Kualifikasi Tindak Pidana 2. Prospek Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Administrasi dalam

232 Hal ini juga diatur dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bagian Ketujuh tentang Bahan yang Memabukkan. 3. Bab XXVII tentang Tindak Pidana Perbuatan Curang, Bagian Kedelapan tentang Pengedaran Makanan, Minuman atau Obat Palsu, Pasal 628.

b. Kualifikasi Tindak Pidana

Pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban administrasi secara logika merupakan pelanggaran ringan namun dalam hal-hal tertentu dapat dikategorikan dalam pelanggaran berat. Disinilah diperlukan adanya gradasi atau klasifikasi suatu perbuatan. Seperti dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ruang lingkup perbuatan yang dijadikan delik atau tindak pidana dapat digolongkan dalam pelanggaran aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah namun kerugian yang dapat ditimbulkannya sangat besar dan hal ini berbeda dengan pelanggaran pemenuhan standar makanan, minuman, tenaga kesehatan dan sebagainya yang harus mempunyai sertifikasi atau registrasi akan mempunyai akibat yang berbeda dengan perbuatan-perbuatan yang ditunjuk oleh UU Psikotropika, UU Narkotika dan UU Lingkungan Hidup. 233 KUHP yang sekarang ini masih berlaku masih membedakan antara kejahatan dan pelanggaran sedangkan di dalam Konsep KUHP sudah tidak memisahkan antara kejahatan dan pelanggaran. Dengan melihat berat ringannya tindak pidana maka tindak pidana yang digolongkan dalam regulatory offences dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran. Namun demikian kualifikasi tindak pidana untuk kedepan, tidak perlu dicantumkan lagi. B.2.2. Pertanggungjawaban Pidana a. Subjek Tindak Pidana dan Pertanggungjawabannya Subjek tindak pidana dalam regulatory offences bisa orang dalam arti alamiah dan korporasi. Hal ini sesuai dengan perkembangan negara modern yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warganya public welfare telah menimbulkan delik-delik baru. Friedmann mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Dwidja Priyatno : “A whole new area of criminal law has develop out of the steadily increasing responsibilities of the modern state for the maintenance of certain crucial standartd demanded by the proper functioning of modern industrialized and urbanized society. These standard are embodied in a great variety of statutory regulations. They concern safety appliances and sanitary standards in factories and mines , minumum quality of foodstuffs, drugs and medial preaparation offered to the public, ….”. 234 Selanjutnya Dwidjo Priyatno mengatakan : “Kalau dilihat kepada peraturan-peraturan yang dimaksudkan Friedmann diatas, maka tujuannya adalah jelas untuk melindungi warga masyarakat terhadap kemungkinan perbuatan yang merugikan dari usaha-usaha perdagangan atau perindustrian. Delik-delik baru yang berkembang dalam bidang inilah yang oleh Friedmann dinamakan “public welfare offences”, dan yang menurut dia sudah sejak tahun 1902 disebut oleh seorang sarjana Jerman James Goldschmidt sebagai “administrative penal law” delik semacam ini dengan sendirimya juga harus dimungkinkan terhadap korporasi. Standar perbuatan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat, pada dasarnya ditujukan terhadap bentuk-bentuk usaha yang secara umum dinamakan korporasi 167 . Menurut Mardjono Reksodiputro sebagai dikutip oleh Dwidja Priyatno,, dapatlah kiranya di Indonesia diterima juga kemungkinan penuntutan terhadap korporasi. Tidak saja dalam hal delik ekonomi seperti yang telah ada, tetapi juga dalam delik-delik yang menyangkut kesejahteraan warga masyarakat. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini peraturan-peraturan dalam bidang kesehatan makanan, minuman, obat-obatan dan bidang perlindungan lingkungan hidup. Dalam usaha pemerintah untuk menata suatu sistem perekonomian yang berintikan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat, maka harus dicegah dan ditindak akibat-akibat yang merugikan yang disebabkan oleh perbuatan kalangan dagang industri yang mengabaikan standar yang telah ditetapkan 168 . 167 Dwidja Priyatno, Op.Cit., hal. 119-120. 168 Ibid. 235 Perundang-undangan Indonesia sudah banyak yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Namun belum semuanya merumuskan secara lengkap pertanggungjawaban pidana korporasi. Perumusan pertanggungjawaban korporasi harus meliputi siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, kapan atau dalam hal yang bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan dan sanksi yang bagaimana yang dapat diberikan kepada korporasi. Di dalam Konsep KUHP tahun 2004 sudah ada aturan umum pertanggungjawaban pidana korporasi yang dirumuskan dalam pasal 45 sampai pasal 49. Dari perumusan tersebut terlihat pokok-pokok kebijakan pertanggungjawban korporasi, yaitu : 169 a. Penegasan korporasi sebagai subjek tindak pidana b. Penentuan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan c. Penentuan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan d. Penentuan kapan pengurus dapat dipertanggungjawabkan e. Penentuan pidana sebagai ultimum remidium bagi korporasi f. Penentuan alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi.

b. Bentuk Kesalahan