Identifikasi Masalah Kerangka Konseptual

CP. 53 penduduk ataupun pengunjung kota Bandung, sama-sama menyumbang permasalahan sampah, polusi dan kemacetan di kota Bandung. Oleh karena itu penelitian ini dibuat untuk melihat perbedaan antara place identity, place dependence, dan place-based affect pada mahasiswa yang melakukan community participation di kota Bandung, serta telah tinggal menetap kurang dari setahun, 1-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun.

II. Identifikasi Masalah

Bagaimanakah place identity, place dependence, dan place-based affect pada mahasiswa yang melakukan community participation di kota Bandung, serta telah tinggal menetap kurang dari setahun, 1-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun.

III. Kerangka Konseptual

Place attachment merujuk pada ikatan emosional atau afektif individu terhadap suatu area atau tempat. Place attachment cenderung tinggi pada individu yang lebih tua dan mereka yang telah lama tingggal di suatu area, dan juga bagi mereka yang merasa adanya jaringan sosial yang kuat di area tersebut kohesif serta tingkat kriminalitas yang rendah. Place attachment memiliki dua bentuk yaitu place identity emotional attachment dan place dependence functional attachment. Emotional Attachment merujuk pada perasaan, mood dan emosi individu terhadap tempat tertentu sebagai dampak dari kemampuan lingkungan untuk mendukung self identity dan self esteem, yang membuat individu merasa unik atau berbeda dengan orang lain. Place identity merupakan bagian dari self identity, karena individu mengembangkan identitasnya melalui identifikasi terhadap sekelompok orang di tempat tertentu Place identity adalah investasi psikologis terhadap suatu tempat yang terus berkembang sepanjang waktu, terutama melalui interaksi sosial dalam komunitasnya yang akan menumbuhkan sense of belonging Livingston, Bailey and Kearns, 2008. Oleh karenanya place identity merupakan makna simbolik dari suatu tempat bagi individu Kyle et al. 2005, dalam Harmon 2006. Terdapat tiga prinsip identitas yang akan terpenuhi melalui place attachment. Pertama, distinctiveness yaitu individu melakukan identifikasi terhadap tempat untuk membedakan dirinya dari orang lain. Kedua, continuity yaitu keinginan individu untuk mempertahankan hubungannya dengan suatu tempat karena berkaitan dengan masa lalunya, tindakan dan pengalamannya, dan menjadi rujukan untuk membandingkan dirinya pada suatu waktu. Ketiga, self esteem yaitu upaya individu untuk mempertahankan evaluasi positif terhadap dirinya, perasaan keberhargaan melalui seperangkat atribut dari suatu tempat. Hal ini membuat individu memiliki perasaan yang menyenangkan terhadap dirinya sendiri berdasarkan penilaiannya terhadap status relatifnya pada suatu area. Melalui CP. 54 penilaiannya ini individu memperoleh sense of belonging dan tujuan dari tempat tersebut, yang memberikan arti bagi kehidupannya. Proses ini mereka alami secara tidak disadari, melibatkan unsur afektif, pengetahuan, beliefs, perilaku dan tindakan. Place identity akan lebih kuat terbentuk pada individu yang telah lama tinggal ataupun lahir di kota Bandung, karena kelekatan identitas bahwa “saya adalah orang Bandung” membuat individu memiliki identitas yang unik dibandingkan orang lain yang berperan sebagai pengunjung atau pendatang di kota Bandung. Dimensi kedua dari place attachment adalah place dependence functional attachment yaitu kesempatan yang diberikan suatu tempat untuk pemenuhan tujuan dan kebutuhan beraktivitas Stokols and Schumaker 1981,dalam Harmon 2006. Jika individu memiliki hubungan yang berkelanjutan dengan suatu tempat karena menetap atau berkali- kali berkunjung dan hal ini mendukung tujuan dan aktivitas yang sangat bernilai bagi individu, maka individu akan membentuk keterikatan dengan tempat tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Giulani 2003, dalam Livingston, Bailey and Kearns, 2008 bahwa kuat tidaknya ikatan individu dan lingkungan ditentukan oleh adanya kesesuaian antara kebutuhan fisik dan psikologis dan sumber fisik dan sosial dari lingkungan, evaluasi individu terhadap situasi saat ini tempat yang ditinggali saat ini dibandingkan berbagai alternative dan kemungkinan yang ada. Para pendatang ke kota Bandung dapat saja membentuk place dependence yang kuat, mengingat sumber daya di kota Bandung yang cukup dapat memenuhi kebutuhan individu baik dalam segi pendidikan, hiburan, maupun pekerjaan. Sementara itu dalam penelitiannya Harmon, Zinn,dan Gleason 2006 mengkonstruksi Place-based affect untuk mengukur keterikatan emosional tersebut sebagai perasaan positif atau negative individu terhadap tempat tertentu Rosenberg 1960, dalam Harmon 2006. Dimensi afektif dari keterikatan terhadap tempat termasuk mengenang kembali, mengingat-ingat, dan merasa memiliki tempat tersebut. Kelekatan emosional pada suatu area menjadi salah satu alasan penting seseorang kembali ke suatu tempat CantrillMyers, 2003. Dimensi afektif merupakan hal utama dari pengalaman akan suatu tempat. Pengalaman ini termasuk fenomena yang disebut sense of place, connection to nature bahkan Tuan 1974, dalam CantrillMyers, 2003 menggunakan istilah topophilia untuk menggambarkan kecintaan terhadap suatu tempat, yaitu kecenderungan orang untuk mencari tempat yang dirasakannya aman dan nyaman. Individu bahkan dapat menolak kesempatan berkarir hanya karena tidak ingin pergi dari lingkungan yang dianggapnya nyaman dan aman. Keterikatan dengan lingkungannya dapat membuat individu mempertahankan bahkan memperbaiki kondisi lingkungannya, memiliki kesediaan bertindak, atau hanya sekedar tinggal di lingkungan tersebut Pretty, et al, 2003, dalam ManzoPerkins, 2006. Penelitian Vaske dan Kobrin 2001 dalam Harmon et.al, 2006 menemukan bahwa individu akan CP. 55 bertingkah laku melindungi terhadap tempat yang ia rasakan memiliki keterikatan. Individu akan berpartisipasi dalam komunitasnya baik dalam menjaga lingkungan atau turut aktif pada kegiatan di komunitasnya. Menurut Stern 2000, terdapat empat tipe perilaku peduli lingkungan yaitu environmental activism, nonactivist behavior in the public sphere, private- sphere environmentalism, dan behaviors in organizations. Environmental activism terlihat dari perilaku individu yang aktif terlibat dalam organisasi lingkungan hidup bahkan demonstrasi- demostrasi tentang lingkungan hidup. Sementara nonactivist behavior in the public sphere terlihat dari kesediaan individu untuk masuk menjadi anggota organisasi lingkungan hidup, membuat petisi terhadap isu-isu lingkungan hidup, mendukung dan menerima kebijakan- kebijakan publik, mau membayar pajak lebih demi perlindungan lingkungan hidup. Meskipun perilaku ini tidak langsung berdampak pada lingkungan hidup, efeknya cukup luas karena kebijakan publik dapat mengubah banyak orang dan organisasi. Selanjutnya private-sphere environmentalism terlihat dari perilaku individu dalam membeli, menggunakan, dan membuang produk-produk pribadi atau rumah tangga yang memiliki dampak pada lingkungan hidup. Misalnya membeli atau menggunakan barang- barang yang hemat energi, ramah lingkungan, membeli produk recycle atau makanan organik. Perilaku ini berdampak langsung pada lingkungan meskipun hanya kecil, sehingga hanya dalam agregratnya perilaku ini baru memiliki dampak yang signifikan bagi kebaikan lingkungan hidup. Tipe terakhir yaitu behaviors in organizations adalah perilaku individu untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan organisasi di mana mereka berada, misalnya seorang insinyur dapat membangun dan mendesain bangunan yang ramah lingkungan atau tidak. Desain ini dapat berdampak berikutnya pada keputusan dari kontraktor, developer, bahkan para mandor dan buruhnya. Keputusan insinyur ini memiliki dampak yang cukup besar karena organisasi adalah sumber terbesar dari banyaknya masalah lingkungan hidup yang terjadi.

IV. Hasil penelitian