Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Perokok Dan Bukan Perokok

(1)

i

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG

PADA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh :

RACHMAD DERMAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

MEDAN 2010


(2)

ii

Lembaran Pengesahan

Tanggal September 2010

Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh: Pembimbing 1

dr.Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL NIP: 140 125 328

Pembimbing 2

dr. Siti Nursiah,Sp.THT-KL NIP:

Pembimbing 3

dr. Hj. Hafni, Sp.THT-KL (K) NIP:

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) NIP: 130 517 523


(3)

iii

Medan, September 2010

Tesis dengan judul

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK

Diketahui Oleh :

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof.dr.A. Rachman Saragih,Sp.THT-KL(K) Prof.dr.Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh pembimbing Ketua

dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL

Anggota


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah, Kepala Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Surnatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dan sempurna baik isi maupun bahasannya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang perbedaan waktu transportasitasi mukosiliar pada perokok dan bukan perokok.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Rektor Universitas Surnatera Utara Prof. DR. Syahril Pasaribu, dr, Sp.A (K), DTM & HMSc (CTM) dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A (K), DTM & H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.


(5)

v

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah Siregar, dr, Sp.PD-KGEH dan mantan dekan Prof. T. Bahri Anwar, dr, Sp.JP(K) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis di Fakultas ini.

Yang terhormat Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini.

Yang terhormat Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K), sebagai Ketua Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan, pengarahan, nasehat, motivasi dan dorongan semangat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-I di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, atas petunjuk, bimbingan dan nasehat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL sebagai Ketua Pembimbing dan dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL serta dr. Hj. Hafni , Sp.THT-KL (K) sebagai anggota pembimbing, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian, motivasi, serta bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.


(6)

vi

Yang terhormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada guru-guru saya di jajaran THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Ramsi Lutan, dr, Sp.THT-KL (K), dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K), dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hj.Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H, Sp.THT-KL, dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL,

dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf A, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T.Siti Hajar

Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, KL, dr. Devira Zahara, KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, Sp.THT-KL, dr. Ferry Ferian, Sp.THT-Sp.THT-KL, M.Kes yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL, baik secara teori maupun ketrampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari. Tiada kata yang dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih atas pendidikan dan pengajaran yang telah diberikan kepada saya dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan dan ilmu yang diberikan kepada saya.

Yang terhormat Bapak Ketua Departemen/Staf Radiologi FK USU/ RSUP H. Adam Medan, Ketua Departemen/ Staf Radiologi RS. Materna Medan, Ketua Departemen/Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU/


(7)

vii

RSUP H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen/Staf Patologi Anatomi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase pendidikan di Departemen tersebut. Saya mengucapkan terima kasih.

Yang terhormat Direktur dan seluruh staf THT-KL di RSUD Lubuk Pakam, RS PTP II Tembakau Deli Medan, Rumkit DAM-I/ Bukit Barisan Medan dan RSU Haji Mina Medan serta RSUD dr. F.L.Tobing Kota Sibolga, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase pendidikan di rumah sakit tersebut.

Yang Mulia Ayahanda Achmad Main(Alm) dan Ibunda Rohani HS, ananda ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan segala perjuangan yang tiada henti dengan penuh kasih sayang dalam mengasuh, membesarkan dan membimbing semenjak kecil hingga ananda dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada agama, orang tua, bangsa dan negara. Doa ananda semoga Allah SWT memberi kebaikan yang berlipat ganda, mengampunkan segala dosa, serta mengasihi Ayahanda dan Ibunda seperti Ayahanda dan Ibunda yang telah mengasihi dan menyayangi ananda sejak kecil. Amin ya Rabbal Alamin.

Yang terhormat Bapak mertua Abdullah Umar (Alm) dan Ibu mertua Nurlian, yang selalu memberikan dorongan dan restu untuk mununtut ilmu setinggi-tingginya.

Ungkapan cinta kasih yang tulus kepada Istriku Lusiana,SE serta buah hati kami tersayang Muhammad Iqbal Alfattan dan Muhammad Farhan yang


(8)

viii

dengan penuh kesabaran, dan ketabahan terus mendampingi Ayahanda selama menjalani pendidikan. Dukungan, cinta kasih dan doa yang selalu kalian panjatkan merupakan semangat bagi Ayahanda dalam menghadapi semua rintangan dan cobaan dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Terima kasih juga saya tujukan kepada kakak saya, Rita Andriati, Amd, Ir. Yuniar Sahara, MSi, dan Arsul Effendi,SE, Abang / kakak/ adik ipar, Ir. Amirtua Bancin, Heliani Krisanty, S.P, Yuliana, Amd, Luthfi, SE (Alm), Mirza Irwansyah Putra, SE, seta keponakanku Rizkika Putri, Molina Sari, Muhammad Juanda, Muhammad Fariz, Muhammad Kadafi, Meiriska Salsabila, Alfi Iftikhar dan Putri Balqis atas dukungan yang telah diberikan selama ini. Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidlikan keahlian Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala Leher yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga clapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.

Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama selama saya menjalani pendidikan ini saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.


(9)

ix

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, bimbingan, motivasi, dan kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal Alamin

Medan, Juni 2010

dr. Rachmad Dermwan


(10)

x

ABSTRAK

Pendahuluan : Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir yang membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratorius yang kemudian dikenal sebagai sistem mukosiliar. Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan sinus paranasal tergantung dari clearance mukosiliar. Agar tercapainya tujuan tersebut, transportasitasi mukosiliar harus baik. Untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dipergunakan uji sakarin.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasitasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

Metode : menggunakan metode observasional dengan disain potong lintang. Sampel penelitian adalah kelompok perokok sebanyak 15 orang dan kelompok bukan perokok sebanyak 15 orang. Semua sampel dilakukan uji sakarin. Dengan menggunakan stopwatch dilihat waktu transportasi mukosiliar. Semua data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan untuk menilai hubungan kebermaknaan dilakukan uji statistik menggunakan

chi-square, t-independent , Anova dan bonferroni dengan tingkat


(11)

xi

Hasil Penelitian : Terdapat perbedaan yang bermakna antara waktu transportasi mukosiliar hidung kelompok perokok dengan waktu transportasi mukosiliar hidung kelompok bukan perokok.

Diskusi / Analisis : Nilai rata-rata waktu transportasitasi mukosiliar hidung pada kelompok perokok adalah 17,81 (SD ± 1,37) menit dan pada kelompok bukan perokok adalah 10,23 (SD ± 0,69) menit. Berdasarkan uji t-independent didapatkan perbedaan bermakna dari rata-rata waktu transportasitasi mukosiliar antara kelompok perokok dengan kelompok bukan perokok, dimana waktu transportasitasi mukosiliar pada kelompok perokok lebih lama dibanding kelompok bukan perokok ( p<0,05 ).

Kata Kunci : Waktu transportasitasi mukosiliar, perokok, bukan perokok, Uji sakarin.

ABSTRACT

Introduction : The physiological nasal functions are as a filter and the first

line of immunological defense. The important mechanism defense are result from cilia of respiratory epithelial cells, goblet cells and mucous blanket, also known as mucociliary system. The succes of mucociliary system as a nasal and paranasal local defense mechanism depends on mucociliary clearance. The transportasit of mucociliar should be good for achieving a succes of


(12)

xii

mucociliary system. Saccharin test is a simple method in asessing nasal mucociliary clearance.

Purpose : To compare mucociliary transportasit time in smoker and not

smoker. Method : The statistical method is observational with cross sectional design. The sample is group of smokers (15) and group non smokers (15). All the samples have done saccharin test. Stopwatch is using to observe the time of mucociliar transport. All the data obtained and analyzed statistically to assess the relationship of statistical significance performed using the chi-square, t-independent , Anova and bonferroni with significane level 5 %.

Result : There is significant difference between mucociliary transportasit time

in smoker and not smoker.

Discussion / analysis : Mean of the transportasit mucociliar from smoker is

17,81 (SD ± 1,37) minute and mean of the transportasit mucociliar from not smoker is 10,23 (SD ± 0,69) minute. Based on t-independent test showed significant differences from average of mucociliary transport time between smokers group with non smokers group, where the mucociliary transport time in the smokers group is longer than non smokers group.

Key words : Mucociliary transportasit time, smoker, not smoker, Saccharin


(13)

xiii DAFTAR ISI HalamanJudul...i Halaman Pengesahan...ii Kata Pengantar...iv Abstrak...x Daftar Isi...xiii

Daftar Tabel ...xv

BAB 1. PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Perumusan Masalah...4

1.3 Hipotesis...4

1.4 Tujuan Penelitian...4

1.4.1 Tujuan umum...4

1.4.2 Tujuan khusus...5

1.5 Manfaat Penelitian... ...5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... ...5

2.1 Hidung...6

2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung...6

2.1.1.1 Perdarahan hidung...9

2.1.1.2 Persyarafan hidung...10

2.1.1.3 Fisiologi hidung...11

2.2 Sistem Mukosiliar ... .11

2.2.1 Histologi Mukosa ... .11

2.2.1.1 Epitel ... .12

2.2.1.2 Palut lendir ... .14

2.2.1.3 Membrana basalis... .15

2.2.1.4 Lamina propria ... .16

2.2.2 Transportasitasi mukosiliar ... .16

2.2.3 Pemeriksaan fungsi mukosiliar ... .18

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi transportasitasi mukosiliar ... .19

2.3 Rokok ... .24

2.3.1 Dampak tembakau pada kesehatan ... .24

2.3.2 Zat kimia yang terdapat pada tembakau... .26

2.3.3 Pengaruh rokok pada mukosa hidung ... .32

BAB 3. KERANGKA KONSEP ... .35

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN ... .36

4.1. Rancangan Penelitian ... .36

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... .36

4.3. Populasi, Sampel, Besar sampel, Teknik Pengambilan sampel ... .36


(14)

xiv

4.3.1 Populasi ... .36

4.3.2 Sampel ... .36

4.3.3 Besar sampel ... .37

4.3.4 Teknik pengambilan sampel ... .37

4.4. Variabel Penelitian ... .37

4.4.1 Variabel ... .37

4.4.2 Definisi operasional ... .38

4.5. Bahan Penelitian ... .39

4.6. Instrumen Penelitian ... .39

4.7. Cara Kerja Penelitian ... .40

4.8. Kerangka Kerja ... .41

4.9. Cara Analisis Data ... .41

BAB. 5. ANALISIS HASIL PENELITIAN………..……….42

BAB. 6. PEMBAHASAN ………...48

. BAB. 7. KESIMPULAN DAN SARAN ………...55

DAFTAR PUSTAKA ...56

LAMPIRAN ...61

Lampiran 1. Data Sampel Penelitian...61

Lampiran 2. Status Penelitian...62

Lampiran 3. Penjelasan Mengenai Penelitian ………....64

Lampiran 4. Persetujuan Komite Etik Penelitian ………....67

RIWAYAT HIDUP……….68


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Keterangan Hal

5.1

Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan

Umur 42

5.2

Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan

Pekerjaan 43

5.3

Waktu Transportasi Mukosiliar (TMS) pada Kelompok

Perokok dengan Kelompok Bukan Perokok 44

5.4

Waktu Transportasi Mukosiliar (TMS) pada Kelompok

Perokok Berdasarkan Lamanya Merokok 45

5.5

Waktu Transportasi Mukosiliar (TMS) pada Kelompok Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok yang Dihisap


(16)

x

ABSTRAK

Pendahuluan : Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir yang membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratorius yang kemudian dikenal sebagai sistem mukosiliar. Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan sinus paranasal tergantung dari clearance mukosiliar. Agar tercapainya tujuan tersebut, transportasitasi mukosiliar harus baik. Untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dipergunakan uji sakarin.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasitasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

Metode : menggunakan metode observasional dengan disain potong lintang. Sampel penelitian adalah kelompok perokok sebanyak 15 orang dan kelompok bukan perokok sebanyak 15 orang. Semua sampel dilakukan uji sakarin. Dengan menggunakan stopwatch dilihat waktu transportasi mukosiliar. Semua data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan untuk menilai hubungan kebermaknaan dilakukan uji statistik menggunakan

chi-square, t-independent , Anova dan bonferroni dengan tingkat


(17)

xi

Hasil Penelitian : Terdapat perbedaan yang bermakna antara waktu transportasi mukosiliar hidung kelompok perokok dengan waktu transportasi mukosiliar hidung kelompok bukan perokok.

Diskusi / Analisis : Nilai rata-rata waktu transportasitasi mukosiliar hidung pada kelompok perokok adalah 17,81 (SD ± 1,37) menit dan pada kelompok bukan perokok adalah 10,23 (SD ± 0,69) menit. Berdasarkan uji t-independent didapatkan perbedaan bermakna dari rata-rata waktu transportasitasi mukosiliar antara kelompok perokok dengan kelompok bukan perokok, dimana waktu transportasitasi mukosiliar pada kelompok perokok lebih lama dibanding kelompok bukan perokok ( p<0,05 ).

Kata Kunci : Waktu transportasitasi mukosiliar, perokok, bukan perokok, Uji sakarin.

ABSTRACT

Introduction : The physiological nasal functions are as a filter and the first

line of immunological defense. The important mechanism defense are result from cilia of respiratory epithelial cells, goblet cells and mucous blanket, also known as mucociliary system. The succes of mucociliary system as a nasal and paranasal local defense mechanism depends on mucociliary clearance. The transportasit of mucociliar should be good for achieving a succes of


(18)

xii

mucociliary system. Saccharin test is a simple method in asessing nasal mucociliary clearance.

Purpose : To compare mucociliary transportasit time in smoker and not

smoker. Method : The statistical method is observational with cross sectional design. The sample is group of smokers (15) and group non smokers (15). All the samples have done saccharin test. Stopwatch is using to observe the time of mucociliar transport. All the data obtained and analyzed statistically to assess the relationship of statistical significance performed using the chi-square, t-independent , Anova and bonferroni with significane level 5 %.

Result : There is significant difference between mucociliary transportasit time

in smoker and not smoker.

Discussion / analysis : Mean of the transportasit mucociliar from smoker is

17,81 (SD ± 1,37) minute and mean of the transportasit mucociliar from not smoker is 10,23 (SD ± 0,69) minute. Based on t-independent test showed significant differences from average of mucociliary transport time between smokers group with non smokers group, where the mucociliary transport time in the smokers group is longer than non smokers group.

Key words : Mucociliary transportasit time, smoker, not smoker, Saccharin


(19)

xvi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketergantungan terhadap rokok sudah menjadi epidemi secara global yang dapat menyebabkan penyakit, menurunnya produktifitas, kecacatan,dan kematian. Namun demikian, kesadaran untuk berhenti merokok sangat sulit dilakukan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Menurut WHO, ada 1,3 milyar perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari populasi global yang berusia 15 tahun ke atas. Serta 84% diantaranya berasal dari dunia ketiga, dimana masih ada anggapan bahwa merokok adalah hal yang lazim (Gondodiputro 2007).

Meski semua orang mengetahui akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok, namun demikian konsumsi tembakau tidak pernah surut dan tampaknya perilaku ini masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hal yang memprihatinkan adalah usia merokok yang setiap tahun menjadi semakin muda. Bila dulu orang mulai berani merokok sejak SMP, maka sekarang dapat dijumpai anak-anak SD kelas 5 sudah mulai merokok secara diam-diam (Gondodiputro 2007)

Di Negara-negara industri sekitar 56-80% merokok meyebabkan penyakit saluran pernafasan kronis dan sekitar 22% penyakit kardiovaskuler (Gondodiputro, 2007). Diperkirakan setiap tahunnya 2,5 juta orang mati


(20)

xvii

akibat penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok (Crofton 1990). Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah perokok terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 141 juta orang. Diperkirakan, konsumsi rokok di Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok. Akibatnya ada kematian sebanyak 5 juta orang pertahun. Bila hal ini tidak dapat dicegah, maka jumlah kematian akan meningkat dua kali mendekati 10 juta orang pertahun pada tahun 2010 ( Aditama 2004 ; Gondodiputro 2007 )

Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu, bakteri-bakteri dan virus yang dilakukan oleh silia dan palut lendir. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratorius dikenal sebagai sistem mukosiliar. Sistem mukosiliar merupakan barier pertama sistem pertahanan tubuh antara epitel dengan virus / bakteri dan benda asing lainnya (Ballenger 1996; Mc Caffrey 2000).

Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran nafas atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki gerakan-gerakan teratur, yang bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing dan bakteri yang terhirup ke kavum nasi menuju nasofaring, orofaring dan selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung. Dengan demikian mukosa mempunyai kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Higler 1989; Ballenger 1996; Sun 2002).


(21)

xviii

Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan sinus paranasal tergantung dari clearance mukosiliar. Klirens mukosiliar yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Untuk tercapainya tujuan tersebut, transportasi mukosiliar harus baik. Transportasi mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang disebabkan oleh perubahan komposisi palut lendir, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Waguespack 1995; Sakakura 1997).

Untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dilakukan bermacam-macam pemeriksaan seperti pemeriksaan fungsi transportasi mukosiliar, ultrastruktur silia, frekwensi denyut silia dan pemeriksaan kandungan atau konsistensi palut lendir. Untuk pemeriksaan transportasi mukosiliar dapat dipergunakan uji sakarin. Uji sakarin merupakan uji yang sederhana, tidak mahal, non invasif dan merupakan gold standar untuk uji perbandingan. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan- kawan pada tahun 1974 dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik (Waguespack 1995; Jorissen 2000).

Stanley et al (1986) pada penelitian efek merokok terhadap

pembersihan mukosiliar hidung, mendapatkan bahwa perokok memiliki waktu pembersihan mukosiliar hidung yang lebih panjang ( 20,8 menit)


(22)

xix

dibandingkan pada bukan perokok (11,1 menit). Pada perokok akan menunjukkan TMS yang abnormal ( Bisesi 1994 ).

Di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, penelitian tentang transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok belum pernah dilaporkan dan belum pernah diteliti.

Alasan-alasan diatas merupakan hal yang mendorong untuk ditelitinya transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

1.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

1.4.2 Tujuan khusus

1.4.2.1 Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok.


(23)

xx

1.4.2.2 Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada bukan perokok.

1.4.2.3 Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Dapat mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok.

1.5.2 Untuk menambah khasanah pengetahuan dibidang ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


(24)

xxi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung

2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan (Ballenger,1994; Hilger, 1997; Mangunkusomo,2001; Levine,2005)

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril


(25)

xxii

(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung(Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Maran,1990; Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise (Maran,1990; Ballenger,1994;Mangunkusumo,2001)

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang


(26)

xxiii

terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus (Ballenger, 1994).

Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)


(27)

xxiv

2.1.1.1 Perdarahan hidung

Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:

1. Arteri Etmoidalis anterior

2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika

3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis(Ballenger, 1994; Hilger, 1997).

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Ballenger,1994; Hilger,1997).

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001).


(28)

xxv

2.1.1.2 Persyarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001).

Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu


(29)

xxvi

pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997, Mangunkusumo, 2001).

2.1.1.3 Fisiologi hidung

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997 ;McCaffrey,2000).

Menurut Mangunkusumo (2001) fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara,(7) Reflek nasal (Ballenger,1994; Mangunkusomo,2001).

2.2. Sistem Mukosiliar 2.2.1. Histologi mukosa

Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total


(30)

xxvii

Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket),

epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda (Mygind 1981).

2.2.1.1 Epitel

Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).

Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke


(31)

xxviii

belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997).

Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).

Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active

stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan

lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996)

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara


(32)

xxix

pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995; Ballenger 1996).

Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 µm dan diameternya 0,1 µm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng ( Waguespack 1995; Ballenger 1996 ).

2.2.1.2. Palut lendir

Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Weir 1997; Lindberg 1997).


(33)

xxx

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).

Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura 1994).

2.2.1.3. Membrana basalis

Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind 1981).


(34)

xxxi

2.2.1.4. Lamina propria

Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger 1996).

Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Lindberg 1997).

2.2.2. Transportasi mukosiliar

Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar (Weir 1997).


(35)

xxxii

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit (Amedee 1993; Ballenger 1996; Nizar 2000).

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif


(36)

xxxiii

saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit (Higler 1997).

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit (Higler 1997).

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan (Mangunkusumo 2001)

2.2. 3. Pemeriksaan fungsi mukosiliar

Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um

alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin,

teflon, bismuth trioxide (Waguespack 1995; Jorissen 2000).

Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974


(37)

xxxiv

dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat di orofaring (Mahakit 1994; Waguespack 1995; Jorissen 2000).

Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan waktu transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu transportasi mukosiliar adalah 16,6 ± 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria.

2.2.4. Faktor yang mempengaruhi transportasi mukosiliar

Sakakura membagi disfungsi mukosiliar hidung akibat kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoeid. Ada 3


(38)

xxxv

faktor yang berperan terhadap TMS, yaitu : silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus (Sakakura 1997).

Waquespack menuliskan keadaan yang mempengaruhi transportasi

mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet dan tindakan operasi (Waguespack 1995).

2.2.4.1 Kelainan kongenital

Diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan / ketiadaan lengan dynein, ketiadaan jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal, sel-sel basal abnormal, dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, yaitu 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Tes sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60 menit (Waguespack 1995).

Sindrom Kartagener merupakan penyakit kongenital dengan kelainan bronkiektasi, sinusitis, dan sinus inversus. Penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terlihat kekurangan sebagian atau seluruh lengan dynein luar/dalam. Akibatnya terjadi gangguan yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia serta disorientasi arah pukulan/denyut. Sering juga disebut dengan sindrom silia immotil. Gangguan pada transportasi mukosiliar menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasi dan sinusitis (Weir 1997).


(39)

xxxvi

Fibrosis kistik dan sindrom Young juga merupakan kelainan kongenital yang dihubungkan dengan sinusitis kronis atau rekuren. Ultrasruktur silia pada kelainan ini terlihat normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan (viskositas) dari palut lendir (Weir 1997).

2.2.4.2 Lingkungan dan polusi

Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut silia bekerja normal pada pH 7-9. Elynawati dkk dalam penelitiannya terhadap pekerja pabrik kayu mendapatkan waktu transportasi mukosiliar yang lebih tinggi secara bermakna dibanding kontrol. Rata-rata waktu transportasi mukosiliar pekerja adalah 12,16 menit (SD 4,05) dibanding kelompok kontrol adalah 6,21 menit (SD 1,26) (Elynawati 2002). Asap rokok juga akan menimbulkan kerusakan lokal mukosa saluran pernafasan, antara lain hilangnya fungsi silia untuk menghalau benda asing, sehingga debu / bahan-bahan polutan yang lain akan lebih mudah masuk ke paru-paru. Debu sendiri dapat menyebabkan peradangan di saluran pernafasan dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Interaksi antara rokok dan debu merupakan interaksi dua faktor yang saling berkaitan ( Amin 1995).

2.2.4.3 Alergi

Pengaruh lingkungan alergi pada hidung masih diperdebatkan. Adanya pembengkakan mikroskopik pada sitoplasma pada keadaan alergi diduga dapat menyebabkan gangguan pada transportasi mukosiliar. Tidak


(40)

xxxvii

terdapat perbedaan yang bermakna dari hasil pengukuran transportasi mukosiliar dan frekuensi denyut silia pada pasien alergi dan kontrol. Sensitisasi pada hidung binatang percobaan dapat menyebabkan kerusakan silia, tetapi hal ini gagal dibuktikan pada manusia (Soedarjatni 1993).

2.2.4.4 Fisiologis / fisik

Dari pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak didapat perbedaan transportasi mukosiliar berdasarkan umur, jenis kelamin atau posisi saat tes. Soedarjatni terhadap penderita DM didapatkan kecepatan transportasi mukosiliar 16,39 mm/menit yang berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yaitu 10,51 mm/menit (Soedarjatni 1993).

2.2.4.5 Obat-obatan

Talbot dkk pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam hipertonik (NaCI 0,9 % pH 7,6) lebih dapat memperbaiki transportasi mukosiliar dibanding penggunaan larutan garam fisiologis (Talbot 1997).

Gosepath dkk melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topikal antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H202), dan anti jamur (amphotericin

B, itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi ofloxacin sampai 50% dan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan aktivitas silia. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur khususnya pada


(41)

xxxviii

konsentrasi tinggi dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar (Gosepath 2002).

Scadding dkk pada pasien rinosinusitis kronis yang diberikan antibiotik dalam waktu lama (2 minggu dosis penuh dan 10 minggu dosis setengah) mendapatkan perbaikan frekwensi denyut silia dari 9,3 Hz menjadi 13,7 Hz (Scadding 1995).

2.2.4.6 Struktur dan anatomi hidung

Fungsi mukosiliar secara lokal dapat terganggu akibat adanya kelainan struktur / anatomi hidung dan sinus. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar ( Rautiainen 1994; Weir 1997 ).

2.2.4.7 Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, terlepasnya sel-sel radang, dan perubahan pH. Endotoksin dari bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia ( Waquespack 1995 ).

Sakakura (1994) melaporkan transportasi mukosiliar pada sinusitis kronis adalah 31 menit yang secara signifikan lebih lambat dibanding kontrol


(42)

xxxix

normal. Kecepatan transportasi mukosiliar adalah 1,8 mm/menit, sedangkan pada orang normal adalah 5,8 mm/menit.

Joki (1998) dkk melakukan penelitian pada 44 pasien sinusitis kronis dan rekuren. Rata-rata frekwensi denyut silia seluruh sampel adalah 9,1 Hz (SD 5,4) yang lebih rendah dibanding orang normal (11-16 Hz). Nuutinen (1993) dkk dalam penelitian terhadap 150 pasien sinusitis kronis mendapatkan 23% silia tidak bergerak

2.3 Rokok

2.3.1 Dampak tembakau pada kesehatan

Telah banyak terbukti bahwa dengan mengkonsumsi tembakau berdampak pada status kesehatan . Diketahui pula bahwa komsumsi tembakau berkontribusi terhadap timbulnya , pneumonia, acute myeloid leukaemia, abdominal aortic aneurysm, kanker lambung, kanker pancreas, kanker cerviks, kanker ginjal dan penyakit lainnya. Penyakit-penyakit ini menambah panjangnya daftar Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh komsumsi tembakau seperti : kanker paru-paru, vesicle, oesophagus, larynx, mulut dan tenggorokan ; chronic pulmonary disease, emphysema dan bronkhitis; stroke, serangan jantung dan penyakit kardiovaskuler lainnya. Hampir 90% kanker paru-paru disebabkan oleh komsumsi tembakau. Tembakau juga dapat merusak sistem reproduksi, berkontribusi kepada keguguran, premature delivery, low birth weight, sudden infant


(43)

xl

death dan penyakit-penyakit pada anak-anak, seperti attention hyperactivity deficit disorders (Gondodiputro 2007).

Namun demikian tidak hanya perokok saja yang berisiko mendapatkan penyakit- penyakit tersebut, tetapi masyarakat banyak yang terpapar oleh asap rokok yang kita kenal dengan passive smoking. Telah terbukti bahwa passive smokers pun berisiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler, kanker paru, asthma, dan penyakit paru lainnya (Gondodiputro 2007).

Kebiasaan merokok mengubah bentuk jaringan saluran nafas dan fungsi pembersih menghilang, saluran membengkak dan menyempit. Seseorang yang menunjukkan gejala batuk berat selama paling kurang 3 bulan pada setiap tahun berjalan selama 2 tahun, dinyatakan mengidap bronchitis kronik. Hal tersebut terjadi pada separuh perokok diatas umur 40 tahun. Bronkus yang melemah kolaps sehingga udara tidak bisa disalurkan dan alveoli melebar menimbulkan empisema paru – paru. Kerusakan saluran napas umumnya dan paru – paru pada khususnya tersebut dipengaruhi oleh beberapa mekanisme di bawah ini sehingga terjadi penyakit paru obstruksi kronik ( Amin 1995 ; Gondodiputro 2007).

Asap rokok juga akan menimbulkan kerusakan lokal mukosa saluran pernafasan, antara lain hilangnya fungsi silia untuk menghalau benda asing, sehingga debu / bahan-bahan polutan yang lain akan lebih mudah masuk ke paru-paru. Debu sendiri dapat menyebabkan peradangan di saluran pernafasan dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Interaksi antara rokok dan debu merupakan interaksi dua faktor ( Amin 1995).


(44)

xli

2.3.2 Zat kimia yang terdapat dalam tembakau

Tembakau merupakan tanaman yang dapat menimbulkan adiksi karena mengandung nikotin dan juga zat-zat karsinogen serta zat-zat beracun lainnya. Setelah diolah menjadi suatu produk apakah rokok atau produk lain , zat-zat kimia yang ditambahkan berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan tubuh serta kanker ( Gondodiputro 2007 ).

Tembakau mengandung kurang lebih 4000 elemen – elemen dan setidaknya 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada tembakau adalah tar, nikotin, dan CO. Selain itu, dalam sebatang tembakau juga mengandung bahan – bahan kimia lain yang tak kalah beracunnya ( Gondodiputro 2007 ; Vinies et al 2004).

Zat – zat beracun yang terdapat dalam tembakau antara lain: Hydrogen Cyanide (Poison used in gas chambers), Ammonia (Floor cleaner), Toluene (Industrial solvent), Acetone (Paint stripper), Methanol (Rocket fuel),Napthalene (Mothballs), Carbon Monoxide (Poisonous gas in car exhausts),Vinyl Chloride, Dimethylnitrosamine, Arsenic (White ant poison), DDT (Insecticide), Urethane, Dibenzacridine, Pyrene, Cadmium (Used in car batteries), Benzopyrene, Naphthylamine (Known cancer-causing substances), Butane (Lighter fuel), Phenol,Polonium-210 dan Toluidine ( Gondodiputro 2007 ; Vinies et al 2004).


(45)

xlii

1. Karbon Monoksida (CO)

Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang/ karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3% - 6%, dan gas ini dapat dihisap oleh siapa saja. seorang yang merokok hanya akan menghisap 1/3 bagian saja, yaitu arus tengah, sedangkan arus pinggir akan tetap berada di luar. Sesudah itu perokok tidak akan menelan semua asap tetapi ia semburkan lagi keluar. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen, sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah Co dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme, yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini berlangsung terus-menerus, maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan). Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana ( Gondodiputro 2007 ; Suheni 2007).

2. Nikotin

Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0.5 – 3 nanogram, dan semuanya diserap sehingga di dalam cairan darah ada

sekitar 40 – 50 nanogram nikotin setiap 1 mlnya. Nikotin bukan merupakan komponen karsinogenik. Hasil pembusukan panas dari nikotin


(46)

xliii

seperti dibensakridin, dibensokarbasol, dan nitrosaminelah yang bersifat karsinogenik. Pada paru - paru, nikotin akan menghambat aktivitas silia. Selain itu, nikotin juga memiliki efek adiktif dan psikoaktif. Perokok akan merasakan kenikmatan dan kecemasan berkurang, toleransi dan keterikatan fisik. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sekali merokok susah untuk berhenti. Efek nikotin menyebabkan perangsangan terhadap hormone kathelokamin (adrenalin) yang bersifat memacu jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan kesempatan istirahat dan tekanan darah akan semakin tinggi, yang mengakibatkan timbulnya hipertensi.Efek lain adalah merangsang berkelompoknya trombosit. Trombosit akan menggumpal dan akan menyumbat pembuluh darah yang sudah sempit akibat CO ( Gondodiputro 2007 ; Suheni 2007 ).

3. Tar

Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru - paru. Kadar tar dalam tembakau antara 0.5 – 35 mg/ batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru – paru ( Gondodiputro 2007; Suheni 2007).

4. Kadmium

Kadmium adalah zat yang dapat meracuni jaringan tubuh terutama ginjal ( Gondodiputro 2007 ).


(47)

xliv

5. Amoniak

Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga jika masuk sedikit pun ke dalam peredaran darah akan mengakibatkan seseorang pingsan atau koma ( Gondodiputro 2007 ).

6.HCN/ Asam Sianida

HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernafasan dan merusak saluran pernafasan ( Gondodiputro 2007 ).

7.Nitrous Oxide

Nitros Oxide merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terhisap dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan rasa sakit. Nitrous Oxide ini pada mulanya dapat digunakan sebagai pembius saat melakukan operasi oleh dokter. ( Gondodiputro,2007 )

8. Formaldehid

Formaldehid adalah sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama. das ini juga sangat beracun terhadap semua organisme hidup ( Gondodiputro 2007 ).


(48)

xlv

9. Fenol

Fenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang.Zat ini beracun dan membahayakan karena fenol ini terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim ( Gondodiputro 2007 ).

10. Asetol

Asetol adalah hasil pemanasan aldehid dan mudah menguap dengan alcohol ( Gondodiputro 2007 ).

11. H2S ( Asam Sulfida )

Asam sulfide adalah sejenis gas yang beracun yang mudah terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim ( Gondodiputro 2007 ).

12. Piridin

Piridin adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam. Zat ini dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama ( Gondodiputro 2007 ).


(49)

xlvi

13. Metil Klorida

Metil Klorida adalah campuran dari zat – zat bervalensi satu dengan hidrokarbon sebagai unsur utama. zat ini adalah senyawa organik yang beracun ( Gondodiputro 2007 ).

14. Metanol

Metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan mudah terbakar. Meminum atau menghisap methanol mengakibatkan kebutaan bahkan kematian ( Gondodiputro 2007 ).

15. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons ( PAH )

Senyawa hidrokarbon aromatik yang memiliki cincin dideskripsikan sebagai Fused Ring System atau PAH. Beberapa PAH yang terdapat dalam asap tembakau antara lain Benzo (a) Pyrene, Dibenz (a,h) anthracene, dan Benz(a)anthracene. Senyawa ini merupakan senyawa reaktif yang cenderung membentuk epoksida yang metabolitnya bersifat genotoksik. Senyawa tersebut merupakan penyebab tumor (Gondodiputro 2007).

16. N- nitrosamina

N - nitrosamina dibentuk oleh nirtrasasi amina. Asap tembakau mengandung 2 jenis utama N- nitrosamina, yaitu Volatile N- Nitrosamina (VNA) dan Tobacco N- Nitrosamina. Hampir semua Volatile N- Nitrosamina


(50)

xlvii

ditahan oleh sistem pernafasan pada inhalasi asap tembak (Gondodiputro 2007).

2.3.3 Pengaruh rokok terhadap mukosa hidung

Berdasarkan pada struktur anatomi hidung dan sinus paranasal, maka udara yang dihirup akan berkontak langsung dengan membrane mukosiliar dan silia – silia epitel ( Isawa et al, 1984 ). Asap rokok dapat menurunkan resistensi hidung terhadap aliran udara. Individu – individu yang terpapar asap rokok akan menyebabkan terjadinya iritasi dan rhinorrhea. Keadaan – keadaan tersebut berhubungan dengan respon hipersensitif dan alergi ( Bissesi 1994 ).

Pada perokok cenderung lebih banyak menderita sinusitis dibandingkan dengan bukan perokok. Keadaan ini mungkin sebagai akibat oedem membran sinus yang disebabkan oleh pengaruh dari tembakau dan akibat dari berkurangnya aktivitas sel – sel epitel saluran pernafasan ( Dye et al, 1994 ). Oedem membran sinus cenderung menyebabkan muara sinus menyempit, dimana pada keadaan tersebut gerakan silia melemah sehingga

menghalangi transportasi keluar mukosa dan bakteri dari dalam sinus ( Bouquot et al 1992 ).

Transportasi Mukosiliar Hidung merupakan marker biologis dari fungsi mukosa itu. Pada perokok akan menunjukkan TMS yang abnormal ( Bisesi 1994 ). Stanley et al (1986) pada penelitian efek merokok terhadap pembersihan mukosiliar hidung, mendapatkan bahwa perokok memiliki waktu


(51)

xlviii

pembersihan mukosiliar hidung yang lebih panjang ( 20,8 menit) dibandingkan pada bukan perokok (11,1 menit).

Suatu yang dapat menyebabkan obstruksi muara rongga sinus maka dalam rongga sinus akan terjadi suatu keadaan hipoventilasi. Keadaan hipoventilasi ini dapat menyebabkan keadaan :

a. Vasodilatasi di submukosa sehingga menimbulkan transudasi.

b. Aktivitas gerakan mukosilia menurun atau disfungsi mukosilia.

Dengan adanya transudasi tersebut merupakan media yang sangat bak untuk pertumbuhan bakteri sehingga dengan demikian cairan transudat akan berubah menjadi eksudat. Adanya disfungsi mukosilia akan menyebabkan gerakan silia tidak dapat melakukan aktivitasnya, sehingga dengan demikian akan terjadi stagnansi mukus di sinus. Adanya infeksi bakteri pada mukosa sinus atau hidung dapat menyebabkan akumulasi netrofil atau migrasi sel -sel radang lainnya dan menstimulir sekresi cairan atau bahkan merusak lapisan mukosa. Keadaan ini dapat terjadi oleh karena dilepaskannya mediator – mediator seperti vasoaktif, amine, protease, metabolit asam arachidonat, kompleks imun dan polisakarida. Dengan adanya mediator - mediator tersebut maka terjadilah keadaan disfungsi mukosilia sehingga bakteri mudah invasive dan akhirnya terjadi kerusakan jaringan ( Ballenger 1996 ).


(52)

xlix

Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan rokok antara lain usia mulai

merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lain – lain ( Drastyawan et al, 2001 ). Berdasarkan lamanya merokok dapat

dikelompokkan sebagai berikut : merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kollapan dan Gopi 2002 ; Solak et al 2005 ).

Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years,

setara dengan berapa bungkus yang dihisap dalam satu hari ( 1 bungkus = 20 batang ) dikalikan lamanya merokok dalam tahun ( Drastyawan, 2001 ). Klasifikasi menurut jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan sebagai berikut : ringan ( 1 – 10 batang perhari ), sedang ( 11 – 20 batang perhari ) dan berat ( lebih dari 20 batang perhari ) ( Kollapan dan Gopi 2002 ; Solak


(53)

l

BAB 3

KERANGKA KONSEP

Jumlah rokok perhari Lama Merokok

Waktu Transportasi

Mukosiliar Hidung

Bukan Perokok Perokok


(54)

li

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan disain potong lintang

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di poliklinik Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, dengan waktu penelitian dari bulan Agustus 2009 sampai Mei 2010.

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah perokok dan bukan perokok yang berkunjung ke poliklinik Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3.2 Sampel penelitian

Sampel penelitian ini adalah perokok dan bukan perokok yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria Inklusi :

a. Usia 18 – 60 tahun

b. Bebas pemakain tetes hidung selama 1 minggu Kriteria Eksklusi : Pasien – pasien rhinologi.


(55)

lii

4.3.3 Besar sampel

Besar sampel berdasarkan rumus : n1 = n2 = 2 { ( zα + zβ ) σ } 2 µ

1- µ2

zα = tingkat kepercayaan 95% = 1.96 zβ = kekuatan uji 90% = 1.28

σ = Standar deviasi waktu transportasi mukosiliar hidung normal, = 7,2

µ

1-µ2 = Perbedaan rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok = 9,7 Besar masing-masing sampel minimal = 15 orang.

4.3.4 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara non probability consecfutive sampling, yaitu setiap pengunjung yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi (Sastroasmoro 1995).

4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel

Perokok dan bukan perokok yang berkunjung ke poliklinik Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.


(56)

liii

4.4.2 Definisi operasional

a. Merokok adalah suatu proses pembakaran tembakau yang menimbulkan asap yang secara sadar langsung dihisap melalui mulut dan dikeluarkan melalui hidung.

b. Perokok adalah seseorang yang menghisap rokok sedikitnya satu batang/hari selama sekurang – kurangnya satu tahun.

c. Bukan perokok adalah seseorang yang tidak pernah merokok. d. Lamanya merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut : merokok

selama < 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan > 20 tahun. e. Jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan :

▪ ringan ( 1 – 10 batang perhari ) ▪ sedang ( 11 – 20 batang perhari ) ▪ berat ( > 20 batang perhari ) f. Transportasi mukosiliar (TMS)

Transportasi mukosiliar adalah suatu sistem pembersihan yang terdiri atas dua komponen yang bekerja secara simultan. Yang terdiri atas gerakan silia yang menggerakkan komponen palut lendir ke arah nasofaring dan di dalam faring palut lendir ini akan ditelan ataupun dibatukkan. Kecepatan kerja pembersihan ini dapat diukur dengan meletakkan partikel di atas mukosa misalnya sakarin.


(57)

liv

g. Variasi anatomi rongga hidung

Adalah kelainan pada rongga hidung yang dijumpai pada pemeriksaan rinoskopi anterior, berupa septum deviasi, hipertropi konkha, polip, tumor. dan sinekhia.

h. Waktu transportasi mukosiliar

Waktu transportasi mukosiliar adalah waktu yang dibutuhkan oleh partikel sakarin dari saat diletakkan pada ujung depan konka inferior ( kira-kira 1 cm ke arah posterior dari batas anterior konka inferior ) sampai di nasofaring yang ditandai sensasi rasa manis. i. Uji sakarin adalah Pemeriksaan waktu transportasi mukosiliar

dengan menggunakan partikel sakarin.

j. Umur, dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya berdasarkan kalender Masehi.

4.5 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan adalah bubuk sakarin laktis

4.6 Instrumen / Alat Penelitian

a. Catatan medik penderita dan kuesioner penelitian b. Formulir persetujuan ikut penelitian

c. Alat-alat pemeriksaan THT rutin d. Kuret telinga


(58)

lv

4.7 Cara Kerja

Semua sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan uji sakarin . Uji sakarin dilakukan dengan memposisikan subjek dalam keadaan duduk. Sebelum pemeriksaan subjek diminta untuk kumur-kumur dengan air putih dan istirahat dalam ruangan pemeriksaan kira-kira 15 menit. Dibuat partikel sakarin dengan ukuran kira-kira-kira-kira setengah mm. Spekulum hidung dipasang pada salah satu rongga hidung, kemudian bubuk sakarin diambil dengan kuret telinga dan diletakkan pada ujung depan konka inferior (kira-kira 1 cm ke arah posterior dari batas anterior konka inferior). Posisi kepala difleksikan sekitar 100, lalu subjek diminta bernafas melalui hidung dengan mulut tertutup, selanjutnya subjek diminta untuk menelan ludah setiap setengah atau satu menit. Dengan menggunakan stopwatch ditentukan lamanya waktu antara saat sakarin diletakkan sampai merasakan sensasi manis pertama kali.


(59)

lvi

4.8 Kerangka Kerja

Populasi / Sampel

Anamnesis / Pemeriksaan THT

Kriteria Eksklusi

Perokok Bukan Perokok

Sakarin tes Sakarin tes

Waktu Transportasi Mukosiliar Waktu Transportasi

Mukosiliar

4.9 Cara Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk table. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan untuk menilai hubungan

kebermaknaan dilakukan uji statistic menggunakan chi-square, t-independent, Anova dan bonferroni dengan tingkat kemaknaan 5 %.


(60)

lvii

BAB 5

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di poliklinik Departemen THT-KL FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan sejak Agustus 2009 sampai Mei 2010 dengan jumlah sampel 30 orang. yang terdiri dari 15 orang perokok dan 15 orang bukan perokok. Sampel termuda berusia 18 tahun, sedangkan sampel yang tertua berumur 60 tahun.

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Umur

Umur (Tahun ) Perokok Bukan Perokok

n % n %

≤ 20 1 6,7 2 13,3

21 – 30 1 6,7 5 33,4

31 – 40 4 26,6 3 20,0

41 – 50 4 26,6 2 13,3

51 – 60 5 33,4 3 20,0

Total 15 100,0 15 100,0

X2 = 4,310 df = 4 p = 0,366

Dari tabel 5.1 Persentase tertinggi kelompok perokok adalah pada umur 51 – 60 tahun yaitu sebanyak lima orang (33,4 %) dan persentase


(61)

lviii

terendah kelompok perokok adalah pada umur ≤ 20 tahun dan umur 21 – 30 tahun yaitu masing – masing sebanyak satu orang (6,7 %). Persentase tertinggi kelompok bukan perokok adalah pada umur 21 – 30 tahun yaitu sebanyak lima orang (33,4 %) dan persentase terendah kelompok bukan perokok adalah pada umur ≤ 20 tahun dan umur 41 – 50 tahun yaitu masing– masing sebanyak dua orang (13,3 %).

Dengan uji chi-square, didapatkan hasil yang secara statistik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna antara umur dengan status merokok ataupun bukan perokok, dengan nilai p = 0,366 ( p> 0,05 ).

Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Perokok Bukan Perokok

n % n %

PNS 3 20,0 2 13,3

Wiraswasta 6 40,0 6 40,0

Mahasiswa 2 13,3 5 33,4

Petani 4 26,7 2 13,3

Total 15 100,0 15 100,0


(62)

lix

Dari tabel 5.2, Persentase tertinggi kelompok perokok adalah pada wiraswasta yaitu sebanyak enam orang (40,0 %) dan persentase terendah kelompok perokok adalah pada mahasiswa yaitu sebanyak dua orang (13,3%). Persentase tertinggi kelompok bukan perokok adalah pada wiraswasta yaitu sebanyak enam orang (40,0 %) dan persentase terendah kelompok bukan perokok adalah pada PNS dan petani yaitu masing-masing sebanyak dua orang (13,3 %).

Dengan uji chi-square, didapatkan hasil yang secara statistik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan status merokok ataupun bukan perokok, dengan nilai p = 0,366 ( p> 0,05 ).

Tabel 5.3. Waktu Transportasi Mukosiliar (TMS) pada Kelompok Perokok dengan Kelompok Bukan Perokok

Kelompok n Mean SD

Perokok 15 17,81 1,37

Bukan Perokok 15 10,23 0,69

t = 19,194 df = 28 p = 0,0001

Dari tabel 5.3, Rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada kelompok perokok adalah 17,81 (SD ± 1,37) menit dan pada kelompok bukan perokok adalah 10,23 (SD ± 0,69) menit.


(63)

lx

Setelah dilakukan uji t-independent didapatkan hasil yang secara statistik menunjukkan perbedaan bermakna dari rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara kelompok perokok dengan kelompok bukan perokok, dimana waktu transportasi mukosiliar pada kelompok perokok lebih lama dibanding kelompok bukan perokok ( p<0,05 ).

Tabel 5.4. Waktu Transportasi Mukosiliar (TMS) pada Kelompok Perokok Berdasarkan Lamanya Merokok

Lama Merokok (Tahun)

n % Mean SD

< 10 6 40,0 16,90 0,54

10 – 20 4 26,6 17,68 0,48

> 20 5 33,4 19,02 0,34

Total 15 100,0 17,81 0,35

F = 5,376 df = 2 p = 0,022

Dari tabel 5.4, Persentase tertinggi lamanya merokok adalah sebanyak enam orang (40%) yaitu kurang dari 10 tahun. Persentase terendah lamanya merokok adalah sebanyak empat orang (26,6%) yaitu 10 – 20 tahun.

Rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok yang lama merokoknya kurang dari 10 tahun adalah 16,90 (SD ± 0,54) menit, rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok yang lama


(64)

lxi

merokoknya antara 10 – 20 tahun adalah 17,68 (SD ± 0,48) menit, rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok yang lama merokoknya lebih dari 20 tahun adalah 19,02 (SD ± 0,34) menit.

Setelah dilakukan uji Anova, didapatkan hasil yang secara statistik menunjukkan perbedaan bermakna dari rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok berdasarkan lamanya merokok. Dimana pada perokok dengan waktu merokok yang lebih lama memiliki waktu transportasi mukosiliar hidung yang lebih panjang ( p<0,05 ).

Dan setelah dilakukan bonferoni test, didapatkan hasil yang secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung antara kelompok yang merokok selama < 10 thn dengan kelompok yang merokok > 20 tahun ( p=0.020 )

Tabel 5.5. Waktu Transportasi Mukosiliar (TMS) pada Kelompok Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok yang Dihisap Perhari

Jumlah Rokok yang dihisap/hari (Batang)

n % Mean SD

1 – 10 3 20,0 15,93 0,41

11 – 20 4 26,6 17,58 0,93

> 20 8 53,4 18,64 1,00

Total 15 100,0 17,81 1,37


(65)

lxii

Dari tabel 5.5, Persentase tertinggi jumlah rokok yang dihisap perhari adalah sebanyak delapan orang (53,4%) , yaitu lebih dari 20 batang. Persentase terendah jumlah rokok yang dihisap perhari adalah sebanyak empat orang (26,6%), yaitu 11 – 20 batang.

Rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok yang menghisap rokok sebanyak 1 – 10 batang rokok perhari adalah 15,93 (SD ± 0,41) menit, rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok yang menghisap 11 – 20 batang rokok perhari adalah 17,58 (SD ± 0,93) menit, rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok yang yang menghisap lebih dari 20 batang rokok perhari adalah 18,64 (SD ± 1,00) menit.

Setelah dilakukan uji Anova, ditemukan hasil yang secara statistik menunjukkan perbedaan bermakna dari rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok berdasarkan jumlah rokok yang dihisap perhari. Dimana pada perokok dengan jumlah rokok yang lebih banyak dihisap perharinya, memiliki waktu transportasi mukosiliar hidung yang lebih panjang ( p<0,05 ).

Dan setelah dilakukan bonferoni test, didapatkan hasil yang secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung antara kelompok yang merokok sebanyak 1-10 batang rokok perhari dengan kelompok yang merokok sebayak > 20 batang rokok perhari ( p=0.003 ).


(66)

lxiii

BAB 6 PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di poliklinik Departement THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, dengan waktu penelitian dari bulan Agustus 2009 sampai Mei 2010, dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok. Berdasarkan dari perhitungan sampel minimal, penelitian ini menggunakan 30 sampel yang terdiri dari 15 orang kelompok perokok dan 15 orang kelompok bukan perokok. Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan disain potong lintang. Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk table. Data dianalisis secara statistik dan untuk menilai

hubungan kebermaknaan dilakukan uji statistik menggunakan chi-square, t-independent, Anova dan bonferroni dengan tingkat kemaknaan 5 %.

Table 5.1. menunjukkan distribusi subjek penelitian berdasarkan umur, terlihat bahwa persentase tertinggi kelompok perokok adalah pada umur 51 – 60 tahun yaitu sebanyak lima orang (33,4 %) dan persentase terendah kelompok perokok adalah pada umur ≤ 20 tahun dan umur 21 – 30 tahun yaitu masing – masing sebanyak satu orang (6,7 %). Persentase tertinggi kelompok bukan perokok adalah pada umur 21 – 30 tahun yaitu sebanyak lima orang (33,4 %) dan persentase terendah kelompok bukan perokok adalah pada umur ≤ 20 tahun dan umur 41 – 50 tahun yaitu masing –


(67)

lxiv

masing sebanyak dua orang (13,3 %). Namun dengan uji chi-square, didapat hasil yang secara statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan status merokok ataupun bukan perokok, dengan nilai p = 0,366 ( p> 0,05 ).

Gondodiputro (2007), melaporkan bahwa menurut WHO, ada 1,3 milyar perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari populasi global yang berusia 15 tahun ke atas. Hal yang memprihatinkan adalah usia merokok yang setiap tahun menjadi semakin muda. Bila dulu orang mulai berani merokok sejak SMP, maka sekarang dapat dijumpai anak-anak SD kelas 5 sudah mulai merokok secara diam-diam.

Suheni (2007), mengatakan bahwa dari survai secara nasional ditemukan bahwa laki-laki remaja banyak yang menjadi perokok dan hampir 2/3 dari kelompok umur produktif adalah perokok. Pada pria prevalensi perokok tertinggi adalah umur 25-29 tahun. Sebagian perokok mulai merokok pada umur < 20 tahun dan separuh dari laki-laki umur 40 tahun ke atas telah merokok tiga puluh tahun atau lebih, hampir 70% perokok di Indonesia mulai merokok sebelum mereka berusia 19 tahun.

Tabel 5.2. menunjukkan distribusi karakteristik subjek penelitian berdasarkan pekerjaan. Dapat dilihat bahwa persentase tertinggi kelompok perokok adalah pada wiraswasta yaitu sebanyak enam orang (40,0 %) dan persentase terendah kelompok perokok adalah pada mahasiswa yaitu sebanyak dua orang (13,4 %). Persentase tertinggi kelompok bukan perokok adalah pada wiraswasta yaitu sebanyak enam orang (40,0 %) dan


(68)

lxv

persentase terendah kelompok bukan perokok adalah pada PNS dan petani yaitu masing – masing sebanyak dua orang (20,0 %). Dengan uji chi-square, ditemukan hasil yang secara statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan status merokok ataupun bukan perokok, dengan nilai p =0,799 ( p> 0,05).

Merokok telah menjadi kebiasaan, gaya hidup tanpa memandang status sosial ekonomi, dari golongan bawah, menengah sampai atas. Kebiasaan merokok juga tidak memandang jenis pekerjaan, apakah itu petani, pedagang, manajer perusahaan, direktur dan sebagainya (Dzakiyah, 2008 ).

Tabel 5.3. menunjukkan waktu transportasi mukosiliar (TMS) pada kelompok perokok dengan kelompok bukan perokok. Dimana didapatkan rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada kelompok perokok adalah 17,81 (SD ± 1,37) menit dan pada kelompok bukan perokok adalah 10,23 (SD ± 0,69) menit.

Dengan uji t-independent ditemukan hasil yang secara statistik menunjukkan perbedaan bermakna dari rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara kelompok perokok dengan kelompok bukan perokok, dimana waktu transportasi mukosiliar pada kelompok perokok lebih lama dibanding kelompok bukan perokok ( p<0,05 ).

Hasil yang didapatkan diatas, sesuai dengan yang dijelaskan oleh Isawa et al, 1984 , bahwa berdasarkan pada struktur anatomi hidung dan sinus paranasal, maka udara yang dihirup akan berkontak langsung dengan


(1)

Lampiran 3

PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN

“Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung pada Perokok dan Bukan Perokok”

Bapak/ibu Yth,

Saat ini saya sedang melakukan penelitian yang berjudul : “Perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan

perokok”

Penelitian ini menggunakan Uji sakarin yang sederhana, tidak mahal dan tidak invasif yang telah umum / biasa dilakukan, sehingga tidak menimbulkan resiko.

Pada penelitian ini, Bapak / Ibu dalam keadaan duduk. Setelah dilakukan pemeriksaan THT,, Bapak / ibu terlebih dahulu berkumur- kumur dengan air putih dan istirahat dalam ruangan pemeriksaan kira-kira 15 menit. Bubuk sakarin akan ditempatkan di ujung lubang hidung. Tiap setengah sampai satu menit Bapak / ibu menelan. Dengan menggunakan stopwatch ditentukan lamanya waktu antara saat sakarin diletakkan sampai merasakan sensasi manis pertama kali.


(2)

Bapak/ibu Yth,

Perlu bapak/ibu ketahui, dari hasil penelitian terdahulu bahwa pada orang yang merokok, ditemukan waktu transportasi mukosiliar hidung yang lebih panjang dibandingkan pada yang tidak merokok.

Bapak/ibu Yth,

Pada penelitian ini akan dilakukan pencatatan identitas bapak/ibu pada lembar penelitian. Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok (pemeriksaan THT rutin) dan uji sakarin.Hanya bapak/ibu yang memenuhi syarat saja yang akan diikut sertakan pada penelitian ini. Semua data yang diperoleh akan dicatat pada pada status penelitian dan disimpan dalam komputer.

Bapak/ibu Yth,

Manfaat yang akan bapak/ibu peroleh dari penelitian ini adalah dapat mengetahui apakah telah terjadi perubahan waktu transportasi waktu mukosiliar hidung pada orang yang merokok. (setelah semua data diperoleh dan diolah).

Bapak/ibu Yth,

Pada penelitian ini dilakukan Uji sakarin yang sederhana, tidak mahal dan tidak invasif yang telah umum / biasa dilakukan, sehingga tidak menimbulkan resiko dan menimbulkan hal-hal yang dapat membahayakan bapak/ibu. Namun bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, bapak/ibu dapat menghubungi dr. Rachmad Dermawan (HP. 06177612062, 085270097918) Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik


(3)

Medan jam 08.00 s/d 14.30 wib (hari senin s/d kamis dan jam 08.00 s/d 12.00 wib (hari jumat dan sabtu) setiap hari kerja atau setiap waktu dapat menghubungi nomor telpon / HP peneliti untuk mendapatkan pertolongan. Peneliti akan bertanggung jawab untuk memberikan biaya pelayanan / pengobatan / membantu untuk mengatasi masalah / efek samping tersebut sesuai dengan masalah / efek samping yang terjadi.

Bapak/ibu Yth,

Partisipasi bapak/ibu bersifat sukarela, semua biaya penelitian ini tidak dibebankan kepada bapak/ibu. Tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter, apabila bapak/ibu tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Bapak/ibu akan tetap mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Bila bapak/ibu masih belum jelas menyangkut tentang penelitian ini, maka setiap saat dapat ditanyakan langsung kepada peneliti (dr. Rachmad Dermawan)

Setelah bapak/ibu memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan bapak/ibu yang telah terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan menandatangani lembar persetujuan penelitian.

Medan,………2010 Peneliti


(4)

Lampiran 4.


(5)

RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS

1. Nama : dr. Rachmad Dermawan

2. NIP : 140 363 284

3. Pangakt / Golongan : Penata / III c

4. Tempat / tanggal lahir : Banda Aceh/ 16 Juni 1973

5. Agama : Islam

6. Alamat : Komp. Alamanda Indah Blok C-14 Medan

7. Istri : Lusiana, SE

8. Anak : 1. Muhammad Iqbal Alfattan

2. Muhammad Farhan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1979 - 1985 : SD Negeri 21 Banda Aceh

2. 1985 - 1988 : SMP Negeri 2 Banda Aceh

3. 1988 - 1991 : SMA Negeri 3 Banda Aceh

4. 1991 - 1999 : Fakultas Kedokteran Univ. Syiah Kuala Banda Aceh


(6)

RIWAYAT PEKERJAAN

1. 2000 – 2002 : Dokter PTT Pusk. Kuta Blang - Bireuen 2. 2002 - 2006 : Dokter fungsional pada RSU Sigli - Pidie 3. 2006 - sekarang : Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan.

KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2000 - 2002 : Anggota IDI cabang Bireuen

2. 2002 – sekarang : Anggota IDI cabang Pidie 3. 2006 - Sekarang : Anggota Muda PERHATI-KL