Pengaruh Penggunaan Metode Story Telling Terhadap Kemampuan Berbicara pada Peserta Didik Kelas VII di SMPN 2 Padangsidimpuan

Telangkai Bahasa dan Sastra, Januari 2015, 56-65 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

Tahun ke-9, No 1

PENGARUH PENGGUNAAN METODE STORY TELLING TERHADAP KEMAMPUAN BERBICARA PADA PESERTA DIDIK KELAS VII DI SMPN 2 PADANGSIDIMPUAN

Ade Purnama Sari Sinaga adepurnamasarisinaga@yahoo.com

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang harus di mikili setiap siswa dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Berbicara juga merupakan tolak ukur dalam kegiatan pembelajaran bahasa inggris (speaking) di sekolah. Target berbicara mencakupi kemampuan yang harus di miliki siswa untuk dapat mengungkapkan gagasangagasan penting.
Sayangnya, tujuan pembejaran tersebut belum dapat dicapai oleh setiap siswa di sekolah secara maksimal. Masih banyak kesalahan-kesalahan dan kekurangankekurangan yang terjadi dalam setiap pembejaran bahasa Inggris pada kemampuan berbicara (speaking) di sekolah. Masalah dan kekurangan tersebut muncul dari pendidik dan juga peserta didik. Penggunaan metode yang kurang tepat menjadi salah satu dari beberapa factor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pembelajaran Bahasa bersifat monoton dan tidak bervariasi membuat siswa merasa jenuh dan tidak tertarik dalam proses pembelajaran. Walaupun demikian, kemauan siswa untuk belajar juga menjadi salah satu factor yang menyebabkan keaadaan ini terjadi pada pembelajaran di sekolah. Pada dasarnya, kedua unsure ini harus saling mendukung.
Hal ini lah yang sering terjadi pada pembelajaran bahasa Inggris berbicara (Speaking) di sekolah menengah pertama. Banyak siswa yang tidak tahu ingin mengeluarkan gagasan atau ide ketika di minta gurunya untuk berbicara. Mereka lebih memilih diam dan tidak mengeluarkan kalimat apapun kecuali hanya ketika diminta untuk mengulang apa yang telah disampaikan guru. Situasi seperti ini sering kali terjadi dan ditemui pada proses belajar mengajar di sekolah. Hal ini tentu saja harus diberantas dan jangan sampai bertahan sampai batas waktu yang belum diketahui. Minimnya pelatihan dan pendidikan kilat yang dimiliki oleh seorang guru juga dapat mempengaruhi situasi ini. Tentu saja ini merupakan situasi yang harus dipecahkan dan dicari solusi untuk perbaikan ke depannya.
Oleh karena itu, penulis ingin menerapkan metode story telling untuk memecahkan masalah ini. Metode Story Telling adalah suatu metode dimana siswa dirangsang untuk mengeluarkan gagasan, topic, ide yang ada dalam fikirannya melalui berbicara. Pada penerapan metode ini, ada beberapa unsure yang harus diterapkan seperti konsep, prosedur, penilaian, aspek yang harus dilakukan dalam penerapan metode ini. Metode ini diharapkan mampu memecahkan permasalah pembelajaran seperti yang telah dipaparkan di atas. Dengan demikian, dapat disimpulkan jadul penelitian ini adalah “Penggunaan Metode Story Telling Kemampuan Berbicara siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan”.

56

Ade Purnama Sari Sinaga
2. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, rumusan masalah dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan pada text narrative sebelum menggunakan metode story telling?
2. Bagaimanakah kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan pada text narrative setelah menggunakan metode story telling?

3. Adakah pengaruh penggunaan metode story telling terhadap kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negerri 2 Padangsidimpuan?
3. Tujuan Penelitiaan 1. Mendeskripsikan kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan pada text narrative sebelum menggunakan metode story telling? 2. Mendiskripsikan kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan pada text narrative setelah menggunakan metode story telling? 3. Mendeskripsikan pengaruh penggunaan metode story telling terhadap kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan?
4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang storytelling khususnya dalam hal menumbuhkan minat baca baik di perpustakaan umum, maupun perpustakaan sekolah.
b. Manfaat Praktis
Penulis berharap dengan dilakukannya penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi perpustakaan umum, maupun perpustakaan sekolah dalam membuat kebijakan mengenai kegiatan storytelling sedangkan bagi pendongeng dapat mengetahui cara-cara storytelling yang efektif.
c. Kerangka Teori - Metode Story Telling
Menurut William Lidwell, Kristina Holden, dan Jill Butler, mendongeng adalah suatu metode untuk menciptakan, gambaran, emosi, dan memahami suatu kejadian atau peristiwa melalu i interaksi antara pendongeng dan audience , dalam hal ini pembaca. Merupakan cara yang orisinil dalam meneruskan pengetahuan atau informasi dari satu generasi ke genera si berikutnya. Mendongeng bisa dilakukan secara oral, sebagai cara yang tradisional; secara visual dalam bentuk gambar, grafik, maupun film; dan juga tekstual, dalam bentuk puisi dan novel. Pendongeng bisa berupa alat presentasi penyampai info rmasi apapun yang dapat membuat penonton atau pembaca merasa tenggelam dalam peristiwa yang disampaikan.
Metode berarti cara. Metode merupakan cara melakukan kegiatan dengan menggunakan fakta atau konsep-konsep secara sistematis. Pengertian metode adalah cara penyajian bahan/pengorganisasian kegiatan belajar mengajar. Pengertian lain dari metode adalah cara penyampean suatu bahan pengembangan/kemampuan tertentu (Depdikbud, 1998: 14).
Sedangkan cerita adalah pelajaran penuh makna yang memegang peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai baru pada anak. Menurut Piaget dalam (Tampubolon, 1991
57

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
dalam Dhieni, dkk 2008: 6.5) “Sejak lahir hingga dewasa pikiran anak berkembang melalui jenjang-jenjang priode sesuai dengan tingkatan kematangan anak itu secara keseluruhan dengan interaksi-interaksinya dengan lingkunganya.
Menurut (Gunarti, 2010: 5.3) bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menyampaikan suatu pesan, informasi/ sebuah dongeng belaka yang bisa dilakukan secara lisan/ tertulis. Jadi dari metode dan bercerita dapat disimpulkan metode bercerita adalah cara penyajian cerita itu harus menarik perhatian dan salah satu cara meneruskan warisan budaya. Sedangkan metode bercerita adalah merupakan salah satu pemberian pengembangan belajar bagi anak PAUD dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan dengan bentuk dan buku cerita yang harus menarik dan mengundang perhatian anak.
- Tujuan Metode Bercerita Tujuan dari bercerita menurut Musfiroh (2005: 54) yaitu: 1. Agar anak mampu mendengarkan dengan seksama terhadap apa yang disampaikan guru/orang tua. 2. Anak dapat bertanya tentang cerita yang diceritakan guru.
- Fungsi metode Bercerita
Menurut (Tampubolon, 1995 dalam Dheini, dkk 2008: 6.7) ”Bercerita kepada anak memainkan peran penting bukan saja dalam menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca, tetapi juga dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan pikiran anak.
Fungsi kegiatan bercerita adalah membantu perkembangan kemampuan bahasa anak dengan menambah perbendaharaan kosakata, mengucapkan kata-kata, melatih merangkai kalimat sesuai dengan tahap perkembangannya. Kemampuan tersebut adalah hasil dari proses menyimak dalam tahap perkembangan. Menurut Depdiknas 2000 dalam susanto 2011: 81, fungsi perkembangan bahasa bagi anak usia dini adalah: 1. Sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan. 2. Sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak. 3. Sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak. 4. Sebagai alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikir kepada orang lain

- Manfaat Metode Becerita Menurut (Dhieni, dkk 2005: 6.6) Beberapa metode bercerita bagi anak yaitu: 1. Melatih daya serap atau daya tangkap anak, Artinya anak dapat dirangsang untuk mampu memahami isi dalam cerita tersebut. 2. Melatih daya konsentrasi anak untuk memusatkan perhatiannya kepada keseluruan cerita tersebut. 3. Mengembangkan daya imajinasi anak. Dengan bercerita daya fantasi anak dapat membayangkan sesuatu yang berada diluar jangkauan indranya, ini berarti membantu mengembangkan wawasan anak dan bersifat fantastik. 4. Bercerita memberikan pengalaman belajar untuk melatih mendengarkan/ pendengaran. 5. Membantu perkembangan kemampuan bahasa anak dalam hal berkomunikasi. 6. Bercerita untuk menanamkan kepada anak tentang kejujuran, keramahan, ketulusan, kebenaran dan perilaku yang positif.
Menurut Lie (2003: 70) paired storytelling disebut juga bercerita berpasangan yaitu teknik yang dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, pengajar dan
58

Ade Purnama Sari Sinaga
bahan pelajaran. Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara karena teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara.
Teknik paired storytelling bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran, Seperti ilmu pengetahuan sosial, agama dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini adalah bahan yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dipakainya bahan-bahan yang lainnya.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam kegiatan pembelajaran dengan teknik paired storytelling, siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan hasil pemikiran mereka akan dihargai sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar. Selain itu siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Teknik paired storytelling bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.
Paired storytelling merupakan salah satu tipe pembelajaran koperatif. Pembelajaran kooperatif atau cooperative Learning mengacu pada teknik pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Banyak terdapat pendekatan kooperatif yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari empat siswa dengan kemampuan yang berbedabeda dan yang lain menggunakan ukuran kelompok yang berbeda beda. Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebadai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat di pengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri.
Cooperative learning juga dapat diartikan sebagi struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaaan di antara sesama anggota kelompok. Cooperative learning lebih dari sekadar belajar kelompok kerja karena belajar dalam model cooperative learning harus ada “struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif”sehinggah memungkinkan terjadinya interaksi secaraa tebuka dan hubugan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok. Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu ”getting better together” atau raihlah yang lebih baik secara bersama-sama.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik pembelajaran paired storytelling merupakan salah satu teknik pembelajaran kooperatif yang dalam kegiaatannya siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi, buah pemikiran mereka akan dihargai sehingga siswa makin terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran Paired Storytelling Pemilihan teknik paired storytelling dalam pembelajaran tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
59

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
Kelebihan-kelebihan teknik pembelajaran paired storytelling antara lain: (a) siswa akan termotivasi dan bekerja sama untuk tampil bercerita,dalam kelompok tersebut, mereka harusbekerja sama untuk mendapatkan nilai yang terbaik, (b) siswa yang memiliki kemampuan lebih dalam bercerita akan memotivasi siswa lain yang kurang terampil berbicara di depan kelas, (c) meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, (d) setiap siswa memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk berkontribusi dalam kelompoknya, (e) interaksi dalam kelompok mudah dilakukan, (f) pembentukan kelompok menjadi lebih cepat dan mudah.
Langkah-Langkah Pembelajaran Paired Storytelling Menurut Lie (2003: 70) dengan menggunakan teknik pembelajaran paired storytelling adalah sebagai berikut: 1. Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diajarkan menjadi dua bagian. 2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan mengenai
topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Pengajar bisa menuliskan topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan braistorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap menghadapi pelajaran yang baru. Dalam kegiatan ini, pengajar perlu menekankan bahwa memberikan tebakan yang benar bukanlah tujuannya. Yang lebih penting adalah kesiapan mereka dalam mengantisipasi bahan pelajaran yang akan diberikan hari itu. 3. Siswa dipasangkan 4. Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama, sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang dedua. 5. Kemudian siswa disuruh membaca atau mendengarkan (dalam pelajaran dilaboratium bahasa) bagian mereka masing-masing. 6. Sambil membaca atau mendengarkan, siswa disuruh mencatat dan mendaftar beberapa kata atau frasa kunci yang ada dalam bagian masing-masing. Jumlah kata atau frasa bisa disesuaikan dengan panjangnya teks bacaan. 7. Setelah selesai membaca, siswa saling menukar daftar kata atau frasa kunci dengan pasangan masing-masing. 8. Sambil mengingat-ingat atau memperhatikan bagian yang telah dibaca atau didengarkan sendiri, masing-masing siswa berusaha untuk mengarang bagian lain yang belum dibaca tau didengarkan (atau yang sudah dibaca atau didengarkan pasangannya) berdasarkan kata-kata atau frasa-frasa kunci dari pasangannya. Siswa yang telah membaca atau mendengarkan bagian yang pertama berusaha untuk menuliskan apa yang terjadi selanjutnya. Sedangkan siswa yang membaca atau mendenagrkan bagian yang kedua menuliskan apa yang terjadi sebelumnya. 9. Tentu saja, versi karangan sendiri ini tidak harus sama dengan bahan yang sebenarnya. Tujuan kegiatan ini bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar, melainkan untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar dan mengajar. Setelah selesai menulis, beberapa siswa bisa diberi kesempatan untuk membacakan hasil karangan mereka. 10. Kemudian, pengajar membagikan bagian cerita yang belum terbaca kepada masingmasing siswa. Siswa membaca bagian tersebut. 11. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pembelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas.
Dalam penelitian ini sintak teknik pembelajaran paired storytelling Yang digunakan sedikit dimodifikasi dari sintak paired storytelling yang dikemukakan oleh Lie tersebut. Adapun sintak yang digunakan adalah sebagai berikut:
60


Ade Purnama Sari Sinaga
1. Pengenalan topik yang akan dibahas Guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk satu hari. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap mengahadapi bahan pembelajaran yang baru. Guru bisa menuliskan topik pembelajaran dipapan tulis
2. Siswa dibentuk kelompok kecil secara berpasangan dengan teman sebangku. 3. Pemberian nomor kelompok
Disini siswa tiap pasangan/kelompok mendapat nomor kelompok yang ditempel pada tiap meja. Nomor diberikan secara acak dengan tujuan guru tidak mengetahui saat menunjuk siswa nanti untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melatih kesiapan siswa. 4. Membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi dua bagian Disini guru membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi dua bagian, bagian pertama diberikan kepada siswa yang duduk diselah kanan dan bagian kedua diberikan kepada siswa yang duduk di sebelah kiri. 5. Siswa diberi waktu 15 menit untuk membaca dan memahami materi mereka masingmasing. 6. Setelah selesai membaca dan memahami materi siswa pertama (kanan) bertugas menceritakan materi yang telah dipelajarinya kepada siswa kedua (kiri). Siswa kedua (kiri) mendengarkan sambil mencatat bagian-bagian yang dianggap penting. Begitu juga sebaliknya. 7. Siswa berdiskusi mengenai materi yang mereka bahas secara keseluruhan Hal ini bertujuan agar siswa benar-benar paham dengan materi, disini siswa saling melengkapi isi materi mencatat kata-kata penting serta membuat rangkuman. 8. Siswa mengerjakan LKS Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah siswa benar-benar paham dengan materi yang telah mereka pelajari dengan kelompoknya serta untuk melatih siswa mengemukan apa yang telah dipelajari dalam bentuk tulisan. 9. Guru memanggil beberapa kelompok secara acak untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok. 10. Diskusi kelas mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu, memberikan kesimpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan.
- Berbicara
Pengertian berbicara menurut beberapa ahli:
Tarigan: Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pengertian tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa berbicara berkaitan dengan pengucapan kata-kata yang bertujuan untuk menyampaikan apa yang akan disampaikan baik itu perasaan, ide atau gagasan.
Brown dan Yule: Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan. Pengertian ini pada intinya mempunyai makna yang sama dengan pengertian yang disampaikan oleh Tarigan yaitu bahwa berbicara berkaitan dengan pengucapan kata-kata.
Haryadi dan Zamzani: Secara umum, berbicara dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami orang lain. Pengertian ini mempunyai makna yang sama dengan kedua pendapat yang diuraikan diatas, hanya saja diperjelas dengan tujuan yang lebih jauh lagi yaitu agar apa yang disampaikan dapat dipahami oleh orang lain.
61

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
St. Y. Slamet dan Amir menyatakan bahwa berbicara sebagai keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan sebagai aktivitas untuk menyampaikan gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penyimak. Pengertian ini menjelaskan bahwa berbicara tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata, tetapi menekankan pada penyampaian gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penyimak atau penerima informasi atau gagasan.
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas bahwa berbicara ialah kemampuan mengucapkan kata-kata dalam rangka menyampaikan atau menyatakan maksud, ide, gagasan, pikiran, serta perasaan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penyimak agar apa yang disampaikan dapat dipahami oleh penyimak.
Berbicara merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa ragam lisan yang bersifat produktif. Sehubungan dengan keterampilan berbicara ada tiga jenis situasi berbicara, yaitu interaktif, semiinteraktif, dan noninteraktif. Situasi-situasi berbicara interaktif, misalnya percakapan secara tatap muka dan berbicara lewat telepon yang memungkinkan adanya pergantian antara berbicara dan menyimak, dan juga memungkinkan kita meminta klarifikasi, pengulangan atau kita dapat meminta lawan bicara memperlambat tempo bicara dari lawan bicara. Kemudian, ada pula situasi berbicara yang semiinteraktif, misalnya alam berpidato di hadapan umum secara langsung. Dalam situasi ini, audiens memang tidak dapat melakukan interupsi terhadap pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka. Beberapa situasi berbicara dapat dikatakan betul-betul bersifat noninteraktif, misalnya berpidato melalui radio atau televisi.
Berikut ini beberapa keterampilan mikro yang harus dimiliki dalam berbicara. Seorang pembicara harus dapat: 1. Mengucapkan bunyi-bunyi yang berbeda secara jelas sehingga pendengar dapat
membedakannya; 2. Menggunakan tekanan dan nada serta intonasi yang jelas dan tepat sehingga
pendengar dapat memahami apa yang diucapkan pembicara; 3. Menggunakan bentuk-bentuk kata, urutan kata, serta pilihan kata yang tepat; 4. Menggunakan register datau ragam bahasa yang sesuai terhadap situasi komunikasi,
termasuk sesuai ditinjau dari hubungan antara pembicara dan pendengar; 5. Berupaya agar kalimat-kalimat utama (the main sentence constituents) jelas bagi

pendengar; 6. Berupaya mengemukakan ide-ide atau informasi tambahan guna menjelaskan ide-ide
utama; 7. Berupaya agar wacana berpautan secara selaras sehingga pendengar mudah
mengikuti pembicaraan.
METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Kemudian pendekatan penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Penelitian experimental ini bertujuan untuk menguji kebenaran suatu metode. Dalam hal ini, metode yang dipakai adalah metode Story Telling. Metode ini akan dipakai untuk mengukur kemampuan siswa dalam berbicara pada text narrative. Untuk menguji kebenaran metode tersebut. Maka diadakanlah penelitian ekperiment ini.
62

Ade Purnama Sari Sinaga
2. Populasi dan Sample
Populasi dalam penelitin ini meliputi seluruh siswa yang sedang duduk di kelas VII. Jumlah keseluruhan sample tersebut berjumlah 215 orang. Namun, karena pupolasi dari penelitian ini berjumlah sangat banyak, maka diambil 2 kelas saja sebagai sample dalam penelitian ini. 1 kelas dengan jumlah siswa sebanyak 18 siswa menjadi sample dalam kelas control. Dan 1 kelass lainnya dengan jumlah siswa 18 orang menjadi bebas.
Perlakuan yang berbeda akan dilakukan kepada sample ini. Perlakuan terhadap kelas control akan dilakukan dengan menggunakan metode Story telling dalam pembelajaran berbicara dengan text narrative dan perlakuan terhadap kelas bebas tidak menggunakan metode Story telling dalam pembelajaran berbicara dengan text narrative. Dari perlakuan ini akan diketahui bagaimana pengaruh metode Story Telling tersebut dalam pembelajaran berbicara dengan menggunakan text narrative.
3. Instrument Penelitian
Ada beberapa indicator penting yang menjadi instrument penelitian ini. Instrument tersebut akan dipergunakan sebagai tolak ukur dalam penilaian kemampuan berbicara siswa. Indicator tersebut adalah: accent, grammar, vocabulary, fluency, dan comprehension.
Kelima indicator tersebut akan dipakai sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa dalam berbicara. Penilaian kemampuan berbicara siswa haruslah memenuhi kelima indicator tersebut.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama adalah Pre-test, kemudian treatment dan terakhir adalah Post-test.
Pertama adalah Pre-test, yaitu memberikan test ataupun ujian langsung kepada siswa pada saat penelitian ini akan dimulai. Pemberian Pre-test ini secara menyeluruh kepada sample kelas control maupun kelas bebas. Tidak ada perbedaan pemberian test terhadap kedua kelas sample ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur secara alami kemampuan berbicara siswa. Hasil test tersebut akan menunjukkan kemampuan siswa dalam pembelajaran berbicara. Hasil ini juga akan dipergunakan sebagai tolak ukur dalam teknik pengumpulan data
Kedua adalah treatment (perlakuan), yaitu memberi perlakuan terhadap kelas control saja. Sebab pada treatment (perlakuan) ini yang titik beratnya penelitian ini. Kelas control akan diberi perlakuan penerapan metode story telling tersebut. Sample akan diajari dan dididik dengan menggunakan metode story telling dalam setiap pembelajaran berbicara. Semua konsep, prosedur, penilaian yang ada dalam metode ini diterapakan secara berkala dan terarah. Pembelajaran ini akan berlangsung selama 6 kali pertemuan, yang mana 1 kali pertemuan 90 menit (sesuai dengan jam pelajaran SMP). Sedangkan pada kelass bebas, mereka hanya diajari dengan menggunakan metod yang tidak terikat. Tergantung situassi dan keadaan peneliti. Ini lah yang melandasi perbedaan yang sangat mendasar antara kelas control dan kelas bebas pada sample penelitian ini.
Ketiga adalah post-test, yaitu pemberian soal dan ujian kembali setelah diterapakan dalam proses pembelajaran metode Story Telling tersebut. Hal ini lah yang akan membuktikan penerapan metode tersebut dapat berpengaruh terhadap pembelajaran berbicara atau sebaliknya. Setelah dilakukan post test, maka akan diketahui bagaimanakah pengaruh penggunaan metode story telling tersebut dalam proses pembelajaran berbicara pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan.
63


Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
5. Teknik Analisis Data
Adapun teknis analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan statistika. Data yang telah diperoleh dari hasil pre test dan post test akan dianalisis dengan menggunakan rumus t-test.
PEMBAHASAN
Berdasarkan prinsip dari metode Story Telling yang telah dijelaskan pada kajian teori sebelumnya bahwa story telling sesuai dengan pembelajaran berbicara dan pada pembelajaran yang bersifat kumonikatif separit pada pembelajaran ini. Dan juga dari perhitungan data yang telah diketahui, maka metode ini dinyatakan cocok untuk pembelajaran dan hipotesa diterima. Hal ini dapat diketahui dari pengukuran nilai antara kelas control dan kela bebas. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa nilai test pada kelas control lebih besar daripada nilai test pada kelas bebas, yang mana nilai tersebut adalah (80,21>69,62). Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan metode story telling terhadap kemampuan berbicara siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan.
SIMPULAN
Metode Story Telling dinyatakan sebagai salah satu metode yang berhasil untuk diterapkan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini dapat dilihat dari hasil test dan ujian yang telah diberikan kepada siswa yang telah diajarkan menggunakan metode story telling. Dari analisis data yang telah dilakukan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan jawaban dari rumusan masalah pada bab 1 sebelumnya sebagai berikut: 1. Kemampuan berbicara pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan sebelum
menggunakan metode story telling dicategorikan rendah dan masih jauh dari harapan. Hal ini diketahui dari hasil test yaitu 65.06 pada kelass control dan 68.36 pada kelas percobaan. 2. Kemampuan berbicara pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan sesudah menggunakan metode story telling dicategorikan tinggi dan naik secara perlahan. Hal ini diketahui dari hasil test yaitu 80.21 pada kelas percobaan dan 69.62 pada kelas control. 3. Dari hasil perhitungan t table yaitu 1, 67 yang harus di lewati ketika akan dinyatakan bahwa hipotesa di terima, pada hasil penelitian ini, t test mencapai 2.18. oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hipotesa dalam penelitian ini dapat diterima dan sudah dibuktikan dari hasil perhitungan table. 4. Metode Story Telling berpengaruh dalam pengajaran berbicara pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Padangsidimpuan.
DAFTAR PUSTAKA
Airasian, Peter and L.R Gay. (2000). Education Research. USA: Merril
Arends, Richards I. (2008). Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
64

Ade Purnama Sari Sinaga
Arikunto, Suharsimi. (1993). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
_________________. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Brown, H. Douglas. 1998. Teaching by Principles An Interactive Approach to Language Pedagogy. United Stated of America: Longman.
Buebner, Theodore. 1960. Audio Visual Technique in Teaching Foreign Language. New York: Cambridge University Press.
Burke, T.L and A.L. Chaney. 1998. Teaching Oral Communication in Grades K-8. Boston: Allyn&Bacon.

Departemen Agama RI. (2005). Al-Jumanatul Ali Al-Qur’an dan Terjemahnya. J-ART: Bandung.
Amaniarsih, Dwi Suci. (2008). The Effect of Small Group Discussion Technique on the Students’ Ability. Medan.
Gay, L.R. and Peter Airasian. (2000). Education Reserach. USA: Merril.
Hughes, Athur. (1990). Testing for Language Teachers. New York: Cambrigde University Press.
Isjoni. (2009). Pembelajaran Kooperative Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Limbong, Merpiana. (2008). The Effect of Group Investigation Strategy on Students’ Speaking Achievement. Medan.
Nunan, David. (2003). Practical English Language Taching. New York: Mc Graw-Hill Companies.
Hornby, A S. (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Walton Street, Oxford: Oxford University Press.
QIAO Mengduo & JIN Xiaoling. (2010). Jigsaw Strategy as a Cooperative Learning Technique: Focusing on the Language Learners. Bimonthly: Chinese Journal of Applied Linguistics
Sedima, Nova. (2010). Improving Students’ Speaking Achievement through Time Token. Medan.
Slavin, Robert E. (1990). Cooperative Learning Theory, Research, and Practice. Needham Heights: Allyn & Bacon.
Sugiono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukardi. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.
Taniredja, Tukiran, dkk. (2011). Model-Model Pembelajan Inovatif. Bandung: Alfabeta.
Weir, Cyril J. (1990). Communicative Language Testing. United States of America: Prentice Hall International.
Yousuf Ali, Abdallah. (2009). The Glorious Qur’an. Dar El-Fikri: Beirut.
65