Imron Mustofa*

332 Imron Mustofa

dulu ada dibanding alam. Namun, lebih dulu di sini bukanlah dalam ketegori waktu, tetapi lebih kepada zat. Logikanya, sebagaimana angka 1 lebih dulu daripada angkat 2 atau matahari ada sebelum sinarnya. Walaupun demikian, perumpaan ini bagi Ibnu Sina tidaklah mungkin untuk diterapkan secara mutlak kepada Zat Tuhan, karena Dia berbeda dari makhluk-Nya (tanzi>h). 69

Al-Razi memandang berbeda dengan bagaimana Ibnu Sina menilai. Baginya, titik singularitas adalah titik di mana Tuhan menciptakan makhluk dari ketiadaan. 70 Dengan demikian, terjadi proses penciptaan semesta terus-menerus (creatio continua). Dalam creatio continua ini, al-Razi menjelaskan pendapatnya melalui teori

jauhar (atom) dan ‘ard} (aksiden). 71 Keduanya secara kontinyu mengalami serangkaian proses penciptaan, penghancuran, ataupun pemusnahan. Ketika Tuhan menciptakan atom suatu makhluk, Dia juga menciptakan bersamanya aksiden-aksiden yang menegaskan wujud atom itu. 72 Adapun saat atom-atom itu lenyap, Tuhan menggantinya dengan jenis yang sama, selama Tuhan menghendakinya untuk tetap ada. Sehingga, kehendak Tuhan tetaplah menjadi faktor utama dalam penciptaan dan ke- berlangsungan alam ini. Logika inilah yang menurut penulis paling dekat dalam menjelaskan mukjizat. Jika Tuhan menginginkan suatu mukjizat terjadi, maka Tuhan cukup secara serentak meng- gantikannya dengan atom dan aksiden-aksiden penyusun benda tersebut. Sebagaimana yang terjadi dari berubahnya tongkat menjadi ular dan Nabi Ibrahim yang tidak terbakar. Dalam teori atom ini, alam didefinisikan sebagai suatu hal yang tersusun dari kumpulan atom dan aksiden-aksiden. 73

Lebih jauh tentang apa dan bagaimana semesta itu sebelum hal itu terjadi sebagaimana al-Ghazali, al-Razi juga berpendapat tidak ada keharusan bagi logika untuk menyimpulkan alam semesta itu tidak bermula. Karena itu, tidak mustahil bagi akal manusia untuk berpikir bahwa Tuhan ada, dengan tanpa ada apapun bersama-Nya. Creatio ex nihilo oleh Tuhan, ataupun adanya ketiadaan sebelum penciptaan alam bukanlah sesuatu yang mustahil.

69 Ibnu Sina, Risa>lah…, 1-4.

71 Fakhruddin al-Razi, al-Maba>h}i>ts al-Masyriqiyyah>…, 257. Fakhruddin al-Razi, Mafa>ti>h} al-Ghaib, Juz 1, 171-172. 72 Ibid., 242

73 Fakhruddin al-Ra>zi>, Syarh} ‘Uyu>n..., Juz 2, 101.

Jurnal KALIMAH

Kritik Fakhruddin al-Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina 333

Mengenai pertanyaan tentang alasan yang memengaruhi Tuhan dalam menciptakan alam, al-Razi menilai bahwa hal inilah inti dari pandangan yang melahirkan emanasi Ibnu Sina. Bagi al- Razi, kehendak Tuhan tidak bisa dianalogikan dengan kehendak manusia. Kehendak Tuhan tidak mengalami perubahan. Karena makna kehendak adalah pilihan, bukan perubahan, karena itu, pilihan Tuhan tidak mengandung makna perubahan pada ira>dah- Nya. Adapun waktu yang dipilih Tuhan saat menciptakan merupa- kan kehendak Tuhan secara mutlak. Singkatnya, al-Razi ingin menegaskan bahwa sebelum diciptakannya sesuatu, sesuatu bukanlah suatu secara esensi (a’ya>n), substansi (jawhar), ataupun aksiden (‘ard}). Ia adalah ma’du>m dan belum menjadi sesuatu. Allah menjadikan ia wujud dari sesuatu yang tidak ada (creatio ex nihilo). Dalam kaitannya dengan kausalitas Aristoteles, al-Razi hanya menegaskan bahwa menyamakan penciptaan alam dengan proses pembuatan suatu barang tidaklah sesuai. Sebab, Allah tidak bisa dibandingkan dengan manusia. Lagi pula dalam dunia empiris, Allah tidak hanya menciptakan jism, tapi juga atom dan aksiden dari setiap jism.

Ketiga, asumsi lain yang lahir sebagai konsekuensi logis dari emanasi adalah Tuhan tidak mengatur alam ini secara langsung. Dia menggunakan agen-agen atau yang biasa disebut dengan sebab-

sebab sekunder. 74 Alasannya sebagaimana di atas, tidak mungkin bagi Zat Yang Maha Esa berinteraksi secara langsung dengan selain Yang Esa (tanzi>h). 75 Tanzi>h di sini dinilai al-Razi tidak masuk akal. Sebab, jika Ibnu Sina membangun logikanya dengan ketidak- mungkinan Tuhan untuk berinteraksi secara langsung dengan makhluk, maka bukankah media antara Tuhan dengan selain-Nya itu juga bukan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, bagi al-Razi makna yang sebenarnya dari tanzi>h di sini adalah ketidakmungkinan ada suatu apapun yang memiliki sifat yang sama persis ataupun lebih dari-Nya. Namun, apabila ditemukan sifat-sifat yang terlihat identik dengan sifat-sifat Tuhan, itu hanyalah sebatas persamaan dalam wilayah bahasa (al-isytira>k al-lafz}i). 76

74 Fakhruddin al-Razi, Syarh} al-Isya>ra>t…, 220. Fakhruddin al-Razi, Mafa>ti>h} al- Ghaib, Juz 5, 286.

75 Sirajuddin Zar, Filsafat…, 76. 76 Fakhruddin al-Razi, Asa>s al-Taqdi>s…, 77.

Vol. 13, No. 2, September 2015

334 Imron Mustofa

Menurut al-Razi mengagungkan Tuhan dengan mengatakan Dia menggunakan perantara tidaklah benar. Sebab, adanya penghubung antara Tuhan dan makhluk, tidak berarti secara otomatis menunjukkan Tuhan tidak berinteraksi secara langsung dengan makhluk-Nya. Sebab, semua yang dilakukan makhluk, termasuk malaikat pun tetap dalam kendali Tuhan. Artinya, faktor di balik tindakan Tuhan adalah “apa” dan “karena” kehendak-Nya sendiri. Implementasi dari “karena kehendak-Nya” inilah yang

kelak dikenal dengan istilah occasionalisme. 77 Implikasi occasionalisme ini adalah segala sesuatu dan peristiwa di alam secara substansial bersifat tidak terkait dan saling terpisah. Tidak ada kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, kecuali melalui kehendak

Tuhan. 78 Dalam perspektif kewenangan Tuhan ini, bila peristiwa “A” terkait atau berhubungan dengan peristiwa “B,” hubungan ini tidak terjadi secara alamiah, tapi karena Tuhan menghendaki demikian. Dengan begitu, occasionalisme menyangkal kausalitas ala Ibnu Sina. Occasionalime ini barangkali jika ditarik ke dalam bahasa al-Ghazali adalah apa yang ia sebut sebagai al-sababiyyah

atau tala>zum al-‘aqli dalam istilah al-Razi. 79 Kedua hal ini tidak sama seperti kausalitasnya Ibnu Sina. Sebab, selain mengakui sebab-akibat tetap menyatakan bahwa sebab penentu dalam segala yang ada adalah Tuhan dengan qudrah dan ira>dah-Nya. Dengan kata lain, al-Razi menegaskan bahwa Tuhan dapat menciptakan

segala sesuatu dari tanpa adanya media (ibtida>’an). 80 Singkat kata, titik singularitas dalam istilah Ibnu Sina menunjuk pada titik awal terbentuknya ruang-waktu atau singularitas. Sedangkan al-Razi memandangnya sebagai titik di mana Tuhan menciptakan makhluk dari ketiadaan.

77 Occasionalisme adalah sebuah keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa dalam kesendirian-Nya atas segala sesuatu, Ia berperan langsung dalam penciptaan semesta dan

segala peristiwa di dalamnya. Adapun alam ini sebagai manifestasi lahiriah kesempatan- Nya (occasion).

78 Fakhruddin al-Razi, al-Maba>h}i>ts al-Masyriqiyyah…, 382-383. Baca juga: Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Din al-Razi, (Leiden Boston: Brill, 2006), 19-20.

79 Fakhruddin al-Razi, Al-Arba’i>n…, 244. Lihat juga: Fakhruddin al-Razi Mafa>ti>h} al- Ghaib, Juz 24, 431-432.

80 Fakhruddin al-Razi, Mafa>ti>h} al-Ghaib, Juz 1, 171-172.

Jurnal KALIMAH

Kritik Fakhruddin al-Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina 335

Penutup Baik Ibnu Sina dan al-Razi telah melakukan terobosan-

terobosan dalam berbagai disiplin keilmuan. Mereka mulai men- coba mengharmonikan antara masalah-masalah metafisik, dengan argumentasi-argumentasi filsafat, termasuk dalam mengelaborasi konsepsi ketuhanan. Walaupun demikian, bertolak dari dasar yang sama, keduanya memiliki cara pandang berbeda dalam menjelas- kan Tuhan, penciptaan, dan kausalitas.

Tuhan bagi Ibnu Sina berperan sebagai Kausa Prima atas adanya alam semesta ini. Adanya Tuhan, mewajibkan adanya alam. Walaupun tampak serupa dengan pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina tampak telah mengislamisasi beberapa istilah Aristoteles. Islamisasi ini dimaksudkan untuk menghindari penggambaran Tuhan dari fenomena fisik, sehingga Tuhan dan makhluk-Nya dengan jelas dapat dibedakan. Karena itulah Ibnu Sina datang membawa pandangan Wa>jib al-Wuju>d. Bukti lainnya adalah dalam al-Syifa>‘ al-Ila>hiyya>t, Ibnu Sina mengilustrasikan dengan tema non- Aristotelian, seperti takdir Ilahi, kebangkitan, imbalan surgawi, dan lain-lain, semuanya murni istilah dalam Islam. Ini adalah indikasi yang jelas bahwa Ibnu Sina mengubah cara Aristoteles dalam memahami kedua realitas spiritual dan material. Adapun al-Razi terlihat lebih kritis terhadap teori Aristotelian. Ia tidak serta-merta menolaknya, namun tidak juga mengamininya ke tingkat di mana Ibnu Sina berada. Ia menekankan walaupun kausalitas ber- pengaruh, Tuhan tetaplah sebagai faktor utama dari segalanya. Alias adanya sebab, tidak lantas mewajibkan adanya akibat darinya. Ia tindak menganggap gerakan Tuhan, sifat-sifat, dan hubungan Tuhan langsung dengan makhluk sebagai bentuk “pelecehan” pada keesaan-Nya.

Selain itu, dari penjabaran di atas dapat disimpulkan: pertama, al-Razi menolak pernyataan Ibnu Sina bahwa emanasi merupakan konsekuensi logis dari ta’aqqul Tuhan. Hal ini dinilai akan menodai tanzi>h yang digagas oleh Ibnu Sina sendiri, sebab ia berindikasi menyatakan ada selain Tuhan yang qadi>m dan kekal. Kedua, emanasi akan menafikan ayat-ayat tentang interaksi Tuhan secara langsung atas apa yang terjadi pada makhluk, seperti; ayat pemberian rezeki, peniupan ruh, Maha Berkehendak, mengazab pendosa, Tuhan lebih dekat daripada urat nadi manusia, penciptaan, istiwa> ‘ala al-‘arsy, dsb. Ketiga, ilmu dan qudrah Tuhan menjadi

Vol. 13, No. 2, September 2015

336 Imron Mustofa

terbatas, sebab Dia hanya mengetahui yang parsial dan memerlu- kan mediator yang disebut sebab-sebab sekunder dalam mengurus alam semesta.

Akhirnya semua perbedaan ini secara umum lahir dari perbedaan kedua tokoh tersebut dalam memandang makna istilah al-ih}da>ts. Sebab, bagi kaum teolog, al-ih}da>ts mengandung arti me- wujudkan dari tiada, sedangkan bagi kaum filsuf kata itu bermakna mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Begitu pula terjadi dengan istilah qadi>m. Bagi kaum teolog kata qadi>m berarti sesuatu yang berwujud tanpa sebab, sedangkan bagi filsuf memaknainya tidak mesti sesuatu yang berwujud tanpa sebab,

tapi boleh juga yang berwujud dengan sebab. 81 Dengan kata lain alam itu diciptakan karena sebab lain, namun boleh bersifat qadi>m, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, kata qadi>m dapat berarti sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus-menerus, tidak bermula dan tidak ber-

akhir. 82 Akibatnya Ibnu Sina yang yang lebih condong mengamini pendapat para filsuf menolak penciptaan alam dari ketiadaan, ia juga menilai bahwa alam ini kekal. Namun bagi al-Razi yang lebih bermazhab teolog, lebih senang membenarkan creation ex nihilo dibandingkan emanasi.[]

Daftar Pustaka Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1985. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka

Firdaus. Aristotle.1960. Metaphysics. Terj. Richard Hope. New York:

University of Michigan Press. Al-Bahiy, Muhammad. 1981. Al-Fara>bi: al-Mauqif wa al-S{a>rih}.

Kairo: Maktabah Wahbah. Cillis, Maria De. 2014. Free Will and Predestination in Islamic Thought:

Theoretical Compromises in The Works of Avicenna, al-Ghazali and Ibnu ‘Arabi. NY: Routledge.

Corbin, Henry. 2014. History of Islamic Philosophy. NY: Routledge.

82 Ibid., 81-85. Lihat juga: Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Dirasah Fakhruddin al-Razi, Muh}as}s}il al-Afka>r…, 81-85. Islamiyah IV, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 129.

Jurnal KALIMAH

Kritik Fakhruddin al-Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina 337

Fakhry, Majid. 2008. Islamic Occasionalism: And Its Critique by Averroes and Aquinas. New York: Routledge.

Al-Farabi, Kita>b al-Ja>mi’ Baina al-H{ukmain. Beiru>t: Da>r al-Masyriq. Gerson, L.P. 1994. God and Greek Philosophy. New York: Routledge. Al-Ghazali, Abu Hamid. Taha>fut al-Fala>sifah. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. ______. 2010. Taha>fut al-Fala>sifah. Terj. Ahmad Maimun. Bandung:

MARJA. ______. 1934. Al-Arba’i>n fi Us}u>l ad-Di>n. Hyderabad: Da>r al-Ma’a>rif. Ibnu Sina. 1983. Isya>ra>t wa al-Tanbi>ha>t. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. ________. 1363H. Al-Mabda‘ wa al-Ma’a>d. Teheran: Universitas

Teheran. ________. 1938. Kita>b al-Naja>t fi> al-Mant}iq wa al-Ila>hiyya>t. Beirut:

Da>r al-A<fa>q al-Jadi>dah. ________. 1990. Al-Syifa>‘ al-Ilahiyya>t. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Ibnu Taymiyyah. 1392H. Dar‘u al-Ta’a>rad} al-‘Aql wa al-Naql.

Riyadh: Da>r al-Kunu>z al-Adabiyah. Jones, W.T. 1980. The Classical Mind. Fort Worth: Harcourt Brace

Jovanovich College Publishers. Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta:

Bumi Aksara. Marmura, Michael E. (Ed.). 1984. Islamic Theology and Philosophy.

New York: SUNY. Morewedge, Parviz. 1979. Islamic Philosophy and Theology. New

York, SUNY Press. Nasr, Seyyed Hossein. 2013. The Islamic Intellectial Tradition in

Persia. New York: Rouledge. Nasution, Harun. 1990. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:

Bulan Bintang. Nata, Abuddin. 1993. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Dirasah

Islamiyah IV. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Plato. 1989. Laws. Terj. A.E. Taylor. Princeton: Princeton University

Press.

Vol. 13, No. 2, September 2015

338 Imron Mustofa

Plotinus. Ennead. V.2. Terj.A.H. Amstrong. London: Harvard University Press.

Al-Razi, Fakhruddin. 1990. Al-Maba>h}i>ts al-Masyriqiyyah fi> ‘Ilm al- Ila>hiyya>t wa al-T{abi>’iyya>t. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-’Arabi.

______. Asa>s al-Taqdi>s. Kairo: Maktabah al-Kulli>yya>t al-Azhariyyah. ______. 1420 H. Mafa>ti>h} al-Ghaib. Beiru>t: Da>r Ih}ya>‘ al-Tura>ts al-

‘Arabi. ______., Muh}as}}s}il al-Afka>r al-Mutaqaddimi>n wa al-Muta’akhiri>n min

al-’Ulama>’ wa al-H{ukama>‘ wa al-Mutakallimi>n. Kairo: Maktabah al-Kulliyya>t al-Azhariyyah.

______. Syarh} ‘Uyu>n al-H}ikmah. Beiru>t: Muassasah S}a>diq. ______. 1325H. Syarh} al-Isya>ra>t. Kairo. Shihadeh, Ayman. 2006. The Teleological Ethics of Fakhr al-Di>n al-

Razi. Leiden Boston: Brill. Stumpf, Samuel Enoch. 1982. Socrates to Sartre: A History of

Philosophy. New York: Hill Book Company. Al-Syahrastani, Muhammad Abd al-Karim. 1984. Al-Milal wa al-

Nihal, Terj. A. K. Kazi. London: Kegan Paul International. Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

Jurnal KALIMAH