Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari. Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sulawesi Tengah
PEMBENTUKAN STRUKTUR A G M R I A PADA MASYARAKAT
PINGGIRAN HUTAN:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecarnatan
Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
OLEH:
SYAHYUTI
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
ABSTRAK
SYAHYUTI. Pembentukan S t ~ k t uAgraria
r
pada Masyarakat Pinggiran Hutan:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan Palolo. Kabupaten
Donggala, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh
M.T. FELIX SITORUS dan
ENDRIATMO SOETARTO.
Indonesia menghadapi berbagai pennasalahan kehutanan berupa
kerusakan hutan dan konflik kepentingan, mi&lnya yang tejadi pada areal hu&n
produksi dan taman nasional. Penelitian ini rnenggunakan pendekatan peneliian
kualitatif, dengan menerapkan m
i shrdi kasus dan rnulti metode
pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langsung, serta studi
dokumen. Lokasi penelitian di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Sulawesi
Tengah, yang merupakan kawasan yang berbatasan dengan wilayah hutan,
yaitu Desa Sintuwu yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore
Lindu dan Desa Berdikari yang berbatasan tangsung dengan Hutan Produksi
Terbatas milik negara. W&ncara
dilakukan terutama di tingkai masyarakat
dilengkapi di berbagai instansi baik pernerintah, balai taman nasional dan LSM.
Selain itu, untuk dukungan data kuantitatif tentang pemilikan tanah dan cam
perolehannya, dilakukan wawancaraterstruktur kepada 61 orang responden.
Kedua desa merupakan desa bentukan melalui migrasi swakarsa
berbagai suku dan sub-suku, yaitu suku asli Sulawesi Tengah (Suku Kaili dan
Kulawi) dan suku pendatang (Bugis, Manado, Toraja, serta sedikit Jawa, Sunda,
dan Bali) semenjak tahun 1961. Kedua desa saat ini didominasi perkebunan
kakao pheobrvma cacao) dengan melakukan ekspansi ke wilayah hutan negara.
Cara perolehan tanah berkaitan dengan tahun kedatangan migran selain
karena faktor suku. Pada era 1960-an dan 1970-an. setiap pendatang dapat
membuka sendiri kawasan desa yang rnasih berupa hutan dibawah pengaturan
kepala desa bersangkutan. Setelah itu. pendatang periode . berikutnya
memperoleh dengan cara diberi kerabat atau mernbeli. Pemberian dan jual beti
cenderung terjadi dalam keluarga dan antar kerabat. atau setiiaknya daiam satu
suku. Suku Kaili Taa di Sintuwu dan Kulawi di Berdikari lebih banyak
memperoleh tanah dengan membuka secara langsung, namun orang Bugis kbih
suka membeli. Suku-suku pendatang pertama oendewng mengalami
majinalisasi penguasaan terhadap tanah, disebabkan "keterpaksaan" mereka
menjual tanah-tanahnya untuk membiayai pesta perkawinan dan selarnatan
perkawinan. Hal ini rnenjadi faktor pendorong mereka melakukan ekspansi ke
dalam kawasan hutan.
Di kedua kawasan hutan ditemukan konflik antafa pemerintah di s t u
kubu dengan swasta dan masyarakat di kubu lain. Pengawasan dan penegakan
hukum yang lemah rnenyebabkan pencurian kayu dan penanam lahan hutan
(landgmbbing). Hal ini disebabkan karena tarikan pasar dunia kakao dan gejala
"kekurangan" tanah.
Keterjaminan keamanan sosial ekonomi masyarakat rnengandalkan
organisasi kekerabatan, karena organisasi hidup sedesa berada dalam ikatan
genealogis dalarn keiompok-kelompok suku. Keberlangsungan sosial ekonomi
masyarakat secara umum berada dalam kondisi terancam, karena menurunnya
status kestabilan sumber-surnber agraria.
~
SUKAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang bejudul:
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA PADA MASYARAKAT PINGGIRAN
HUTAN: Studi Kans di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kesamatan Pablo,
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber
data dan inforrnasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor.
Mei 2002
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRAR1A PADA MASYARAKAT
PlNGGlRAN HUTAN:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan
Pafolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk
rnernperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
HALAMANPENGESAHAN
:
Judul Tesis
Pembentukan
Pinggiran
Desa
Struktur
Agraria
Berdikari.
Kecamatan
Donggala. Sulawesi Tengah.
Nama
: Syahyuti
NRP
: 99?40
Program Studi
: Sosiologi Pedesaan.
Menyetujui,
1. Kornisi Pernbirnbing
-
Dr. M.T. Felix Sitorus
Ketua
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan
-
-A
Dr. M.T Felix Sitorus
Tanggal lulus: 28 Februari 2002
pada
Masyarakat
Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan
Palolo,
Kabupaten
Penulis dilahirkan di Kabupaten Padang Pariaman pada tanggal 2
Februari 1967 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan sajana
ditempuh pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 199f.Pada tahun 1999 penuiis
diterima di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Program Pasca Sarjana
lnstitut Pertanian Bogor dan menamatkannyatahun 2002.
Penulis bekeja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. 8adan Penelian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian sejak tahun 1992 di Bogor. Bidang penelitian yang
menjadi tanggung jawab penulis adalah Penelitian Kelernbagaan dan Organisasi
Pertanian.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Atlah SWT atas segala
karunianya sehingga karya ilrniah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yaAg dilaksanakan sejak bulan Mei 2001 sarnpai
dengan bulan Juli 2001 ini ialah agraria dengan judul Pernbentukan Stmktur
Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan
Desa Berdikari, Kecamatan Palolo. Kabupaten Donggala. Sulawesi Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. M.T. Felix Sitorus dan
Bapak Dr. Endriatmo Soebrto selaku pembirnbing. Di sarnping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada proyek ARM (Agriculfural Research Managemenf)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberi biaya
selama studi serta penelitian STORMA (Stability of Rain Forest Margins), suatu
kejasama penelitian antara lnstitut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako,
Georg-August-Universitat Gottingen dan Universitat Gesamthochscfiule KasseI
Witzenhausen, Jerman yang telah membantu pembiayaan selama penelitian
lapang Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada isteri tercinta (Indri
Wulandari), kedua orang tua, serta keluarga atas segala dukungannya.
DAFTAR tSI
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang Penetitian .....................................................................
Pertanyaan Penelitian ...........................................................................
Tujuan Penelitian ...................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
i .............
Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Dan Struktur Agraria pada
Masyarakat Pinggiran Hutan .................................................................
Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat .............
Keberlajutan Ekosistem dan Sumber-Surnber Agraria .........................
METODOFOGI PENELITIAN....................................................................
Batasan Konsep Penelitian....................................................................
Kerangka Pemikiran dan Hipotesa .......................................................
Metode Penelitian..................................................................................
GAMBARAN UMUM SOSIAL EKONOMI Dan PEMBENTUKAN
WllAYAH DATARAN PALOLO ..............................................................
Karakteristik Geografi dan Ekonorni ...................................... ...............
Karakteristik Demografi dan Sejarah Pernbentukan Wilayah................
Rangkuman...........................................................................................
PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN DESA DAN STRUKTUR
MASYARAKAT..........................................................................................
Desa Sintuwu.........................................................................................
Desa Berdikari........................................................................................
Rangkurnan............................................................................................
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARlA 131 DESA S I N T W U DAN
BERDIKARI...............................................................................................
Struktur Agraria dan Proses Pembentukannya ............... :.....................
Keterjaminan Kemanan Sosial Ekonomi ...............................................
Status Stabilitas Sumber-Sumber Agraria dan Prospek Keberlanjutan
Ekosistern .............................................................................................
Sistem Ekonomi Tanaman Kakao .........................................................
Hubungan zntara Pembentukan Struktur Agraria. Keterjaminan
Keamanan Sosial Ekonomi dan Stabilitas Sumber-Sumber Agraria
....
.
Rangkuman .........................................................................................
.
KESIMPULAN...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
LAMP1RAN................................................................................................
Halarnan
1
1
3
5
DAFTAR TABEL
Halaman
Jenis dan metode pengumpulan data ......................................
Sebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa
Sintuwu ...................................................................................
Sebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa
Berdikari ...................................................................................
Jenis dan luas penggunaan tanah di Desa Sintuwu dan
Berdikari. 2001 ..........................................................................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu
(berdasarkan jumlah persil) ............................... .
....................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu
(berdasarkan luas tanah) ..........................................................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari
(berdasarkan jurnlah persil) ..................................... .................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari
(berdasarkan luas tanah) ........................................................ :.
Rata-rata luas penguasaan kebun kakao per rumah tangga
res~ondenberdasarkan suku di Desa Sintuwu dan Berdikari.
tahun 2001.
26
......................
1. Peta burni Kecarnatan Palolo ................................ .
.
Halarnan
135
2 . Peta nama ternpat dan pernukirnan penduduk di Desa Sintuwu ..............
136
3. Peta penggunaan tanah di Desa Sintuwu .................................................
137
4 . Gambar transek Desa Sintuwu ..................................................................
138
5. Peta nama tempat dan pernukirnan pencjuduk di Desa Berdikari .............
739
6. Peta penggunaan tanah di Desa Berdikari ...............................................
140
7. amb bar transek dusun 4 Desa Berdikari ................................................
141
7 (lanjutan). Garnbartransek dusun 2 dan 3 Desa Berdikari ........................
142
8. Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di Desa
Sintuwu .....................................................................................................
143
9. Cara perolehan tanah oleh suku Kaili di Desa Sintuwu .............................
144
10. Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di Desa Sintuwu ........................
145
11. Cara perolehan tanah oleh Suku Kutawi dan Sunda di Desa
Sintuwu ....................................................................................................
146
12. Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar suku
di Desa Sintuwu ......................................................................................
147
13. Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di Desa Berdikari
148
-I4 . Cara perolehan tanah oleh Suku Kulawi di Desa Berdikari ......................
149
15. Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di desa Berdikari ........................
150
16. Cara perolehan tanah oleh suku Toraja. Manado. Jawa. dan-Sunda
di Desa Berdikari .......................................................................................
153
17. Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar suku
di Desa Berdikari .......................................................................................
152
18. Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan
hubungan sosioagraria di Desa Sintuwu....................................................
153
19. Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan
hubungan sosioagraria di Desa Berdikari............................................
154
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Pada setiap kornunitas akan didapati kaitan yang kuat antara organisasi
sosial yang dikembangkan dengan sumber daya agraria yang dimilikinya.
Interaksi manusia dan sumber daya alam pada satu kawasan akan melahirkan
suatu pola organisasi agraria tertentu tergantung kondisi spesifik fisik dan
sosialnya, yang terlihat dari struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan
surnber-surnber agraria. Struktur yang terbentuk tersebut rne~pakanhasil dari
berbagai faktor penyebab, baik yang berasal dari rnasyarakat itu sendiri berupa
sejarah dinamika internalnya. maupun dari luar misahya intervensi birokrasi dan
pihak swasta.
Sebagai suatu sistern, hubungan antara alarn dan manusia pada areat
tertentu bersifat tirnbal balik (coherent system). Hal ini juga berlaku untuk kasus
hubungan antara hutan dan manusia. Kelestarian surnber-surnber agraria
kehutanan tergantung kepada struktur agraria rnasyarakat seternpat yang hidup
dr dalarn ataupun di sekitamya. Sebaliknya, beroperasinya struktur agraria
tersebut didasarkan atas kapasitas sosial . ekonomi sumber daya di wilayah
prnggiran hutan tersebut.
Permasatahan rnasyarakat yang hidup di pinggiran hutan negara adalah
tidak adanya pengakuan hak-hak rnasyarakat adat oleh negara, sehingga
menirnbulkan konfl~kpernanfaatan hutan (Gunawan et. a/, 1998: 4).
Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan kajian sosiologis terhadap
masyarakat pinggiran hutan secara mendalarn. khususnya berkenaan dengan
aspek sosloagrananya Pernaharnan terhadap masyarakat pingg~ranhutan perlu
d~lakukankarena salah satu kesalahan pengelolaan hutan dr lndones~a~elama
ini
disebabkan
oleh
sistem
pengelolan
yang
pengembangan kelembagaan setempat (Wibowo,
tidak
berakar
kepada
1993: 26). Pengembangan
kelembagaan lokal sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kehutanan dalam
kerangka pembangunan yang berkelanjutan, yang mencakup aspek-aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi pengelolaan kehutanan hams
dapat rnemberi hasil maksimal kepada pihak-pihak terlibat, secara sosial dapat
diterima, dan secara lingkungan hams dapat menjaga potensi sumber daya
alam.
Pemerintah rnerniliki beberapa bentuk pengelolaan sumber daya hutan,
dua di antaranya adalah hutan produksi dan tarnan nasional. Kedua jenis bentuk
pengelolaan tersebut saat ini dihadapkan kepada berbagai persoalan
yang
menjurus kepada kerusakan hutan. Kerusakan pada hutan taman nasional
disebabkan oleh konflik antara pihak tarnan nasional dengan masyarakat di
sekitamya yang merasa memiliki wilayah taman nasional tersebut (Machmur,
1999: 90).
Masyarakat sekitar
hutan melakukan pencurian hasil hutan,
penyerobotan lahan untuk perladangan, dan pendudukan wilayah taman
nasionat sebagai pemukiman'
Dari uraian di
atas
jelastah,
tyrhwa
pengelolaan
hutan
dengan
menerapkan sistem administrasi sentfal selama ini cenderung gagal, karena
kurang menghargai dan mernpertimbangkan kompleksitas dan keragaman sosial
ekonomi rnasyarakat setempat. Untuk menjamin keberlanjutan (sustainability)
sumber
daya
kehutanan
di
rnasa datang, diperlukan kesadaran untuk
mengembangkan kapasitas komur?itas lokal, termasuk perubahan paradigma
pengelolaan taman nasional dengan menempatkan manusia sebagai bagian
'
Misalnya penyerobotan TN Rawa Aopa oleh suku Moronene di Watumohae Sulawesi
Tenggara yang membangun perkampungan di dalamnya. (Kompas, 3 November 2000:
"TN Rawa Aopa Watumohae di Obrak-abrik") Juga perusakan TN Gunung Leuser oleh
perambah (Kompas, 4 November 2000: "Perusakan TNGL terus Berlangsung").
Integral
dl
dalamnya2. Untuk
merancang
kelembagaan
yang
dibangun
berdasarkan paradigrna baru tersebut, diperlukan pengetahuan yang cukup
terhadap bangun orgartisasi sosioagraria masyarakat setempat.
Hal ini disadari sebagai tugas yang sulit apalagi rnenyangkut tanah-tanah
adat di luar Jawa yang coraknya sangat beragam dan terlihat pelik bagi orang
luar (Ngo. 1989: 73).Untuk alasan itulah perlu dilakukan banyak studi agar dapat
rnernetakan persoalan agraria yang sangat beragarn tersebut, terutama di luar
Jawa yang merniliki sejarah dan dinamika politik agraria yang berbeda dengan di
pulau Jawa.
Masyarakat yang rnendiarni witayah pinggiran hutan saat ini juga ada
yang merupakan rnasyarakat bentukan barn karena migrasi pendatang dari luar.
Hal ini didorong oleh kekayaan sumber daya agraria di sana dan adanya peluang
akses bagi pendatang. Pada kasus ini akan dijumpai dinamika sosioagraria yang
berbeda dibandingkan dengan rnasyarakat pinggiran hutan yang telah turun
temurun mendiarni wilayah tersebut. Proses pernbentukan struktur agraria serta
ketejaminan sosial ekoncnni pada masyarakat tersebut diperkirakan menjadi
dasar
bagaimana keberlanjutan sumber-sumber
agraria yang dimilikinya,
termasuk keberlanjutanekosistern hutan dr dekaf mereka.
Pertanyaan Penetiiian
Bertolak dari prinsip hubungan ko-evolusi antara alam dan rnanusia,
rnaka proses pernbentukan struktur agraria akan rnempengaruhi bagaimana
keberlanjutan hubungan ekosistem tersebut di masa datang. Untuk itu, penelitian
ini
akan
menjawab
tiga
pertanyaan
pokok,
yaitu:
bagaimana
proses
Hal ini misalnya sudah dujicobakan pada masyarakat adat berbagai etnik dari suku
Dayak di TN Kayan Mentarang (Kaltirn) yang ikut rnengelola kawasan konsewasi
tersebut dengan menggunakan hukum-hukum adat nereka (Kornpas, 3 November 2000:
"Masyarakat Adat akan lkut Kelola TN Kayan Mentarang").
3
pembentukan struktur agrana pada rnasyarakat pinggiran hutan, bagaimana
keterjaminan keamanan sosial ekonominya (soc
o
ieconom
c
i
security),
serta
bagaimana prospek keberlanjutan ekosistem (biofisik) setempat sebagai akibat
aktivitas sosial masyarakat yang mendiaminya.
Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut peneliti akan sampai
kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik sebagai berikut:
(1) Struktur agraria menyangkut dua kornponen utarna yaitu surnber-surnber
agraria dan rnanusianya, sehingga dari pertanyaan bagairnana proses
pembentukan struktur agraria diperolefi pertariyaan-pertanyaan spesifik
berikut:
a.
Bagairnana kondisi dan potensi sumber daya agraria yang terdapat
pada
masyarakat
pinggiran
hutan,
serta
bagaimana perubahan
penggunaan dan faktor-faktor penyebabnya?
Siapa dan bagaimana bentuk organisasi yang merniliki akses terhadap
b.
sumber-sumber
agraria,
serta
faktor
apa
yang
menentukan
pernbentukan tersebut?
(2)
Dari pertanyaan ketejaminan keamanan sosial ekonomi diperoleh
pertanyaan-pertanyaan spesifik berikut
a. Bagairnana keterjaminan keamanan sosial ekonomi terbentuk dan faktorfaktor apa yang menentukannya?
b. Bagairnana institusi penjamin kearnanan sosial ekonomi yang terbentuk,
apakah didasarkan kepada ikatan genealogis atau ikatan teritorial?
(3)
Dan pertanyaan prospek keberlanjutan ekosistem setempat diperoleh
perianyaan-pertanyaanspesifik berikut:
a
Baga~rnanamasyarakat mernperlakukan tanah, khususnya tanahtanah sebaga~milik pribad~serta tanah di wilayah kehutanan? Hal ini
untuk rnengetahui status stabilitas sumber-sumber agraria di kawasan
tersebut
b. Faktor-faktor apa saja yang diperkirakan akan rnempengaruhi prospek
stabilitas sumber-surnber agraria di daerah tersebut, khususnya
berkenaan dengan shktur agraria dan ketejarninan kearnanan sosial
ekonorni yang dirniliki rnasyarakat?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan utarna penelitian, maka tujuan penelitian
adalah:
1. Mernperoleh
garnbaran
proses
pernbentukan
struktur
agraria
pada
rnasyarakat pinggiran hutan yang merupakan rnasyarakat bentukan barn.
2. Mernperoleh garnbaran ketejarninan kearnanan sosial ekonorni rnasyarakat
yang berdiarn di pinggiran hutan.
3. Mernperoleh gambaran tentang prospek stabilitas ekosistern seternpat
berdasarkan proses sosioagraria yang
rnasyarakat bersangkutan.
bedangsung dalarn
kehidupan
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat pinggiran hutan memiliki struktur sosial dan sosio agraria
yang berbeda-beda. Sebagian di antaranya dapat dikategorikan sebagai
"rnasyarakat adat" dengan perilaku okupasi yang dijiwai oleh kearifan dengan
berpegang kepada prinsipprinsip kelestarian alam khas masyarakat adat,
sementara sebagiannya lagi m e ~ p a k a nrnasyarakat transisi, atau bahkan
mempakan rnasyarakat bentukan baru yang belum tentu memiliki kearifan
serupa. Mobilitas penduduk antar wilayah yang tinggi karena perbedaan tekanan
penduduk dan kesernpatan ekonomi melahirkan kelompok-kelompok masyarakat
yang plural sarnpai ke desa-desa. Dengan demikian, pada kawasan pinggir hutan
akan dijurnpai beragarn tingkat
kornunalitas kelornpok masyarakat yang
selanjutnya akan berirnplikasi kepada tingkat keberlangsungan ekosistem
setempat.
Karakteristik Sistem Sosial dan S t ~ k t uAgraria
r
pada ~ a s ~ a r a kPinggiran
at
Hutan.
Kawasan yang disebut dengan pinggiran hutan (foresf margin) adalah
wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah
kehutanan. Pada wilayah demikian terdapat areal pertanian dengan segenap
infrast~kturpendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan
rnasyarakatnya. Satu ha1 yang khas pada rnereka adalah, selain hidup dari
budidaya pertanian, mereka juga hidup dengan mengeksploitasi sumber-sumber
agraria yang berada di kawasan hutan. Penelitian Kartasubrata eta1 (1995: 84)
pada masyarakat sekitar hutan di Jawa menemukan bahwa secara sosial
ekonomi mereka lernah dan tergantung kepada sumber daya hutan.
lnteraksi
manusia
dengan
alam
(man-natue
relationship)
akan
mernbentuk pola interaksi yang khas. Dalam ha1 ini, manusia meiakukan fungsi
menjaga sekaligus membentuk
lingkungannya (fisrk dan biologi). Karena itu.
kelangsungan sistem sosial masyarakat pinggiran hutan akan berpulang kepada
bagaimana struktur agraria yang menjadi komponen dari sistem organisasi
masyarakat tersebut.
Masyarakat pinggiran memiliki lingkungan yang khas dengan sumbersumber agraria dari kwasan hutan berupa kayu, air, bahan tambang, lahan
pertanian, serta produk hutan lain. Bagi masyarakat yang sudah terbiasa hidup
dengan hutan. khususnya masyarakat adat, yang menjadikan hutan sebagai
sumber berbagai macam kebutuhan subsistensi, mereka membagi wilayah hutan
untuk
masing-masing keperiuan
dengan
pertimbangan
kebutuhan
dan
kemampuan kawasan hutan dengan dilandasi prinsip-prinsip kelestarian3.
Penelitian Devung (1999: 238) pada Suku Dayak menemukan bahwa mereka
membagi wilayah hutan kedalam beberapa kawasan dengan fungsi tertentu,
yaitu kawasan untuk pemukiman, kawasan pertanian, kawasan hutan lindung
adat, dan sisanya hutan umum desa yang dapat dipakai untuk berbagai
keperiuan ekonomi.
Untuk menjaga berlakunya aturan-aturan ini,
maka
ditetapkan berbagai batasan dan larangan yang hams dipatuhi warga setempat.
Karena persoalan tanah menjadi objek yang penting dalam sistem sosial
rnasyarakat, maka dalam hukum adat telah dikembangkan aturan pola
peruntukkan tanah yang dipatuhi komuniias tersebut. Penelitian Ruwiatuti et. a/,
(1998: 50-1) mencatat adanya ragam peruntukkan lahan di berbagai kelornpok
"masyarakat adat" yang menunjukkan adanya kearifan ekologis. Sebagai contoh,
Masyarakat adat ada[ah suatu satuan kornunitas yang merniliki asal-usul leiuhur secara
turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta merniliki sistern nilai, ideologi,
ekonorni politik, budaya, dan sosial yang khas (Machmur. 1999: 95).
7
masyarakat suku Kaili di Pornbui. Kecamatan Marawola, Sulawesi Tengah,
membagi peruntukkan lahannya menjadi ernpat jenis sebagai benkut, yaitu:
1. Petoo: yaitu wilayah yang berada dalam penguasaan anggota suku.
Lahan ini berisi kebun, pemukiman, hutan bekas kebun, dan hutan
primer.
2. Vana: hutan rimba untuk berburu dan mengambil hasil hutan yang khusus
untuk anggota suku saja.
3. Pengak: hutan lebat milik koleMif anggota suku. Areal ini dibiarkan tetap
menjadi hutan berdasarkan pertirnbangan ekologis, karena adanya
sumber air, bertopografi miring. atau karena kurang subur untuk
usahatani. Wilayah hutan ini adalah juga sebagai tempat keramat yang
diakui seluruh anggota suku.
4. Kaore, Orna, dan Ova: hutan bekas kebun yang sedang diistirahatkan
oleh pemiliknya dalam waktu lama.
Pola dan ragam pembagian ini . tidak sama pada setiap kelompok
masyarakat. Meskipun demjkian tarnpaknya ada pola tertentu sedemikian rupa,
sehingga pada pembagian tersebut akan dapat ditemukan tanah yang khusus
untuk pertanian intensif, pertanian ekstensif, pemukiman, sebagai hutan produksi
yang diarnbit produksinya,
serta hutan yang tidak diambil hasil produksinya
bahkan terlarang untuk dimasuki.
Adanya kesepakatan penggunaan sumber daya tersebut hanya akan
tercapai pada masyarakat yang berbentuk 'komunitas". Menurut Soekanto (1 982:
162-3: dan 1983: 92), kornunitas (community) atau dapat disebut dengan
"masyarakat setempat" adalah kelompok yang hidup bersama dengan kriteria
tingginya interaksi sosial
(social
relationship) di
antara mereka. Mereka
bertempat tinggat di satu wilayah (secara gepografis) dengan batas-batas
tertentu dimana faktor utarna yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih
8
besar di antara para anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar batas
wilayah tersebut. Seiain itu, mereka harus rnerniliki perasaan yang sama,
sepenanggungan dan saling mernerlukan.
Namun dernikian, gambaran pemanfaatan surnber daya secara ideal
pada rnasyarakatadat tersebut saat ini banyak yang telah mengalami degradasi,
karena
pengaruh
pendatang.
Kernudahan transportasi
dan
terbukanya
kornunikasi mendorong terjadinya rnigrasi penduduk antar wilayah, dimana ada
kecenderungan angkatan rnuda di dataran tinggi berrnigrasi ke kota, sebaliknya
banyak penduduk dataran rendah yang rnencari kehidupan ke witayah dataran
tinggi karena tebih tehukanya peluang akses tehadap surnber-sumber agraria di
sana (FA0 dan IRR, 1995: I
I).
Secara teoritis, kearifan masyarakat setempat daiam pemanfaatan
surnber-sumber agraria kehutanan akan tetap tejaga apabila tidak ada intervensi
dari pihak luar. Hal ini dibuktikan dafl penelitian Brewer (-3985: 163-88)di
Sumbawa Timur (NTB) yang rnenernukan bahwa intewensi pemerintah telah
rnerusak hukum adat tentang tanah yang.telah mengatur penguasaan, tata guna,
serta pengusahaan secara baik. Selain pemerintah, kedatangan migran yang
menyebabkan
tingginya . tekanan
-
penduduk
juga
berdampak
kepada
pernanfaatan lahan secara turnpang tindih yang cenderung over-eksploitasi dan
terjadinya
degradasi yang merusak elernen dasar dari sumber daya alam
(Mulatsih dan Parnbudy, 1999: 2). Gambaran ini juga didukung oleh pengamatan
F A 0 dan IlRR (1995: 511) secara urnurn di Asia Tenggara, dimana wilayah
kawasan pinggir hutan dicirikan oleh adanya degradasi sumber daya alam di
sarnping perrnasalahan pemilikan dan penguasaan (land tenure).
Dalam kerangka hubungan manusia terhadap tanah (aspek lepemilikan)
akan sarnpai kepada masalah sistern hukum. Ketidaksesuaian antara sistem
hukum akan bennuara kepada konflik baik dalam kepemilikan, penguasaan, dan
9
tata guna. Secara umum dl rnasyarakat pinggiran hutan akan ditemui adanya
konflik antara hukurn adat atau kebiasaan (wsfomary law) dengan hukurn
negara (state law).
Datarn persoalan ini. hukum adat sernestinya tidak
bertentangan dengan hukurn negara, karena hukurn nasional dibuat dari hukurn
adat dengan mengarnbil konsepsinya, azas-azasnya, serta lernbaga hukurnnya
(Peranginangin, 1979: 10-1; Soetiknjo, 1994: 7, 15).
Kepastian hukurn rnerupakan aspek pokok yang rnenentukan hubungan
anbra orang dengan tanah, terutama tentang pernilikan dan penguasaan. yang
keduanya kernudian menjadi bagian pokok dalarn rnernbentuk struktur sosial
ekonomi masyarakat yang betbasiskan pertanian. Ketimpangan penguasaan
tanah akan menghasilkan ketirnpangan penclapatan (Hayarni dan Kikuchi, 1987).
Struktur pernilikan dan penguasaan juga terkai dengan bagaimana sistern
pewarisan yang berlaku dalarn keluarga dan kerabat (Wolf. 1985). Sistern
pewarisan yang dapat dibagi (partible inheritance) akan munuil ketika tak ada
lagi tanah-fanah baru yang dapat dibuka, sementara tekanan anggota keluarga
sernakin besar. Pewarisan terpecah ini menyebabkan hilangnya kornbinasi
ekologis yang optimal, yaltu perpaduan tegalan, tempat penggernbalaan. tanah
hutan, dan tanah garapan.
Garnbaran rnasyarakat pinggiran hutan saat ini, baik pada hutan prnduksi
rnaupun hutan negara, mempakan suatu bagian dari konflik agraria nasional.
terutarna berupa konflik penguasaan tanah4. Sumber utama konflik tersebut
adalah karena pemerintah Orde Baru kurang memberi perhatian kepada rnasalah
agraria khususnya tentang sistern hukurn (Tjondronegoro, 1999). UndangUndang Kehutanan tahun 1967 misalnya, kurang mernberi perhatian kepada
Wradi (2000) mendefinisikan konflik agraria sebagai proses interaksi antara dua atau
lebih orang atau kelompok yang masing-masing rnernpejuangkan kepentingannya atas
objek yang sama. yaitu tanah a h !3enda-benda lain yang berkaitan dengan tanah,
seperti air, tanaman. tambang, dan jWa d a f a yang berada di atas tanah bersangkutan.
perencanaan tata guna tanah.
Pernerintah hanya melihat keuntungan jangka
pendek seperti penebangan kayu, namun tidak bertindak sebagai pengelola
surnber daya tanah yang baik. Konflik ini disebabkan praktek politik agraria
kapifalis pemerintahan Orde Baru dalam adaptasinya dengan kapitalisrne gtobal.
Konflik tersebut sangat meluas dan terjadi pada wilayah baik dengan ekosistem
sawah. perkebunan, maupun kehutanan.
Objek konflik di wilayah kehutanan terutarna sekali disebabkan oleh
kegiatan
eksptoitasi
hutan.
Konflik
tersebut
terjadi
karena
kebijakan
pernerintahan Orde Baru yang rnenjadikan produksi hutan sebagai sumber
pendapatan nasional yang cukup penting (Fauzi, 1999). Hak-hak rnasyarakat
adat atas tanah kurang dipedulikan, terlihat dari klausul dalam Peraturan
Pernerintah No. 21 tahun 1970 yang rnenyebutkan: "Demi kesdamatan umum di
areal hufan yang sedang dikerjakan dafam mngka pengusahaan hutan,
pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasif hufan dibekukann.
Landasan operasional
pengelolaan hutan semra komersial diletakkan
pada berbagai undang-undang yang mernbuat penduduk asli kurang dilindungi
oleh sumber-sumber hukum tersebut, bahkan terpojokkan dengan irnplernentasi
hukurn-hukum tersebut (Gunawan et. al, 1998:60-73). Masahh yang kemudian
muncul adalah tejadinya konflik dalam rnenafsirkan perolehan hak penguasaan
hutan, rneskipun rnasyarakat adat dengan perangkat hukum adatnya merasa
mempunyai hak yang sama dengan pemerintah.
Pengelolaan sumber-surnber agraria kehutanan selama ini secara
sentralistis telah banyak rnelakukan kesalah-keiolaan (mismanagement), karena
itu perbaikannya menuntut pelibatan kelembagaan lokal (Wibowo. 1993: 37).
Pendbahan pendekatan ini sejalan dengan diguiirkannya program social forestry
sebagai koreksi terhadap pendekatan sebelumnya yang sentralistis, termasuk
dalam pengelolaan taman nasional (Nasendi. 1986: 453).
II
Merujuk kepada pemikiran Noman Uphoff (1986: 11). pengertian lokal
adalah sebagai suatu tingkatan yang dikaitkan dengan tingkatan aktivitas dan
pengambilan keputusan. Apa yang dirnaksud dengan tingkatan lokal mencakup
tiga tingkatan, yaitu tingkatan kelompok (gmup level), masyarakat {community
level), dan lokalitas (locality level). Lembaga-lembaga lokal dimaksud mencakup
lembaga pemerintah dan swasta yang aktivitasnya dihubungkan oleh sektor
perantara seperti organisasi-organisasi kemasyarakatan- Ada enam kategori
utama yang terdapat pada level lokal tersebut, yaitu local administration berupa
lembaga pemerintah wakil pusat di daerah, local government sebagai lembaga
pernerintah daerah,
membership
otganization berupa kelompok-kelompok
swadaya masyarakat, koperasi yang lebih berorientasi ekonomi, iembagalembaga pelayanan, dan usaha bisnis swasta.
Pengeiolaan kehutanan tergantung kepada kineja s e l ~ ~lembaga
h
tersebut,
dalam
ha1
siapa
yang
tertibat
dan
bagairnana
susunan
kelembagaannya. Konfgurasi ini sangat tergantung pula kepada bagaimana
kekhasan
surnber-sumber
agraria
yang
dimilikinya.
Lebih
jauh
perlu
s
mempertirnbangkan pembatasan sumberdaya dan penggunannya, distribusi
biaya dan manfaat, karakteristik sumberdaya, karakteristik penggunannya. dan
pertimbangan untuk pemilikan bersama. Pelibatan atau partisipasi anggota
masyarakat di sekitar hutan dipercaya akan memperbaiki pengelolaan sumbersumber agraria secara lebih baik.
Untuk taman nasional sebagai bentuk pengelolaan hutan yang khusus,
keteilibatan rnasyarakat sekitar iebih lemah dibandingkan dengan
hutan
produksi. Dalam UU No. 5 tahun 1990. tentang Konservasi Surnberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya, disebutkan Taman Nasional adalah kawasan
pelestarian yang mempunyai ekosistem asli. dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
12
budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional berfungsi untuk perlindungan
sistern penyangga kehidupan. pengawetan keanekaragamanjenis tumbuhan dan
satwa,
serta pernanfaatan secara
lestari surnberdaya alam
hayati dan
ekosisternnya. hidasarkan UU tersebut. dalarn pengetohan taman nasional
dilarang menangkap, rnelukai, membunuh, rnengambil, rnerniliki, rnemelihara,
mengangkut, menebang, merusak, dan mernusnahkan, serta memperdagangkan
satwa atau tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup maupun mati (Dephutbun, 1999: 148).
Taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi memiliki manfaat
ierhadap perkernbangan pertanian di kawasan di luarnya, misalnya menghalangi
banjir serta rnengendalikan populasi harna pertanian. Narnun pertanian yang
intensif dan kawasan yang dilindungi bukanlah tetangga yang baik. karena itulah
diperlukan pengembangan suatu kawasan penyangga (buffer zone) untuk
rnemisahkan antara keduanya (John dan Mackinnon, 1986: 98-100). Kawasan
penyangga adalah kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang ditindungi,
yang
penggunaannya
tanahnya
terbatas,
untuk
mernberikan
lapisan
perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat
bagi rnasyarakat pedesaan sekitamya. Jadi, kawasan penyangga rnemiliki fungsi
penyangga perluasan dan penyangga sosial sekaligus.
Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat
Setiap kelornpok sosial sebagai suatu sistern (closed system) akan
rnengernbangkankelernbagaan dengan seperangkat aturan yang akan rnenjarnin
kehidupan anggotanya. Hal ini rnerupakan fungsi pokok yang dirniliki oleh satu
kelornpok sosial. Terbangunnya kelernbagaan ini memerlukan prasyarat pokok,
yaitu apabila kelornpok rnasyarakd tersebut memiliki ikatan genedogis ataupun
ikatan teritorial dalarn suatu "kornunitas".
13
Dalarn
kelornpok
berdasarkan
ikatan
genealogis
berupa
sistem
kekerabatan, keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family)
rnerupakan dua kelompok sosial yang rnemitiki fungsi langsung dalarn urusan
rnata pencaharian hidup anggotanya. Dalarn kedua kelornpok ini, terutarna dalarn
keluarga inti, setiap individu dapat rnenikmati bantuan utama dari sesarnanya
untuk terpenuhinya kearnanan daiam hidup (Koentjaraningrat, 1974: 106).
Secara umum, dalam suatu kelornpok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu
sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejurnlah harta
produktif , h a d konsurntif, atau harta pusaka yang tertentu. Hak dan kewajiban
tersebut Iebih terasa dalam kelompok kekerabatan berkorporasi (cwrporate kin
groups), yaitu pada keluarga inti.
Terbangunnya kelernbagaan dengan peraturan seperti ini juga dapat
ditemui pada rnasyarakat yang dibentuk oleh ikatan teritorial, sebagaimana
ditemukan
dalam
penelitian James
Scott
(1981:5-7)
pada
rnasyarakat
prakapitalis di Asia Tenggara, dirnana desa menjamin kehidupan minimum
warganya melalui berbagai pengaturan
dengan mengedepankan prinsip
rnendahulukan selarnat (safety first), meskipun tanggung jawab tersebut secara
lndlvldual aaa pada patron-patron yang ditekan oleh lernbaga desa sebagai
pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di Jawa ketika masih berbentuk
"desa komunal" (Temple. 1976: 19-20), yang rnenciptakan jaminan kehidupan
minimum bagi seturuh warganya dengan jarninan
sernua anggota desa
rnengambil bagian dalarn proses produksi5.
Bagi penduduk yang tersusun oleh berbagai kelornpok yang berbeda,
misalnya
kelompok
terbentuknya
suatu
suku,
maka
pembauran
kolektjvitas tidak
terjadi
sosial
secara
(asirnilasi)
serta-merta.
menuju
Ketika
Orang dari tingkat sosial terendah menerima bagian lebih keul dibandingkan pemimpin
desa dan anggota-anggota ketuargarnndmdesa nemple. :976: 20).
pernbauran tersebut belum terbentuk. maka masyarakat hanya mencapai tahap
integrasi, dimana masing-masing hidup dengan identitasnya sendiri, namun
hubungan kedua pihak dapat dilakukan dengan baik, saling menguntungkan dan
saling isi (Soemardjan, 1988: 5). Dalarn kondisi seperti ini institusi penjamin
keamanan sosial ekonomi berada pada pundak kelompok-kelompok kekerabatan
bedasarkan ikatan genealogis.
Ketiadaan institusi penjamin yang menyebabkan terancamnya keamanan
sosiai ekonomi dapat melahirkan perilaku yang cenderung merusak. Penurunan
jaminan keamanan sosiai ekonomi karena krisis ekonomi misainya terbukti
menjadi faktor mendorong meningkatnya aMivitas pencurian kayu di masyarakat
pinggiran hutan di Surnatera Selatan (Ginoga Dan Ewidodo. 2001: 15-30). Di sisi
lain, terancamnya keamanan sosial ekonomi juga dapat disebabkan karena
tingginya tekanan penduduk dibandingkan sumber-sumber agraria yang tersedia.
sehingga melahirkan rumah-rumah tangga yang berkategori miskin. Penelitian di
empat desa di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrsngo Jawa Barat
menemukan bahwa pada desa yang penduduknya miskin maka kerusakan
hutanya juga lebih besar {Mukhtar. 1986: 9).
Keberlanjutan Ekosistem dan Sumber-sumber Agraria
Konsep keberfanjutan (sustainabiiity) ekosistern berada datam konteks
saling keterkaitan antara manusia dan alam. Pengelolaan sumber-sumber
agraria kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu proses mengelola
surnber-surnber agraria kehutanan untuk mencapai satu atau iebih tujuan-tujuan
spesifik yang berkaitan dengan suatu aliran yang kontinyu dari produksi dan jasa
dari hutan. tanpa mengalami penurunan nilai yang tidak semestinya dari
produktivitas masa depan dan tanpa darnpak-dampak yang tidak diharapkan
berupa
kerusakan lingkungan fisik dan
sosial. Kata kunci dari
konsep
15
keberlanjutan ini adatah kondisi yangtetap (stabil) dari ekosistern, jika tidak bisa
lebih baik. Keberlanjutan ekosistem tergantung kepada apakah ekosistem
tersebut
dalam
status
yang
tetap
(stabilisasi)
atau
semakin
menurun
(destabilisasi).
Dalam konsep keberlanjutan ekosistem secara
keselumhan yang
mencakup lingkungan fisik, biologi, dan sosial, maka perlu mernpertimbangkan
tiga kriteria keberlanjutan, yaitu (CIFOR, 1997: 7):
(1) Keberlanjutan
ekologi
atau
lingkungan
(ecological
or envimrnental
sustainabiiity) yang mensyaratkan suatu kondisi yang sama atau lebih baik
dari ekosistern untuk dapat menjaga kernampuan dan fungsinya.
(2) Keberlanjutan secara sosial (social sustainability). Konsep ini rnerefleksikan
hubungan
antara
pengembangannya.
kultural
Suatu
(wttutal
aktivitas
ethics),
dapat
norma
secara
sosial,
sosial
dan
dikatakan
berkelanjutan bila itu sesuai dengan nilai-nilai etik dan norma sosial, atau
tidak melonggarkannya melebihi toleransi komunitas tersebut untuk benrwh.
(3) Keberlanjutan secara
ekonomi
(economic
sustainability).
Konsep
ini
mensyaratakan bahwa keuntungan untuk komunitas rnelebihi biaya yang
dikeluarkan, dan beberapa bentuk sumber daya yang ekuivalen tetap dapat
dengan mudah diperoleh dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketiga konsep ini tidak berjalan secara paralel dan sating terpisah, karena
manusia sebagai aktor yang aktif rnemiliki pelwng lebih besar sebagai penentu
keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan. Dengan kata lain, keberlanjutan
ekologi dan lingkungan merupakan variabel dependen dari keberlanjutan sosial
dan ekonorni.
Lebih jauh, rnenurut ITTO (1998: 6-18) ada tujuh kriteria untuk menilai
sLiatu pengelolaan surnber daya alarn (khsususnya hutan) yang berkelanjutan,
yang di dalamnya terbagi menjadi berbagai indikator. Ketujuh kriteria tersebut
16
adalah: lingkungan rnakro yang rnernpenga~hirnanajemen sumber daya alarn
secara urnum, kearnanan sumber daya, kesehatan dan kondisi ekosistem, aliran
produksi, keragaman biologi yang rnencakup ekosistern dan keragaman genetis,
tanah dan air, serta aspek sosial ekonorni dan kultural.
Bagi ekosistern kawasan pinggiran hutan, rnaka keberlanjutan bermakna
sebagai suatu kondisi yang tetap dari daerah pinggiran hutan yang berisi
beragam sumber daya agraria, untuk rnenyediakan makanan bagi kornunitas di
dalarnnya, termasuk perlindungan (shelterj, d m kebuluhan-kebutuhandasar lain.
dengan tetap menjaga prospeknya untuk generasi mendatang. Ekosistern
pinggiran hutan komponennya terdiri dari lingkungan fisik dan biilogi berupa
sumber-sumber agraria (hutan, tanah, air, dan udara) serta lingkungan sosial
manusia yang hidup di dalarnnya. Suatu stabilisasi lingkungan fisik akan
rnendukung kemarnpuan komunitas untuk tetap eksis dan berkernbang di rnasa
datang.
Keberadaan lingkungan fisik (keberlanjutan ekologi) tergantung kepada
kebertanjutan sosial dan ekonorni masyarakatnya. karena manusia adalah aMor
yang aktif. Bagi masyarakat pinggiran hutan, kerusakan lingkungan fisik di dalam
desa .dapat mengimbas ke wilayah hutan. karena kedua wilayah ini merniliki
kaitan yang erat secara bidogis. Namun demikian, manusia sebagai entitas
sosial, akan rnelahirkan kriteria dan indikator keberlanjutan ekonomi dan sosizll
yang dapat beragam antar individu. Untuk mencapai satu kesepakatan
kebedanjutan ekonorni dan sosial dtperlukan prasyarat kohesivitas yang kuat
yang dapatditemukan dalam masyarakat berbentuk komunibs.
****
METODOLOGI PENELlTlAN
Batasan Konsep Penelitian
Berikut disarnpaikan beberapa konsep pokok penelitian yang perlu
dirurnuskan untuk rnendapat pernaharnan yang tegas dalarn uraian dan analisa
hasil kajian.
Surnber-sumber aararia:
Dalarn penelitian ini digunakan istilah "sumber-sumber agraria" dengan
pengertian yang sarna dengan 'sumber daya agraria", yaitu meliputi burni dalarn
arti permukaannya, air,
serta ruang angkasa dan kekayaan alarn yang
terkandung di bawah tanah dan air. sesuai
dengan definisi menurut Pasal 1
UUPA No. 5 tahun 1960 dan Tap MPR nomor IX tahun 2001.
Struktur aoraria:
Struktur agraria rnenggarnbarkan jaringan relasi antar manusia dengan
surnber-sumber agraria yang rnenjadi pertopang hidupnya, temtarna tanah. Di
dalarn konteks ini tercakup tiga aspek, yaifu pemilikan, pengwsaan,
serta
penggunaan tanah. Kepernilikan menyangkut status hukum antara seseorang
deqtgan tanah. yang rnenentukan siapa yang berhak rnengelola dan rnengarnbil
rnanfaatnya. Penguasaan rnenyangkut hubungan rnanusia dan surnber agraria
dalam aktivitas produksi, sehingga seseorang yang rnenggamp suatu petak
tanah dapat saja bukan orang yang rnerniliki secara hukurn tanah tersebut,
namun bisa karena hubungan penyewaan atau penyakapan dengan pernilik
tanah. Penggunaan tanah adalah bentuk perlakuan terhadap tanah tersebut oleh
orang yang rnenguasainya.
Pembentukan struktur aqraria:
Pembentukan struktur agraria adalah proses bagaimana tejadinya
struktur agraria yang dipelajari sernenjak wilayah desa pertama dibuka, dengan
18
mengungkapkan cara masing-masing orang rnemperoleh tanah, faktor-faktor
yang rnempengaruhi, serta transaksi tanah di antara rnasyarakat. Proses ini
bejalan bersarnaan dengan terbeotuknya ketejaminan keamanan sosial
ekonorninya,
karena
kedwnya
mentpakan
dua
proses
yang
saling
rnempengaruhi.
Masvarakat ~inaairan
hutan
Masyarakat pinggiran hutan adalah sekelompok orang yang mendiami
suatu kawasan geografis tertentu yang lokasinya behatasan dengan hutan.
Masyarakat ini dapat disebut sebagai komunitas apabila rnerniliki tingkat
kohesivitas yang cukup, terlihat dari timbuinya perasaan yang sama, sikap
sepenanggungan, dan d i n g mernerlukan, sehingga interaksi sosial lebih intens
dengan sesama anggota kelornpok tersebut dibandingkan dengan orang di luar
kelornpok.
Keteriaminan keamanan sosial ekonorni dalarn masvarakat
Ketejaminan kearnanan sosial ekonomi (socioeconomic secunn@)dalarn
rnasyarakat adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan pernenuhan seluruh
kebutuhan hidup warga. Garis batas termdah dari ketejaminan in& disebut
dengan jaminan subsistensi. Pa&
masyarakat yang berbentuk kornunitas
jarninan berada di institusi desa. namun jika kornunitas belum terbentuk rnaka ia
mungkin akan berada di pundak institusi yang berdasar ikatan genealogis
(kerabat dan suku).
Hubunaan sosial dalarn produksi:
Hubungan sosial dalam produksi menggarnbarkan bagairnzna tata
interaksi antar orang datam pemanfaatan sumber-sumber agraria, mencakup apa
komoditas yang diusahakan, bagaimana kebutuhan tenaga kej a dipenuhi, serta
hubungan pemilik tanah dan penggarap dalam penyakapan. Organisasi prodyksi
berkaitan dengan sistem distribusi hasil produksi, yang akan tersebaf kepada
19
pihak pernilik tanah, penyewa. penyakap, serta bumh tani. Organisasi produksi
dan sistern distribusi merupakan komponen dari konteks keterjaminan keamanan
sosial ekonorni.
Keberlaniutan ekosistem:
Konsep ini merniliki Iingkup baik lingkungan bio-fisik maupun sosiaI
ekonomi. lstilah yang digunakan untuk menyebut kondisinya adalah "status
stabilitas". Kestabilan menunjuk kepada suatu kondisi fisik bilogis sumberdaya
agraria
pada
keadaan
mampu terus
dieksploitasi
sebagaimana kondisi
sebelumnya. Kebetlanjutan menyangkut dua sisi sekaligus: dari sisi alam dan sisi
rnanusia.
Kerangka Pemikiran dan tiipotesa
Kerangka Pemikiran
Anggapan "klasik" terhadap struktur masyarakat yang hidup bersama
hutan selama ini adalah bahwa mereka hidup berkeiirnpahan surnber daya alam
dengan menerapkan pola pertanian ekstensif di atas perangkat moral kearifan
yang tinggi terhadap kelestarian lingkungannya. Gambaran ideal ini tidak
diternukan pada masyarakat yang dibentuk oleh pendatang-pendatang dengan
latar belakang sosio-budaya yang beragam apalagi yang bukan berasal dari
ekosistem pinggiran hutan.
Kawasan pinggir hutan dengan sumber daya pertanian yang relatif
melirnpah dan akses terbuka, mengundang kedatangan penduduk dari iwr.
Tekanan penduduk di dataran rendah telah mendorong terjadinya migrasi ke
daerah dataran tinggi. Hal ini mengikuti teori neo-klasik mikro tentang rnigrasi,
drmana migrasi terjadi karena adanya perbedaan pendapatan dan kesempatan
kerja antar dua wiiayah. Aliran migran akan menuju dimana surnber daya
ekonomi dapat diperoleh secara lebih rnudah, dalam ha1 ini lebih terbukanya
akses tehadap tanah. Hal ini rnenyebabkan terjadinya perubahan penggunaan
surnber daya agraria yang dicirikan oleh pernanfaatan lahan secara intensif yang
cenderung over-eksploitasi sehingga terjadi degradasi surnber daya alam.
,
Pada rnasyarakat pinggiran hutan. surnber agraria di kawasan hutan
rnerupakan surnber ekonorni yang penting bagi rnereka, rnisalnya untuk
rnernperbleh kayu, hewan buruan. serta sebagai sumber rnata air. Narnun. sikap
pern&ntah tndonesia yang rnenjadikan produksi hutan sebagai surnber utama
pendapatan nasional,
telah meminggirkan hak rnasyarakat, sebagaimana
tercanturn dalarn peraturan Pernerintah No. 21 tahun 1970. serta UU No.5 tahun
1990 tentang Konservasi Surnberdaya Aiam dan tlayati yang rnenutup sama
sekali akses rnasyarakat sekitar terhadap tarnan nasional. Hal ini rnenyebabkan
tirnbulnya konflik kepentingan antara pernerintah dan masyarakat sekitar.
Diperlukan perangkat kelembagaan yang kuat
untuk rnenyelesaikan
konflik seperti ini selain untuk mernperoleh pengelolaan hutan secara lebih baik.
Pengernbangan kelernbagaan yang kuat tersebut rnernedykan dasar ikatan
rnasyarakat yang kuat baik secara genealogis rnaupun teritorial, sehingga
sarnpai kepada bentuk yang dapat dikategorikan sebagai %ornunitass. Narnun
dernikian, untuk kelornpok masyarakat terbuka yang sebagian penduduknya
berupa migran dari luar, rnaka bentuk komunitas tersebut tidak akan tercapai
secara serta rnerta. Dibutuhkan proses yang lamanya tergantung kepada berapa
besar kornposisi penduduk pendaiang dibandingkan dengan penduduk asli. Jika
penduduk pendatang lebih banyak, apalagi seluruhnya pendatang dan multi
etnik, maka proses tersebut tentu akan lebih lama. DaIarn masa pembentukan
tersebut akan dijurnpai berbagai konflik, misalnya karena marjinalisasi suatu
kelornpok akibat desakan kelornpok lain.
Pada masyarakat pedesaan yang didorninasi usaha pertanian, secara
umum s
PINGGIRAN HUTAN:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecarnatan
Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
OLEH:
SYAHYUTI
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
ABSTRAK
SYAHYUTI. Pembentukan S t ~ k t uAgraria
r
pada Masyarakat Pinggiran Hutan:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan Palolo. Kabupaten
Donggala, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh
M.T. FELIX SITORUS dan
ENDRIATMO SOETARTO.
Indonesia menghadapi berbagai pennasalahan kehutanan berupa
kerusakan hutan dan konflik kepentingan, mi&lnya yang tejadi pada areal hu&n
produksi dan taman nasional. Penelitian ini rnenggunakan pendekatan peneliian
kualitatif, dengan menerapkan m
i shrdi kasus dan rnulti metode
pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langsung, serta studi
dokumen. Lokasi penelitian di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Sulawesi
Tengah, yang merupakan kawasan yang berbatasan dengan wilayah hutan,
yaitu Desa Sintuwu yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore
Lindu dan Desa Berdikari yang berbatasan tangsung dengan Hutan Produksi
Terbatas milik negara. W&ncara
dilakukan terutama di tingkai masyarakat
dilengkapi di berbagai instansi baik pernerintah, balai taman nasional dan LSM.
Selain itu, untuk dukungan data kuantitatif tentang pemilikan tanah dan cam
perolehannya, dilakukan wawancaraterstruktur kepada 61 orang responden.
Kedua desa merupakan desa bentukan melalui migrasi swakarsa
berbagai suku dan sub-suku, yaitu suku asli Sulawesi Tengah (Suku Kaili dan
Kulawi) dan suku pendatang (Bugis, Manado, Toraja, serta sedikit Jawa, Sunda,
dan Bali) semenjak tahun 1961. Kedua desa saat ini didominasi perkebunan
kakao pheobrvma cacao) dengan melakukan ekspansi ke wilayah hutan negara.
Cara perolehan tanah berkaitan dengan tahun kedatangan migran selain
karena faktor suku. Pada era 1960-an dan 1970-an. setiap pendatang dapat
membuka sendiri kawasan desa yang rnasih berupa hutan dibawah pengaturan
kepala desa bersangkutan. Setelah itu. pendatang periode . berikutnya
memperoleh dengan cara diberi kerabat atau mernbeli. Pemberian dan jual beti
cenderung terjadi dalam keluarga dan antar kerabat. atau setiiaknya daiam satu
suku. Suku Kaili Taa di Sintuwu dan Kulawi di Berdikari lebih banyak
memperoleh tanah dengan membuka secara langsung, namun orang Bugis kbih
suka membeli. Suku-suku pendatang pertama oendewng mengalami
majinalisasi penguasaan terhadap tanah, disebabkan "keterpaksaan" mereka
menjual tanah-tanahnya untuk membiayai pesta perkawinan dan selarnatan
perkawinan. Hal ini rnenjadi faktor pendorong mereka melakukan ekspansi ke
dalam kawasan hutan.
Di kedua kawasan hutan ditemukan konflik antafa pemerintah di s t u
kubu dengan swasta dan masyarakat di kubu lain. Pengawasan dan penegakan
hukum yang lemah rnenyebabkan pencurian kayu dan penanam lahan hutan
(landgmbbing). Hal ini disebabkan karena tarikan pasar dunia kakao dan gejala
"kekurangan" tanah.
Keterjaminan keamanan sosial ekonomi masyarakat rnengandalkan
organisasi kekerabatan, karena organisasi hidup sedesa berada dalam ikatan
genealogis dalarn keiompok-kelompok suku. Keberlangsungan sosial ekonomi
masyarakat secara umum berada dalam kondisi terancam, karena menurunnya
status kestabilan sumber-surnber agraria.
~
SUKAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang bejudul:
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA PADA MASYARAKAT PINGGIRAN
HUTAN: Studi Kans di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kesamatan Pablo,
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber
data dan inforrnasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor.
Mei 2002
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRAR1A PADA MASYARAKAT
PlNGGlRAN HUTAN:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan
Pafolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk
rnernperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
HALAMANPENGESAHAN
:
Judul Tesis
Pembentukan
Pinggiran
Desa
Struktur
Agraria
Berdikari.
Kecamatan
Donggala. Sulawesi Tengah.
Nama
: Syahyuti
NRP
: 99?40
Program Studi
: Sosiologi Pedesaan.
Menyetujui,
1. Kornisi Pernbirnbing
-
Dr. M.T. Felix Sitorus
Ketua
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan
-
-A
Dr. M.T Felix Sitorus
Tanggal lulus: 28 Februari 2002
pada
Masyarakat
Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan
Palolo,
Kabupaten
Penulis dilahirkan di Kabupaten Padang Pariaman pada tanggal 2
Februari 1967 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan sajana
ditempuh pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 199f.Pada tahun 1999 penuiis
diterima di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Program Pasca Sarjana
lnstitut Pertanian Bogor dan menamatkannyatahun 2002.
Penulis bekeja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. 8adan Penelian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian sejak tahun 1992 di Bogor. Bidang penelitian yang
menjadi tanggung jawab penulis adalah Penelitian Kelernbagaan dan Organisasi
Pertanian.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Atlah SWT atas segala
karunianya sehingga karya ilrniah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yaAg dilaksanakan sejak bulan Mei 2001 sarnpai
dengan bulan Juli 2001 ini ialah agraria dengan judul Pernbentukan Stmktur
Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan
Desa Berdikari, Kecamatan Palolo. Kabupaten Donggala. Sulawesi Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. M.T. Felix Sitorus dan
Bapak Dr. Endriatmo Soebrto selaku pembirnbing. Di sarnping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada proyek ARM (Agriculfural Research Managemenf)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberi biaya
selama studi serta penelitian STORMA (Stability of Rain Forest Margins), suatu
kejasama penelitian antara lnstitut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako,
Georg-August-Universitat Gottingen dan Universitat Gesamthochscfiule KasseI
Witzenhausen, Jerman yang telah membantu pembiayaan selama penelitian
lapang Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada isteri tercinta (Indri
Wulandari), kedua orang tua, serta keluarga atas segala dukungannya.
DAFTAR tSI
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang Penetitian .....................................................................
Pertanyaan Penelitian ...........................................................................
Tujuan Penelitian ...................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
i .............
Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Dan Struktur Agraria pada
Masyarakat Pinggiran Hutan .................................................................
Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat .............
Keberlajutan Ekosistem dan Sumber-Surnber Agraria .........................
METODOFOGI PENELITIAN....................................................................
Batasan Konsep Penelitian....................................................................
Kerangka Pemikiran dan Hipotesa .......................................................
Metode Penelitian..................................................................................
GAMBARAN UMUM SOSIAL EKONOMI Dan PEMBENTUKAN
WllAYAH DATARAN PALOLO ..............................................................
Karakteristik Geografi dan Ekonorni ...................................... ...............
Karakteristik Demografi dan Sejarah Pernbentukan Wilayah................
Rangkuman...........................................................................................
PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN DESA DAN STRUKTUR
MASYARAKAT..........................................................................................
Desa Sintuwu.........................................................................................
Desa Berdikari........................................................................................
Rangkurnan............................................................................................
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARlA 131 DESA S I N T W U DAN
BERDIKARI...............................................................................................
Struktur Agraria dan Proses Pembentukannya ............... :.....................
Keterjaminan Kemanan Sosial Ekonomi ...............................................
Status Stabilitas Sumber-Sumber Agraria dan Prospek Keberlanjutan
Ekosistern .............................................................................................
Sistem Ekonomi Tanaman Kakao .........................................................
Hubungan zntara Pembentukan Struktur Agraria. Keterjaminan
Keamanan Sosial Ekonomi dan Stabilitas Sumber-Sumber Agraria
....
.
Rangkuman .........................................................................................
.
KESIMPULAN...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
LAMP1RAN................................................................................................
Halarnan
1
1
3
5
DAFTAR TABEL
Halaman
Jenis dan metode pengumpulan data ......................................
Sebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa
Sintuwu ...................................................................................
Sebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa
Berdikari ...................................................................................
Jenis dan luas penggunaan tanah di Desa Sintuwu dan
Berdikari. 2001 ..........................................................................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu
(berdasarkan jumlah persil) ............................... .
....................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu
(berdasarkan luas tanah) ..........................................................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari
(berdasarkan jurnlah persil) ..................................... .................
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari
(berdasarkan luas tanah) ........................................................ :.
Rata-rata luas penguasaan kebun kakao per rumah tangga
res~ondenberdasarkan suku di Desa Sintuwu dan Berdikari.
tahun 2001.
26
......................
1. Peta burni Kecarnatan Palolo ................................ .
.
Halarnan
135
2 . Peta nama ternpat dan pernukirnan penduduk di Desa Sintuwu ..............
136
3. Peta penggunaan tanah di Desa Sintuwu .................................................
137
4 . Gambar transek Desa Sintuwu ..................................................................
138
5. Peta nama tempat dan pernukirnan pencjuduk di Desa Berdikari .............
739
6. Peta penggunaan tanah di Desa Berdikari ...............................................
140
7. amb bar transek dusun 4 Desa Berdikari ................................................
141
7 (lanjutan). Garnbartransek dusun 2 dan 3 Desa Berdikari ........................
142
8. Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di Desa
Sintuwu .....................................................................................................
143
9. Cara perolehan tanah oleh suku Kaili di Desa Sintuwu .............................
144
10. Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di Desa Sintuwu ........................
145
11. Cara perolehan tanah oleh Suku Kutawi dan Sunda di Desa
Sintuwu ....................................................................................................
146
12. Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar suku
di Desa Sintuwu ......................................................................................
147
13. Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di Desa Berdikari
148
-I4 . Cara perolehan tanah oleh Suku Kulawi di Desa Berdikari ......................
149
15. Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di desa Berdikari ........................
150
16. Cara perolehan tanah oleh suku Toraja. Manado. Jawa. dan-Sunda
di Desa Berdikari .......................................................................................
153
17. Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar suku
di Desa Berdikari .......................................................................................
152
18. Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan
hubungan sosioagraria di Desa Sintuwu....................................................
153
19. Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan
hubungan sosioagraria di Desa Berdikari............................................
154
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Pada setiap kornunitas akan didapati kaitan yang kuat antara organisasi
sosial yang dikembangkan dengan sumber daya agraria yang dimilikinya.
Interaksi manusia dan sumber daya alam pada satu kawasan akan melahirkan
suatu pola organisasi agraria tertentu tergantung kondisi spesifik fisik dan
sosialnya, yang terlihat dari struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan
surnber-surnber agraria. Struktur yang terbentuk tersebut rne~pakanhasil dari
berbagai faktor penyebab, baik yang berasal dari rnasyarakat itu sendiri berupa
sejarah dinamika internalnya. maupun dari luar misahya intervensi birokrasi dan
pihak swasta.
Sebagai suatu sistern, hubungan antara alarn dan manusia pada areat
tertentu bersifat tirnbal balik (coherent system). Hal ini juga berlaku untuk kasus
hubungan antara hutan dan manusia. Kelestarian surnber-surnber agraria
kehutanan tergantung kepada struktur agraria rnasyarakat seternpat yang hidup
dr dalarn ataupun di sekitamya. Sebaliknya, beroperasinya struktur agraria
tersebut didasarkan atas kapasitas sosial . ekonomi sumber daya di wilayah
prnggiran hutan tersebut.
Permasatahan rnasyarakat yang hidup di pinggiran hutan negara adalah
tidak adanya pengakuan hak-hak rnasyarakat adat oleh negara, sehingga
menirnbulkan konfl~kpernanfaatan hutan (Gunawan et. a/, 1998: 4).
Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan kajian sosiologis terhadap
masyarakat pinggiran hutan secara mendalarn. khususnya berkenaan dengan
aspek sosloagrananya Pernaharnan terhadap masyarakat pingg~ranhutan perlu
d~lakukankarena salah satu kesalahan pengelolaan hutan dr lndones~a~elama
ini
disebabkan
oleh
sistem
pengelolan
yang
pengembangan kelembagaan setempat (Wibowo,
tidak
berakar
kepada
1993: 26). Pengembangan
kelembagaan lokal sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kehutanan dalam
kerangka pembangunan yang berkelanjutan, yang mencakup aspek-aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi pengelolaan kehutanan hams
dapat rnemberi hasil maksimal kepada pihak-pihak terlibat, secara sosial dapat
diterima, dan secara lingkungan hams dapat menjaga potensi sumber daya
alam.
Pemerintah rnerniliki beberapa bentuk pengelolaan sumber daya hutan,
dua di antaranya adalah hutan produksi dan tarnan nasional. Kedua jenis bentuk
pengelolaan tersebut saat ini dihadapkan kepada berbagai persoalan
yang
menjurus kepada kerusakan hutan. Kerusakan pada hutan taman nasional
disebabkan oleh konflik antara pihak tarnan nasional dengan masyarakat di
sekitamya yang merasa memiliki wilayah taman nasional tersebut (Machmur,
1999: 90).
Masyarakat sekitar
hutan melakukan pencurian hasil hutan,
penyerobotan lahan untuk perladangan, dan pendudukan wilayah taman
nasionat sebagai pemukiman'
Dari uraian di
atas
jelastah,
tyrhwa
pengelolaan
hutan
dengan
menerapkan sistem administrasi sentfal selama ini cenderung gagal, karena
kurang menghargai dan mernpertimbangkan kompleksitas dan keragaman sosial
ekonomi rnasyarakat setempat. Untuk menjamin keberlanjutan (sustainability)
sumber
daya
kehutanan
di
rnasa datang, diperlukan kesadaran untuk
mengembangkan kapasitas komur?itas lokal, termasuk perubahan paradigma
pengelolaan taman nasional dengan menempatkan manusia sebagai bagian
'
Misalnya penyerobotan TN Rawa Aopa oleh suku Moronene di Watumohae Sulawesi
Tenggara yang membangun perkampungan di dalamnya. (Kompas, 3 November 2000:
"TN Rawa Aopa Watumohae di Obrak-abrik") Juga perusakan TN Gunung Leuser oleh
perambah (Kompas, 4 November 2000: "Perusakan TNGL terus Berlangsung").
Integral
dl
dalamnya2. Untuk
merancang
kelembagaan
yang
dibangun
berdasarkan paradigrna baru tersebut, diperlukan pengetahuan yang cukup
terhadap bangun orgartisasi sosioagraria masyarakat setempat.
Hal ini disadari sebagai tugas yang sulit apalagi rnenyangkut tanah-tanah
adat di luar Jawa yang coraknya sangat beragam dan terlihat pelik bagi orang
luar (Ngo. 1989: 73).Untuk alasan itulah perlu dilakukan banyak studi agar dapat
rnernetakan persoalan agraria yang sangat beragarn tersebut, terutama di luar
Jawa yang merniliki sejarah dan dinamika politik agraria yang berbeda dengan di
pulau Jawa.
Masyarakat yang rnendiarni witayah pinggiran hutan saat ini juga ada
yang merupakan rnasyarakat bentukan barn karena migrasi pendatang dari luar.
Hal ini didorong oleh kekayaan sumber daya agraria di sana dan adanya peluang
akses bagi pendatang. Pada kasus ini akan dijumpai dinamika sosioagraria yang
berbeda dibandingkan dengan rnasyarakat pinggiran hutan yang telah turun
temurun mendiarni wilayah tersebut. Proses pernbentukan struktur agraria serta
ketejaminan sosial ekoncnni pada masyarakat tersebut diperkirakan menjadi
dasar
bagaimana keberlanjutan sumber-sumber
agraria yang dimilikinya,
termasuk keberlanjutanekosistern hutan dr dekaf mereka.
Pertanyaan Penetiiian
Bertolak dari prinsip hubungan ko-evolusi antara alam dan rnanusia,
rnaka proses pernbentukan struktur agraria akan rnempengaruhi bagaimana
keberlanjutan hubungan ekosistem tersebut di masa datang. Untuk itu, penelitian
ini
akan
menjawab
tiga
pertanyaan
pokok,
yaitu:
bagaimana
proses
Hal ini misalnya sudah dujicobakan pada masyarakat adat berbagai etnik dari suku
Dayak di TN Kayan Mentarang (Kaltirn) yang ikut rnengelola kawasan konsewasi
tersebut dengan menggunakan hukum-hukum adat nereka (Kornpas, 3 November 2000:
"Masyarakat Adat akan lkut Kelola TN Kayan Mentarang").
3
pembentukan struktur agrana pada rnasyarakat pinggiran hutan, bagaimana
keterjaminan keamanan sosial ekonominya (soc
o
ieconom
c
i
security),
serta
bagaimana prospek keberlanjutan ekosistem (biofisik) setempat sebagai akibat
aktivitas sosial masyarakat yang mendiaminya.
Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut peneliti akan sampai
kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik sebagai berikut:
(1) Struktur agraria menyangkut dua kornponen utarna yaitu surnber-surnber
agraria dan rnanusianya, sehingga dari pertanyaan bagairnana proses
pembentukan struktur agraria diperolefi pertariyaan-pertanyaan spesifik
berikut:
a.
Bagairnana kondisi dan potensi sumber daya agraria yang terdapat
pada
masyarakat
pinggiran
hutan,
serta
bagaimana perubahan
penggunaan dan faktor-faktor penyebabnya?
Siapa dan bagaimana bentuk organisasi yang merniliki akses terhadap
b.
sumber-sumber
agraria,
serta
faktor
apa
yang
menentukan
pernbentukan tersebut?
(2)
Dari pertanyaan ketejaminan keamanan sosial ekonomi diperoleh
pertanyaan-pertanyaan spesifik berikut
a. Bagairnana keterjaminan keamanan sosial ekonomi terbentuk dan faktorfaktor apa yang menentukannya?
b. Bagairnana institusi penjamin kearnanan sosial ekonomi yang terbentuk,
apakah didasarkan kepada ikatan genealogis atau ikatan teritorial?
(3)
Dan pertanyaan prospek keberlanjutan ekosistem setempat diperoleh
perianyaan-pertanyaanspesifik berikut:
a
Baga~rnanamasyarakat mernperlakukan tanah, khususnya tanahtanah sebaga~milik pribad~serta tanah di wilayah kehutanan? Hal ini
untuk rnengetahui status stabilitas sumber-sumber agraria di kawasan
tersebut
b. Faktor-faktor apa saja yang diperkirakan akan rnempengaruhi prospek
stabilitas sumber-surnber agraria di daerah tersebut, khususnya
berkenaan dengan shktur agraria dan ketejarninan kearnanan sosial
ekonorni yang dirniliki rnasyarakat?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan utarna penelitian, maka tujuan penelitian
adalah:
1. Mernperoleh
garnbaran
proses
pernbentukan
struktur
agraria
pada
rnasyarakat pinggiran hutan yang merupakan rnasyarakat bentukan barn.
2. Mernperoleh garnbaran ketejarninan kearnanan sosial ekonorni rnasyarakat
yang berdiarn di pinggiran hutan.
3. Mernperoleh gambaran tentang prospek stabilitas ekosistern seternpat
berdasarkan proses sosioagraria yang
rnasyarakat bersangkutan.
bedangsung dalarn
kehidupan
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat pinggiran hutan memiliki struktur sosial dan sosio agraria
yang berbeda-beda. Sebagian di antaranya dapat dikategorikan sebagai
"rnasyarakat adat" dengan perilaku okupasi yang dijiwai oleh kearifan dengan
berpegang kepada prinsipprinsip kelestarian alam khas masyarakat adat,
sementara sebagiannya lagi m e ~ p a k a nrnasyarakat transisi, atau bahkan
mempakan rnasyarakat bentukan baru yang belum tentu memiliki kearifan
serupa. Mobilitas penduduk antar wilayah yang tinggi karena perbedaan tekanan
penduduk dan kesernpatan ekonomi melahirkan kelompok-kelompok masyarakat
yang plural sarnpai ke desa-desa. Dengan demikian, pada kawasan pinggir hutan
akan dijurnpai beragarn tingkat
kornunalitas kelornpok masyarakat yang
selanjutnya akan berirnplikasi kepada tingkat keberlangsungan ekosistem
setempat.
Karakteristik Sistem Sosial dan S t ~ k t uAgraria
r
pada ~ a s ~ a r a kPinggiran
at
Hutan.
Kawasan yang disebut dengan pinggiran hutan (foresf margin) adalah
wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah
kehutanan. Pada wilayah demikian terdapat areal pertanian dengan segenap
infrast~kturpendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan
rnasyarakatnya. Satu ha1 yang khas pada rnereka adalah, selain hidup dari
budidaya pertanian, mereka juga hidup dengan mengeksploitasi sumber-sumber
agraria yang berada di kawasan hutan. Penelitian Kartasubrata eta1 (1995: 84)
pada masyarakat sekitar hutan di Jawa menemukan bahwa secara sosial
ekonomi mereka lernah dan tergantung kepada sumber daya hutan.
lnteraksi
manusia
dengan
alam
(man-natue
relationship)
akan
mernbentuk pola interaksi yang khas. Dalam ha1 ini, manusia meiakukan fungsi
menjaga sekaligus membentuk
lingkungannya (fisrk dan biologi). Karena itu.
kelangsungan sistem sosial masyarakat pinggiran hutan akan berpulang kepada
bagaimana struktur agraria yang menjadi komponen dari sistem organisasi
masyarakat tersebut.
Masyarakat pinggiran memiliki lingkungan yang khas dengan sumbersumber agraria dari kwasan hutan berupa kayu, air, bahan tambang, lahan
pertanian, serta produk hutan lain. Bagi masyarakat yang sudah terbiasa hidup
dengan hutan. khususnya masyarakat adat, yang menjadikan hutan sebagai
sumber berbagai macam kebutuhan subsistensi, mereka membagi wilayah hutan
untuk
masing-masing keperiuan
dengan
pertimbangan
kebutuhan
dan
kemampuan kawasan hutan dengan dilandasi prinsip-prinsip kelestarian3.
Penelitian Devung (1999: 238) pada Suku Dayak menemukan bahwa mereka
membagi wilayah hutan kedalam beberapa kawasan dengan fungsi tertentu,
yaitu kawasan untuk pemukiman, kawasan pertanian, kawasan hutan lindung
adat, dan sisanya hutan umum desa yang dapat dipakai untuk berbagai
keperiuan ekonomi.
Untuk menjaga berlakunya aturan-aturan ini,
maka
ditetapkan berbagai batasan dan larangan yang hams dipatuhi warga setempat.
Karena persoalan tanah menjadi objek yang penting dalam sistem sosial
rnasyarakat, maka dalam hukum adat telah dikembangkan aturan pola
peruntukkan tanah yang dipatuhi komuniias tersebut. Penelitian Ruwiatuti et. a/,
(1998: 50-1) mencatat adanya ragam peruntukkan lahan di berbagai kelornpok
"masyarakat adat" yang menunjukkan adanya kearifan ekologis. Sebagai contoh,
Masyarakat adat ada[ah suatu satuan kornunitas yang merniliki asal-usul leiuhur secara
turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta merniliki sistern nilai, ideologi,
ekonorni politik, budaya, dan sosial yang khas (Machmur. 1999: 95).
7
masyarakat suku Kaili di Pornbui. Kecamatan Marawola, Sulawesi Tengah,
membagi peruntukkan lahannya menjadi ernpat jenis sebagai benkut, yaitu:
1. Petoo: yaitu wilayah yang berada dalam penguasaan anggota suku.
Lahan ini berisi kebun, pemukiman, hutan bekas kebun, dan hutan
primer.
2. Vana: hutan rimba untuk berburu dan mengambil hasil hutan yang khusus
untuk anggota suku saja.
3. Pengak: hutan lebat milik koleMif anggota suku. Areal ini dibiarkan tetap
menjadi hutan berdasarkan pertirnbangan ekologis, karena adanya
sumber air, bertopografi miring. atau karena kurang subur untuk
usahatani. Wilayah hutan ini adalah juga sebagai tempat keramat yang
diakui seluruh anggota suku.
4. Kaore, Orna, dan Ova: hutan bekas kebun yang sedang diistirahatkan
oleh pemiliknya dalam waktu lama.
Pola dan ragam pembagian ini . tidak sama pada setiap kelompok
masyarakat. Meskipun demjkian tarnpaknya ada pola tertentu sedemikian rupa,
sehingga pada pembagian tersebut akan dapat ditemukan tanah yang khusus
untuk pertanian intensif, pertanian ekstensif, pemukiman, sebagai hutan produksi
yang diarnbit produksinya,
serta hutan yang tidak diambil hasil produksinya
bahkan terlarang untuk dimasuki.
Adanya kesepakatan penggunaan sumber daya tersebut hanya akan
tercapai pada masyarakat yang berbentuk 'komunitas". Menurut Soekanto (1 982:
162-3: dan 1983: 92), kornunitas (community) atau dapat disebut dengan
"masyarakat setempat" adalah kelompok yang hidup bersama dengan kriteria
tingginya interaksi sosial
(social
relationship) di
antara mereka. Mereka
bertempat tinggat di satu wilayah (secara gepografis) dengan batas-batas
tertentu dimana faktor utarna yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih
8
besar di antara para anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar batas
wilayah tersebut. Seiain itu, mereka harus rnerniliki perasaan yang sama,
sepenanggungan dan saling mernerlukan.
Namun dernikian, gambaran pemanfaatan surnber daya secara ideal
pada rnasyarakatadat tersebut saat ini banyak yang telah mengalami degradasi,
karena
pengaruh
pendatang.
Kernudahan transportasi
dan
terbukanya
kornunikasi mendorong terjadinya rnigrasi penduduk antar wilayah, dimana ada
kecenderungan angkatan rnuda di dataran tinggi berrnigrasi ke kota, sebaliknya
banyak penduduk dataran rendah yang rnencari kehidupan ke witayah dataran
tinggi karena tebih tehukanya peluang akses tehadap surnber-sumber agraria di
sana (FA0 dan IRR, 1995: I
I).
Secara teoritis, kearifan masyarakat setempat daiam pemanfaatan
surnber-sumber agraria kehutanan akan tetap tejaga apabila tidak ada intervensi
dari pihak luar. Hal ini dibuktikan dafl penelitian Brewer (-3985: 163-88)di
Sumbawa Timur (NTB) yang rnenernukan bahwa intewensi pemerintah telah
rnerusak hukum adat tentang tanah yang.telah mengatur penguasaan, tata guna,
serta pengusahaan secara baik. Selain pemerintah, kedatangan migran yang
menyebabkan
tingginya . tekanan
-
penduduk
juga
berdampak
kepada
pernanfaatan lahan secara turnpang tindih yang cenderung over-eksploitasi dan
terjadinya
degradasi yang merusak elernen dasar dari sumber daya alam
(Mulatsih dan Parnbudy, 1999: 2). Gambaran ini juga didukung oleh pengamatan
F A 0 dan IlRR (1995: 511) secara urnurn di Asia Tenggara, dimana wilayah
kawasan pinggir hutan dicirikan oleh adanya degradasi sumber daya alam di
sarnping perrnasalahan pemilikan dan penguasaan (land tenure).
Dalam kerangka hubungan manusia terhadap tanah (aspek lepemilikan)
akan sarnpai kepada masalah sistern hukum. Ketidaksesuaian antara sistem
hukum akan bennuara kepada konflik baik dalam kepemilikan, penguasaan, dan
9
tata guna. Secara umum dl rnasyarakat pinggiran hutan akan ditemui adanya
konflik antara hukurn adat atau kebiasaan (wsfomary law) dengan hukurn
negara (state law).
Datarn persoalan ini. hukum adat sernestinya tidak
bertentangan dengan hukurn negara, karena hukurn nasional dibuat dari hukurn
adat dengan mengarnbil konsepsinya, azas-azasnya, serta lernbaga hukurnnya
(Peranginangin, 1979: 10-1; Soetiknjo, 1994: 7, 15).
Kepastian hukurn rnerupakan aspek pokok yang rnenentukan hubungan
anbra orang dengan tanah, terutama tentang pernilikan dan penguasaan. yang
keduanya kernudian menjadi bagian pokok dalarn rnernbentuk struktur sosial
ekonomi masyarakat yang betbasiskan pertanian. Ketimpangan penguasaan
tanah akan menghasilkan ketirnpangan penclapatan (Hayarni dan Kikuchi, 1987).
Struktur pernilikan dan penguasaan juga terkai dengan bagaimana sistern
pewarisan yang berlaku dalarn keluarga dan kerabat (Wolf. 1985). Sistern
pewarisan yang dapat dibagi (partible inheritance) akan munuil ketika tak ada
lagi tanah-fanah baru yang dapat dibuka, sementara tekanan anggota keluarga
sernakin besar. Pewarisan terpecah ini menyebabkan hilangnya kornbinasi
ekologis yang optimal, yaltu perpaduan tegalan, tempat penggernbalaan. tanah
hutan, dan tanah garapan.
Garnbaran rnasyarakat pinggiran hutan saat ini, baik pada hutan prnduksi
rnaupun hutan negara, mempakan suatu bagian dari konflik agraria nasional.
terutarna berupa konflik penguasaan tanah4. Sumber utama konflik tersebut
adalah karena pemerintah Orde Baru kurang memberi perhatian kepada rnasalah
agraria khususnya tentang sistern hukurn (Tjondronegoro, 1999). UndangUndang Kehutanan tahun 1967 misalnya, kurang mernberi perhatian kepada
Wradi (2000) mendefinisikan konflik agraria sebagai proses interaksi antara dua atau
lebih orang atau kelompok yang masing-masing rnernpejuangkan kepentingannya atas
objek yang sama. yaitu tanah a h !3enda-benda lain yang berkaitan dengan tanah,
seperti air, tanaman. tambang, dan jWa d a f a yang berada di atas tanah bersangkutan.
perencanaan tata guna tanah.
Pernerintah hanya melihat keuntungan jangka
pendek seperti penebangan kayu, namun tidak bertindak sebagai pengelola
surnber daya tanah yang baik. Konflik ini disebabkan praktek politik agraria
kapifalis pemerintahan Orde Baru dalam adaptasinya dengan kapitalisrne gtobal.
Konflik tersebut sangat meluas dan terjadi pada wilayah baik dengan ekosistem
sawah. perkebunan, maupun kehutanan.
Objek konflik di wilayah kehutanan terutarna sekali disebabkan oleh
kegiatan
eksptoitasi
hutan.
Konflik
tersebut
terjadi
karena
kebijakan
pernerintahan Orde Baru yang rnenjadikan produksi hutan sebagai sumber
pendapatan nasional yang cukup penting (Fauzi, 1999). Hak-hak rnasyarakat
adat atas tanah kurang dipedulikan, terlihat dari klausul dalam Peraturan
Pernerintah No. 21 tahun 1970 yang rnenyebutkan: "Demi kesdamatan umum di
areal hufan yang sedang dikerjakan dafam mngka pengusahaan hutan,
pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasif hufan dibekukann.
Landasan operasional
pengelolaan hutan semra komersial diletakkan
pada berbagai undang-undang yang mernbuat penduduk asli kurang dilindungi
oleh sumber-sumber hukum tersebut, bahkan terpojokkan dengan irnplernentasi
hukurn-hukum tersebut (Gunawan et. al, 1998:60-73). Masahh yang kemudian
muncul adalah tejadinya konflik dalam rnenafsirkan perolehan hak penguasaan
hutan, rneskipun rnasyarakat adat dengan perangkat hukum adatnya merasa
mempunyai hak yang sama dengan pemerintah.
Pengelolaan sumber-surnber agraria kehutanan selama ini secara
sentralistis telah banyak rnelakukan kesalah-keiolaan (mismanagement), karena
itu perbaikannya menuntut pelibatan kelembagaan lokal (Wibowo. 1993: 37).
Pendbahan pendekatan ini sejalan dengan diguiirkannya program social forestry
sebagai koreksi terhadap pendekatan sebelumnya yang sentralistis, termasuk
dalam pengelolaan taman nasional (Nasendi. 1986: 453).
II
Merujuk kepada pemikiran Noman Uphoff (1986: 11). pengertian lokal
adalah sebagai suatu tingkatan yang dikaitkan dengan tingkatan aktivitas dan
pengambilan keputusan. Apa yang dirnaksud dengan tingkatan lokal mencakup
tiga tingkatan, yaitu tingkatan kelompok (gmup level), masyarakat {community
level), dan lokalitas (locality level). Lembaga-lembaga lokal dimaksud mencakup
lembaga pemerintah dan swasta yang aktivitasnya dihubungkan oleh sektor
perantara seperti organisasi-organisasi kemasyarakatan- Ada enam kategori
utama yang terdapat pada level lokal tersebut, yaitu local administration berupa
lembaga pemerintah wakil pusat di daerah, local government sebagai lembaga
pernerintah daerah,
membership
otganization berupa kelompok-kelompok
swadaya masyarakat, koperasi yang lebih berorientasi ekonomi, iembagalembaga pelayanan, dan usaha bisnis swasta.
Pengeiolaan kehutanan tergantung kepada kineja s e l ~ ~lembaga
h
tersebut,
dalam
ha1
siapa
yang
tertibat
dan
bagairnana
susunan
kelembagaannya. Konfgurasi ini sangat tergantung pula kepada bagaimana
kekhasan
surnber-sumber
agraria
yang
dimilikinya.
Lebih
jauh
perlu
s
mempertirnbangkan pembatasan sumberdaya dan penggunannya, distribusi
biaya dan manfaat, karakteristik sumberdaya, karakteristik penggunannya. dan
pertimbangan untuk pemilikan bersama. Pelibatan atau partisipasi anggota
masyarakat di sekitar hutan dipercaya akan memperbaiki pengelolaan sumbersumber agraria secara lebih baik.
Untuk taman nasional sebagai bentuk pengelolaan hutan yang khusus,
keteilibatan rnasyarakat sekitar iebih lemah dibandingkan dengan
hutan
produksi. Dalam UU No. 5 tahun 1990. tentang Konservasi Surnberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya, disebutkan Taman Nasional adalah kawasan
pelestarian yang mempunyai ekosistem asli. dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
12
budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional berfungsi untuk perlindungan
sistern penyangga kehidupan. pengawetan keanekaragamanjenis tumbuhan dan
satwa,
serta pernanfaatan secara
lestari surnberdaya alam
hayati dan
ekosisternnya. hidasarkan UU tersebut. dalarn pengetohan taman nasional
dilarang menangkap, rnelukai, membunuh, rnengambil, rnerniliki, rnemelihara,
mengangkut, menebang, merusak, dan mernusnahkan, serta memperdagangkan
satwa atau tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup maupun mati (Dephutbun, 1999: 148).
Taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi memiliki manfaat
ierhadap perkernbangan pertanian di kawasan di luarnya, misalnya menghalangi
banjir serta rnengendalikan populasi harna pertanian. Narnun pertanian yang
intensif dan kawasan yang dilindungi bukanlah tetangga yang baik. karena itulah
diperlukan pengembangan suatu kawasan penyangga (buffer zone) untuk
rnemisahkan antara keduanya (John dan Mackinnon, 1986: 98-100). Kawasan
penyangga adalah kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang ditindungi,
yang
penggunaannya
tanahnya
terbatas,
untuk
mernberikan
lapisan
perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat
bagi rnasyarakat pedesaan sekitamya. Jadi, kawasan penyangga rnemiliki fungsi
penyangga perluasan dan penyangga sosial sekaligus.
Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat
Setiap kelornpok sosial sebagai suatu sistern (closed system) akan
rnengernbangkankelernbagaan dengan seperangkat aturan yang akan rnenjarnin
kehidupan anggotanya. Hal ini rnerupakan fungsi pokok yang dirniliki oleh satu
kelornpok sosial. Terbangunnya kelernbagaan ini memerlukan prasyarat pokok,
yaitu apabila kelornpok rnasyarakd tersebut memiliki ikatan genedogis ataupun
ikatan teritorial dalarn suatu "kornunitas".
13
Dalarn
kelornpok
berdasarkan
ikatan
genealogis
berupa
sistem
kekerabatan, keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family)
rnerupakan dua kelompok sosial yang rnemitiki fungsi langsung dalarn urusan
rnata pencaharian hidup anggotanya. Dalarn kedua kelornpok ini, terutarna dalarn
keluarga inti, setiap individu dapat rnenikmati bantuan utama dari sesarnanya
untuk terpenuhinya kearnanan daiam hidup (Koentjaraningrat, 1974: 106).
Secara umum, dalam suatu kelornpok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu
sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejurnlah harta
produktif , h a d konsurntif, atau harta pusaka yang tertentu. Hak dan kewajiban
tersebut Iebih terasa dalam kelompok kekerabatan berkorporasi (cwrporate kin
groups), yaitu pada keluarga inti.
Terbangunnya kelernbagaan dengan peraturan seperti ini juga dapat
ditemui pada rnasyarakat yang dibentuk oleh ikatan teritorial, sebagaimana
ditemukan
dalam
penelitian James
Scott
(1981:5-7)
pada
rnasyarakat
prakapitalis di Asia Tenggara, dirnana desa menjamin kehidupan minimum
warganya melalui berbagai pengaturan
dengan mengedepankan prinsip
rnendahulukan selarnat (safety first), meskipun tanggung jawab tersebut secara
lndlvldual aaa pada patron-patron yang ditekan oleh lernbaga desa sebagai
pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di Jawa ketika masih berbentuk
"desa komunal" (Temple. 1976: 19-20), yang rnenciptakan jaminan kehidupan
minimum bagi seturuh warganya dengan jarninan
sernua anggota desa
rnengambil bagian dalarn proses produksi5.
Bagi penduduk yang tersusun oleh berbagai kelornpok yang berbeda,
misalnya
kelompok
terbentuknya
suatu
suku,
maka
pembauran
kolektjvitas tidak
terjadi
sosial
secara
(asirnilasi)
serta-merta.
menuju
Ketika
Orang dari tingkat sosial terendah menerima bagian lebih keul dibandingkan pemimpin
desa dan anggota-anggota ketuargarnndmdesa nemple. :976: 20).
pernbauran tersebut belum terbentuk. maka masyarakat hanya mencapai tahap
integrasi, dimana masing-masing hidup dengan identitasnya sendiri, namun
hubungan kedua pihak dapat dilakukan dengan baik, saling menguntungkan dan
saling isi (Soemardjan, 1988: 5). Dalarn kondisi seperti ini institusi penjamin
keamanan sosial ekonomi berada pada pundak kelompok-kelompok kekerabatan
bedasarkan ikatan genealogis.
Ketiadaan institusi penjamin yang menyebabkan terancamnya keamanan
sosiai ekonomi dapat melahirkan perilaku yang cenderung merusak. Penurunan
jaminan keamanan sosiai ekonomi karena krisis ekonomi misainya terbukti
menjadi faktor mendorong meningkatnya aMivitas pencurian kayu di masyarakat
pinggiran hutan di Surnatera Selatan (Ginoga Dan Ewidodo. 2001: 15-30). Di sisi
lain, terancamnya keamanan sosial ekonomi juga dapat disebabkan karena
tingginya tekanan penduduk dibandingkan sumber-sumber agraria yang tersedia.
sehingga melahirkan rumah-rumah tangga yang berkategori miskin. Penelitian di
empat desa di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrsngo Jawa Barat
menemukan bahwa pada desa yang penduduknya miskin maka kerusakan
hutanya juga lebih besar {Mukhtar. 1986: 9).
Keberlanjutan Ekosistem dan Sumber-sumber Agraria
Konsep keberfanjutan (sustainabiiity) ekosistern berada datam konteks
saling keterkaitan antara manusia dan alam. Pengelolaan sumber-sumber
agraria kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu proses mengelola
surnber-surnber agraria kehutanan untuk mencapai satu atau iebih tujuan-tujuan
spesifik yang berkaitan dengan suatu aliran yang kontinyu dari produksi dan jasa
dari hutan. tanpa mengalami penurunan nilai yang tidak semestinya dari
produktivitas masa depan dan tanpa darnpak-dampak yang tidak diharapkan
berupa
kerusakan lingkungan fisik dan
sosial. Kata kunci dari
konsep
15
keberlanjutan ini adatah kondisi yangtetap (stabil) dari ekosistern, jika tidak bisa
lebih baik. Keberlanjutan ekosistem tergantung kepada apakah ekosistem
tersebut
dalam
status
yang
tetap
(stabilisasi)
atau
semakin
menurun
(destabilisasi).
Dalam konsep keberlanjutan ekosistem secara
keselumhan yang
mencakup lingkungan fisik, biologi, dan sosial, maka perlu mernpertimbangkan
tiga kriteria keberlanjutan, yaitu (CIFOR, 1997: 7):
(1) Keberlanjutan
ekologi
atau
lingkungan
(ecological
or envimrnental
sustainabiiity) yang mensyaratkan suatu kondisi yang sama atau lebih baik
dari ekosistern untuk dapat menjaga kernampuan dan fungsinya.
(2) Keberlanjutan secara sosial (social sustainability). Konsep ini rnerefleksikan
hubungan
antara
pengembangannya.
kultural
Suatu
(wttutal
aktivitas
ethics),
dapat
norma
secara
sosial,
sosial
dan
dikatakan
berkelanjutan bila itu sesuai dengan nilai-nilai etik dan norma sosial, atau
tidak melonggarkannya melebihi toleransi komunitas tersebut untuk benrwh.
(3) Keberlanjutan secara
ekonomi
(economic
sustainability).
Konsep
ini
mensyaratakan bahwa keuntungan untuk komunitas rnelebihi biaya yang
dikeluarkan, dan beberapa bentuk sumber daya yang ekuivalen tetap dapat
dengan mudah diperoleh dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketiga konsep ini tidak berjalan secara paralel dan sating terpisah, karena
manusia sebagai aktor yang aktif rnemiliki pelwng lebih besar sebagai penentu
keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan. Dengan kata lain, keberlanjutan
ekologi dan lingkungan merupakan variabel dependen dari keberlanjutan sosial
dan ekonorni.
Lebih jauh, rnenurut ITTO (1998: 6-18) ada tujuh kriteria untuk menilai
sLiatu pengelolaan surnber daya alarn (khsususnya hutan) yang berkelanjutan,
yang di dalamnya terbagi menjadi berbagai indikator. Ketujuh kriteria tersebut
16
adalah: lingkungan rnakro yang rnernpenga~hirnanajemen sumber daya alarn
secara urnum, kearnanan sumber daya, kesehatan dan kondisi ekosistem, aliran
produksi, keragaman biologi yang rnencakup ekosistern dan keragaman genetis,
tanah dan air, serta aspek sosial ekonorni dan kultural.
Bagi ekosistern kawasan pinggiran hutan, rnaka keberlanjutan bermakna
sebagai suatu kondisi yang tetap dari daerah pinggiran hutan yang berisi
beragam sumber daya agraria, untuk rnenyediakan makanan bagi kornunitas di
dalarnnya, termasuk perlindungan (shelterj, d m kebuluhan-kebutuhandasar lain.
dengan tetap menjaga prospeknya untuk generasi mendatang. Ekosistern
pinggiran hutan komponennya terdiri dari lingkungan fisik dan biilogi berupa
sumber-sumber agraria (hutan, tanah, air, dan udara) serta lingkungan sosial
manusia yang hidup di dalarnnya. Suatu stabilisasi lingkungan fisik akan
rnendukung kemarnpuan komunitas untuk tetap eksis dan berkernbang di rnasa
datang.
Keberadaan lingkungan fisik (keberlanjutan ekologi) tergantung kepada
kebertanjutan sosial dan ekonorni masyarakatnya. karena manusia adalah aMor
yang aktif. Bagi masyarakat pinggiran hutan, kerusakan lingkungan fisik di dalam
desa .dapat mengimbas ke wilayah hutan. karena kedua wilayah ini merniliki
kaitan yang erat secara bidogis. Namun demikian, manusia sebagai entitas
sosial, akan rnelahirkan kriteria dan indikator keberlanjutan ekonomi dan sosizll
yang dapat beragam antar individu. Untuk mencapai satu kesepakatan
kebedanjutan ekonorni dan sosial dtperlukan prasyarat kohesivitas yang kuat
yang dapatditemukan dalam masyarakat berbentuk komunibs.
****
METODOLOGI PENELlTlAN
Batasan Konsep Penelitian
Berikut disarnpaikan beberapa konsep pokok penelitian yang perlu
dirurnuskan untuk rnendapat pernaharnan yang tegas dalarn uraian dan analisa
hasil kajian.
Surnber-sumber aararia:
Dalarn penelitian ini digunakan istilah "sumber-sumber agraria" dengan
pengertian yang sarna dengan 'sumber daya agraria", yaitu meliputi burni dalarn
arti permukaannya, air,
serta ruang angkasa dan kekayaan alarn yang
terkandung di bawah tanah dan air. sesuai
dengan definisi menurut Pasal 1
UUPA No. 5 tahun 1960 dan Tap MPR nomor IX tahun 2001.
Struktur aoraria:
Struktur agraria rnenggarnbarkan jaringan relasi antar manusia dengan
surnber-sumber agraria yang rnenjadi pertopang hidupnya, temtarna tanah. Di
dalarn konteks ini tercakup tiga aspek, yaifu pemilikan, pengwsaan,
serta
penggunaan tanah. Kepernilikan menyangkut status hukum antara seseorang
deqtgan tanah. yang rnenentukan siapa yang berhak rnengelola dan rnengarnbil
rnanfaatnya. Penguasaan rnenyangkut hubungan rnanusia dan surnber agraria
dalam aktivitas produksi, sehingga seseorang yang rnenggamp suatu petak
tanah dapat saja bukan orang yang rnerniliki secara hukurn tanah tersebut,
namun bisa karena hubungan penyewaan atau penyakapan dengan pernilik
tanah. Penggunaan tanah adalah bentuk perlakuan terhadap tanah tersebut oleh
orang yang rnenguasainya.
Pembentukan struktur aqraria:
Pembentukan struktur agraria adalah proses bagaimana tejadinya
struktur agraria yang dipelajari sernenjak wilayah desa pertama dibuka, dengan
18
mengungkapkan cara masing-masing orang rnemperoleh tanah, faktor-faktor
yang rnempengaruhi, serta transaksi tanah di antara rnasyarakat. Proses ini
bejalan bersarnaan dengan terbeotuknya ketejaminan keamanan sosial
ekonorninya,
karena
kedwnya
mentpakan
dua
proses
yang
saling
rnempengaruhi.
Masvarakat ~inaairan
hutan
Masyarakat pinggiran hutan adalah sekelompok orang yang mendiami
suatu kawasan geografis tertentu yang lokasinya behatasan dengan hutan.
Masyarakat ini dapat disebut sebagai komunitas apabila rnerniliki tingkat
kohesivitas yang cukup, terlihat dari timbuinya perasaan yang sama, sikap
sepenanggungan, dan d i n g mernerlukan, sehingga interaksi sosial lebih intens
dengan sesama anggota kelornpok tersebut dibandingkan dengan orang di luar
kelornpok.
Keteriaminan keamanan sosial ekonorni dalarn masvarakat
Ketejaminan kearnanan sosial ekonomi (socioeconomic secunn@)dalarn
rnasyarakat adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan pernenuhan seluruh
kebutuhan hidup warga. Garis batas termdah dari ketejaminan in& disebut
dengan jaminan subsistensi. Pa&
masyarakat yang berbentuk kornunitas
jarninan berada di institusi desa. namun jika kornunitas belum terbentuk rnaka ia
mungkin akan berada di pundak institusi yang berdasar ikatan genealogis
(kerabat dan suku).
Hubunaan sosial dalarn produksi:
Hubungan sosial dalam produksi menggarnbarkan bagairnzna tata
interaksi antar orang datam pemanfaatan sumber-sumber agraria, mencakup apa
komoditas yang diusahakan, bagaimana kebutuhan tenaga kej a dipenuhi, serta
hubungan pemilik tanah dan penggarap dalam penyakapan. Organisasi prodyksi
berkaitan dengan sistem distribusi hasil produksi, yang akan tersebaf kepada
19
pihak pernilik tanah, penyewa. penyakap, serta bumh tani. Organisasi produksi
dan sistern distribusi merupakan komponen dari konteks keterjaminan keamanan
sosial ekonorni.
Keberlaniutan ekosistem:
Konsep ini merniliki Iingkup baik lingkungan bio-fisik maupun sosiaI
ekonomi. lstilah yang digunakan untuk menyebut kondisinya adalah "status
stabilitas". Kestabilan menunjuk kepada suatu kondisi fisik bilogis sumberdaya
agraria
pada
keadaan
mampu terus
dieksploitasi
sebagaimana kondisi
sebelumnya. Kebetlanjutan menyangkut dua sisi sekaligus: dari sisi alam dan sisi
rnanusia.
Kerangka Pemikiran dan tiipotesa
Kerangka Pemikiran
Anggapan "klasik" terhadap struktur masyarakat yang hidup bersama
hutan selama ini adalah bahwa mereka hidup berkeiirnpahan surnber daya alam
dengan menerapkan pola pertanian ekstensif di atas perangkat moral kearifan
yang tinggi terhadap kelestarian lingkungannya. Gambaran ideal ini tidak
diternukan pada masyarakat yang dibentuk oleh pendatang-pendatang dengan
latar belakang sosio-budaya yang beragam apalagi yang bukan berasal dari
ekosistem pinggiran hutan.
Kawasan pinggir hutan dengan sumber daya pertanian yang relatif
melirnpah dan akses terbuka, mengundang kedatangan penduduk dari iwr.
Tekanan penduduk di dataran rendah telah mendorong terjadinya migrasi ke
daerah dataran tinggi. Hal ini mengikuti teori neo-klasik mikro tentang rnigrasi,
drmana migrasi terjadi karena adanya perbedaan pendapatan dan kesempatan
kerja antar dua wiiayah. Aliran migran akan menuju dimana surnber daya
ekonomi dapat diperoleh secara lebih rnudah, dalam ha1 ini lebih terbukanya
akses tehadap tanah. Hal ini rnenyebabkan terjadinya perubahan penggunaan
surnber daya agraria yang dicirikan oleh pernanfaatan lahan secara intensif yang
cenderung over-eksploitasi sehingga terjadi degradasi surnber daya alam.
,
Pada rnasyarakat pinggiran hutan. surnber agraria di kawasan hutan
rnerupakan surnber ekonorni yang penting bagi rnereka, rnisalnya untuk
rnernperbleh kayu, hewan buruan. serta sebagai sumber rnata air. Narnun. sikap
pern&ntah tndonesia yang rnenjadikan produksi hutan sebagai surnber utama
pendapatan nasional,
telah meminggirkan hak rnasyarakat, sebagaimana
tercanturn dalarn peraturan Pernerintah No. 21 tahun 1970. serta UU No.5 tahun
1990 tentang Konservasi Surnberdaya Aiam dan tlayati yang rnenutup sama
sekali akses rnasyarakat sekitar terhadap tarnan nasional. Hal ini rnenyebabkan
tirnbulnya konflik kepentingan antara pernerintah dan masyarakat sekitar.
Diperlukan perangkat kelembagaan yang kuat
untuk rnenyelesaikan
konflik seperti ini selain untuk mernperoleh pengelolaan hutan secara lebih baik.
Pengernbangan kelernbagaan yang kuat tersebut rnernedykan dasar ikatan
rnasyarakat yang kuat baik secara genealogis rnaupun teritorial, sehingga
sarnpai kepada bentuk yang dapat dikategorikan sebagai %ornunitass. Narnun
dernikian, untuk kelornpok masyarakat terbuka yang sebagian penduduknya
berupa migran dari luar, rnaka bentuk komunitas tersebut tidak akan tercapai
secara serta rnerta. Dibutuhkan proses yang lamanya tergantung kepada berapa
besar kornposisi penduduk pendaiang dibandingkan dengan penduduk asli. Jika
penduduk pendatang lebih banyak, apalagi seluruhnya pendatang dan multi
etnik, maka proses tersebut tentu akan lebih lama. DaIarn masa pembentukan
tersebut akan dijurnpai berbagai konflik, misalnya karena marjinalisasi suatu
kelornpok akibat desakan kelornpok lain.
Pada masyarakat pedesaan yang didorninasi usaha pertanian, secara
umum s