Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten
PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN
KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI BANTEN
STANNIA CAHAYA SUCI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kemandirian
Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 10 Juni 2013
Stannia Cahaya Suci
NIM. H14090126
ii
ABSTRAK
STANNIA CAHAYA S. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
Dibimbing oleh ALLA ASMARA.
Desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan kemandirian keuangan
daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat, namun
pada pelaksanaannya masih banyak daerah yang bergantung pada bantuan dana
pusat untuk pembangunan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk membahas
perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Provinsi
Banten dan menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Provinsi Banten. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 6 (enam) kabupaten dan kota
di Provinsi Banten tahun 2001-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi sedangkan rasio Dana Perimbangan berpengaruh negatif
secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada model kemiskinan,
kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap
peningkatan persentase penduduk miskin, sedangkan rasio Dana Perimbangan
berpengaruh negatif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin,
indeks ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran terbuka berpengaruh
positif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin.
Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan
ABSTRACT
STANNIA CAHAYA S. The Influence of Regional Finance Independency on
Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised
by ALLA ASMARA.
Fiscal decentralization aims to improve regional finance independency and
reduce the fiscal dependency of central goverment. However, in practice, there are
still many areas that rely on the assistance central finance for their regional
development.This research aims to discuss the development of regional finance
independency and analyze the influence of regional finance independency on
economic growth and poverty in Banten Province. This research uses descriptive
method and panel data on 6 (six) regencies and cities in Banten Province at 20012011. The results showed the significantly positive effect of regional finance
independency on economic growth and significantly negative effect of balance
fund’s ratio on economic growth. The poverty model showed a significantly
negative effect of regional finance independency on percentage of the poor and
significantly positive effect of balance fund’s ratio on percentage of the poor.
Income inequality index and unemployment rate have signicantly positive effect
on the percentage of the poor.
Keywords: local revenue, economic growth, poverty
iii
PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN
KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI BANTEN
STANNIA CAHAYA SUCI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iv
v
Judul Skripsi
:
Nama
NIM
:
:
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota
Provinsi Banten
Stannia Cahaya Suci
H14090126
Menyetujui,
Dosen Pebimbing,
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si
Dosen Pebimbing
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis diberi kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Salawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa umat muslim dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh
dengan rahmat dan hidayah-Nya. Skripsi yang berjudul Pengaruh Kemandirian
Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota Provinsi Banten ini disusun sebagai syarat mendapatkan gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat.
Bogor, 11 Juni 2012
Stannia Cahaya Suci
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis diberi kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, saran, semangat dan dukungan
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, terutama
kepada:
1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Ahmad Yani Rusdiani dan Ibu Siti
Rodliyati Fachrur serta adik-adik yang tercinta Almer Auzaiey Fritzie juga
Dhafin Azka Rusdian kemudian seluruh keluarga penulis atas doa, motivasi
dan dukungan baik moril maupun materiil bagi penulis dalam menyelesasikan
skripsi ini.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah bersedia memberikan
masukan dan arahan yang bermanfaat kepada penulis sebagai penyempurnaan
penulisan skripsi ini.
4. Ranti Wiliasih, M.Si. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah
memberikan banyak masukan mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.
5. Para dosen, staff dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang telah memberikan ilmu selama
penulis menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
6. Departemen Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Banten dan
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten yang telah membantu selama
pengumpulan data untuk kepentingan skripsi.
7. Sahabat-sahabat penulis Idham Nur Khalid, Assrianti, Tamiyah Alatas, Karlina
Pratiwi, Ovilla Marshafeni, Desy Irianty, Malla Dewi Agisty dan Wida
Mayashinta atas dukungan, semangat dan motivasi dimanapun berada.
8. Teman-teman satu bimbingan Puspita Mega Lestari Effendi, Almira Rosalina,
Ardhi Harry dan Jajang Arif atas kerjasama, motivasi dan semangat selama ini.
9. Teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas kebersamaan dan keceriaan selama di IE.
10. Semua pihak yang telah berperan dalam mendukung terselesaikannya skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Kemandirian Keuangan Daerah dan Derajat Desentralisasi Fiskal
Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan
Kemiskinan dan Ketimpangan
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis Data Panel
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Kemandirian Keuangan Daerah
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Kemiskinan
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
ix
x
1
1
2
4
4
4
4
4
5
8
8
10
11
13
14
15
16
16
16
16
18
22
27
27
31
34
37
39
41
ix
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
konstan 2000 dan persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun
2009-2011
3
Penelitian terdahulu
14
Data dan sumber data
16
Interval kemampuan keuangan daerah
17
Statistik d Durbin Watson
22
Penduduk menurut kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001 dan
2011
24
Demografi Provinsi Banten tahun 2011
24
Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja, mencari pekerjaan dan bukan
angkatan kerja di Provinsi Banten tahun 2011
25
Indeks ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Banten tahun 20052010
25
Persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun 2007-2011
26
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten atas dasar
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2007-2011
27
Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik
31
Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 20012011
33
Uji Model Kemiskinan Terbaik
34
Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap
kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011
36
DAFTAR GAMBAR
1
2
Komposisi realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten tahun 2001-2011 2
Realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten tahun
2001-2011
2
3 Kurva Lorenz
12
4 Kurva Kuznets U-Terbalik
13
5 Kerangka Pemikiran
15
6 Peta administratif Provinsi Banten
23
7 Perkembangan pendapatan asli daerah Provinsi Banten tahun 2001- 2011 28
8 Rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah kabupaten
dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011
29
9 Perkembangan dana perimbangan Provinsi Banten tahun 2001-2011
30
10 Rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah kabupaten dan
kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011
31
x
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Data yang digunakan
Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah
pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan Fixed Effect
3 Hasil Uji Chow pada model pertumbuhan ekonomi
4 Hasil Uji Hausman pada model pertumbuhan ekonomi
5 Uji normalitas pada model pertumbuhan ekonomi
6 Uji multikolinearitas pada model pertumbuhan ekonomi
7 Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah
kemiskinan dengan pendekatan Fixed Effect
8 Hasil Uji Chow model kemiskinan
9 Uji Hausman model kemiskinan
10 Uji normalitas model kemiskinan
11 Uji multikolinearitas model kemiskinan
41
terhadap
43
43
44
44
44
terhadap
45
45
46
46
46
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang
kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan
Keuangan antara pusat dan daerah. Otonomi daerah memberi tanggung jawab
pada daerah otonom untuk mengatur sendiri urusan politik, ekonomi dan sosial
budaya daerah masing-masing. Otonomi daerah salah satunya dicirikan dengan
adanya desentralisasi fiskal, dimana perumusan dan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi tanggung jawab masing-masing
daerah. Tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan
kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah
pusat serta diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah otonom. Enceng et al. (2012) menyatakan salah satu
aspek penting pelaksanaan kewenangan otonomi daerah adalah mengetahui
tingkat kemandirian daerah dalam membiayai kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan melalui peningkatan potensi penerimaan daerah.
Kemandirian keuangan daerah salah satunya dapat dilihat dari penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Penerimaan
PAD dapat dilihat dari data komposisi realisasi pendapatan daerah yang disajikan
pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, komposisi realisasi pendapatan daerah
Provinsi Banten selama kurun waktu tahun 2001-2011 terdiri dari 67.71% PAD,
30.99% Dana Perimbangan, 0.72% Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dan
0.58% Bagian Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu. Realisasi pendapatan daerah
yang berasal dari PAD yang memiliki nilai diatas 50% serta lebih besar dari
realisasi Dana Perimbangan menunjukkan kemampuan Provinsi Banten semakin
tinggi untuk membiayai kemampuan keuangannya sendiri dan menunjukkan
kinerja keuangan daerah yang positif.
Selanjutnya jika dilihat dari komposisi Dana Perimbangan, berdasarkan
Gambar 1, Provinsi Banten masih memiliki proporsi Dana Alokasi Umum (DAU)
yang cukup besar. Gambar 1 juga menunjukkan persentase pendapatan Dana
Perimbangan terbesar bersumber dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak sebesar
52.84%, komposisi DAU juga tinggi sebesar 45.94% sedangkan Dana Alokasi
Khusus (DAK) hanya sebesar 1.21%. Hal ini menunjukkan meskipun Banten
memiliki proporsi PAD diatas 50% namun masih menggunakan DAU dengan
proporsi sebesar 45.94%. Hal ini mengindikasikan ketergantungan Provinsi
Banten terhadap dana pihak ekstern masih tinggi
2
0.72%
0.58%
30.99
%
45.94%
52.84%
67.71
%
1.21%
Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Pendapatan Asli Daerah
Lain-lain Pendapatan yang Sah
Dana Perimbangan
Pendapatan Asli Daerah
(b)
(a)
Gambar 1. Komposisi realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten tahun 20012011
Sumber: DPKAD, 2013
Perumusan Masalah
Provinsi Banten adalah provinsi yang terbentuk berdasarkan otonomi daerah
dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Masing-masing
kabupaten dan kota di Provinsi Banten memiliki kemandirian daerah yang
berbeda. Berdasarkan data realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota di
Provinsi Banten tahun 2001-2011, semua kabupaten dan kota memiliki
pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan lebih besar dari PAD. Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki penerimaan Dana Perimbangan yang
tertinggi dibandingkan kabupaten dan kota lainnya. Realisasi Dana Perimbangan
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak masing-masing sebesar 88.43% dan
84.59%.
Persentase (%)
100
80
77.21%
84.59%
88.43%
69.79%
63.74%
60.88%
60
40
20
0
Kab. Tangerang Kab. Serang
Kab. Lebak
Kabupaten/kota
Bagian Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu
Lain- lain Pendapatan daerah yang sah
Kab. Pandeglang Kota Tangerang Kota Cilegon
PAD
Dana Perimbangan
Gambar 2. Realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten tahun
2001-2011
Sumber: DPKAD Banten, 2013
3
Perbedaan proporsi pendapatan daerah ini salah satunya dapat dipengaruhi
oleh kemampuan mengembangkan potensi daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat dicerminkan dari
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan ekonomi
Provinsi Banten yang dilihat pada Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan ekonomi
kabupaten dan kota di Provinsi Banten, dimana Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebesar 7.35% dan 7.03%
pada tahun 2011, namun kabupaten yang masih memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap Dana Perimbangan seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
Lebak memiliki nilai pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, masing-masing
hanya sebesar 5.40% dan 6.44% pada tahun 2011. Jika suatu daerah memiliki
tingkat pertumbuhan kemandirian keuangan daerah yang tinggi, maka diharapkan
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut akan tinggi pula, dan sebaliknya. Oleh
karena pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah provinsi merupakan komposit dari
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota, maka perlu dicermati tingkat
kemandirian kabupaten dan kota serta pemerintah provinsi yang bersangkutan.
Tabel 1. Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
konstan 2000 dan persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun
2009-2011
2010
Kabupaten/Kota
Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Lebak
Kabupaten Tangerang
Kabupaten Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Provinsi Banten
Sumber: BPS Banten (2013)
2011
Laju
Persentase
Laju
Persentase
Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan Penduduk
PDRB
Miskin
PDRB
Miskin
(%)
(%)
(%)
(%)
7.16
11.4
5.40
9.8
6.59
6.43
6.44
9.2
6.71
7.18
7.35
6.42
4.15
6.34
5.67
5.63
6.68
6.88
7.03
6.14
5.32
4.46
6.53
3.98
6.08
7.46
6.43
6.26
Rasio kemandirian keuangan daerah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak menjamin suatu wilayah tersebut terbebas dari kemiskinan. Kemiskinan
merupakan salah satu persoalan sosial mendasar yang masih menjadi pusat
perhatian di Indonesia. Berdasarkan Tabel 1, persentase penduduk miskin Provinsi
Banten menunjukkan Provinsi Banten memiliki presentasi dibawah angka 10%
(Badan Pusat Statistik, 2013). Pada tahun 2010 persentasi penduduk miskin
Provinsi Banten adalah 7.46% kemudian menurun menjadi sebesar 6.26%.
Persentase penduduk miskin di Provinsi Banten menunjukkan perkembangan
angka menurun, namun berdasarkan kabupaten dan kota terdapat daerah yang
memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi yaitu Kabupaten Pandeglang
dan Kabupaten Lebak. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki
presentase penduduk miskin terbesar diantara kabupaten dan kota lainnya yaitu
masing-masing sebesar 9.2% dan 9.8%. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian yang mengkaji hubungan antara kemandirian keuangan daerah,
4
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan
pokok dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota
di Provinsi Banten tahun 2001-2011?
2. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Banten?
3. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan di
kabupaten dan kota Provinsi Banten?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota
di Provinsi Banten tahun 2001-2011.
2. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Banten.
3. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan di
kabupaten dan kota Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengelola
keuangan daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan umum yang dapat
diambil manfaatnya, khususnya pengentahuan mengenai keuangan daerah,
perekonomian dan kemiskinan Provinsi Banten.
3. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber referensi yang baik bagi
kegiatan penulisan dan penelitian selanjutnya
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Banten dengan pertimbangan
bahwa Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi baru yang kaya akan
potensi dan sedang berusaha meningkatkan tingkat kemandirian keuangan dan
perekonomian daerah, serta mengurangi tingkat kemiskinan.
TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum dan peraturan. Kebijakan otonomi dan
kewenangan desentralisasi sangat penting untuk menjamin proses integrasi
nasional terpelihara dengan baik. Hal ini karena dalam sistem yang berlaku
5
sebelumnya, ketidakadilan struktural dalam hubungan antara pusat dan daerah
sangat jelas terlihat. Kebijakan otonomi dan kewenangan desentralisasi tidak
hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi juga perlu
diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya
kemandirian pemerintahan daerah sebagai faktor yang menentukan keberhasilan
kebijakan otonomi daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 1 ayat 5, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah ditegaskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah dilaksanakan dengan azas
desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah daerah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan adalah
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi
kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta pemerintah kabupaten kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pemerintah daerah diberi wewenang dan
keleluasaan di seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional seacara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi dan perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan Asli Daerah
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan
daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi
kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula
kemampuan daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai aspirasi, kebutuhan
dan prioritas pembangunan daerah. PAD merupakan sumber penerimaan daerah
yang didapat dan digunakan sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki. PAD
bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Sumber- sumber PAD terdiri dari:
1. Pajak Daerah
Peraturan perundangan mengenai pajak telah mengalami beberapa kali
perubahan. Peraturan perundangan di bidang pajak antara lain Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah,
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-
6
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah.
Kemudian pada tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Restribusi Daerah menggantikan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 menyatakan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib oleh pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan secara langsung yang digunakan untuk
keperluan daerah bagi kemakmuran rakyat. Pajak terdiri dari pajak provinsi
dan kabupaten dan kota, yaitu:
a. Pajak provinsi meliputi: (1) Pajak Kendaraan Bermotor, (2) Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, (4)
Pajak Air Permukaan dan (5) Pajak Rokok.
b. Pajak kabupaten dan kota meliputi: (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran, (3)
Pajak Hiburan, (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan, (7) Pajak Parkir, (8) Pajak Air Tanah,
(9) Pajak Sarang Burung Walet, (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan dan (11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
2. Restribusi Daerah
Dasar hukum restribusi daerah adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang No 34 Tahun 2000 dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Restribusi
Daerah. Restribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah
daerah kepada wajib restribusi atas pemanfaatan suatu jasa tertentu yang
disediakan pemerintah, dalam hal ini terdapat imbalan langsung yang dapat
dinikmati pembayar restribusi. Berbeda dengan pajak daerah yang bersifat
tertutup, dalam restribusi ini, pemerintah daerah diberi peluang untuk
menambah jenisnya namun harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Restribusi daerah terdiri atas 3 jenis, yaitu:
a. Restribusi Jasa Umum merupakan restribusi yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh pribadi atau badan.
b. Restribusi Jasa Usaha merupakan restribusi jasa yang disediakan oleh
pemerintah daerah yang menganut prinsip komersial karena dapat
disediakan oleh sektor swasta dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
yang layak.
c. Restribusi Perizinan Tertentu merupakan restribusi atas kegiatan pemerintah
daerah tertentu yang meliputi pemberian izin kepada pribadi atau badan
yang bertujuan untuk pengaturan dan pengawasan pemberian izin tersebut
guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang
Sah
Perusahaan daerah merupakan salah satu sumber PAD yang diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang signifikan, sehingga kemandirian
pemerintah daerah meningkat. Lain-lain PAD yang sah merupakan penerimaan
daerah yang diperoleh dari dinas daerah dan pendapatan lainnya yang diperoleh
secara sah. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,
pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
7
asing dan komisi, potongan seta bentuk lainnya merupakan jenis pendapatan
yang termasuk dalam lain-lain PAD yang sah.
Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang
bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan
daerah dan antar pemerintahan daerah. Dana Perimbangan diharapkan dapat
meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal. Dana
Perimbangan bersifat subtitusi terhadap PAD. Penerimaan Dana Perimbangan
bervariasi bergantung pada penerimaan PAD daerah tersebut. Penerimaan Dana
Perimbangan umumnya naik jika daerah tersebut menerima Dana Bagi Hasil dan
PAD yang rendah. Penerimaan Dana Perimbangan dapat turun, umumnya terjadi
pada daerah yang mengalami kenaikan PAD dan kapasitas fiskal yang berarti.
Penerimaan Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi khusus dapat mencapai angka 0 (nol), bukan karena tidak dihitung
melaikan hasil perhitungan menunjukkan nilai minus atau nol, umumnya terjadi
pada daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi karena memiliki penerimaan PAD
yang sangat tinggi. (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013). Sumbersumber Dana Perimbangan terdiri dari:
1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil merupakan dana yang berasal dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah menurut persentase untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil bersumber
dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak
menurut undang-undang adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan
(PPh) dan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh. Dana Bagi Hasil
yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan
pertambangan panas bumi.
2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Alokasi DAU dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. DAU untuk suatu daerah
dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Proporsi DAU antara
daerah provinsi dan kabupaten dan kota ditetapkan berdasarkan imbangan
kewenangan antara provinsi dan kabupaten dan kota.
3. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
8
nasional. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Penentuan
besarnya DAK dilakukan pemerintah dengan menetapkan beberapa kriteria dan
mempertimbangan kemampuan keuangan daerah, memperhatikan peraturan
perundang-undangan dan karakteristik daerah serta mempertimbangakan
kriteria teknis yang telah ditetapkan oleh kementrian negara atau departemen
teknis.
Lain-lain Pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana
Darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah
kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah.
Dana Darurat dialokasikan oleh pemerintah dimana dananya berasal dari APBN
untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional atau peristiwa
luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan
sumber APBD.
Kemandirian Keuangan Daerah dan Derajat Desentralisasi Fiskal
Kemampuan daerah dalam menjalani otonomi daerah dapat diukur dengan
kinerja keuangan daerah yang dapat dilihat dari kemandirian daerah dan derajat
desentralisasi fiskal. Kemandirian keuangan daerah merupakan gambaran
pemerintah daerah dalam hal ketergantungan daerah terhadap sumber dana
pemerintah pusat dan propinsi. Semakin tinggi kemandirian keuangan daerah,
maka ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah dan propinsi semakin
rendah. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah, dimana semakin tinggi kemandirian
keuangan daerah menggambarkan semakin tingginya pastisipasi masyarakat
dalam membayar pajak dan restribusi daerah. Pajak dan restribusi daerah
merupakan komponen dari PAD. Kemandirian keuangan daerah dapat
ditunjukkan dari perbandingan PAD dengan pendapatan yang berasal dari
pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal, maka
akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh. Desentralisasi fiskal merupakan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD untuk membiayai
pembangunan. Derajat desentralisasi fiskal yang tinggi mengindikasikan
pemerintah daerah telah mampu meningkatkan PAD dibandingkan pendapatan
lain pada pendapatan daerah. Jika rasio PAD tinggi akan mengurangi
ketergantungan pemerintah daerah pada penggunaan dana dari daerah pusat.
Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal
Teori Ekonomi Klasik yang dikemukakan Adam Smith menyatakan
pertumbuhan ekonomi bergantung pada pertumbuhan penduduk dengan kata lain
pertambahan penduduk akan meningkatkan output produksi. Teori Klasik ini
berkembang menjadi Teori Neoklasik dikemukakan oleh Harrod-Domar dan
Robert Solow. Model Harrod-Domar mengemukakan bahwa pertumbuhan
ekonomi sangat dipengaruhi oleh pembentukan modal oleh karena itu modal harus
9
dipakai secara efektif, sedangkan Solow mengembangkan model Harrod-Domar
ini menyatakan bahwa faktor tenaga kerja dan teknologi masuk ke dalam model
pertumbuhan, oleh karena itu pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian
kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal dan pemakaian
teknologi modern (Mankiw, 2007)
Pertumbuhan ekonomi adalah terjadinya pertambahan atau perubahan
pendapatan nasional (produksi nasional) dalam satu tahun tertentu, tanpa
memperhatikan pertumbuhan penduduk dan aspek lainnya. Pertumbuhan ekonomi
dalam pengertian makro adalah penambahan nilai Produk Domestik Bruto riil
(PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Menurut Mankiw (2007), PDB
sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian yang tujuannya
adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu selama
periode waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dari penggunaan
banyak tenaga tenaga kerja, tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per
kapita, namun jika pertumbuhan ekonomi dicapai dari penggunaan sumberdaya
yang lebih produktif, hal tersebut dapat menghasilkan pendapatan per kapita yang
lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat. Badan Pusat
Statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan
oleh suatu daerah dicerminkan untuk mencerminkan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Badan Pusat Statistik (2013), PDRB menyatakan pendapatan total
dan pengeluaran total daerah atas output barang dan jasa suatu daerah. PDRB
dapat dihitung dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar
harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggunakan harga pada tahun
berjalan, pada saat menilai produksi, biaya antara dan komponen nilai tambah
sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menggunakan harga barang dan jasa
pada tahun dasar, saat ini yang digunakan adalah harga konstan 2000. PDRB juga
dapat didefinisikan melalui tiga pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi dalam suatu wilayah atau region pada jangka waktu
tertentu (biasanya setahun).
2. Pendekatan Pendapatan
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang
ikut di dalam proses produksi di suatu wilayah atau region pada jangka waktu
tertentu (biasanya setahun).
3. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah semua pengeluaran untuk: (1) konsumsi rumah tangga
dan lembaga yang tidak mencari untung, (2) konsumsi pemerintah, (3)
pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor
neto, di suatu wilayah atau region pada suatu periode (biasanya setahun).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu pilar dalam memelihara
kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke
daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah. Hubungan
antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dianalisis oleh
para ekonom. Samimi et al. (2010) menyatakan bahwa penelitian dilakukan
karena pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai tujuan dari desentralisasi fiskal
10
dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya di sektor publik serta sebagai bagian dari
tujuan pemerintah secara eksplisit untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang
mengarah pada peningkatan pendapatan perkapita. Menurut Davoodi dan Zou
(1998), desentralisasi fiskal adalah bagian dari reformasi peningkatan efisiensi di
sektor publik dan peningkatan kompetisi antara pemerintah daerah dalam
pemenuhan kebutuhan publik yang dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Tiebout (1961) argumen ekonomi dasar yang mendukung
desentralisasi fiskal berdasarkan dua asumsi yang saling melengkapi yaitu
desentralisasi akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena pemerintah daerah
diposisikan lebih baik daripada pemerintah pusat dalam penyediaan pelayanan
publik sebagai hasil keuntungan informasi dan mobilitas penduduk serta
persaingan antara pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan publik akan
menjamin kecocokan preferensi masyarakat dan pemerintah daerah. Oates (1999)
menyatakan bahwa sistem desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah
memainkan peran yang lebih penting daripada pemerintah pusat dalam
penyediaan pelayanan publik akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
cepat.
Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan
Kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif
dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin yang
disebabkan karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum dapat
menjangkau masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai kurangnya
pemenuhan sumberdaya pokok untuk kesejahteraan, hal yang paling penting
adalah makanan, air, perumahan, tanah, kesehatan dan pendidikan. Garis
kemiskinan absolut tetap dalam hal standar hidup dan dapat membandingkan
kemiskinan secara umum (Todaro dan Smith, 2006)..
Menurut penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi menjadi kemiskinan
kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang
disebabkan faktor-faktor adat dan budaya daerah tertentu yang mengikat
seseorang sehingga tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Indikator
kemiskinan tersebut dapat setidaknya dikurangi dengan mengabaikan faktor adat
dan budaya yang menghambat perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih
baik. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi
struktur dan tatanan hidup yang tidak menguntungkan. Kemiskinan ini terjadi
karena ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang gagal
memperoleh akses untuk meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial
yang tidak adil (Badan Pusat Statistik, 2008).
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs) untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan menurut strategi
kebutuhan dasar (basic needs) ini merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat
mendasar. Semakin beragamnya pengukuran tingkat kemiskinan, maka World
Bank mengeluarkan standar garis kemiskinan pendapatan rendah US$ 1/hari,
dengan harga internasional yang disesuaikan dengan mata uang lokal dengan
11
purchasing power parities. Pendekatan kebutuhan dasar membagi 3 (tiga)
indikator kemiskinan antara lain:
1. Head Count Index (HCI)
Head Count Index merupakan persentase penduduk miskin yang berada di
bawah garis kemiskinan atau pengukuran tingkat kemiskinan dengan
menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi yang disertai
proverty gap.
2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Proverty Gap Index)
Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai
indeks yang tinggi menunjukan semakin jauhnya rata-rata pengeluaran
penduduk dari garis kemiskinan.
3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index)
Indeks Keparahan Kemiskinan merupakan gambaran penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin. Tingginya nilai indeks menunjukkan tingginya
ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Umumnya salah satu program prioritas pemerintah daerah adalah
mengurangi kemiskinan, oleh karena itu tujuan desentralisasi adalah pemerintah
dapat merespon lebih cepat kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan dasar
penduduk miskin. Sepulveda dan Vazques (2010) menemukan bahwa penurunan
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan dampak langsung
dan tidak langsung dari adanya kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah
daerah memiliki peranan penting melalui kebijakan yang terbuka dan langsung.
Kemiskinan dan Ketimpangan
Distribusi ukuran pendapatan merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, cara
mendapatkan penghasilan tidak dipermasalahkan. Rasio yang disebut sebagai
rasio Kuznets, sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua
kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang
sangat kaya di dalam suatu negara. Metode lainnya yang lazim dipakai untuk
menganalisis statistik pendapatan perorangan adalah dengan menggunakan kurva
Lorenz. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara
persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benarbenar diterima selama, misalnya satu tahun. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari
garis diagonal (yang merupakan pemerataan sempurna), semakin timpang atau
tidak merata distribusi pendapatannya (Todaro dan Smith, 2006).
Kasus eksterm dari ketidakmerataan yang sempurna akan diperlihatkan oleh
kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu
vertikal di sebelah kanan. Oleh karena tidak ada satu daerah pun yang
memperlihatkan pemerataan sempurna atau ketidakmerataan sempurna dalam
distribusi pendapatannya, semua kurva Lorenz dari setiap daerah akan berada di
sebelah kanan garis diagonal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Semakin
parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan suatu
12
daerah, maka bentuk kurva Lorenznya pun akan semakin melengkung dan
mendekati sumbuh horizontal bagian bawah (Todaro dan Smith, 2006).
Perangkat lain dan sangat mudah untuk mengukur derajat ketimpangan
pendapatan relatif di suatu negara adalah menghitung rasio bidang yang terletak
antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi empat di
mana kurva Lorenz itu berada. Rasio ini dikenal dengan koefisien Gini. Koefisien
Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkirasr antara nol
(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna) (Todaro dan Smith,
2006).
100
Persentase Pemerataan
Garis Pemerataan
Kurva Lorenz
0
Persentase Penerimaan Pendapatan
100
Gambar 3. Kurva Lorenz
Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Kuznetz menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi,
distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjtnya
distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal
segaia kurva Kuznets “U-terbalik” (Gambar 4), karena perubahan longitudinal
(time series) dalam distribusi pendapatan tampak seperti kurva berbentuk Uterbalik, seiring dengan naiknya pendapatan per kapita. Dewasa ini terdapat
banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahap-tahap awal
pembangunan, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian
membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya dengan tahapan
kondisi-kondiri dasar perubahan yang bersifat struktural. Model Lewis
menyatakan tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern
yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas
terhitung tinggi (Todaro dan Smith, 2006).
Kurva
Kuznets
dapat
dihasilkan
oleh
proses
pertumbuhan
berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan
perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisonal ke perekonomian
modern. Imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan
meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan
tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga
kerja terdidik akan meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik akan
13
menurun. Jadi, walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat
menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten
dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Beberapa ekonom
pembangunan berpendapat bahwa tahapa peningkatan dan kemudian penurunan
ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari.
(Todaro dan Smith, 2006).
Koefisien Gini
0.75
0.50
0.35
0.25
0
Pendapatan nasional bruto per kapita
Gambar 4. Kurva Kuznets U-Terbalik
Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan salah satu kemiskinan yang
perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif.
Kemiskinan juga dapat digambarkan dengan koefisien Gini sebagai salah satu
indikator pemerataan ekonomi. Koefisien Gini merupakan salah satu ukuran yang
sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara
menyeluruh.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang pelimpahan kewenangan
keuangan terhadap pemerintah daerah dan kaitannya dengan pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan. Akai dan Sakata (2002) melakukan penelitian untuk
mengetahui kontribusi desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Hasil
penelitian menyatakan bahwa perubahan kepada sistem desentralisasi fiskal oleh
negara sangat penting karena dapat menstimulasi pergerakan pertumbuhan
ekonomi negara. Samimi et al. (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis
hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Iran tahun
2001-2007 menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara
desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Iran.
Zhang dan Zou (1996) melakukan penelitian tentang dampak alokasi
pendapatan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di China.
Penelitian tersebut menemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Penemuan ini menunjukkan hasil yang berbeda
dengan asumsi umum bahwa desentralisasi fiskal biasanya memberikan kontribusi
14
yang positif terhadap pertumbuhan lokal. Kegagalan pembelanjaan pemerintah
untuk membuat pertumbuhan ekonomi yang cepat dikarenakan oleh kondisi
pembangunan China pada saat itu dimana pemerintah pusat terhambat oleh
sumberdaya yang terbatas melakukan investasi publik pada prioritas nasional.
Nanga (2006) menemukan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki
dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan
serta kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang
ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang
responsif terhadap perubahan dalam indeks Gini. Usman (2006) menemukan
bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan
perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal dapat menciptakan pemerataan
distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan
dengan arah koefisien negatif dan nyata. Rujukan penelitian terdahulu secara
ringkas disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Penelitian terdahulu
No
1
Penulis
Samimi, Lar
2
Zang, Zou
3
Amagoh, Amin
4
Akai, Sakata
5
Nguyen
Judul/Tahun
Hasil
Fiscal Decentralization Terdapat hubungan positif dan
and Economic Growth in hubungan
yang
mendekati
Iran. (2010)
signifikan antara desentralisasi
fiskal dan pertumbuhan ekonomi
di Iran.
Fiscal Decentralization,
Semakin
tinggi
derajat
Public Spending and
desentralisasi fiskal, pertumbuhan
Economic Growth in
ekonomi semakin rendah.
China.
(1996)
An Examination of the Desentralisasi berdampak positif
Impacts
of
Fiscal terhadap pertumbuhan ekonomi.
Decentralization
on
Economic Growth(2012)
Fiscal decentralization
Desentralisasi Fiskal memainkan
peran penting pada pertumbuhan
contributes
to economic growth:
ekonomi.
Dampak
dari
evidence from state-level desentralisasi fiskal berubah sesuai
cross-section
dengan sejarah, kebudayaan dan
data for the United tingkat pembangunan ekonomi.
States. (2002)
What is in it for the Kenaikan derajat desentralisasi
poor? Evidence from yang digambarkan dengan rasio
fiscal decentralization in pengeluaran daerah menyebabkan
penurunan pendapatan masyarakat
Vietnam. (2008)
miskin.
Kerangka Pemikiran
Pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai beberapa tujuan yaitu
kemandirian pengelolaan keuangan daerah, kemampuan keuangan daerah,
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka kemiskinan namun
15
dalam pelaksanaannya tujuan-tujuan ini sulit dicapai secara sempurna oleh daerah
otonom. Pelaksanaan desentralisasi fiskal masih terdapat beberapa daerah yang
memiliki kemandirian keuangan daerah yang semakin membaik namun tidak
selalu diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan angka
kemiskinan. Hal inilah yang menjadi acuan analisis untuk melihat pengaruh
kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan
kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Analisis perkembangan kemandirian
keuangan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten dilakukan secara deksriptif
untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik keuangan daerah masing-masing
kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Analisis Data Panel digunakan untuk
melihat pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi
dan kemiskinan. Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar
3.
Desentralisasi
Fiskal
Kemandirian
Pengelolaan.
Kemampuan
Keuangan
Peningkatan
Pertumbuhan
Ekonomi
Pengurangan
Angka
Kemiskinan
Masalah Tingginya
Ketergantungan
terhadap Dana Pihak
Ekstern
Masalah
Perbedaan
Pertumbuhan
Ekonomi daerah
Masalah
Tingginya
Angka Penduduk
Miskin
Analisis
Kemandirian
Keuangan kab
dan kota
Analisis
Pengaruh
Kemandirian
Keuangan
terhadap
Pertumbuhan
Analisis
Pengaruh
Kemandirian
Keuangan
terhadap
Kemiskinan
Analisis Deskriptif
\
Model Data Panel
Implikasi Kebijakan
Gambar 5. Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
1. Semakin tinggi rasio PAD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan
kemandirian keuangan daerah yang semakin baik, diduga akan meningkatkan
16
sehingga mendukung pembangunan daerah sehingga akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi serta mengurangi kemiskinan.
2. Semakin tinggi rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah
mencerminkan kemandirian keuangan daerah yang semakin menurun diduga
akan menurunkan kapasitas keuangan daerah kinerja yang mengurangi kinerja
pembangunan daerah sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi serta
meningkatkan kemiskinan.
3. Kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan dan kenaikan tingkat
pengangguran terbuka diduga akan mengurangi pembangunan ekonomi yang
akan meningkatkan kemiskinan.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis
data panel. Objek yang diteliti adalah 6 kabupaten dan kota di Provinsi Banten
pada tahun 2001 sampai 2011 dimana otonomi da
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN
KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI BANTEN
STANNIA CAHAYA SUCI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kemandirian
Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 10 Juni 2013
Stannia Cahaya Suci
NIM. H14090126
ii
ABSTRAK
STANNIA CAHAYA S. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
Dibimbing oleh ALLA ASMARA.
Desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan kemandirian keuangan
daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat, namun
pada pelaksanaannya masih banyak daerah yang bergantung pada bantuan dana
pusat untuk pembangunan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk membahas
perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Provinsi
Banten dan menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Provinsi Banten. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 6 (enam) kabupaten dan kota
di Provinsi Banten tahun 2001-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi sedangkan rasio Dana Perimbangan berpengaruh negatif
secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada model kemiskinan,
kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap
peningkatan persentase penduduk miskin, sedangkan rasio Dana Perimbangan
berpengaruh negatif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin,
indeks ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran terbuka berpengaruh
positif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin.
Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan
ABSTRACT
STANNIA CAHAYA S. The Influence of Regional Finance Independency on
Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised
by ALLA ASMARA.
Fiscal decentralization aims to improve regional finance independency and
reduce the fiscal dependency of central goverment. However, in practice, there are
still many areas that rely on the assistance central finance for their regional
development.This research aims to discuss the development of regional finance
independency and analyze the influence of regional finance independency on
economic growth and poverty in Banten Province. This research uses descriptive
method and panel data on 6 (six) regencies and cities in Banten Province at 20012011. The results showed the significantly positive effect of regional finance
independency on economic growth and significantly negative effect of balance
fund’s ratio on economic growth. The poverty model showed a significantly
negative effect of regional finance independency on percentage of the poor and
significantly positive effect of balance fund’s ratio on percentage of the poor.
Income inequality index and unemployment rate have signicantly positive effect
on the percentage of the poor.
Keywords: local revenue, economic growth, poverty
iii
PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN
KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI BANTEN
STANNIA CAHAYA SUCI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iv
v
Judul Skripsi
:
Nama
NIM
:
:
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota
Provinsi Banten
Stannia Cahaya Suci
H14090126
Menyetujui,
Dosen Pebimbing,
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si
Dosen Pebimbing
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis diberi kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Salawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa umat muslim dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh
dengan rahmat dan hidayah-Nya. Skripsi yang berjudul Pengaruh Kemandirian
Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota Provinsi Banten ini disusun sebagai syarat mendapatkan gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat.
Bogor, 11 Juni 2012
Stannia Cahaya Suci
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis diberi kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, saran, semangat dan dukungan
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, terutama
kepada:
1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Ahmad Yani Rusdiani dan Ibu Siti
Rodliyati Fachrur serta adik-adik yang tercinta Almer Auzaiey Fritzie juga
Dhafin Azka Rusdian kemudian seluruh keluarga penulis atas doa, motivasi
dan dukungan baik moril maupun materiil bagi penulis dalam menyelesasikan
skripsi ini.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah bersedia memberikan
masukan dan arahan yang bermanfaat kepada penulis sebagai penyempurnaan
penulisan skripsi ini.
4. Ranti Wiliasih, M.Si. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah
memberikan banyak masukan mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.
5. Para dosen, staff dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang telah memberikan ilmu selama
penulis menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
6. Departemen Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Banten dan
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten yang telah membantu selama
pengumpulan data untuk kepentingan skripsi.
7. Sahabat-sahabat penulis Idham Nur Khalid, Assrianti, Tamiyah Alatas, Karlina
Pratiwi, Ovilla Marshafeni, Desy Irianty, Malla Dewi Agisty dan Wida
Mayashinta atas dukungan, semangat dan motivasi dimanapun berada.
8. Teman-teman satu bimbingan Puspita Mega Lestari Effendi, Almira Rosalina,
Ardhi Harry dan Jajang Arif atas kerjasama, motivasi dan semangat selama ini.
9. Teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas kebersamaan dan keceriaan selama di IE.
10. Semua pihak yang telah berperan dalam mendukung terselesaikannya skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Kemandirian Keuangan Daerah dan Derajat Desentralisasi Fiskal
Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan
Kemiskinan dan Ketimpangan
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis Data Panel
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Kemandirian Keuangan Daerah
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Kemiskinan
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
ix
x
1
1
2
4
4
4
4
4
5
8
8
10
11
13
14
15
16
16
16
16
18
22
27
27
31
34
37
39
41
ix
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
konstan 2000 dan persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun
2009-2011
3
Penelitian terdahulu
14
Data dan sumber data
16
Interval kemampuan keuangan daerah
17
Statistik d Durbin Watson
22
Penduduk menurut kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001 dan
2011
24
Demografi Provinsi Banten tahun 2011
24
Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja, mencari pekerjaan dan bukan
angkatan kerja di Provinsi Banten tahun 2011
25
Indeks ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Banten tahun 20052010
25
Persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun 2007-2011
26
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten atas dasar
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2007-2011
27
Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik
31
Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 20012011
33
Uji Model Kemiskinan Terbaik
34
Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap
kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011
36
DAFTAR GAMBAR
1
2
Komposisi realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten tahun 2001-2011 2
Realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten tahun
2001-2011
2
3 Kurva Lorenz
12
4 Kurva Kuznets U-Terbalik
13
5 Kerangka Pemikiran
15
6 Peta administratif Provinsi Banten
23
7 Perkembangan pendapatan asli daerah Provinsi Banten tahun 2001- 2011 28
8 Rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah kabupaten
dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011
29
9 Perkembangan dana perimbangan Provinsi Banten tahun 2001-2011
30
10 Rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah kabupaten dan
kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011
31
x
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Data yang digunakan
Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah
pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan Fixed Effect
3 Hasil Uji Chow pada model pertumbuhan ekonomi
4 Hasil Uji Hausman pada model pertumbuhan ekonomi
5 Uji normalitas pada model pertumbuhan ekonomi
6 Uji multikolinearitas pada model pertumbuhan ekonomi
7 Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah
kemiskinan dengan pendekatan Fixed Effect
8 Hasil Uji Chow model kemiskinan
9 Uji Hausman model kemiskinan
10 Uji normalitas model kemiskinan
11 Uji multikolinearitas model kemiskinan
41
terhadap
43
43
44
44
44
terhadap
45
45
46
46
46
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang
kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan
Keuangan antara pusat dan daerah. Otonomi daerah memberi tanggung jawab
pada daerah otonom untuk mengatur sendiri urusan politik, ekonomi dan sosial
budaya daerah masing-masing. Otonomi daerah salah satunya dicirikan dengan
adanya desentralisasi fiskal, dimana perumusan dan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi tanggung jawab masing-masing
daerah. Tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan
kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah
pusat serta diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah otonom. Enceng et al. (2012) menyatakan salah satu
aspek penting pelaksanaan kewenangan otonomi daerah adalah mengetahui
tingkat kemandirian daerah dalam membiayai kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan melalui peningkatan potensi penerimaan daerah.
Kemandirian keuangan daerah salah satunya dapat dilihat dari penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Penerimaan
PAD dapat dilihat dari data komposisi realisasi pendapatan daerah yang disajikan
pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, komposisi realisasi pendapatan daerah
Provinsi Banten selama kurun waktu tahun 2001-2011 terdiri dari 67.71% PAD,
30.99% Dana Perimbangan, 0.72% Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dan
0.58% Bagian Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu. Realisasi pendapatan daerah
yang berasal dari PAD yang memiliki nilai diatas 50% serta lebih besar dari
realisasi Dana Perimbangan menunjukkan kemampuan Provinsi Banten semakin
tinggi untuk membiayai kemampuan keuangannya sendiri dan menunjukkan
kinerja keuangan daerah yang positif.
Selanjutnya jika dilihat dari komposisi Dana Perimbangan, berdasarkan
Gambar 1, Provinsi Banten masih memiliki proporsi Dana Alokasi Umum (DAU)
yang cukup besar. Gambar 1 juga menunjukkan persentase pendapatan Dana
Perimbangan terbesar bersumber dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak sebesar
52.84%, komposisi DAU juga tinggi sebesar 45.94% sedangkan Dana Alokasi
Khusus (DAK) hanya sebesar 1.21%. Hal ini menunjukkan meskipun Banten
memiliki proporsi PAD diatas 50% namun masih menggunakan DAU dengan
proporsi sebesar 45.94%. Hal ini mengindikasikan ketergantungan Provinsi
Banten terhadap dana pihak ekstern masih tinggi
2
0.72%
0.58%
30.99
%
45.94%
52.84%
67.71
%
1.21%
Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Pendapatan Asli Daerah
Lain-lain Pendapatan yang Sah
Dana Perimbangan
Pendapatan Asli Daerah
(b)
(a)
Gambar 1. Komposisi realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten tahun 20012011
Sumber: DPKAD, 2013
Perumusan Masalah
Provinsi Banten adalah provinsi yang terbentuk berdasarkan otonomi daerah
dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Masing-masing
kabupaten dan kota di Provinsi Banten memiliki kemandirian daerah yang
berbeda. Berdasarkan data realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota di
Provinsi Banten tahun 2001-2011, semua kabupaten dan kota memiliki
pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan lebih besar dari PAD. Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki penerimaan Dana Perimbangan yang
tertinggi dibandingkan kabupaten dan kota lainnya. Realisasi Dana Perimbangan
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak masing-masing sebesar 88.43% dan
84.59%.
Persentase (%)
100
80
77.21%
84.59%
88.43%
69.79%
63.74%
60.88%
60
40
20
0
Kab. Tangerang Kab. Serang
Kab. Lebak
Kabupaten/kota
Bagian Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu
Lain- lain Pendapatan daerah yang sah
Kab. Pandeglang Kota Tangerang Kota Cilegon
PAD
Dana Perimbangan
Gambar 2. Realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten tahun
2001-2011
Sumber: DPKAD Banten, 2013
3
Perbedaan proporsi pendapatan daerah ini salah satunya dapat dipengaruhi
oleh kemampuan mengembangkan potensi daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat dicerminkan dari
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan ekonomi
Provinsi Banten yang dilihat pada Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan ekonomi
kabupaten dan kota di Provinsi Banten, dimana Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebesar 7.35% dan 7.03%
pada tahun 2011, namun kabupaten yang masih memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap Dana Perimbangan seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
Lebak memiliki nilai pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, masing-masing
hanya sebesar 5.40% dan 6.44% pada tahun 2011. Jika suatu daerah memiliki
tingkat pertumbuhan kemandirian keuangan daerah yang tinggi, maka diharapkan
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut akan tinggi pula, dan sebaliknya. Oleh
karena pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah provinsi merupakan komposit dari
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota, maka perlu dicermati tingkat
kemandirian kabupaten dan kota serta pemerintah provinsi yang bersangkutan.
Tabel 1. Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
konstan 2000 dan persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun
2009-2011
2010
Kabupaten/Kota
Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Lebak
Kabupaten Tangerang
Kabupaten Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Provinsi Banten
Sumber: BPS Banten (2013)
2011
Laju
Persentase
Laju
Persentase
Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan Penduduk
PDRB
Miskin
PDRB
Miskin
(%)
(%)
(%)
(%)
7.16
11.4
5.40
9.8
6.59
6.43
6.44
9.2
6.71
7.18
7.35
6.42
4.15
6.34
5.67
5.63
6.68
6.88
7.03
6.14
5.32
4.46
6.53
3.98
6.08
7.46
6.43
6.26
Rasio kemandirian keuangan daerah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak menjamin suatu wilayah tersebut terbebas dari kemiskinan. Kemiskinan
merupakan salah satu persoalan sosial mendasar yang masih menjadi pusat
perhatian di Indonesia. Berdasarkan Tabel 1, persentase penduduk miskin Provinsi
Banten menunjukkan Provinsi Banten memiliki presentasi dibawah angka 10%
(Badan Pusat Statistik, 2013). Pada tahun 2010 persentasi penduduk miskin
Provinsi Banten adalah 7.46% kemudian menurun menjadi sebesar 6.26%.
Persentase penduduk miskin di Provinsi Banten menunjukkan perkembangan
angka menurun, namun berdasarkan kabupaten dan kota terdapat daerah yang
memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi yaitu Kabupaten Pandeglang
dan Kabupaten Lebak. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki
presentase penduduk miskin terbesar diantara kabupaten dan kota lainnya yaitu
masing-masing sebesar 9.2% dan 9.8%. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian yang mengkaji hubungan antara kemandirian keuangan daerah,
4
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan
pokok dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota
di Provinsi Banten tahun 2001-2011?
2. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Banten?
3. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan di
kabupaten dan kota Provinsi Banten?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota
di Provinsi Banten tahun 2001-2011.
2. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Banten.
3. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan di
kabupaten dan kota Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengelola
keuangan daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan umum yang dapat
diambil manfaatnya, khususnya pengentahuan mengenai keuangan daerah,
perekonomian dan kemiskinan Provinsi Banten.
3. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber referensi yang baik bagi
kegiatan penulisan dan penelitian selanjutnya
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Banten dengan pertimbangan
bahwa Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi baru yang kaya akan
potensi dan sedang berusaha meningkatkan tingkat kemandirian keuangan dan
perekonomian daerah, serta mengurangi tingkat kemiskinan.
TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum dan peraturan. Kebijakan otonomi dan
kewenangan desentralisasi sangat penting untuk menjamin proses integrasi
nasional terpelihara dengan baik. Hal ini karena dalam sistem yang berlaku
5
sebelumnya, ketidakadilan struktural dalam hubungan antara pusat dan daerah
sangat jelas terlihat. Kebijakan otonomi dan kewenangan desentralisasi tidak
hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi juga perlu
diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya
kemandirian pemerintahan daerah sebagai faktor yang menentukan keberhasilan
kebijakan otonomi daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 1 ayat 5, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah ditegaskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah dilaksanakan dengan azas
desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah daerah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan adalah
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi
kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta pemerintah kabupaten kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pemerintah daerah diberi wewenang dan
keleluasaan di seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional seacara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi dan perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan Asli Daerah
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan
daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi
kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula
kemampuan daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai aspirasi, kebutuhan
dan prioritas pembangunan daerah. PAD merupakan sumber penerimaan daerah
yang didapat dan digunakan sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki. PAD
bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Sumber- sumber PAD terdiri dari:
1. Pajak Daerah
Peraturan perundangan mengenai pajak telah mengalami beberapa kali
perubahan. Peraturan perundangan di bidang pajak antara lain Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah,
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-
6
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah.
Kemudian pada tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Restribusi Daerah menggantikan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 menyatakan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib oleh pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan secara langsung yang digunakan untuk
keperluan daerah bagi kemakmuran rakyat. Pajak terdiri dari pajak provinsi
dan kabupaten dan kota, yaitu:
a. Pajak provinsi meliputi: (1) Pajak Kendaraan Bermotor, (2) Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, (4)
Pajak Air Permukaan dan (5) Pajak Rokok.
b. Pajak kabupaten dan kota meliputi: (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran, (3)
Pajak Hiburan, (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan, (7) Pajak Parkir, (8) Pajak Air Tanah,
(9) Pajak Sarang Burung Walet, (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan dan (11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
2. Restribusi Daerah
Dasar hukum restribusi daerah adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang No 34 Tahun 2000 dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Restribusi
Daerah. Restribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah
daerah kepada wajib restribusi atas pemanfaatan suatu jasa tertentu yang
disediakan pemerintah, dalam hal ini terdapat imbalan langsung yang dapat
dinikmati pembayar restribusi. Berbeda dengan pajak daerah yang bersifat
tertutup, dalam restribusi ini, pemerintah daerah diberi peluang untuk
menambah jenisnya namun harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Restribusi daerah terdiri atas 3 jenis, yaitu:
a. Restribusi Jasa Umum merupakan restribusi yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh pribadi atau badan.
b. Restribusi Jasa Usaha merupakan restribusi jasa yang disediakan oleh
pemerintah daerah yang menganut prinsip komersial karena dapat
disediakan oleh sektor swasta dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
yang layak.
c. Restribusi Perizinan Tertentu merupakan restribusi atas kegiatan pemerintah
daerah tertentu yang meliputi pemberian izin kepada pribadi atau badan
yang bertujuan untuk pengaturan dan pengawasan pemberian izin tersebut
guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang
Sah
Perusahaan daerah merupakan salah satu sumber PAD yang diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang signifikan, sehingga kemandirian
pemerintah daerah meningkat. Lain-lain PAD yang sah merupakan penerimaan
daerah yang diperoleh dari dinas daerah dan pendapatan lainnya yang diperoleh
secara sah. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,
pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
7
asing dan komisi, potongan seta bentuk lainnya merupakan jenis pendapatan
yang termasuk dalam lain-lain PAD yang sah.
Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang
bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan
daerah dan antar pemerintahan daerah. Dana Perimbangan diharapkan dapat
meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal. Dana
Perimbangan bersifat subtitusi terhadap PAD. Penerimaan Dana Perimbangan
bervariasi bergantung pada penerimaan PAD daerah tersebut. Penerimaan Dana
Perimbangan umumnya naik jika daerah tersebut menerima Dana Bagi Hasil dan
PAD yang rendah. Penerimaan Dana Perimbangan dapat turun, umumnya terjadi
pada daerah yang mengalami kenaikan PAD dan kapasitas fiskal yang berarti.
Penerimaan Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi khusus dapat mencapai angka 0 (nol), bukan karena tidak dihitung
melaikan hasil perhitungan menunjukkan nilai minus atau nol, umumnya terjadi
pada daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi karena memiliki penerimaan PAD
yang sangat tinggi. (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013). Sumbersumber Dana Perimbangan terdiri dari:
1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil merupakan dana yang berasal dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah menurut persentase untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil bersumber
dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak
menurut undang-undang adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan
(PPh) dan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh. Dana Bagi Hasil
yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan
pertambangan panas bumi.
2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Alokasi DAU dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. DAU untuk suatu daerah
dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Proporsi DAU antara
daerah provinsi dan kabupaten dan kota ditetapkan berdasarkan imbangan
kewenangan antara provinsi dan kabupaten dan kota.
3. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
8
nasional. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Penentuan
besarnya DAK dilakukan pemerintah dengan menetapkan beberapa kriteria dan
mempertimbangan kemampuan keuangan daerah, memperhatikan peraturan
perundang-undangan dan karakteristik daerah serta mempertimbangakan
kriteria teknis yang telah ditetapkan oleh kementrian negara atau departemen
teknis.
Lain-lain Pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana
Darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah
kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah.
Dana Darurat dialokasikan oleh pemerintah dimana dananya berasal dari APBN
untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional atau peristiwa
luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan
sumber APBD.
Kemandirian Keuangan Daerah dan Derajat Desentralisasi Fiskal
Kemampuan daerah dalam menjalani otonomi daerah dapat diukur dengan
kinerja keuangan daerah yang dapat dilihat dari kemandirian daerah dan derajat
desentralisasi fiskal. Kemandirian keuangan daerah merupakan gambaran
pemerintah daerah dalam hal ketergantungan daerah terhadap sumber dana
pemerintah pusat dan propinsi. Semakin tinggi kemandirian keuangan daerah,
maka ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah dan propinsi semakin
rendah. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah, dimana semakin tinggi kemandirian
keuangan daerah menggambarkan semakin tingginya pastisipasi masyarakat
dalam membayar pajak dan restribusi daerah. Pajak dan restribusi daerah
merupakan komponen dari PAD. Kemandirian keuangan daerah dapat
ditunjukkan dari perbandingan PAD dengan pendapatan yang berasal dari
pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal, maka
akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh. Desentralisasi fiskal merupakan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD untuk membiayai
pembangunan. Derajat desentralisasi fiskal yang tinggi mengindikasikan
pemerintah daerah telah mampu meningkatkan PAD dibandingkan pendapatan
lain pada pendapatan daerah. Jika rasio PAD tinggi akan mengurangi
ketergantungan pemerintah daerah pada penggunaan dana dari daerah pusat.
Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal
Teori Ekonomi Klasik yang dikemukakan Adam Smith menyatakan
pertumbuhan ekonomi bergantung pada pertumbuhan penduduk dengan kata lain
pertambahan penduduk akan meningkatkan output produksi. Teori Klasik ini
berkembang menjadi Teori Neoklasik dikemukakan oleh Harrod-Domar dan
Robert Solow. Model Harrod-Domar mengemukakan bahwa pertumbuhan
ekonomi sangat dipengaruhi oleh pembentukan modal oleh karena itu modal harus
9
dipakai secara efektif, sedangkan Solow mengembangkan model Harrod-Domar
ini menyatakan bahwa faktor tenaga kerja dan teknologi masuk ke dalam model
pertumbuhan, oleh karena itu pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian
kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal dan pemakaian
teknologi modern (Mankiw, 2007)
Pertumbuhan ekonomi adalah terjadinya pertambahan atau perubahan
pendapatan nasional (produksi nasional) dalam satu tahun tertentu, tanpa
memperhatikan pertumbuhan penduduk dan aspek lainnya. Pertumbuhan ekonomi
dalam pengertian makro adalah penambahan nilai Produk Domestik Bruto riil
(PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Menurut Mankiw (2007), PDB
sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian yang tujuannya
adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu selama
periode waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dari penggunaan
banyak tenaga tenaga kerja, tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per
kapita, namun jika pertumbuhan ekonomi dicapai dari penggunaan sumberdaya
yang lebih produktif, hal tersebut dapat menghasilkan pendapatan per kapita yang
lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat. Badan Pusat
Statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan
oleh suatu daerah dicerminkan untuk mencerminkan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Badan Pusat Statistik (2013), PDRB menyatakan pendapatan total
dan pengeluaran total daerah atas output barang dan jasa suatu daerah. PDRB
dapat dihitung dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar
harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggunakan harga pada tahun
berjalan, pada saat menilai produksi, biaya antara dan komponen nilai tambah
sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menggunakan harga barang dan jasa
pada tahun dasar, saat ini yang digunakan adalah harga konstan 2000. PDRB juga
dapat didefinisikan melalui tiga pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi dalam suatu wilayah atau region pada jangka waktu
tertentu (biasanya setahun).
2. Pendekatan Pendapatan
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang
ikut di dalam proses produksi di suatu wilayah atau region pada jangka waktu
tertentu (biasanya setahun).
3. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah semua pengeluaran untuk: (1) konsumsi rumah tangga
dan lembaga yang tidak mencari untung, (2) konsumsi pemerintah, (3)
pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor
neto, di suatu wilayah atau region pada suatu periode (biasanya setahun).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu pilar dalam memelihara
kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke
daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah. Hubungan
antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dianalisis oleh
para ekonom. Samimi et al. (2010) menyatakan bahwa penelitian dilakukan
karena pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai tujuan dari desentralisasi fiskal
10
dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya di sektor publik serta sebagai bagian dari
tujuan pemerintah secara eksplisit untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang
mengarah pada peningkatan pendapatan perkapita. Menurut Davoodi dan Zou
(1998), desentralisasi fiskal adalah bagian dari reformasi peningkatan efisiensi di
sektor publik dan peningkatan kompetisi antara pemerintah daerah dalam
pemenuhan kebutuhan publik yang dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Tiebout (1961) argumen ekonomi dasar yang mendukung
desentralisasi fiskal berdasarkan dua asumsi yang saling melengkapi yaitu
desentralisasi akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena pemerintah daerah
diposisikan lebih baik daripada pemerintah pusat dalam penyediaan pelayanan
publik sebagai hasil keuntungan informasi dan mobilitas penduduk serta
persaingan antara pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan publik akan
menjamin kecocokan preferensi masyarakat dan pemerintah daerah. Oates (1999)
menyatakan bahwa sistem desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah
memainkan peran yang lebih penting daripada pemerintah pusat dalam
penyediaan pelayanan publik akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
cepat.
Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan
Kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif
dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin yang
disebabkan karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum dapat
menjangkau masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai kurangnya
pemenuhan sumberdaya pokok untuk kesejahteraan, hal yang paling penting
adalah makanan, air, perumahan, tanah, kesehatan dan pendidikan. Garis
kemiskinan absolut tetap dalam hal standar hidup dan dapat membandingkan
kemiskinan secara umum (Todaro dan Smith, 2006)..
Menurut penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi menjadi kemiskinan
kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang
disebabkan faktor-faktor adat dan budaya daerah tertentu yang mengikat
seseorang sehingga tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Indikator
kemiskinan tersebut dapat setidaknya dikurangi dengan mengabaikan faktor adat
dan budaya yang menghambat perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih
baik. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi
struktur dan tatanan hidup yang tidak menguntungkan. Kemiskinan ini terjadi
karena ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang gagal
memperoleh akses untuk meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial
yang tidak adil (Badan Pusat Statistik, 2008).
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs) untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan menurut strategi
kebutuhan dasar (basic needs) ini merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat
mendasar. Semakin beragamnya pengukuran tingkat kemiskinan, maka World
Bank mengeluarkan standar garis kemiskinan pendapatan rendah US$ 1/hari,
dengan harga internasional yang disesuaikan dengan mata uang lokal dengan
11
purchasing power parities. Pendekatan kebutuhan dasar membagi 3 (tiga)
indikator kemiskinan antara lain:
1. Head Count Index (HCI)
Head Count Index merupakan persentase penduduk miskin yang berada di
bawah garis kemiskinan atau pengukuran tingkat kemiskinan dengan
menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi yang disertai
proverty gap.
2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Proverty Gap Index)
Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai
indeks yang tinggi menunjukan semakin jauhnya rata-rata pengeluaran
penduduk dari garis kemiskinan.
3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index)
Indeks Keparahan Kemiskinan merupakan gambaran penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin. Tingginya nilai indeks menunjukkan tingginya
ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Umumnya salah satu program prioritas pemerintah daerah adalah
mengurangi kemiskinan, oleh karena itu tujuan desentralisasi adalah pemerintah
dapat merespon lebih cepat kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan dasar
penduduk miskin. Sepulveda dan Vazques (2010) menemukan bahwa penurunan
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan dampak langsung
dan tidak langsung dari adanya kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah
daerah memiliki peranan penting melalui kebijakan yang terbuka dan langsung.
Kemiskinan dan Ketimpangan
Distribusi ukuran pendapatan merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, cara
mendapatkan penghasilan tidak dipermasalahkan. Rasio yang disebut sebagai
rasio Kuznets, sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua
kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang
sangat kaya di dalam suatu negara. Metode lainnya yang lazim dipakai untuk
menganalisis statistik pendapatan perorangan adalah dengan menggunakan kurva
Lorenz. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara
persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benarbenar diterima selama, misalnya satu tahun. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari
garis diagonal (yang merupakan pemerataan sempurna), semakin timpang atau
tidak merata distribusi pendapatannya (Todaro dan Smith, 2006).
Kasus eksterm dari ketidakmerataan yang sempurna akan diperlihatkan oleh
kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu
vertikal di sebelah kanan. Oleh karena tidak ada satu daerah pun yang
memperlihatkan pemerataan sempurna atau ketidakmerataan sempurna dalam
distribusi pendapatannya, semua kurva Lorenz dari setiap daerah akan berada di
sebelah kanan garis diagonal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Semakin
parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan suatu
12
daerah, maka bentuk kurva Lorenznya pun akan semakin melengkung dan
mendekati sumbuh horizontal bagian bawah (Todaro dan Smith, 2006).
Perangkat lain dan sangat mudah untuk mengukur derajat ketimpangan
pendapatan relatif di suatu negara adalah menghitung rasio bidang yang terletak
antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi empat di
mana kurva Lorenz itu berada. Rasio ini dikenal dengan koefisien Gini. Koefisien
Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkirasr antara nol
(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna) (Todaro dan Smith,
2006).
100
Persentase Pemerataan
Garis Pemerataan
Kurva Lorenz
0
Persentase Penerimaan Pendapatan
100
Gambar 3. Kurva Lorenz
Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Kuznetz menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi,
distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjtnya
distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal
segaia kurva Kuznets “U-terbalik” (Gambar 4), karena perubahan longitudinal
(time series) dalam distribusi pendapatan tampak seperti kurva berbentuk Uterbalik, seiring dengan naiknya pendapatan per kapita. Dewasa ini terdapat
banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahap-tahap awal
pembangunan, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian
membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya dengan tahapan
kondisi-kondiri dasar perubahan yang bersifat struktural. Model Lewis
menyatakan tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern
yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas
terhitung tinggi (Todaro dan Smith, 2006).
Kurva
Kuznets
dapat
dihasilkan
oleh
proses
pertumbuhan
berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan
perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisonal ke perekonomian
modern. Imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan
meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan
tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga
kerja terdidik akan meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik akan
13
menurun. Jadi, walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat
menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten
dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Beberapa ekonom
pembangunan berpendapat bahwa tahapa peningkatan dan kemudian penurunan
ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari.
(Todaro dan Smith, 2006).
Koefisien Gini
0.75
0.50
0.35
0.25
0
Pendapatan nasional bruto per kapita
Gambar 4. Kurva Kuznets U-Terbalik
Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan salah satu kemiskinan yang
perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif.
Kemiskinan juga dapat digambarkan dengan koefisien Gini sebagai salah satu
indikator pemerataan ekonomi. Koefisien Gini merupakan salah satu ukuran yang
sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara
menyeluruh.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang pelimpahan kewenangan
keuangan terhadap pemerintah daerah dan kaitannya dengan pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan. Akai dan Sakata (2002) melakukan penelitian untuk
mengetahui kontribusi desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Hasil
penelitian menyatakan bahwa perubahan kepada sistem desentralisasi fiskal oleh
negara sangat penting karena dapat menstimulasi pergerakan pertumbuhan
ekonomi negara. Samimi et al. (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis
hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Iran tahun
2001-2007 menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara
desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Iran.
Zhang dan Zou (1996) melakukan penelitian tentang dampak alokasi
pendapatan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di China.
Penelitian tersebut menemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Penemuan ini menunjukkan hasil yang berbeda
dengan asumsi umum bahwa desentralisasi fiskal biasanya memberikan kontribusi
14
yang positif terhadap pertumbuhan lokal. Kegagalan pembelanjaan pemerintah
untuk membuat pertumbuhan ekonomi yang cepat dikarenakan oleh kondisi
pembangunan China pada saat itu dimana pemerintah pusat terhambat oleh
sumberdaya yang terbatas melakukan investasi publik pada prioritas nasional.
Nanga (2006) menemukan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki
dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan
serta kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang
ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang
responsif terhadap perubahan dalam indeks Gini. Usman (2006) menemukan
bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan
perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal dapat menciptakan pemerataan
distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan
dengan arah koefisien negatif dan nyata. Rujukan penelitian terdahulu secara
ringkas disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Penelitian terdahulu
No
1
Penulis
Samimi, Lar
2
Zang, Zou
3
Amagoh, Amin
4
Akai, Sakata
5
Nguyen
Judul/Tahun
Hasil
Fiscal Decentralization Terdapat hubungan positif dan
and Economic Growth in hubungan
yang
mendekati
Iran. (2010)
signifikan antara desentralisasi
fiskal dan pertumbuhan ekonomi
di Iran.
Fiscal Decentralization,
Semakin
tinggi
derajat
Public Spending and
desentralisasi fiskal, pertumbuhan
Economic Growth in
ekonomi semakin rendah.
China.
(1996)
An Examination of the Desentralisasi berdampak positif
Impacts
of
Fiscal terhadap pertumbuhan ekonomi.
Decentralization
on
Economic Growth(2012)
Fiscal decentralization
Desentralisasi Fiskal memainkan
peran penting pada pertumbuhan
contributes
to economic growth:
ekonomi.
Dampak
dari
evidence from state-level desentralisasi fiskal berubah sesuai
cross-section
dengan sejarah, kebudayaan dan
data for the United tingkat pembangunan ekonomi.
States. (2002)
What is in it for the Kenaikan derajat desentralisasi
poor? Evidence from yang digambarkan dengan rasio
fiscal decentralization in pengeluaran daerah menyebabkan
penurunan pendapatan masyarakat
Vietnam. (2008)
miskin.
Kerangka Pemikiran
Pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai beberapa tujuan yaitu
kemandirian pengelolaan keuangan daerah, kemampuan keuangan daerah,
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka kemiskinan namun
15
dalam pelaksanaannya tujuan-tujuan ini sulit dicapai secara sempurna oleh daerah
otonom. Pelaksanaan desentralisasi fiskal masih terdapat beberapa daerah yang
memiliki kemandirian keuangan daerah yang semakin membaik namun tidak
selalu diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan angka
kemiskinan. Hal inilah yang menjadi acuan analisis untuk melihat pengaruh
kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan
kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Analisis perkembangan kemandirian
keuangan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten dilakukan secara deksriptif
untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik keuangan daerah masing-masing
kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Analisis Data Panel digunakan untuk
melihat pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi
dan kemiskinan. Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar
3.
Desentralisasi
Fiskal
Kemandirian
Pengelolaan.
Kemampuan
Keuangan
Peningkatan
Pertumbuhan
Ekonomi
Pengurangan
Angka
Kemiskinan
Masalah Tingginya
Ketergantungan
terhadap Dana Pihak
Ekstern
Masalah
Perbedaan
Pertumbuhan
Ekonomi daerah
Masalah
Tingginya
Angka Penduduk
Miskin
Analisis
Kemandirian
Keuangan kab
dan kota
Analisis
Pengaruh
Kemandirian
Keuangan
terhadap
Pertumbuhan
Analisis
Pengaruh
Kemandirian
Keuangan
terhadap
Kemiskinan
Analisis Deskriptif
\
Model Data Panel
Implikasi Kebijakan
Gambar 5. Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
1. Semakin tinggi rasio PAD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan
kemandirian keuangan daerah yang semakin baik, diduga akan meningkatkan
16
sehingga mendukung pembangunan daerah sehingga akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi serta mengurangi kemiskinan.
2. Semakin tinggi rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah
mencerminkan kemandirian keuangan daerah yang semakin menurun diduga
akan menurunkan kapasitas keuangan daerah kinerja yang mengurangi kinerja
pembangunan daerah sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi serta
meningkatkan kemiskinan.
3. Kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan dan kenaikan tingkat
pengangguran terbuka diduga akan mengurangi pembangunan ekonomi yang
akan meningkatkan kemiskinan.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis
data panel. Objek yang diteliti adalah 6 kabupaten dan kota di Provinsi Banten
pada tahun 2001 sampai 2011 dimana otonomi da