BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi bahan pembicaraan banyak kalangan. Manusia merupakan makhluk satu wujud dua dimensi yang terdiri
dari jasmani dan rohani. Di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui adanya Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan, terpercaya amanah, tanggung jawab, dan
kecenderungan ke arah kebaikan. Oleh karena itu sebagai kenyataan fisik-material terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu komposisi yang menunjukkan
eksistensinya secara fisik dan biologis.
1
Untuk itu Allah menciptakan manusia dengan disertai dua dimensi. Dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir, termanifestasikan pada raga, mulai dari kepala
hingga ke kaki. Sedangkan dimensi yang kedua adalah batin. Dimensi ini termanifestasikan pada jiwa. Jiwa inilah aspek substansi pada kejadian manusia,
karena jiwa adalah pengendali dari semua gerak gerik dan tingkah laku manusia, sedangkan raga adalah sarana untuk menggerakkan tingkah laku itu.
1
Bayraktar Bayrakli, Eksistensi Manusia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, h. 13
Jiwa yang sengaja diciptakan Allah untuk manusia yang bertujuan untuk merealisasikan suatu beban amanah dari Allah sebagai pengemban tugas khalifah,
karena manusia diciptakan Allah sebagai wakil-Nya di bumi untuk mengelola dan menjaga stabilitas alam. Selain itu juga manusia diciptakan sebagai pengemban
amanah untuk melaksanakan tugas sebagai hamba. Dari keistimewaannya manusia diberikan karakter semi samawi-duniawi yang
di dalamnya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan, terpercaya, rasa tanggung jawab, juga dibekali dengan kecenderungan ke
arah kebaikan dan kejahatan.
2
Namun kesempurnaan manusia tidak dimiliki oleh semua orang, tetapi hanya mereka yang memenuhi kriteria tertentu saja, yaitu orang-
orang yang bertakwa kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang bertakwa ialah orang-orang yang banyak menyerap sifat-sifat ketuhanan. Karena mereka berakhlak
dengan akhlak Tuhan, maka merekapun memiliki citra ilahi pada jati diri mereka. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak menyerap dan mencerminkan akhlak Tuhan,
maka mereka akan diturunkan derajatnya ke tempat yang serendah-rendahnya. Karena mereka orang-orang yang mementingkan ego dibanding amanah yang telah
dibebankannya dari Tuhannya. Namun tempat serendah-rendahnya juga bukanlah suatu hal yang ilahi bagi orang-orang yang ingin menempati tempat yang sempurna di
sisi-Nya. Karena untuk mencapai tempat kesempurnaan orang harus menempuh jalan ilahi, yaitu jalan yang digariskan dalam suatu tatanan iman dan amal saleh. Maka,
2
Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, Cet. Ke-2, h.14
terciptalah dalam hal ini relasi Tuhan dan manusia. Relasi ini bersifat bilateral, dalam pengertian timbal balik.
Dengan adanya relasi Tuhan dan manusia, menjadikan manusia sebagai satu- satunya makhluk yang dapat berhubungan dan memiliki derajat sempurna. Inilah
makna tujuan dan kesempurnaan manusia sebagai khalifah Allah. Untuk menuju kepada kesempurnaan manusia diperlukan jalan untuk dekat dengan Tuhan yang
disebut mistisisme atau tasawuf sufisme. Sufisme dalam Islam adalah sebuah penyerahan diri yang bertujuan untuk
mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan melalui penyucian jiwa dari segala kotoran rohani. Sebagaimana mistisisme sufisme dalam Islam mistik
juga terdapat dalam aliran kebatinan. Kebatinan adalah yang di dalam, yang sulit, yang tersembunyi. Batin itu
dipakai untuk menunjukkan sifat, dengan sifat batin itu manusia merasa dirinya lepas dari segala yang semu. Batin juga dipergunakan sebagai sifat keunggulan terhadap
perbuatan lahir.
3
Untuk mencapai kesatuan dengan Zat Hidup, manusia harus mengatasi segi-segi badaniahnya. Aliran kebatinan justru mengajarkan bagaimana hal
itu dapat dilakukan. Kebatinan menjadi pengetahuan tentang alam atas, suatu ilmu yang mempelajari kenyataan bahwa manusia batin dapat langsung berhubungan
dengan Tuhan. Berdasarkan teori kebatinan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
3
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan jawa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, h. 84.
kebatinan tak lain adalah mistik murni yang membuka pengetahuan dan pengalaman individual langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, pada dasarnya kebatinan itu
mistik.
4
Masuknya Islam ke Jawa, tidak akan terlepas dari pembicaraan mistik, karena dengan unsur mistik, Islam dapat diterima dan berkembang dengan pesat di Jawa.
Sementara masyarakat Jawa adalah masyarakat yang memiliki pola pikir dan tingkah laku Animisme dan Dinamisme. Pola pikir dan tingkah laku ini begitu mengakar dan
sulit untuk digantikan dengan pola pikir yang baru. Mistisisme dalam Islam telah melahirkan sejumlah tokoh, antara lain seperti
pada sufisme diwakili Ibn al-‘Arabi dan kebatinan diwakili Ranggawarsita. Kedua tokoh ini pada dasarnya memiliki perbedaan dan kesamaan pemikiran dalam konsep
manusia. Ibn al-‘Arabi misalnya, lebih menonjolkan pemikirannya pada nuansa falsafi, karena memang ia memiliki latar belakang pendidikan filsafat, selain ilmu-
ilmu yang lain, pada masa pencarian ilmunya. Sedangkan Ranggawarsita menonjolkan ajaran kebatinan Jawa, karena memang pemikirannya adalah
representasi kalangan kebatinan Jawa yang bernuansa mitologis. Adapun Ibn al-‘Arabi, sebagai tokoh sufi telah mencetuskan wahdatul wujud
sebagai pangkal dari konsep manusianya. Konsep ini tentu memiliki nuansa mistis falsafi yang selanjutnya dikembangkan oleh para pendukungnya, seperti al-Jili 1365-
4
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h. 88.
1366 M. dan al-Burhanpuri yang pada perkembangannya ajaran ini banyak dipelajari oleh para ulama sufi di Nusantara.
Ajaran martabat tujuh yang berkembang di Jawa, tampak jelas pengaruhnya di dalam Serat Centini dan Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita. Ajaran martabat
tujuh sebenarnya berasal dari kitab al-Tuhfah al-mursalah ila ruh al-nabi karya Ibn al-Fadlillah al- Burhanpuri w. 1620 M seorang sufi India. Pada Akhir abad ke-16
sampai pertengahan pertama abad ke-17, di Sumatra bagian utara terdapat dua orang tokoh sufi yang terkenal, penganut paham wujudiyah, yaitu Hamzah Fansuri wafat
sebelum 1607 M dan Syamsuddin Sumatrani atau Syamsuddin Pasai wafat 1630 M. Meskipun ajaran martabat tujuh termasuk ajaran wujudiyah, tetapi berbeda
dengan ajaran wujudiyah yang di anut Hamzah Fansuri. Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri berkaitan dengan ajaran sufi Arab dan Persia, terutama Bayazid al-Bustani
dan al-Hallaj juga Ibn al-‘Arabi. Berbeda dengan ajaran wujudiyah dalam martabat tujuh yang ditimbulkan oleh al-Burhanpuri yang ke dalamnya masuk pengaruh India.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Skripsi ini berjudul “Konsep Manusia Menurut Ibn Al-‘Arabi Dan
Ranggawarsita” Studi Perbandingan. Ibn al-Arabi adalah seorang mistikus,
sehingga ia bisa memfilsafatkan pengalaman batinnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana terlihat dalam berbagai karyanya, di
antaranya: Futûhât al-Makkiyah, Fusûs al-Hikam, akan terlihat bahwa pemikirannya
5
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h.177-178.
banyak mempengaruhi para sufi dan menjalar kemana-mana dan menjadi dominan dalam perkembangan Sufisme di seluruh dunia Islam.
Ranggawarsita adalah seorang pujangga yang banyak menyusun karya-karya yang berbentuk prosa, di antaranya: Serat Wirid Hidayat Jati, Paramayoga, Pustaka
Raja, Serat Makrifat . Dari karya-karya Ranggawarsita, akan terlihat bahwa
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh paham Islam kejawen, dan tradisi Hindu- Jawa. Pembahasan dan pemikirannya terpusat untuk merumuskan kembali pokok-
pokok pemikiran yang terdapat dalam pembendaharaan kepustakaan Islam kejawen yaitu ajaran islam yang diterapkan dengan budaya Jawa, sehingga karya-karya
Ranggawarsita pada umumnya mencerminkan perpaduan antara alam pikiran dan tradisi Hindu-Jawa dengan ajaran Islam kejawen. Karena itu, batasan masalah dalam
skripsi ini hanya memfokuskan pada konsep manusia menurut Ibn al-Arabi dan Ranggawarsita. Berdasarkan dasar tersebut masalahnya dapat dirumuskan sebagai
berikut; Bagaimanakah konsep manusia menurut Ibn al-Arabi dan Ranggawarsita?.
C. Tujuan Penelitian