a. Mengetahui fungsi ekosistem terumbu karang b. Mengetahui tentang alat tangkap yang merusak
c. Mengetahui dan sikap tentang peraturan larangan penggunaan alat tangkap yg merusak terumbu karang
d. Mengetahui adanya DPL Pulau Sekate e. Mengetahui lokasi DPL Sekate
f. Pernah menangkap ikan di DPL Pulau Sekate g. Mengetahui fungsi DPL
h. Menyetujui adanya keberadaan DPL 2. Berpartisipasi dalam Pembentukan DPL Pulau Sekate, terdiri dari :
a. Sosialisasi pembentukan DPL
b. Penentuan lokasi DPL c. Pembuatan tanda batas DPL
d. Pembuatan Perdes e. Pembuatan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang RPTK
f. Menjadi anggota Kelompok Masyarakat Pokmas g. Ikut serta dalam studi banding
3. Berpartisipasi dalam Pengelolaan DPL Pulau Sekate, terdiri dari : a. Terlibat dalam monitoring dan evaluais DPL
b. Terlibat dalam pengawasan DPL c. Terlibat dalam kegiatan MPA
d. Melakukan sosialisasi DPL e. Mendukung pengelolaan DPL
f. Mengikuti pelatihan mengenai DPL dan terumbu karang g. Terlibat dalam pembentukan Peraturan Daerah Perda terumbu karang
5.5.3. Pengetahuan mengenai terumbu karang dan DPL Pulau Sekate
Sumberdaya terumbu karang di Kelurahan P. Abang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat. Terumbu karang menjadi daerah tangkapan
fishing ground, lokasi penyelaman untuk kegiatan wisata, dan terkadang sebagai sumber bahan bangunan jika ada permintaan.
Namun, pemanfaatannya sering dilakukan dengan cara yang kurang benar sehingga dapat berdampak terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang.
Keadaan ini tidak selalu terkait dengan tingkat pengetahuan, kepedulian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem terumbu karang, tetapi mungkin
juga berhubungan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang tidak baik, atau justru untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil
tangkapan, sehingga telah mengalahkan kearifan lokal masyarakat dalam memelihara ekosistem terumbu karang. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka
dapat menambah tekanan terhadap terumbu karang, sehingga tingkat kerusakan semakin parah. Oleh karena itu, informasi tentang pengetahuan dan sikap
masyarakat terhadap terumbu karang dapat dipakai sebagai bahan intervensi program untuk memeliharameningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terkait dengan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Disamping itu, hasil penelitian ini bermanfaat untuk bahan intervensi perubahan perilaku
masyarakat dari perilaku yang merusak menjadi perilaku yang dapat menjaga, mengelola dan melindungi kelestarian terumbu karang yang dalam jangka panjang
berdampak terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Gambar 30. Persentase tingkat Pengetahuan mengenai terumbu karang dan DPL Mengetahui fungsi ekosistem terumbu karang pada umumnya dipahami
oleh responden, pemahaman tertinggi yaitu oleh kelompok Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sebesar 75 dan kelompok pengelola dan nelayan
sebesar 65. Terumbu karang yang dalam istilah lokal disebut dengan malang terumbu karang hidup dan timbul terumbu karang mati pada umumnya hanya
dipahami sebagai jenis tumbuhan, bahkan sebagian karang bukanlah makhluk hidup hanya berupa material batu kapur. Sejalan dengan pekerjaan mereka
sebagai nelayan yang selalu bersinggungan dengan terumbu karang, pengetahuan responden tentang manfaat terumbu karang tergolong luas. Mayoritas dari mereka
juga mengetahui manfaat terumbu karang sebagai pelindung beragam jenis ikan dan biota laut lain dari ancaman kepunahan, disamping terumbu karang sebagai
pelindung pantai dari ombak dan badai. Pemahaman seperti ini mengindikasikan bahwa pengetahuan mereka tentang nilai ekologis terumbu karang sangat baik.
Luasnya pengetahuan tentang manfaat terumbu karang terkait dengan nilai ekologis ini tampaknya tidak terlepas dari adanya kegiatan sosialisasi program
COREMAP yang diselenggarakan di Kelurahan P. Abang. Dikatakan bahwa kegiatan sosialisasi program COREMAP yang diselenggarakan selama ini telah
banyak dilakukan melalui pertemuan dan brosur mengenai fungsi dan manfaat terumbu karang yang menambah wawasan dan pengetahuan mereka tentang
pentingnya terumbu karang sebagai tempat hidup ikan, tempat bertelur, yang jika dirusak dapat akan mempengaruhi hasil tangkapan ikan nelayan.
Pemahaman responden tentang terumbu karang dan manfaatnya yang tergolong cukup luas tersebut merupakan faktor kondusif untuk upaya-upaya
kearah konservatif terumbu karang. Pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang bukan hanya sebatas manfaat langsung dari terumbu karang seperti sebagai
sumbertempat mencari ikan dan non ikan, tetapi masyarakat juga telah memahami fungsi dan manfaat terumbu karang untuk kelestarian lingkungan.
Pengetahuan seperti ini memudahkan dalam upaya pengelolaan terumbu karang termasuk langkah- langkah dalam rehabilitasinya.
Pada Kelompok pemerintahan kelurahan terlihat rendahnya tingkat pengetahuan mengenai terumbu karang yaitu sebesar 33, hal ini didasari karena
seringnya pergantian atau mutasi aparat kelurahan dimana pejabat lurah hampir setahun sekali dilakukan mutasi, disamping itu rendahnya tingkat pengetahuan
yang didasari pendidikan ilmu yang berbasis pemerintahan. Pentingnya pembekalan pendidikan mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir perlu
diberikan kepada aparat-aparat pemerintahan yang mendapat tugas diwilayah
pulau-pulau kecil yang dimana masyarakatnya masih tergantung dengan sumberdaya pesisir tersebut.
Kelompok lembagainstitusi pemerintah kota mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai fungsi terumbu karang yaitu sebesar 56, hal
ini disebabkan tingkat pendidikan dan wawasan responden yang tergolong sarjana dan sebagaian besar berasal dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan
Kehutanan KP2K yang merupakan bagian pengelola program COREMAP II di Kota Batam. Demikian juga dengan kelompok LSM, tokoh masyarakat dan
swasta yaitu sebesar 56, pada persentase tingkat pengetahuan mengenai fungsi terumbu karang lebih besar di ketahui oleh LSM di bandingkan dengan tokoh
masyarakat dan swasta, hal ini dipengaruhi karena LSM Yayasan Samudra merupakan LSM pendamping dalam program COREMAP II yang di tunjuk oleh
Dinas KP2K semenjak tahun 2006. Sebagaimana dengan pengetahuan tentang terumbu karang yang mengarah
pada upaya konservasi, pengetahuan responden terhadap berbagai jenis alat tangkap yang merusak terumbu karang juga positif. Terdapat kecenderungan
bahwa masyarakat yang menjadi responden penelitian ini telah dapat membedakan alatbahanarmada tangkap yang dapat merusak dan tidak merusak
terumbu karang menunjukkan, hampir semua responden mengetahui kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bom dan racunsianidatuba untuk menangkap
ikan. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung dengan melihat seseorang yang memakai bom sebagai alat tangkap, disamping juga dari cerita dari mulut ke
mulut. Seperti disampaikan oleh ketua LPSTK bahwa pada tahun 2006 kelompok pengawas terumbu karang telah pernah menangkap masyarakat yang
menggunakan bom ikan untuk mena ngkap ikan, kasus ini telah diselesaikan sampai ke pihak kepolisian dan pelakunya telah di kenakan denda dan dibuat
perjanjian agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. Penggunaan armada tangkap jenis pukat trawl sebagai armada tangkap
yang dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang juga diketahui oleh sebagian besar responden. Pengetahuan ini mereka peroleh dari
pengamatan dan kejadian yang mereka lihat secara langsung. Pertambahan kapal
pukat harimau di wilayah perairan ini dikatakan semakin menambahmemperluas kerusakan terumbu karang.
Konflik dan pelanggaran kawasan daearah konservasi terjadi di Kelurahan Pulau Abang, dimana ketika kapal pukat harimau milik salah seorang pengusaha
di sana sering melakukan penangkapan ikan di wilayah tangkap nelayan tradisional. Kenyataan ini menimbulkan perlawanan dari nelayan setempat yang
mencapai puncaknya pada tahun 2004 dalam bentuk pembakaran salah satu kapal pukat harimau Romdiati dan Noveria, 2007.
Alat tangkap bubu dan bagan tancap tidak banyak dipahamidiketahui oleh sebagian besar responden sebagai alat tangkap yang dapat merusak terumbu
karang. Informasi yang diperoleh dari diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam terungkap bahwa pemasangan bubu pada umumnya dilakukan di
lumpurpasirkarang mati, sehingga menurut pemahaman mereka tidak mengganggumerusak terumbu karang yangmasih hidup. Demikian pula dengan
bagan tancap biasa disebut kelong yang dipasang tidak jauh dari pinggir pantai, dikatakan tidak merusak terumbu karang. Anggapan yang sama juga untuk alat
tangkap bubu yang dikatakan tidak merusak terumbu karang. Meskipun pada dasarnya alat ini tidak merusak, namun pemasangan dan pengambilannya sering
kali merusak terumbu karang. Bubu biasanya dipasang dan diambil oleh para penangkap ikan dengan cara menyelam dengan menggunakan kompresor.
Temuan ini mengindikasikan bahwa masyarakat belum mengetahui akibat dari penggunaan bubu terhadap kerusakan terumbu karang. Berdasarkan
pengamatan yang di lakukan dalam penelitian ini bahwa hampir semua bubu dan bagan tancap di letakkan di terumbu karang, setelah di konfirmasi ke nelayan
bahwa banyaknya bubu dan bagan yang merusak terumbu karang akhirnya mereka menyadari hal tersebut, nelayan menyatakan karena sifatnya alat tersebut
yang diam yang menunggu ikan masuk keperangkap sehingga jika di letakkan di daerah yang tidak ada terumbu karang maka ikan tidak ada, dan sebalikknya jika
di letakkan di atas terumbu karang pasti akan banyak ikan. Pemahaman masyarakat yang sudah dapat membedakan antara alat tangkap yang merusak dan
tidak merusak ekosistem terumbu karang tersebut kemungkinan besar akan sangat membantu dalam upaya perbaikanpelestarian terumbu karang.
Larangan mengenai penggunaan bom untuk menangkap ikan cukup tinggi diketahui oleh responden sekitar 65. Tingkat pengetahuan diketahui melalui
sosilisasi yang dilakukan oleh LSM pendamping dilapangan, walaupun nelayan tidak mengetahui dan belum pernah membaca tentang peraturan tersebut,
sejumlah informan mengatakan bahwa larangan penggunaan alat peledak ini terkait dengan dampak yang ditimbulkan, bukan hanya terhadap keberlangsungan
hasil tangkapan, tetapi juga keselamatan pengguna bom. Demikian juga dengan pengetahuan tentang peraturan larangan pemakaian bom, peraturan pemakaian
racunsianida untuk menangkap ikan. Tingkat pengetahuan mereka mendukung sikap setuju terhadap penggunaan bahan tangkap tersebut. Responden mempunyai
pemahaman yang tinggi dari dampak penggunaan sianidaracun untuk menangkap ikan terhadap kerusakan terumbu karang, dan mereka mengatakan bahwa makan
ikan dari hasil tangkapan dengan racun akan membahayakan kesehatan manusia. Peraturan yang melarang penggunaan sianidaracun untuk menangkap ikan,
mayoritas responden juga menyatakan sikap setuju terhadap larangan penggunaan jaring pukat harimau. Dukungan sikap seperti ini dipengaruhi oleh pengetahuan
masyarakat terhadap akibat yang besar terhadap rusaknya terumbu karang di wilayah mereka, hal ini dilandasi oleh pengalaman kehidupan sehari- hari mereka.
Dengan terjadinya pembakaran kapal pukat harimau oleh masyarakat mengakibatkan dampak jera bagi penggunaan jaring pukat harimau oleh nelayan
bermodal besar untuk menangkap ikan di wilayah mereka. Pengetahuan dan sikap tentang peraturan dan larangan terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya laut menyatakan cukup besar dengan persentase 75 responden yang menyatakan mengetahui. Pemahaman tentang sanksi penggunaan
alat-alat tangkap yang merusak tersebut masih terbatas pada pengetahuan yang diperoleh dengan cara mendengar dan melihat baha n-bahan penyadaran
masyarakat yang dibuat oleh program COREMAP II. Masyarakat umumnya belum mengetahui dengan jelas tentang jenis sanksi, apakah berupa denda atau
hukuman penjara. Semenjak ditetapkannya DPL Pulau Sekate pada tahun 2006 oleh
keputusan desa, tingkat pengetahuan masyarakat mengenai adanya DPL tersebut sebesar 40 dari jumlah responden, sedangkan untuk mengetahui dimana lokasi
DPL berada sebesar 26, tingkat pengetahuan mengenai keberdaan DPL mempengaruhi aktifitas nelayaan untuk menangkap ikan di lokasi DPL hal ini
terlihat dari tingginya persentase sebesar 52. Rendahnya pengetahuan ini di sebabkan oleh kurangnya dilakukan
sosialisasi mengenai lokasi DPL Pulau Sekate dan tidak adanya tanda batas lokasi DPL serta rendahnya keterlibatan masya rakat dalam proses pembentukan DPL
merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya pengetahuan mengenai DPL.
Gambar 31. Persentase pengetahuan mengenai terumbu karang dan DPL dari seluruh responden.
Tidak adanya tanda batas lokasi DPL juga mempengaruhi ketidak tahuan oleh masyarakat, berdasarkan wawancara yang dilakukan pembuatan tanda batas
telah dilakukan pada saat penetapan DPL, akibat dari keterbatasan kekuatan tanda batas yang telah rusak atau hilang akibat tidak tahan terhadap kondisi laut, seperti
tahan terhadap gelombang, arus dan tidak korosif mengakibatkan tanda batas tersebut tidak dapat bertahan lama. Pembuatan tanda batas merupakan hal yang
sangat perlu dibuat dimana setelah Perdes mengenai lokasi DPL ditetapkan. Batas-batas kawasan diupayakan di pasang baik di pantai maupun di laut, yang
memungkinkan untuk kemudahan upaya pengelolaan dan khususnya pemantauan. Jika tanda batas tidak ada atau kurang jelas terlihat, maka peneglolaan dan
pemantauan sulit untuk dilakukan. Pemeliharaan tanda batas yang tidak secara rutin dilakukan, seperti mengganti bagian yang rusak atau hilang dan tingkat
kesadaran kelompok pengelola akan tanggung jawab untuk pemeliharaan tanda- tanda batas DPL yang rendah.
Keberdaan papan informasi sebagai upaya sosialisasi kepada masyarakat dan pengunjungwisatawan atau juga kepada masyarakat di luar desa tidak
tersedia. Papan Informasi biasanya berisi tentang pesan-pesan penting, seperti larangan, yang terdapat dalam Perdes tentang Pengelolaan DPL. Selain perlu
mempertimbangkan bahan papan informasi yang awet atau tahan lama, biasanya papan informasi tersebut juga dapat dihiasi dengan gambarposter tentang
Konservasi Terumbu Karang dan Perikanan. Pengetahuan fungsi keberdaan DPL sebesar 59 dan pendapat mengenai
mendukung dibentuknya DPL sebesar 94 mendapat respon yang tinggi dari responden. Tingkat pengetahuan mengenai fungsi DPL tersebut sebagai suatu
kawasan lindung yang dilarang di manfaatkan secara permanen dan tidak boleh dilakukan aktifitas usaha perikanan mendapat mendapat dukungan yang tinggi,
faktor ini dipengaruhi oleh telah tingginya kesadaran dan tingkat pendidikan responden terutama dari kelompok Lembagainstitusi Pemerintah Kota.
Tabel 36. Persentase responden berdasarkan pengetahuan mengenai terumbu karang dan DPL
No Pengatahuan mengenai
Terumbu karang dan DPL Pemerintah
Kelurahan Badan
Perwakilan Desa
Kelompok Pengelola
dan Nelayan
LSM, Tokoh
Masyarakat dan Swasta
Lembaga institusi
Pemerintah Kota
1 Mengetahui Fungsi
Terumbu Karang 78
100 88
50 89
2 M engetahui tentang alat
tangkap yang merusak 56
100 74
58 86
3 Mengetahui dan sikap
tentang peraturan larangan penggunaan alat tangkap yg
merusak TK 33
50 38
75 71
4 Mengetahui adanya DPL
Pulau Sekate -
67 49
33 21
5 Pernah menangkap ikan di
DPL Pulau Sekate -
17 85
- -
6 Mengetahui lokasi DPL
Sekate -
67 29
25 14
7 Mengetahui fungsi DPL
- 100
61 42
68 8
Setuju adanya DPL 100
100 93
83 100
Sumber : Data primer diolah 2009 Kurangnya sosialisasi di tingkat instansi terkait yang ada di Kota Batam
juga sangat rendah, hal ini terlihat dari persentase pengetahuan mengenai adanya DPL dan lokasi DPL oleh Lembagainstitusi Pemerintah Kota Batam.
Pengetahuan ini yang rendah ini mengakibatkan dikeluarkannya kebijakan oleh Dinas Perhubungan Laut yang memberikan ijin parkirnya kapal tanker dan kapal
kargo di Kawasan Konservasi Laut yang telah di tetapkan oleh Walikota Batam. Masyarakat nelayan Kelurahan P. Abang sebenarnya mempunyai kearifan
tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya khususnya ikan, namun karena tidak terorganisir dengan baik, dewasa ini hal tersebut dapt dikatakan sudah mulai
memudar. Mereka tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak lingkungan khusunya terumbu karang. Sebagai penganut Agama Islam yang taat, orang
melayu sangat menghargai lingkungan hidupnya yang merupakan tempat mereka mencari nafkah. Sebagai tanda bersyukur setiap hari Jumat selalu dilakukan doa
selamatan atau doa “tolak bala”. Beberapa aturan dalam pemanfaatan sumbedaya tidak terlepas dari ajaran Islam dimana tidak boleh serakah, merusak maupun
yang dapat membahayakan atau merugikan orang lain. Selain itu, aturan terhadap jumlah tangkapan yang boleh diambil tidak ada, namun menurut kebanyakan
nelayan, jika mereka dapat rezeki lumayan, biasanya tidak pergi melaut walaupun saat tersebut sedang musim ikan. Tentunya hal ini merupakan suatu kebiasaan
yang cukup penting artinya bagi pengelolaan dan konservasi sumberdaya. Bentuk kearifan tradisional yang lain adalah mengangkerkan suatu tempat. Tempat
tersebut pantang untuk dikunjungi dan dianggap angker, yaitu sekitar pulau “hantu”. Daerah tersebut merupakan daerah karang yang secara geografis berada
di sebelah Timur Pulau Abang Kecil.
5.5.4. Partisipasi Mayarakat dalam Pembentukan DPL