0) 12
0,0016 Tabel 3.4: Estimasi Parameter dan Uji Signifikansi Model ARIMA untuk deret
Tekanan Udara Berikut adalah uji hipotesis untuk mengetahui signifikansi estimasi pa-
rameter dari input tekanan udara:
1. Hipotesis
H 0 : Estimasi parameter θ 2 ,Θ 1 tidak signifikan dalam model
H 1 : Estimasi parameter θ 2 ,Θ 1 signifikan dalam model
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
estimator t hitung = SE(estimator)
4. Kriteria keputusan tolak H 0 jika |t hi |>t α 2 ,df atau p-value < 0, 05
5. Perhitungan ada pada tabel 3.4
6. Kesimpulan Berdasarkan hasil di tabel 3.4 maka keputusanya adalah tolak H 0 karena kedua parameter memiliki p-value kurang dari α = 0, 05 atau nilai |t hi |>
t 12 α
2 ,df sehingga parameter pada ARIMA (0, 0, 2)(1, 1, 0) signifikan
Selanjutnya akan dilakukan uji diagnostik model untuk mengetahui ke- sesuaian model yakni residual α t memenuhi asumsi white noise. Berikut hipotesis yang digunakan untuk mengetahui apakah autokorelasi residualnya berbeda nyata dari nol.
Lag Chi-Square db χ 2 α,df p-value
Tabel 3.5: Uji Autokorelasi Residual Model ARIMA (0, 0, 2)(1, 1, 0) 12 untuk Tekanan Udara
1. Hipotesis
H 0 :ρ 1 = ... = ρ k = 0 (autokorelasi residualnya tidak signifikan)
H 1 : ∃ρ i 6= 0 (autokorelasi residualnya signifikan)
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
Q = n(n + 2) k=1 (n − k)
4. Kriteria keputusan tolak H
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan menggunakan program SAS dan hasil ada di tabel 3.5
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.5 terlihat nilai p-value untuk semua lag lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima. Ini berarti autokorelasi residualnnya tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antarlag maka residual memenuhi asumsi white noise. Jadi model ARIMA (0, 0, 2)(1, 1, 0) 12 layak digunakan.
Selanjutnya akan dilakukan estimasi parameter dan uji diagnostik untuk deret kelembaban udara.
Model ARIMA Estimasi Parameter t − value p − value
Tabel 3.6: Estimasi Parameter dan Uji Signifikansi Model ARIMA untuk deret Kelembaban Udara
Berikut adalah uji hipotesis untuk mengetahui signifikansi estimasi pa- rameter dari input kelembaban udara:
1. Hipotesis
H 0 : Estimasi parameter φ 1 tidak signifikan dalam model
H 1 : Estimasi parameter φ 1 signifikan dalam model
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
estimator t hitung = SE(estimator)
4. Kriteria keputusan tolak H 0 jika |t hi |>t α 2 ,df atau p-value < 0, 05
5. Perhitungan ada pada tabel 3.6
6. Kesimpulan Berdasarkan hasil di tabel 3.6 maka keputusannyaa adalah tolak H 0 karena parameter φ 1
memiliki p-value kurang dari α = 0, 05 atau nilai |t α hi |>t
2 ,df
sehingga parameter pada ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 signifikan Langkah selanjutnya adalah memeriksa apakah autokorelasi residualnya
berbeda nyata dari nol atau tidak. Untuk mengetahui maka akan dilakukan uji hipotesis sebagai berikut:
Lag Chi-Square db χ 2 α,df p-value
Tabel 3.7: Uji Autokorelasi Residual Model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 untuk Kelembaban Udara
1. Hipotesis
H 0 :ρ 1 = ... = ρ k = 0 (autokorelasi residualnya tidak signifikan)
H 1 : ∃ρ i 6= 0 (autokorelasi residualnya signifikan)
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
Q = n(n + 2) k=1 (n − k)
4. Kriteria keputusan tolak H
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan menggunakan program SAS dan hasil ada di tabel 3.7
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.7 terlihat nilai p-value untuk semua lag lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima. Ini berarti autokorelasi residualnnya tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antarlag maka residual memenuhi asumsi white noise. Jadi model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 dapat digunakan.
Berikutnya adalah estimasi parameter dan uji diagnostik terhadap deret input kecepatan angin.
Model ARIMA Estimasi Parameter t − value p − value AIC
Tabel 3.8: Estimasi Parameter dan Uji Signifikansi Model ARIMA untuk deret Kecepatan Angin
Berikut adalah uji hipotesis untuk mengetahui signifikansi estimasi pa- rameternya:
1. Hipotesis
H 0 : Estimasi parameter φ 1 ,θ 1 tidak signifikan dalam model
H 1 : Estimasi parameter φ 1 ,θ 1 signifikan dalam model
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji 3. Statistik uji
4. Kriteria keputusan tolak H 0 jika |t α hi |>t 2 ,df atau p-value < 0, 05
5. Perhitungan ada pada tabel 3.8
6. Kesimpulan Berdasarkan hasil di tabel 3.8 keputusanya adalah tolak H 0 karena kedua parameter memiliki p-value kurang dari α = 0, 05 sehingga parameter pada ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 dan ARIMA (0, 0, 1)(0, 1, 0) 12 signifikan. Namun harus dipilih satu model terbaik unfuk digunakan. Berdasarkan nilai AIC
pada tabel 3.8, model ARIMA (0, 0, 1)(0, 1, 0) 12 memiliki nilai AIC lebih kecil sehingga model ARIMA (0, 0, 1)(0, 1, 0) 12 menjadi model terbaik.
Untuk mengetahui apakah residual α t memenuhi asumsi white noise ma- ka diperlukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah autokorelasi residualnya berbeda nyata dari nol.
Lag Chi-Square db χ 2 α,df p-value
Tabel 3.9: Uji Autokorelasi Residual Model ARIMA (0, 0, 1)(0, 1, 0) 12 untuk Ke- cepatan Angin
1. Hipotesis
H 0 :ρ 1 = ... = ρ k = 0 (autokorelasi residualnya tidak signifikan)
H 1 : ∃ρ i 6= 0 (autokorelasi residualnya signifikan)
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
Q = n(n + 2) k=1 (n − k)
4. Kriteria keputusan tolak H 2
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan menggunakan program SAS dan hasil ada di tabel 3.9
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.9 terlihat nilai p-value untuk semua lag lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima. Ini berarti autokorelasi residualnnya tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antarlag maka residual memenuhi asumsi white noise. Jadi model ARIMA (0, 0, 1)(0, 1, 0) 12 dapat digunakan.
Berikutnya model yang akan diestimasi parameternya dan uji diagnostik adalah model dari deret input suhu udara.
Model ARIMA Estimasi Parameter t − value p − value AIC
<, 0001 Tabel 3.10: Estimasi Parameter dan Uji Signifikansi Model ARIMA untuk deret
Suhu Udara Berikut adalah uji hipotesis untuk mengetahui signifikansi estimasi pa-
rameternya:
1. Hipotesis
H 0 : Estimasi parameter φ 1 ,Φ 1 ,Θ 1 tidak signifikan dalam model
H 1 : Estimasi parameter φ 1 ,Φ 1 , Θ1 signifikan dalam model
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
estimator t hitung = SE(estimator)
4. Kriteria keputusan tolak H 0 jika |t hi |>t α 2 ,df atau p-value < 0, 05
5. Perhitungan ada pada tabel 3.10
6. Kesimpulan Berdasarkan hasil di tabel 3.10 maka keputusannyaa adalah tolak H 0 karena parameter φ 1 ,Φ 1 ,Θ 1 memiliki p-value kurang dari α = 0, 05 sehingga param- eter pada ARIMA (1, 0, 0)(1, 1, 0) 12 dan ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 signifikan. Namun harus dipilih satu model terbaik unfuk digunakan. Berdasarkan ni- lai AIC pada tabel 3.10, model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 memiliki nilai AIC lebih kecil sehingga model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 menjadi model terbaik.
Selanjutnya dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah autokore- lasi residualnya berbeda nyata dari nol.
1. Hipotesis
H 0 :ρ 1 = ... = ρ k = 0 (autokorelasi residualnya tidak signifikan)
H 1 : ∃ρ i 6= 0 (autokorelasi residualnya signifikan)
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
Lag Chi-Square db χ 2 α,df p-value
Tabel 3.11: Uji Autokorelasi Residual Model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 untuk Suhu Udara
3. Statistik uji
Q = n(n + 2) k=1 (n − k)
4. Kriteria keputusan tolak H
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan menggunakan program SAS dan hasil ada di tabel 3.11
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.11 terlihat nilai p-value untuk semua lag lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima. Ini berarti autokorelasi residualnnya tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antarlag maka
residual memenuhi asumsi white noise. Jadi model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 dapat digunakan.
Terakhir akan dilakukan estimasi parameter dan uji diagnostik dari deret input intensitas matahari. Berikut adalah uji hipotesis untuk mengetahui sig- nifikansi estimasi parameter dari input intensitas matahari:
1. Hipotesis
H 0 : Estimasi parameter φ 1 ,Θ 1 tidak signifikan dalam model
H 1 : Estimasi parameter φ 1 ,Θ 1 signifikan dalam model
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
Model ARIMA Estimasi Parameter t − value p − value
<, 0001 Tabel 3.12: Estimasi Parameter dan Uji Signifikansi Model ARIMA untuk deret
Intensitas Matahari
3. Statistik uji
estimator t hitung = SE(estimator)
4. Kriteria keputusan tolak H 0 jika |t α hi |>t 2 ,df atau p-value < 0, 05
5. Perhitungan ada pada tabel 3.12
6. Kesimpulan Berdasarkan hasil di tabel 3.12 maka keputusannyaa adalah tolak H 0 karena parameter φ 1 ,Θ 1 memiliki p-value kurang dari α = 0, 05 sehingga parameter
pada ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 signifikan
Selanjutnya dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah autokore- lasi residualnya berbeda nyata dari nol.
Lag Chi-Square db χ 2 α,df p-value
Tabel 3.13: Uji Autokorelasi Residual Model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 untuk In- tensitas Matahari
1. Hipotesis
H 0 :ρ 1 = ... = ρ k = 0 (autokorelasi residualnya tidak signifikan)
H 1 : ∃ρ i 6= 0 (autokorelasi residualnya signifikan)
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
Q = n(n + 2) k=1 (n − k)
4. Kriteria keputusan tolak H
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan menggunakan program SAS dan hasil ada di tabel 3.13
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.13 terlihat nilai p-value untuk semua lag lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima. Ini berarti autokorelasi residualnnya tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antarlag maka residual memenuhi asumsi white noise. Jadi model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 dapat digunakan.
Pemutihan deret input dan output Setelah didapatkan model ARIMA untuk masing–masing deret input,
maka tahap pemutihan deret input dapat dilakukan. Berikut adalah pemutihan untuk masing-masing deret input:
a Pemutihan deret tekanan udara dengan model ARIMA (0, 0, 2)(1, 1, 0) 12
x 1t −x 1t−12 −Φ 1 x 1t−12 +Φ 1 x 1t−24 =α 1t −θ 2 α 1t−2 α 1t =x 1t −x 1t−12 −Φ 1 x 1t−12 +Φ 1 x 1t−24 +θ 2 α 1t−2 x 1t −x 1t−12 −Φ 1 x 1t−12 +Φ 1 x 1t−24 =α 1t −θ 2 α 1t−2 α 1t =x 1t −x 1t−12 −Φ 1 x 1t−12 +Φ 1 x 1t−24 +θ 2 α 1t−2
b Pemutihan deret kelembaban udara dengan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 (1 − φ 12
1 B)(1 − B )x 2t =α 2t (1 − B 12 −φ
1 B+φ 1 B 13 )x 2t =α 2t
α 2t =x 2t −x 2t−12 −φ 1 x 2t−1 +φ 1 x 2t−13
dimana φ 1 = 0, 69505 dan tetapkan α 2(1−13) = 0, sehingga deret α 2t adalah α 2t =x 2t −x 2t−12 − 0, 69505x 2t−1 + 0, 69505x 2t−13
c Pemutihan deret kecepatan angin dengan model ARIMA (0, 0, 1)(0, 1, 0) 12 (1 − B 12 )x
3t = (1 − θ 1 B)α 3t
x 3t −x 3t−12 = (α) 3t −θ 1 α 3t−1 α 3t =x 3t −x 3t−12 +θ 1 α 3t−1
dimana θ 1 = −0, 39049 dan tetapkan α 3(1−12) = 0 sehingga deret α 3t adalah: α 3t =x 3t −x 3t−12 − 0, 39049α 3t−1
d Pemutihan deret suhu udara dengan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12
1 B)(1 − B )x 4t = (1 − Θ 1 B )α 4t
(1 − B 12 −φ
1 B+φ 1 B 13 )x 4t = (1 − Θ 1 B 12 )α 4t
x 4t −x 4t−12 −φ 1 x 4t−1 +φ 1 x 4t−13 =α 4t −Θ 1 α 4t−12 α 4t =x 4t −x 4t−12 −φ 1 x 4t−1 +φ 1 x 4t−13 +Θ 1 α 4t−12
dimana φ = 0, 62614, Θ = 0, 70810 dan tetapkan α 4(1−13) = 0, sehingga deret α 4t adalah: α 4t =x 4t −x 4t−12 − 0, 62614x 4t−1 + 0, 62614x 4t−13 + 0, 70810α 4t−12
e Pemutihan deret intensitas matahari dengan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12
12 )x
B (1 − φ 12 1 B)(1 − B 5t = (1 − Θ 1 )α 5t
x 5t −x 5t−12 −φ 1 x 5t−1 +φ 1 x 5t−13 =α 5t −Θ 1 α 5t−12 α 5t =x 5t −x 5t−12 −φ 1 x 5t−1 +φ 1 x 5t−13 +Θ 1 α 5t−12
dimana φ = 0, 31476, Θ = 0, 73968 dan tetapkan α 5(1−13) = 0, sehingga deret α 5t adalah: α 5t =x 5t −x 5t−12 − 0, 31476x 5t−1 + 0, 31476x 5t−13 + 0, 73968α 5t−12
Setelah tahap pemutihan deret input selesai, maka selanjutnya adalah ’pemutihan’ deret output. Cara untuk melakukan ’pemutihan’ deret output adalah menggunakan persamaan pada masing-masing deret input yang telah diputihkan dan mengganti x it menjadi y it dan mengganti α it menjadi β it . Berikut adalah deret output yang telah di’putih’kan:
(a) ’Pemutihan’ deret output untuk tekanan udara dengan model ARIMA (0, 0, 2)(1, 1, 0) 12
β 1t =y 1t −y 1t−12 + 0, 44995y 1t−12 − 0, 44995y 1t−24 − 0, 33867β 1t−2
(b) ’Pemutihan’ deret output untuk kelembaban udara dengan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 0) 12 β 2t =y 2t −y 2t−12 − 0, 69505y 2t−1 + 0, 69505y 2t−13
(c) ’Pemutihan’ deret output untuk kecepatan angin dengan model ARIMA (0, 0, 1)(0, 1, 0) 12 β 3t =y 3t −y 3t−12 − 0, 39049β 3t−1
(d) ’Pemutihan’ deret output untuk suhu udara dengan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 β 4t =y 4t −y 4t−12 − 0, 62614y 4t−1 + 0, 62614y 4t−13 + 0, 70810β 4t−12
(e) ’Pemutihan’ deret output untuk intensitas matahari dengan model ARIMA
(1, 0, 0)(0, 1, 1) 12 β 5t =y 5t −y 5t−12 − 0, 31476y 5t−1 + 0, 31476y 5t−13 + 0, 73968β 4t−12
Setelah tahap pemutihan deret input dan output selesai dilakukan, maka selanjutnya akan dilakukan pengecekan korelasi silang dan autokorelasi deret input dan output yang telah diputihkan.
Perhitungan korelasi silang dan autokorelasi deret input dan output yang telah diputihkan
Pada tahap ini perhitungan korelasi silang dan autokorelasi dilakukan pada masing-masing deret input dan output yang telah diputihkan. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan dari waktu ke waktu yang mempengaruhi deret tersebut. Sebelum dilakukan korelasi silang antar deret input dan output, akan diselidiki autokorelasi dari masing-masing deret input. Perhitungan autoko- relasi deret input yang telah diputihkan disajikan pada Lampiran 6.
Setelah autokorelasi telah sesuai maka selanjutnya dilakukan korelasi silang untuk masing-masing deret input terhadap deret output yang telah diputihkan. Dengan korelasi silang diharapkan akan diperoleh hasil dimana deret input tidak mempengaruhi deret output. Apabila ada pengaruh dari suatu waktu, dalam hal ini bulan terhadap bulan-bulan selanjutnya dan sesaat kemudian pengaruh terse- but tidak ada, maka hal ini disebut penundaan yang pada langkah selanjutnya akan dijadikan sebagai penentu waktu delay (b). Nilai korelasi silang yang terda- pat pada lampiran 7 akan menjadi dasar dalam penaksiran langsung bobot respon impuls.
Penaksiran langsung bobot respon impuls Pada tahap ini hasil dari korelasi silang akan digunakan untuk melakukan
penaksiran langsung bobot respon impuls. Akan tetapi nilai-nilai yang digunakan adalah nilai positifnya saja, sehingga bobot respon impuls yang diperoleh dimulai dari k = 0, 1, 2, ..., 17. Rumus untuk menentukan bobot respon impuls terdapat pada persamaan 3.17. Dengan menggunakan data di lampiran 4 dan persamaan
3.17 didapatkan hasil perhitungan bobot respon impuls fungsi transfer untuk deret input sebagai berikut:
k v1(k)
v2(k)
v3(k)
v4(k)
v5(k)
0 -7.44292 27.45697 -81.0232 -135.482 -0.82336
1 9.068387 -12.6123 4.501287 88.69188 -5.24447
2 20.61775 21.15079 -58.9906 -92.882 0.715968
3 13.34593 -6.25037 16.58369 -9.0787 1.038154
4 -17.709 0.390648 -31.2721 33.52134 -3.45455
5 5.731905 -8.59425 -39.327 3.840987 1.772021
7 4.448643 -2.12066 -35.2996 10.8246 0.23269
8 20.27554 2.678728 29.61373 -46.7902 -3.70514
12 -7.78512 -12.8914 -1.89528 32.12462 -0.34008
13 23.01317 8.761674 2.606008 -28.2836 -1.14555
14 15.3136 -22.7692 40.51158 64.59842 4.635894
15 7.357371 4.743582 8.054935 -16.7607 2.094207
16 -2.90873 0.223227 -2.84292 10.47542 0.23269
17 7.614023 3.739058 72.96823 -5.93607 2.613284
Tabel 3.14: Bobot Respon Impuls yang Mengidentifikasikan Fungsi Transfer
Penetapan orde (r,s,b) untuk model fungsi transfer yang menghubungkan deret input dan output
Orde b merupakan nilai mutlak penundaan (delay) sebelum deret input mempengaruhi deret output. Penentuannya adalah dengan menggunakan grafik pada bobot respon impuls atau dengan menggunakan nilai korelasi silang yaitu dilihat dari lag yang pertama kali mempengaruhi y secara signifikan. Sementara penentuan s adalah dengan memperkirakan lag waktu yang memperlihatkan suatu pola yang tidak jelas sedangkan r ditentukan berdasarkan perkiraan lag waktu yang memperlihatkan suatu pola yang jelas. Berikut merupakan perkiraan (r, s, b) untuk model fungsi transfer input tunggal:
Variabel input
Tekanan Udara (X 1 )
0 0 2 Kelembaban Udara (X 2 ) 0 0 0 Kecepatan Angin (X 3 ) 0 0 0
Suhu Udara (X 4 )
Intensitas Matahari (X 5 ) 0 0 2 Tabel 3.15: Estimasi Penentuan (r, s, b)
Berdasarkan nilai korelasi silang pada Lampiran 8 masing-masing deret input diketahui nilai r dan s adalah nol karena lag-lag pada korelasi silang tidak menunjukkan pola yang jelas sehingga diduga nilai yang sesuai adalah nol. Se- mentara untuk nilai b dapat dilihat pada tabel 3.15. Lag pertama yang mem- pengaruhi secara signifikan pada tekanan udara adalah lag 2 dengan nilai lag 1,5620. Kemudian pada kelembaban udara dan kecepatan angin lag pertama yang mempengaruhi y masing-masing adalah lag 0 dengan nilai masing-masing lag 0 berturut-turut adalah 9.98704 dan -1,34284. Hal ini berarti bahwa kedua deret input x telah mempengaruhi deret output y dari awal. Sementara untuk suhu udara dan intensitas matahari lag pertama yang mempengaruhi output adalah lag
12 dan lag 2 dengan nilai masing-masing 1.202439 dan 2.418712. Berikut adalah model fungsi transfer untuk masing-masing deret input. Model fungsi transfer untuk tekanan udara
y 1t = v(B)(x 1t ) t−2 + noise
Model fungsi transfer untuk kelembaban udara
y 2t = v(B)(x 2t ) t−0 + noise
Model fungsi transfer untuk kecepatan angin
y 3t = v(B)(x 3t ) t−0 + noise
Model fungsi transfer untuk suhu udara
y 4t = v(B)(x 4t ) t−12 + noise
Model fungsi transfer untuk intensitas matahari
y 5t = v(B)(x 5t ) t−2 + noise
Penaksiran awal deret gangguan (n t ) Tahap selanjutnya adalah menghitung taksiran awal komponen noise dari
model fungsi transfer dengan menggunakan persamaan berikut:
n t =y t −v 0 x t −v 1 x t−1 −v 2 x t−2 − ... − −v 47 x t−17 (3.33)
Masing-masing deret input akan dihitung deret noise-nya untuk melengkapi model fungsi transfer yang terbentuk. Hasil deret noise selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 5
Penetapan orde (p n ,q n ) untuk model ARIMA (p n , 0, q n ) dari deret gang- guan (n t )
Penetapan nilai orde (p n ,q n ) bertujuan mencari model ARIMA untuk deret noise. Caranya sama dengan pembentukan model ARIMA pada deret input. Hasil parameter model ARIMA deret noise yang didapat disajikan pada Lampiran
9. Untuk mengetahui apakah model-model ARIMA yang didapat cocok un- tuk digunakan, maka perlu dilakukan pemeriksaan pada model tersebut. Berikut adalah estimasi parameter dan tabel uji Ljung-Box untuk mengetahui kesesuaian model yang digunakan.
X 1 Φ 1 = −0, 63305 -4,25
X 4 Φ 1 = −0, 44274 -2,09
X 5 Φ 1 = −0, 48352 -3,01
Tabel 3.16: Estimasi Parameter Deret Noise Setelah dilakukan estimasi, selanjutnya akan dilakukan uji hipotesis un-
tuk mengetahui apakah parameter pada model ARIMA deret noise yang digu- nakan signifikan atau tidak, Berikut uji hipotesisnya:
1. Hipotesis
H 0 : Estimasi parameter model ARIMA deret noise tidak signifikan dalam H 0 : Estimasi parameter model ARIMA deret noise tidak signifikan dalam
H 1 : Estimasi parameter model ARIMA deret noise signifikan dalam model
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
estimator t hitung = SE(estimator)
4. Kriteria keputusan tolak H 0 jika |t hi |>t α 2 ,df atau p-value < 0, 05
5. Perhitungan ada pada tabel 3.16
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.16 nilai p-value < α = 0, 05 sehingga H 0 ditolak. Den- gan demikian dapat disimpulkan bahwa parameter telah signifikan yang be- rarti dapat dimasukkan ke dalam model.
Selanjutnya untuk mengetahui autokorelasi residualnya tidak signifikan atau berbe-
da nyata dari nol dapat dilakukan uji hipotesis berikut:
1. Hipotesis
H 0 :ρ 1 = ... = ρ k = 0 (autokorelasi residualnya tidak signifikan)
H 1 : ∃ρ i 6= 0 (autokorelasi residualnya signifikan)
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
Q = n(n + 2) k=1 (n − k)
Var Lag Chi-Square db χ 2 α,df p-value
24 10.74 23 35,17 0.9857 Tabel 3.17: Uji Autokorelasi Residual Masing-masing Deret Noise
4. Kriteria keputusan tolak H
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan menggunakan program SAS dan hasil ada di tabel 3.17
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.17 terlihat nilai p-value untuk semua lag lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima. Ini berarti bahwa autokorelasi residualnnya tidak signifikan atau residual pada model ARIMA untuk masing-masing deret noise telah memenuhi asumsi white noise yakni korelasi antar lag bersifat saling bebas.
Setelah didapat model ARIMA untuk deret noise maka model fungsi Setelah didapat model ARIMA untuk deret noise maka model fungsi
y 1t = v(B)(x 1 ) t−2 +
= v(B)(x 2 ) t + (1 − Θ 1 )a t
y 3t = v(B)(x 3 ) t +
y 4t = v(B)(x 4 ) t−12 +
y 5t = v(B)(x 5 ) t−2 +
3.4.2 Tahap Kedua: Estimasi Parameter Model Fungsi Trans- fer
Setelah tahap pertama selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah melaku- kan estimasi parameter-parameter model fungsi transfer. Pada tahap sebelumnya yakni penetapan orde (r, s, b) telah dilakukan identifikasi model fungsi transfer input tunggal. Selain itu sebelumnya juga telah didapatkan model ARIMA un- tuk deret noise-nya. Dengan demikian model fungsi transfer input tunggal telah diperoleh sehingga penentuan parameter model fungsi transfer dapat dilakukan. Penentuan parameter didasarkan pada nilai orde (r, s, b) dengan bantuan program SAS 9.1. Berikut hasil estimasi parameter model fungsi transfer input tunggal yang disajikan dalam tabel 3.18
Estimasi parameter model fungsi transfer input tunggal telah diperoleh. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah uji hipotesis untuk mengetahui apakah parameter-parameter model fungsi transfer input tunggal signifikan atau tidak untuk dimasukan dalam model. Berikut uji hipotesis untuk memeriksa signifikansi parameter model.
Var Parameter
Lag Shift Φ 1 = −0, 63305 -4,25
t-value p-value
X 4 Φ 1 = −0, 44274 -2,09
X 5 Φ 1 = −0, 48352 -3,01
12 0 ω 0 = −0, 13236 -2,39
0 2 Tabel 3.18: Estimasi Parameter Variabel Input Model Fungsi Transfer
1. Hipotesis
H 0 : Estimasi parameter tidak signifikan dalam model
H 1 : Estimasi parameter signifikan dalam model
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
estimator t hitung = SE(estimator)
4. Kriteria keputusan tolak H 0 jika |t hi
|>t α 2 ,df atau p-value < 0, 05
5. Perhitungan ada pada tabel 3.18
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.18 terlihat bahwa nilai p-value < α = 0, 05 untuk semua parameter sehingga H 0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa parameter telah signifikan yang berarti dapat dimasukkan ke dalam model.
Setelah estimasi parameter model, berikut adalah rincian model fungsi transfer input tunggal
y 4t =ω 0 (x 4 ) t−12 +
Langkah selanjutnya adalah melakukan uji diagnostik terhadap model untuk mengetahui kesesuaian deret noise atau tidak adanya korelasi residual den- gan variabel input-nya.
3.4.3 Tahap Ketiga: Uji Diagnostik Model Fungsi Transfer Input Tunggal
Pemeriksaan Autokorelasi Residual Model Untuk mengetaui kelayakan suatu model dapat dilihat dari nilai autoko-
relasi residual model untuk semua variabel input. Berikut adalah hipotesis untuk menguji autokorelasi residualnya.
1. Hipotesis
H 0 : Autokorelasi residual dari model deret noise tidak signifikan
H 1 : Autokorelasi residual dari model deret noise signifikan
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
Var Lag Chi-square db χ 2 α,df Pr > Chi-Sq
0,9857 Tabel 3.19: Uji Autokorelasi Residual pada Masing-masing Model Fungsi Transfer
3. Statistik uji
4. Kriteria keputusan tolak H 2
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan ada pada tabel 3.19
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.19 terlihat bahwa nilai p-value ≥ α = 0, 05 sehingga
H 0 diterima. Hal ini berarti autokorelasi residual dari deret noise tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antar lag. Dengan demikian dapat H 0 diterima. Hal ini berarti autokorelasi residual dari deret noise tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antar lag. Dengan demikian dapat
Pemeriksaan Korelasi Silang Residual Model Pemeriksaan korelasi silang berguna untuk mengetahui apakah korelasi
antara deret input dengan nilai residualnya tidak signifikan. Pemeriksaan di- lakukan terhadap masing-masing variabel input. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut.
Var Lag Chi-square db χ 2 α,df Pr > Chi-Sq
0,3263 Tabel 3.20: Uji Korelasi Silang Residual pada Masing-masing Model Fungsi Trans-
H 0 : Korelasi antara model deret noise dengan deret input tidak signifikan
H 1 : Korelasi antara model deret noise dengan deret input signifikan
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
4. Kriteria keputusan tolak H 2
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan ada pada tabel 3.20
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.20 terlihat bahwa nilai p-value ≥ α = 0, 05 atau den-
gan membandingkan nilai Q < χ 2 α,df sehingga H 0 diterima. Hal ini berarti korelasi antara model noise dengan deret input tidak signifikan atau tidak terdapat korelasi antar lag. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa deret input α it dengan residual a it memenuhi asumsi white noise.
Setelah autokorelasi dan korelasi silang pada residual memnuhi asumsi white noise maka dengan demikian model dapat digunakan. Berikut model fungsi transfer input tunggal yang telah terbentuk.
y 4t =ω 0 (x 4 ) t−12 +
12 a t
y 5t =ω 0 (x 5 ) t−2 +
12 a t
Model fungsi transfer untuk tekanan udara
Model fungsi transfer untuk kelembaban udara y 12
= 0, 81018(x 2 ) t + (1 − 0, 59054B )a t
12 12 (1 − B 12 )Y
2t
= 0, 81018(1 − B )(X 2 ) t + (1 − 0, 59054B )a t (3.50)
Model fungsi transfer untuk kecepatan angin
a t y 3t =ω 0 (x 3 ) t + (1 − Φ 1 B 12 )
a t y 3t = −0, 61286(x 3 ) t +
= −0, 61286(1 − B )(X 3 ) t +
(3.51) (1 + 2, 88932B 12 )
Model fungsi transfer untuk suhu udara
a t y 4t =ω 0 (x 4 ) t−12 + (1 − Φ 1 B 12 )
a t y 4t = −3, 51878(x 4 ) t−12 +
(1 + 0, 44274B 12 )
12 12 a t
(1 − B )Y 4t = −3, 51878(1 − B )(X 4 ) t−12 +
(3.52) (1 + 0, 44274B 12 )
Model fungsi transfer untuk intensitas matahari
a t y 5t =ω 0 (x 5 ) t−2 + (1 − Φ 1 B 12 )
a t y 5t = −0, 13236(x 5 ) t−2 +
(1 + 0, 48352B 12 )
12 12 a t
(1 − B )Y 5t = −0, 13236(1 − B )(X 5 ) t−2 +
(3.53) (1 + 0, 48352B 12 )
3.4.4 Tahap Keempat: Pemodelan Fungsi Transfer Multi- variat pada Curah Hujan
Pemodelan fungsi transfer multivariat dilakukan setelah model fungsi transfer input tunggal telah terbentuk. Hal yang ditekankan dalam fungsi trans- fer multivariat adalah memodelkan secara serentak seluruh variabel yang telah diidentifikasi sebelumnya. Identifikasi fungsi transfer input tunggal menghasilkan nilai-nilai bobot respon impuls dan model deret noise yang dijadikan dasar dalam pemode-lan serentak yang menghasilkan model fungsi transfer multivariat untuk deret data curah hujan.
Tahap pertama adalah identifikasi model fungsi transfer multivariat. Pa-
da tahap ini model fungsi transfer multivariat ditentukan melalui korelasi silang antar variabel output curah hujan dengan masing-masing variabel input yang menghasilkan nilai-nilai bobot respon impuls. Nilai orde (r, s, b) untuk tekanan udara adalah (0, 0, 2), (r, s, b) untuk kelembaban udara adalah (0, 0, 0), (r, s, b) untuk kecepatan angin adalah (0, 0, 0), (r, s, b) untuk suhu udara adalah (0, 0, 12) dan (r, s, b) untuk intensitas matahari adalah (0, 0, 2). Setelah (r, s, b) ditetapkan maka model fungsi transfer multivariat dapat ditulis sebagai berikut:
X ω j (B) bj
(3.54) j=1 δ j (B)
B x jt + noise
v j (B)x t + noise
v k (B)x t =
6 (x 1 ) t−2 +ω 0 (x 2 ) t +ω 0 (x 3 ) t +ω 0 (x 4 ) t−12 +ω 0 (x 5 ) t−2
6 (x 1 ) t−2 +ω 0 (x 2 ) t +ω 0 (x 3 ) t +ω 0 (x 4 ) t−12 +ω 0 (x 5 ) t−2
(1 − δ 6 B )
+ noise (3.56)
Untuk menduga model ARIMA (p n ,q n ) dari deret noise dapat dilihat dari plot ACF dan PACF dari deret noise gabungannya. Model yang sesuai untuk deret noise berdasarkan plot ACF dan PACF yang diperoleh dengan bantuan program
SAS adalah ARIMA (0, 0, 0)(1, 1, 0) 12 dan dapat ditulis sebagai berikut
(1 − Φ 1 B 12 )
Setelah diperoleh model noise maka model fungsi transfer multivariat dapat dis- usun sebagai berikut:
0 −ω 2 B )
6 (x 1 ) t−2 +ω 0 (x 2 ) t +ω 0 (x 3 ) t +ω 0 (x 4 ) t−12 +ω 0 (x 5 ) t−2
+ω 0 (1 − B )(X 4 ) t−12 +ω 0 (1 − B )(X 5 ) t−2 +
a t (3.58) (1 − Φ 1 B 12 )
Tahap selanjutnya adalah estimasi parameter model fungsi transfer mul- tivariat. Cara mengestimasi model fungsi transfer multivariat adalah dengan memodelkan secara serentak nilai (r, s, b) serta melakukan korelasi silang secara serentak. Pemodelan secara serentak ini dilakukan dengan bantuan program SAS
9.1 dan menghasilkan estimasi parameter sebagai berikut: Parameter Estimasi t-value P r > |t| Lag
Var Shift
Tabel 3.21: Estimasi Parameter Model Fungsi Transfer Multivariat
Berdasarkan hasil estimasi parameter yang terdapat pada 3.21 terlihat ada beberapa variabel yang tidak signifikan. Dari hasil perhitunan dengan SAS terlihat bahwa variabel X 4 dan X 5 tidak signifikan. Hal ini berarti variabel X 4 dan X 5 dapat dikeluarkan. Namun kedua variabel tersebut tidak akan langsung dikeluarkan. Akan dipilih variabel yang paling tidak signifikan untuk dikeluarkan terlebih dahulu. Sementara untuk variabel X 1 walaupun ada estimasi parameter yang tidak signifikan tapi masih ada estimasi yang signifikan sehingga tidak perlu dikeluarkan dari model. Estimasi parameter model fungsi transfer multivariat
setelah variabel X 4 dikeluarkan ditampikan pada tabel 3.22.
Setelah variabel X 4 dikeluarkan, ternyata variabel X 5 tetap tidak sig- nifikan sehingga harus dikeluarkan dari model. Estimasi parameter setelah vari- abel X 5 dikeluarkan ditampilkan pada tabel 3.23. Setelah variabel X 5 dikeluarkan akhirnya semua variabel menjadi signifikan dan dapat dimasukan dalam model.
Parameter Estimasi t-value P r > |t| Lag
0 X 5 2 Tabel 3.22: Estimasi Parameter Setelah Variabel X 4 Dikeluarkan Parameter Estimasi t-value P r > |t| Lag
0 X 3 0 Tabel 3.23: Estimasi Parameter Setelah Variabel X 5 Dikeluarkan
Dengan demikian model fungsi transfer multivariat menjadi sebgai berikut:
12 (0, 92781 − 1, 17396B )
12 (1 − B 12 )Y
6 (1 − B )(X 1 ) t−2 + 0, 47584(1 − B )(X 2 ) t
(1 − 0, 52735B )
12 a t
− 2, 58884(1 − B )(X 3 ) t +
(1 + 0, 91530B 12 )
Setelah melakukan estimasi parameter dan semua parameter telah sig- nifikan maka selanjutnya adalah uji diagnostik model multivariat. Untuk menguji kelayakan suatu model perlu diakukan uji terhadap kesesuaian deret noise dan ada tidaknya autokorelasi antara residual dengan deret input-nya. Berikut pe- meriksaan autokorelasi untuk residual model dengan hipotesis sebagai berikut:
1. Hipotesis
H 0 : Autokorelasi antara residual dengan deret input tidak signifikan
Lag Chi-square db χ 2 α,df P r > Chi − sq
Tabel 3.24: Uji Autokorelasi Residual pada Model Fungsi Transfer Multivariat
H 1 : Autokorelasi antara residual dengan deret input signifikan
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
4. Kriteria keputusan tolak H
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan ada pada tabel 3.24
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.24 terlihat bahwa nilai p-value > α = 0, 05 sehingga
H 0 diterima. Hal ini berarti autokorelasi antara residual dengan deret input tidak signifikan. Residual fungsi transfer multivariat pada semua lag telah memenuhi asumsi white noise.
Terakhir, akan dilakukan pemeriksaan korelasi silang untuk deret input dengan nilai residual. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah korelasi antara deret input dengan deret noise signifikan atau tidak. Pemeriksaan dilakukan untuk masing-masing deret input. Uji hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:
Var Lag Chi-square db χ 2 α,df P r > Chi − sq
0,7625 Tabel 3.25: Uji Korelasi Silang Residual pada Model Fungsi Transfer Multivariat
H 0 : Korelasi antara deret noise dengan deret input tidak signifikan
H 1 : Korelasi antara deret noise dengan deret input signifikan
2. Taraf signifikansi α = 0, 05
3. Statistik uji
4. Kriteria keputusan tolak H
0 jika Q ≥ χ α,df atau p-value ≤ α
5. Perhitungan ada pada tabel 3.25
6. Kesimpulan Berdasarkan tabel 3.25 terlihat bahwa nilai p-value > α = 0, 05 sehingga H 0 diterima. Hal ini berarti korelasi antara deret noise dengan deret input tidak signifikan. Dengan demikian model telah memenuhi asumsi white noise se- hingga model fungsi transfer multivariat dapat digunakan.
3.4.5 Tahap Kelima: Penggunaan Model Fungsi Transfer Multivariat untuk Peramalan
Hasil estimasi model fungsi transfer multivariat yang telah menghasilkan parameter-parameter yang signifikan dapat digunakan untuk meramalkan curah hujan di kota Palembng. Berikut merupakan hasil peramalan curah hujan di kota Palembang dengan bantuan program SAS 9.1.
Bulan Tahun 2013 (dalam satuan mm) Tahun 2014 (dalam satuan mm) Januari
415.1569 Tabel 3.26: Hasil Ramalan Curah Hujan Dengan Model Fungsi Transfer Multi-
variat Dari hasil peramalan dengan model fungsi transfer multivariat terlihat
terjadi peningkatan curah hujan di bulan Maret dan April. Namun pada perteng- ahan tahun terjadi penurunan curah hujan yakni di bulan Juni dan Juli. Hal ini mungkin karena pada bulan tersebut wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau dimana tingkat curah hujannya rendah. Sementara di tahun 2014 curah hujan di awal tahun relatif lebih rendah dibandingkan pada tahun 2013. Namun di tahun 2014 justru mengalami peningkatan curah hujan di akhir tahun yakni terjadi pada bulan November dan Desember.
Gambar 3.22: Hasil Ramalan Curah Hujan kota Palembang Periode 2013-2014 Berdasarkan hasil ramalan ini dapat dianalisis bahwa pola curah hujan di
tahun 2013 relatif memiliki curah hujan yang sama pada tahun 2011. Sementara hasil ramalan curah hujan di tahun 2014 memiliki pola yang sama seperti pada tahun 2012. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan curah hujan di periode sebelumnya maka curah hujan akan mengalami penurunan di periode berikutnya. Curah hujan tertinggi di tahun 2013 terjadi pada bulan April yakni 503.603mm dan curah hujan tertinggi di tahun 2014 adalah pada bulan November yakni 545.7363mm. Sementara curah hujan terendah di tahun 2013 dan 2014 terjadi pada bulan Januari dan Maret, masing-masing dengan curah hujannya adalah 0.057312mm dan 2.0779mm. Rata-rata curah hujan di tahun 2013 adalah 153,7719mm dan pada tahun 2014 adalah 137,0226mm.