Desentralisasi Kesehatan Landasan Teori .1 Teori Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

naiknya tingkat penghasilan dan sasaran pajak yang lain akhirnya akan menaikkan penerimaan pemerintah. Misalnya pengeluaran untuk bidang pertanian, pendidikan, dan pengeluaran untuk menciptakan lapangan kerja, serta memicu peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat. 4. Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa akan datang, misalnya pengeluaran untuk anak-anak yatim piatu, pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan masyarakat. 5. Pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun pada saat pengeluaran terjadi penghasilan yang menerimanya akan naik.

2.1.6 Desentralisasi Kesehatan

Sejak pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia mulai awal tahun 2001 dan merupakan konsekuensi dari dessentralisasi secara politik yang menjadi inti dari Undang-undang No. 22 tahun 1999, dimana pada berbagai belahan negara lain desentralisasi kesehatan telah dilaksanakan selama dua dekade terakhir Trisnantoro dan Dewi, 2008; h.16. Trisnantoro dan Dewi 2008 mengatakan sebelum desentralisasi kesehatan, pengalokasian anggaran kesehatan di Indonesia dilakukan oleh pemerintah pusat dengan cara negosiasi ke provinsi-provinsi. Namun ketika saat desentralisasi kesehatan, secara implisit anggaran kesehatan dimasukkan kedalam alokasi anggaran pembangunan melalui Dana Alokasi Umum DAU yang berbasis pada formula potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal suatu daerah. Ahmad 2011 mengatakan bahwa akibat dari pengalokasian anggaran pembangunan melalui DAU adalah sektor kesehatan harus bersaing dengan sektor lain untuk mendapakan anggaran. Salah satu kebijakan desentralisasi fiskal adalah pemberian wewenang kepada daerah untuk menentukan anggaran belanja daerah masing-masing, sehingga fungsi pemerintah daerah di sektor kesehatan adalah harus merencanakan dan menganggarkan program kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk mendapatkannya. Hal tersebut membawa risiko pada pelaksanaan otonomi daerah, khususnya dari segi pembiayaan, karena kemungkinan pemerintah tidak akan memprioritaskan pada sektor kesehatan dan salah satu kebijakan yang telah disepakati oleh bupati dan walikota di era desentralisasi dimana alokasi APBD sebesar 15. Tetapi hal tersebut hanyalah sebuah wacana, dalam kenyataannya masih banyak ditemui kondisi yang tidak jauh berbeda dengan sebelum desentralisasi yaitu persentase anggaran di berbagai daerah di Indonesia sebesar 2,5 sampai maksimal 7. Pemerintah lebih berfokus pada pembangunan fisik, sedangkan anggaran kesehatan sebagai program non fisik tidak menarik perhatian pemerintah lokal Hendrarti, dalam Ahmad 2011. Selain fenomena yang telah dikemukakan sebelumnya, ternyata setelah beberapa tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal terdapat situasi dimana Dana Alokasi Umum DAU dan APBD ternyata jumlahnya tidak cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan. Keadaan tersebut juga terjadi di daerah kaya yang sebenarnya harus memberikan lebih banyak untuk pelayanan kesehatan. Hal ini menyebabkan gangguan diberbagai sistem di sektor kesehatan dan kehilangan koordinasi disbanding sebelum desentralisasi. Melihat fenomena tersebut maka dilakukan peningkatan pembiayaan dari pusat dengan diamandemennya UU No. 221999 dengan UU No. 322004 dengan penekanan mengenai peran pemerintah pusat dan propinsi Trisnantoro dan Dewi, 2008; h.17.

2.1.7 Desentralisasi Pendidikan