MENGEVALUASI HASIL BELAJAR MATEMATIKA SI

MENGEVALUASI HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA

  1 DALAM BERPIKIR KREATIF

  Oleh Tatag Yuli Eko Siswono

  Jurusan Matematika FMIPA UNESA Kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang perlu diberikan kepada siswa pada mata pelajaran matematika. Kenyataannya, kemampuan tersebut tidak menjadi fokus dalam pembelajaran karena pemahaman tentang kemampuan tersebut belum jelas, seperti apa berpikir kreatif itu, bagaimana mengajarkannya, bagaimana mengevaluasi atau menilai kemampuan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berusaha dijelaskan pada makalah ini.

  Pendahuluan

  Undang-undang RI no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Bab II, pasal 3). Dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa manusia yang kreatif menjadi tujuan dari pendidikan nasional, sehingga perlu ditanamkan pada setiap mata pelajaran termasuk matematika dan pada setiap jenjang pendidikan.

  Standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran matematika (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 mei 2006 tentang standar isi) juga menyebutkan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan berpikir logis adalah kemampuan untuk menarik simpulan yang sah berdasar aturan logika yang rasional dan valid. Kemampuan berpikir analitis adalah kemampuan untuk memilah-milah, memerinci, dan menguraikan suatu pengetahuan dengan cermat dan teliti untuk mendukung penyelesaian suatu masalah. Kemampuan berpikir sistematis adalah kemampuan untuk menganalisis suatu masalah dengan urutan, tahapan, langkah-langkah atau perencanaan yang tepat, efisien dan efektif. Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat dikatakan berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk memahami informasi yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir analitis diperlukan kemampuan berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi. Kemampuan bekerjasama adalah kemampuan yang bersifat afektif. Kemampuan bekerjasama antara lain kemampuan untuk berbagi tugas antar anggota, menghargai perbedaan antar anggota dan kelompok, 1 atau membantu penyelesaian tugas.

  Makalah Seminar Nasional dalam rangka PIMNUS (Pekan intelektual Matematika Nusantara) di Universitas Nusantara PGRI Kediri, 10 April 2010.

  Mengembangkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis maupun bekerja sama sudah lama menjadi fokus dan perhatian pendidik matematika di kelas, karena hal itu berkaitan dengan sifat dan karakteristik keilmuan matematika. Tetapi, fokus dan perhatian pada upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis maupun kreatif dalam matematika jarang atau tidak pernah dikembangkan. Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka seseorang akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif. Krulik & Rudnick (1995) membuat tingkatan penalaran yang merupakan bagian berpikir menjadi 3 tingkatan di atas pengingatan (recall). Tingkatan tersebut adalah berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir kreatif. Berpikir dasar adalah pemahaman dan pengenalan terhadap konsep-konsep matematis. Berpikir kritis adalah berpikir yang melibatkan kegiatan menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari masalah. Berpikir kreatif adalah pemikiran yang bersifat keaslian dan reflektif serta menghasilkan sesuatu yang kompleks dan “baru”. Karena sifat tingkat tersebut hierarkhis, maka bila seseorang dapat menunjukkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi seperti berpikir kreatif, maka kemampuan tersebut sudah menjangkau kemampuan dibawahnya, seperti kemampuan berpikir kritis atau kemampuan berpikir dasar. Berpijak pada asumsi tersebut, maka makalah ini hanya menfokuskan pada kemampuan berpikir kreatif.

  Kemampuan berpikir kreatif dalam matematika kurang dan bahkan tidak menjadi fokus pembelajaran karena adanya beberapa kendala seperti anggapan kreativitas hanya dimiliki oleh anak-anak yang berbakat luar biasa, tes-tes standar untuk evaluasi atau penilaian menekankan pada masalah-masalah konvergen yang jawabannya tunggal, masyarakat ataupun guru lebih menyukai prestasi matematika yang tinggi daripada kemampuan berpikir kreatif, karena membutuhkan waktu lama dan pada ujian akhir nasional tidak digunakan. Selain itu, karena memang informasi tentang berpikir kreatif belum banyak diketahui, seperti apa kemampuan berpikir kreatif atau kreativitas itu, bagaimana mendorong kreativitas siswa, bagaimana karakteristik kemampuan bepikir kreatif itu, bagaimana indikator untuk menilai berpikir kreatif itu, atau apakah mata pelajaran matematika memperhatikan kreativitas, bukankah itu untuk pelajaran seni? Kekurangpahaman tersebut bukan karena ketidakpedulian guru (calon guru), tetapi karena informasi tersebut belum diterima, tidak diberikan pada penataran-penataran, tidak diajarkan di bangku kuliah, atau juga tidak adanya buku atau jurnal yang membahas secara khusus untuk suatu pelajaran (dalam hal ini matematika). Melihat kondisi tersebut maka pada makalah ini akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kreatif, terutama pada aspek evaluasi atau penilaian berpikir kreatif.

  Berpikir Kreatif dan Kreativitas dalam Matematika Pengertian berpikir kreatif atau kreativitas sering saling dipertukarkan artinya.

  Pengertian masing-masing yang beraneka ragam juga sulit untuk dicari kesepakatannya. Isaksen (2003) menggambarkan 4 bidang kreativitas dalam diagram Venn untuk menekankan sifat hubungan dan pengertian kreativitas.

  Pendekatan untuk memahami kreativitas.

  Individu Proses Karakteristik

  

Operasi-operasi

orang performa

  Konteks Iklim, budaya,

  Produk Dorongan Manfaat

  (outcome) Gambar 1: Hubungan Pendekatan Kreativitas

  Isaksen menjelaskan bahwa apabila keempat pendekatan itu digunakan secara bersama, maka akan diperoleh keuntungan yang sangat besar dalam meninjau kreativitas atau tinjauannya semakin lengkap dan menyeluruh. Pengertian yang menekankan produk misalkan, Pehkonen (1997) menggunakan definisi Bergstom (ahli neurophysiologi) yang menyebutkan bahwa kreativitas merupakan kinerja (performance) seorang individu yang menghasilkan sesuatu yang baru dan tidak terduga (creativity as performance where the

  

individual is producing something new and unpredictable). Pengertian kreativitas yang

  menekankan pada aspek pribadi, misalkan Sternberg (dalam Munandar, 1999) yang disebut “three facet model of creativity”, yaitu “kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara 3 atribut psikologi, yakni intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi”. Intelegensi meliputi kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan pengambilan keputusan dan keseimbangan, dan integrasi intelektual secara umum. Gaya kognitif atau intelektual menunjukkan kelonggaran dan keterikatan pada konvensi, menciptakan aturan sendiri, melakukan hal-hal dengan cara sendiri, menyukai masalah yang tidak terlalu berstruktur, senang menulis, merancang dan ketertarikan terhadap jabatan yang menuntut kreativitas. Dimensi kepribadian atau motivasi meliputi kelenturan, toleransi, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan, keuletan dalam menghadapi rintangan dan pengambilan resiko yang sudah diperkirakan. Pengertian yang menekankan faktor pendorong atau dorongan secara internal, misalkan dikemukakan Simpson (dalam Munandar, 1999) bahwa kemampuan kreatif merupakan sebuah inisiatif seseorang yang diwujudkan oleh kemampuannya untuk mendobrak pemikiran yang biasa. Kreativitas tidak berkembang dalam budaya yang terlalu menekankan konformitas dan tradisi, dan kurang terbuka terhadap perubahan atau perkembangan baru. Pengertian yang menekankan proses, misalkan Solso (1995) menjelaskan kreativitas diartikan sebagai suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu masalah atau situasi. Dalam bermacam-macam definisi yang disebutkan di atas terdapat komponen yang sama, yaitu menghasilkan sesuatu yang “baru” atau memperhatikan kebaruan.

  Cropley (dalam Haylock, 1997) menjelaskan bahwa terdapat paling sedikit dua cara utama menggunakan istilah kreativitas. Satu sisi, kreativitas mengacu pada suatu jenis khusus dari berpikir atau fungsi mental yang sering disebut berpikir divergen. Sisi lain, kreativitas digunakan untuk menunjukkan pembuatan (generation) produk-produk yang dipandang (perceived) kreatif, seperti karya seni, arsitektur atau musik. Dalam pengertian pengajaran anak-anak di sekolah, Cropley cenderung pada istilah pertama tersebut dan mengambil pendirian bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mendapatkan ide-ide, khususnya yang bersifat asli (original), berdaya cipta (inventive), dan ide-ide baru (novelty). Pendefinisian ini menekankan pada aspek produk yang diadaptasikan pada kepentingan pembelajaran. Pengertian kreativitas dalam pembahasan ini ditekankan pada produk berpikir untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berguna. Jadi, kreativitas merupakan suatu produk berpikir (dalam hal ini berpikir kreatif) untuk menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu masalah atau situasi.

  Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Berpikir kreatif diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seorang untuk membangun ide atau gagasan yang Innovation Ltd, 2001).

  “baru” (Ruggiero, 1998; Evans, Tulisan ini akan menyebutkan secara saling tukar antara kreativitas dan berpikir kreatif dengan menekankan bahwa kreativitas adalah produk dari kemampuan berpikir kreatif atau berpikir kreatif menghasilkan suatu kreativitas.

  Dalam memandang berpikir kreatif terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika (Johnson, 2002), dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif (De Bono dalam Barak dan Doppelt, 2000). Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa berdasar fakta- fakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.

  Berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum. Bishop (dalam Pehkonen, 1997) menjelaskan bahwa seseorang memerlukan 2 model berpikir berbeda yang komplementer dalam matematika, yaitu berpikir kreatif yang bersifat intuitif dan berpikir analitik yang bersifat logis. Pandangan ini lebih melihat berpikir kreatif sebagai suatu pemikiran yang intuitif daripada yang logis. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif tidak didasarkan pada pemikiran yang logis tetapi lebih sebagai pemikiran yang tiba-tiba muncul, tak terduga, dan di luar kebiasaan.

  Pehkonen (1997) memandang berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktik pemecahan masalah, maka pemikiran divergen yang intuitif menghasilkan banyak ide. Hal ini akan berguna dalam menemukan penyelesaiannya. Pengertian ini menjelaskan bahwa berpikir kreatif memperhatikan berpikir logis maupun intuitif untuk menghasilkan ide-ide. Oleh karena itu, dalam berpikir kreatif dua bagian otak akan sangat diperlukan. Keseimbangan antara logika dan intuisi sangat penting. Jika menempatkan deduksi logis terlalu banyak, maka ide-ide kreatif akan terabaikan. Dengan demikian untuk memunculkan kreativitas diperlukan kebebasan berpikir tidak di bawah kontrol atau tekanan. Pandangan ini lebih mengarah pada pandangan kedua dalam pengertian berpikir kreatif.

  Pada pembahasan ini, berpikir kreatif dipandang sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru tersebut merupakan salah satu indikasi dari berpikir kreatif dalam matematika, yaitu dalam memecahkan dang mengajukan masalah matematika.

  Pemecahan dan Pengajuan Masalah Matematika

  Pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban. Pengajuan masalah (problem posing) matematika merupakan tugas yang meminta siswa untuk mengajukan atau membuat soal atau masalah matematika berdasar informasi yang diberikan, sekaligus menyelesaikan soal atau masalah yang dibuat tersebut. Pengajuan masalah dapat diberikan setelah atau sebelum siswa menyelesaikan suatu masalah matematika.

  Pemecahan masalah diajarkan dan secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika dan tertuang dalam kurikulum matematika, karena pemecahan masalah memiliki manfaat (Pehkonen,1997), yaitu: (1) mengembangkan keterampilan kognitif secara umum, (2) mendorong kreativitas, (3) pemecahan masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika, dan (4) memotivasi siswa untuk belajar matematika. Berdasar penjelasan tersebut, maka pemecahan masalah merupakan salah satu cara untuk mendorong kreativitas sebagai produk berpikir kreatif siswa.

  Pada Standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran matematika (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 mei 2006 tentang standar isi) disebutkan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Karena mencakup masalah yang divergen, maka pemecahan masalah yang dianjurkan dalam standar isi dapat digunakan dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.

  Selain pemecahan masalah, pendekatan pengajuan masalah juga dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa. Evans (1991) mengatakan bahwa formulasi masalah (problem formulation) dan pemecahan masalah menjadi tema-tema penting dalam penelitian kreativitas. Langkah pertama dalam aktivitas kreatif adalah menemukan (discovering) dan memformulasikan masalah sendiri. Penjelasan itu menunjukan bahwa secara umum kemampuan berpikir kreatif dapat dikenali dengan memberikan tugas membuat suatu masalah atau tugas pengajuan masalah.

  Tugas pengajuan masalah matematika banyak ragamnya. Terdapat tugas yang bersifat open-ended dengan meminta siswa menuliskan sebarang masalah yang dipikirkannya tanpa batas dari isi ataupun konteks matematika. Sebagai contoh dalam Leung (1997), Ellerton menunjukkan siswa Australia yang diminta menuliskan suatu masalah yang sulit dan Winograd menunjukkan siswa Amerika Serikat diminta membuat soal cerita.. Tugas lain bersifat semi-open dan berkaitan dengan persepsi subjek terhadap suatu masalah atau struktur matematika.

  Dunlap (2001) menjelaskan bahwa pengajuan masalah sedikit berbeda dengan pemecahan masalah, tetapi masih merupakan suatu alat valid untuk mengajarkan berpikir matematis. Moses (dalam Dunlap, 2001) membicarakan berbagai cara yang dapat mendorong berpikir kreatif siswa menggunakan pengajuan masalah. Pertama, memodifikasi masalah-masalah dari buku teks. Kedua, menggunakan pertanyaan- pertanyaan yang mempunyai jawaban ganda. Masalah yang hanya mempunyai jawaban tunggal tidak mendorong berpikir matematika dengan kreatif, siswa hanya menerapkan algoritma yang sudah diketahui.

  Kedua cara tersebut dapat digunakan secara efektif meningkatkan kemampuan berpikir kreatif (Siswono, 2005; Siswono & Novitasari, 2007; Siswono & Ekawati, 2009) Pada tahun 2008 dikembangkan pembelajaran yang menfokuskan pada kedua hal tersebut dinamakan model JUCAMA (pengajuan dan pemecahan masalah). Sintaks model tersebut ditunjukkan pada tabel berikut.

  

Fase Aktivitas/Kegiatan Guru

  

1. Menyampaikan tujuan dan Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi siswa,

mempersiapkan siswa. dan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks

kehidupan sehari-hari.

  

2. Mengorientasikan siswa pada Memberikan masalah yang sesuai tingkat perkembangan

masalah melalui pemecahan anak untuk diselesaikan atau meminta siswa mengajukan

atau pengajuan masalah dan masalah berdasar informasi ataupun masalah awal.

mengorganisasikan siswa Meminta siswa bekerja dalam kelompok atau individual

untuk belajar. dan mengarahkan siswa membantu dan berbagi dengan

anggota kelompok atau teman lainnya.

3. Membimbing penyelesaian Guru membimbing dan mengarahkan belajar secara secara individual maupun efektif dan efisien.

  kelompok.

  

4. Menyajikan hasil penyelesaian Guru membantu siswa dalam merencanakan dan

pemecahan dan pengajuan menetapkan suatu kelompok atau seorang siswa dalam

masalah. menyajikan hasil tugasnya.

  

5. Memeriksa pemahaman dan Memeriksa kemampuan siswa dan memberikan umpan

memberikan umpan balik balik untuk menerapkan masalah yang dipelajari pada

sebagai evaluasi. suatu materi lebih lanjut dan pada konteks nyata masalah

sehari-hari.

  Indikator Berpikir Kreatif sebagai Hasil Belajar

  Hasil belajar siswa umumnya hanya dikenal berupa kemampuan menjelaskan suatu konsep, melakukan operasi atau prosedur-prosedur, menyelesaikan suatu soal yang rutin atau menerapkan suatu konsep. Karena kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang juga perlu diberikan kepada siswa, maka penilaian hasil belajar yang menekankan kemampuan tersebut maupun evaluasinya perlu dipersiapkan. Penilaian untuk kemampuan berpikir kreatif dapat sekaligus menilai pemahaman konsep, penggunaan penalaran, pemecahan masalah, komunikasi, maupun sikap menghargai kegunaan matematika seperti tujuan mata pelajaran matematika bagi peserta didik.

  Untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif seseorang ditunjukkan melalui produk pemikiran atau kreativitasnya menghasilkan sesuatu yang “baru”. Munandar (1999) menunjukkan indikasi berpikir kreatif dalam definisin ya bahwa “kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban”. Pengertian ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif seseorang makin tinggi, jika ia mampu menunjukkan banyak kemungkinan jawaban pada suatu masalah. Semua jawaban itu harus sesuai dengan masalah dan tepat. Selain itu jawaban harus bervariasi. Misalkan anak diminta memikirkan penggunaan yang tidak lazim dari benda sehari- hari. Sebagai contoh “sapu ijuk”. Jika jawaban anak menyebut: untuk memukul ayam, main kuda-kudaan, untuk membuat rambut boneka, untuk menyumbat lubang, untuk menyaring air, atau membuat hiasan. Jawaban itu menunjukkan variasi atau keberagaman. Jika ia menyebut untuk membersihkan lantai, menyapu halaman, membersihkan langit-langit, atau mengambil sampah, maka jawaban tersebut tidak menunjukkan variasi meskipun banyak, karena semua menyangkut sapu ijuk untuk membersihkan sesuatu.

  Olson (1996) menjelaskan bahwa untuk tujuan riset mengenai berpikir kreatif, kreativitas (sebagai produk berpikir kreatif) sering dianggap terdiri dari dua unsur, yaitu kefasihan dan keluwesan (fleksibilitas). Kefasihan ditunjukkan dengan kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan masalah secara lancar dan cepat. Keluwesan mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa untuk memecahkan suatu masalah. Indikasi kemampuan berpikir kreatif ini sama denga n Munandar (1999) tidak menunjukan secara tegas kriteria “baru” sebagai sesuatu yang tidak ada sebelumnya. “Baru” lebih ditunjukkan dari keberagaman (variasi) atau perbedaan gagasan yang dihasilkan.

  Haylock (1997) mengatakan bahwa berpikir kreatif hampir dianggap selalu melibatkan fleksibilitas. Bahkan Krutetskii (1976) mengidentifikasi bahwa fleksibilitas dari proses mental sebagai suatu komponen kunci kemampuan kreatif matematis pada siswa-siswa. Haylock (1997) menunjukkan kriteria sesuai tipe Tes Torrance dalam kreativitas (produk berpikir kreatif), yaitu kefasihan artinya banyaknya respons (tanggapan) yang dapat diterima atau sesuai, fleksibilitas artinya banyaknya jenis respons yang berbeda, dan keaslian artinya kejarangan tanggapan (respons) dalam kaitan dengan sebuah kelompok pasangannya. Haylock (1997) mengatakan bahwa dalam konteks matematika, kriteria kefasihan tampak kurang berguna dibanding dengan fleksibilitas. Contoh, jika siswa diminta untuk membuat soal yang nilainya 5, siswa mungkin memulai dengan 6-1, 7-2, 8-3, dan seterusnya. Nilai siswa tersebut tinggi, tetapi tidak menunjukkan kreativitas. Fleksibilitas menekankan juga pada banyaknya ide-ide berbeda yang digunakan. Jadi dalam matematika untuk menilai produk divergensi dapat menggunakan kriteria fleksibilitas dan keaslian. Kriteria lain adalah kelayakan (appropriateness). Respons matematis mungkin menunjukkan keaslian yang tinggi, tetapi tidak berguna jika tidak sesuai dalam kriteria matematis umumnya. Contoh, untuk menjawab

  8 , seorang siswa menjawab 4. Meskipun menunjukkan keaslian yang tinggi

  tetapi jawaban tersebut salah. Jadi, berdasar beberapa pendapat itu kemampuan berpikir kreatif dapat ditunjukkan dari fleksibilitas, kefasihan, keaslian, kelayakan atau kegunaan. Indikator ini dapat disederhanakan atau dipadukan dengan melihat kesamaan pengertiannya menjadi fleksibilitas, kefasihan, dan keaslian. Kelayakan atau kegunaan tercakup dalam ketiga aspek tersebut. Silver (1997) menjelaskan hubungan kreativitas (produk berpikir kreatif) dengan pengajuan masalah dan pemecahan masalah. Menurutnya berdasar observasi, hubungan kreativitas terutama tidak hanya pada pengajuan masalah sendiri tetapi lebih kepada saling pengaruh antara pemecahan masalah dan pengajuan masalah. Keduanya, proses dan produk kegiatan itu dapat menentukan sebuah tingkat kreativitas dengan jelas. Dengan demikian, untuk melihat kemampuan atau tingkat berpikir kreatif tidak cukup dari pengajuan masalah saja, tetapi gabungan antara pemecahan masalah dan pengajuan masalah. Oleh karena itu, dalam pembelajaran keduanya perlu dimunculkan secara bersama-sama, atau bergantian.

  Silver (1997) menjelaskan bahwa untuk menilai kemampuan berpikir kreatif anak- anak dan orang dewasa sering digunakan “The Torrance Tests of Creative Thinking

  (TTCT)

  ”. Tiga komponen kunci yang dinilai dalam berpikir kreatif menggunakan TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas dan kebaruan (novelty). Kefasihan mengacu pada banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespons sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada perubahan-perubahan pendekatan ketika merespons perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide yang dibuat dalam merespons perintah.

  Pada pembahasan ini, kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa memberi jawaban masalah yang beragam dan benar, sedang dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa membuat masalah sekaligus penyelesaiannya yang beragam dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan

  

beragam, bila jawaban-jawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, seperti

  jenis bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Dalam pengajuan masalah, beberapa masalah dikatakan beragam, bila masalah itu menggunakan konsep yang sama dengan masalah sebelumnya tetapi dengan atribut-atribut yang berbeda atau masalah yang umum dikenal siswa setingkatnya. Misalkan seorang siswa membuat persegipanjang dengan ukuran berbeda, soal pertama menanyakan keliling persegi panjang dan soal kedua menanyakan luasnya. Fleksibilitas dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Fleksibilitas dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa mengajukan masalah yang mempunyai cara penyelesaian berbeda-beda. Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda- beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh individu (siswa) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, seperti bangun datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam bangun datar. Kebaruan dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa mengajukan suatu masalah yang berbeda dari masalah yang diajukan sebelumnya. Dua masalah yang diajukan berbeda bila konsep matematika atau konteks yang digunakan berbeda atau tidak biasa dibuat oleh siswa pada tingkat pengetahuannya. Ketiga indikator tersebut digunakan sebagai dasar pengkategorian karakteristik berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika.

  Dengan demikian untuk meninjau kemampuan berpikir kreatif, diperlukan suatu tugas minimal harus memenuhi ciri sebagai berikut.

  1. Berbentuk pemecahan masalah atau pengajuan masalah.

  2. Bersifat divergen dalam jawaban maupun cara penyelesaian, sehingga memunculkan kriteria fleksibilitas, kebaruan dan kefasihan.

  3. Berkaitan dengan lebih dari satu pengetahuan/konsep matematika siswa sebelumnya dan sesuai dengan tingkat kemampuannya, untuk memunculkan pemikiran divergen sebagai karakteristik berpikir kreatif.

  4. Informasi harus mudah dimengerti dan jelas tertangkap makna atau artinya, tidak menimbulkan penafsiran ganda dan susunan kalimatnya menggunakan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berikut contoh tugas yang merupakan gabungan pemecahan masalah dan pengajuan masalah untuk siswa kelas VII SMP.

  Alternatif Penyelesaian Masalah:

  12 cm 8 cm 19,2 cm 10 cm

  I II

  III

  I II

  I II

  I II

  10 cm 19,2 cm 19,2 cm 10 cm

  b. Gambarlah paling sedikit dua bangun datar lain yang luasnya sama dengan luas persegipanjang itu! c. Perhatikan satu bangun datar yang telah kamu buat pada bagian b. Tunjukkan cara yang berbeda untuk menemukan atau membuat bangun datar itu! d. Buatlah paling sedikit dua soal berbeda yang berhubungan dengan persegipanjang dan berikan penyelesaian soal yang kamu buat! e. Dari soal yang telah kamu buat, adakah yang penyelesaiannya lebih dari satu

cara? Jika ada, tunjukkan cara penyelesaian yang berbeda dari soal itu! Jika tidak,

buatlah soal lain yang penyelesaiannya lebih dari satu cara.

  a. Cara I: Luas : 12 x 8 = 96 cm 2 .

  a. Buatlah bangun datar yang luasnya sama dengan luas persegipanjang itu!

  Masalah Luas Persegipanjang Diketahui persegipanjang berikut.

  Cara III: Dengan memberikan tanda potongan/lipatan.

  Cara II: Dengan melipat atau membuat potongan dari gambar di atas (siswa benar- benar melipat/menggunting gambar).

  Keterangan: Dengan menggunakan analog cara di atas dapat dibuat bangun seperti jajargenjang, belah ketupat atau layang-layang.

  Luas segitiga = ½  a  t; Misal t = 10 cm, maka ½  a  t = 96; a = 19,2 cm Jadi segitiganya adalah:

  Segitiga yang luasnya 96 cm 2 .

  III Keterangan: Dengan menggunakan analog cara di atas dapat dibuat bangun seperti jajargenjang, belah ketupat atau layang-layang.

  b. Jawaban ada. Mungkin siswa dengan cara yang sama menghasilkan segitiga yang berbagai jenis. Siswa ini hanya memenuhi kefasihan, tetapi tidak baru. Jika siswa dengan cara yang “sama” atau berbeda menghasilkan bangun datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam bangun datar seperti gambar berikut: Maka ia dikatakan memenuhi kebaruan.

  c. Misalkan bangun datar yang diperhatikan adalah jajargenjang seperti cara II (Jawaban a). Siswa mencari dengan menggunakan rumus luas jajargenjang.

  L = a.t = 96 ; a = 8 cm dan t = 12 cm. Jadi luasnya sama.

  d. Soal 1: Berapakah luas persegipanjang itu? Jawab: L uasnya = (12 x 8) cm 2 = 96 cm 2 Soal 2: Berapakah keliling persegipanjang itu? Jawab: K = 2 (p + l) = 2 (12 + 8) = 40 cm Soal 3: Sebuah stiker berbentuk persegipanjang dengan ukuran (12 x 8) cm 2 digunakan untuk menutup ubin dengan tidak ada yang saling menumpuk yang luasnya 96 m 2 . Berapa banyak stiker yang digunakan? Jawab:

  Luas stiker = 12 x 8 = 96 cm 2 .

  Luas ubin = 96 m 2

= 96 x 10.000 = 960.000 cm

2 Banyak stiker adalah 960.000  96 = 10.000 buah.

  

Soal 4: Bila persegipanjang itu merupakan ukuran sebuah foto, berapa ukuran pigura

berbentuk persegipanjang yang digunakan untuk menempatkan foto itu?

Jawab: Cara I: (Dibuat sketsa dengan selisih panjang dan lebar sama)

Bila selisih dengan luar 1 cm, maka akan didapat gambar berikut.

panjang pigura = 1 + 12 + 1 = 14 cm lebar pigura = 1 + 8 + 1 = 10 cm. Jadi ukuran pigura adalah 10 cm x 14 cm.

  Cara II: (Analisis perhitungan) Ukuran foto: 12 cm x 8 cm Ukuran pigura harus lebih besar dari ukuran foto, misalkan 2 kali dari besar foto, sehingga ukurannya 2 x 12 x 8 = 192 cm 2 . Misalkan panjang dibuat 14 cm, maka lebarnya adalah 192 14 = 13 7 5 Jadi ukuran pigura adalah 14 cm x 13 7 5 cm. Cara III: (Sketsa dengan selisih yang tidak sama, sehingga bentuknya persegi) 12 cm

  8cm panjang pigura = 2 + 12 + 2 = 18 cm lebar pigura = 5 + 8 + 5 = 18 cm. Jadi ukuran pigura adalah 18 cm x 18 cm.

  Keterangan: Bila siswa membuat soal setipe dengan soal 1 dan 2, maka ia memenuhi kefasihan. Bila soal yang dibuat seperti 1 dan 3, 2 dan 4, atau 3 dan 4, maka siswa memenuhi kebaruan.

e. Alternatif jawaban seperti soal 4 di atas.

  Untuk menilai siswa kemampuan siswa digunakan penjenjangan kemampuan berpikir kreatif (Siswono, 2008) sebagai berikut.

  Tingkat Karakteristik Tingkat 4 Siswa mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan (Sangat Kreatif) atau kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah. Tingkat 3 Siswa mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau (Kreatif) kefasihan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah. Tingkat 2 Siswa mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam (Cukup Kreatif) memecahkan maupun mengajukan masalah.

  Tingkat 1 Siswa mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan (Kurang Kreatif) maupun mengajukan masalah. Tingkat 0 Siswa tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir (Tidak Kreatif) kreatif.

  Penjenjangan tersebut dapat menjadi rubrik penilaian dalam mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Pada rubrik tersebut akan terlihat bagaimana pemahaman konsep siswa yang ditunjukkan dengan ketepatan siswa menyelesaikan tugas. Karena tugas yang diberikan merupakan pemecahan masalah, maka fokus dalam pembelajaran sudah sesuai dengan tujuan dari mata pelajaran matematika.

  Penutup

  Indikator kemampuan berpikir kreatif yang dibahas ini meninjau pada aspek kefasihan, kebaruan, dan fleksibilitas dalam pemecahan masalah dan pengajuan masalah. Untuk mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif sebenarnya banyak indikator dan variasi yang dapat digunakan sesuai dengan pengertian dan konsep berpikir kreatif yang digunakan. Indikator ini lebih umum dan relatif lebih mudah digunakan, tetapi dalam menyusun tugas atau masalah perlu disesuaikan. Tugas harus benar-benar merupakan masalah bagi siswa, menantang, dapat dikerjakan, tidak terlalu kompleks, dan masalah yang divergen.

  Pada penerapannya aspek kebaruan maupun fleksibilitas merupakan kunci utama berpikir kreatif. Aspek kebaruan bukan berarti hal-hal yang benar-benar baru bagi siswa atau menemukan suatu metode penyelesaian yang baru. “Baru” di sini merupakan sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang umum dikenal atau melebihi tingkat pendidikan yang dimiliki siswa saat itu. Fleksibilitas juga merupakan komponen kunci yang menjadi ciri dari berpikir kreatif yang sulit dikembangkan secara mendadak. Pada penjenjangan kemampuan berpikir kreatif perbedaan peringkat yang lebih tinggi ditandai dengan penguasaan kedua kemampuan tersebut.

  Bagi para guru yang patut dicatat adalah bagaimana mengimplementasikan metode evaluasi atau penilaian ini secara kontinu, sehingga membiasakan siswa dengan masalah-masalah yang divergen yang sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Perlu kesadaran bagi pendidik matematika bahwa kemampuan berpikir kreatif itu penting dan merupakan kemampuan transferabel yang patut diberikan kepada peserta didik. Semoga bermanfaat.

  Daftar Pustaka Barak, Moses. & Doppelt, Yaron. (2000). Using Portfolio to Enhance Creative Thinking.

  The Journal of Technology Studies Summer-Fall 2000, Volume XXVI, Number nload 27 Desember 2004

  Dunlop, James. (2001). Mathematical Thinking.

  

nload 21 November 2003

Evans, James R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences.

  Cincinnati:South-Western Publishing Co. Haylock, Derek. (1997). Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren. http://www .fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download 6 Agustus 2002 Infinite innovation. Ltd. 2001. (2001). Creativity and Creative Thinking. http://www. brainstorming.co.uk/tutorials/ tutorialcontents.html. Download 13 April 2001 Isaksen, Scott G. (2003). CPS: Linking Creativity and Problem Solving.

  Download 22 Agustus 2004 Johnson, Elaine B. (2002).

  Contextual Teaching and Learning: What it is and why it’s here to stay. Thousand Oaks: Corwin Press,Inc

  Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching

  Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Needham Heights: Allyn

  & Bacon Krutetskii, V.A. (1976). The Psychology of Mathematical Abilities in Schoolchildren. Chicago: The University of Chicago Press Leung, Shukkwan S. (1997). On the Role of Creative Thinking in Problem posing.

  ZDM Volum 29 (June 1997)

  Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download 6 Agustus 2002 Munandar, S.C. Utami.(1999). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

  Olson, Robert W. (1996). Seni Berpikir Kreatif. Sebuah Pedoman Praktis. (Terjemahan Alfonsus Samosir). Jakarta: Penerbit Erlangga

  Pehkonen, Erkki (1997). The State-of-Art in Mathematical Creativity.

  ZDM Volum 29 (June 1997)

  Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download 6 Agustus 2002 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Isi.

  Ruggiero, Vincent R. (1998). The Art of Thinking. A Guide to Critical and Creative Thought. New York: Longman, An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Silver, Edward A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing.

  ZDM Volum 29 (June 1997)

  Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download 6 Agustus 2002 Siswono, Tatag Y. E. (2005). Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah.

  Jurnal terakreditasi “Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains”, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun X, No. 1, Juni 2005.

  ISSN 1410-1866, hal 1-9. Siswono, Tatag Y.E., Novitasari, Whidia. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir

  Kreatif Melalui Pemecahan Masalah tipe ”What’s Another Way”. Jurnal

  Pendidikan Matematika “Transformasi”. ISSN 1978-7847, Volume 1 Nomer 1 Oktober 2007, hal. 45-61

  Siswono, Tatag Y. E., Ekawati, Rooselyna (2009). Implementasi Pembelajaran

  Matematika Berorientasi Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. Laporan Penelitian Strategi Nasional. Surabaya: Lembaga

  Penelitian Unesa Siswono, Tatag Y. E. (2008). Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif.

  Surabaya: University Press Unesa. Solso, Robert L. (1995). Cognitive Psychology. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta Penjelasan.