Transpor Mukosilia KAJIAN PUSTAKA

Sel goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus lainnya, sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada sinus paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus paranasal sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia Passali dkk, 2005. Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat Stierna, 2001.

2.2 Transpor Mukosilia

Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi di mana bahan partikel berjalan sepanjang permukaan kavum nasi melalui transpor mukosilia disebut dengan waktu transpor mukosilia Probst dkk, 2006. Bentuk sitoskeleton sel silia dan aktivitas dynein memungkinkan terjadinya gerakan silia pada epitel respiratorius secara metachronous. Silia bekerja menggerakkan sekresi mukus dari sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung menuju nasofaring secara mekanik untuk membersihkan udara inspirasi. Ujung silia dalam keadaan tegak akan masuk sepenuhnya menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah esofagus. Lapisan cairan perisilia di bawahnya yaitu cairan yang kurang viskus beserta partikel yang terlarut didalamnya juga dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas Ballenger, 2003. Kecepatan transpor mukosilia sangat bervariasi. Pada orang sehat partikel yang ada pada palut lendir dipindahkan oleh silia yang aktif dengan kecepatan 3- 25 mmmenit dan rata-rata 6 mmmenit. Adanya infeksi dapat menghambat sistem transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus misalnya virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV juga menghambat transpor mukosilia dengan mengubah ultrastruktur aksonemal atau bahan viskoelastik pada palut lendir Ballenger, 2003. 2.2.1 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Waktu Transpor Mukosilia Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a faktor eksternal yaitu struktur kimia partikel yang diangkut, b faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak dengan larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi dan c faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus Passali dkk, 2005; Ballenger, 2003. Karakteristik silia meliputi struktur, jumlah dan koordinasi pergerakan silia sedangkan karakteristik mukus yaitu jumlah yang disekresikan dan sifat viskoelastiknya merupakan komponen penting agar silia dapat berfungsi secara efektif Ramon, 1999; Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006. 1.2.2.1 Kelainan kongenital Kelainan kongenital seperti diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan lengan dynein, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal. Uji sakarin pada penderita ini adalah lebih dari 60 menit Al-rawi dkk 1998. Sindrom kartagener merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi gangguan koordinasi gerakan siia sehingga terjadi gangguan transpor mukosilia. Jang dkk 2002 menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu transpor mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi yang diduga akibat hilangnya silia, proses inflamasi dan berkurangnya jumlah kelenjar. 2.2.2.2 Suhu dan kelembaban udara Aktivitas silia dapat terganggu pada penurunan kelembaban, penurunan suhu atau kohesi pada permukaan mukosa yang saling berhadapan Walsh dan Kern, 2006. Adrenergik β 2 agonis dapat meningkatkan frekuensi gerakan silia, sedangkan adrenergik  2 menghambat frekuensi gerakan silia Ballenger, 2003. Penelitian Salah dkk 1988 menyatakan bahwa subjek penelitian yang bernapas dalam udara kering mengalami pemanjangan transpor mukosilia Hal ini disebabkan oleh perubahan sifat reologis mukus pada udara kering. 2.2.2.3 Paparan debu Soemadi dkk 2009 menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung pada pekerja yang terpapar debu kayu lebih panjang. Paparan kronis dari debu kayu dapat menyebabkan gangguan pada transpor mukosilia hidung. Black dkk. pada tahun 1974 melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung pada pekerja pabrik kayu di Inggris yang terpapar debu kayu selama lebih dari 10 tahun. 2.2.2.4 Umur Penelitian Ho dkk, 2001 tentang transpor mukosilia hidung, Ciliary Beat Frequency CBF serta ultrastruktur silia pada relawan sehat umur 11 - 90 tahun, menemukan ada hubungan antara waktu transpor mukosilia dengan pertambahan umur. Melalui hasil pemeriksaan mikroskop elektron terlihat peningkatan kekacauan miokrotubulus silia sejalan dengan bertambahnya umur. Subjek yang berumur diatas 40 tahun mengalami penurunan CBF yang bermakna dengan waktu transpor mukosilia memanjang dibanding dengan mereka yang berumur lebih muda. 2.2.2.5 Indeks massa tubuh Penelitian oleh Valdez dan Cruz, 2009 untuk mengetahui apakah transpor mukosilia dipengaruhi oleh indeks massa tubuh yang abnormal pada orang dewasa umur 18 - 33 tahun, menyimpulkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan waktu transpor mukosilia hidung. 2.2.2.6 Paparan asap rokok Özler dkk. 2014 dalam penelitiannya terhadap efek perokok pasif dan aktif yang sedikitnya terkena paparan asap rokok selama tiga tahun terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa terdapat pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung secara signifikan pada perokok pasif dan aktif bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian mengenai transpor mukosilia memakai metode sakarin dan pemeriksaan CBF in vitro pada perokok dan bukan perokok memperlihatkan adanya perbedaan CBF rata - rata atau waktu transpor mukosilia rata - rata yang bermakna. Pada perokok kronis kelainan transpor mukosilia bukan disebabkan oleh CBF yang melambat tapi mungkin karena berkurangnya jumlah silia atau perubahan viskoelastisitas mukus. 2.2.2.7 Diabetes mellitus Penelitian Selimoglu dkk, 1999 tentang adakah perubahan waktu transpor mukosila terkait dengan diabetes mellitus, menyatakan bahwa pemanjangan waktu transpor pada penderita diabetes mungkin disebabkan oleh menurunnya aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangya air dan elektrolit, serta akibat perubahan metabolisme karbohidrat. 2.2.2.8 Infeksi dan rinitis alergi Yadav dkk, 2003 menyatakan bahwa kecepatan transpor mukosilia hidung pada penderita rinitis alergi menurun akibat sekresi hidung yang bersifat alkali, yang mana merupakan kondisi ideal bagi fungsi silia. Walaupun demikian hal sebaliknya terjadi pada kasus rinitis alergi yang sangat lama, berkaitan dengan perubahan sifat reologi mukus hidung. Pengaruh infeksi hidung sinus paranasal kronik terhadap waktu transpor mukosilia telah diselidiki oleh Majima dkk. Penelitian tersebut meneliti viskoelastisitas mukus penderita sinusitis kronis dan menyimpulkan bahwa viskoelastisitas mukus yang mukopurulen lebih tinggi dibanding dengan yang mukoid, selanjutnya menyebabkan gangguan transpor mukosilia Majima dkk, 1993. 2.2.2 Pemeriksaan Fungsi Mukosilia Efektivitas fungsi mukosilia didasarkan pada hubungan fungsional antara tiga komponen yaitu mukus, gerakan silia dan cairan perisilia Probst dkk, 2006. Ada dua metode yang telah digunakan untuk mengevaluasi aktivitas silia pada mukosa nasal yaitu: metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung menggunakan stroboscopy, roentgenography, maupun teknik photoelectron yang membutuhkan tehnologi canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masing- masing pelayanan kesehatan. Sedangkan metode tidak langsung misalnya uji sakarin atau penggunaan 99m Tc-MAA, merupakan pemeriksaan yang aman, mudah, cepat dan dapat dipercaya untuk menilai transpor mukosilia. Uji sakarin lebih mudah dikerjakan dan tidak membutuhkan bahan dan alat yang mahal Naxakis dkk, 2009. Oleh karena ketersediaannya dan mudah dikerjakan uji sakarin telah dikenal sebagai alat skrining yang paling bermanfaat terhadap dismotilitas silia dan untuk mengevaluasi transpor mukosilia Ramon dkk, 1999. 2.2.2.1 Uji Sakarin Prinsip uji sakarin dan pemeriksan dengan zat pewarna adalah menghitung waktu yang diperlukan untuk sakarin atau zat pewarna yang diletakkan di belakang ujung anterior konka inferior untuk mencapai rongga faring Ballenger, 2003. Pada uji sakarin, 1 mm tablet sakarin diletakkan sekitar 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia skuamosa dengan menggunakan forsep kecil. Pasien diminta tetap bernapas biasa melalui hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum. Kemudian pasien diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan melaporkan jika merasakan suatu rasa di tenggoroknya. Rasa alamiah tersebut tidak diberitahukan kepada pasien sehingga pasien dapat ditanyakan mengenai kualitas sensasi tersebut. Variasi lain adalah dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan menggunakan Evans blue, sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004. Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan uji sakarin Scadding dan Lund, 2004 a. Forsep aligator dan tablet sakarin b. Sakarin diletakkan kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior Valia dkk. 2008 menyatakan bahwa uji sakarin merupakan suatu pengukuran yang reprodusibel karena pengulangan uji sakarin pada subjek yang sama pada suatu interval waktu tertentu tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada Wilcoxon T test dengan p = 0,28. Penelitian Corbo dkk. 1989 menunjukkan bahwa reprodusibilitas uji sakarin adalah baik yang ditunjukkan dengan konsistensinya yang baik antara pengulangan pengukuran dengan nilai interclass correlation coefficient atau Ri=0,80 dan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan antara dua pengukuran tersebut. Penelitian Leung dkk. 2014 menyatakan bahwa lama waktu bersihan mukosilia hidung pada sebagian besar subjek normal adalah 10 menit. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Munir 2010 yang menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit.

2.3 Mekanisme Pertahanan Tubuh

Dokumen yang terkait

Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Perokok Dan Bukan Perokok

2 89 87

Analisis Perbedaan Gangguan Faal Paru Pada Pekerja Bagian Produksi Dengan Bagian Administrasi Akibat Paparan Debu Asap Di Pabrik Gula Malang

0 13 23

Bagian HIDUNG

0 7 1

HUBUNGAN KEPATUHAN INSTRUKSI KERJA DENGAN PERILAKUAMAN PEKERJA BAGIAN PRODUKSI DI PT ANEKA Hubungan Kepatuhan Instruksi Kerja Dengan Perilaku Aman Pekerja Bagian Produksi Di PT Aneka Adhilogam Karya, Ceper, Klaten.

1 2 16

PERBEDAAN TINGKAT KELELAHAN SUBYEKTIF ANTARA SHIFT PAGI DAN MALAM PADA PEKERJA BAGIAN PRODUKSI Perbedaan Tingkat Kelelahan Subyektif Antara Shift Pagi Dan Malam Pada Pekerja Bagian Produksi Pengolahan Beton Di PT. Wijaya Karya Beton Tbk Kabupaten Boyola

0 2 17

PERBEDAAN TINGKAT KELELAHAN SUBYEKTIF ANTARA SHIFT PAGI DAN MALAM PADA PEKERJA BAGIAN PRODUKSI Perbedaan Tingkat Kelelahan Subyektif Antara Shift Pagi Dan Malam Pada Pekerja Bagian Produksi Pengolahan Beton Di PT. Wijaya Karya Beton Tbk Kabupaten Boyol

0 11 16

PERBEDAAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI DAN KARYAWAN BAGIAN ADMINISTRASI DI PABRIK Perbedaan Arus Puncak Ekspirasi Karyawan Bagian Produksi Dan Karyawan Bagian Administrasi Di Pabrik Tekstil Safrijunie Textindo Banyudono Boyolali.

0 0 14

PERBEDAAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI DAN KARYAWAN BAGIAN ADMINISTRASI DI PABRIK Perbedaan Arus Puncak Ekspirasi Karyawan Bagian Produksi Dan Karyawan Bagian Administrasi Di Pabrik Tekstil Safrijunie Textindo Banyudono Boyolali.

0 0 15

PERBEDAAN TRANSPOR MUKOSILIA PADA PEMBERIAN LARUTAN SALIN HIPERTONIK DAN ISOTONIK PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK.

0 0 7

Pengaruh cuci hidung terhadap gejala, transpor mukosiliar, dan eosinofil hidung pada pekerja pabrik kayu

0 0 11